Hubungan Dukungan Keluarga dan Peran Perawat dengan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita TB MDR di RSUP.H. Adam Malik Medan

(1)

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DAN PERAN

PERAWAT DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT PADA

PENDERITA TB MDR DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Oleh

DINA AFRIANI

127046021 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DAN PERAN

PERAWAT DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT PADA

PENDERITA TB MDR DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep) dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah pada Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara

Oleh

DINA AFRIANI

127046021 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

(4)

(5)

Telah diuji

Pada tanggal : 25 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian., M.Si Anggota : 1. Siti Zahara Nasution, S.Kp., MNS

2. Dr. dr. Amira Permata Sari, (M.Ked), Sp.P 3. Yesi Ariani, S.Kep, Ns., M.Kep


(6)

Judul Tesis : Hubungan Dukungan Keluarga dan Peran Perawat dengan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita TB MDR di RSUP.H. Adam Malik Medan

Nama Mahasiswa : Dina Afriani

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2014

ABSTRAK

TB MDR (multidrug resisten tuberculosis) merupakan masalah utama pada pencegahan dan pemberantasan TB di dunia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dan peran perawat dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB MDR. Jenis Penelitian ini adalah deskriptif korelasi dengan desain penelitian cross sectional. Teknik pengambilan sampel penelitian adalah total sampling dengan kriteria inklusi penderita TB MDR yang sudah menjalani pengobatan selama 2 bulan. Jumlah sampel adalah 63 sejak April hingga Juni 2014 . Penelitian dilakukan di RSUP. H. Adam Malik Medan di Poliklinik TB MDR. Data demografi dianalisis secara univariat untuk mengetahui distribusi frekuensi karakteristik responden. Analisis bivariat dengan menggunakan uji chi-square untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dan peran perawat terhadap kepatuhan minum obat sedangkan analisis multivariate menggunakan analisa regresi logistik berganda. Berdasarkan uji hipotesa menggunakan chi-square dengan tingkat kepercayaan 95% , diperoleh terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan minum


(7)

obat (p=0,00). Ada hubungan yang signifikan antara peran perawat dengan kepatuhan minum obat (p=0,00). Berdasarkan analisis multivariat variabel yang paling berhubungan dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB MDR adalah dukungan keluarga informasional (p=0,00) dan peran perawat sebagai konselor (p=0.09). Simpulan penelitian ini adalah ada hubungan dukungan keluarga dan peran perawat dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB MDR. Diperlukan kerjasama dukungan keluarga dan peran perawat untuk meningkatkan kepatuhan minum obat pada penderita TB MDR.


(8)

Thesis Title : The Relationship of family support and role of nurses with the compliance taking medicines in TB MDR patients in RSUP. H. Adam Malik Medan

Name : Dina Afriani

Study Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

MDR TB (multidrug resistant tuberculosis) is the main problem in preventing and combating tuberculosis throughout the world. The objective of the research was to find out the relationship of family support and role of nurse with the compliance in taking medicines in TB MDR patients. The type of the research was descriptive correlation with cross sectional design. The samples consisted of 63 respondents from April to June, 2014, taken by using total sampling technique with the inclusive criteria of TB MDR patients who had been under the treatment for two months. The research was conducted in the TB MDR Polyclinic of RSUP H. Adam Malik, Medan. Demographic data were analyzed by using univariate analysis was used to find out the frequency distribution of respondents’ characteristics. Bivariate analysis with chi square test was used to find out the correlation of family support and role of nurse with the compliance in taking medicines, while multivariate analysis with multiple logistic regression tests.


(9)

Based on the result of the hypothesis, using chi square test with the level of reliability of 95%, it was found that there was significant correlation between family support and the compliance in taking medicines (p=0.00) and there was significant correlation between role of nurse and the compliance in taking medicines (p=0.00). Based on the result of multivariate analysis, the variable which had the most dominant correlation with the compliance in taking medicines in TB MDR patients was informational family support (p=0.00) and nurses’ role as counselors (p =0.09).The conclusion of the research was that there was the correlation of family support and role of nurse with the compliance in taking medicines in TB MDR patients. It is recommended that the collaboration between family support and role of nurse to improve the compliance in taking medicines in TB MDR patients.

Keywords: family support, role of nurse, compliance in taking medicines, TB MDR


(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul “ Hubungan Dukungan Keluarga dan Peran Perawat dengan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita TB MDR di RSUP.H. Adam Malik Medan ”. Tesis ini disusun untuk memenuhi sebagian dari syarat untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini tidak akan dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Dedi Ardinata, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara (USU) beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk melanjutkan Studi ke Jenjang Magister Keperawatan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Setiawan, S.Kp., MNS., Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan USU. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si, yang telah memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis dalam mengerjakan tesis ini hingga selesai. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Siti Zahara Nasution, S.Kp, MNS, selaku dosen pembimbing II yang tidak henti-hentinya memberikan pengarahan, bimbingan dan motivasi kepada penulis sejak awal penulisan hingga selesai tesis ini. Terima kasih juga atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis dalam meningkatkan aktualisasi diri selama masa


(11)

pendidikan. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. dr. Amira Permata Sari, M.Ked (Paru), Sp.P (K) dan Ibu Yesi Ariani, S.Kep, Ns.,M.Kep. sebagai penguji yang telah memberikan kritik dan saran untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Terima kasih kepada dr. Lukmanul Hakim Nasution, Sp. KK, M.Kes, selaku Direktur RSUP.H. Adam Malik Medan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian. Kepada teman-teman sejawat di poliklinik TB MDR, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan yang telah diberikan sehingga penelitian ini dapat selesai.

Penulis mengucapkan terima kasih terima kasih kepada papa, mama, suami dan anak-anak ku tercinta atas dukungannya dalam penyelesaian tesis ini. Akhirnya tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Angkatan II 2012/2013 dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dan memberikan dorongan untuk menyelesaikan laporan tesis ini. Penulis menyadari laporan tesis ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini dan harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya profesi keperawatan.

Medan, Juli 2014 Penulis


(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Dina Afriani

Tempat Tanggal Lahir : Medan, 12 April 1982

Alamat Asal : Jln.Bunga Rinte, Komplek Puri Zahara II No. B 04 Kec. Medan Selayang, Medan

Medan. No. Telp/HP : 081361199529 Riwayat Pendidikan :

Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulus

SD SD Negeri 060885 Medan Baru 1994 SMP SMP Negeri 29 Medan 1997 SMU SMA Negeri 13 Medan 2000 Diploma D III Keperawatan Universitas Sumatera

Utara

2003

Ners Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

2007

Magister Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

2014

Riwayat Pekerjaan :

PNS Kemenkes RI sebagai tenaga keperawatan di RSUP. H. Adam Malik Medan 2006 sampai sekarang.


(13)

Kegiatan Akademik Selama Studi :

Peserta pada acara “Seminar Penelitian Kualitatif Sebagai Landasan

Pengembangan Pengetahuan Disiplin Ilmu Kesehatan & Workshop Analisis Data dengan Content Analysis & Weft-QDA”, 31 Januari 2012, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Peserta Seminar Keperawatan Nursing Leadership menyongsong Asean Community 2015, 30 Januari 2013 Fakultas Keperawatan, USU. Peserta pada 2013 MEDAN INTERNATIONAL NURSING CONFERENCE

“The Application of Nursing Education Advanced Research and Clinical

Practice”, 1 – 2 April 2013, Hotel Garuda Plaza, Medan, Sumatera Utara.

Peserta “Seminar & Workshop Diagnostic Reasoning NANDA dan ISDA Basic, 24 November 2014, Fakultas Keperawatan, USU.


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Hipotesis... 6

1.5. Manfaat Penelitian ... 7

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Konsep Dukungan Keluarga ... 8

2.1.1. Defenisi ... 8

2.1.2. Jenis Dukungan Keluarga ... 9

2.1.3. Manfaat Dukungan Keluarga ... 11

2.1.4. Sumber Dukungan Keluarga ... 12

2.1.5. Faktor yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga ... 13

2.2. Konsep Peran Perawat ... 16

2.2.1. Pengertian ... 16

2.2.2. Peran Perawat ... 17

2.2.3. Peran Perawat Dalam Penanganan dan Pengendalian TB .... 17

2.2.4. Peran Perawat Dalam Strategi DOTS ... 22

2.2.5. Manajemen Dan Asuhan Keperawatan Pasien TB MDR ... 23

2.3. Konsep Kepatuhan ... 24

2.3.1. Pengertian... 24

2.3.2. Kepatuhan Terhadap Pengobatan TB ... 26

2.3.3. Alat Ukur Kepatuhan ... 27

2.3.4 Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan ... 29

2.4. Konsep TB MDR ... 33

2.4.1. Defenisi ... 33

2.4.2. Faktor-faktor Terjadinya TB MDR ... 35


(15)

2.4.4. Penatalaksanaan TB MDR ... 36

2.4.5. Pemantauan Selama Pengobatan ... 40

2.4.6. Pencegahan Terjadinya Resistensi Obat ... 40

2.4.7. Strategi DOTS Plus ... 41

2.5. Landasan Teori Keperawatan ... 42

2.6. Kerangka Konsep ... 46

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 47

3.1. Jenis Penelitian ... 47

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 47

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 47

3.2.2. Waktu Penelitian ... 47

3.3. Populasi dan Sampel ... 47

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 48

3.4.1. Prosedur Administrasi ... 48

3.4.2. Prosedur Pelaksanaan ... 49

3.5. Variabel Defenisi Operasiona; ... 50

3.6. Metode Pengukuran ... 51

3.7. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 57

3.7. Metode Analisa Data ... 58

3.9. Pertimbangan Etik ... 59

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 60

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 60

4.2. Karakteristik Responden ... 61

4.3. Analisa Univariat ... 66

4.3.1. Dukungan Keluarga Pada Penderita TB MDR ... 67

4.3.2. Peran Perawat Pada Penderita TB MDR... 68

4.3.3. Kepatuhan Minum Obat Penderita TB MDR ... 69

4.4. Analisa Bivariat... 70

4.4.1. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan ... 70

4.4.2. Hubungan Sub Variabel Dukungan Keluarga ... 71

4.4.3. Hubungan Peran Perawat dengan Kepatuhan ... 73

4.4.4. Hubungan Sub Variabel Peran Perawat dengan Kepatuhan . 74 4.5. Analisa Multivariat ... 76

4.5.1. Pemilihan Variabel Multivariat ... 76

4.5.2. Penentuan Variabel yang Dominan ... 77

BAB 5. PEMBAHASAN ... 82


(16)

