22 d.
Pemeriksa pajak wajib mengembalikan buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen yang dipinjam dalam keadaan lengkap sesuai dengan jumlah dan
kondisi saat pertama kali dipinjam.
C. Pemeriksa Pajak
Pemeriksa pajak menurut Bwoga, Yoseph, dan Tony 2005:5 adalah sebagai berikut:
“Pemeriksa pajak adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak
yang diberi tugas, wewenang, dan bertanggung jawab untuk melaksanakan pemeriksaan pajak”.
Sedangkan menurut Pradiat 2008:14 adalah sebagai berikut: “Pemeriksa pajak harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi
dengan Surat Perintah Pemeriksaan, serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa”.
Berdasarkan deinisi di atas, pemeriksa pajak adalah petugas pemeriksa harus telah mendapat pendidikan teknis yang cukup dan memiliki ketrampilan
dalam memeriksa pajak. Dalam menjalankan tugasnya, pemeriksa harus bekerja dengan jujur, bertanggung jawab, penuh pengertian, sopan, dan
objektif serta menghindarkan diri dari perbuatan tercela.
D. Efektivitas, Efisiensi, dan Kualitas Pemeriksaan Pajak
1. Efektivitas Pemeriksaan Pajak
Efektivitas menurut Sondang P. Siagian 2001 : 24 adalah sebagai berikut:
23 “Efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana, dan prasarana dalam
jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankannya.
Efektivitas menunjukan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran,
berarti makin tinggi efektivitasnya”.
Sedangkan efektivitas menurut Abdurahmat 2003:92 sebagai berikut:
“Efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana, dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk
menghasilkan sejumlah pekerjaan tepat pada waktunya”.
Berdasarkan definisi di atas, efektivitas pemeriksaan pajak adalah kriteria efektivitas yang menggambarkan seluruh siklus input-proses-out
put dalam pemeriksaan pajak. Ini menggambarkan hubungan timbal balik
antara wajib pajak dan pemeriksa pajak yang lebih luas terhadap hidupnya pemeriksa pajak dan dimensi waktu yang menggambarkan tentang
kelangsungan hidup suatu organisasi. Yuwono 2002: 23 mendefinisikan pengukuran efektivitas sebagai
berikut: “Pengukuran efektivitas adalah tindakan pengukuran yang dilakukan
berbagai aktivitas, dalam rantai yang ada dalam perusahaanorganisasi, yang hasil pengukurannya akan digunakan sebagai umpan balik yang akan
memberikan informasi tentang prestasi pelaksanaan surat rencana, dan tingkat saat organisasi memerlukan penyesuaian atau efektivitas
perencanaan dan pengendalian”.
Sedangkan menurut T. Hani Handoko 1998:103 menyatakan bahwa ada beberapa kriteria dalam mengukur efektivitas, yaitu:
a. Kegunaan.
b. Ketepatan dan objektivitas.
24 c.
Ruang lingkup. d.
Efektivitas biaya. e.
Akuntabilitas. f.
Ketepatan waktu. Jadi, kriteria dalam efektivitas pemeriksaan pajak yang pertama
adalah suatu prestasi dari pemeriksa dalam melakukan pemeriksaan apabila melakukan kinerja yang baik. Kedua, tercapainya sasaran, tujuan
atau keberhasilan dari pemeriksa dalam merencanakan pemeriksaan. Ketiga, menggunakan cara kerja dari pemeriksa yang baik dan benar
sesuai dengan prosedur yang ada. Keempat, merupakan hasil berdasarkan penggunaan sumber daya-sumber daya yang ada seperti tenaga kerja dan
biaya. Kelima, produktivitas dalam bentuk pelayanan.
2. Efisiensi Pemeriksaan Pajak
Pengertian efisiensi menurut T. Hani Handoko 2003:7 adalah sebagai berikut:
“Efisiensi adalah kemampuan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dengan benar. Ini merupakan konsep matematik, atau merupakan
perhitungan ratio antara keluaran out put dan masukan input”.
Sedangkan pengertian efisiensi menurut Agus Wibisono 2010:1 adalah sebagai berikut:
“Penggunaan sumber daya secara minimum guna pencapaian hasil yang optimum. Efisiensi menganggap bahwa tujuan-tujuan yang benar telah
ditentukan dan berusaha untuk mencari cara-cara yang paling baik untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Efisiensi hanya dapat dievaluasi dengan
penilaian-penilaian relatif, membandingkan antara masukan dan keluaran yang diterima”.
