Penentuan Desain Proses dan Formulasi Optimal Pembuatan Mi Jagung Basah Berbahan Dasar Pati Jagung dan Corn Gluten Meal (CGM)

(1)

SKRIPSI

PENENTUAN DESAIN PROSES DAN FORMULASI OPTIMAL PEMBUATAN MI JAGUNG BASAH BERBAHAN DASAR PATI JAGUNG

DAN CORN GLUTEN MEAL (CGM)

Oleh :

ROHANA DWI KURNIAWATI F 24102014

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PENENTUAN DESAIN PROSES DAN FORMULASI OPTIMAL PEMBUATAN MI JAGUNG BASAH BERBAHAN DASAR PATI JAGUNG

DAN CORN GLUTEN MEAL (CGM)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

ROHANA DWI KURNIAWATI F 24102014

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENENTUAN DESAIN PROSES DAN FORMULASI OPTIMAL PEMBUATAN MI JAGUNG BASAH BERBAHAN DASAR PATI JAGUNG

DAN CORN GLUTEN MEAL (CGM)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

ROHANA DWI KURNIAWATI F 24102014

Dilahirkan pada tanggal 14 April 1984 Di Madiun

Tanggal lulus:... Menyetujui,

Bogor, September 2006

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ir. Sutrisno Koswara, MSc. Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen


(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirromanirrohim,

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT, karena hanya berkat rahmat, berkah, dan hidayah-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir, dengan judul: Penentuan Desain Proses dan Formulasi Optimal Pembuatan Mi Jagung Basah Berbahan Dasar Pati Jagung Dan Corn Gluten Meal (CGM). Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad, SAW.

Penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu selama penulis menempuh pendidikan di IPB khususnya dalam penyusunan tugas akhir ini. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis baik dari segi moral maupun material Pihak-pihak tersebut antara lain:

1. Bapak Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. selaku dosen pembimbing I atas bimbingan, wawasan, motivasi dan dukungan yang selalu diberikan kepada penulis.

2. Bapak Ir. Sutrisno Koswara, MSc., selaku dosen pembimbing II atas arahan, bimbingan, dan bantuannya kepada penulis.

3. Bapak Dr. Sukarno, atas kesediannya meluangkan waktu untuk menjadi dosen penguji penulis.

4. Ibunda tercinta, terimakasih atas doa, kepercayaan, dan kasih sayang yang senantiasa tercurahkan tiada henti kepada penulis.

5. Kakak penulis (Rukmi Nur Wijayanti), terimakasih atas masukan dan dorongan semangatnya.

6. Seluruh dosen dan staf Departemen Teknologi Pangan dan Gizi yang telah memberikan ilmu dan mendukung kemajuan penulis.

7. Ibu Rubiyah, Teh Ida, , Pak Sobirin, Pak Gatot, Pak Wahid , Pak Rozak, Mbak Ari, Pak Koko, Pak Sidiq, Pak Iyas, Pak Nur dan seluruh teknisi Lab. yang telah banyak membantu penulis.


(5)

9. Teman-teman sebimbingan sekaligus seperjuangan penelitian: Nisa (makasih banget masukan-masukannya, keep on movin’), Bobby, terimakasih telah menjadi orang-orang yang paling bisa diandalkan, Ari Fahmi, terimakasih atas bantuannya.

10. Kakak-kakak kelas tersayang Kak Hendri, Mbak Okta, Mbak Irus, Kak Udin terimakasih atas masukan, saran dan bantuannya.

11. Rury, Ririn, Rizki, Nisa, terimakasih telah berbagi keceriaan, dan kenangan. Apapun, dimanapun, kapanpun, dan bagaimanapun kita di masa datang semoga persahabatan tetap terjalin.

12. Jasminers tersayang : Isyana, Ririn, Ucil, Nurul, eRLin, Mbak Ningsih, Dhani, Dian, Rita. Trima kasih atas kebersamaannya selama ini.

13. Teman-teman gol A: Mus, Herold, Iqbal, Nisvi, Fajar, Inda, Christ, Tina, Endang, Tintin, Julia, Ami’, Dadik, Ari, Didin, Novi, Mangi, Olga, Dhenok, Reza, Papang, special thx to A3 : Zulkipli, Heru, dan Rahmat .... senang bekerjasama dengan kalian.

14. United colour of TPG 39: alin, manto, susan, evrin, qco, rury, ajeng, desma, astri, arif, tono, evi, ijal, fafa, eko, jay, marlyn, anita, nea, hani, vivi, apong, andreas, dedi, kiki, samsul, fahrul, yoga, ulik, putra, yudhan, yayah, maya, farah, feni, karen, steisi, hanif, irwan, eva, prasna, bekti, sari, rina, ribka, hana, molid, gumi, rikza, risky, ina, tisha, elvina, nene’, nuy, beta, randy, kinoy, dian k s, vero, meilin, kanyaka, inal , dikres, dora, nanda, pretty, shinta, hanSib, risna, woro, stut, arvi, inggrid, ratry, yeye’... terimakasih telah berbagikenangan yang indah

selama diTPG.

15. Teman-teman se TPG (angk. 38, 40, 41), dan se IPB thanks for the memories. Semoga tali silaturahmi kita tetap terjaga.

16. Teman-teman IMPATA. Thanks for make me feel like home di Bogor ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, oleh sebab itu masukan dan kritik yang membangun selalu penulis tunggu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, September 2006


(6)

Rohana Dwi Kurniawati. F24102014. Penentuan Desain Proses dan Formulasi Optimal Pembuatan Mi Jagung Basah Berbahan Dasar Pati Jagung dan Corn

Gluten Meal (CGM). Dibawah Bimbingan Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. dan Ir. Sutrisno Koswara, MSc.

RINGKASAN

Produk pangan berbasis jagung sangat berpotensi untuk dikembangkan untuk mendukung program pemerintah yang mencanangkan swasembada jagung pada tahun 2007. Diversifikasi produk pangan berbahan dasar jagung diharapkan dapat menambah alternatif pengembangan industri pangan berbasis jagung. Menurut Juniawati (2003) produk mi jagung sangat berpotensi untuk dikembangkan, mengingat produk mi merupakan komoditi yang sudah cukup dikenal masyarakat. Pengembangan mi basah dengan bahan utama pati jagung dilakukan untuk memberi alternatif bahan baku yang bisa digunakan dalam pembuatan mi basah yang aman.

Bahan baku yang digunakan adalah pati jagung, corn gluten meal (CGM), pati kacang hijau, CMC, guar gum, garam, baking powder, dan air. Tahapan penelitian dimulai dengan penentuan desain proses yang paling optimum. Penentuan desain proses pembuatan mi jagung didasarkan pada pembuatan mi jagung instan metode Budiyah (2005) Penentuan desain proses meliputi penentuan jumlah air, waktu pengukusan, urutan pencampuran bahan, dan waktu perebusan yang tepat. Jumlah air, waktu pengukusan dan waktu perebusan optimum pada penelitian kali ini berturut-turut adalah 30%, 3 menit dan 2,5 menit. Variabel jumlah air dan lama waktu pengukusan bisa berubah tergantung kapasitas produksi. Namun variabel berubah tersebut diharapkan menghasilkan derajat gelatinisasi optimum yakni mencapai 51%.

Urutan pencampuran bahan tambahan (garam, baking powder, CMC) pada metode Budiyah (2005) dilakukan dengan mencampur bahan tambahan dengan bagian pati yang tidak dikukus. Urutan pencampuran bahan tersebut menghasilkan mi basah dengan kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) tinggi. Perbaikan desain proses untuk mengurangi KPAP dilakukan dengan menambahkan bahan tambahan ke dalam bagian pati yang digelatinisasi. Perubahan tersebut secara nyata mampu menurunkan KPAP. Desain proses pembuatan mi basah jagung matang meliputi pencampuran, pengukusan, pengulian, pencetakan, pemotongan, perebusan, perendaman dalam air dingin, penirisan, dan terakhir adalah pelumasan minyak.

Tahap penelitian selanjutnya adalah perbaikan karakteristik fisik mi terutama elongasi. Upaya perbaikan dilakukan dengan substitusi sebagian adonan yang dikukus dengan pati kacang hijau (hunkwe). Variasi substitusi pati kacang hijau yang digunakan adalah 5%, 10%, 15%, dan 20%. Hasil yang optimum ditunjukkan oleh subtisusi maizena oleh pati kacang hijau 5%. Substitusi pati kacang hijau 5% menghasilkan mi jagung basah matang dengan % elongasi 15.86%, kekerasan 964.89 gf, kelengketan - 251.2 gf, dan resistensi terhadap tarikan sebesar 15.73 gf.

Perbaikan KPAP mi formulasi terpilih dilakukan dengan memvariasikan jenis dan konsentrasi pengikat. Jenis pengikat yang digunakan adalah CMC dan guar gum, sedangkan variasi konsentrasi yang digunakan adalah 1%, 1.5%, dan


(7)

2%. KPAP terendah diperoleh pada penggunaan guar gum dengan konsentrasi 1%.

Hasil uji analisis proksimat menunjukkan mi basah jagung matang yang dihasilkan memiliki kadar air sebesar 63.71%, kadar abu 0.41%, kadar protein kasar 7.14%, kadar lemak 4.49%, dan kadar karbohidrat dihitung dengan cara by difference sebesar 87.99%. Hasil analisis proksimat menunjukkan kadar protein produk telah memenuhi standar SNI mi basah dan mi non terigu.


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Rohana Dwi Kurniawati. Penulis adalah putri kedua dari pasangan Sukaya (Alm) dan Suwarti yang dilahirkan di Madiun pada tanggal 14 April 1984. Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN Kepolorejo II Magetan (1990-1996), pendidikan menengah pertama di SLTPN 1 Magetan (1996-1999), dan pendidikan menengah lanjutan di SMUN 1 Magetan (1999-2002).

Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI pada tahun 2002. Selama menempuh pendidikan di IPB penulis sering mengikuti kegiatan kepanitiaan antara lain, pada kegiatan Lomba Futsal yang diselenggarakan BEM TPB (2002), Lepas Landas Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian ( 2003), Masa Orientasi Siswa TPG (BAUR 2003), dan Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan XII (2004), The 4th National Student Paper Competition (2004). Penulis juga tercatat sebagai anggota HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan), dan IMPATA (Ikatan Mahasiswa, Pelajar dan Alumni Magetan). Selain itu penulis bersama tim juga pernah mendapatkan kesempatan melaksanakan kegiatan kewirausahaan sebagai bagian dari Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang diselenggarakan oleh DIKTI dengan judul ”Kerupuk Susu Sebagai Alternatif Cemilan Bergizi”. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul ”Penentuan Desain Proses dan Formulasi Optimal Pembuatan Mi Jagung Basah Berbahan Dasar Pati Jagung dan Corn Gluten Meal (CGM)”.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan ... 3

C. Manfaat ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. PATI ... 4

1. Granula Pati ... 4

2. Kompsisi kimia pati ... 7

B. KOMPONEN PATI ... 7

1. Amilosa ... 8

2. Amilopektin ... 9

C. SIFAT-SIFAT PATI ... 10

1. Gelatinisasi ... 10

2. Suhu Gelatinisasi ... 11

3. Retrogradasi ... 13

D. PROSES PEMBUATAN PATI ... 14

E. CORN GLUTEN MEAL (CGM) ... 17

F. PATI KACANG HIJAU ... 17

G. MI BASAH ... 21

1. Jenis Mi Basah ... 22

2. Proses Pengolahan Mi Basah ... 22

3. Karakteristik Mi Basah ... 25

H. MI PATI ... 28


(10)