5.2. Peran Perawat pada Penderita TB MDR ... 87

5.3. Kepatuhan Minum Obat pada Penderita TB MDR ... 89

5.4. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan ... 94

5.5. Hubungan Peran Perawat dengan Kepatuhan ... 97

5.6. Variabel yang paling dominan berhubungan dengan Kepatuhan ... 99

5.7. Keterbatasan Penelitian ... 100

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 101

6.1. Kesimpulan ... 101

6.2. Saran... 102

DAFTAR PUSTAKA ... 104


(17)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1. Peran Perawat dan Kaitannya dengan Lima Elemen Kunci

dari Strategi DOTS (Willliam. G, 2008) ... 23

Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 50

Tabel . 4.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Penderita

TB MDR (n=63). ... 65

Tabel. 4.2. Distribusi Frekuensi Dukungan Keluarga Pada Penderita

TB MDR (n=63) ... 69

Tabel. 4.3. Distribusi Frekuensi Sub Variabel Dukungan Keluarga

Penderita TB MDR (n=63) ... 70

Tabel. 4.4. Distribusi Frekuensi Peran Perawat Pada Penderita

TB MDR (n=63) ... 70

Tabel. 4.5 Distribusi Frekuensi Sub Variabel Peran Perawat pada

Penderita TB MDR (n=63) ... 71

Tabel. 4.6. Distribusi Kepatuhan Minum Obat Penderita

TB MDR (n=63).. ... 72

Tabel. 4.7. Hubungan dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita TB MDR ... 72

Tabel. 4.8. Hubungan Sub Variabel Dukungan Keluarga dengan

Kepatuhan Minum Obat pada Penderita TB MDR (n=63) .... 73

Tabel. 4.9. Hubungan Peran Perawat dengan Kepatuhan Minum Obat Pada Penderita TB MDR (n=63) ... 75

Tabel. 4.10. Hubungan Sub Variabel Peran Perawat dengan Kepatuhan

Minum Obat pada Penderita TB MDR (n=63) ... 76


(18)

Instrumental, Dukungan Penilaian, Dukungan

Emosional, Peran Perawat sebagai Pemberi Asuhan Keperawatan, Advokasi dan Edukasi, Konselor dengan

Kepatuhan Minum Obat Penderita TB MDR (n=63) ... 79

Tabel. 4.12. Hasil Analisa Multivariat Dukungan Informasional, Dukungan Instrumental, Dukungan Penilaian,

Dukungan Emosional, Peran Perawat sebagai Pemberi Asuhan Keperawatan, Advokasi dan Edukasi,

Konselor dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita

TB MDR (n=63). ... 79

Tabel. 4.13. Hasil Analisa Multivariat Dukungan Informasional, Dukungan Penilaian, Dukungan Emosional, Peran Perawat sebagai Pemberi Asuhan Keperawatan, Advokasi dan Edukasi, Konselor dengan Kepatuhan

Minum Obat Penderita TB MDR (n=63). ... 80

Tabel. 4.14 Hasil Analisa Multivariat Dukungan Informasional, Dukungan Emosional, Dukungan Penilaian, Advokasi dan Edukasi, Konselor dengan Kepatuhan Minum Obat

Penderita TB MDR (n=63). ... 81

Tabel. 4.15. Hasil Analisa Multivariat Dukungan Informasional, Dukungan Penilaian, Dukungan Emosional, Konselor

dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB MDR

(n=63). ... 82

Tabel. 4.16. Hasil Analisa Multivariat Dukungan Informasional, Dukungan Emosional, Konselor dengan Kepatuhan

Minum Obat Penderita TB MDR (n=63). ... 82

Tabel 4.17. Hasil Analisa Multivariat Dukungan Informasional, Konselor dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB


(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar .2.1. Kerangka Teori Keperawatan ... 46


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Instrumen Penelitian ... 111

a. Lembar Penjelasan tentang Penelitian ... 112

b. Lembar Persetujuan Menjadi Responden ... 113

c. Kuesioner Penelitian ... 114

Lampiran 2 Biodata Expert ... 123

Lampiran 3 Izin Penelitian ... 124

a. Surat Pengambilan Data dari Dekan Fakultas Keperawatan ... 127

b. Surat Persetujuan Etik Peneltian ... 128

c. Surat Ijin Pengambilan Data dari RSUP. H. Adam Malik Medan ... 129


(21)

Judul Tesis : Hubungan Dukungan Keluarga dan Peran Perawat dengan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita TB MDR di RSUP.H. Adam Malik Medan

Nama Mahasiswa : Dina Afriani

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2014

ABSTRAK

TB MDR (multidrug resisten tuberculosis) merupakan masalah utama pada pencegahan dan pemberantasan TB di dunia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dan peran perawat dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB MDR. Jenis Penelitian ini adalah deskriptif korelasi dengan desain penelitian cross sectional. Teknik pengambilan sampel penelitian adalah total sampling dengan kriteria inklusi penderita TB MDR yang sudah menjalani pengobatan selama 2 bulan. Jumlah sampel adalah 63 sejak April hingga Juni 2014 . Penelitian dilakukan di RSUP. H. Adam Malik Medan di Poliklinik TB MDR. Data demografi dianalisis secara univariat untuk mengetahui distribusi frekuensi karakteristik responden. Analisis bivariat dengan menggunakan uji chi-square untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dan peran perawat terhadap kepatuhan minum obat sedangkan analisis multivariate menggunakan analisa regresi logistik berganda. Berdasarkan uji hipotesa menggunakan chi-square dengan tingkat kepercayaan 95% , diperoleh terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan minum


(22)

obat (p=0,00). Ada hubungan yang signifikan antara peran perawat dengan kepatuhan minum obat (p=0,00). Berdasarkan analisis multivariat variabel yang paling berhubungan dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB MDR adalah dukungan keluarga informasional (p=0,00) dan peran perawat sebagai konselor (p=0.09). Simpulan penelitian ini adalah ada hubungan dukungan keluarga dan peran perawat dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB MDR. Diperlukan kerjasama dukungan keluarga dan peran perawat untuk meningkatkan kepatuhan minum obat pada penderita TB MDR.


(23)

Thesis Title : The Relationship of family support and role of nurses with the compliance taking medicines in TB MDR patients in RSUP. H. Adam Malik Medan

Name : Dina Afriani

Study Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

MDR TB (multidrug resistant tuberculosis) is the main problem in preventing and combating tuberculosis throughout the world. The objective of the research was to find out the relationship of family support and role of nurse with the compliance in taking medicines in TB MDR patients. The type of the research was descriptive correlation with cross sectional design. The samples consisted of 63 respondents from April to June, 2014, taken by using total sampling technique with the inclusive criteria of TB MDR patients who had been under the treatment for two months. The research was conducted in the TB MDR Polyclinic of RSUP H. Adam Malik, Medan. Demographic data were analyzed by using univariate analysis was used to find out the frequency distribution of respondents’ characteristics. Bivariate analysis with chi square test was used to find out the correlation of family support and role of nurse with the compliance in taking medicines, while multivariate analysis with multiple logistic regression tests.


(24)

Based on the result of the hypothesis, using chi square test with the level of reliability of 95%, it was found that there was significant correlation between family support and the compliance in taking medicines (p=0.00) and there was significant correlation between role of nurse and the compliance in taking medicines (p=0.00). Based on the result of multivariate analysis, the variable which had the most dominant correlation with the compliance in taking medicines in TB MDR patients was informational family support (p=0.00) and nurses’ role as counselors (p =0.09).The conclusion of the research was that there was the correlation of family support and role of nurse with the compliance in taking medicines in TB MDR patients. It is recommended that the collaboration between family support and role of nurse to improve the compliance in taking medicines in TB MDR patients.

Keywords: family support, role of nurse, compliance in taking medicines, TB MDR


(25)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Resistensi ganda obat anti-tuberculosis (multidrug resistant tuberculosis/TB MDR) merupakan masalah terbesar terhadap pencegahan dan pemberantasan TB di dunia. Pada tahun 2003 WHO menyatakan insiden TB MDR meningkat secara bertahap rata-rata 2% pertahun. Prevalensi TB diperkirakan WHO meningkatkan 4,3% di seluruh dunia dan lebih dari 200 kasus baru terjadi di dunia, di negara berkembang prevalens TB MDR berkisar antar 4,6% - 22,2% (Frieden, 2004). Pada survey WHO dilaporkan lebih dari 90.000 pasien TB di 81 negara, ternyata angka TB MDR berkisar angka TB MDR lebih tinggi dari yang diperkirakan, enam negara dengan kejadian TB MDR dengan angka tinggi di dunia adalah Estonia, Kazakhsatan, Latvia, Lithunia bagian dari Federasi Rusia dan Uzbekistan. WHO memperkirakan ada 300.000 kasus TB MDR baru per tahun. OAT (obat anti tuberculosis) yang resisten terhadap kuman tuberculosis akan semakin meningkat, saat ini 79% dari TB MDR adalah “ super strain “ yang resisten paling sedikit 3 atau 4 OAT (WHO, 2011).

Pola TB MDR di Indonesia khususnya RS Persahabatan tahun 1995-1997 adalah resistensi primer 4,6% - 5,8% dan resistensi sekunder 22,95% - 26,07% (Aditama & Wijanarko, 1996). Pada penelitian lainnya Aditama (2004) mendapatkan resistensi primer 6,86% sedangkan resistensi 15,61%. Hal ini patut diwaspadai karena prevalensnya cenderung menunjukkan peningkatan. Penelitian di RS Persahabatan (1998) melaporkan proporsi kesembuhan penderita TB MDR


(26)

sebesar 72% menggunakan panduan OAT yang masih sensitive ditambah ofloksasin (Tukak, 1998). Limited and unrepresentative hospital data (2006) menunjukkan kenyataan bahwa sepertiga kasus TB MDR resisten terhadap ofloksasin dan ditemukan 1 kasus TB XDR (Extremely Drug Resistance) (Nawas, 2010).

Kejadian TB MDR pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia (man-made phenomenon) sebagai akibat pengobatan TB yang tidak adekuat. Hal ini disebabkan oleh penyedia pelayanan kesehatan dan dari pihak pasien sendiri. Faktor penyedia layanan seperti buku panduan yang tidak sesuai, tidak mengikuti panduan yang tersedia, tidak memiliki paduan, pelatihan yang buruk, tidak terdapatnya pemantauan program pengobatan, pendanaan program penanggulangan TB yang lemah, penyediaan atau kualitas obat yang tidak adekuat seperti kualitas obat yang buruk, persediaan obat yang terputus, kondisi tempat penyimpanan yang tidak terjamin, kombinasi obat yang salah atau dosis yang kurang. Faktor yang disebabkan dari pasien seperti kepatuhan pasien yang kurang, kurangnya informasi, kekurangan dana/tidak tersedia pengobatan cuma-cuma, masalah transportasi, masalah efek samping, masalah sosial, malabsorpsi, ketergantungan terhadap substansi tertentu ( Burhan, 2010).

