Pengertian Konsep Jual Beli

2. Landasan Syariah

Jual beli disyariatkan berdasarkan Al- Qur‟an, Sunnah, dan Ijma, yakni 3 : a Al-Qur‟an 1 Al-Baqarah 275                                                    Artinya: “Orang-orang yang makan mengambil riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata berpendapat, Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti dari mengambil riba, Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu sebelum datang larangan; dan urusannya terserah kepada Allah. orang yang kembali mengambil riba, Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. ” Q.S Al-Baqarah: 275 3 Rachmat Syafe‟I, Fiqih Muamalah. Bandung:Pustaka Setia, 2004, hal 75 2 An-Nisa 29                           Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. ” Q.S An-Nisaa: 29 b Sunnah diantaranya, artinya Nabi SAW ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau menjawab: seseorang bekerja dengan tanganya dan setiap jual beli yang mabrur HR. Bajjar, Hakim menshahihkannya dari Rifa‟ah Ibn Rafi‟. Maksud mabrur dalam hadits diatas adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain. “wainnamal bai‟u antaraaddin” jual beli harus dipastikan harus saling meridhai HR. Baihaki dan Ibnu Majah. c Ijma, ulama telah sepakat bahwa jual beli telah dibolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu untuk mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain, namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkan yaitu harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.

3. Rukun dan Syarat Jual Beli

Para ulama berbeda pendapat mengenai rukun jual beli. Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli hamya ijab dan qabul. Berarti menurut mereka, yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli. Indikasi yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi, dapat tergambar dalam ijab dan qabul, atau melalui cara saling memberikan barang dan harga barang. Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun jual beli terdiri: 4 a Orang-orang yang berakad penjual dan pembeli Syarat bagi orang yang melakukan akad adalah berakal, baligh, atas kehendak sendiri, dan tidak pemboros. Oleh karena itu, baik laki-laki maupun perempuan selama terpenuhi syarat tersebut, ia berhak melakukan jual beli tanpa ada seorang pun yang boleh menghalanginya, termasuk wali maupun suaminya. b Lafadz ijab dan qabul sighat Dalam ijab dan qabul tidak ada keharusan untuk menggunakan kata-kata khusus, karena ketentuan hukumnya ada pada akad dengan tujuan dan makna, bukan dengan kata-kata dan bentuk kata-kata itu sendiri. Yang diperluka adalah saling rela yang direalisasikan dalam bentuk mengambil 4 AH. Azharudin Lathif, Fiqh Muamalat, Jakarta:UIN Jakarta Press, 2005, hal. 101