44
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Jagung merupakan salah satu komoditas yang giat dibudidayakan akhir- akhir ini dalam rangka mendukung program diversifikasi pangan. Produksi
jagung nasional semakin meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2006, diperkirakan produksi jagung nasional mencapai 12 juta ton Badan Pusat
Stastitik, 2006. Peningkatan produksi jagung di Indonesia didukung oleh program pemerintah berupa ”Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
RPPK” yang telah dicanangkan oleh Presiden RI tanggal 11 Juni 2005 di Jatiluhur, Jawa Barat. Program RPPK tersebut memfokuskan pada
peningkatan kapasitas produksi nasional untuk lima komoditas pangan strategis, yaitu padi, jagung, kedelai, tebu dan daging sapi Balai Penelitian
dan Pengembangan Departemen Pertanian, 2005. Arah pengembangan dan
sasaran komoditas pangan selama periode 2005-2010 untuk jagung adalah menuju swasembada pada tahun 2007 dan daya saing ekspor pada tahun 2008.
Jagung mampu tumbuh di semua daerah di Indonesia. Terbukti dari data Badan Pusat Stastitik 2006 yang menunjukkan semua propinsi di Indonesia
menanam jagung dengan kapasitas produksi yang beragam. Tujuh propinsi penghasil utama jagung di Indonesia adalah Jawa Timur, Jawa Tengah,
Lampung, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Jawa Barat Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, 2005
dan Badan Pusat Stastitik, 2006. Pangsa areal panen dari ketujuh propinsi tersebut
mencapai 84,43 persen dari total areal panen jagung nasional, sementara pangsa produksinya mencapai 87,80 persen dari total produksi jagung nasional
Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, 2005. Namun, pengembangan pengolahan pasca panen jagung di beberapa
wilayah di Indonesia mengalami kendala cuaca. Hambatan cuaca tersebut sangat berpengaruh pada penanganan pasca panen produk–produk asal jagung.
Penanganan pasca panen yang umum dilakukan adalah jagung dibiarkan mengering di ladang hingga kadar air tertentu 20 – 25 sehingga menjadi
jagung kering panen. Kemudian, jagung kering panen dipipil dan dikeringkan
45 hingga memiliki kadar air 14. Jagung yang dihasilkan dari proses
pengeringan disebut jagung kering pipil yang selanjutnya didistribusikan sesuai permintaan. Kondisi cuaca, terutama curah hujan di beberapa wilayah
di Indonesia terkadang tidak memungkinkan untuk mengeringkan jagung sampai kadar air yang diinginkan 14. Pengeringan yang tidak dilakukan
sesegera mungkin dan kurang optimum dapat meningkatkan potensi kontaminasi aflatoksin. Menurut Badan Ketahanan Pangan propinsi Jawa
Timur 2005, kadar aflatoksin di beberapa daerah seperti Malang, Tuban, Kediri dan Sumenep dapat mencapai lebih dari 35 ppb sedangkan batas
maksimum aflatoksin yang diperbolehkan adalah 20 ppb. Kondisi ini akan menurunkan daya jual jagung tersebut. Jagung dengan kadar aflatoksin tinggi
akan ditolak oleh konsumen baik industri pangan maupun pakan. Data dari Anonim
a
2006 menunjukkan curah hujan tinggi 250-300 mmbulan terjadi di Sumatra bagian selatan, Jawa, Kalimantan bagian barat,
tengah dan selatan, Sulawesi bagian tengah hingga selatan dan Papua. Curah hujan sedang 200-250 mmbulan terjadi di Sumatra bagian tengah,
Kalimantan bagian timur, sebagian Sulawesi bagian tengah, Kepulauan Maluku, NTT Nusa Tenggara Timur dan NTB Nusa Tenggara Barat.
Curah hujan rendah 150-200 mmbulan terjadi di NAD Nanggroe Aceh Darussalam dan sebagian Sumatra bagian utara. Curah hujan tinggi maupun
sedang di beberapa sentra penghasil jagung tentu perlu mendapat perhatian lebih, mengingat jagung yang dihasilkan jagung kering pipil merupakan
suplai untuk industri – industri berbahan baku jagung. Kendala cuaca ini dapat diatasi dengan infrastruktur jalan yang memadai sehingga menjamin
transportasi dan distribusi jagung. Namun, tidak semua sentra penghasil jagung memiliki infrastruktur yang mendukung hal tersebut. Hardinsyah et al.,
2003 menyebutkan beberapa wilayah di Gorontalo mengalami masalah transportasi, sedangkan beberapa daerah di NTT Nusa Tenggara Timur
mengalami kendala cuaca. Kendala–kendala yang dihadapi petani jagung pada saat pasca panen menyebabkan jagung yang dihasilkan tidak dapat segera
dipasarkan. Jagung ini harus tertahan di kantung–kantung penghasilnya dengan kondisi penyimpanan yang kurang memadai.
46 Solusi yang dapat diterapkan untuk masalah transportasi adalah dengan
membangun infrastruktur jalan yang memadai sehingga memperlancar distribusi. Namun, diperlukan pendekatan lain untuk menyelesaikan kendala
cuaca. Salah satu pendekatan yang bisa dilakukan adalah melalui pendekatan teknologi pangan. Inovasi teknologi yang bisa dilakukan antara lain dengan
mengolah jagung yang baru dipanen menjadi produk lain yang memiliki nilai guna atau bahkan nilai ekonomis lebih tinggi. Pengolahan tersebut harus
dilakukan secara in situ. Artinya, pengolahan tersebut dilakukan di sekitar sentra penghasil jagung, dan dilakukan oleh masyarakat sendiri. Hasil olahan
tersebut bisa dikonsumsi sendiri oleh masyarakat atau bisa juga dijual jika memungkinkan. Kondisi ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan
masyarakat akan beras sehingga dapat meningkatkan ketahanan pangan Indonesia.
Produk pangan olahan jagung yang cukup berpotensi untuk dikembangkan adalah mi. Hasil kajian preferensi konsumen terhadap produk
pangan non beras, menunjukkan bahwa mi merupakan produk pangan yang paling sering dikonsumsi oleh sebagian besar konsumen baik sebagai makanan
sarapan maupun sebagai selingan Hardinsyah, et. al., 2003 dan Juniawati, 2003. Lebih lanjut hasil penelitian yang dilakukan oleh Juniawati 2003 dan
Budiyah 2005 menunjukkan bahwa jagung dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku mi. Pengolahan jagung kering panen menjadi mi basah dapat
mengatasi kendala cuaca pada proses pasca panen jagung, meningkatkan nilai tambah produk pangan asal jagung serta dapat menjadi salah satu komoditi
pangan alternatif pengganti beras. B. Tujuan Dan Sasaran
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan formula dan rancangan proses pembuatan mi basah jagung dari Jagung Srikandi kering panen.
47
C. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah mendapatkan formula dan proses pembuatan mi basah jagung yang dapat diterapkan di masyarakat di daerah
terpencil yang banyak menghasilkan jagung namun mengalami kesulitan untuk memasarkan hasil panennya.
48
II. TINJAUAN PUSTAKA A. JAGUNG