Pasien TB-MDR di Indonesia belum mendapat akses pengobatan yang memadai karena tidak semua obat yang dibutuhkan oleh TB MDR tersedia di Indonesia. Penanganan TB MDR di Indonesia masih sangat terbatas jangkauannya. Sampai saat ini di Indonesia baru ada beberapa rumah sakit yang bisa menangani TB MDR yaitu: RSUP Persahabatan di Jakarta, RSUD Dr.


(27)

Soetomo di Surabaya, RS Hasan Sadikin di Bandung dan RSUP H.Adam Malik di Medan sedangkan kasus TB-MDR diperkirakan tidak hanya di beberapa wilayah tersebut. Sejak juli 2012 sampai desember 2013, ada 83 pasien yang sudah terdiagnosis TB MDR, tetapi hanya 63 orang yang bersedia menjalani pengobatan di RSUP. H. Adam Malik Medan, 30 orang yang masih menjalani pengobatan sudah mengalami konversi BTA negatif, 10 orang meninggal, 10 orang mangkir, 2 orang gagal pengobatan.

Strategi DOTS (Directly Observed Theraphy Short-course) dalam penatalaksanaan TB sangat bermanfaat untuk meningkatkan angka kesembuhan sehingga mengurangi angka resistensi termasuk resistensi ganda. Hsieh .et al, (2010) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa strategi DOTS dapat meningkatkan kepatuhan minum OAT pada pasien TB.

Berdasarkan dari strategi pengobatan DOTS menurut kriteria komponen dalam pengobatan diperlukan adanya PMO (Pengawas Menelan Obat) selama masa pengobatan. PMO bertugas untuk mengawasi penderitaTB dalam mengkonsumsi OAT selama proses pengobatan. PMO haruslah orang yang hidup berdekatan dengan penderita, dihormati oleh penderita dan dapat berkomunikasi dengan penderita. Peran sebagai PMO inilah yang dapat dijalankan keluarga seperti orang tua atau saudara si penderita (Frieden dan Sbarbaro, 2005). Nasution (2007) menemukan bahwa pasien yang berhasil mengikuti program DOTS memiliki dukungan keluarga yang lebih besar dibandingkan pasien yang gagal di Medan, Indonesia.


(28)

meningkatkan kepatuhan pengobatan yaitu dengan adanya pengawasan dan pemberi dorongan kepada penderita. Keuntungan keluarga sebagai PMO adalah tempat tinggalnya yang serumah dengan penderita sehingga pemantauannya lebih optimal dan langsung tidak perlu biaya transportasi (Becher, 1997). Menurut Friedman (1998) dukungan keluarga adalah sikap dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Keluarga juga berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggotanya dan anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung, selalu siap memberikan pertolongan dengan bantuan jika diperlukan.

Faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pasien dalam pengobatan adalah dukungan keluarga seperti pada penelitian Hutapea (2010) yang menyimpulkan bahwa dukungan keluarga dapat meningkatkan kepatuhan minum OAT. Namun berbeda dengan penelitian Dewi, Nursiswati & Ridwan (2009) pada penelitian tersebut tidak didapatkan adanya hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan TB.

Keperawatan tidak hanya ditujukan kepada individu perseorangan melainkan juga kepada kelompok, keluarga dan masyarakat seperti yang dikemukakan dalam model konsep Orem yang mengutamakan keperawatan mandiri klien, mengajak klien dan keluarga untuk secara mandiri dalam mencegah, mendeteksi dan menangani masalah kesehatan (Friedman, 1998).

Peran perawat di RSUP. H. Adam Malik selain sebagai PMO, juga sebagai pemberi edukasi dan motivasi. Setelah pasien tidak menjalani perawatan di Rumah Sakit, perawat juga memantau puskesmas daerah tempat tinggal pasien dengan bekerjasama dengan perawat puskesmas tersebut dengan meningkatkan


(29)

jejaring eksternal.

Berdasarkan penelitian Pritchard, Hayward & Monk (2003) salah satu faktor yang menyebabkan kejadian TB MDR adalah ketidakpatuhan pasien minum obat. Pengawasan dan perhatian dari tenaga kesehatan maupun pihak keluarga yang telah dipercaya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien tuberculosis dalam menjalani pengobatan yang membutuhkan waktu yang cukup lama walaupun panduan obat yang digunakan baik tetapi bila penderita tidak berobat dengan teratur maka umunya hasil pengobatan mengecewakan (Senewe, 2002). Hal ini menjadikan latar belakang penulis melakukan penelitian sejauh mana hubungan dukungan keluarga dan peran perawat ikut andil dalam kepatuhan minum obat penderita TB MDR. Dengan demikian penulis memilih judul hubungan dukungan keluarga dan peran perawat dengan kepatuhan minum obat penderita TB MDR di RSUP. H. Adam Malik Medan.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah penelitian adalah apakah terdapat hubungan antara dukungan keluarga dan peran perawat dengan kepatuhan berobat penderita TB MDR di RSUP H. Adam Malik Medan ?

1.3Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum


(30)

dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB MDR di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.3.2 Tujuan Khusus

a.1 Untuk mengetahui dukungan keluarga pada penderita TB MDR di RSUP. H. Adam Malik Medan

a.2 Untuk mengetahui peran perawat pada penderita TB MDR di RSUP. H. Adam Malik Medan.

a.3 Untuk mengetahui tingkat kepatuhan minum obat pada penderita TB MDR di RSUP. H. Adam Malik Medan.

a.4 Untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB MDR di RSUP.H. Adam Malik Medan.

a.5 Untuk mengetahui hubungan peran perawat dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB MDR di RSUP.H. Adam Malik Medan.

a.6 Untuk mengetahui sub variabel yang paling dominan berhubungan dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB MDR di RSUP. H. Adam Malik

Medan.

1.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis dari penelitian ini adalah Hipotesa alternatif (Ha) dimana ada hubungan antara dukungan keluarga dan peran perawat terhadap kepatuhan minum obat penderita TB MDR di RSUP H. Adam Malik Medan.


(31)

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1.5.1 Bagi Institusi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar pemikiran bagi peneliti lain untuk dapat melakukan penelitian lebih lanjut khususnya yang berkaitan dengan dukungan keluarga dan peran perawat dalam meningkatkan kepatuhan minum obat pada penderita TB MDR.

1.5.2 Bagi Praktek Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan bagi praktek tenagake perawatan untuk meningkatkan kepatuhan pasien minum obat sehingga meningkatkan angka kesembuhan TB MDR dengan cara melaksanakan program DOTS berbasis keluarga.

1.5.3 Bagi Masyarakat.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat keluarga pasien agar lebih berperan peran serta memberi dukungan kepada penderita dalam menjalani pengobatan TB MDR.

1.5.4 Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini menambah ilmu, wawasan penulis tentang dukungan keluarga dan peran perawat pada penderita TB MDR yang menjalani pengobatan.


(32)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dukungan Keluarga 2.1.1 Definisi

Menurut Friedman (1998) dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap anggotanya. Anggota keluarga dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam lingkungan keluarga. Keluarga juga berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggotanya dan anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung, selalu siap memberikan pertolongan dengan bantuan jika diperlukan.

Kane dalam Friedman (1998) mendefinisikan dukungan keluarga sebagai suatu proses hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosial. Menurut Gottlieb (1998) dalam Kuncoro (2002) dukungan keluarga adalah komunikasi verbal dan non verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subyek di dalam lingkungan sosialnya atau berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya, dalam hal ini orang yang merasa memperoleh dukungan secara emosional merasa lega karna diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya.

Serason (1983) dalam Kuncoro (2002) mengatakan bahwa dukungan keluarga adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan, menghargai dan menyayangi kita.


(33)

meningkatkan kepatuhan pengobatan yaitu dengan adanya pengawasan dan pemberi dorongan kepada penderita. Keuntungan keluarga sebagai PMO adalah tempat tinggalnya yang serumah dengan penderita sehingga pemantauannya lebih optimal dan langsung tidak perlu biaya transportasi (Becher, 1997). Penderita dan keluarga menyadari akan pentingnya kepatuhan berobat dan seringkali penderita ingin segera menyelesaikan pengobatan supaya dilihat oleh masyarakat dirinya sembuh sehingga dapat diterima kembali di masyarakat.

2.1.2. Jenis Dukungan Keluarga

Kaplan (1967) dalam Friedman (1998) menjelaskan bahwa keluarga memiliki empat jenis dukungan, yaitu: dukungan informasional, penilaian, instrumental dan emosional.

Dukungan informasional adalah dukungan yang diberikan keluarga berfungsi sebagai kolektor dan disseminator informasi tentang dunia yang dapat digunakan untuk mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi. Informasi yang diberikan kepada pasien berguna untuk menambah wawasan untuk patuh dalam minum obat. Informasi dalam pengobatan TB MDR dapat diperoleh dari penjelasan petugas kesehatan, selebaran, Koran, brosur dan lain-lain. Informasi ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam minum obat secara teratur dan tepat baik waktu maupun dosisnya.


(34)

umpan balik, membimbing dan menengahi masalah serta sebagai sumber validator identitas anggota keluarga, diantaranya memberikan support, pengakuan, penghargaan dan perhatian.

Dukungan instrumental merupakan dukungan keluarga berupa pertolongan praktis dan konkrit diantaranya bantuan langsung dari orang yang diandalkan seperti materi, tenaga dan sarana. Manfaat dukungan ini adalah mendukung pulihnya energi atau stamina dan semangat yang menurun selain itu individu merasa bahwa masih ada perhatian dan kepedulian dari lingkungan terhadap seseorang yang mengalami kesusahan dan penderita.

Dukungan emosional adalah dukungan keluarga yang diberikan sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Manfaat dari dukungan ini adalah secara emosional menjamin nilai-nilai individu (baik pria maupun wanita) akan selalu terjaga kerahasiaannya dari keingitahuan orang lain. Aspek-aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian dan mendengarkan serta didengarkan.

Penderita TB MDR sangat membutuhkan keempat jenis dukungan yang berasal dari keluarga sehingga dapat meningkatkan kepatuhan minum obat dan mempercepat proses penyembuhan.

2.1.3 Manfaat Dukungan Keluarga

Wills dalam Friedman (1998) menyimpulkan bahwa efek-efek penyangga (dukungan sosial melindungi individu terhadap efek negatif dari stress) dan efek-efek utama (dukungan sosial secara langsung mempengaruhi akkibat-akibat dari


(35)

kesehatan) ditemukan. Sesungguhnya efek-efek penyangga dan utama dari dukungan sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan boleh jadi berfungsi secara bersamaan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit dan di kalangan kaum tua, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi.