III. BAHAN DAN METODOLOGI ... 35

A. BAHAN DAN ALAT ... 35

B. METODOLOGI ... 35

1. Tahapan Penelitian ... 35

a. Karakterisasi Pati Jagung dan Corn Gluten Meal (CGM) ... 35

b. Penentuan Desain Proses Optimum Pembuatan Mi Jagung Basah Matang ... 36

c. Perbaikan Elongasi Mi Jagung Basah Matang ... 37

d. Perbaikan Kehilangan Padatan Akibat PemasakanMi Jagung Basah Matang ... 38

2. Pengamatan ... 38

a. Analisis Sifat Fisik ... 38

a1. Pengamatan Sifat Birefringence Pati Menggunakan Mikroskop Polarisasi ... 38

a2. Analisa Warna ... 39

a3. Analisis Resistensi Terhadap Tarikan dan Persen Elongasi ... 39

a4. Analisis Kekerasan dan Kelengketan ... 40

a5. Pengukuran Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan ... 40

a6. Analisis Derajat Gelatinisasi ... 41

b. Analisis Sifat Kimia ... 42

b1. Analisis Kadar Air Metode Oven ... 42

b2. Analisis Kadar Abu ... 43

b3. Analisisi Kadar Lemak Metode Soxhlet ... 43

b4. Analisis Kadar Protein Metode Mikro-Kjeldahl ... 44

b5. Analisis Kadar Karbohidrat (by difference) ... 45

3.Analisis data ... 45

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 46

A. Karakterisasi Bahan Baku ... 46

1. Karakterisasi Pati Jagung ... 46


(11)

SKRIPSI

PENENTUAN DESAIN PROSES DAN FORMULASI OPTIMAL PEMBUATAN MI JAGUNG BASAH BERBAHAN DASAR PATI JAGUNG

DAN CORN GLUTEN MEAL (CGM)

Oleh :

ROHANA DWI KURNIAWATI F 24102014

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

PENENTUAN DESAIN PROSES DAN FORMULASI OPTIMAL PEMBUATAN MI JAGUNG BASAH BERBAHAN DASAR PATI JAGUNG

DAN CORN GLUTEN MEAL (CGM)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

ROHANA DWI KURNIAWATI F 24102014

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(13)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENENTUAN DESAIN PROSES DAN FORMULASI OPTIMAL PEMBUATAN MI JAGUNG BASAH BERBAHAN DASAR PATI JAGUNG

DAN CORN GLUTEN MEAL (CGM)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

ROHANA DWI KURNIAWATI F 24102014

Dilahirkan pada tanggal 14 April 1984 Di Madiun

Tanggal lulus:... Menyetujui,

Bogor, September 2006

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ir. Sutrisno Koswara, MSc. Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen


(14)

KATA PENGANTAR

Bismillahirromanirrohim,

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT, karena hanya berkat rahmat, berkah, dan hidayah-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir, dengan judul: Penentuan Desain Proses dan Formulasi Optimal Pembuatan Mi Jagung Basah Berbahan Dasar Pati Jagung Dan Corn Gluten Meal (CGM). Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad, SAW.

Penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu selama penulis menempuh pendidikan di IPB khususnya dalam penyusunan tugas akhir ini. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis baik dari segi moral maupun material Pihak-pihak tersebut antara lain:

1. Bapak Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. selaku dosen pembimbing I atas bimbingan, wawasan, motivasi dan dukungan yang selalu diberikan kepada penulis.

2. Bapak Ir. Sutrisno Koswara, MSc., selaku dosen pembimbing II atas arahan, bimbingan, dan bantuannya kepada penulis.

3. Bapak Dr. Sukarno, atas kesediannya meluangkan waktu untuk menjadi dosen penguji penulis.

4. Ibunda tercinta, terimakasih atas doa, kepercayaan, dan kasih sayang yang senantiasa tercurahkan tiada henti kepada penulis.

5. Kakak penulis (Rukmi Nur Wijayanti), terimakasih atas masukan dan dorongan semangatnya.

6. Seluruh dosen dan staf Departemen Teknologi Pangan dan Gizi yang telah memberikan ilmu dan mendukung kemajuan penulis.

7. Ibu Rubiyah, Teh Ida, , Pak Sobirin, Pak Gatot, Pak Wahid , Pak Rozak, Mbak Ari, Pak Koko, Pak Sidiq, Pak Iyas, Pak Nur dan seluruh teknisi Lab. yang telah banyak membantu penulis.


(15)

9. Teman-teman sebimbingan sekaligus seperjuangan penelitian: Nisa (makasih banget masukan-masukannya, keep on movin’), Bobby, terimakasih telah menjadi orang-orang yang paling bisa diandalkan, Ari Fahmi, terimakasih atas bantuannya.

10. Kakak-kakak kelas tersayang Kak Hendri, Mbak Okta, Mbak Irus, Kak Udin terimakasih atas masukan, saran dan bantuannya.

11. Rury, Ririn, Rizki, Nisa, terimakasih telah berbagi keceriaan, dan kenangan. Apapun, dimanapun, kapanpun, dan bagaimanapun kita di masa datang semoga persahabatan tetap terjalin.

12. Jasminers tersayang : Isyana, Ririn, Ucil, Nurul, eRLin, Mbak Ningsih, Dhani, Dian, Rita. Trima kasih atas kebersamaannya selama ini.

13. Teman-teman gol A: Mus, Herold, Iqbal, Nisvi, Fajar, Inda, Christ, Tina, Endang, Tintin, Julia, Ami’, Dadik, Ari, Didin, Novi, Mangi, Olga, Dhenok, Reza, Papang, special thx to A3 : Zulkipli, Heru, dan Rahmat .... senang bekerjasama dengan kalian.

14. United colour of TPG 39: alin, manto, susan, evrin, qco, rury, ajeng, desma, astri, arif, tono, evi, ijal, fafa, eko, jay, marlyn, anita, nea, hani, vivi, apong, andreas, dedi, kiki, samsul, fahrul, yoga, ulik, putra, yudhan, yayah, maya, farah, feni, karen, steisi, hanif, irwan, eva, prasna, bekti, sari, rina, ribka, hana, molid, gumi, rikza, risky, ina, tisha, elvina, nene’, nuy, beta, randy, kinoy, dian k s, vero, meilin, kanyaka, inal , dikres, dora, nanda, pretty, shinta, hanSib, risna, woro, stut, arvi, inggrid, ratry, yeye’... terimakasih telah berbagikenangan yang indah

selama diTPG.

15. Teman-teman se TPG (angk. 38, 40, 41), dan se IPB thanks for the memories. Semoga tali silaturahmi kita tetap terjaga.

16. Teman-teman IMPATA. Thanks for make me feel like home di Bogor ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, oleh sebab itu masukan dan kritik yang membangun selalu penulis tunggu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, September 2006


(16)

Rohana Dwi Kurniawati. F24102014. Penentuan Desain Proses dan Formulasi Optimal Pembuatan Mi Jagung Basah Berbahan Dasar Pati Jagung dan Corn

Gluten Meal (CGM). Dibawah Bimbingan Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. dan Ir. Sutrisno Koswara, MSc.

RINGKASAN

Produk pangan berbasis jagung sangat berpotensi untuk dikembangkan untuk mendukung program pemerintah yang mencanangkan swasembada jagung pada tahun 2007. Diversifikasi produk pangan berbahan dasar jagung diharapkan dapat menambah alternatif pengembangan industri pangan berbasis jagung. Menurut Juniawati (2003) produk mi jagung sangat berpotensi untuk dikembangkan, mengingat produk mi merupakan komoditi yang sudah cukup dikenal masyarakat. Pengembangan mi basah dengan bahan utama pati jagung dilakukan untuk memberi alternatif bahan baku yang bisa digunakan dalam pembuatan mi basah yang aman.

Bahan baku yang digunakan adalah pati jagung, corn gluten meal (CGM), pati kacang hijau, CMC, guar gum, garam, baking powder, dan air. Tahapan penelitian dimulai dengan penentuan desain proses yang paling optimum. Penentuan desain proses pembuatan mi jagung didasarkan pada pembuatan mi jagung instan metode Budiyah (2005) Penentuan desain proses meliputi penentuan jumlah air, waktu pengukusan, urutan pencampuran bahan, dan waktu perebusan yang tepat. Jumlah air, waktu pengukusan dan waktu perebusan optimum pada penelitian kali ini berturut-turut adalah 30%, 3 menit dan 2,5 menit. Variabel jumlah air dan lama waktu pengukusan bisa berubah tergantung kapasitas produksi. Namun variabel berubah tersebut diharapkan menghasilkan derajat gelatinisasi optimum yakni mencapai 51%.

Urutan pencampuran bahan tambahan (garam, baking powder, CMC) pada metode Budiyah (2005) dilakukan dengan mencampur bahan tambahan dengan bagian pati yang tidak dikukus. Urutan pencampuran bahan tersebut menghasilkan mi basah dengan kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) tinggi. Perbaikan desain proses untuk mengurangi KPAP dilakukan dengan menambahkan bahan tambahan ke dalam bagian pati yang digelatinisasi. Perubahan tersebut secara nyata mampu menurunkan KPAP. Desain proses pembuatan mi basah jagung matang meliputi pencampuran, pengukusan, pengulian, pencetakan, pemotongan, perebusan, perendaman dalam air dingin, penirisan, dan terakhir adalah pelumasan minyak.

Tahap penelitian selanjutnya adalah perbaikan karakteristik fisik mi terutama elongasi. Upaya perbaikan dilakukan dengan substitusi sebagian adonan yang dikukus dengan pati kacang hijau (hunkwe). Variasi substitusi pati kacang hijau yang digunakan adalah 5%, 10%, 15%, dan 20%. Hasil yang optimum ditunjukkan oleh subtisusi maizena oleh pati kacang hijau 5%. Substitusi pati kacang hijau 5% menghasilkan mi jagung basah matang dengan % elongasi 15.86%, kekerasan 964.89 gf, kelengketan - 251.2 gf, dan resistensi terhadap tarikan sebesar 15.73 gf.

Perbaikan KPAP mi formulasi terpilih dilakukan dengan memvariasikan jenis dan konsentrasi pengikat. Jenis pengikat yang digunakan adalah CMC dan guar gum, sedangkan variasi konsentrasi yang digunakan adalah 1%, 1.5%, dan


(17)

2%. KPAP terendah diperoleh pada penggunaan guar gum dengan konsentrasi 1%.

Hasil uji analisis proksimat menunjukkan mi basah jagung matang yang dihasilkan memiliki kadar air sebesar 63.71%, kadar abu 0.41%, kadar protein kasar 7.14%, kadar lemak 4.49%, dan kadar karbohidrat dihitung dengan cara by difference sebesar 87.99%. Hasil analisis proksimat menunjukkan kadar protein produk telah memenuhi standar SNI mi basah dan mi non terigu.


(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Rohana Dwi Kurniawati. Penulis adalah putri kedua dari pasangan Sukaya (Alm) dan Suwarti yang dilahirkan di Madiun pada tanggal 14 April 1984. Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN Kepolorejo II Magetan (1990-1996), pendidikan menengah pertama di SLTPN 1 Magetan (1996-1999), dan pendidikan menengah lanjutan di SMUN 1 Magetan (1999-2002).

Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI pada tahun 2002. Selama menempuh pendidikan di IPB penulis sering mengikuti kegiatan kepanitiaan antara lain, pada kegiatan Lomba Futsal yang diselenggarakan BEM TPB (2002), Lepas Landas Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian ( 2003), Masa Orientasi Siswa TPG (BAUR 2003), dan Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan XII (2004), The 4th National Student Paper Competition (2004). Penulis juga tercatat sebagai anggota HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan), dan IMPATA (Ikatan Mahasiswa, Pelajar dan Alumni Magetan). Selain itu penulis bersama tim juga pernah mendapatkan kesempatan melaksanakan kegiatan kewirausahaan sebagai bagian dari Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang diselenggarakan oleh DIKTI dengan judul ”Kerupuk Susu Sebagai Alternatif Cemilan Bergizi”. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul ”Penentuan Desain Proses dan Formulasi Optimal Pembuatan Mi Jagung Basah Berbahan Dasar Pati Jagung dan Corn Gluten Meal (CGM)”.


