Analisis Pengaruh Surat Teguran, Surat Paksa Dan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) Terhadap Efektivitas Penagihan Pajak (Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan Pajak Medan Kota

(1)

SKRIPSI

ANALISIS PENGARUH SURAT TEGURAN, SURAT PAKSA DAN SURAT PELAKSANAAN MELAKUKAN PENYITAAN (SPMP) TERHADAP

EFEKTIVITAS PENAGIHAN PAJAK

(Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan Pajak Medan Kota)

OLEH

Yesika L Hutabarat 110503087

PROGRAM STUDI AKUNTANSI DEPARTEMEN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Pengaruh Surat Teguran, Surat Paksa

Dan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) Terhadap Efektivitas

Penagihan Pajak (Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan Pajak Medan Kota)”

adalah benar hasil karya tulis saya sendiri yang disusun sebagai tugas akademik guna menyelesaikan beban akademik pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

Bagian atau data tertentu yang saya peroleh dari perusahaan atau lembaga, dan/ atau saya kutip dari hasil karya orang lain telah mendapat izin, dan/ atau dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila kemudian hari ditemukan adanya kecurangan dan plagiat dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Oktober 2015 Yang Membuat Pernyataan

Yesika L Hutabarat 110503087


(3)

ABSTRAK

Analisis Pengaruh Surat Teguran, Surat Paksa Dan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) Terhadap Efektivitas Penagihan Pajak

(Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan Pajak Medan Kota

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh dari penagihan aktif melalui Surat Teguran, Surat Paksa, dan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) terhadap efektivitas penagihan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Medan Kota. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode statistik deskriptif yaitu pengolahan data untuk menghasilkan informasi dalam bentuk statistik. Data yang diteliti diperoleh dengan kerja sama antara penulis dengan Kantor Wilayah Sumut I serta Seksi Penagihan dari Kantor Pelayanan Pajak Medan Kota.

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang kuat dari penagihan aktif melalui Surat Teguran, Surat Paksa, dan Surat Perintah Melakukan Penyitaan terhadap efektivitas penagihan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Medan Kota.

Kata Kunci: Surat Teguran, Surat Paksa, Surat Perintah Melakukan Penyitaan, Efektivitas Penagihan Pajak.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberi rahmat, berkat, kesehatan, dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaian skripsi ini guna memperoleh Sarjana Ekonomi Akuntansi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara. Penulis telah banyak menerima bimbingan, saran, motivasi, dan doa dari berbagai pihak selama penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingan, yaitu kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Azhar Maksum, M.Ec.Ac., Ak., C.A., selaku Dekan Fakultas

Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Dr. Syafruddin Ginting Sugihen, M.A.F.I.S., Ak., selaku Ketua Departemen S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara dan Bapak Drs. Hotmal Jafar, M.M., Ak., selaku Sekretaris Departemen S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Firman Syarif, S.E., M.Si., selaku Ketua Program Studi S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara dan Ibu Mutia Ismail, S.E., M.M., Ak., selaku Sekretaris Program Studi S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Abdillah Arif Nasution, S.E., M.Si., Ak., selaku Dosen Pembimbing penulis, Bapak H. Arifin Lubis, M.M, Ak, selaku Dosen Pembanding penulis, dan Bapak Drs. Rustam, M.Si., Ak., selaku Dosen Penguji penulis. Terima kasih


(5)

sedalam-dalamnya untuk kesediaan membimbing penulis dengan perhatian dan kasih sayang yang secara ikhlas diberikan selama proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

5. Kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam pembuatan skripsi ini, khususnya Bapak Ibu dan Abang/ Kakak pegawai Kantor Wilayah Pajak Sumut I dan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Medan Kota. Terima kasih atas bimbingan, arahan, dan bantuan dalam memberikan data penelitian untuk penulis sehingga skripsi ini bisa diselesaikan dengan baik dan terarah.

6. Kedua orangtua penulis, Rihamsyah dan Juni, serta kedua adik penulis, Juhamon dan Sinta. Terima kasih atas segala curahan kasih sayang melalui perhatian, doa serta dukungan yang telah diberikan.

Segala bentuk usaha dan perjuangan telah semaksimal mungkin dilakukan oleh penulis. Meskipun demikian, skripsi ini masih jauh dari kata sempurna dan masih perlu banyak perbaikan atas segala kekurangannya yang semata-mata merupakan keterbatasan penulis sebagai manusia biasa. Akhir kata, semoga skrispi ini bermanfaat bagi pembacanya. Amin.


(6)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian ... 5

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Dasar Perpajakan 2.1.1 Pengertian Pajak ... 7

2.1.2 Fungsi Pajak ... 9

2.1.3 Pengelompokan Pajak ... 10

2.1.4 Tata Cara Pemungutan Pajak ... 11

2.1.5 Sistem Pemungutan Pajak ... 12

2.1.6 Tarif Pajak ... 14

2.1.7 Pembayaran Pajak ... 15

2.2 Tinjauan Umum Tentang Penagihan Pajak 2.2.1 Pengertian Penagihan Pajak ... 25

2.2.2 Penanggung Pajak ... 26

2.2.3 Pejabat dan Juru Sita Pajak ... 27

2.2.4 Penagihan Pajak dengan Surat Teguran ... 28

2.2.5 Penagihan Pajak dengan Surat Paksa ... 28

2.2.6 Penagihan Seketika dan Sekaligus ... 29

2.2.7 Penyitaan ... 30

2.2.8 Penyitaan Tambahan ... 32

2.2.9 Pencabutan Sita ... 32


(7)

2.3 Tunggakan Pajak

2.3.1 Penyebab Timbulnya Tunggakan Pajak ... 35

2.4 Efektivitas ... 36

2.5 Penelitian Terdahulu ... 37

2.6 Kerangka Konseptual ... 43

2.7 Perumusan Hipotesis ... 44

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 45

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 45

3.3 Defenisi Operasional ... 45

3.4 Pengukuran Variabel 3.4.1 Variabel Dependen dan Variabel Independen ... 46

3.5 Populasi dan Sampel ... 46

3.6 Metode Pengumpulan Data 3.6.1 Metode Telaah Kepustakaan ... 49

3.6.2 Metode Dokumentasi ... 50

3.7 Metode Analisis 3.7.1 Uji Asumsi Klasik 3.7.1.1 Uji Normalitas ... 50

3.7.1.2 UjiMultikolinearitas ... 51

3.7.1.3 Uji Heteroskedastisitas ... 51

3.7.1.4 Uji Autokorelasi ... 52

3.7.2 Uji Hipotesis 3.7.2.1 Analisis Regresi Linear Berganda ... 53

3.7.2.2 Uji Koefisien Determinansi (R2) ... 54


(8)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum KPP Medan Kota

4.1.1 Sejarah Singkat KPP Medan Kota ... 56

4.1.2 Visi Misi KPP Medan Kota ... 60

4.1.3 Struktur Organisasi KPP Medan Kota ... 61

4.2 Tunggakan Pajak Serta Realisasi Pajak ... 65

4.3 Hambatan Dalam Pencairan Utang Pajak ... 69

4.4 Hasil Penelitian 4.4.1 Uji Normalitas ... 72

4.4.2 Uji Multikolinearitas ... 73

4.4.3 Uji Heterokedastisitas ... 75

4.4.4 Uji Autokorelasi ... 76

4.4.5 Analisis Regresi Berganda ... 78

4.4.6 Uji Koefisien Determinasi (R2) ... 79

4.4.7 Uji F ... 81

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 83

5.2 Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA... 86


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Penerimaan Pajak Dalam APBN... 2

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu... 41

Tabel 3.1 Populasi Dan Sampel ... 48

Tabel 4.1 Tunggakan Dan Realisasi Pajak... 66

Tabel 4.2 Data Surat Teguran... 67

Tabel 4.3 Data Surat Paksa... 68


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual... 4 Gambar 3.1 Struktur Organisasi KPP Medan Kota ... 62


(11)

ABSTRAK

Analisis Pengaruh Surat Teguran, Surat Paksa Dan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) Terhadap Efektivitas Penagihan Pajak

(Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan Pajak Medan Kota

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh dari penagihan aktif melalui Surat Teguran, Surat Paksa, dan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) terhadap efektivitas penagihan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Medan Kota. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode statistik deskriptif yaitu pengolahan data untuk menghasilkan informasi dalam bentuk statistik. Data yang diteliti diperoleh dengan kerja sama antara penulis dengan Kantor Wilayah Sumut I serta Seksi Penagihan dari Kantor Pelayanan Pajak Medan Kota.

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang kuat dari penagihan aktif melalui Surat Teguran, Surat Paksa, dan Surat Perintah Melakukan Penyitaan terhadap efektivitas penagihan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Medan Kota.

Kata Kunci: Surat Teguran, Surat Paksa, Surat Perintah Melakukan Penyitaan, Efektivitas Penagihan Pajak.


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peranan pajak sebagai tonggak pembangunan di Indonesia semakin besar dan penting seiring dengan berkurangnya kontribusi penghasilan dari sektor minyak dan gas dalam beberapa tahun terakhir. Tren ini semakin menguat terutama setelah krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 yang ditandai dengan meningkatnya proporsi total penerimaan pajak terhadap total pendapatan negara dalam APBN hingga melampaui 50%.

Dalam kurun empat tahun terakhir, terjadi fluktuasi nilai penerimaan pajak dalam penetapan APBN oleh pemerintah dimana penetapan tersebut disesuaikan dengan keadaan ekonomi di Indonesia. Saat ini pemerintah telah menetapkan nilai penerimaan pajak sebesar 1.201,7 triliun rupiah yang merupakan 66,9 % dari total pendapatan negara dalam APBN 2015 sebesar 1.793,6 triliun rupiah. Nilai penerimaan pajak tersebut meningkat sebesar 91,5 triliun rupiah dari tahun sebelumnya dimana nilai penerimaan pajak dalam APBN 2014 adalah sebesar 1.110,2 triliun rupiah.