Serason (1993) dalam Kuncoro (2002) berpendapat bahwa dukungan keluarga mencakup 2 hal yaitu jumlah sumber dukungan yang tersedia dan tingkat kepuasan akan dukungan yang diterima. Jumlah dukungan yang tersedis merupakan persepsi individu terhadap sejumlah orang yang dapat diandalkan saat individu membutuhkan bantuan. Tingkat kepuasan akan dukungan yang diterima berkaitan dengan persepsi individu bahwa kebutuhannya akan terpenuhi (pendekatan berdasarkan kualitas).

2.1.4 Sumber Dukungan Keluarga

Menurut Root & Dooley (1985) dalam Kuncoro (2002) ada 2 sumberdukungan keluarga yaitu natural dan artifisial. Dukungan keluarga yang natural diterima seseorang melalui interaksi sosial dalam kehidupannya secara spontan dengan orang-orang yang berada disekitarnya misalnya anggota keluarga (anak, istri, suami, saudara) teman dekat atau relasi. Dukungan keluarga ini bersifat non formal sedang dukungan keluarga artifisial adalah dukungan yang dirancang kedalam kebutuhan primer seseorang misalnya dukungan keluarga akibat bencana alam melalui berbagai sumbangan.

Menyediakan dukungan baik emosional maupun dalam bentuk informasi diberikan dalam bentuk siap membantu, bersedia mendengar, perhatian terhadap


(36)

kebutuhan pasien dan menyediakan lingkungan yang sesuai untuk pasien membagi pengalaman perawatan mereka. Sebagai tambahan, memberikan dukungan membantu meningkatkan kepercayaan diri pasien untuk melanjutkan aktivitas perawatan. Thorsteinson (2001) menyatakan bahwa mendengarkan perasaan seseorang dan memegang tangan merupakan contoh cara memberi dukungan dan menyemangati pasien. Memastikan kondisi lingkungan yang dapat memotivasi pasien memberi keuntungan dalam meningkatkan kompetensi perawatan dan berguna untuk memfasilitiasi hubungan antara perawat dan pasien dan keluarganya. Interaksi tersebut membantu pasien untuk merespon kebutuhan perawatan mandiri dan membangun keinginan untuk mendiskusikan masalah mereka.

2.1.5 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga

Menurut Rahayu, Ferani & Rahayu (2010) faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi tahap perkembangan, pendidikan dan tingkat pengetahuan, emosi dan spiritual. Faktor eksternal meliputi praktik dukungan dalam keluarga, psikososialekonomi dan latar belakang keluarga.

Tahap perkembangan mempengaruhi dukungan keluarga artinya dukungan dapat ditentukan oleh faktor usia, dalam hal ini adalah pertumbuhan dan perkembangan, dengan demikian setiap rentang usia (bayi-lansia) memiliki pemahaman dan respon terhadap perubahan kesehatan yang berbeda-beda. Anak-anak mempunyai tingkat kepatuhan yang lebih tinggi dibandingkan remaja meskipun anak-anak mendapat informasi yang kurang. Untuk penderita lanjut


(37)

usia kepatuhan minum obat dapat dipengaruhi oleh daya ingat yang berkurang, ditambah lagi apabila penderita lanjut usia tinggal sendiri. Menurut Dunbar & Waszak dalam Smet (1994) ketaatan dalam aturan pengobatan pada anak-anak, remaja dan dewasa adalah sama.

Pendidikan dan tingkat Pengetahuan, keyakinan seseorang terhadap adanya dukungan terbentuk oleh variabel intelektual yang terdiri dari pengetahuan, latar belakang pendidikan dan pengalaman di masa lalu. Kemampuan kognitif akan membentuk cara berfikir seseorang termasuk kemampuan untuk memahami faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit dan menggunakan pengetahuan tentang kesehatan untuk menjaga kesehatan dirinya.

Faktor emosi juga mempengaruhi keyakinan terhadap adanya dukungan dan cara melaksanakannya. Seseorang yang mengalami respons stress dalam setiap perubahan hidupnya cenderung berespon terhadap berbagai tanda sakit, mungkin dilakukan dengan cara mengkhawatirkan bahwa penyakit tersebut mengancam kehidupannya. Seseorang yang secara umum terlihat sangat tenang mungkin mempunyai respon emosional yang kecil selama ia sakit. Seorang individu yang tidak mampu melakukan koping secara emosional terhadap ancaman penyakit mungkin akan menyangkal adanya gejala penyakit pada dirinya dan tidak mau menjalani pengobatan.

Spiritual, dapat terlihat dari bagaimana seseorang menjalani kehidupannya, mencakup nilai dan keyakinan yang dilaksanakan, hubungan dengan keluarga atau teman dan kemampuan mencari harapan dan arti dalam hidup.


(38)

penderita dalam melaksanakan kesehatannya. Misalnya, klien juga kemungkinan besar akan melakukan tindakan pencegahan jika keluarganya melakukan hal yang sama, anak yang selalu diajak orangtuanya untuk melakukan pemeriksaan kesehatan rutin maka ketika punya anak dia melakukan hal yang sama.

Faktor psikososioekonomi dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit dan mempengaruhi cara seseorang mendefinisi dan bereaksi terhadap penyakitnya. Variabel psikososial mencakup: stabilitas perkawinan, gaya hidup dan lingkungan kerja. Seseorang biasanya akan mencari dukungan dan persetujuan dari kelompok sosialnya, hal ini akan mempengaruhi keyakinan kesehatan dan cara pelaksanaannya. Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang biasanya ia akan lebih cepat tanggap terhadap gejala penyakit yang dirasakan. Sehingga akan segera mencari pertolongan ketika merasa ada gangguan pada kesehatannya. Latar belakang mempengaruhi keyakinan, nilai dan kebiasaan individu, dalam memberikan dukungan termasuk cara pelaksanaan kesehatan pribadi.

Pada penderita TB dukungan keluarga dianggap sebagai determinan penting dari perilaku kesehatan. Dukungan keluarga yang dibutuhkan seseorang dapat berupa pada dukungan moral, emosional dan dukungan intim serta kebutuhan untuk informasi dan umpan balik. Ini dapat dipenuhi oleh keluarga. Kekuatan dukungan keluarga mempengaruhi perilaku perawatan diri individu melalui peningkatan motivasi, memberikan informasi dan memberikan umpan balik ( Xiaolian et al., 2002).


(39)

keluarga sebagai faktor pengaruh dasar, keluarga sebagai struktur untuk unit perawatan mandiri dan keluarga sebagai unit pelayanan (Taylor dan Renpenning, 1995). Taylor (2001) menyatakan bahwa keluarga memiliki tujuan utama secara spesifik untuk membuat, memelihara dan mempromosikan perkembangan sosial, mental, fisik dan emosional tiap-tiap anggota keluarga dan mendefenisikan keluarga sebagai sebuah sistem atau unit individu yang memiliki hubungan dengan keterkaitan sosial yang kuat dengan komitmen dan ketergantungan satu sama lain.

2.1 Konsep Keperawatan 2.2.1 Pengertian

Perawat atau Nurse berasal dari bahasa latin yaitu dari kata Nutrix yang berarti merawat atau memelihara. Lemone (1989, dalam Depkes RI, 2002) menjelaskan pengertian dasar seorang perawat yaitu seseorang yang berperan dalam merawat atau memelihara, membantu dan melindungi seseorang karena sakit, luka dan proses penuaan. Menurut UU RI No 23 tahun 1992 tentang kesehatan mendefinisikan perawat yaitu mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya yang diperoleh melalui pendidikan perawatan Sedangkan menurut International Council of Nurses (1965, dalam Depkes RI, 2002) perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan keperawatan, berwenang dinegara bersangkutan untuk memberi pelayanan dan bertanggung jawab dalam peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit serta pelayanan terhadap pasien.


(40)

Perawat profesional adalah perawat yang bertanggungjawab dan berwewenang memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri dan atau berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan kewenangannya.

2.2.2 Peran Perawat

Peran diartikan sebagai seperangkat perilaku yang diharapkan oleh individu sesuai dengan status sosialnya. Jika seorang perawat, peran yang dijalankannya harus sesuai dengan lingkup kewenangan perawat. Peran menggambarkan otoritas seseorang yang diatur dalam sebuah aturan yang jelas. Tidak menutup kemungkinan ada dua atau lebih profesi yang memiliki peran yang sama. Kesamaan peran bukan berarti sama dalam segala hal. Peran boleh sama tetapi ruang lingkup atau kewenangan masing-masing profesi tentu berbeda-beda. Tidak mungkin ada satu profesi kesehatan yang menyerobot kewenangan profesi kesehatan lain. Oleh karena itu diperlukan suatu standar dari masing-masing profesi kesehatan. Sebagai tenaga kesehatan perawat memiliki sejumlah peran di dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan hak dan kewenangan yang ada.

2.2.3 Peran Perawat Dalam Penangganan Dan Pengendalian TB Di Rumah Sakit

Peran perawat secara umum adalah memberi pelayanan/asuhan (care provider), pemimpin kelompok (community leader), pendidik (educator), pengelola (manager) dan peneliti (researcher) adapun peran perawat dalam penangganan dan pengendalian TB & MDR TB di rumah sakit menurut Depkes RI (2014) adalah sebagai pemberi asuhan keperawatan, sebagai pendidik dan


(41)

advokasi pasien TB, sebagai konselor di unit DOTS (Directly Observed Treatment Short-Course), sebagai pengelola ruangan dan sebagai peneliti.

1. Pemberi Asuhan Keperawatan

Menerapkan keterampilan berfikir kritis dan pendekatan sistem untuk penyelesaian masalah serta pembuatan keputusan keperawatan dalam konteks memberi asuhan keperawatan secara komprehensif dan holistik berlandaskan aspek etik dan legal. Perawat memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien dan keluarga yang mengalami TB & MDR TB melalui upaya promotif, preventif, kolaborasi dalam pengobatan (kuratif), dan rehabilitatif. Asuhan keperawatan diberikan secara langsung (direct care) kepada pasien/klien maupun tidak langsung (indirect care) di RS. Peran-peran tersebut dilakukan pada semua ruang keperawatan, yaitu ruangan gawat darurat, ruang rawat dan ruang isolasi. Adapun kegiatan sebagai pemberi asuhan keperawatan adalah melakukan pengkajian keperawatan, menetapkan masalah/diagnosis keperawatan yang berhubungan dengan kasus TB & TB MDR, merencanakan tindakan keperawatan yang berhubungan dengan dengan masalah yang muncul, melaksanakan rencana tindakan keperawatan meliputi perawatan langsung, perawatan tidak langsung sesuai sarana dan fasilitas RS dan kebutuhan pasien, melaksanakan kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain, melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan asuhan keperawatan dan melakukan dokumentasi keperawatan.