(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan ... 3

C. Manfaat ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. PATI ... 4

1. Granula Pati ... 4

2. Kompsisi kimia pati ... 7

B. KOMPONEN PATI ... 7

1. Amilosa ... 8

2. Amilopektin ... 9

C. SIFAT-SIFAT PATI ... 10

1. Gelatinisasi ... 10

2. Suhu Gelatinisasi ... 11

3. Retrogradasi ... 13

D. PROSES PEMBUATAN PATI ... 14

E. CORN GLUTEN MEAL (CGM) ... 17

F. PATI KACANG HIJAU ... 17

G. MI BASAH ... 21

1. Jenis Mi Basah ... 22

2. Proses Pengolahan Mi Basah ... 22

3. Karakteristik Mi Basah ... 25

H. MI PATI ... 28


(20)

III. BAHAN DAN METODOLOGI ... 35

A. BAHAN DAN ALAT ... 35

B. METODOLOGI ... 35

1. Tahapan Penelitian ... 35

a. Karakterisasi Pati Jagung dan Corn Gluten Meal (CGM) ... 35

b. Penentuan Desain Proses Optimum Pembuatan Mi Jagung Basah Matang ... 36

c. Perbaikan Elongasi Mi Jagung Basah Matang ... 37

d. Perbaikan Kehilangan Padatan Akibat PemasakanMi Jagung Basah Matang ... 38

2. Pengamatan ... 38

a. Analisis Sifat Fisik ... 38

a1. Pengamatan Sifat Birefringence Pati Menggunakan Mikroskop Polarisasi ... 38

a2. Analisa Warna ... 39

a3. Analisis Resistensi Terhadap Tarikan dan Persen Elongasi ... 39

a4. Analisis Kekerasan dan Kelengketan ... 40

a5. Pengukuran Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan ... 40

a6. Analisis Derajat Gelatinisasi ... 41

b. Analisis Sifat Kimia ... 42

b1. Analisis Kadar Air Metode Oven ... 42

b2. Analisis Kadar Abu ... 43

b3. Analisisi Kadar Lemak Metode Soxhlet ... 43

b4. Analisis Kadar Protein Metode Mikro-Kjeldahl ... 44

b5. Analisis Kadar Karbohidrat (by difference) ... 45

3.Analisis data ... 45

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 46

A. Karakterisasi Bahan Baku ... 46

1. Karakterisasi Pati Jagung ... 46


(21)

B. Penentuan Desain Proses Optimum Pembuatan Mi Jagung Basah Matang 48

1. Penentuan jumlah air dan waktu pengukusan optimum ... 49

2. Penentuan desain proses untuk mengurangi KPAP ... 51

a. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus terhadap %elongasi mi ... 53

b. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus terhadap sifat resistensi mi terhadap tarikan ... 55

c. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus terhadap kekerasan mi ... 56

d. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus terhadap kelengketan mi ... 57

e. Pengaruh pengukusan BTP terhadap karakteristik mi ... 58

f. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus terhadap tingkat gelatinisasi ... 61

3. Proses pembuatan mi jagung basah ... 63

C. Perbaikan Elastisitas Mi Jagung Basah Matang... 67

1. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap % Elongasi mi ... 68

2. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap sifat resistensi mi terhadap tarikan ... 69

3. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap kekerasan mi ... 70

4. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap kelengketan mi ... 71

D. Perbaikan Cooking Loss/ Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) Mi Jagung Basah Matang ... 73

E. Analisis proksimat mi jagung basah matang ... 75

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 79


(22)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Bentuk dan ukuran beberapa granula pati ... 5 Tabel 2. Sifat Fisikokimia Amilosa dan Amilopektin ... 9 Tabel 3. Rasio amilosa, amilopektin dan suhu gelatinisasi beberapa jenis

pati ... 12 Tabel 4. Komposisi Gizi Mi Basah/ 100 gram bahan ... 27

Tabel 5. Formula mi jagung basah dengan subtitusi hunkwe ... 37 Tabel 6. Karakteristik pati jagung ... 46 Tabel 7. Hasil pengukuran warna CGM ... 47 Tabel 8. Komposisi kimia CGM ... 48 Tabel 9. Penentuan jumlah air yang optimum ... 50 Tabel 10. Penentuan waktu pengukusan optimum ... 51 Tabel 11. Hasil pengamatan waktu perebusan mi yang optimum... 66 Tabel 12. Hasil analisis proksimat mi basah matang ... 75


(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Granula pati kentang ... 6 Gambar 2. Granula tapioka ... 6 Gambar 3. Granula pati garut ... 6 Gambar 4. Granula pati jagung ... 6 Gambar 5. Diagram alir pembuatan mi basah terigu ... 24 Gambar 6. Diagram proses pembuatan mie jagung instan metode

Budiyah (2005) ... 36 Gambar 7. Perbandingan warna CGM sebelum diayak dan CGM 100 mesh. 43 Gambar 8. Pengaruh pengukusan BTP terhadap kehilangan padatan

akibat pemasakan mi jagung basah matang ... 52 Gambar 9. Pengaruh pengukusan BTP terhadap % elongasi mi jagung basah

matang ... 53 Gambar 10. Pengaruh pengukusan BTP terhadap sifat resistensi terhadap

tarikan mi jagung basah matang ... 55 Gambar 11. Pengaruh pengukusan BTP terhadap kekerasan mi jagung basah

matang ... 56 Gambar 12. Pengaruh pengukusan BTP terhadap kelengketan mi jagung basah

matang ... 57 Gambar 13. Pengaruh pengukusan BTP terhadap parameter % Elongasi,

resistensi terhadap tarikan dan KPAP mi jagung basah matang .. 58 Gambar 14. Pengaruh pengukusan BTP terhadap parameter kekerasan

dan kelengketan mi jagung basah matang ... 59 Gambar 15. Granula pati pada adonan yang dikukus tanpa penambahan BTP 62 Gambar 16. Granula pati pada adonan yang dikukus dengan penambahan

BTP ... 62 Gambar 17. Desain proses pembuatan mi jagung basah ... 67

Gambar 18. Mi jagung basah matang ... 67 Gambar 19. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap % elongasi mi jagung basah


(24)

Gambar 20. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap sifat resistensi terhadap

tarikan mi jagung basah matang ... 69 Gambar 21. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap kekerasans mi jagung basah

matang ... 70 Gambar 22. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap kelengketan mi jagung basah

matang ... 72 Gambar 23. Pengaruh jenis dan konsentrasi pengikat terhadap kehilangan


(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Hasil uji Independent T-test terhadap pengaruh pengukusan

BTP terhadap KPAP ... 78 Lampiran 2. Hasil uji Independent T-test terhadap pengaruh pengukusan

BTP terhadap % Elongasi ... 78 Lampiran 3. Hasil uji Independent T-test terhadap pengaruh pengukusan

BTP terhadap resistentensi terhadap tarikan ... 78 Lampiran 4. Hasil uji Independent T-test terhadap pengaruh pengukusan

BTP terhadap kekerasan ... 79 Lampiran 5. Hasil uji Independent T-test terhadap pengaruh pengukusan

BTP terhadap kelengketan ... 79 Lampiran 6a. Hasil analisis sidik ragam pengaruh subtitusi hunkwe

terhadap % elongasi mi ... 79 Lampiran 6b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh subtitusi hunkwe

terhadap % elongasi mi ... 80 Lampiran 7a. Hasil analisis sidik ragam pengaruh subtitusi hunkwe

terhadap sifat resistensi terhadap tarikan mi ... 80 Lampiran 7b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh subtitusi hunkwe terhadap

sifat resistensi mi terhadap tarikan ... 80 Lampiran 8a. Hasil analisis sidik ragam pengaruh subtitusi hunkwe

terhadap kekerasan mi ... 81 Lampiran 8b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh subtitusi hunkwe terhadap

kekerasan mi ... 81 Lampiran 9a. Hasil analisis sidik ragam pengaruh subtitusi hunkwe

terhadap kelengketan mi ... 81 Lampiran 9b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh subtitusi hunkwe terhadap

kelengketan mi ... 82 Lampiran 10a. Hasil uji sidik ragam pengaruh peningkatan konsentrasi


(26)

Lampiran 10b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh peningkatan konsentrasi

CMC terhadap KPAP ... 82 Lampiran 11. Hasil uji sidik ragam pengaruh peningkatan konsentrasi

Guar gum terhadap KPAP ... 83 Lampiran 12. Hasil uji Independent T-test pengaruh jenis pengikat pada

konsentrasi 1% terhadap KPAP ... 83 Lampiran 13. Hasil uji Independent T-test pengaruh jenis pengikat pada

konsentrasi 1.5% terhadap KPAP ... 83 Lampiran 14. Hasil uji Independent T-test pengaruh jenis pengikat pada

konsentrasi 2% terhadap KPAP ... 84 Lampiran 15. Data cooking quality dan texture profile analyzer (TPA) mi pati

dari beberapa jenis pati... 89 Lampiran 16. Skor evaluasi sensori mi pati ... 89 Lampiran 17. Stress sweep gel pati dari tiga varietas ubi Cina dibandingkan

dengan gel pati kacang hijau ... 90 Lampiran 18. Kelengketan (Fco (N)) mi pati pada beberapa tahapan proses

persiapan mi ... 90 Lampiran 19. Karakteristik tekstur mi dari tiga varietas ubi cina dan kacang

hijau ... 90 Lampiran 20. Cooking loss mi pati yang terbuat tiga varietas ubi cina dan pati

kacang hijau ... . 91 Lampiran 21. Indek pengembangan mi pati yang direndam dalam air panas

(90oC) ... 91 Lampiran 22. Penampakan mi pati kering (D) dan mi pati masak (C) yang

terbuat dari tiga varietas ubi cina dan pati kacang hijau. ... 92 Lampiran 23. Nilai rata-rata skala atribut sensori dan kesukaan mi pati kering

yang terbuat dari tiga varietas ubi cina dan kacang hijau ... 92 Lampiran 24. Nilai rata-rata skala atribut sensori dan kesukaan mi pati masak


(27)

I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Mi telah menjadi salah satu makanan pokok bagi kebanyakan negara-negara di Asia, termasuk Indonesia. Profil mi terigu telah melekat kuat pada masyarakat, sehingga terobosan-terobosan mi baru selalu dibandingkan dengan mi terigu, terutama dari sisi penerimaan sensorinya. Eviandaru dkk mensitir data dari majalah Asian Week (25 Mei 2001) seperti dikutip oleh Sawit (2003) menyatakan bahwa Indonesia telah menjadi negara ke dua terbesar di dunia setelah Cina dalam tingkat konsumsi mi instan, padahal Indonesia bukanlah negara penghasil gandum. Secara tidak langsung, kebutuhan terigu Indonesia dicukupi dengan impor. Indonesia sendiri menurut Sawit (2003) menduduki posisi 6 importir gandum dunia dengan total impor 4 juta ton (tahun 2001/2).

Salah satu produk mi terigu yang banyak menjadi sorotan akhir-akhir ini adalah mi basah. Produksi mi basah cukup besar dan semakin meningkat. Data tahun 2001 menunjukkan produksi mi basah mencapai 8.561.173 kg (BPS, 2001).dan tahun 2002 produksinya meningkat menjadi 92.492.696 kg (BPS, 2002). Peningkatan jumlah produksi ini menunjukkan tingginya permintaan konsumen terhadap mi basah. Data lain menyebutkan konsumsi mi basah/ orang / minggu pada tahun 2001, 2002, 2003, dan 2004 berturut-turut adalah 0.003, 0.004, 0.003, 0.003 kg (BPS, 2004). Mi basah yang dikonsumsi berupa produk olahan mi basah seperti mi ayam (mi basah mentah), mi bakso dan taoge goreng (mi basah matang). Namun akhir-akhir ini mi basah banyak dikhawatirkan keamanannya karena rentan mengandung bahan kimia berbahaya, seperti formalin dan boraks.

