Struktur Permodalan LANDASAN TEORI

Inti dari faktor ini adalah jika risiko investasinya cukup tinggi maka investor menginginkan tingkat pengembalian yang tinggi sebagai antisipasi terhadap kerugian. 3. Kondisi operasi dan pembiayaan Dinyatakan bahwa jika perusahaan menggunakan debt atau prefferen stock dalam jumlah banyak, maka risiko perusahaan akan meningkat dan investor akan meminta tingkat pengembalian yang tinggi pula. Sehingga akan membuat cost of capital perusahaan tinggi. 4. Jumlah perusahaan Jika jumlah permintaan terhadap dana meningkat, maka cost of capital akan meningkat, begitu pula sebaliknya. Dalam melakukan perhitungan terhadap biaya modal, cost of capital dari masing-masing komponen harus ditentukan terlebih dahulu. Untuk itu ada 3 tiga langkah dasar yang perlu dilakukan: a. Menghitung biaya modal masing-masing sumber dana secara terpisah, yang terdiri dari hutang, saham preferen, saham biasa, dan laba ditahan. b. Menentukan presentase hutang, saham preferen, dan saham biasa yang akan digunakan untuk membiayai investasi selanjutnya. c. Menghitung biaya modal secara keseluruhan atau bobot dari berbagai jumlah pembiayaan yang dibutuhkan. 3. Biaya Hutang Cost of Debt Biaya hutang didefinisikan sebagai rate yang harus dibayar oleh perusahaan untuk mendapatkan hutang jangka panjang yang baru. Biaya ini sebenarnya harus dikoreksi dengan faktor pajak. Sebagai contoh, jika suatu perusahaan harus membayar bagi hasil dan hutangnya setiap tahun sebesar Rp. 50.000.000,- tersebut bukanlah biaya hutang yang sebenarnya. Bagi hasil adalah biaya yang dapat mengurangi Penghasilan Kena Pajak PKP perusahaan Tax Deductable Expenses. Sehingga besarnya biaya hutang yang sebenarnya tergantung dari besarnya biaya hutang tingkat marjinal pajak Marginal Tax Rate. Seandainya perusahaan mempunyai Penghasilan Kena Pajak PKP Rp. 50.000.000,- dan Tax Rate sebesar 40 berarti perusahaan kena pajak sebesar Rp. 20.000.000,-. Jika besarnya bagi hasil yang harus dibayarkan perusahaan setiap tahun sebesar Rp. 50.000.000,- itu mengurangi Penghasilan Kena Pajak PKP maka beban bagi hasil tersebut menghemat pajak sebesar Rp. 20.000.000,- [Rp. 20.000.000,- Rp. 50.000.000 – Rp. 50.000.000 x 0,4]. Dapat disimpulkan bahwa hutang biaya efektif sebenarnya adalah Rp. 30.000.000 Rp. 50.000.000 - Rp. 20.000.000. Perusahaan membayar bagi hasil kepada kreditor sebesar Rp. 20.000.000,- dari penghemat pajak. Dengan kata lain pemerintah yang mensubsidi Rp. 20.000.000,- biaya hutang perusahaan. Ilustrasi perhitungan diatas dapat disederhanakan sebagai berikut: Kd = Rd 1-T Dimana: Kd = Biaya hutang efektif Rd = Biaya hutang sebelum mengurangi penghasilan kena pajak T = Tingkat marjinal pajak 4. Biaya Saham Preferen Saham preferen adalah surat berharga yang mempunyai konsep perpetual tidak pernah mature atau jatuh tempo. Saham preferen mempunyai deviden yang tetap dan biasanya dalam bentuk presentase dari nilai perusahaan. Nilai saham preferen merupakan present value dari semua deviden yang diterima investor dimasa yang akan datang. KPs = DP Dimana: KPs = Biaya prefferen stock atau tingkat return D = Deviden P = Harga atau nilai prefferen stock 5. Biaya Saham Biasa Biaya saham biasa dapat terjadi melalui 2 dua komponen. Yang pertama adalah melalui internal, yaitu dari laba ditahan