2. Peran Sebagai Pendidik Kesehatan Dan Advokasi Pasien TB MDR

Perawat memberikan pendidikan kesehatan pada pasien dan keluarga yang menjadi tanggung jawabnya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan


(42)

pasien TB dan keluarga dalam pencegahan dan penanganan TB. Sebelum memberikan edukasi perawat melakukan pengkajian kebutuhan pengetahuan pasien dan keluarga tentang perawatan TB untuk kemudian menyusun rencana pendidikan kesehatan. Kemudian perawat melaksanakan pendidikan kesehatan dengan topik yang sesuai dengan kebutuhan pasien dan keluarga, diantaranya cara-cara pencegahan penyakit TB MDR, cara penanggulangannya. Selanjutnya perawat membantu pasien dalam mengambil keputusan untuk menentukan pengobatan TB dengan cara membantu memilih sumber informasi antara lain berasal dari petugas kesehatan, buku bacaan, televisi, majalah, dll.

3. Peran sebagai Konselor di Unit DOTS (Directly Observed Treatment

Short-course)

Di Rumah Sakit terdapat unit DOTS pada unit DOTS peran perawat sangat strategis yaitu sebagai konselor. Perawat memfasilitasi pasien/klien untuk mencari pemecahan masalah kesehatan dalam perubahan perilaku yang terjadi dan dihadapi pasien/klien. Pada konseling keperawatan TB & MDR TB, perawat tidak boleh memberi instruksi kepada pasien untuk melakukan sesuatu tetapi membantu pasien untuk melakukan proses penyelesaian masalah dan mengambil keputusan yang tepat untuk bertindak. Kegiatannya adalah sebagai berikut mengidentifikasi dan klarifikasi masalah yang harus diselesaikan kemudian melibatkan pasien dalam mengidentifikasi dan memilih alternatif penyelesaian masalah. selanjutnya memfasilitasi pasien dalam mengevaluasi keputusan yang diambil untuk meningkatkan kesadaran dirinya untuk mengatasi masalah. Kemudian melaksanakan kerjasama/kolaborasi antar anggota tim dan tenaga


(43)

kesehatan lain (dokter, psikolog, petugas gizi, dll). Konseling yang diberikan perawat kepada pasien dan keluarga yang mengalami masalah psikososial dan isolasi sosial akibat menderita TB. Konseling juga diberikan kepada pasien yang mengalami efek samping OAT, konseling terkait konflik dalam keluarga akibat TB, konseling penanganan masalah TB MDR, konseling bagi pasien HIV-TB.

4. Peran Perawat Sebagai Pengelola Ruangan

Perawat mengaplikasikan kepemimpinan dan manajemen keperawatan dalam pelayanan dan pemberian asuhan keperawatan pada pasien/klien dengan TB. Perawat sebagai pengelola ruangan yaitu sebagai ketua tim atau case manager khusus pada kasus pasien dengan masalah TB. Adapun kegiatan sebagai Ketua Tim (Case manager) diruangan pada kasus TB, adalah sebagai berikut: 4.1 Mengelola pencegahan dan pengendalian infeksi TB pada pasien dan

keluarga di Rumah Sakit.

4.2 Mengelola asuhan keperawatan mengkaji, mengidentifikasi, menganalisa hasil pengkajian dan menyusun kebutuhan asuhan keperawatan sesuai dibutuhkan pasien.

4.3 Mengelola dan mengembangkan tindakan keperawatan bersama perawat pelaksana ruangan.

4.4 Melakukan kolaborasi dengan tim kesehatan lain dalam memberikan asuhan keperawatan.

4.5 Melakukan evaluasi hasil dan dampak asuhan keperawatan yang diberikan oleh perawat pelaksana.


(44)

5. Peran Sebagai Peneliti

Melakukan penelitian keperawatan mulai dari penelitian bersifat sederhana sampai penelitian bersifat advance. Sebagai peran peneliti perawat diharapkan dapat menumbuhkan rasa ingin tahu, mencari jawaban terhadap fenomena klien, menerapkan hasil kajian dalam rangka membantu mewujudkan praktik berbasis bukti/fakta (Evidence Based Nursing Practice). Perawat dapat berkontribusi atau melakukan penelitian langsung di setiap ruangan di RS serta menggunakan hasil penelitian dalam melakukan perawatan TB. Kegiatannya sebagai berikut:

5.1 Mengidentifikasi fenomena/masalah-masalah terkait pasien TB dan penerapan pengendalian TB untuk kebutuhan penelitian.

5.2 Merancang dan melakukan penelitian langsung sesuai kajian, contoh: dampak ketidakpatuhan terhadap obat yang diberikan.

5.3 Berpartisipasi melaksanakan penelitian bersama tenaga kesehatan lain.

5.4 Menggunakan dan memanfaatkan hasil penelitian dalam memberikan pelayanan/asuhan keperawatan dan mengembangkan metode perawatan terkini pada pasien TB.

5.5 Menyebarluaskan dan mempublikasikan temuan hasil penelitian dalam seminar nasional/internasional maupun jurnal nasional/internasional.

Sehubungan dengan TB, perawat meningkatkan kesehatan untuk mencegah penyakit dengan mengurangi penularan TB di masyarakat dengan menemukan dan mengobati kasus aktif. Mereka memulihkan kesehatan dengan memastikan pasien menerima perawatan yang mereka butuhkan dan meringankan


(45)

penderitaan dengan mengorganisir dukungan untuk pasien sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

2.2.4. Peran Perawat Dalam Strategi DOTS.

Peran perawat yang bertugas di manajemen TB dan kontrol bervariasi sesuai dengan lingkungan kerja mereka. Sementara beberapa akan terlibat dalam semua kegiatan yang digambarkan di bawah ini, orang lain akan mengambil berbagai elemen. Perawat bekerja di layanan kesehatan primer yang pertama bertemu dengan pasien dan menemukan gejala sehingga penting untuk identifikasi awal tersangka TB dan kasus TB-MDR. Untuk memastikan tingginya tingkat deteksi kasus, landasan penanggulangan TB adalah perawat yang bekerja dengan individu, keluarga, masyarakat dan layanan lainnya perlu memahami peran mereka dalam mengendalikan pencegahan penyakit TB MDR (William.G,2008)


(46)

Tabel 2.1. Peran Perawat dan Kaitannya dengan Lima Elemen Kunci dari Strategi DOTS (William.G,2008)

Elemen Strategi dan rasional Peran Perawat Komitmen

Politik

investasi di tingkat nasional dan lokal untuk melaksanakan dan mempertahankan program pengendalian TB sukses

Advokasi dan lobi Pengalaman bekerja sama dengan pasien dan masyarakat dapat menginformasikan kebijakan dan pengambilan keputusan strategis dan membantu pelaksanaan

Penemuan kasus dengan pemeriksaan mikroskopi

Pilihan biaya yang paling efektif, Mengidentifikasi kasus infeksi

Identifikasi kasus, Dukungan kepada pasien khawatir, saran untuk menghasilkan sampel yang baik, dokumentasi (Saran & hasil)

Pengobatan dengan standar DOT

Memastikan pengobatan yang efektif dan kepatuhan pengobatan, tersedia PMO, yang terlatih, bertanggung jawab dan dapat diterima oleh pasien.

Memastikan perlakuan yang sama, perencanaan perawatan Individu, Pendidikan pasien & keluarga, Pemantauan dan dokumentasi obat dan kemajuan, Dukungan untuk pasien, keluarga dan pengamat pengobatan. Standard

pelaporan dan pencatatan

Evluasi secara sistematis : a) perkembangan pasien dan hasil dari pengobatan.. b) kinerja dari program keseluruhan

Bersih, akurat dan pencatatan laboratorium menggunakan: register laboratorium, kartu treatment, dan register TB. Komunikasi berulang dan perkembangan secara koleltif. Teratur

menyediakan obat

Mengurangi kemungkinan putus berobat

Memastikan dan bertanggung jawab terhadap tersedianya obat untuk pasien dengan melihat pencatatan. (Wasor TB DOTS)

Aspek logistik tambahan: pelatihan dan pengawasan

Penting untuk memastikan kualitas dan manajemen yang tepat dan kemungkinan penemuan kasus TB

Mengembangkan diri secara profesional, menyediakan edukasi untuk pasien, keluarga, masyarakat dan relawan.

Aspek operasional tambahan: fleksibilatas

Berbagai aspek geografi, lingkungan dan konteks budaya dibutuhkan fleksibilitas dalam implementasi dari komponen DOTS

Perawat mempunyai peran kunci dengan menyediakan layanan yang fleksibel dan berpusat kepada pasien.

2.2.5 Manajemen Dan Asuhan Keperawatan Pasien TB MDR di

Rumah Sakit.

Proses keperawatan adalah suatu pendekatan sistematis untuk menyediakan individual, perawatan berpusat kepada pasien melalui siklus penilaiannya, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Hal ini menjelaskan dasar secara ilmiah dan meningkatkan kualitas. Tindakan dibuat eksplisit pada tahap perencanaan memungkinkan evaluasi secara efektif terhadap intervensi yang dilakukan. Seperti proses keperawatan, DOTS dan strategi


(47)

manajemen TB MDR pada dasarnya memiliki kualitas dan efektivitas. Strategi DOTS khususnya menawarkan pendekatan standar untuk mengontrol dan manajemen TB. Pengelolaan TB MDR jauh lebih kompleks meskipun ada beberapa peluang untuk standardisasi aspek-aspek tertentu seperti elemen diagnosis dan pemantauan pengobatan. Meskipun aspek teknis pengendalian TB yang standar telah menjadi efektif, layanan TB harus fleksibel dan didasarkan pada kebutuhan pasien, keluarga dan masyarakat setempat.(William G, 2008)

Perawatan dan pengendalian penderita TB MDR menggunakan pendekatan berpusat kepada pasien yang menghubungkan proses keperawatan dengan DOTS dan strategi manajemen TB MDR, mengidentifikasi temuan kasus dan merawat pasien. Kasus yang terus-menerus ditemukan, mendorong penyelidikan lebih lanjut yang menyebabkan lebih ditemukan banyak kasus karena kebutuhan individu pasien dapat berubah selama waktu mereka berada di masa pengobatan, evaluasi secara berkelanjutan oleh perawat dan berulang memastikan perawatan yang tepat pada setiap tahap dan meningkatkan kepatuhan pasien untuk mengikuti pengobatan TB MDR.

2.3 Konsep Kepatuhan 2.3.1 Pengertian

Kepatuhan adalah kerelaan seseorang untuk melakukan suatu permintaan yang sebenarnya tidak ingin dilakukan. Kepatuhan ini muncul karena adanya


(48)

tekanan sosial dan perundingan, hal ini sangat dipengaruhi oleh informasi yang diterima oleh seseorang tentang perilaku yang diharapkan dan diminta (Sears,1994). Menurut (Sackett dalam Niven, 2002) kepatuhan didefinisikan sebagai sejauh mana perilaku klien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh petugas kesehatan.