Secara ringkas fluktuasi nilai penerimaan pajak di dalam APBN dalam kurun empat tahun terakhir yang ditetapkan pemerintah bisa dilihat pada Tabel 1.1.


(13)

Tabel 1.1

Tahun Total

Pendapatan Pada APBN

Pendapatan Dari Pajak

Persentase Kenaikan/ Penurunan Dari Tahun Sebelumnya

2012 1.311,4 914,2 69,7 %

2013 1.529,7 1.134,2 74,1 % 220

2014 1.667,1 1.110,2 66,6 % (24)

2015 1.793,6 1.201,7 66,9 % 91,5

Sumber:

Upaya yang telah dilakukan dalam usaha peningkatan penerimaan pajak negara di Indonesia adalah dengan mengadakan reformasi pajak (tax

reform). Tujuan utama dari reformasi pajak ialah untuk lebih menegakkan

kemandirian negara dalam membiayai pembangunan nasional melalui jalan mengarahkan segenap potensi dan kemampuan dari dalam negeri, khususnya dengan cara meningkatkan penerimaaan negara melalui sektor perpajakan dari berbagai wilayah di luar minyak bumi dan gas. Upaya tersebut yang dilakukan tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan kapasitas fiskal guna memperkuat sumber pendanaan APBN akan tetapi sekaligus diarahkan untuk memberikan peranan dalam mendorong investasi, memperkuat daya saing dan meningkatkan efisiensi perekonomian.


(14)

Salah satu perubahan yang cukup mendasar dalam sistem perpajakan Indonesia adalah perubahan dari Official Assesment System menjadi Self

Assesment System yang terjadi pada reformasi perpajakan tahun 1983. Dalam Official Assesment System aparatur pajak menentukan sendiri jumlah pajak

yang terutang sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan, sedangkan dalam Self Assesment System, wajib pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan pajak terutangnya sendiri.

Sebagai penerimaan yang selama ini diandalkan, tentunya sektor perpajakan diupayakan agar terus meningkat, hal ini telah kita lihat dari persentase anggaran penerimaan pajak yang ditetapkan pemerintah pada Tabel 1.1, dimana jumlah anggaran penerimaan pajak melebihi setengah dari anggaran pendapatan yang ditetapkan pemerintah. Hal tersebut menunjukkan bahwa pajak memiliki sumbangsih yang cukup besar untuk belanja negara. Dikala satu sisi penerimaan negara terus diupayakan meningkat, sisi lain harus mengupayakan penghematan pembiayaan. Oleh karena itu biaya untuk menghasilkan penerimaan negara seyogyanya dikelola seefektif mungkin. Hal tersebut menjadikan tugas aparatur pajak semakin berat baik dengan upaya ekstensifikasi maupun intensifikasi. Salah satu tugas berat intensifikasi adalah penagihan tunggakan pajak. Tindakan penagihan merupakan wujud upaya pencairan tunggakan pajak. Dalam penagihan tunggakan pajak, diperlukan pelaksanaan tindakan penagihan yang mempunyai kekuatan hukum yang


(15)

memaksa. Tindakan ini meliputi pemberitahuan surat teguran, penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan surat paksa, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, serta menjual barang yang telah disita berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2000.

Berdasarkan penjelasan diatas maka peneliti tertarik untuk mengangkat judul penelitian “Analisis Pengaruh Surat Teguran, Surat

Paksa Dan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) Terhadap

Efektivitas Penagihan Pajak (Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan Pajak

Medan Kota)”. Sebelumnya telah dilakukan penelitian – penelitian mengenai

jenis surat tersebut yang beberapa diantaranya adalah “Efektivitas Pelaksanaan Penagihan Aktif dalam Pencairan Tunggakan Pajak pada KPP Pasar Minggu oleh Pitnawati pada tahun 2009, “Efektivitas Penagihan Pajak dengan Surat Teguran dan Surat Paksa Terhadap Penerimaan Pajak pada KPP Pratama Makassar Selatan oleh Nana Adriana pada tahun 2012,”Efektivitas Penagihan Pajak dengan Surat Teguran dan Surat Paksa Terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan pada KPP Pratama Manado oleh Agung Agustinus Paseleng pada tahun 2013 serta “Pengaruh Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Terhadap Pencairan Tunggakan Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kayu oleh Irigandi pada tahun 2014. Dengan demikian penelitian ini merupakan replikasi dari beberapa penelitian


(16)

terdahulu disertai adanya penambahan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) sebagai variabel bebas ketiga dari penelitian.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) memiliki pengaruh terhadap efektivitas penagihan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Medan Kota?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui apakah pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) memiliki pengaruh terhadap efektivitas penagihan pajak pada KPP Medan Kota.

1.3.2 Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi penulis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan agar penulis bisa menerapkan teori dan memperoleh pemahaman mengenai pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa dan Surat Perintah Melakukan


(17)

Penyitaan (SPMP) dan pengaruhnya terhadap efektivitas penagihan pajak pada KPP Medan Kota.

2. Manfaat bagi dunia akademis

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bukti empiris mengenai pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa dan Surat Perintah Melakukan Penyitaan(SPMP) dan pengaruhnya terhadap efektivitas penagihan pajak pada KPP Medan Kota.

3. Manfaat bagi para pembaca

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan wacana bagi para pembaca untuk menambah pemahaman tentang proses penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa dan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) dan pengaruhnya terhadap efektivitas penagihan pajak pada KPP Medan Kota.


(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Perpajakan

Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan bergerak secara berkesinambungan. Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materiil maupun spiritual. Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut maka perlu perhatian utama ditujukan kepada masalah pembiayaan pembangunan.

Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang berasal dari dalam negara berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna baik untuk kepentingan bersama.

2.1.1 Pengertian Pajak

Pengertian pajak menurut Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah sebagai berikut:

“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”


(19)

Pengertian pajak menurut buku Leroy Beaulieu yang berjudul Traite

de la Science des Finances, 1906:

L’impot et la contribution, soit directe soit dissimule, que La Puissance Publique exige des habitants ou des biens subvenir aux depenses du Government.

(“Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja pemerintah”.)

Karianton (2013:6) mengemukakan pengertian pajak menurut Soemitro yang dapat dilihat dari dua aspek yaitu aspek ekonomis dan aspek hukum. Pengertian pajak dari aspek ekonomis yaitu peralihan kekayaan dari swasta kepada sektor publik berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dapat ditunjukkan, digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan sebagai pendorong, penghambat atau pencegah untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan negara. Sedangkan dari aspek hukum, pajak adalah perikatan yang timbul karena undang-undang yang mewajibkan seseorang memenuhi syarat-syarat sesuai undang-undang untuk membayar uang kepada negara yang dapat dipaksakan tanpa mendapatkan suatu imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, dan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.

Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik unsur-unsur utama dalam pajak yaitu subyek pajak, obyek pajak, beserta tarif pajak. Subyek


(20)

pajak adalah kepada siapa pajak tersebut dikenakan, obyek pajak adalah atas apa pajak tersebut dapat dikenakan, sementara tarif pajak adalah seberapa besar pajak yang akan dibebankan kepada subyek pajak atas obyek pajaknya.

2.1.2 Fungsi Pajak

Menurut Erly Suandy dalam buku “Hukum Pajak” (2011:12) ada 2 fungsi pajak, yaitu:

a) Fungsi Finansial (Budgetair)

Pajak berfungsi memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas negara, dengan tujuan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. b) Fungsi Mengatur (Regulerend)

Pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur masyarakat baik di bidang ekonomi, sosial, maupun politik dengan tujuan tertentu. Pajak digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dapat dilihat dalam contoh sebagai berikut:

a. Pemberian insentif pajak (misalnya tax holiday, penyusutan dipercepat) dalam rangka meningkatkan investasi baik investasi dalam negeri maupun investasi asing.

b. Pengenaan pajak ekspor untuk produk-produk tertentu dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri.

c. Pengenaan bea masuk dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk produk-produk impor tertentu dalam rangka melindungi produk-produk dalam negeri.


(21)

Di samping kedua fungsi di atas, pajak masih mempunyai tujuan-tujuan lain seperti untuk redistribusi pendapatan dan menanggulangi inflasi.

2.1.3 Pengelompokan Pajak

Pengelompokan pajak dibagi menjadi beberapa bagian yaitu : 1. Menurut golongannya

a) Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipakai sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan.

b) Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai.

2. Menurut sifatnya

a) Pajak Subyektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subyeknya, dalam arti memperhatikan keadaan dari wajib pajak. Contoh : Pajak Penghasilan.

b) Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada obyeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

3. Menurut lembaga pemungutannya

a) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh : PPh, PPN, dan PPnBM dan Bea Materai.


(22)

b) Pajak Daerah, yaitu pajak yang digunakan oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh : PBB, PKB, Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.

2.1.4 Tata Cara Pemungutan Pajak

Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan tiga stelsel yaitu : 1. Stelsel Nyata (Riel Stelsel)

Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutan baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak. Kelebihan dari stelsel ini pajak yang dikenakan realistis, sesuai dengan yang seharusnya dibayarkan oleh wajib pajak. Sedangkan kelemahan dari stelsel ini pajak baru dapat dibayarkan setelah penghasilan diketahui pada akhir periode.

2. Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel)

Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kelebihan dari sistem ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu akhir tahun. Sedangkan kekurangan dari sistem ini terkadang besarnya pajak yang dibayar tidak sesuai dengan besarnya pajak yang seharusnya dibayarkan.