perusahaan, dan yang kedua adalah melalui eksternal dengan mengeluarkan saham biasa yang baru. Capital yang diperoleh melalui internal dapat terjadi setelah perusahaan membagikan labanya kepada kreditor dan pemegang saham preferen. Sisa laba dimiliki oleh common shareholders. Manajemen perusahaan dapat membagikan sisa laba ini dalam bentuk cash devidend atau dapat menahannya untuk diinvestasikan kembali. Jika ternyata laba digunakan untuk investasi maka para common shareholders tentu saja secara rasional akan meminta tingkat pengembalian yang mereka harapkan jika mereka mengelolanya sendiri setelah menerima dalam bentuk deviden. Biaya internal ini adalah opportunity cost dari pemegang saham. Opportunity cost adalah apa yang shareholders dapatkan dari penggunaan dana ini pada tingkatan risiko yang sama. Perbedaan yang ada antara biaya internal dengan eksternal hanyalah pada biaya dalam mengeluarkan saham biasa cost of issuing common stock. Kalau biaya internal merupakan opportunity cost dari pengguna dana laba, maka biaya eksternal modal yang didapat dari penjualan saham baru merupakan penjumlahan dari opportunity cost dan biaya mengeluarkan common stock. Biaya untuk mengeluarkan common stock sulit untuk diestimasi karena sifat dasarnya itu sendiri berupa ketidakpastian arus kas cash flow kepada para pemegang saham. Para pemegang saham common stock menerima return investasinya dari deviden dan perubahan nilai saham yang mereka miliki. Besarnya deviden juga tidak tetap seperti pada saham preferen. Belum lagi sering terjadi pihak manajemen perusahaan dengan otoritasnya menentukan sendiri besarnya deviden yang dibayarkan kepada shareholders. Perubahan nilai atau harga saham juga sulit diestimasi karena dipengaruhi oleh ekspektasi investor terhadap arus kas perusahaan dimasa yang akan datang. Didalam teori keuangan ada bermacam-macam pendekatan yang dipakai untuk menghitung besarnya biaya common stock, akan tetapi Dividend Valuation Model DVM dan CAPM merupakan model yang sudah umum dan sangat populer. Setiap model atau metode mempunyai asumsi yang berbeda-beda dalam membangun fondasi rumusan metode tersebut sehingga akan menghasilkan perhitungan yang berbeda-beda pula. a. Dividend Valuation Model DVM Metode ini berangkat dari asumsi bahwa harga saham bukanlah sesuatu yang penting dibandingkan dengan present value dari cash deviden dimasa yang akan datang. Perhitungan cost common stock dengan metode ini sebenarnya mempunyai dasar yang sama dengan perhitungan cost preffered stock. Bedanya hanya pada diikutsertakannya komponen tingkat pertumbuhan deviden. Perhitungannya adalah sebagai berikut: P = D1 Ks – 9; D1 = D0 + 1 – 9 Maka cost common stock adalah: Ks = D1 P = G Dimana: P = Nilai atau harga saham D0 = Deviden pada periode sekarang D1 = Deviden pada periode berikut Ks = Cost Common Stock atau tingkat return G = Tingkat pertumbuhan deviden Model ini mempunyai beberapa kelemahan yang patut dinyatakan, yaitu: 1. Bagaimana jika pertumbuhan deviden tidak tetap? Model ini mengakomodasi perhitungan untuk saham yang mempunyai tingkat pertumbuhan yang tidak tetap. 2. Bagaimana jika deviden ditunda pembayarannya? dalam kasus ini D1 akan menjadi 0, berarti nilai atau harga saham akan menjadi 0 juga. Hal ini tentu saja tidak masuk akal. Begitu pula kasusnya pada current deviden, bagaimana dengan expected deviden? 