Menurut (Sarafano dalam Smet, 1994) kepatuhan merupakan tingkat klien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau oleh yang lain. Kepatuhan adalah sejauh mana klien mengerti maksud atau harapan dari dokter dalam memberikan pengobatan (McGavock dalam Hughes, 1997). Kepatuhan sering digunakan untuk menggambarkan perilaku bahwa klien mengubah perilakunya atau patuh karena mereka dimintai untuk itu (Brooks dan Burn, 2004). Kepatuhan merupakan masalah yang lazim pada semua penyakit kronis yang memerlukan pengobatan jangka panjang (Oesterberg, 2005) khususnya pada pasien TB paru. Kepatuhan sebagai suatu keadaan dimana pasien harus mengikuti instruksi dokter (WHO, 2003).

Pengobatan TB yang efektif juga memerlukan kerjasama pasien dalam perilaku kesehatan. Oleh karena itu kepatuhan untuk menjalani pengobatan hingga berhasil dilihat sebagai keadaan dimana perilaku seseorang minum obat, mengikuti diet sehat dan mengubah gaya hidup, semuanya berkesinambungan dengan rekomendasi yang diberikan oleh tenaga kesehatan (WHO, 2003).

Dapat disimpulkan bahwa kepatuhan merupakan perilaku yang muncul akibat permintaan atau saran dari orang lain mengenai tatacara menjalani sebuah program pengobatan, terjadi karna adanya kebutuhan dan peningkatan status


(49)

kesehatan klien. Kepatuhan ini dapat dilihat, dinilai dan diukur dengan menggunakan sebuah instrumen (alat ukur), untuk itu perlu kita ketahui lebih lanjut karakteristik dari sebuah perilaku kepatuhan.

2.3.2. Kepatuhan Terhadap Pengobatan TB

Kepatuhan terhadap pengobatan TB adalah faktor utama keberhasilan pengobatan TB, mengurangi resiko terjadinya TB MDR dan merupakan alasan utama mengembangkan Strategi DOTS. Kepatuhan adalah sejauh mana perilaku seseorang minum obat, mengikuti diet dan/atau melaksanakan perubahan gaya hidup, mengikuti rekomendasi perawatan kesehatan yang disepakati (WHO, 2003).

DOT merupakan elemen kunci dari paket kebijakan untuk pengendalian TB dan mengharuskan pengamat langsung pasien menelan obat. PMO dapat petugas kesehatan atau anggota terlatih dan diawasi komunitas. Indikator kepatuhan terbaik termasuk hasil smear konversi dari positif ke negatif, perbaikan gejala, perbaikan keadaan umum.

Secara umum, pasien harus patuh minum obat untuk mencapai keberhasilan pengobatan yaitu meningkatkan kesempatan untuk sembuh, mengurangi resiko kekambuhan dan meminimalkan resisten terhadap obat (Maartens & Wilkinson, 2007). WHO (2003) mendefinisikan kepatuhan sebagai sejauh mana pasien untuk mengikuti petunjuk medis. Namun rejimen TB yang efektif juga membutuhkan pasien untuk mengikuti perilaku kesehatan. Sebagian besar hasil penelitian menunjukkan kepatuhan terhadap pengobatan (Martins, et al. 2008; McInerney, et al. 2007; Trajman .et al, 2010) namun dalam perilaku


(50)

kesehatan bukan hanya kepatuhan terhadap pengobatan saja yang diperlukan. Khusus untuk penderita TB paru, Biswas (2010) mengusulkan enam kepatuhan perilaku kesehatan yaitu kepatuhan minum OAT, mengikuti diet sehat, melakukan latihan fisik, menjaga kebersihan lingkungan, mencegah penularan penyakit dan menghindari faktor-faktor resiko kambuh.

Empat faktor utama berinteraksi untuk mempengaruhi kepatuhan terhadap pengobatan TB adalah faktor-faktor struktural termasuk kemiskinan dan diskriminasi gender, konteks sosial, faktor pelayanan kesehatan dan faktor personal. Kepatuhan terhadap perjalanan panjang pengobatan TB adalah kompleks, fenomena dinamis dengan berbagai faktor yang berdampak pada perilaku pengobatan. Kepatuhan pasien terhadap rejimen pengobatan dipengaruhi oleh sejumlah faktor tersebut (Volmick, 2010).

2.3.3 Alat Ukur Kepatuhan

Kepatuhan sulit dianalisa karena sulit didefenisikan, di ukur dan tergantung pada banyak faktor. Kebanyakan berhubungan dengan ketidaktaatan minum obat sebagai cara pengobatan, misalnya: tidak minum cukup obat, terlalu banyak dan minum obat diluar yang diresepkan. Metode untuk mengukur kepatuhan dilihat sejauh mana para klien mematuhi nasehat dokter dengan baik, meliputi laporan klien, laporan dokter, perhitungan pil dan botol, tes darah dan urine, alat-alat mekanis, observasi langsung dari hasil pengobatan (Smet, 1994).

Menurut (McGavock dalam Hughes, 1997) ada sejumlah metode mengukur kepatuhan. Metode utama yang saai ini digunakan: wawancara pasien, jumlah pil,


(51)

hasil pemeriksaan klinis, menggunakan indikator farmakologi, pengukuran konsentrasi plasma dalam obat dan pengawasan dengan elektronik.

Kepatuhan diukur dengan cara yang berbeda. Mengukur kepatuhan dengan metode secara langsung dianggap lebih obyektif dan lebih dapat diukur seperti dari hasil BTA (Caminero, et al. 1996; Liza, 2009; Pungrassami, et al. 2002; Pritchard, et al. 2003), jadwal mengambil obat (Ailinger ,et al. 2010; Burman, 1995; Gelmanov ,et al. 2007; Naing, et al. 2001), menggunakan observasi langsung dalam mengukur kepatuhan pengobatan (Nymathi ,et al. 2006). Sedangkan Ailinger, et al. (2007) menjelaskan metode mengukur dan memonitor kepatuhan dalam regimen terapi baik di laboratorium maupun praktik klinik adalah level obat dalam cairan biologis, penanda biologi, observasi langsung. Haley, et al. (2008) menggunakan wawancara pasien, catatan pasien, kuisioner kepatuhan, jumlah pil. Untuk itu dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode adherence questionaire untuk mengukur kepatuhan minum obat pada penderita TB MDR. Metode ini digunakan peneliti karena memiliki keuntungan yaitu mudah administrasinya (ditempat,email, surat, telepon) tervalidasi dan dapat menjelaskan perilaku pasien.

Sejak tahun 1995, manajemen operasional yang menyesuaikan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Strategy) menekankan adanya pengawas minum obat (PMO) untuk setiap penderita TB paru dengan harapan dapat menjamin keteraturan minum obat bagi setiap penderita TB selama masa pengobatan.


(52)

2.3.4 Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan

Hasil dari beberapa penelitian terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat yaitu lamanya pengobatan, sosial budaya, status ekonomi dan dukungan sosial, pendidikan, tenaga kesehatan, dukungan keluarga.

1. Lamanya Pengobatan.

Lamanya waktu pengobatan TB MDR antara 18-24 bulan menuntut adanya perawatan komprehensif yang efektif agar dapat mendukung dan meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan. Penderita TB MDR juga tidak segera sembuh setelah meminum obat perlu waktu paling sedikit 18 bulan pengobatan yang meliputi fase awal selama 6 bulan setelah BTA mengalami konversi dilanjutkan fase lanjutan selama 18 bulan. Semakin banyak jenis obat yang harus diminum tiap harinya, maka klien semakin merasa kesulitan mematuhi program pengobatan.

Hasil penelitian terhadap obat TB yang paling sering digunakan isoniazid (LoBue, et al. 2003) dan rifampisin (Haley, et al. 2008). Lamanya pengobatan bervariasi dari 4 bulan (Haley, et al. 2008), 6 bulan (LoBue, et al. 2003) dan 9 bulan (Ailinger, et al. 2006). Lamanya pengobatan selama 4 bulan mempunyai tingkat kepatuhan paling tinggi. Semakin lama pengobatan semakin rendah tingkat kepatuhan.

2. Faktor Sosial Budaya

Hanya satu penelitian yang mengukur tentang faktor sosial budaya. Ailinger, et al. (2006) dalam penelitian di Spanyol menemukan tidak ada hubungan sosial budaya dengan kepatuhan minum obat. Mc Ewen dan Boyle (2007) menemukan


(53)

bahwa dalam budaya spanyol adalah suatu hal yang memalukan apabila memiliki penyakit menular yang dapat ditularkan kepada keluarga dan lingkungan. Penelitian lain menemukan bahwa dua pertiga dari peserta akan menggunakan obat tradisional untuk mengobati penyakit TB mereka daripada pengobatan medis (Joseph, et al. 2008).

3. Status Ekonomi dan Dukungan Sosial

Status ekonomi mempunyai peran penting dalam ketidakpatuhan untuk pasien. Keterbatasan biaya dalam pengobatan membuat keterbatasan transportasi (Wyss, et al. 2007). Keterbatasan transportasi menyebabkan pasien tergantung pada orang lain untuk melakukan perjalanan yang jauh dengan transportasi umum yang membutuhkan banyak biaya. Pasien tidak dapat mengambil cuti karena sudah terikat kontrak dengan tempat mereka bekerja dan mereka merasa rugi kehilangan upah bekerja harian (Wyss, et al. 2007). Para peneliti menyarankan bahwa lebih memberikan waktu lebih untuk pasien kontrol ulang kesehatannya, lebih membimbing dan berikan transportasi klinik gratis untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan (Wyss, et al. 2007). Pada penelitian Ailinger, et al. (2007) dukungan sosial tidak berkorelasi dengan kepatuhan terhadap pengobatan. 4. Pendidikan dan Perilaku Sehat.

Penelitian sebelumnya menemukan kurangnya kesadaran perilaku sehat menurunkan tingkat kepatuhan (Mc Ewen dan Boyle, 2007). Banyak pasien yang tidak mengetahui tentang TB, TB MDR dan pengobatannya. Pada penelitian Ailinger, et al. (2006) menemukan penurunan kepatuhan berobat pada pasien yang mengetahui dirinya menderita TB, tidak ditemukan hubungan antara


(54)

pendidikan dan penyakit TB. Pasien beranggapan sudah mendapatkan Imunisasi BCG diwaktu bayi menghindari mereka dari penyakit TB (Joseph, et al. 2008). Ailinger dan Dear (1998) menemukan adanya hubungan antara tingkat pendidikan dan kepatuhan berobat, meskipun penelitian selanjutnya tidak mendukung hasil penelitian ini.