25 Berdasarkan definisi di atas, efisiensi pemeriksaan pajak adalah
melakukan pemeriksaan dengan penghematan sumber daya yang ada. Input
yang dikeluarkan harus lebih kecil dari penerimaan pajak yang diterima, dan dengan begitu tingkat efisiensi yang optimal dapat dicapai
dengan penggunaan sumber yang terbatas. Dalam perpajakan terdapat asas ekonomi yang bermakna bahwa
harus ada efisiensi dalam pemungutan pajak. Biaya yang harus dikeluarkan dalam mengadministrasikan, mengelola, dan memungut pajak harus lebih
kecil dari penerimaan pajak. Demikian pula pengorbanan masyarakat yang timbul akibat dari pemungutan pajak harus lebih kecil daripada manfaat
yang dapat dirasakan masyarakat dari pajak Diaz Priantara, 2000 dalam Sandra Buana, 2002:66.
Nasucha 2000:3 pemeriksaan yang efisien akan ditandai dengan penghematan penggunaan sumber daya berupa waktu, tenaga, material,
dan sarana yang ada. Namun pengukuran efisiensi tehadap biaya seperti organsasi laba tidak dapat dilakukan sebagai contoh biaya perjalanan dinas
pemeriksaan dibandingkan dengan penerimaan setoran pajak. Biaya perjalanan dinas yang pemeriksaan yang tetap tidak mungkin dijadikan
acuan berapa besarnya penetapan yang diterbitkan. Efisiensi waktu akan ditunjukkan dengan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk penyelesaian
pemeriksaan, tingkat kerelaan terhadap tersitanya waktu wajib pajak, efisiensi material ditunjukkan dengan jenis data yang dibutuhkan oleh
Fiskus Teddy Sanguadi, 2004:28.
26 Efisien adalah ukuran berapa banyak input untuk masing-masing
unit out put. Sistem pemungutan pajak adalah sistem kebijakan publik yang mencakup hubungan timbal balik antar tiga unsur, yaitu: kebijakan
publik, pelaku kebijakan, dan lingkungan Osbone dan Gaebler, 2000:23 dalam Totok Harianto, 2006:17.
Dipantau dari kebijakan publik adalah keluaran output dan dampak impacts. Keluaran kebijakan meliputi barang, layanan, atau sumber daya
yang diterima oleh sekelompok sasaran, sedangkan dampak berkenaan dengan akibat yang diharapkan. Kebijakan publik dalam penelitian ini
berupa peraturan perundangan perpajakan, pelaku kebijakan adalah aparat dan wajib pajak, sedangkan lingkungan kebijakan adalah tempat
diberlakukannya kebijakan. Peraturan perpajakan digunakan untuk mempengaruhi perilaku
setiap orang untuk tujuan ekonomi dan sosial. Efek ini begitu penting pada sistem pemungutan pajak yang berdasarkan self assesment dan kepatuhan
sukarela voluntary compliance. Mengetahui motif dan kebutuhan serta faktor pencipta kekuatan dan kelemahannya menjadi penting bagi pembuat
kebijakan pajak dalam pelaksanaan maupun evaluasi. Pencapaian penerimaan pajak pada posisi ekstrim dapat dicapai dengan menjalankan
pemeriksaan dan pengenaan sanksi yang memiliki kemungkinan timbulnya biaya tinggi.
Agar adil, sistem perpajakan yang baik sebaiknya efisien, menggunakan sesedikit mungkin dana serta sumber daya lainnya Rosen,
27 1999:88 dalam Sandra Buana 2002:66. Tiga ukuran dari efisiensi
perpajakan yaitu: biaya administrasi, biaya kepatuhan, serta beban lebih. a.
Biaya Administrasi Untuk memungut pajak, dibutuhkan biaya. Pemerintah harus
mempekerjakan petugas pemungut untuk mengumpulkan penerimaan pajak, petugas klerikal data untuk memproses laporan SPT wajib
pajak, petugas pemeriksa untuk menilaimengawasi SPT tersebut, para ahli hukum untuk menangani perkara yang mungkin timbul serta
akuntan untuk melacak aliran dana. Biaya administrasi tentu saja terdiri dari biaya seluruh sumber daya pada sektor publik untuk melaksanakan
masing-masing jenis pajak. Hal ini terdiri dari gaji, upah tenaga kerja, serta akomodasi yang digunakan oleh staf.
b. Biaya Kepatuhan
Wajib pajak sangatlah sulit untuk dihitung. Biaya mematuhi ketentuan perpajakan tidak hanya terdiri dari uang yang dibelanjakan untuk
membayar akuntan dan konsultan pajak, tetapi juga waktu yang dihabiskan wajib pajak untuk memenuhimelengkapi SPT tersebut.
Biaya tersebut termasuk pula biaya mental yang ditandai dengan penderitaan kecemasan sebagai hasil dari kegiatan perpajakan.
Walaupun biaya tersebut bukanlah merupakan pengeluaran kebutuhan langsung, tetap merupakan “Sesuatu yang setara dengan pengeluaran
dimana setiap orang berkeinginan untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari biaya tersebut”.
28 c.