Kedua hal diatas mendorong pemikiran untuk melakukan diversifikasi pangan, mencari alternatif bahan baku lain sebagai bahan dasar pembuatan mi basah yang aman. Salah satu bahan pangan alternatif yang berpotensi dikembangkan adalah jagung. Jagung memiliki nilai gizi yang cukup memadai dan di beberapa daerah di Indonesia digunakan sebagai makanan pokok. Rachman (2004) menyatakan berdasarkan data permintaan komoditas


(28)

tanaman pangan utama untuk konsumsi rumah tangga, jagung menempati urutan kedua setelah beras. Meskipun pada perkembangannya konsumsi total jagung mengalami penurunan karena pergeseran pola konsumsi masyarakat di beberapa wilayah. Hasil penelitian Erwidodo dan Ariani (1997) seperti dikutip oleh Rachman (2004) pergeseran terjadi pada kelompok pendapatan menengah ke atas terutama di wilayah perkotaan ke arah pangan yang siap saji, seperti instan, mi lainnya, roti, dan kue-kue yang banyak dibuat dengan menggunakan bahan baku gandum (terigu).

Pemilihan jagung sebagai bahan baku pada penelitian kali ini sejalan dengan rencana aksi pemantapan ketahanan pangan 2005-2010 yang dicanangkan pemerintah. Aksi pemantapan ketahanan pangan kali ini memfokuskan pada peningkatan kapasitas produksi nasional untuk lima komoditas pangan strategis, yaitu padi, jagung, kedelai, tebu dan daging sapi. Arah pengembangan komoditas jagung sendiri adalah menuju swasembada pada tahun 2007 dan daya saing ekspor pada tahun 2008. Untuk mewujudkan arah pengembangan di atas, salah satu upaya peningkatan kapasitas produksi jagung akan dilakukan dengan peningkatan nilai tambah jagung. Salah satu aksi yang direncanakan dalam peningkatan nilai tambah jagung adalah pengembangan industri berbasis jagung produk untuk dalam negeri (Deptan, 2005).

Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mensukseskan pengembangan industri berbasis jagung adalah dengan mengarahkan diversifikasi pangan menggunakan jagung atau produk olahan jagung sebagai bahan baku. Beberapa penelitian sebelumnya telah merintis diversifikasi pangan dengan jagung atau produk olahan jagung sebagai bahan baku utama.

Penelitian-penelitian sebelumnya telah banyak membahas tentang pembuatan mi jagung instan. Juniawati (2003) membuat mi jagung instan dengan bahan dasar tepung jagung. Budiyah (2005) melakukan diversifikasi pembuatan mi jagung instan dengan bahan dasar pati jagung dan Corn Gluten Meal (CGM). Fadlilah (2005) melakukan perbaikan proses metode Budiyah (2005) dan memperbaiki elastisitas mi dengan mensubtitusi sebagian CGM dengan gluten.


(29)

Selain itu, jagung juga dapat dimanfaatkan sebagai tepung komposit, subtitusi bagi industri mie pengguna terigu. Hal tersebut cukup penting dalam usaha lebih memasyarakatkan jagung, sebab menurut kajian preferensi konsumen terhadap produk-produk pangan non beras, mie merupakan produk yang sering dikonsumsi oleh sebagian besar konsumen sebagai makanan sarapan maupun sebagai makanan selingan (Juniawati, 2003). Oleh karena itu usaha diversifikasi pangan mi berbahan dasar jagung cukup berpotensi untuk dikembangkan.

Salah satu produk olahan jagung yang banyak dikenal dan digunakan oleh masyarakat adalah pati jagung. Pati jagung bisa dikatakan sebagai produk utama olahan jagung untuk industri pangan. Penggunaan pati jagung sebagai bahan baku produk pangan dapat menjamin ketersediaan bahan baku. Hal ini yang mendasari penggunaan pati jagung sebagai bahan baku pembuatan mi basah pada penelitian kali ini. Pembuatan mi basah jagung didasarkan pada penelitian sebelumnya. Namun tetap harus dilakukan perbaikan desain proses dan perbaikan karakteristik mi untuk mendapatkan produk dengan karakteristik yang optimum.

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan desain proses dan formulasi mi basah optimum berbahan dasar pati jagung dan CGM.

C. Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam aplikasi pembuatan mi basah non terigu. Selain itu penelitian ini dapat dijadikan tambahan wawasan adanya alternatif bahan baku selain terigu yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan mi basah.


(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. PATI

Pati adalah karbohidrat yang tersimpan dalam bentuk granular di dalam organ tanaman. Secara kimia, pati adalah polimer dari unit glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-glikosidik (Balagopalan et., al, 1988). Pati memiliki karakteristik tertentu berdasarkan bentuk, ukuran, distribusi ukuran, komposisi, lokasi hilum, permukaan granula dan kekristalan granulanya (Belitz, dan Grosch, 1999, dan Hodge dan Osman, 1976).

Pati merupakan sumber energi utama bagi tanaman. Deposit granula pati terdapat pada setiap jaringan tanaman, seperti pada biji (jagung, gandum, beras, sorghum, kacang-kacangan), akar (garut, ubi, singkong), batang (sagu), umbi (kentang), buah, dan daun (tembakau). Pati yang dijual secara komersial umumnya bersumber dari biji serealia (jagung, beras, gandum, sorghum), umbi, akar (singkong, ubi, garut), dan batang (sagu).

Secara umum, pati komersial dibedakan dalam 3 kelompok besar . Jenis pati yang termasuk kelompok pertama adalah pati yang berasal dari umbi, akar, dan batang, kelompok kedua adalah pati dari serealia. Kedua kelompok pati ini dibedakan berdasarkan sifat fisik dan komposisi kimianya. Sedangkan kelompok ketiga adalah pati yang berasal dari waxy starches (waxy maize, waxy rice, waxy sorghum). Kelompok ketiga ini berasal dari serealia namun memiliki sifat seperti pati yang berasal dari akar.

1. Granula Pati

Granula pati memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda satu sama lain. Perbedaan ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber pati, dengan menggunakan mikroskop polarisasi. Perbedaan bentuk dan ukuran beberapa jenis pati dapat dilihat pada Tabel 1. Gambar 1- 4 menunjukkan beberapa bentuk granula pati.

Dalam keadaan murni, granula pati berwarna putih, mengkilat, tidak berbau dan tidak berasa. Secara mikroskopik terlihat bahwa


(31)

lapisan tipis yang tersusun terpusat. Menurut Swinkle (1985), fraksi-fraksi pati tersusun teratur secara radial terhadap hilum.

Bentuk butir pati secara fisik berupa semi kristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorphus. Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim. Bagian amorphus dapat menyerap air dingin sampai 30 persen tanpa merusak struktur pati secara keseluruhan (Hodge dan Osman, 1976).

Tabel 1. Bentuk dan ukuran beberapa granula pati

Jenis pati Sumber

Rentang diameter

granula (µm)

Rata-rata diameter

granula (µm)

Bentuk granula Jagunga

Sereal 3-26 15 Bulat (round), polygonal

Kentanga

Umbi 5-100 33 Oval, bundar

(spherical)

Ganduma Sereal 2-35 15 Bulat. Lenticular Tapiokaa Akar 4-35 20 Oval, truncated Sorghuma Sereal 3-26 15 Bulat, polygonal Berasa

Sereal 3-8 5 Polygonal,

angular

Sagua Batang 5-65 30 Oval, truncated

Garuta Akar 5-70 30 Oval, truncated

Ubia Akar 3-24 15 Polygonal

Kacang

hijaub Biji

7-26 NA Oval, bulat

Keterangan : a : Swinkles (1985), b : Chen (2003), NA : Not available

Granula pati tersusun atas daerah-daerah kristalin hingga tidak kristalin atau amorphus. Transisi antar daerah ini terjadi secara gradual. Daerah kristalin tebentuk karena adanya gaya ikatan hidrogen yang menghubungkan molekul pati yang sejajar satu sama lain. Gaya ikatan


(32)

hidrogen tersebut mendorong rantai molekul pati membentuk bundel kristalin atau micelles (Swinkle, 1985).

Gambar 1. Granula pati kentang Gambar 2. Granula tapioka

Gambar 3. Granula Pati garut Gambar 4. Granula Pati jagung Sumber : Anonima (2003)

Daerah kristalin pada kebanyakan pati tersusun atas fraksi amilopektin. Sedangkan fraksi amilosa banyak terdapat pada daerah amorphus. Komplek amilosa-lipid yang banyak terdapat pada pati serealia dapat membentuk daerah kristalin lemah. Komplek amilosa-lipid memperkuat struktur granula pati yang berakibat dapat menghambat pengembangan granula (Swinkle, 1985).

Granula pati bersifat mampu merefleksikan cahaya polarisasi sehingga terlihat kristal gelap terang (biru-kuning). Sifat ini disebut sifat birefringence. Menurut Hoseney (1998), sifat birefringence pati disebabkan karena granula pati memiliki derajat keteraturan molekul yang tinggi. Intensitas birefringence pati sangat tergantung dari derajat


(33)

dan orientasi kristal. Pati yang mempunyai kadar amilosa tinggi, intensitas sifat birefringence-nya lemah jika dibandingkan dengan pati dengan kadar amilopektin tinggi (Hoseney, 1998).

2. Komposisi kimia pati

Komposisi penyusun utama pati adalah glukosa. Secara umum pati mempunyai kadar air sekitar 10-20% (w/w) dan beberapa elemen minor seperti lemak, protein dan mineral. Menurut Hoseney (1998) meskipun elemen minor tersebut terdapat dalam jumlah yang sangat kecil, namun keberadaannya dapat berpengaruh terhadap karakteristik pati.

Pati serealia memiliki kandungan lemak lebih tinggi dibandingkan pati non serealia. Pati serealia mengandung sekitar 0,5-0,8 % lemak sedangkan pati kentang dan tapioka hanya mengandung kurang lebih 0.1% lemak. Lemak teradapat dalam bentuk komplek dengan amilosa. Komplek lemak-amilosa bersifat tidak larut dalam air, namun akan terdisosisi jika dipanaskan hingga mencapai suhu tertentu. Keberadaan lemak dalam pati dapat berpengaruh terhadap sifas fisik pati. Komplek lemak-amilosa cenderung menghambat pengembangan dan kelarutan pati. Menurut Hoseney (1998) jenis lemak dalam pati umumnya termasuk dalam jenis lemak polar.

Kandungan protein pada pati sangat kecil. Kandungan protein tapioka dan pati kentang hanya sekitar 0.1% (w/w) sedangkan kandungan protein serealia berkisar 0,3-0,5%.

Kandungan mineral pati juga sangat rendah. Menurut Swinkles (1985), Kandungan mineral yang banyak terdapat pada pati komersial adalah sodium, kalium, magnesium, kalsium dan fosfor.

B. KOMPONEN PATI

Pati tersusun atas dua jenis unit polimer glukosa yaitu amilosa dan amilopektin. Kedua fraksi tersebut menyusun pati dalam rasio dan struktur yang berbeda antar sumber pati. Amilosa dikenal sebagai fraksi linier,


(34)

sedangkan amilopektin dikenal sebagai fraksi bercabang. Menurut Chen (2003) struktur dan komposisi kedua fraksi tersebut berperan penting dalam menentukan sifat pati. Kandungan amilosa pada kebanyakan pati berkisar antara (15-30%) (Swinkles, 1985).

1. Amilosa

Amilosa pada umumnya diasumsikan sebagai polimer linier dari α-D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α -1-4. Tidak semua amilosa terdapat dalam bentuk linier, sebagian amilosa juga bercabang. Namun cabang pada amilosa sangat panjang dan sangat sedikit, sehingga molekul amilosa dianggap berperilaku sebagai kesatuan yang tidak bercabang (Swinkles, 1985).

Struktur linier amilosa bisa tersusun dari lebih dari 6000 unit glukosa. Sedangkan amilosa yang bercabang biasanya mengandung 3-20 cabang dengan panjang rata-rata cabang berkisar 500 unit glukosa (Swinkle, 1985). Bobot molekul amilosa sendiri berkisar antara 250.000. Bobot molekul amilosa bervariasi antar spesies bahkan dalam satu spesies dan sangat tergantung dari tingkat kematangan tanaman (Hoseney, 1998).