5. Petugas Kesehatan

Kualitas interaksi antara klien dengan petugas kesehatan menentukan derajat kepatuhan. Kegagalan pemberian informasi yang lengkap tentang OAT dari tenaga kesehatan bisa menjadi penyebab ketidakpatuhan klien meminum obat.

Dalam penelitian Mc Ewen dan Boyle (2007) ditemukan kurannya kualitas interaksi dengan perawat membuat pasien merasa terpaksa dalam menjalankan pengobatan. Dalam penelitian tersebut ditemukan adanya ungkapan merasa tepaksa dan berpura-pura menjadi patuh. Nymathy ,et al. (2006) menemukan perawat yang melakukan manajemen perawatan TB dengan baik meningkatkan angka kesembuhan pasien. Perawat sebagai edukasi dan menemukan kasus TB.

6. Efek Samping

Tiga puluh delapan persen pasien melaporkan efek samping pada bulan pertama, selanjutnya efek samping berkurang. Pada penelitian kualitatif menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara kepatuhan dan efek samping obat (Ailinger, 2006). Namun pada penelitian kualitatif menemukan


(55)

bahwa efeksamping menjadi penyebab ketidakpatuhan (Mc Ewen dan Boyle, 2007).

7. Dukungan Keluarga

Anggota keluarga merupakan subjek utama menjadi PMO dalam program DOTS bagi pasien TB. Nasution (2007) menemukan bahwa pasien yang berhasil mengikuti program DOTS memiliki dukungan keluarga yang lebih besar dibandingkan pasien yang gagal di Medan, Indonesia. Frieden & Sbarbaro (2007) menyatakan bahwa PMO harus dilakukan oleh individu yang dekat dan dapat diterima dapat oleh pasien dan keluarga. Punggrassami, et al. (2002) menyatakan bahwa hubungan keluarga akan meningkatkan perawatan kesehatan dan dukungan secara psikologis. Dukungan keluarga selama pengobatan TB akan membantu tercapainya keberhasilan pengobatan. Keberhasilan pengobatan dapat dicapai dengan meningkatkan kepatuhan minum obat.

Persepsi klien terhadap suatu obat akan mempengaruhi kepatuhan, klien yang paham akan instruksikan obat cenderung lebih patuh. Selain itu keyakinan dan nilai individu juga mempengaruhi kepatuhan, klien yang tidak patuh biasanya mengalami depresi, ansietas dengan kesehatannya, memiliki ego lemah dan terpusat perhatian pada diri sendiri. Sehingga klien merasa tidak ada motivasi, mengingkari penyakitnya dari kurang perhatian pada rogram pengobatan yang harus dijalankan. Variabel psikologis yang dikemukakan Brooks & Burn (2004) dan Smet (1994) seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga kesehatan, penerimaan atau penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan


(56)

agama atau budaya dan biaya finansial juga mempengaruhi klien dalam mematuhi program pengobatan.

2.4 Multi Drug Resistant (MDR)

2.4.1 Definisi

Multi drug resistant TB (MDR TB) didefinisikan sebagai resistensi terhadap dua agen anti-TB lini pertama yang paling paten yaitu isoniazid (INH) dan rifampisin, TB MDR berkembang selama pengobatan yang tidak adekuat. Hal ini dapat terjadi karena beberapa alasan; pasien mungkin merasa lebih baik dan menghentikan pengobatan, persediaan obat habis atau langka atau pasien lupa minum obat. Awalnya resistensi ini muncul sebagai akibat dari ketidakpatuhan pengobatan. Selanjutnya transmisi strain TB MDR menyebabkan terjadinya kasus resistensi primer. Tuberkulosis paru dengan resistensi dicurigai kuat jika kultur tahan asam (BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali positif setelah konversi negatif. Directly observed theraphy Short-course (DOTS) merupakan sebuah strategi baru yang dipromosikan oleh WHO untuk meningkatkan keberhasilan terapi TB dan mencegah terjadinya resistensi.

TB dengan resistensi terjadi dimana basil Micobacterium Tuberculosis

resisten terhadap rifampisin dan isoniazid dengan atau tanpa OAT lainnya (WHO, 1997). TB resistensi dapat berupa resistensi primer dan resistensi sekunder. Resistensi primer yaitu resistensi yang terjadi pada pasien yang tidak pernah mendapat OAT sebelumnya. Resistensi primer ini dijumpai khususnya pada pasien-pasien dengan positif HIV. Sedangkan resistensi sekunder yaitu resistensi


(57)

yang didapat selama terapi pada orang yang sebelumnya sensitif obat (Mc Donald & Reichman, 2003).

Jalur yang terlibat dalam perkembangan dan penyebaran TB MDR akibat mutasi dari gen micobakterium tuberkulosis. Basil tersebut mengalami mutasi menjadi resisten terhadap salah satu jenis obat akibat mendapatkan terapi OAT tertentu yang tidak adekuat. Terapi yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh konsumsi hanya satu jenis obat saja (monoterapi direk) atau konsumsi obat kombinasi tetapi hanya satu saja yang sensitif terhadap basil tersebut (indirek monoterapi). Pasien TB dengan resistensi obat sekunder dapat menginfeksi yang lain dimana orang yang terinfeksi tersebut dikatakan resistensi primer. Transmisi difasilitasi oleh adanya infeksi HIV dimana perkembangan penyakit lebih cepat, adanya prosedur kontrol infeksi yang tidak adekuat dan terlambatnya penegakkan diagnostik (Leitch, 2000).

2.4.2 Faktor-faktor Terjadinya TB MDR

Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu 1) Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis, 2) Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat (yaitu jenis obatnya yang kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut), 3) Pemberian obat yang tidak teratur ( misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi demikian seterusnya), 4) Fenomena “addition syndrom” yaitu


(58)

suatu obat ditambahkan dalam satu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada panduan yang pertama, maka penambahan (addition) satu macam obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat yang resisten saja, 5) Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik sehingga mengganggu bioavailabilitas obat, penyediaan obat yang tidak reguler kadang-kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan. (Aditama, 2006),

2.4.3 Diagnosis TB MDR

Tuberkulosis paru dengan resistensi dicurigai kuat jika kultur basil tahan asam (BTA) tetap positif setelah 3 bulan atau kultur kembali posiif setelah terjadi konversi negatif. Beberapa gambaran demografis dan riwayat penyakit dahulu dapat memberikan kecurigaan TB paru resisten obat yaitu: 1) TB aktif yang sebelumnya mendapat terapi, 2) Kontak dengan kasus TB resitensi ganda, 3) gagal terapi atau kambuh, 4) Infeksi HIV, 5) Riwayat rawat inap dengan wabah MDR TB (Riyanto & Wilhan, 2006)

Diagnosis TB resistensi tergantung pada pengumpulan dan proses kultur spesimen yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika pasien tidak dapat mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan jika tetap tidak bisa, dilakukan bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini pertama dan kedua harus dilakukan pada laboratorium rujukan yang memadai (Riyanto, et al. 2006). Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB. Deteksi resistensi obat di masa lalu yang disebut dengan metode konvensional berdasarkan deteksi pertumbuhan M.tuberculosis. Akibat sulitnya beberapa


(59)

metode ini dan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, maka belakangan ini diusulkanlah teknologi baru. Yang termasuk metode terbaru ini adalah metode fenotipik dan genotipik. Pada banyak kasus, metode genotipik khususnya telah mendeteksi resistensi rifampisin, sejak saat itu metode ini dipertimbangkan sebagai petanda TB resisten khususnya pada suasana dengan prevalensi TB resisten tinggi. Sementara metode fenotipik di lain sisi, merupakan metode yang lebih sederhana dan lebih mudah diimplementasikan pada laboratorium mikrobakteriologi klinik secara rutin (Martens, et al. 2007).

2.4.4 Penatalaksanaan TB MDR

Dasar pengobatan terutama untuk keperluan membuat regimen obat-obat anti TB, WHO guidelines membagi obat MDR menjadi 5 kelompok berdasarkan potensi dan efikasinya sebagai berikut : kelompok pertama, pirazinamid dan ethambutol, karena paling efektif dan dapat di toleransi dengan baik. Obat lini pertama yng terbukti sebaiknya digunakan dalam dosis maksimal. Kelompok kedua, obat injeksi bersifat bakterisidal, kanamisin (amikasin) jika alergi digunakan kapreomisin, viomisin. Semua pasien diberikan injeksi sampai jumlah kuman dibuktikan rendah melalui hasil kultur negatif. Kelompok ketiga, fluorokuinolon, obat bakterisidal tinggi misal levofloksain. Semua pasien yang sensitif terhadap grup ini harus mendapat kuinolon dalam regimennya. Kelompok keempat, obat bakteriostatik lini kedua, PAS, etionamid dan sikloserin.

Golongan obat ini mempunyai toleransi tidak sebaik obat-obat oral lini pertama dari kuinolon. Kelompok kelima, obat yang belum jelas efikasinya,


(60)

menunujukkan efikasinya akan tetapi data melalui uji klinis pada pasien MDR masih minimal. (WHO, 2008).

Ada tiga cara pendekatan pembuatan regimen didasarkan atas riwayat obat TB yang pernah dikonsumsi penderita drug resistance surveillance (DRS) di suatu area dari penderita itu sendiri. Berdasarkan data diatas mana yang dipakai maka dikenal dengan regimen standar, pengobatan dengan regimen standar yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST (Drug Sensitive Test) individu penderita tersebut dan pengobatan secara empiris yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu penderita tersebut.

Pengobatan dengan regimen standar adalah pembuatan regimen didasarkan dari hasil DRS yang bersifat representative pada populasi dimana regimen tersebut akan diterapkan. Semua pasien TB MDR akan mendapat regimen yang sama.

Pengobatan dengan regimen standar yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu penderita, awalnya semua pasien akan mendapat regimen yang sama selanjutnya regimen disesuaikan berdasarkan hasil uji sensitivitas yang telah tersedia dari pasien yang bersangkutan.

Pengobatan secara empirik yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu pasien tiap regimen bersifat individualis, dibuat berdasarkan riwayat pengobatan TB sebelumnya, selanjutnya disesuaikan setelah uji sensitivitas obat dari pasien yang bersangkutan ada. Menurut WHO guidelines

(2008) membuat pertahapan tersebut sebagai berikut: tahap satu gunakan obat dari lini pertama yang manapun yang masih menunjukkan efikasi. Tahap dua,


(61)

tambahan obat di atas dengan salah satu golongan obat injeksi berdasarkan hasil uji sensitivitas dan riwayat pengobatan. Tahap tiga, tambahan obat-obat di atas dengan salah satu obat golongan flurokuinolon. Tahap empat, tambahan obat-obat tersebut diatas dengan satu atau lebih dari obat golongan empat sampai sekurang-kurangnya sudah tersedia empat obat yang mungkin. Tahap lima, pertimbangan menambahkan sekurang-kurangnya dua obat dari golongan lima (melalui proses konsultasi dengan ahli TB MDR) apabila dirasakan belum ada emapat obat yang efektif dari golongan satu sampai empat.

