Landasan Syariah Konsep Jual Beli

orang lain yang dibutuhkan yaitu harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.

3. Rukun dan Syarat Jual Beli

Para ulama berbeda pendapat mengenai rukun jual beli. Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli hamya ijab dan qabul. Berarti menurut mereka, yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli. Indikasi yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi, dapat tergambar dalam ijab dan qabul, atau melalui cara saling memberikan barang dan harga barang. Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun jual beli terdiri: 4 a Orang-orang yang berakad penjual dan pembeli Syarat bagi orang yang melakukan akad adalah berakal, baligh, atas kehendak sendiri, dan tidak pemboros. Oleh karena itu, baik laki-laki maupun perempuan selama terpenuhi syarat tersebut, ia berhak melakukan jual beli tanpa ada seorang pun yang boleh menghalanginya, termasuk wali maupun suaminya. b Lafadz ijab dan qabul sighat Dalam ijab dan qabul tidak ada keharusan untuk menggunakan kata-kata khusus, karena ketentuan hukumnya ada pada akad dengan tujuan dan makna, bukan dengan kata-kata dan bentuk kata-kata itu sendiri. Yang diperluka adalah saling rela yang direalisasikan dalam bentuk mengambil 4 AH. Azharudin Lathif, Fiqh Muamalat, Jakarta:UIN Jakarta Press, 2005, hal. 101 dan member atau cara lain yang dapat menunjukkan keridhoan dan berdasarkan makana pemilikan dan mempermilikkan. Syarat yang terkait dengan ijab dan qabul : 1 Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal. 2 Qabul sesuai dengan ijab. 3 Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis. c Objek Jual Beli Ma‟qud alaih Yang terdiri dari barang yang diperjualbelikan, dan harga barang. Barang yang diperjualbelikan disyaratkan suci bersihnya barang, dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. Oleh karena itu, bangkai, khamar, dan benda-benda haram lainnya tidak sah menjadi objek jual beli, karena benda-benda tersebut tidak bermanfaat bagi manusia dalam pandangan syar a‟. Selanjutnya, barang tersebut milik seseorang yang melakukan akad, dapat diserahkan pada saat akad berlangsung atau pada waktu yang telah disepakatibersama ketika akad berlangsung. d Nilai Tukar harga barang Hendaknya merupakan harga yang disepakati kedua belah pihak. Harus jelas jumlahnya, dapat diserahkan pada waktu akad transaksi sekalipun secara hokum seperti pembayaran cek atau kartu kredit. Apabila barang itu dibayar kemudian berhutang, maka harus jelas waktu pembayarannya. Apabila jual beli itu dilakukan secara barter atau saling mempertukarkan barang al muqayadhah, maka barang yang dijadikan nilai tukar, bukan barang yang diharamkan syara‟ seperti babi dan khamar, karena kedua jenis benda itu tidak bernilai dalam pandangan syara‟.

4. Bentuk-Bentuk Jual Beli

Ulama Hanafiah membagi jual beli dari segi sah atau tidaknya menjadi tiga bentuk: a Jual Beli yang Sahih Jual beli yang sesuai dengan disyari‟atkan, memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, bukan milik orang lain, tidak tergantung pada hak khiyar lagi. Sifatnya mengikat kedua belah pihak. b Jual Beli yang Batal Apabila salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli itu pad a dasar dan sifatnya tidak disyari‟atkan. Diantara bentuknya: Jual beli sesuatu yang tidak ada bai‟ al-ma‟dum, Jual beli yang mengandung unsur penipuan gharar. Jual beli benda-benda najis dan tidak mengandung makna harta, seperti bangkai. al- ‟Arbun, jual beli yang dilakukan melalui perjanjian, pembeli membeli sebuah barang dan uangnya seharga barang diserahkan kepada penjual, dengan syarat apabila pembeli tertarik dan setuju, maka jual beli sah. Tapi jika pembeli tidak setuju dan barang dikembalikan, maka uang yang telah diberikan pada penjual menjadi hibah bagi penjual.