3. Bagaimana jika ternyata tingkat pertumbuhan deviden lebih besar dari tingkat pengembalian yang diharapkan required rate of return? Bagaimana harga saham akan negatif, dan tidak mungkin bukan? b. Capital Asset Pricing Models CAPM CAPM pada awalnya diperkenalkan pada awal tahun 1960 oleh Sharpe, Litner, dan Mossin. CAPM menjelaskan keseimbangan antara tingkat rasio yang sistematis dan tingkat keuntungan yang disyaratkan sekuritas portofolio. Konsep CAPM digunakan untuk mengkuantifikasikan hubungan antara risk dan return. Titik awal asumsinya adalah investor memegang portofolio yang telah didiversifikasi itu dapat dioptimalkan atau diminimalkan, logikanya resiko yang secara keseluruhan yang ada dalam portofolio itu berhubungan dengan pergerakan pasar secara keseluruhan yang berarti resiko pasarlah yang menentukan nilai investasi. CAPM terdiri atas asumsi dibawah ini: 1. Tidak adanya biaya transaksi. 2. Investasi sepenuhnya bisa dipecah-pecah fully disible. 3. Tidak ada pajak penghasilan bagi pemodal. 4. Para pemodal tidak bisa mempengaruhi harga saham dengan tindakan buy and selling saham analog dengan teori pasar persaingan sempurna. 5. Semua aktivitas bisa diperjualbelikan. 6. Pemodal mempunyai penghasilan yang homogen. 7. Pemodal diasumsikan akan bertindak semata-mata atas pertimbangan expected value dan deviasi standar tingkat keuntungan portofolio. Pada prakteknya asumsi diatas tidak realistis. Ilustrasi dari metode CAPM, yaitu: Rf Rm Rf Ke     Dimana: Ke = Tingkat hasil minimum para pemegang saham Rf = Tingkat bebas risiko Risk free rate of return  = Beta coefficient for the merket portofolio Berdasarkan rumus untuk menghitung tingkat pengembalian saham biasa tersebut, maka variabel yang diamati adalah         2 2            x x n y x xy n  Dimana: n = Banyaknya periode pengamatan x = Tingkat keuntungan portofolio pasar Rm y = Tingkat keuntungan suatu saham Ri  Tingkat keuntungan portofolio atau return pasar Rm Return pasar diperoleh dari besarnya keuntungan seluruh saham yang beredar di bursa efek. Perhitungan return pasar didasarkan atas Indeks Harga Saham Gabungan IHSG di pasar modal, dan perhitungan return pasar ini dapat dilakukan dengan rumus: 1 1     IHSGt IHSGt IHSGt Rm Dimana: Rm = Tingkat pengambilan pasar bulan ke t. IHSG t = IHSG bulan ke t IHSG t-1 = IHSG bulan ke t-1  Tingkat keuntungan suatu saham atau return individual Ri Return individual dihitung berdasarkan data perkembangan harga saham individual dan jumlah deviden yang dibagikan. Perhitungan return individual dapat dilakukan dengan rumus:     1 1     PT PT PT Ri Dimana: PT = Harga saham atau lembar pada periode t PT-1 = Harga saham atau lembar pada periode t-1 Kelemahan dalam metode ini adalah: a. menghitung besarnya cost common stock model ini sangat bergantung pada nilai historis. Tingkat pengembalian saham dan tingkat pasar merupakan perhitungan model CAPM menggunakan nilai historis, sedangkan nilai historis tidak merefleksikan future. b. Sensitivitas stock return dapat berubah-ubah dari waktu ke waktu. Misalnya jika perusahaan merubah struktur modalnya. c. Jika saham perusahaan tidak diperdagangkan secara umum maka tidak ada sumber informasi untuk menhitung biaya modalnya sekalipun itu nilai historis.