(23)

3. Stelsel Campuran

Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Stelsel ini mengombinasikan kelebihan-kelebihan dari stelsel nyata dan stelsel anggapan. Dalam stelsel ini, besarnya pajak dihitung sesuai anggapan seperti pada stelsel anggapan, besarnya penghasilan dalam tahun berjalan dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pajak dapat dibayarkan pada awal tahun pajak. Akan tetapi pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan kenyataan yang harus dibayarkan. Apabila ternyata pajak yang dibayarkan kurang, maka wajib pajak harus menambahnya, dan apabila yang dibayarkan berlebih maka wajib pajak berhak untuk mengambil kelebihan tersebut.

2.1.5 Sistem Pemungutan Pajak

Dalam memungut pajak dikenal beberapa sistem pemungutan pajak yaitu :

1. Official Assessment System

Sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada pemerintah (petugas pajak) untuk menentukan besarnya pajak terhutang wajib pajak. Sistem pemungutan pajak ini sudah tidak berlaku lagi setelah reformasi perpajakan pada tahun 1983. Ciri-ciri sistem pemungutan pajak ini adalah (i) pajak terhutang dihitung oleh petugas pajak, (ii) wajib pajak bersifat pasif, dan (iii) hutang pajak timbul setelah petugas pajak menghitung pajak yang terhutang dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak.


(24)

2. Self Assessment System

Sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk menghitung sendiri, melaporkan sendiri, dan membayar sendiri pajak yang terhutang yang seharusnya dibayar. Ciri-ciri sistem pemungutan pajak ini adalah (i) pajak terhutang dihitung sendiri oleh wajib pajak, (ii) wajib pajak bersifat aktif dengan melaporkan dan membayar sendiri pajak terhutang yang seharusnya dibayar, dan (iii) pemerintah tidak perlu mengeluarkan surat ketetapan pajak setiap saat kecuali oleh kasus-kasus tertentu saja seperti wajib pajak terlambat melaporkan atau membayar pajak terhutang atau terdapat pajak yang seharusnya dibayar tetapi tidak dibayar.

3. With Holding System

Sistem pengumutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Ciri-ciri sistem pemungutan pajak ini adalahwewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga.


(25)

2.1.6 Tarif Pajak

Tarif pajak dibagi kedalam 4 jenis, yaitu:

1. Tarif proporsional atau sebanding, berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proposional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak.

Contoh: Untuk PPN terhadap barang kena pajak dikenakan tarif 10% Jumlah Penjualan Tarif Pajak

Rp. 500.000,- 10% Rp. 50.000,- Rp. 1.000.000,- 10% Rp. 100.000,- Rp. 5.000.000,- 10% Rp. 500.000,- Rp. 10.000.000,- 10% Rp.

1.000.000,-2. Tarif tetap, berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.

Contoh: Pajak materai atau bea materai yang besar tarifnya tidak berubah (tetap) dengan tarif senilai Rp. 3.000,- atau Rp. 6.000,-.

3. Tarif progresif, dimana persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.

Contoh: Untuk Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Orang Pribadi dikenakan tarif progresif yaitu;


(26)

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

Sampai dengan Rp. 50.000.000,- 5%

Diatas Rp. 50.000.000,- s/d Rp. 250.000.000,- 15% Diatas Rp. 250.000.000,- s/d Rp. 500.000.000,- 25%

Diatas Rp. 500.000.000,- 30%

4. Tarif degresif, dimana persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.

Contoh: Untuk Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Orang Pribadi dikenakan tarif degresif yaitu;

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

Sampai dengan Rp 10.000.000,- 30%

di atas Rp 10.000.000,- sampai dengan Rp 50.000.000,- 28% di atas Rp 50.000.000,- sampai dengan Rp 100.000.000,- 26%

di atas Rp 100.000.000,- 24%

2.1.7 Pembayaran Pajak

Mekanisme pembayaran pajak bagi Wajib Pajak dapat dijelaskan sebagai berikut:


(27)

1. Membayar sendiri pajak yang terutang:

a. Pembayaran angsuran PPh setiap bulan (PPh Pasal 25) Pembayaran PPh Pasal 25 yaitu pembayaran Pajak Penghasilan secara angsuran. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban Wajib Pajak dalam melunasi pajak yang terutang dalam satu tahun pajak. Wajib Pajak diwajibkan untuk mengangsur pajak yang akan terutang pada akhir tahun dengan membayar sendiri angsuran pajak tersebut setiap bulan.

Khusus untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang sumber penghasilannya dari usaha dan pekerjaan bebas, pembayaran angsuran PPh Pasal 25 terbagi atas 2 yaitu:

1. Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT).

Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha penjualan barang baik secara grosir maupun eceran dan usaha penyerahan jasa, yang mempunyai satu atau lebih tempat usaha termasuk yang memiliki tempat usaha yang berbeda dengan tempat tinggal.

Angsuran PPh Pasal 25 Wajib Pajak OPPT : 0,75% x jumlah peredaran usaha (omset) setiap bulan dari masing-masing tempat usaha


(28)

2. Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT).

Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT) adalah Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha tanpa melalui tempat usaha misalnya sebagai pekerja bebas atau sebagai karyawan.

Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak OPSPT : Penghasilan Kena Pajak x Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh : 12 bulan.

Tarif Pasal 17 ayat (1) a UU PPh adalah :

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

Sampai dengan Rp 50.000.000,- 5%

Diatas Rp. 50.000.000,- s/d Rp. 250.000.000,- 15% Diatas Rp. 250.000.000,- s/d Rp. 500.000.000,- 25%

Diatas Rp. 500.000.000,- 30%

b. Untuk Wajib Pajak Badan, besarnya pembayaran Angsuran PPh 25 yang terutang diperoleh dari penghasilan kena pajak dikalikan dengan tarif PPh yang diatur di Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang Undang Pajak Penghasilan. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh adalah 25%.


(29)

sampai dengan Rp. 50.000.000.000,- mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh, yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari peredaran bruto sampai dengan Rp. 4.800.000.000,-

2. Membayar PPh melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain (PPh Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, 22, dan 23, serta PPh Pasal 26). Pihak lain disini adalah:

 Pemberi penghasilan;

 Pemberi kerja; atau

 Pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah.

3. Membayar PPN kepada pihak penjual atau pemberi jasa ataupun oleh pihak yang ditunjuk pemerintah.

Tarif PPN adalah 10% dari harga jual atau penggantian atau nilai ekspor atau nilai lainnya.

4. Pembayaran pajak-pajak lainnya:

o Pembayaran PBB yaitu pelunasan berdasarkan Surat Pemberitahuan

Pajak Terutang (SPPT).

Tarif PBB terdiri dari 2 tarif yaitu:

a. 1/1000 dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk yang NJOP-nya kurang dari Rp. 1.000.000.000,-


(30)

b. 2/1000, dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk yang NJOP-nya kurang dari Rp. 1.000.000.000,-

o Pembayaran Bea Meterai yaitu pelunasan pajak atas dokumen yang dapat

dilakukan dengan cara menggunakan benda meterai berupa meterai tempel atau kertas bermeterai atau dengan cara lain seperti menggunakan mesin teraan.

Meterai tempel yang terutang untuk dokumen yang menyebut jumlah (kuitansi) diatas Rp. 250.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000,- adalah Rp. 3.000,-. Untuk dokumen yang menyebut jumlah diatas Rp. 1.000.000,- dan surat-surat perjanjian, terutang materai tempel sebesar Rp. 6.000,-. 5. Pemotongan / Pemungutan Pajak

Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada pembayaran bulanan yang dilakukan dengan mekanisme pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan. Pihak pemberi penghasilan adalah pihak yang ditunjuk berdasarkan ketentuan perpajakan untuk memotong/memungut, antara lain yang ditunjuk tersebut adalah badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Untuk subjek pajak badan dalam negeri, maka diwajibkan juga sebagai pemotong/pemungutan pajak.

Adapun jenis pemotongan/pemungutan adalah: PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat 2, PPh Pasal 15 dan PPN dan


(31)

PPn BM. Penjelasan lebih lanjut dari masing-masing pajak tersebut adalah sebagai berikut:

a. PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan kepada oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan.

Misalnya pembayaran gaji yang diterima oleh pegawai dipotong oleh perusahaan pemberi kerja. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk oleh UU Perpajakan sebagai pemotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang dibayarkan kepada karyawannya maupun yang bukan karyawannya. Wajib Pajak perseorangan dapat juga ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 21 sepanjang ada penunjukannya dari KPP tempat Wajib Pajak terdaftar. Selain diwajibkan memotong PPh Pasal 21, Wajib Pajak perseorangan bisa juga dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterimanya.

b. PPh Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang (seperti penyerahan barang oleh rekanan kepada bendaharawan pemerintah), impor barang dan kegiatan usaha di bidang-bidang tertentu serta penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Pemungutan PPh Pasal 22 ini antara lain adalah:


(32)

2. Pemungutan PPh atas kegiatan impor barang;

3. Pemungutan PPh atas produksi barang-barang tertentu misalnya produksi baja, kertas, rokok, dan otomotif;

4. Pemungutan atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir di bidang perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan dari pedagang pengumpul;

5. Pemungutan PPh atas penjualan atas barang yang tergolong mewah. Wajib Pajak dapat ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atau dapat juga sebagai pihak yang dipungut PPh Pasal 22.

c. PPh Pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga, royalti, sewa, dan jasa kepada WP badan dalam negeri, dan BUT. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23, sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23. Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 23, maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 23 oleh si pihak pemotong tersebut. Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 23 atas jasa


(33)

tertentu (jasa servis mesin atau komputer) yang pemotongannya dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk badan.

d. PPh Pasal 26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga, royalti, hadiah dan penghasilan lainnya kepada WP luar negeri. Wajib Pajak baik yang berbentuk perseorangan maupun badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 26.

Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 26 atas penghasilan tertentu (royalti) yang dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk badan.

e. PPh Final (Pasal 4 ayat (2))

Pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran untuk objek tertentu seperti sewa tanah dan/atau bangunan, jasa konstruksi, pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan lainnya. Yang dimaksud final disini bahwa pajak yang dipotong, dipungut oleh pihak pemberi penghasilan atau dibayar sendiri oleh pihak penerima penghasilan, penghitungan pajaknya sudah selesai dan tidak dapat dikreditkan lagi dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada SPT Tahunan.

Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat (2), sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat (2). Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak


(34)

menerima penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 4 ayat (2), maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) oleh si pihak pemotong tersebut. Namun, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2) dan pihak pemberi penghasilan adalah orang pribadi (bukan pemotong), maka Wajib Pajak tersebut wajib menyetor sendiri PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut.

f. PPh Pasal 15 adalah pemotongan pajak penghasilan yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan kepada Wajib Pajak tertentu yang menggunakan norma penghitungan khusus.

Wajib Pajak tertentu tersebut adalah perusahaan pelayaran atau penerbangan international, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun guna serah. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 15, sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 15. Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 15 dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 15, maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 15 oleh si pihak pemotong tersebut. Namun, apabila


(35)

Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 15 dan pihak pemberi penghasilan adalah orang pribadi (bukan pemotong), maka Wajib Pajak tersebut wajib menyetor sendiri PPh Pasal 15 tersebut. g. PPN dan PPnBM adalah pemungutan PPN dan PPnBM oleh Pengusaha

Kena Pajak (PKP) atau Pemungutan yang ditunjuk (misalnya Bendahara Pemerintah) atas pengkonsumsian barang dan/atau jasa kena pajak. Pengusaha Kena Pajak yang ditunjuk untuk memungut PPN dan PPnBM adalah pengusaha yang memiliki peredaran bruto (omzet) melebihi Rp. 4.800.000.000,- (empat miliar delapan ratus juta rupiah) selama 1 (satu) tahun bukuatau pengusaha yang memilih sendiri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Wajib Pajak baik berbentuk perseorangan maupun badan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, wajib memungut PPN dan juga PPnBM (bila barangnya yang diserahkan tergolong mewah) dari pembeli atau pemakai jasanya. Wajib Pajak juga wajib membayar PPN dan PPnBM bila mengkonsumsi barang atau jasa dari Pengusaha Kena Pajak.

Apabila pihak-pihak yang diberi kewajiban oleh Undang-Undang Perpajakan untuk melakukan pemotongan/pemungutan tidak melakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka dapat dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% dan kenaikan 100%.


(36)

2.2 Tinjauan Umum Tentang Penagihan Pajak

2.2.1 Pengertian penagihan pajak

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, pengertian penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.

Dasar hukum penagihan pajak sesuai dengan undang-undang pasal 18 ayat 1 UU No. 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan UU No.9 tahun 1994 dan UU No. 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan dasar adanya tindakan penagihan pajak dan hak negara untuk melakukan penagihan pajak berawal dari adanya utang pajak yang jatuh tempo, belum atau kurang bayar. Dalam pelaksanaannya, penagihan pajak terbagi dua yaitu:

1. Penagihan Pajak Pasif

Penagihan pajak pasif dilakukan dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambah (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan (SKP), Surat Keputusan Keberatan (SKK), Surat Keputusan Banding (SKB) yang menyebabkan pajak terutang menjadi bertambah


(37)

lebih besar. Jika dalam jangka waktu 30 hari utang pajak masih belum dilunasi, maka tujuh hari setelah jatuh tempo akan diikuti dengan penagihan pajak secara aktif yang dimulai dengan Surat Teguran.

2. Penagihan Pajak Aktif

Penagihan pajak aktif merupakan kelanjutan dari penagihan pajak pasif, dimana dalam upaya penagihan ini fiskus/pejabat juru sita berperan aktif dalam arti bukan mengirimkan surat tagihan atau surat ketetapan pajak melainkan akan diikuti dengan tindakan sita dan dilanjutkan dengan pelaksanaan lelang. Jurusita pajak adalah pelaksanaan tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan, dan penyanderaan.

Menurut undang-undang perpajakan Ikatan Akuntansi Indonesia, pada penagihan PBB untuk pajak terutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 bulan.

2.2.2 Penanggung Pajak

Menurut pasal 1 angka 3 UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan UU No.19 Tahun 2000 (UU PPSP):

“Penanggung pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang


(38)

menjalankan hak atau memenuhi kewajiban wajib pajak menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan”.

2.2.3 Pejabat dan Juru sita Pajak

Mardiasmo (2006:113) menyatakan bahwa;

“Pejabat adalah yang berwenang mengangkat dan memberhentikan juru sita pajak, menerbitkan perintah penagihan seketika dan sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP), surat pencabutan sita, pengumumkan lelang, surat penentuan harga limit, pembatalan lelang, surat perintah penyanderaan, dan surat lain yang diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan dengan penaggung pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh utang pajak menurut undang-undang dan peraturan daerah”.

Menteri keuangan berwenang menunjuk pejabat untuk penagihan pajak pusat, dilain sisi, kepala daerah berwenang menunjuk pejabat untuk penagihan pajak daerah.

Penyitaan dilakukan oleh jurusita. Tugas keseluruhan dari jurusita adalah melaksanakan surat perintah penagihan seketikda dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, melaksanakan penyitaan atas barang penanggung pajak berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dan melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan (Karianton, 2013:124)


(39)

2.2.4 Penagihan Pajak dengan Surat Teguran

Surat Teguran, surat peringatan atau surat lainnya sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur atau memperingatkan kepada wajib pajak untuk melunasi utang pajaknya. Surat Teguran, surat peringatan atau surat lain yang sejenis diterbitkan apabila penanggung pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran. Pengertian surat lain yang sejenis, meliputi surat atau bentuk lain yang fungsinya sama dengan Surat Teguran atau surat peringatan dalam upaya penagihan pajaksebelum Surat Paksa diterbitkan. Surat Teguran tidak diterbitkan terhadap penanggung pajak yang telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya. Jika dalam jangka waktu 30 hari utang pajak masih belum dilunasi, maka tujuh hari setelah jatuh tempo akan dimulai penagihan pajak secara aktif dengan Surat Teguran.

2.2.5 Penagihan Pajak dengan Surat Paksa

Surat Paksa diterbitkan apabila:

1) Penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis.

2) Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus.


(40)

3) Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagai mana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.

Surat Paksa diberitahukan oleh jurusita pajak dengan pernyataan dan penyerahan salinan Surat Paksa kepada penanggung pajak. Mengingat Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan grosse akte, yaitu putusan pengadilan perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka pemberitahuan kepada penanggung pajak dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Paksa dan kedua belah pihak menandatangani berita acara sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan.

2.2.6 Penagihan Seketika dan Sekaligus

Pengertian penagihan seketika dan sekaligus adalah penagihan pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran terhadap seluruh utang pajak dan semua jenis pajak, masa pajak dan tahun pajak. Jurusita pajak melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran berdasarkan surat perintah penagihan seketika dan sekaligus yang diterbitkan oleh pejabat apabila:

a. Penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu.


(41)

b. Penanggung pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau dikuasai dalam rangka memberhentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia.

c. Terhadap tanda-tanda bahwa penanggung pajak akan membubarkan badan usahanya, atau penggabungan badan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainya.

d. Badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau

e. Terjadi penyitaan atas barang penanggung pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan. Penyampaian surat perintah penagihan seketika dan sekaligus dilaksanakan secara langsung oleh jurusita pajak kepada penanggung pajak.

2.2.7 Penyitaan

Penyitaan terhadap barang milik penanggung pajak dilaksanakan oleh jurusita pajak berdasarkan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) yang diterbitkan oleh pejabat. Penyitaan dilaksanakan terhadap barang milik penanggung pajak yang berada ditempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau ditempat lain termasuk yang termasuk penguasanya berada ditangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu.

Penyitaan dapat dilaksanakan terhadap barang-barang milik penanggung pajak yang dapat berupa:


(42)

1) Barang bergerak, termasuk mobil, perusahaan, uang tunai dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk yang disamakan dengan itu, obligasi saham atau surat berharga lainya, piutang dan penyerahan modal pada perusaan lain, dan atau

2) Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal atau isi kantor tertentu.

Barang yang dikecualikan dari penyitaan:

1) Pakaian dan tempat tidur berserta perlengkapannya yang digunakan oleh penanggung pajak dan keluarga yang menjadi tunggakannya.

2) Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan memasak yang berada dirumah.

3) Perlengkapan penanggung pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari negara.

4) Buku-buku yang berkaitan dengan jabatan atau pekerjaan penanggung pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan, dan keilmuan.

5) Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). 6) Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh penanggung pajak dan


(43)

Pada dasarnya penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan barang bergerak, namun dalam keadaan tertentu penyitaan dapat dilaksanakan langsung terhadap barang tidak bergerak tanpa melaksanakan penyitaan terhadap barang bergerak. Dengan permisalan, jurusita pajak tidak menjumpai barang bergerak yang dapat dijadikan obyek sita, atau barang bergerak yang dijumpainya tidak mempunyai nilai, atau harganya tidak memadai jika dibandingkan dengan utang pajaknya.

2.2.8 Penyitaan Tambahan

Penyitaan tambahan dilakukan jika terdapat kondisi dimana barang yang disita nilainya tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak dan hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak.

2.2.9 Pencabutan Sita

Pencabutan sita dilaksanakan apabila penanggung pajak telah melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak atau berdasarkan putusan pengadilan atau putusan badan peradilan pajak atau ditetapkan lain dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah.

2.2.10 Lelang

Apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan, pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara lelang terhadap barang yang disita melalui kantor lelang. Sekalipun penanggung pajak telah melunasi utang pajak tetapi belum melunasi biaya


(44)

penagihan pajak, penjualan secara lelang terhadap barang yang telah disita tetap dapat dilaksanakan. Lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun keberatan yang dilakukan wajib pajak belum memperoleh keputusan keberatan, lelang juga tetap dapat dilaksanakan tanpa dihadiri oleh wajib pajak. Disisi lain, pejabat jurusita pajak tidak diperbolehkan untuk membeli barang sitaan yang dilelang. Larangan ini berlaku juga terhadap istri, keluarga sedarah dan dalam keturunan garis lurus, serta anak angkat.