Struktur amilosa yang panjang dan linier memberikannya beberapa karakteristik yang unik. Amilosa mampu membentuk komplek dengan alkohol organik, iodin, dan asam. Amilosa membentuk komplek yang tidak larut dengan alkohol dan iodin. Komplek amilosa dan iodin memberikan warna biru. Komplek warna biru yang terbentuk sering dijadikan indikator keberadaan pati yang mengandung amilosa. Selain itu, struktur linier amilosa juga bertanggungjawab terhadap sifat amilosa yang cenderung berikatan satu sama lain dan membentuk endapan. Amilosa dapat stabil dalam larutan bila pH larutan dipertahankan dalam kondisi basa. Menurut Hoseney (1998) hal ini disebabkan adanya muatan positif yang diinduksi grup OH, dan muatan ini pada rantai berdekatan menolak satu sama lain.


(35)

2. Amilopektin

Amilopektin merupakan polimer yang mempunyai ikatan α-(1,4) pada rantai lurusnya, serta ikatan ß-(1,6) pada titik percabangannya. Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4-5 persen dari keseluruhan ikatan yang ada pada amilopektin (Hoseney, 1998). Tingkat percabangan amilopektin sangat tinggi. Rantai percabangan amilopektin rata-rata terdiri dari 20-25 unit glukosa. Tiap cabang hanya dipisahkan oleh satu unit glukosa. Bobot molekul amilopektin sendiri sangat besar yakni 108 (Hoseney, 1998). Bobot molekul ini termasuk yang terbesar yang pernah ditemukan di alam.

Tabel 2. Sifat Fisikokimia Amilosa dan Amilopektin

Sifat Amilosa Amilopektin

Struktur molekul Linier (α-1-4) Bercabang (α-1-4, α-1-6)

Bobot molekul 106 Dalton 108 Dalton Derajat polimerisasi 1500-6000 3 x 105, 3 x 106

Komplek helik Kuat Lemah

Komplek warna dengan Iodin

Biru Ungu-kemerahan

Kelarutan Tidak stabil Stabil

Retrogradasi Cepat Lambat

Sifat gel Keras, tidak dapat balik

Lembut, dapat balik

Sifat film Kuat Lemah dan rapuh

Sumber: Chen (2003)

Struktur bercabang amilopektin menyebabkan molekul ini lebih stabil dalam larutan (Balagopalan, 1988). Amilopektin membentuk komplek berwarna ungu dengan iodin. Amilopektin dan amilosa dapat dipisahkan dengan cara melarutkannya dalam air panas di bawah suhu gelatinisasi. Fraksi terlarut dalam air panas adalah amilosa dan fraksi


(36)

tidak larut adalah amilopektin. Pada pati serealia, amilopektin merupakan elemen dari struktur kristal (Hodge dan Osman, 1976). Beberapa karakteristik fisikokimia yang membedakan amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Tabel 2.

C. SIFAT-SIFAT PATI

Rasio amilosa dan amilopektin pada pati memegang peranan penting dalam penentuan sifat pati. Identifikasi sifat pati penting dalam menentukan proses, kondisi penyimpanan, atau pemilihan jenis pati yang tepat untuk diaplikasikan.

1. Gelatinisasi

Gelatinisasi merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan serangkaian kejadian tidak dapat balik (irreversible) yang terjadi pada pati saat dipanaskan dalam air. Syarat utama terjadinya gelatinisasi adalah adanya pati, air, dan pemanasan. Namun tidak semua kombinasi ketiga faktor tersebut menghasilkan gelatinisasi. Terdapat minimum jumlah air dan suhu pemanasan tertentu yang harus tercapai.

Pati murni bersifat tiak larut dalam air dingin atau air dengan suhu di bawah suhu gelatinisasinya. Saat pati ditambahkan pada air dingin, molekul air akan berpenetrasi secara bebas ke dalam granula pati. Dalam kondisi ini, pati hanya mampu menyerap air sebanyak 30% dari bobot keringnya (Hoseney, 1998). Granula pati hanya akan sedikit mengembang dalam air dingin (sekitar 10-15% dari diameter semula). Pengembangan granula pati dalam air dingin bersifat dapat balik. Jika pati dikeringkan kembali, granula akan menyusut dan kembali ke ukuran semula.

Ketika granula pati dipanaskan dalam air, air akan masuk ke dalam granula pati. Seiring dengan naiknya suhu pemanasan, jumlah air yang terserap akan semakin meningkat. Penyerapan air bersifat dapat balik hingga tercapai suhu tertentu (suhu awal gelatinisasi) dimana


(37)

1996). Penyerapan air menyebabkan pengembangan granula pati. Pengembangan pertama terjadi di daerah amorphus, karena ikatan hidrogen pada daerah ini lebih lemah dibandingkan daerah kristalin. Selanjutnya pengembangan granula mulai mengganggu keteraturan struktur granula pati, yang menyebabkan mulai hilangnya sifat birefringence. Menurut Winarno (2002), suhu dimana sifat birefringence granula pati mulai menghilang dihitung sebagai suhu awal gelatinisasi. Seiring mengembangnya ukuran granula pati, fraksi amilosa mulai keluar dari granula. Namun granula pati belum pecah karena masih tertahan oleh misel yang belum terganggu atau rusak oleh hidrasi air dan pemanasan. Viskositas larutan meningkat karena semakin banyak air yang terperangkap dalam granula. Hidrasi air berkelanjutan mulai merusak struktur kristalin. Rusaknya struktur kristalin menyebabkan hilangnya ikatan yang mampu menahan struktur granula pati. Sifat birefringence hilang, granula pati mulai pecah, dan viskositas larutan akan menurun. Hilangnya sifat birefringence menunjukkan gelatinisasi telah terjadi secara sempurna. Secara singkat perubahan fisik yang terjadi selama gelatinisasi adalah mengembangnya granula pati yang diiringi dengan hilangnya sifat birefringence, meningkatnya kekentalan, terlarutnya fraksi amilosa pati (bobot molekul rendah).

2. Suhu Gelatinisasi

Gelatinisasi terjadi jika suhu gelatinisasi telah tercapai. Suhu gelatinisasi menurut Whistler dan Daniel (1996) adalah suhu dimana sifat birefringence dan pola difraksi sinar-X granula pati mulai hilang. Suhu gelatinisasi biasanya berupa kisaran suhu. Hal ini disebabkan bervariasinya ukuran bentuk, dan energi yang diperlukan untuk pengembangan granula pati. Umumnya granula pati berukuran besar akan tergelatinisasi terlebih dahulu kemudian diikuti granula pati dengan ukuran yang lebih kecil. Selain itu, suhu gelatinisasi juga dipengaruhi oleh ukuran amilosa dan amilopektin serta keadaan media pemanasan (Collison,1968). Menurut Wirakartakusumah (1981),


(38)

keadaan media pemanasan yang mempengaruhi proses gelatinisasi adalah rasio air/pati, laju pemanasan, dan adanya komponen-komponen lain dalam media pemanasnya.

Suhu gelatinisasi juga dipengaruhi oleh associative force dalam granula pati. Semakin tinggi suhu gelatinisasi suatu jenis pati menunjukkan semakin tinggi gaya ikat dalam granula pati tersebut. Greenwood (1979) menyatakan bahwa semakin banyak amilosa pada pati akan membatasi pengembangan granula dan mempertahankan integritas granula. Semakin tinggi kadar amilosa maka semakin kuat ikatan intramolekulernya. Suhu gelatinisasi tidak mempunyai hubungan jelas dengan kandungan amilosa pati, karena pati normal dan waxy starches dari spesies yang sama memiliki rentang suhu gelatinisasi yang sama (Balagopalan, 1988). Tetapi setelah mencapai suhu gelatinisasi sifat pati tergelatinisasi tergantung pada fraksi pati yaitu amilosa dan amilopektin (Juliano, 1985). Derajat gelatinisasi beberapa jenis pati dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rasio amilosa, amilopektin dan suhu gelatinisasi beberapa jenis pati

Jenis pati Amilosa (%)

Amilopektin (%)

Suhu gelatinisasi (oC)

Jagunga 28 72 62-72

Kentanga 21 79 58-68

Ganduma 28 72 58-64

Tapiokaa 17 83 59-69

Sorghuma 28 72 68-78

Sagua 27 73 60-72

Garuta 20 80 62-70

Kacang hijau 32-35b 65-68b 63-69c Keterangan : a : Swinkles (1985), b: Chen et al., (1988),


(39)

3. Retrogradasi

Retrogradasi adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan fenomena rekristalisasi pati yang tergelatinisasi. Beberapa perubahan sifat reologi yang terjadi karena proses retrogradasi antara lain adalah meningkatnya kekerasan atau kerapuhan. Selama penyimpanan, retrogradasi dapat terlihat dari hilangnya sifat pengikatan air dan terbentuknya kembali fraksi kristalin. Berbeda dengan fraksi kristalin pada pati yang utamanya tersusun oleh amilopektin, penyusun utama struktur kristalin pati teretrogradasi adalah amilosa. Lebih lanjut, Swinkle (1985) menyebutkan beberapa fenomena yang terjadi akibat retrogradasi. Fenomena-fenomena tersebut antara lain: 1). meningkatnya viskositas, 2). meningkatnya kekeruhan, 3). terbentuknya lapisan tak larut pada pasta panas, 4). terbentuknya endapan partikel pati yang tidak larut, 5). terbentuknya gel, dan 6). keluarnya air dari pasta (sineresis).

Retrogradasi adalah peristiwa yang komplek dan tergantung dari banyak faktor. Beberapa faktor yang mempengaruhi peristiwa retrogradasi adalah tipe pati, konsentrasi pati, prosedur pemasakan, suhu, waktu penyimpanan, pH, prosedur pendinginan, dan keberadaan komponen lain (Swinkle, 1985). Terjadinya peristiwa retrogradasi lebih mudah terjadi pada suhu rendah dan konsentrasi pati tinggi. Kecepatan retrogradasi optimum pada pH 5-7 dan menurun pada pH dibawah atau diatas rentang pH tersebut. Retrogradasi tidak terjadi pada pH diatas 10 dan sangat lambat pada pH dibawah 2.

Fraksi pati yang berperan pada peristiwa retrogradasi adalah fraksi amilosa. Fraksi amilosa yang terlarut dapat berikatan satu sama lain membentuk agregat yang tidak larut air. Dalam larutan (konsentrasi pati rendah), agregat amilosa akan membentuk endapan. Tetapi pada dispersi yang lebih terkonsentrasi (konsentrasi pati lebih tinggi), agregat amilosa akan memerangkap air dan membentuk gel. Ukuran fraksi amilosa juga berperan penting terhadap laju retrogradasi. Retrogradasi akan optimum pada fraksi amilosa pada derajat polimerisasi 100-200


(40)

unit glukosa. Fraksi amilopektin kurang berperan dalam peristiwa retrogradasi. Amilopektin bisa mengalami retrogradasi pada kondisi ekstrim, misalnya pada konsentrasi pati tinggi, atau pada suhu pembekuan. Peristiwa staling pada roti adalah salah satu contoh retrogradasi yang disebabkan oleh amilopektin.

Jenis pati juga berpengaruh terhadap laju retrogradasi. Pati serealia lebih cepat mengalami retrogradasi dibandingkan pati kentang atau tapioka. Menurut Swinkle (1988) hal ini disebabkan tingginya kadar amilosa pati serealia, ukuran molekul amilosa kecil (DP 200-1200), dan tingginya kandungan lemak. Tingginya kandungan lemak dapat mendorong terjadinya retrogradasi.

D. PROSES PEMBUATAN PATI

Pati jagung komersial dihasilkan dari jagung pipil dengan metode penggilingan basah. Penggilingan basah menghasilkan empat komponen dasar yaitu: pati, lembaga, serat, dan protein. Keempat komponen tersebut dapat diolah menjadi produk-produk seperti dekstrin, sirup glukosa, pakan ternak, minyak jagung, dan lain-lain (Corn Refiner Assosiation, 2002). Tahap-tahap pembuatan pati dengan metode penggilingan basah meliputi penanganan pasca panen jagung (pengeringan, dan penyimpanan), pembersihan (cleaning), perendaman (steeping), dan pemisahan komponen-komponen kernel jagung. Tahap pemisahan kernel jagung dibagi lagi menjadi tahap penggilingan kasar dan pemisahan lembaga, penggilingan halus dan pemisahan serat, pemisahan dan pemurnian pati, dan terakhir tahap starch finishing (Johnnson dan May, 2003).