H. Biaya Rata-Rata Modal Tertimbang WACC

Investor dan kreditur yang melakukan investasi dalam sebuah perusahaan menginginkan opportunity cost yang minimal sama dengan pengembalian yang mereka terima dari investasi lain. Opportunity cost ini adalah biaya modal perusahaan yaitu tingkat pengembalian minimum yang dapat dihasilkan oleh perusahaan dengan aset yang ada dan tetap memenuhi harapan dari para pemberi modal. Weighted Average Cost of Capital adalah gabungan dari masing- masing biaya modal dari perusahaan dan presentase dari masing-masing capital structure, yaitu hutang jangka panjang dan saham biasa dimana tujuan WACC adalah menghitung cost of capital perusahaan secara keseluruhan. Adapun rumus menghitung WACC sebagai berikut: WACC = Kd x Wd + Ke x We Dimana: Kd = Cost of debt setelah pajak Wd = Presentase total hutang jangka panjang terhadap struktur modal Ke = Cost of Equity We = Presentase saham biasa dalam struktur modal 43

BAB III GAMBARAN UMUM

1. Sejarah Berdirinya PT. Bank Syariah Mega Indonesia

Perjalanan PT. Bank Syariah Mega Indonesia diawali dari sebuah bank umum bernama PT. Bank Umum Tugu yang berkedudukan di Jakarta. Pada tahun 2001, Para Group PT. Para Global Investindo dan PT. Para Rekan Investama, kelompok usaha yang juga menaungi PT Bank Mega, Tbk., Trans TV, dan beberapa Perusahaan lainnya, mengakuisisi PT Bank Umum Tugu untuk dikembangkan menjadi bank syariah. Hasil konversi tersebut, pada 25 Agustus 2004 PT. Bank Umum Tugu resmi beroperasi syariah dengan nama PT. Bank Syariah Mega Indonesia. Komitmen penuh PT Para Global Investindo sebagai pemilik saham mayoritas untuk menjadikan PT Bank Syariah Mega Indonesia sebagai bank syariah terbaik, diwujudkan dengan mengembangkan bank ini melalui pemberian modal yang kuat demi kemajuan perbankan syariah dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. Penambahan modal dari Pemegang Saham merupakan landasan utama untuk memenuhi tuntutan pasar perbankan yang semakin meningkat dan kompetitif. Dengan upaya tersebut, PT. Bank Syariah Mega Indonesia yang memiliki semboyan untuk kita semua tumbuh pesat dan terkendali serta menjadi lembaga keuangan syariah ternama yang berhasil memperoleh berbagai penghargaan dan prestasi. Dalam upaya mewujudkan kinerja sesuai dengan nama yang disandangnya, PT. Bank Syariah Mega Indonesia selalu berpegang pada azas profesionalisme, keterbukaan dan kehati-hatian. Didukung oleh beragam produk dan fasilitas perbankan terkini, PT. Bank Syariah Mega Indonesia terus berkembang, hingga saat ini memiliki 15 jaringan kerja yang terdiri dari kantor cabang, cabang pembantu dan kantor kas yang tersebar di hampir seluruh kota besar di Pulau Jawa dan di luar Jawa. Guna memudahkan nasabah dalam memenuhi kebutuhannya di bidang keuangan, PT Bank Syariah Mega Indonesia juga bekerjasama dengan PT Arthajasa Pembayaran Elektronis sebagai penyelenggara ATM Bersama serta PT. Rintis Sejahtera sebagai penyelenggara ATM Prima dan Prima Debit. Ini dilakukan agar nasabah dapat melakukan berbagai transaksi perbankan dengan lebih efisien, praktis, dan nyaman.

2. Struktur Organisasi PT. Bank Syariah Mega Indonesia Dewan Pengawas Syariah

a. K.H. Ma’ruf Amin Ketua DPS b. Dr. H. A. Satori Ismail Anggota DPS c. Kanny Hidaya Y. Anggota DPS Dewan Komisaris