Selain itu ada beberapa butir dalam pengobatan MDR TB yang dianjurkan oleh WHO (2008) sebagai prinsip dasar antara lain: 1) Regimen harus didasarkan atas riwayat obat yang pernah diminum penderita. 2) Dalam pemilihan obat pertimbangkan prevalensi resistensi obat lini pertama dan obat lini kedua yang berada di area/negara tersebut. 3) Regimen minimal terdiri empa obat yang jelas diketahui efektifitasnya. 4) Dosis obat diberikan berdasarkan berat badan. 5) Obat diberikan sekurang-kurangnya enam hari dalam seminggu apabila mungkin etambutol, pirazinamid dan fluorokuinolon diberikan setiap hari oleh karena konsentrasi dalam serum yang tinggi memberikan efikasi. 6) Lama pengobatan minimal 18 bulan setelah terjadi konversi. 7) Apabila terdapat DST maka harus digunakan sebagai pedoman terapi. DST tidak memprediksi efektivitas atau inefektivitas obat secara penuh. 8) Pirazinamid dapat digunakan dalam keseluruhan pengobatan apabila dipertimbangkan efektif. Sebagian besar penderita TB MDR memiliki keradangan kronik di parunya dimana secara teoritis menghasilkan suasana asam dan pirazinamid bekerja aktif. 9) Deteksi awal


(62)

adalah faktor penting untuk mencapai keberhasilan.

Pengobatan pasien TB MDR terdiri atas dua tahap yaitu tahap awal atau fase intensif dan tahap lanjutan. Pengobatan MDR TB memerlukan waktu lebih lama daripada pengobatan TB bukan MDR yaitu sekitar 18-24 bulan. Pada tahap awal pasien akan mendapat obat anti tuberkulosis (OAT) lini kedua minimal empat jenis OAT yang masih sensitif dimana salah satunya adalah obat injeksi. Pada tahap lanjutan semua OAT lini kedua yang dipakai pada tahap awal.

2.4.5 Pemantauan Selama Pengobatan

Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap pengobatan dan mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB adalah batuk, berdahak, demam dan BB menurun umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Penilaian respons pengobatan adalah konversi dahak dan biakan. Hasil uji kepekaan TB MDR dapat diperoleh setelah 2 bulan. Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan. Evaluasi pada pasien TB MDR adalah 1) penilaian klinis termasuk berat badan. 2) penilaian segera bila ada efek samping. 3) pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap dua bulan pada fase lanjutan. 4) pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi biakan. 5) uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan akan

kegagalan pengobatan. 6) periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat suntikan (Kanamisin dan Kapreomisin). 7) pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda hipotiroid.


(63)

2.4.6. Pencegahan Terjadinya Resistensi Obat

WHO merekomendasikan strategi DOTS dalam penatalaksanaan kasus TB, selain relative tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap dapat menurunkan risiko terjadinya kasus resistensi obat terhadap TB. Pencegahanan yang terbaik adalah dengan standarisasi pemberian regimen yang efektif, penerapan strategi DOTS dan pemakaian obat FDC adalah yang sangat tepat untuk mencegah terjadinya resistensi OAT.

Pencegahan terjadinya TB MDR dapat dimulai sejak awal penanganan kasus baru TB antara lain : pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA positif pada pertama kali, penyembuhan secara komplit kasih kambuh, penyediaan suatu pedoman terapi terhadap TB, penjaminan ketersediaan OAT adalah hal yang penting, pengawasan terhadap pengobatan dan adanya OAT secara gratis. Jangan pernah memberikan terapi tunggal pada kasus TB. Peranan pemerintah dalam hal dukungan kelangsungan program dan ketersediaan dana untunk penanggulangan TB (DOTS). Dasar pengobatan TB oleh klinisi berdasarkan pedoman terapi sesuai

“evidence based” dan tes kepekaan kuman.

2.4.7. Strategi DOTSPlus

Penerapan strategi DOTSPlus mempergunakan kerangka yang sama dengan strategi DOTS dimana setiap komponen yang ada lebih ditekankan kepada penanganan MDR TB. Strategi DOTSPlus juga sama terdiri dari 5 komponen kunci :

1. Komitmen politis yang berkesinambungan untuk masalah MDR (multi drug resistance).


(64)

2. Strategi penemuan kasus secara rasional yang akurat dan tepat waktu menggunakan pemeriksaan hapusan dahak secara mikroskopis ,biakan dan uji kepekaan yang terjamin mutunya.

3. Pengobatan standar dengan menggunakan OAT lini kedua dengan pengawasan yang ketat (Direct Observed Treatment/DOT).

4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua yang bermutu. 5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baku.

Setiap komponen dalam penanganan TB MDR lebih kompleks dan membutuhkan biaya lebih banyak dibandingkan dengan pasien TB bukan MDR Pelaksanaan program DOTS plus akan memperkuat Program Penanggulangan TB Nasional.

2.5 Landasan Teori Keperawatan

Konseptualisasi Self Care Orem digunakan sebagai landasan teori dalam penelitian ini. Empat teori yang berhubungan dengan konseptualisasi Self Care Orem adalah teori perawatan mandiri, teori defisit perawatan mandiri, teori perawatan ketergantungan dan teori sistem keperawatan. Sebagai tambahan seluruh konsep yang berhubungan dengan teori ini diikutsertakan perawatan mandiri, agen perawatan mandiri dan kebutuhan terapetik mandiri.

Kepatuhan merupakan suatu elemen perilaku perawatan mandiri dan menggambarkan pernyataan Orem mengenai kepatuhan dalam menjalani aktivitas pengobatan (Ailinger, Moore, Nguyen & Lasus, 2006). Perawatan mandiri merupakan suatu aktivitas yang dilakukan individu dalam memelihara kehidupan,


(65)

kesehatan dan kualitas hidup (Orem, 2001). Perawatan mandiri mencakup kebutuhan universal, perkembangan dan perawatan kesehatan (Orem, 2011).

Secara fundamental kebutuhan perawatan terapetik mandiri merupakan cetak biru untuk tindakan atau perencanaan perawatan mandiri (Taylor, et al. 2001). Pasien diharapkan mengetahui hal yang harus dilakukan untuk patuh dalam pengobatan, memperbaiki kondisi kesehatan dan mencegah penularan. Khusus untuk pasien TB, mengikuti pengobatan dengan OAT, menjalankan diet sehat, melakukan latihan fisik, menjaga kebersihan lingkungan, mencegah penularan penyakit dan menghindari faktor resiko merupakan kebutuhan perawatan terapetik mandiri.

Teori keperawatan defisit perawatan mandiri digunakan untuk melandasi penelitian ini. Teori ini terdiri dari teori perawatan mandiri, teori defisit perawatan mandiri, teori perawatan ketergantungan, dan teori sistem keperawatan. Pertama, teori perawatan mandiri digunakan dengan menilai syarat perawatan mandiri dan mengevaluasi kebutuhan perawatan terapetik mandiri. Kedua, teori defisit perawatan mandiri digunakan untuk mengarahkan dalam identifikasi agen perawatan mandiri. Ketiga, teori sistem keperawatan digunakan untuk mengidentifikasi sistem keperawatan. Orem (2001) memiliki tiga sistem keperawatan yaitu kompensasi mutlak, kompensasi sebagian dan suportif-edukatif.

Sistem keperawatan untuk pasien TB adalah sistem suportif-edukatif karena pasien secara umum mandiri dan memerlukan dukungan selama masa pengobatan. Pada sistem ini pasien dapat membentuk atau dapat belajar membentuk internal


(66)

atau external self care tetapi tidak dapat melakukannya tanpa bantuan. Hal ini juga dikenal dengan supportive developmental system.

Wholly Compensatory System

Partly Compensatory System

Supportive-educative system

Gambar 2.1 Basic Nursing Sytem from Orem Tindakan

perawat

Mendukung dan melindungi pasien

Mengkompensasi ketidakmampuan pasien untuk terlibat dalam perawatan diri

Melakukan perawatan diri terapeutik pasien

Tindakan pasien Mengkompensasi

keterlibatasan penanganan diri pasien

Melakukan beberapa tindakan perawatan diri untuk pasien

Memenuhi kebutuhan pasien Melakukan beberapa perawatan diri Mengatur proses perawatan diri

Menerima bantuan dari perawat

Terpenuhinya perawatan diri

Tindakan pasien Tindakan perawat Tindakan perawat

Mengatur pelaksanaan dan pengembangan proses


(67)

Oleh karena pasien TB butuh menerima pengobatan jangka panjang dan mengikuti perilaku kesehatan yang baik untuk dapat sembuh dalam hal ini kepatuhan minum obat maka keluarga sebagai agen perawatan mandiri dapat digunakan sebagai perpanjangan tenaga pelayanan kesehatan agen perawatan mandiri. Dalam penelitian ini, keluarga dilihat sebagai unit perawatan mandiri struktural yang menyediakan perawatan yang dibutuhkan pasien TB. Oleh karena iti keluarga dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan pasien TB dengan meningkatkan kemampuan keluarga.

Peran perawat dalam hal ini memberikan edukasi kepada keluarga sehingga tentang perawatan dan tatalaksana penyakit MDR TB sehingga keluarga dapat berperan sebagai supotif-edukatif. Program suportif dapat meningkatkan praktik perawatan pada pasien-pasien TB paru. Oleh karena itu program DOTS berbasis keluarga diharapkan dapat meningkatkan perilaku kesehatan dalam hal ini kepatuhan minum obat dengan cara mengikutsertakan keluarga sebagai agen perawatan mandiri dalam sistem keperawatan suportif edukatif.


(1)

LAMPIRAN 3

IZIN PENELITIAN


(2)

Medan, Mei 2014 Perihal : Uji Validitas

Kepada Yth.

Ibu/Bapak... di Medan

Sehubungan dengan penyusunan proposal penelitian mahasiswa Magister Keperawatan di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Sumatera Utara, dibutuhkan validasi instrumen untuk mendukung hasil penelitian yang akurat , untuk itu saya mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk melakukan uji validitas isi bagi instrumen saya.

Nama : Dina Afriani NIM : 127046021

Judul : Hubungan Dukungan Keluarga dan Peran Perawat dengan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita TB MDR di RSUP.H. Adam Malik.

Demikian surat ini saya sampaikan. Atas perhatian dan kerja sama Bapak/Ibu, saya ucapkan terima kasih.

Diketahui,

Pembimbing 1 Penelitian Peneliti,

( Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian., Msi ) ( Dina Afriani )


(3)

(4)

(5)

(6)