Jagung yang berasal dari ladang dikeringkan dan disimpan dalam silo. Faktor yang harus diperhatikan selama penyimpanan adalah kadar air jagung. Kadar air yang aman untuk penyimpanan jangka panjang adalah sekitar 15% atau kurang. Jagung yang disimpan harus telah memenuhi syarat mutu yang ditentukan. Menurut (Johnnson dan May, 2003) faktor yang diperhatikan dalam pemilihan mutu jagung adalah daya simpan dan


(41)

penampakan (bobot, adanya materi asing atau konmtaminan, total kernel yang rusak).

Jagung yang lolos inspeksi memasuki tahap pembersihan (cleaning) dibersihkan. Pada tahap ini, jagung dibersihkan dari kotoran dan kontaminan asing (sekam, batu, pecahan kernel, bagian tubuh serangga, pasir, logam dan lain-lain).

Tahap selanjutnya adalah perendaman. Jagung direndam dalam air yang telah dicampur SO2 dengan konsentrasi tertentu (0.12-0.2%). Perendaman dilakukan selama 22-50 jam (umumnya 30-36 jam) pada suhu 52°C. Selama perendaman, air akan berdifusi ke dalam kernel meningkatkan kadar airnya dari 15% menjadi 45%. Difusi air menyebabkan ukuran kernel membengkak dua kali ukuran semula, melunakkan kernel dan memudahkan pemisahan pada tahap selanjutnya. Air sisa perendaman dievaporasi hingga mencapai 40-50% padatan, dicampur serat jagung, dikeringkan dan dijual sebagai corn gluten feed atau sebagai fermentation enhancer.

Menurut Johnnson dan May (2003) penggunaan SO2 sangat penting karena SO2 sebagai agen pereduksi mampu memecah ikatan disulfida matrix protein yang membungkus granula pati, sehingga dapat membebaskn granula pati. Selain itu SO2 mampu menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri asam laktat (Lactobacillus). Asam laktat yang dihasilkan bakteri asam laktat dapat membantu pemisahan pati dan meningkatkan jumlah pati yang dihasilkan. Asam laktat dapat meningkatkan pelunakan biji, melarutkan protein endosperm, dan melemahkan dinding sel endosperm.

Tahap pemisahan kernel dimulai dengan penggilingan kasar dan pemisahan lembaga. Sebelum lembaga jagung dipisahkan menggunakan hydroclone, jagung terlebih dahulu digiling kasar untuk memecah kernel tanpa memecah lembaga. Selama perendaman, lembaga jagung menjadi lebih elastis, sehingga diharapkan tidak akan pecah dengan pengilingan kasar. Selanjutnya lembaga dipisahkan dari pecahan kernel jagung dalam hydroclone berdasarkan perbedaan berat jenis. Larutan kernel jagung dan lembaga dari penggilingan kasar dipompa masuk ke hydroclone. Dalam


(42)

hydroclone larutan lembaga dan kernel jagung teraduk oleh hembusan angin yang diberikan dan mendapat gaya sentrifugal. Lembaga akan terdorong keatas, dan pecahan kernel jagung terpisah kebawah. Lembaga yang terpisah, dicuci, dihilangkan kadar airnya dengan pengepresan, dikeringkan dikeringkan hingga kadar air 3% kemudian didinginkan. Lembaga yang dikeringkan bisa diolah lebih lanjut untuk ekstraksi minyak minyak jagung.

Tahap selanjutnya adalah penggilingan halus dan pemisahan serat. Pada tahap ini, lumpur jagung dari penggilingan kasar digiling dalam penggilingan kuat yang akan menggerus jagung sehingga pati dan glutennya keluar dari dalam kernel. Selanjutnya suspensi pati, gluten, dan serat dialirkan ke atas ayakan cembung yang dapat menahan serat tetapi meneruskan pati. Serat yang terkumpul diayak lagi untuk menghilangkan residu pati atau protein, kemudian dipompa menuju lini pakan untuk dijadikan pakan hewan. Suspensi pati dan gluten yang disebut mill starch dialirkan menuju starch separators.

Tahap pemisahan dan pemurnian pati dari mill starch dilakukan berdasarkan perbedaan berat jenis pati dan gluten. Gluten memiliki densitas yang lebih rendah dibandingkan pati. Mill starch dialirkan dalam sentrifuse, sehingga gluten mengambang lalu dipompa ke lini pakan. Pati dengan sisa protein sekitar 1-2% dilarutkan lalu dicuci 8 sampai 14 kali. Pelarutan dan pencucian yang berulang di dalam hydroclones digunakan utuk menghasilkan pati berkualitas tinggi dengan sisa protein yang sangat rendah. Pati dengan kualitas baik memiliki tingkat kemurnian lebih dari 99.5%. Sebagian pati dikeringkan untuk dijual sebagai pati tak termodifikasi, sebagiannya lagi dijual sebagai pati-pati yang sudah dimodifikasi atau mengalami proses lanjutan menjadi dekstrin dan sirup glukosa (Corn Refiner Assosiation, 2002). Tahap starch finishing dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Lumpur pati bisa langsung dikeringkan atau diberi perlakuan dengan beberapa senyawa kimia seperti pemutih atau asam (memodifikasi sifat protein) untuk memenuhi kebutuhan konsumen.


(43)

E. CORN GLUTEN MEAL (CGM)

Produk utama jagung lainnya selain pati adalah Corn Gluten Meal (CGM). CGM merupakan produk sampingan utama penggilingan basah (wet milling). CGM diproduksi setelah lembaga, serat, dan pati dihilangkan dalam proses penggilingan basah. Setelah komponen tersebut dihilangkan akan dihasilkan light gluten (LG). LG kemudian dipekatkan menghasilkan heavy gluten (HG). Setelah itu, HG dihilangkan airnya melalui proses penyaringan dengan menggunakan penyaring vakum menghasilkan gluten cake (GC). Akhirnya, GC dikeringkan dengan menggunakan rotary drum dryers menghasilkan CGM (Rausch et al., 2003).

CGM biasanya digunakan sebagai sumber protein pakan ternak. CGM jarang digunakan dalam industri pangan karena ia memiliki aroma khas yang kurang disukai. Peningkatan nilai tambah CGM di bidang pangan telah dirintis pada penelitian terdahulu. Budiyah (2005) pada penelitiannya menggunakan CGM sebagai bahan baku pembuatan mi jagung instan. CGM ditambahkan sebagai bahan baku untuk meningkatkan kadar protein produk. Selain itu komplementasi CGM juga berperan dalam memberikan warna alami karena pigmen kuning yang terkandung pada CGM. Budiyah (2005) juga melaporkan penambahan CGM dapat mempengaruhi tekstur dan kemudahan terbentuknya adonan. Selain itu Wu et al., (2001) juga menggunakan CGM untuk memfortifikasi kandungan protein pada produk spaghetti karena CGM merupakan sumber protein nabati yang tidak mengandung kolesterol dan rendah kandungan asam lemak jenuh.

F. PATI KACANG HIJAU

Pati kacang hijau merupakan salah satu hasil olahan kacang hijau. Pembuatan pati kacang hijau secara tradisional sudah sering dilakukan yaitu dengan cara menggiling kacang hijau yang sudah dikupas menjadi bentuk pasta. Selanjutnya ditambahkan air berlebih, dan disaring dengan kain penyaring untuk memisahkan selulosa. Selanjutnya filtrat diendapkan, dicuci, dan diendapkan lagi sampai didapatkan filtrat yang jernih. Setelah itu,


(44)

barulah residu pati dikeringkan (Siegel dan Fawcett, 1976, seperti dikutip oleh Fawzya, 1983).

Penggunaan pati kacang hijau atau yang dikenal dengan nama hunkwe di Indonesia, kebanyakan hanya digunakan sebagai bahan baku pembuatan kue-kue basah. Namun di beberapa negara asia seperti Thailand, dan Cina pati kacang hijau merupakan salah satu bahan baku pembuatan mi yang cukup digemari. Mi berbahan dasar pati kacang hijau dikenal dengan nama Tong-Fung di Cina. Karakteristik tekstur mi yang unik dan rendahnya cooking loss menjadikan mi ini termasuk salah satu masakan cina yang digemari.

Pati kacang hijau sangat disukai sebagai bahan dasar pembuatan mi pati karena ia menghasilkan mi dengan penampakan dan karakteristik yang diinginkan. Karakteristik mi pati kering yang diinginkan dinilai dari keseragaman, cooking quality dan eating quality. Faktor lain yang diiperhatikan konsumen saat membeli mi pati kering adalah tidak berwarna, tidak mengkilap (glossy), dan tidak transparan. Sedangkan untuk mi pati matang karakteristik yang paling penting adalah mouthfeel dan tekstur. Mi harus tetap kokoh (firm) dan tidak lengket setelah dimasak. Mi pati yang bagus memiliki waktu masak yang singkat dengan kehilangan padatan yang rendah, dan rasa yang hambar (Chen et al., 1988). Namun produksi mi pati kacang hijau tetap memiliki kendala yaitu harga pati kacang hijau yang mahal. Mahalnya harga pati kacang hijau mendorong banyak penelitian di bidang mi pati untuk mencari jenis pati yang lebih murah namun menghasilkan mi dengan karakteristik seperti mi pati kacang hijau.

Riset ekstensif banyak dilakukan di Taiwan. Riset dilakukan dengan karakterisasi sifat fisikokimia dan kualitas mi dari baerbagai macam jenis pati. Hasil riset menunjukkan kehilangan padatan selama pemasakan mi pati kacang hijau paling rendah walau telah dimasak hingga 12 jam, sedangkan mi komersial dan mi dari pati ubi mengalami 100% cooking loss. Studi menggunakan mikroskop elektron menunjukkan terdapat struktur rigid dalam mi pati kacang hijau yang tidak terdapat dalam mi pati lainnya. Hasil riset tentang sifat fisikokimia pati menggunakan Brabender Viscoamylogram


(45)

menunjukkan jenis granula pati kacang hijau adalah pati ikatan silang bertipe C. Pati ikatan silang memiliki ketahanan penurunan viskositas terhadap asam lebih tinggi. Selain itu pati tipe C menunjukkan kestabilan viskositas yang tinggi terhadap pemanasan suhu tinggi. Namun percobaan pembuatan mi pati menggunakan pati kacang polong yang memiliki sifat fisikokimia sama dengan kacang hijau menghasilkan mi pati dengan tekstur yang tidak bagus. Menurut (Chen et al.,1988), tekstur unik mi pati kacang hijau tidak hanya disebabkan kandungan amilosanya yang tepat (32%-35%), tapi juga struktur molekulernya yang spesifik yang menghasilkan ikatan atau viskositas mi pati yang kuat dan stabil.

Kim et al., (1996) mencoba mencari jenis pati lain yang berpotensi menggantikan pati kacang hijau. Penelitian menggunakan pati dari dua jenis kacang-kacangan (pinto dan navy bean), kentang dari dua jenis genotip (ND651-9, Mainechip), dan pati kentang komesial. Kedua jenis kacang-kacangan tersebut dipilih karena dianggap memiliki sifat fisikokimia yang paling mirip dengan pati kacang hijau dan memiliki rendemen pati lebih tinggi dibanding pati kacang hijau. Kedua jenis kacang ini diharapkan menjadi sumber pati yang potensial yang menghasilkan mi pati berkualitas tinggi dibandingkan mi pati kacang hijau. Penggunaan pati kentang digunakan berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa beberapa genotip pati kentang cukup berpotensi sebagai bahan baku pembuatan mi pati. Mi berbahan dasar pati kentang dilaporkan memiliki penampakan transparan, tekstur yang lembut dan licin, dan memiliki tingkat penyerapan kuah yang tinggi.