Barang sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara lelang berupa:

1) Uang tunai dan surat-surat berharga (deposito, tabungan, saldo rekening koran, giro atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu) obligasi, saham, piutang, penyertaan modal dan surat berharga lainnya.

2) Barang yang mudah rusak atau cepat busuk.

Apabila penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak setelah 14 (empat belas) hari sejak penyitaan barang yang penjualannya dikecualikan dari penjualan secara lelang, pejabat segera menggunakan, menjual, dan atau memindah bukukan barang sitaan untuk pelunasan biaya penagihan pajak dan utang pajak. Yang dimaksud dengan “menggunakan” adalah menyetor ke kas negara atau ke kas daerah.

2.3 Tunggakan Pajak

Pencairan tunggakan pajak merupakan usaha-usaha yang telah diambil oleh fiskus dalam rangka mencairkan pajak yang terutang yang


(45)

belum dibayar oleh wajib pajak oleh suatu hal. Untuk mengurangi besarnya tunggakan pajak, telah diambil langkah-langkah antara lain dengan:

1. Pelunasan Tunggakan

Pelunasan tunggakan dilakukan oleh wajib pajak sebelum atau sesudah tanggal jatuh tempo pembayaran Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambah (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan (SKP), Surat Keputusan Keberatan (SKK), dan Putusan Banding.

2. Meningkatkan Pelaksanaan Kegiatan Penagihan

Sejak berlaku undang-undang perpajakan, Direktorat Jendral Pajak meningkatkan pelaksanaan kegiatan melalui penagihan dengan menerbitkan STP, SKPKB, SKPKBT, SKK, SKP dan putusan banding kepada para wajib pajak yang mempunyai tunggakan, selain itu Direktorat Jenderal Pajak juga mengeluarkan Surat Teguran, Surat Paksa, Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP). Serta Surat Pelelangan.

3. Peningkatan Penyelesaian Permohonan Keberatan

Proses penyelesaian keberatan berhubungan erat dengan pencairan tunggakan karena apabila keberatan tersebut tidak diterima maka akan menunda pembayaran pajak yang terutang. Sebaliknya bila keberatan itu diterima seluruhnya maka tunggakan pajak dapat dicairkan dengan sendirinya melalui proses.


(46)

4. Penghapusan Piutang Pajak

Maksud dari penghapusan piutang pajak adalah untuk dapat memperkirakan secara efektif besarnya saldo piutang yang masih dapat ditagih atau dicairkan.

2.3.1 Penyebab Timbulnya Tunggakan Pajak

Ada beberapa hal-hal yang menyebabkan timbulnya tunggakan pajak karena adanya:

1. Penetapan Pajak

Sesuai dengan Undang-Undang No.16 tahun 2000 sebagai perubahan dari Undang-Undang No.6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, bahwa produk dari penetapan pajak adalah STP / SKPKB / SKPKBT.

2. Kesulitan Likuiditas

Masalah perpajakan mempunyai kaitan yang erat dengan keadaan perekonomian. Apabila perekonomian Indonesia baik, maka wajib pajak dapat membayar kewajiban perpajakannya dengan baik. Sebaliknya apabila keadaan perekonomian semakin memburuk maka wajib pajak akan mengalami kesulitan likuiditas. Dengan demikian apabila sudah ada Surat Ketetapan Pajak maka belum tentu wajib pajak yang bersangkutan tidak akan menimbulkan tunggakan pajak.


(47)

3. Keadaan Geografis

Mengingat wajib pajak tersebar di seluruh Indonesia maka menyebabkan adanya kesulitan untuk mengadakan komunikasi dengan lancar dan pelaksanaan penagihan dengan cepat. Hal ini akan membutuhkan waktu yang lama, terutama dalam hal penyampaian Surat Paksa yang harus dilaksanakan langsung oleh jurusita pajak kepada wajib pajak dimana jurusita pajak dapat melihat langsung adanya objek yang disita, dan dalam hal ini pula jumlah pajak akan menjadi tunggakan pajak.

2.4 Efektivitas

Pengertian efektivitas pada dasarnya berhubungan dengan pencapaian tujuan atau target kebijakan. Mardiasmo mengemukakan bahwa efektivitas merupakan hubungan antara keluarandengan tujuan atau sasaran yang harus dicapai. Kegiatan operasional dikatakan efektifa pabila proses kegiatan mencapai tujuan dan sasaran akhir kebijakan.

N. Anthony (2004:14) mendefinisikan efektivitas sebagai berikut; “Efektivitas merupakan hubungan antar output yang dihasilkan oleh pusat pertanggungjawaban dengan tujuan jangka pendek (objektivitas), semakin besar output yang dikontribusikan terhadap jangka pendek perusahaan, maka semakin efektiflah unit tersebut.”


(48)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa efektivitas adalah kemampuan suatu unit kerja untuk mencapai tujuan perusahaan yang diukur dengan membandingkan realisasi terhadap target yang direncanakan. Dalam konteks perpajakan, yang digunakan untuk mengukur efektivitas adalah perbandingan realisasi pajak terhadap target pajak yang dapat dirumuskan dengan:

Efektivitas = Realisasi Pajak Target Pajak

x 100%

2.5 Penelitian Terdahulu

Pitnawati (2009) melakukan penelitian mengenai efektivitas pelaksanaan penagihan aktif dalam pencairan tunggakan pajak pada KPP Pasar Minggu, Jakarta dengan menggunakan teknik analisis kualitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan pelaksanaan penagihan aktifdalam pencairan tunggakan pajak pada KPP Pratama Jakarta Pasar Minggu efektif yaitu sebesar 87%. Faktor-faktor yang mempengaruhi pencairan tunggakan pajak terhadap pelaksanaan penagihan aktif pada KPP Pasar Minggu adalah:


(49)

a. Faktor sistem Surat Teguran: Dengan Surat Teguran yang tidak perlu diterbitkan bila wajib pajak menyetujui pembayaran secara angsuran 100% dari responden merasa sangat sesuai. Sedangkan dengan Surat Teguran dilayangkan pada wajib pajak sampai tanggal jatuh tempo, 78,7%responden merasa sesuai.

b. Faktor sistem Surat Paksa: Sebesar 97,2% dari responden merasa sangat sesuai dengan Surat Paksa diterbitkan apabila penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagai mana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Sedangkan dengan pemberitahuan Surat Paksa diterbitkan oleh juru sita pajak dengan pernyataan dan penyerahaan salinan Surat Paksa kepada penanggung pajak, 95,1% responden merasa sesuai.

c. Faktor penagihan seketika dan sekaligus: Dengan penagihan seketika dan sekaligus penagihan pajak tidak menunggu tanggal jatuh tempo.

Nana Adriana (2012) telah melakukan penelitian mengenai efektivitas penagihan pajak dengan Surat Teguran dan Surat Paksa terhadap penerimaan pajak pada KPP Pratama Makassar Selatan. Teknik analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penagihan pajak dengan Surat Paksa di KPP Pratama Makassar Selatan tergolong tidak efektif baik ditinjau dari segi jumlah lembar maupun nilai nominal yang tertera dalam Surat Teguran dan Surat Paksa. Penyebab pencairan Surat Paksa tidak mencapai 100% antara lain


(50)

penanggung pajak tidak mengakui adanya utang pajak, penanggung pajak tidak mampu melunasi utang pajaknya, penanggung pajak mengajukan permohonan angsuran pembayaran karena kondisi keuangan tidak memungkinkan jika dibayarkan sekaligus, penanggung pajak mengajukan keberatan atas jumlah tunggakan pajaknya, dan penanggung pajak lalai.

Mala Rizkika Velayati (2012) juga telah melakukan penelitian mengenai analisis efektivitas dan kontribusi tindakan penagihan pajak aktif dengan Surat Teguran dan Surat Paksa sebagai upaya pencairan tunggakan pajak, dengan menggunakan teknik analisis deskriptif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penagihan pajak aktif dengan Surat Teguran di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Batu dari tahun 2010-2012 tergolong tidak efektif baik dilihat dari jumlah lembar maupun nilai nominal yang tertera dalam Surat Teguran. Penyebabnya antara lain Wajib Pajak lalai dalam melaksanakan kewajibannya untuk melunasi utang pajak, tidak mampu untuk melunasi utang pajak, dan tempat tinggal Wajib Pajak tidak dapat ditemui. Selain itu, penagihan pajak aktif dengan Surat Paksa di tahun 2010 dan 2012 termasuk kategori efektivitas yang tidak efektif, namun pada tahun 2011 tingkat efektivitasnya tergolong dalam kategori sangat efektif dalam hal nilai nominal maupun nilai yang tertera dalam Surat Paksa. Pencairan tunggakan pajak dengan Surat Paksa belum bisa tercapai sepenuhnya dikarenakan adakalanya Wajib Pajak mengajukan keberatan ataupun angsuran pembayaran atas utang pajak tersebut. Penelitian ini juga menunjukkan


(51)

kontribusi penagihan pajak aktif dengan Surat Teguran dan Surat Paksa di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Batu di tahun 2010-2012 tergolong dalam kriteria sangat kurang terhadap penerimaan pajak. Penagihan pajak aktif mempunyai tingkat kontribusi dengan persentase kurang dari 10%.

