192
keberadaan prostitusi anak. Perda tersebut hanya mengatur tentang eksploitasi seksual komersial secara umum.
b. Belum adanya Peraturan Daerah yang khusus mengatur tentang
Pelacuran Anak. c.
Sanksi yang diberikan dalam Perda No. 3 Tahun 2006 belum bisa dilaksanakan semaksimal mungkin, karena belum mencantumkan
batas minimal sanksi pidana atau denda.
2. Struktur Hukum
Struktur hukum kelembagaan selaku pelaksana kebijakan erat hubungannya dengan hukum, karena struktur hukum sangat diperlukan
dalam penerapan suatu hukum. Kelembagaan disini bisa berupa lembaga pemerintah maupun non pemerintah. Maka dari itu diperlukan faktor
komunikasi dalam melakukan implementasi suatu kebijakan. Seperti dikemukakan Edward III dalam Joko Widodo, 2007: 97 bahwa faktor
komunikasi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan. Komunikasi
diartikan sebagai proses penyampaian informasi oleh komunikator kepada komunikan. Komunikasi kebijakan berarti proses penyampaian informasi
kebijakan dari pembuat kebijakan
policy maker
kepada pelaksana kebijakan
policy implementors
. Informasi kebijakan publik perlu disampaikan kepada pelaku agar para pelaku kebijakan dapat mengetahui,
memahami apa yang menjadi isi, tujuan, arah, kelompok sasaran
target
193
groups
apa yang harus dipersiapkan dan lakukan untuk melaksanakan kebijakan publik agar apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan
dapat dicapai sesuai dengan yang diharapkan. Begitu juga dalam penerapan Pasal 66 UU RI No. No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, peran dari lembaga-lembaga tersebut sangat dibutuhkan sekali. Dalam pasal 66 UU Perlindungan Anak
dinyatakan bahwa perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi danatau seksual sebagaimana anak yang dimaksud dalam
pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dan masyarakat.
Berdasarkan pasal 66 tersebut jelas sekali bahwa pemerintah dan masyarakat dituntut peran sertanya dalam memberikan perlindungan
khusus terhadap anak yang dieksploitasi secara ekonomi danatau seksual. Maka dari itu untuk memberikan perlindungan kepada anak-anak yang
tereksploitasi secara seksual, Pemeritah Kota Surakarta membuat Perda Surakarta No. 3 Tahun 2006 dan menyusun Rencana Aksi Kota
Penghapusan ESKA. Maka untuk melaksanakan Perda dan RAK-PESKA tersebut Pemerintah Surakarta dalam hal ini DKRPPKB bekerjasama
dengan instansi-instansi terkait, yang meliputi Poltabes Surakarta, Rumah SakitPoliklinik Bhayangkara Polwil Surakarta, LSM Kakak, Panti Karya
Wanita “Wanita Utama” Surakarta, PPK-UNS dan korban ESKA. Agar pelaksanaan Perda dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan maka
DKRPPKB bersama instansi terkait melakukan sosialisasi tentang
194
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan ESKA, pemantauan terhadap korban ESKA dan membuat pelaporan. Dalam pelaksanaan Perda
tersebut dirasakan adanya kekuatan-kekuatan sosial. Dalam mengimplementasikan Pasal 66 UU RI NO. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, Pemerintah Kota Surakarta menghadapi kendala, karena secara struktur hal tersebut disebabkan oleh faktor-faktor
berikut : a.
Para penegak hukum masih di latarbelakangi oleh cara pandang yang sensitif gender. Mereka masih memperlakuan anak korban ESKA sama
dengan orang dewasa. Bahkan dari pihak aparat penegak hukum sendiri ada yang menjadi pengguna dari anak yang dilacurkan sehingga
hal tersebut membuat korban kehilangan rasa kepercayaan terhadap aparat penegak hukum.
b. Lembaga pemerintah maupun non pemerintah yang selama ini terkait
dengan penanganan prostitusi, terutama yang menyangkut data dan informan tentang penanganan anak yang dilacurkan, hanya sedikit
sekali yang bisa memunculkan data dan informan yang dilacurkan maupun penanganan terhadap anak yang dilacurkan. Selebihnya
mereka hanya memiliki data dan informasi tentang keberadaan dan penanganan anak korban ESKA.
c. Belum adanya lembaga Rehabilitasi anak korban ESKA dan masih
minimnya LSM yang khusus menangani anak korban ESKA.
195
d. Masih kurangnya pemahaman staf instansi terkait dalam melakukan
penanganan terhadap ESKA sehingga hasil yang dicapai tidak bisa semaksimal mungkin.
Seperti dikemukakan Edward III dalam Joko Widodo, 2007: 98 yaitu bahwa “Faktor sumber daya mempunyai peranan penting dalam
implementasi kebijakan. Bagaimanapun jelas dan konsistennya ketentuan atau aturan-aturan, serta bagaimanapun akuratnya penyampaian ketentuan-
ketentuan atau aturan-aturan tersebut, jika para pelaksana kebijakan yang bertanggungjawab untuk melaksanakan kebijakan kurang mempunyai
sumber-sumber daya untuk melakukan secara efektif, maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan efektif”.
3. Budaya Hukum