Beban Lebih Sebagai bagian dari penerimaan negara yang meningkat, pajak
menimbulkan biaya ekonomi bagi masyarakat. Biaya-biaya tersebut dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: beban lebih perpajakan, biaya
kepatuhan, dan biaya adminstrasi. Biaya lebih dari suatu pajak tergantung dampak yang ditimbulkan pada mekanisme harga
berjalanberlaku. Sedangkan ada tiga tolok ukur untuk menilai administrasi pajak agar
efisien menurut Devas 2000:67, yaitu sebagai berikut: a.
Upaya pajak merupakan perbandingan antara hasil suatu sistem pajak dengan kemampuan masyarakat untuk membayar pajak.
b. Hasil guna pajak mengukur hubungan antara hasil pungutan suatu pajak
dengan potensi hasil pajak itu sendiri. Di sini semua wajib pajak diharapkan akan membayar pajak terutangnya masing-masing.
c. Daya guna pajak adalah untuk menilai kemampuan administrasi
perpajakan baik efisien, eksternal, maupun efisiensi internal. Dari penjelasan di atas, maka untuk mendapatkan suatu penerimaan
pajak yang maksimal diperlukan penerapan administrasi pajak yang efisien. Semakin besar beban lebih dari suatu jenis pajak, maka akan
semakin kecil tingkat efisiensinya. Dengan penerapan administrasi pajak oleh instansi yang berwenang ini, akan mendapatkan out put kinerja
administrasi pajak.
29
3. Kualitas Pemeriksaan Pajak
Kualitas menurut Kotler 2001:84 adalah sebagai berikut: “Quality is the totality of features and characteristics of a product or
service that bear in its ability to satisfy started or implied needs”. Artinya kualitas merupakan totalitas ciri-ciri dan karakteristik suatu
produk atau jasa yang berpusat pada kemampuan produk tersebut untuk memuaskan atau memenuhi kebutuhan yang diinginkan. Kualitas jasa
merupakan karakteristik yang harus dipenuhi dalam pemeriksaan pajak, sehingga kepuasan wajib pajak terhadap kualitas pemeriksa sesuai dengan
norma-norma yang ada. Sedangkan kualitas menurut Fandy Tjiptono 2000:51 adalah
sebagai berikut: “Kualitas pelayanan atau jasa adalah upaya pemenuhan kebutuhan dan
keinginan pelayanan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi harapan pelanggan”.
Berdasarkan definisi di atas, kualitas pemeriksaan pajak digambarkan sebagai bentuk sikap, tetapi tidak sama dengan kepuasan,
yang dihasilkan dari perbandingan antara harapan wajib pajak dengan kemampuan pemeriksa pajak. Kualitas dari sebuah pelayanan sangat
tergantung pada dua variabel, yaitu pelayanan yang diharapkan atas pelayanan dari pemeriksa pajak dan pengalaman yang telah dialami
sebelumnya. Kualitas
pemeriksaan pajak
ditentukan oleh
norma-norma pemeriksaan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
30 199PMK.032007 tentang tata cara pemeriksaan yang pada dasarnya
dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: a.
Norma pemeriksaan yang berkaitan dengan pemeriksa pajak, yang menyangkut kualifikasi tertentu yang harus dimiliki oleh pemeriksa.
b. Norma pemeriksaan yang berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan,
yang menyangkut tata cara dalam melaksanakan pemeriksaan. c.
Norma pemeriksaan yang berkaitan dengan wajib pajak, yang mengatur bagaimana hubungan pemeriksa dengan wajib pajak selama melakukan
pemeriksaan. Dalam penelitian ini pemeriksaan akan ditelaah menurut beberapa
kriteria yaitu dengan memasukkan variabel: efektivitas, efisiensi, dan kualitas dalam hubungannya dengan tingkat kemudahan penagihan
tunggakan pajak yang masih harus dibayar sebagai hasil pemeriksaan. Seperti telah diuraikan sebelumnya pemeriksaan akan mendorong
perubahan sikap wajib pajak agar patuh terhadap peraturan yang berlaku, dengan demikian wajib pajak harus diberikan pula kesempatan
mendapatkan hak-haknya saat dilakukan pemeriksaan. Pemenuhan hak secara memadai mendekatkan pada kepuasan atas kualitas pemeriksaan itu
sendiri. Pemeriksaan yang berkualitas akan ditunjukkan dengan adanya
kepastian hukum pelaksanaan uji kepatuhan dan penetapannya. Pemeriksaan yang dijalankan oleh fiskus untuk menentukan besarnya
pajak yang harus dibayarkan oleh wajib pajak harus berkepastian hukum
31 baik mengenai subjek, objek dasar pengenaan, dan saat terutangnya. Dari
pemeriksaan tersebut wajib pajak dapat mengetahui objek pajak yang menjadi kewajibannya, sehingga apabila ternyata dikenakan sanksi
administrasi wajib pajak dapat menguji, membandingkan, dan meyakini keandalannya Santoso Brotodiharjo, 1991:32 dalam Totok Harianto
2006:25. Sedangkan menurut Fandy Tjiptono 2005:261 ada kriteria kualitas
harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a.