Agustinus Paseleng (2013) juga telah melakukan penelitian mengenai efektivitas penagihan pajak dengan Surat Teguran dan Surat Paksa terhadap penerimaan pajak penghasilan pada KPP Pratama Manado. Penelitian ini menggunakan teknik analisis statistik deskriptif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penagihan tunggakan pajak penghasilan dengan Surat Teguran dan Surat Paksa pada KPP Pratama manado berdasarkan pengujian dengan formula efektivitas dan klasifikasi pengukuran efektivitas, tergolong tidak efektif karena memiliki persentase efektivitas berada di bawah 60%. Hasil lain dari penelitian ini adalah dimana kontribusi penagihan pajak dengan Surat Teguran dan Surat Paksa terhadap penerimaan pajak penghasilan di KPP Pratama Manado tergolong sangat kurang karena rasio kontribusinya berada pada kisaran 0,00% s.d. 10 %.

Irigandi (2014) telah melakukan penelitian mengenai pengaruh penagihan pajak dengan Surat Paksa terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kayu Agung. Beliau menggunakan teknik analisis kuantitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara penagihan pajak dengan Surat Paksa terhadap pencairan tunggakan pajak.


(52)

Tabel 2.1

Ringkasan Penelitian Terdahulu

No. Peneliti

Variabel Dependen (Y) Variabel Independen (X)

Analisis Hasil

1. Pitnawati (2009) Pencairan Tunggakan Pajak Pelaksanaan Penagihan aktif (melalui Surat Teguran, Surat Paksa, Penagihan Seketika dan Sekaligus) Deskriptif Kualitatif Pelaksanaan penagihan aktif dalam pencairan tunggakan pajak dengan menggunakan Surat Teguran, Surat Paksa dan Penagihan Seketika dan Sekaligus pada KPP Pratama Jakarta Pasar Minggu tergolong efektif.

2. Nana Adriana (2012) Penerimaan Pajak Surat Teguran, Surat Paksa Deskriptif Komparatif

Penagihan pajak dengan di KPP Pratama Makassar Selatan tergolong tidak efektif baik ditinjau dari segi jumlah lembar maupun nilai nominal yang tertera dalam Surat Teguran dan Surat Paksa.

3. Mala Rizkika Velayati (2012) Pencairan Tunggakan Pajak Surat Teguran, Surat Paksa Deskriptif Komparatif

1. Penagihan pajak aktif dengan Surat Teguran di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Batu dari tahun 2010-2012 tergolong tidak efektif baik dilihat dari jumlah lembar maupun nilai nominal yang tertera

dalam Surat Teguran.

2. Penagihan pajak aktif dengan Surat


(53)

Paksa di tahun 2010 dan 2012 termasuk kategori efektivitas yang tidak efektif, namun pada tahun

2011 tingkat efektivitasnya

tergolong dalam kategori sangat efektif dalam hal nilai nominal maupun nilai yang tertera dalam Surat Paksa.

4. Agustinus Paseleng (2013) Penerimaan Pajak Penghasilan Surat Teguran, Surat Paksa Statistik Deskriptif

1. Penagihan tunggakan pajak penghasilan dengan Surat Teguran dan Surat Paksa pada KPP Pratama manado berdasarkan pengujian dengan formula efektivitas dan klasifikasi pengukuran efektivitas, tergolong tidak efektif karena memiliki persentase efektivitas berada di bawah 60%.

2. Kontribusi penagihan pajak dengan Surat Teguran dan Surat Paksa terhadap penerimaan pajak penghasilan di KPP Pratama Manado berdasarkan

pengujian dengan formula rasio penerimaan


(54)

klasifikasi kriteria kontribusi, tergolong sangat kurang.

5. Irigandi (2014)

Pencairan Tunggakan Pajak

Surat Paksa Deskriptif Kuantitatif

Terdapat pengaruh yang

signifikan antara penagihan pajak dengan

Surat Paksa terhadap pencairan tunggakan pajak.

Sumber: Berbagai Jurnal

2.6 Kerangka Konseptual

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual H0 H1 Surat Teguran (X1) Surat Paksa (X2)

Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP)

(X3)

Efektivitas Penagihan Pajak


(55)

2.7 Perumusan Hipotesis

Hipotesis Penelitian

H0 : Pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa dan Surat Pelaksanaan Melakukan Penyitaan (SPMP) secara simultan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap efektivitas penagihan pajak pada KPP Medan Kota pada periode 2012-2014.

H1 : Pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa dan Surat Pelaksanaan Melakukan Penyitaan (SPMP) secara simultan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap efektivitas penagihan pajak pada KPP Medan Kota pada periode 2012-2014.


(56)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitan dengan metode kuantitatif karena pengukuran variabel penelitian dengan angka dan melakukan analisis data dengan prosedur statistik (Erlina, 2011:12-14). Jenis penelitian adalah penelitian asosiatif dengan hubungan kausal karena merupakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh ataupun juga hubungan antara dua variabel atau lebih dan mempunyai hubungan yang bersifat sebab-akibat antara satu variabel (independen) mempengaruhi variabel yang lain (dependen).

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Medan Kota, Medan, Sumatera Utara. Waktu penelitian dimulai dari bulan April 2015 sampai dengan penelitian skripsi ini diselesaikan.

3.3 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah menjelaskan karakter dari obyek ke dalam elemen yang dapat diobservasi yang menyebabkan konsep dapat diukur dan dioperasikan ke dalam penelitian (Erlina, 2011:48). Dengan definisi operasional, peneliti dapat mengumpulkan, mengukur, atau menghitung informasi melalui logika empiris.


(57)

3.4 Pengukuran Variabel

3.4.1 Variabel Dependen dan Variabel Independen

Variabel dependen atau variabel terikat merupakan variabel yang tidak bebas, menjadi perhatian utama dalam sebuah pengamatan, dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel independen (Erlina, 2011:36) sedangkanvariabel independen atau variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi variabel dependen atau penyebab variasi bagi variabel dependen (Erlina, 2011:37).

Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu, “Analisis Pengaruh Surat Teguran, Surat Paksa Dan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) Terhadap Efektvitas Penagihan Pajak (Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan Pajak Medan Kota)” maka variabel dependen dalam penelitian ini adalah efektivitas penagihan pajak sedangkan variabel independen dari penelitian ini adalah Surat Teguran, Surat Paksa dan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP).

3.5 Populasi dan Sampel

Populasi adalah sekelompok entitas yang lengkap yang dapat berupa orang, kejadian, atau benda yang mempunyai karakteristik tertentu, yang berada dalam suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu yang berkaitan dengan masalah penelitian (Erlina, 2011: 80).


(58)

Populasi pada penelitian ini adalah data sekunder berupa jumlah Surat Teguran, Surat Paksa, serta Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Medan Kota yang ditujukan baik kepada Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT), Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT), maupun Wajib Pajak Badan atas PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 25, PPh Pasal 26, PPh Final (4 ayat 2), PPh Pasal 15, PPN, PPnBM, serta PBB.

Sampel adalah bagian populasi yang digunakan untuk memperkirakan karakteristik populasi. Teknik penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan metode purposive sampling. Menurut Jogiyanto (2004: 79) dalam Edginarda (2012) pengambilan sampel menggunakan metode

purposive sampling dilakukan dengan mengambil sampel dari populasi

berdasarkan suatu kriteria tertentu. Kriteria yang digunakan dapat berdasarkan pertimbangan (judgement) tertentu atau jatah (quota) tertentu. Adapun kriteria yang ditetapkan oleh penulis adalah sebagai berikut:

Surat Teguran, Surat Paksa, serta Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan yang diterbitkan oleh KPP Medan Kota pada periode tahun 2012 – 2014 untuk menagih pajak baik WP Badan maupun WP Orang Pribadi ; termasuk juga:


(59)

- Surat Teguran yang diterbitkan per tanggal 31 Desember 2014 yang mampu menagih pajak sampai pada tanggal 21 Januari 2015.

- Surat Paksa yang diterbitkan per tanggal 31 Desember 2014 yang mampu menagih pajak sampai pada 2 x 24 jam setelah surat tersebut diterbitkan.

- Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP) yang diterbitkan per tanggal 31 Desember 2014 disertai tindakan penyitaan pada tanggal tersebut.

Secara ringkas populasi dan sampel dapat dilihat lebih lanjut pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1

Populasi Kriteria Sampel

Surat Teguran, Surat Paksa, dan SPMP yang diterbitkan KPP Medan Kota dan ditujukan baik kepada WP Badan maupun WP Orang Pribadi.

Surat Teguran, Surat Paksa, dan SPMP yang diterbitkan oleh KPP Medan Kota pada periode tahun 2012 – 2014 termasuk:

- Surat Teguran per tanggal 31 Desember 2014 yang mampu menagih pajak sampai

Surat Teguran, Surat Paksa, dan SPMP yang diterbitkan KPP Medan Kota periode 2012 –2014 dengan penambahan cut

off yang disesuaikan dengan kemampuan ketiga jenis surat dalam menagih pajak.


(60)

pada tanggal 21 Januari 2015.

- Surat Paksa per tanggal 31 Desember 2014 yang mampu menagih pajak sampai pada 2 x 24 jam dari surat tersebut diterbitkan. - SPMP per tanggal 31

Desember 2014 disertai tindakan penyitaan pada tanggal tersebut.

3.6 Metode Pengumpulan Data

3.6.1 Metode Telaah Kepustakaan

Tahap awal dari penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data Studi Kepustakaan (Library Research) untuk memperoleh data sekunder berupa landasan teori yang berkaitan dengan penelitian ini. Pengumpulan data Studi Kepustakaan (Library Research) dilakukan dengan cara mempelajari literatur berupa buku-buku yang berhubungan dengan


(61)

pajak, artikel perpajakan, jurnal perpajakan, peraturan perundang-undangan perpajakan, dan bahan lain seperti surat kabar, internet serta media massa yang memiliki relevansi dengan penelitian yang akan dilakukan.