Kim et al., (1996) membandingkan beberapa parameter, yaitu cooking quality (cooking loss dan cooked weight), dan karakteristik sensori mi pati dari beberapa jenis pati di atas dengan mi komersial yang terbuat dari pati kacang hijau. Lampiran 15 dan 16 menunjukkan hasil analisis cooking quality, tekstur, dan sensori yang dilakukan Kim et al., (1996). Hasil penelitian mereka menunjukkan mi berbahan dasar kacang-kacangan memiliki cooking quality yang hampir sama dengan mi pati komersial yang dibuat dari pati kacang hijau. Hasil pengukuran tekstur mi menggunakan


(46)

texture profile analyzer (TPA) menunjukkan mi dari pati kacang-kacangan memiliki nilai kekerasan lebih tinggi tapi nilai kelengketan lebih rendah dibandingkan mi dari pati kentang. Hasil analisis sensori menunjukkan mi pati kentang memiliki nilai transparansi lebih tinggi dibanding mi dari pati kacang-kacangan. Selain itu hasil analisis sensori terhadap penerimaan keseluruhan panelis juga menunjukkan mi pati kentang dengan genotip Minechip dinilai memiliki karakteristik menyamai mi pati komersial, sehingga genotip ini dianggap cocok untuk dikembangkan sebagai bahan baku pembuatan mi pati komersial.

Penelitian lain tentang usaha eksplorasi jenis pati yang lebih murah untuk menggantikan mi pati kacang hijau juga dilakukan oleh Chen (2003). Chen (2003) menggunakan pati ubi dari varietas (SuShu2, SuShu8 dan XuShu18). Chen (2003) membandingkan karakteristik fisik dan sensori mi yang dihasilkan dari ketiga varietas tersebut dengan mi yang dibuat dari pati kacang hijau. Karakteristik fisik mi dari ketiga varietas yang paling mendekati mi pati kacang hijau dan secara sensori masih diterima konsumen dianggap paling berpotensi untuk dikembangkan.

Selain itu Chen (2003) juga melakukan penelitian tentang kemungkinan memprediksi kualitas mi dari sifat gel yang dihasilkan. Karakteristik gel yang diamati meliputi storage modulus (G’) yang menunjukkan nilai kekerasan gel, loss tan (tan δ) menunjukkan elatisitas gel,

dan maximum strain yang menunjukkan tegangan maksimum gel.

Karakteristik gel pada penelitian Chen (2003) dapat dilihat pada Lampiran 17. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa pati dengan tingkat kekerasan dan elastisitas tinggi akan menghasilkan mi pati berkualitas tinggi.

Sedangkan pengukuran karakteristik mi yang diamati meliputi karakteristik fisik menggunakan alat (texture profile analyzer) dan analisis sensori. Karakteristik fisik yang diamati meliputi, kelengketan, cutting behaviour, perpanjangan mi (extention), cooking loss dan indeks pengembangan. Hasil analisis fisik, sensori, dan gambar produk akhir mi pati yang dihasilkan pada penelitian Chen (2003) juga dapat dilihat pada Lampiran 18, 19, 20, 21, 22.


(47)

Menurut Chen (2003) pengukuran kelengketan perlu dilakukan tidak hanya untuk melihat karakter kelengketan mi pada beberapa tahapan proses tapi juga untuk melihat pengaruh perlakuan yang diberikan dalam pembuatan mi. Perlakuan yang diberikan adalah pembekuan. Perlakuan pembekuan terbukti mempermudah pemisahan mi pati ubi. Sedangkan mi pati kacang hijau memiliki kelengketan yang paling rendah dan tidak memerlukan perlakuan pembekuan untuk memisahkan untaian mi-nya. Karakteristik kelengketan diukur dengan mengukur cohesive force (Fco), yaitu gaya yang diperlukan untuk melepaskan dua untai mi yang dilekatkan satu sama lain.

Karakteristik perpanjangan mi diukur dengan parameter modulus perpanjangan (E) yang menunjukkan kekerasan regangan (stretch stiffness) dan perpanjangan relatif (re) yang mengukur kemampuan memanjang (stretchability) mi. Karakteristik cutting behaviour ditunjukkan oleh parameter cutting force (Fc) dan peningkatan rasio panjang (rc) mi. Cutting force menunjukkan kekerasan mi, sedangkan peningkatan rasio panjang (rc) menunjukkan fleksibilitas mi.

Karakteristik mi yang diinginkan pada penelitian ini adalah mi yang elastis, tekstur stabil dalam air panas, cukup keras, dan tidak lengket. Mi yang elastis dan cukup keras ditunjukkan dengan nilai cutting behaviour dan perpanjangan mi yang tinggi. Kestabilan dalam air panas ditunjukkan dengan rendahnya nilai cooking loss dan tingginya nilai indeks pengembangan. Sedangkan rendahnya kelengketan ditunjukkan dengan semakin rendahnya nilai cohesive force (Fco).

Hasil penelitian Chen (2003) menunjukkan pati ubi dari varietas Sushu8 mampu menghasilkan mi pati kering dengan kualitas yang sebanding dengan mi pati kacang hijau, bahkan kualitas mi pati ubi masak lebih baik daripada mi pati kacang hijau. Hasil analisis sensori juga menunjukkan, varietas Sushu8 menghasilkan mi yang lebih disukai dibanding mi pati dari kedua varietas lainnya.


(48)

G. MI BASAH

Mi merupakan produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mi (SNI 01-2987-1992). Mi basah umumnya dibuat dengan bahan dasar terigu. Mi terigu menurut Astawan (1999) dapat dikelompokkan mejadi mi segar/mentah, mi basah, dan mi instan.

1. Jenis Mi Basah

Berdasarkan produk yang dipasarkan, terdapat dua jenis mi yaitu mi basah (mi ayam dan mi kuning) dan mi kering (mi telor dan mi instant). Komposisi kedua jenis tersebut di atas hampir sama. Perbedaan keduanya adalah pada kadar air, kadar protein dan tahapan proses pembuatannya.

Berdasarkan bahan baku utamanya, mi basah dapat dibedakan menjadi dua yaitu mi basah yang terbuat dari terigu dan mi basah yang terbuat dari tepung aren. Mi basah yang terbuat dari tepung aren dikenal masyarakat dengan mi “gleser” (Badrudin, 1994). Namun kebanyakan masyarkat lebih mengenal mi basah dengan bahan baku utama terigu. Mi gleser hanya dikenal masyarakat di daerah tertentu.

Mi basah dengan bahan baku terigu dapat digolongkan dalam dua kategori berdasarkan cara pembuatannya, yaitu mi basah mentah dan mi basah matang. Perbedaan keduanya adalah pada tahapan setelah pemotongan. Setelah pemotongan, mi basah mentah hanya ditaburi tapioka untuk menghindari untaian mi lengket satu sama lain. Sedangkan pada mi basah matang, setelah dipotong, mi direbus dan di olesi minyak. Pengolesan minyak bertujuan agar untaian mi matang tidak lengket satu sama lain. Perbedaan tahap perebusan tersebut menyebabkan kedua jenis mi tersebut memiliki perbedaan kadar air yang cukup besar. Mi basah mentah memiliki kadar air sekitar 35%, sedangkan mi basah matang memiliki kadar air sekitar 52% (Astawan, 1999).


(49)

2. Proses Pengolahan Mi Basah

Bahan utama pembuatan mi basah adalah tepung dan air, sedangkan bahan tambahan lain diantaranya adalah garam, air abu, dan telur. Terigu berfungsi sebagai bahan pembentuk struktur, sumber karbohidrat dan protein, dan sumber gluten yang memberi sifat kenyal dan elastis.

Garam berfungsi memberi rasa, memperkuat tekstur, mengikat air, meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mi. Air abu yang biasa digunakan adalah natrium karbonat (Na2CO3), kalium karbonat (K2CO3), kalium polifosfat (KH2PO4). Air abu digunakan sebagai bahan alkali yang digunakan dalam pembuatan mi. Fungsi bahan alkali tersebut berbeda-beda. Na2CO3 berfungsi untuk meningkatkan kehalusan tekstur mi, K2CO3 untuk meningkatkan kekenyalan mi. sedangkan KH2PO4 untuk meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mi (Badrudin, 1994).

Penggunaan telur sebagai bahan baku jarang digunakan dalam skala industri. Telur sendiri cukup berperan dalam kemudahan pembentukan adonan. Kuning telur mengandung lesitin yang dapat mempercepat hidrasi air pada tepung terigu dan mengembangkan adonan. Potein dan lemak bersifat mengikat dan menahan air, sehingga memudahkan terigu menyerap air. Selain itu kegunaan telur adalah dapat meningkatkan kandungan protein dan lemak.

Proses pembuatan mi basah terdiri dari proses pencampuran, pembentukan lembaran, pembentukan mi dan perebusan. Tahapan proses pembuatan mi dapat dilihat pada Gambar 5.

Tahapan pencampuran bertujuan untuk menghasilkan adonan yang homogen, menghidrasi tepung dengan air dan membentuk adonan dari jaringan gluten, sehingga adonan menjadi elastis dan halus. Campuran yang diharapkan adalah lunak, lembut, tidak lengket, elastis, dan mengembang normal.

Setelah pengadukan, tahap selanjutnya adalah pembentukan lembaran (sheeting). Proses pembentukan lembaran bertujuan untuk


(50)

menghaluskan serat-serat gluten dan membuat adonan menjadi lembaran. Tahap sheeting dilakukan dengan melewatkan adonan berulang-ulang di antara dua roll logam pengepres. Sheeting dilakukan hingga ketebalan lembaran 1,5-2 mm (Astawan,1999). Hasil akhir yang diharapkan adalah lembaran adonan yang halus dengan arah jalur serat yang searah, sehingga mi yang dihasilkan elastis, kenyal dan halus (Badrudin,1994).

Gambar 5. Diagram Alir Pembuatan Mi Basah Terigu (Astawan,1999)

Tahap selanjutnya adalah pemotongan lembaran. Proses ini bertujuan membentuk lembaran pita-pita mi dengan dengan lebar 1-3 mm. Setelah tahap pemotongan, jenis mi yang dihasilkan adalah mi basah mentah. Tahap berikutnya untuk memperoleh mi basah matang adalah dengan mengukus atau merebus mi mentah. Pengukusan atau perebusan mi mentah bertujuan agar terjadi gelatinisasi pati dan

Terigu + air

Pencampuran dengan bahan tambahan

Pengadukan hingga homogen

Pembentukan lembaran

Pemotongan

Perebusan (2 menit)

Penirisan dan pendinginan

Pemberian minyak goreng

Mi basah matang

Mi basah mentah


(51)

koagulasi protein sehingga mi menjadi kenyal (Badrudin, 1994). Menurut Astawan (1999), perebusan harus dilakukan pada suhu tinggi selama kurang lebih 2 menit. Suhu perebusan yang tinggi akan mempersingkat waktu perebusan. Waktu prebusan yang terlalu lama akan menyebabkan mi terlalu lembek.

Tahap terakhir dari pembuatan mi basah matang adalah pelumasan mi yang telah direbus dengan minyak goreng. Pelumasan bertujuan agar mi tidak menjadi lengket satu sama lain. Selain itu menurut Mugiarti (2001) seperti dikutip oleh Gracecia (2005) penggunaan minyak dapat memberikan cita rasa dan memperbaiki penampakan mi menjadi mengkilap.

3. Karakteristik Mi Basah

Jenis mi terigu yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia menurut Hou dan Kruk (1998) adalah mi instan dan chinesse wet noodle atau yang kita kenal dengan mi basah. Formula maupun proses pembuatan mi basah yang dikenal di Indonesia awalnya mengadopsi dari Cina. Namun pada perkembangannya, produsen mi basah di Indonesia banyak melakukan modifikasi terutama dalam segi formulasi. Beberapa produsen mensubstitusi terigu dengan tapioka untuk meminimalkan biaya produksi. Namun, modifikasi pada formulasi maupun pada proses diharapkan tidak memberikan perubahan nyata pada karakteristik fisik maupun penampakan mi basah yang dihasilkan.