Profesionalisme dan keahlian. b.
Sikap dan perilaku. c.
Keandalan dan sifat dipercaya. d.
Kredibilitas. Berdasarkan uraian diatas, kualitas pemeriksaan pajak digambarkan
sebagai adanya profesionalisme pemeriksa pajak dalam pemeriksaan pajak, dan tentunya mempunyai kredibilitas yang tinggi. Keandalan dan
perilaku juga mempunyai pengaruh dalam pemeriksaan pajak sehingga dengan demikian wajib pajak bisa patuh terhadap peraturan yang ada.
E. Kebijakan Penagihan Pajak
Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau
memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika, dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan
32 penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang-barang yang telah
disita. Penagihan pajak dapat dilakukan dengan penagihan pajak pasif dan penagihan pajak aktif Early Suandy, 2005:174.
Penagihan pajak pasif dilakukan dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak STP, Surat Ketetapan Pajak Kurang bayar SKPKB, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan SKPKBT, Surat Keputusan Pembetulan yang menyebabkan pajak terutang menjadi lebih besar, Surat Keputusan
Keberatan yang menyebabkan pajak terutang menjadi lebih besar, Surat Keputusan Banding yang menyebabkan pajak terutang menjadi lebih besar.
Jika dalam waktu 30 tiga puluh hari belum dilunasi, maka tujuh hari setelah jatuh tempo akan diikuti dengan penagihan pajak secara aktif yang dimulai
dengan menerbitkan surat teguran. Penagihan aktif merupakan kelanjutan dari penagihan pajak pasif,
dimana dalam upaya penagihan ini upaya fiskus berperan aktif dalam arti tidak hanya mengirim surat tagihan atau surat ketetapan pajak tetapi akan
diikuti dengan tindakan sita, dan dilanjutkan dengan pelaksanan lelang. Untuk meningkatkan penerimaan negara melalui pencairan tunggakan pajak,
maka pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Direktorat Jenderal Pajak perlu mempunyai otoritas atau wewenang untuk menagih tunggakan pajak. Otoritas
tersebut dapat berupa peraturan aturan, prosedur, maupun wewenang. Demi menjamin terlaksananya penagihan pajak dan begitu besar peranan penagihan
pajak terhadap penerimaan pajak. Saat ini penagihan pajak dengan surat paksa diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24PMK.032008
33 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan dengan Surat Paksa dan
Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus, perubahan dari Undang- undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Tindakan pemerintah untuk melakukan pemaksaan adalah untuk mengusahakannya terpenuhinya kewajiban wajib pajak, yang ada tanda-tanda
akan dilunasinya hutang pajak tersebut. Dalam melakukan tindakan memaksa tersebut, pada prinsipnya tidak memberikan keistimewaan bagi suatu pihak
untuk tidak memenuhi kewajiban perpajakannya. Keistimewaan yang bersifat pengecualian hanya diberikan pada suatu “keadaan” bukan pada orang. Ini
artinya suatu keadaan yang tidak memungkinkan untuk melaksanakan penagihan dengan paksa misalnya keadaan keuangan wajib pajak tidak
memungkinkan, maka pengecualian diberikan dalam bentuk pembayaran dengan cicilan, sehingga wajib pajak merasakan adanya keadilan dalam
prinsip perpajakan Indonesia. Peraturan-peraturan dalam melakukan tindakan pemeriksaan haruslah memenuhi target kewajiban utamanya, yaitu:
pembayaran pajak, untuk menjamin penerimaan negara, maka diadakan suatu paksaan yang bersifat langsung dengan melakukan penyitaan dan pelelangan
barang-barang dari wajib pajak. Sebagaimana halnya dengan setiap kewajiban, maka kewajiban-
kewajiban yang timbul dalam hukum pajak pun harus dipenuhi, dengan membayar pajak itu. Barang siapa yang mengetahui, bahwa wajib pajak tidak
memenuhi keharusannya membayar pajak, tentu akan menderita akibat-akibat yang tidak menyenangkan baginya, dengan demikian wajib pajak akan
34 menunaikan kewajibannya tanpa menunggu–nunggu ditimpanya oleh paksaan
yang mengancamnya. Agar terjamin pemasukan uang ini dalam kas negara, maka dalam hal ini diadakanlah paksaan yang bersifat langsung, yaitu dengan
penyitaan dan pelelangan barang-barang orang yang berhutang pajak Santoso Brotodihardjo, 2008:196.
F. Tindakan Penagihan Tunggakan Pajak