3.6.2 Metode Dokumentasi

Metode ini dilakukan untuk memperoleh data, mempelajari serta menggunakan catatan-catatan yang tersusun dalam arsip Penagihan pada KPP Medan Kota yang berkaitan dengan penelitian meliputi laporan penagihan aktif berupa laporan penyampaian Surat Teguran, Surat Paksa, Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) dan laporan pencairan tunggakan pajak pada KPP Medan Kota periode 2012 – 2014 atas PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 25, PPh Pasal 26, PPh Final (4 ayat 2), PPh Pasal 15, PPN, PPnBM, serta PBB yang ditujukan baik kepada WP Badan maupun WP Orang Pribadi.

3.7 Metode Analisis

3.7.1 Uji Asumsi Klasik

3.7.1.1 Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi, variabel dependen, variabel independen, ataupun keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak dengan menggunakan P-Plot. Model regresi yang baik adalah distribusi data normal atau mendekati normal. Deteksi normalitas dengan melihat rasio antara Skewness dengan Standart


(62)

Error of Skewness atau bisa juga dengan melihat rasio antara Kurtosis dengan Standart Error of Kurtosis. Ukuran yang digunakan yaitu apabila nilai rasio

berada pada rentangan antara -2 sampai dengan 2 maka dapat dikatakan bahwa variabel yang diteliti terdistribusi secara normal.

3.7.1.2 Uji Multikolinieritas

Menurut Erlina (2011:103) multikolinearitas adalah keadaan dimana terdapat hubungan linear atau korelasi antara masing-masing variabel independen dalam model regresi. Adanya hubungan yang linier antarvariabel independen akan menimbulkan kesulitan dalam memisahkan pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependennya. Oleh karena itu kita harus benar-benar dapat menyatakan, bahwa tidak terjadi adanya hubungan linier diantara variabel-variabel independen tersebut.

Penilaian uji multikolinearitas dapat menggunakan koefisien signifikansi yang dibandingkan dengan nilai alpha yang ditetapkan dalam penelitian. Output harga koefisien significance dapat dipilih salah satu yaitu uji dua sisi (two tailed) atau satu sisi (one tailed). Apabila koefisien signifikansi lebih besar daripada alpha maka tidak terjadi multikolinearitas diantara variabel independen yang satu dengan lainnya.

3.7.1.3 Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah variasi residual absolut sama atau tidak sama untuk semua pengamatan atau dengan kata lain uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel


(63)

pengganggu di dalam penelitian mempunyai varian yang sama atau tidak. Jika

variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka

disebut homokedastisitas dan jika berbeda disebut heterokedastisitas. Model regresi yang baik adalah homokedastisitas atau tidak terjadi heterokedastisitas.

Uji heterokedastisitas dapat menggunakan koefisien signifikansi (probabilitas). Output harga koefisien significance dapat dipilih salah satu yaitu uji dua sisi (two tailed) atau satu sisi (one tailed). Koefisien signifikansi nilai probabilitas harus dibandingkan dengan tingkat alpha yang ditetapkan dalam penelitian (peneliti menetapkan alpha 5%). Apabila koefisien signifikansi lebih besar daripada alpha maka tidak terjadi heterokedastisitas pada data.

3.7.1.4 Autokorelasi

Autokorelasi merupakan suatu kondisi di mana terdapat korelasi atau hubungan antar pengamatan atau observasi, baik itu dalam bentuk observasi deret waktu atau observasi cross-section. Jika terdapat autokorelasi dalam sebuah penelitian maka varians tidak minimum dan uji-t tidak dapat digunakan karena dapat memberikan kesimpulan yang salah.

Salah satu cara yang digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi adalah dengan Uji Durbin Watson (DW Test). Pengambilan keputusan ada tidaknya autokorelasi adalah:


(64)

Jika hipotesis nol (H0) menyatakan bahwa tidak ada serial autokorelasi yang positif, maka:

1. d < dl : Menolak H0 2. d > dl : Tidak menolak H0

3. dl ≤ d ≤ du: Pengujian tidak meyakinkan

3.7.2 Uji Hipotesis

3.7.2.1 Analisis Regresi Linier Berganda

Metode analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis dari penelitian ini adalah metode regresi linier berganda, yaitu metode analisis data yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel indepeden terhadap variabel dependennya yang dilakukan baik secara kuantitatif dengan bantuan statistik. Adapun rumus persamaan regresinya adalah sebagai berikut:

Y = a + b1x1 + b2x2 + b3x3 + e

Keterangan:

Y = Variabel Dependen ( Efektivitas Penagihan Pajak )

x1 = Variabel Independen ( Surat Teguran ) x2 = Variabel Independen ( Surat Paksa )

x3 = Variabel Independen ( Surat Perintah Melakukan Penyitaan )


(65)

e = Error yang ditolerir ( 5% ) b1,b2,b3 = Koefisien regresi

3.7.2.2 Uji Koefisien Determinasi (R2)

Untuk menguji seberapa jauh kemampuan model penelitian dalam menerangkan variabel dependen (goodness- fit), yaitu dengan menghitung koefisien determinasi (adjusted R2). Semakin besar adjusted R2 suatu variabel independen, maka menunjukkan semakin dominan pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Nilai R2 yang telah disesuaikan adalah antara nol dan sampai dengan satu. Nilai adjusted R2 yang mendekati satu berarti kemampuan variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variabel dependen. Nilai adjusted R2 yang kecil atau dibawah 0,5 berarti kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variabel-variabel dependen sangat kecil. Apabila terdapat nilai adjusted R2 bernilai negatif, maka dianggap bernilai nol.

3.7.2.3 Uji Signifikansi Simultan (Uji F)

Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel independen yang dimaksud dalam penelitian secara simultan merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel dependen. Pengujian dilakukan

dengan level signifikansi 0,05 atau α = 5%. Pengambilan keputusan dilakukan


(66)

a. Jika nilai F hitung < F tabel, maka berarti bahwa secara simultan variabel independen bukan merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel dependen.

b. Jika nilai F hitung > F tabel, maka koefisien regresi bersifat signifikan, dan secara simultan variabel independen merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel dependen.


(67)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1Gambaran Umum Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota

4.1.1 Sejarah Singkat Berdirinya KPP Pratama Medan Kota

Kantor Pelayanan Pajak pada masa penjajahan belanda bernama

Belasting, yang kemudian berubah setelah kemerdekaan Republik Indonesia

menjadi Kantor Inspeksi Keuangan. Kemudian berubah lagi menjadi Kantor Inspeksi Pajak dengan induk organisasinya adalah Direktorat Jenderal Pajak. Di Sumatera Utara pada tahun 1976 berdiri tiga kantor inspeksi pajak, yaitu: 1. Kantor Inspeksi Pajak Medan Selatan

2. Kantor Inspeksi Pajak Medan Utara 3. Kantor Inspeksi Pajak Pematang Siantar

Pada tahun 1978 Kantor Inspeksi Pajak Medan Selatan dipecah menjadi dua, yaitu Kantor Inspeksi Pajak Medan Selatan dan Kantor Inspeksi Pajak Kisaran. Untuk memudahkan dan meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, dan dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin cepat, maka didirikanlah Kantor Inspeksi Pajak Medan Timur. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan pajak kepada masyarakat, maka dibuatlah perubahan secara menyeluruh pada Direktorat Jenderal Pajak yang berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 267/KMK.01/1989. Hal itu mencakup reorganisasi Kantor Inspeksi Pajak


(68)

yang diganti nama menjadi Kantor Pelayanan Pajak, sekaligus mendirikan Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan. Berdasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 758/KMK.01/1993 tertanggal 3 Agustus 1993, maka pada tanggal 1 April 1994 didirikanlah Kantor Pelayanan Pajak Medan Timur. Kantor Pelayanan Pajak Medan Timur merupakan pecahan dari tiga Kantor Pelayanan Pajak, yaitu:

1. Kantor Pelayanan Pajak Medan Selatan 2. Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat 3. Kantor Pelayanan Pajak Medan Utara

Terhitung mulai tanggal 1 April 1994, Kantor Pelayanan Pajak di kota Medan berubah menjadi empat wilayah kerja, yaitu:

1. Kantor Pelayanan Pajak Medan Timur 2. Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat 3. Kantor Pelayanan Pajak Medan Utara 4. Kantor Pelayanan Pajak Medan Binjai

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 443/KMK.01/2001 tentang “Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak”, maka Kantor Pelayanan Pajak di kota Medan menjadi enam wilayah kerja,yaitu:

1. Kantor Pelayanan Pajak Medan Timur, dengan ruang lingkup meliputi wilayah :


(69)

b. Kecamatan Medan Tembung c. Kecamatan Medan Perjuangan

2. Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat, dengan ruang lingkup meliputi wilayah :

a. Kecamatan Medan Barat b. Kecamatan Medan Sunggal c. Kecamatan Medan Petisah d. Kecamatan Medan Helvetia

3. Kantor Pelayanan Pajak Medan Kota, dengan ruang lingkup meliputi wilayah :

a. Kecamatan Medan Kota b. Kecamatan Medan Denai c. Kecamatan Medan Johor d. Kecamatan Medan Amplas e. Kecamatan Medan Area

4. Kantor Pelayanan Pajak Medan Polonia, dengan ruang lingkup meliputi wilayah :

a. Kecamatan Medan Polonia b. Kecamatan Medan Maimun c. Kecamatan Medan Baru d. Kecamatan Medan Tuntungan e. Kecamatan Medan Selayang


(70)

5. Kantor Pelayanan Pajak Medan Belawan, dengan ruang lingkup meliputi wilayah :

a. Kecamatan Medan Belawan b. Kecamatan Medan Marelan c. Kecamatan Medan Labuhan d. Kecamatan Medan Deli

6. Kantor Pelayanan Pajak Medan Binjai, dengan ruang lingkup meliputi wilayah :

a. Kota Binjai

b. Kabupaten Langkat

KPP Medan Kota adalah institusi pemerintah yang mempunyai tugas pokok dalam menyelenggarakan urusan perpajakan. KPP Pratama Medan Kota berada di gedung Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah SUMUT I lantai III di jalan sukamulia no. 17 A Medan. Adapun sejarah singkat dari KPP Pratama Medan Kota sebagai berikut:

1. KPP Medan Kota merupakan pecahan dari KPP Medan Timur yang berdasarkan:

a. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor b. 443/KMKK/01/2001 tanggal 23 Juli 2001

c. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 58/KMK/01/2002 tanggal 26 februari 2002


(71)

Berdasarkan penjelasan sejarah KPP Medan Kota, KPP Medan Kota berganti nama menjadi KPP Pratama Medan Kota pada tanggal 27 Mei 2008 sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 131/PMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan yang telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 54/PMK.01/2007 dan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 132/PMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana telah di ubah dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor: 67/PMK.01/2008.