Mi basah matang di Cina dikenal dengan nama Hokkien noodle. Menurut Miskelly (1996), mi Hokkien banyak dikenal di Malaysia, Indonesia, dan Singapura. Mi Hokkien dimasak selama 1-2 menit dengan bagian tengah yang belum tergelatinisasi. Karakteristik fisik mi Hokkien telah ditetapkan untuk mempermudah penelitian-penelitian yang berkaitan dengan mi tersebut.

Mi Hokkien tergolong dalam mi alkali. Menurut Miskelly (1996), evaluasi terhadap mi alkali dilakukan terhadap warna, penampakan, karakteristik saat dimasak (kehilangan padatan akibat pemasakan),


(52)

eating quality (kekerasan, kelengketan, elastisitas), dan tekstur. Mi alkali seharusnya berwarna kuning, simetris, dapat dimasak dengan cepat dan tidak hancur. Selain itu, setelah dimasak mi tidak lengket dan memiliki tekstur yang elastis dan kenyal.

Karakteristik fisik penting yang perlu diperhatikan dalam pembuatan mi basah adalah warna dan tekstur (Hou dan Krouk,1998). Secara fisik, diameter mi basah berkisar antara 1,5-2mm (Astawan,1999). Hou dan Krouk (1998) menyatakan persyaratan warna untuk mi basah matang adalah warna kuning cerah dan tidak pudar dalam 24 jam. Sedangkan untuk persyaratan tekstur, masih menurut Hou dan Krouk (1998), mi basah matang harus memiliki tekstur yang kenyal, elastis, tidak lengket, mudah digigit, dan memiliki tekstur yang stabil dalam air panas.

Pengukuran parameter kualitas mi bisa dilakukan secara subyektif menggunakan panelis terlatih atau bisa juga dilakukan secara obyektif menggunakan beberapa instrumen pengukuran. Pengukuran secara subyektif agak sulit dilakukan karena menggunakan panelis terlatih yang memerlukan latihan intensif dan tidak bisa langsung menguji sampel dalam jumlah banyak. Pengukuran kualitas mi banyak dilakukan menggunakan alat seperti chromameter, spektrofotometer, texture analyzer atau rheoner. Karakteristik fisik yang diukur meliputi warna, cooking loss, kekerasan, kelengketan dan persen elongasi.

Kualitas mi sangat ditentukan oleh kondisi proses pembuatan. Oleh karena itu pengamatan yang dilakukan tidak hanya dilakukan pada produk akhir, melainkan pada produk intermediet di setiap tahapan pembuatan. Menurut Hou dan Kruk (1998). Tahapan proses yang perlu diperhatikan pada pembuatan mi basah matang antara lain adalah tahap pencampuran, pembentukan lembaran, pemotongan, dan perebusan. Parameter yang diamati pada tahap pencampuran adalah penyerapan air yang optimum, ukuran partikel adonan kecil dan seragam. Sedangkan pada tahap pembentukan lembaran, parameter yang diamati adalah adonan mudah dibentuk lembaran, permukaan halus, tidak mudah sobek


(1)

Lampiran 11. Hasil uji sidik ragam pengaruh peningkatan konsentrasi Guar gum terhadap KPAP ANOVA KPAP Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 2.726 2 1.363 .909 .437

Within Groups 13.503 9 1.500

Total 16.229 11

Lampiran 12. Hasil uji Independent T-test pengaruh jenis pengikat pada konsentrasi 1% terhadap KPAP

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig. (2-tailed) Mean Difference Std. Error Difference 95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper

KPAP Equal variances assumed

.004 .953 -.658 6 .535 -.6814 1.03612 -3.21669 1.85389 Equal

variances not assumed

-.658 6.000 .535 -.6814 1.03612 -3.21674 1.85394

Lampiran 13. Hasil uji Independent T-test pengaruh jenis pengikat pada konsentrasi 1.5% terhadap KPAP

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig. (2-tailed) Mean Difference Std. Error Difference 95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper

KPAP Equal variances assumed

17.248 .006 -4.791 6 .003 -3.0180 .62997 -4.55944 -1.47646 Equal

variances not assumed


(2)

Lampiran 14. Hasil uji Independent T-test pengaruh jenis pengikat pada konsentrasi 2% terhadap KPAP

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper

KPAP Equal variances assumed

.001 .979 -3.810 6 .009 -2.9255 .76785 -4.80442 -1.04668 Equal

variances not assumed

-3.810 5.887 .009 -2.9255 .76785 -4.81319 -1.03791

Lampiran 15. Data cooking quality dan texture profile analyzer (TPA) mi pati dari beberapa jenis pati

Starch Cooked weight (g)a

Cooking loss

(%)a

TPA Meansb

Hardness

(kg) Cohesiveness

Mainechip 32.9bc 3.4a 1.16bc 0.62a

ND651-9 3502a 3.3a 1.03c 0.61a

Avebed 29.7d 2.8a 0.85d 0.54b

Navy bean 31.0cd 0.9c 1.24b 0.35d

Pinto bean 28.1e 1.3bc 1.75a 0.41c

Commerciale 32.4bc 1.9b 0.77d 0.62a

Sumber : Kim et al., (1996) Keterangan tabel

a : Nilai yang dilaporka adalah rataan dari dua kali ulangan b : Nilai yang dilaporkan adalah rataan dari lima kali pengamatan

c : Nilai rataan dengan huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan

d : Pati kentang komersial yang didapat dari Avebe company e : Diproduksi dari pati kacang hijau

Lampiran 16. Skor evaluasi sensori mi patia

Pati Rata-rata

b

TR SL FI CH TP OA

Commercialc 11.21bd 11.24a 9.19c 9.03b 4.60b 12.04a Avebee 11.91a 9.67b 9.20c 10.17a 5.47a 10.09c Mainechip 10.83b 11.28a 11.16a 10.32a 4.94ab 11.92a ND651-9 11.93a 10.97a 10.20b 10.11a 5.04ab 11.15b Navy bean 5.41d 10.86a 11.17a 8.05c 4.82b 7.01d Pinto bean 6.05c 10.92a 11.80a 10.19a 5.00ab 7.40d


(3)

Keterangan tabel

a : skala rating : 0 (rendah) hingga 15 (tinggi)

b : TR = transparancy, SL=slipperiness FI=firmness CH=chewiness TP=tooth packing,OA=overall acceptability

c : Diproduksi dari pati kacang hijau

d : Nilai rataan dengan huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan

e : Pati kentang komersial yang didapat dari Avebe company

Lampiran 17. Stress sweep gel pati dari tiga varietas ubi Cina dibandingkan dengan gel pati kacang hijau.

Sampel G’ (Pa) Tan δ Max strain

SuShu2 160c ± 10 0.034a ± 0.004 0.35a ± 0.03 SuShu8 300b ± 17 0.030a ± 0.003 0.35a ± 0.05 XuShu18 320b ± 30 0.027a ± 0.004 0.33a ± 0.04 Kacang hijau 820a ± 27 0.007b ± 0.001 0.38a ± 0.03

Sumber : Chen (2003)

N = 3 Rataan sampel dengan huruf yang sama dalam satu kolom adalah berbeda nyata p<0.05

Lampiran 18. Kelengketan (Fco (N)) mi pati pada beberapa tahapan proses persiapan mi

Sampel

Mi

Mentah Setelah

pembekuan Masak

SuShu2 0.043a ± 0.005 0.0106a ± 0.0019 0.0075a ± 0.0018 SuShu8 0.033b ± 0.005 0.0068b ± 0.0023 0.0049b ± 0.0015 XuShu18 0.024c ± 0.006 0.0065b ± 0.0023 0.0050b ± 0.0011 Kacang hijau 0.019c ± 0.004 0.0044b ± 0.0015 0.0046b ± 0.0014

Sumber : Chen (2003)

Lampiran 19. Karakteristik tekstur mi dari tiga varietas ubi cina dan kacang hijau

Sampel Mi kering Mi masak

E (Pa) re Fc (N) rc E (Pa) re Fc (N)

SuShu2 4.74x108c (0.38x108)

9.70x10-2b (0.8 x10-2)

10.40c (1.39)

7.45 x10-2b (1.95 x10-2)

2.62 x105c (0.55 x105)

1.23 x10-1b (0.20 x10-1)

1.13 x10-1c (0.24 x10-1)

SuShu8 5.6x108ab (0.44x108)

2.15 x10-2a (0.33 x10-1)

19.69a (2.22)

1.13 x10-1a (0.19 x10-1)

4.32 x105b (0.67 x105)

2.59 x10-1a (0.72 x10-1)

1.58 x10-1b (0.28 x10-1)

XuShu18 4.95x108bc (0.73 x108)

1.11 x10-1b (0.26 x10-1)

15.16ab (2.32)

8.95 x10-2ab (1.72 x10-2)

4.13 x105b (0.64 x105)

2.16 x10-1a (0.36 x10-1)

1.50 x10-1b (0.21 x10-1)

Kacang hijau

6.10 x108a (1.22 x108)

1.15 x10-1b (2.41 x10-2)

19.79a (2.06)

9.86 x10-2a (1.39 x10-2)

1.18 x106a (1.65 x105)

1.99 x10-1a (2.93 x10-2)

2.94 x10-1a (4.41 x10-2) Sumber : Chen (2003)

N= 8. Rataan sampel dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda secara signifikan pada p<0.5. Angka dalam kurung menunjukkan standar deviasi.


(4)

Lampiran 20. Cooking loss mi pati yang terbuat tiga varietas ubi cina dan pati kacang hijau.

Sumber : Chen (2003)

Lampiran 21. Indek pengembangan mi pati yang direndam dalam air panas (90oC)


(5)

Lampiran 22. Penampakan mi pati kering (D) dan mi pati masak (C) yang terbuat dari tiga varietas ubi cina dan pati kacang hijau.

Sumber : Chen (2003)

Lampiran 23. Nilai rata-rata skala atribut sensori dan kesukaan mi pati kering yang terbuat dari tiga varietas ubi cina dan kacang hijau

Sampel Atribut Kesukaan

Warna Transparansi Glossiness Fleksibilitas

SuShu2 10.9 ± 2.0a 5.6 ± 3.2c 5.0 ± 2.5c 6.2 ± 3.4b 5.3 ± 2.1c SuShu8 6.9 ± 2.1c 9.6 ± 2.9a 8.9 ± 3.2ab 10.3 ± 2.3a 10.1 ± 2.6a XuShu18 8.7 ± 1.6b 6.9 ± 2.1b 7.5 ± 2.3b 7.8 ± 2.7b 8.1 ± 2.6b Kacang

hijau 5.5 ± 2.2c 10.5 ± 3.1a 11.1 ± 3.2a 10.5 ± 2.5a 11.7 ± 1.4a

Sumber : Chen (2003)

N = 12. Rataan sampel dengan huruf yang berbeda dalam kolom yang sama adalah berbeda nyata pada p<0.05.

Lampiran 24. Nilai rata-rata skala atribut sensori dan kesukaan mi pati masak yang terbuat dari tiga varietas ubi cina dan kacang hijau

Sumber : Chen (2003)

Sampel Atribut Kesukaan

Warna Transparansi Glossiness Elastisitas Kelicinan Kekerasan Kekenyalan

SuShu2 6.8±3.4a 6.1±3.5a 7.7±3.1a 6.1±3.5b 9.4±3.1a 4.8±2.0c 5.9±2.1b 6.3±3.1b

SuShu8 5.4±3.7a 7.3±4.3a 9.4±1.8a 11.5±2.1a 11.0±1.9a 8.3±3.2ab 9.8±2.0a 11.8±2.6a

XuShu18 6.3±2.9a 6.2±2.8a 8.1±2.5a 7.9±3.5b 9.6±2.0a 6.6±2.2b 8.7±2.8a 7.6±2.6b

Kacang hijau


(6)