4.1.2 Visi Dan Misi KPP Pratama Medan Kota

Peningkatan kepatuhan wajib pajak di KPP Pratama Medan Kota merupakan tujuan KPP Pratama Medan Kota untuk peningkatan penerimaan pajak di KPP Pratama Medan Kota. Peningkatan kepatuhan wajib pajak tersebut, maka Direktorat Jenderal Pajak telah mencanangkan visi dan misi sebagai pedoman bagi setiap Kantor Pelayanan Pajak.

Adapun visi dan misi tersebut sebagai berikut: VISI

“Menjadi institusi pemerintah yang menyelenggarakan sistem administrasi perpajakan modern yang efektif, efisien, dan dipercaya masyarakat dengan integritas dan profesionalisme yang tinggi.”


(72)

MISI

“Menghimpun penerimaan dalam negeri dari sektor pajak yang mampu menunjang kemandirian pembiayaan pemerintah berdasarkan undang-undang perpajakan dengan tingkat efektivitas dan efisiensi yang tinggi.”

4.1.3 Struktur Organisasi KPP Pratama Medan Kota

Struktur organisasi yang digunakan KPP Pratama Medan Kota adalah struktur organisasi lini (garis) dan staf yang berada di bawah koordinasi Kepala Kantor Wilayah 1 Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Bagian Utara.Seluruh Pegawai dalam lingkungan KPP Pratama Medan Kota adalah Pegawai Negeri Sipil yang seluruhnya ada di bawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia.

Adapun struktur organisasi KPP Pratama Medan Kota tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pimpinan yaitu Kepala Kantor

b. Pembantu Pimpinan yaitu Kepala Sub Bagian Umum c. Pelaksana yaitu sejumlah Kepala Seksi, yang terdiri dari:

1. Kasi Ekstensifikasi

2. Kasi Pengolahan Data dan Informasi (Kasi PDI) 3. Kasi Pelayanan

4. Kasi Pengawasan dan Konsultasi I (Kasi Waskon I) 5. Kasi Pengawasan dan Konsultasi II (Kasi Waskon II) 6. Kasi Pengawasan dan Konsultasi III (Kasi Waskon III)


(73)

7. Kasi Pengawasan dan Konsultasi IV (Kasi Waskon IV) 8. Kasi Pemeriksaan

9. Kasi Penagihan

d. Kelompok Jabatan Fungsional, terdiri dari: 1. Supervisor I

2. Supervisor II 3. Supervisor III 4. Supervisor IV

Sesuai dengan informasi di atas, struktur organisasi KPP Pratama Medan Kota dapat dibuatkan bagan seperti pada Gambar 4.1 berikut:

Gambar 4.1

Bagan Struktur Organisasi KPP Pratama Medan Kota

Kepala Kantor Subbagian Umum Seksi Pengolahan Data Dan Informasi Seksi Penagihan Seksi Pemeriksaan Seksi Waskon*) Seksi Pelayanan Kelompok Jabatan Fungsional Pemeriksa Pemeriksa Pemeriksa Pemeriksa Supervisor IV Supervisor III Supervisor II Supervisor I


(1)

merupakan jumlah variabel independen yaitu 3 dan n pada penelitian ini adalah 12, maka F tabel adalah 4,26.

F hitung yang bernilai sebesar 10,291 lebih besar daripada F tabel yang bernilai 4,26 , sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga variabel yaitu ST, SP dan SPMP memiliki pengaruh yang signifikan terhadap EPP.


(2)

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian dari bab-bab sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan

berdasarkan penelitian Analisis Pengaruh Surat Teguran, Surat Paksa dan Surat

Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) Terhadap Efektvitas Penagihan Pajak Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan Pajak Medan Kota adapun kesimpulan itu ialah sebagai berikut:

1. Penagihan pajak aktif menggunakan Surat Teguran, Surat Paksa dan Surat

Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) merupakan upaya yang dilakukan untuk mencairkan tunggakan pajak yang akan membantu pemerintah dalam belanja negara. Prosedur penagihan ini dimulai dari tujuh hari sejak tanggal jatuh tempo lalu diterbitkan Surat Teguran, dan jika dalam 21 hari kemudian utang pajak masih belum dilunasi oleh Wajib Pajak akan dilanjutkan dengan penyampaian Surat Paksa yang memberi Wajib Pajak waktu 2 x 24 jam untuk melunasi utang pajaknya. Prosedur berikutnya jika utang pajak masih belum dilunasi ialah penyampaian SPMP dimana dapat dilakukan penyitaan aset milik Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya.

2. Hasil uji hipotesis koefisien determinasi (R2) menunjukkan bahwa nilai adjusted R2 adalah 0,717 dimana ketentuan penilaian 0,717 berada pada rentang 0,60 - 0,799 yang berarti pengaruh ketiga variabel signifikan dan


(3)

termasuk kuat maka dapat disimpulkan bahwa H0 diterima, dimana Surat Teguran, Surat Paksa dan Surat Perintah Melaukan Penyitaan (SPMP) memiliki pengaruh signifikan yang kuat terhadap Efektivitas Penagihan Pajak.

3. Hasil uji hipotesis simultan F menunjukkan bahwa nilai F hitung adalah 10,291. Sedangkan F tabel yang diperoleh adalah 4,26. F hitung yang bernilai sebesar 10,291 lebih besar daripada F tabel yang bernilai 4,26 , sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 diterima, dimana Surat Teguran, Surat Paksa dan Surat Perintah Melaukan Penyitaan (SPMP) memiliki pengaruh signifikan yang kuat terhadap Efektivitas Penagihan Pajak.

4. Terdapat hambatan yang berakibatkan munculnya kondisi tidak tercapainya realisasi secara maksimal dari pencairan utang pajak jika dibandingkan dengan nominal utang pajaknya yang berasal baik dari luar (eksternal) KPP Medan Kota, dari peraturan perundang-undangan perpajakan, serta dari dalam (internal) KPP Medan Kota.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan, maka penulis akan mencoba memberikan saran yang mungkin akan dapat dipakai sebagai masukan untuk pihak-pihak yang terkait, yaitu:

1. Perlunya peningkatan frekuensi diadakannya sosialisasi mengenai Undang-Undang Pajak dan pentingnya membayar pajak serta manfaat yang diperoleh


(4)

dengan membayar pajak kepada Wajib Pajak guna menunjang kesadaran membayar pajak serta kerja sama yang baik antara Wajib Pajak dengan fiskus.

2. Direktorat Jenderal Pajak ada baiknya menaruh perhatian lebih pada Seksi Penagihan mungkin dengan menambah jumlah jurusita atau memikirkan dan mengimplementasikan strategi-strategi penagihan pajak baru sehingga pencairan tunggakan pajak akan lebih efektif di tahun yang akan datang.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Anthony, Robert N., Vijay Govindarajan, 2005. Management Control System. Jakarta: Salemba Empat.

Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan Republik Indonesa. Pedoman Penagihan Pajak.

Erlina, 2011. Metodologi Penelitian. Medan: USU Press.

Erwis, Nana Adriana, 2012. Efektivitas Penagihan Pajak Dengan Surat Teguran dan Surat Paksa Terhadap Penerimaan Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Makassar Selatan. Jurnal Akuntansi. Universitas Hassanudin Makassar.

Ghozali, Imam, 2005. Aplikasi Analisis Multivariative dengan SPSS. Semarang: BP UNDIP.

Irigandi. 2014. Pengaruh Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Terhadap Pencairan Tunggakan Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kayu Agung. Skripsi. Fakultas Ekonomi Tridinanti Palembang.

Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, 2014. Buku Petunjuk Teknis Penulisan Proposal Penelitian dan Penulisan Skripsi. Medan. Paseleng, Agustinus., Agus T. Poputra, Steven J. Tangkuman, 2013. Efektivitas

Penagihan Pajak dengan Surat Teguran dan Surat Paksa Terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Manado. Jurnal Akuntansi. Universitas Sam Ratulangi Manado.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 68/PMK.03/2010 sebagaimana telah diubah dengan PMK Nomor: 197/PMK.03/2013 tentang Batasan Pengusaha Kecil

Pitnawati, 2009. Efektivitas Pelaksanaan Penagihan Aktif Dalam Pencairan Tunggakan Pajak Pada KPP Pasar Minggu. Jurnal Akuntansi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Suandy, Erly, 2011. Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat.

Tampubolon, Karianton, 2013. Praktek, Gugatan, dan Kasus-Kasus Pemeriksaan Pajak. Jakarta Barat: Indeks.


(6)

Undang-undang pasal 18 ayat 1 UU No. 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan UU No.9 tahun 1994 dan UU No. 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.

Undang-Undang Nomor 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2000.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Velayati, Mala Rizkika., Siti Ragil Handayani, Achmad Husaini, 2013. Analisis Efektivitas dan Kontribusi Tindakan Penagihan Pajak Aktif dengan Surat Teguran dan Surat Paksa Sebagai Upaya Pencairan Tunggakan Pajak. Jurnal Administrasi Bisnis. Universitas Brawijaya.