BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA
PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Tinjauan Pustaka
Beras bagi bangsa Indonesia dan negara-negara di Asia bukan hanya sekedar komoditas pangan atau ekonomi saja, tapi sudah merupakan
komoditas politik dan keamanan. Suryana et al 2001 mengatakan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia masih tetap menghendaki adanya pasokan
penyediaan dan harga beras yang stabil, tersedia sepanjang waktu, terdistribusi secara merata dan dengan harga yang terjangkau. Kondisi itu
menunjukan b ahwa beras masih menjadi komoditas strategis secara politis. Pengalaman tahun 1966 dan tahun 1998 menunjukan bahwa goncangan politik
dapat berubah menjadi krisis politik yang dahsyat karena harga pangan melonjak tinggi dalam waktu singkat. Saat ini pertumbuhan jumlah penduduk
setiap tahun mencapai berkisar 3 juta jiwa sehingga jika terjadi kekurangan beras maka akan terjadi kerawanan sebab beras merupakan makanan pokok
bagi bangsa Indonesia. Penduduk Indonesia mengalami laju pertumbuhan sekitar 1.49 persen per tahun sehingga permintaan beras akan selalu
mengalami kenaikan Krisnamurthi, 2002. Beras merupakan makanan pokok, menjadi ujung tombak ketahanan
pangan wilayah dan nasional. Peran itu sudah terjadi sejak berabad-abad lalu dan disistematisasikan pada masa pemerintahan orde baru. Dengan demikian,
kepentingan ketahanan pangan sekaligus kepentingan tenaga kerja dan kependudukan bukan lagi menjadi isu ekonomi dan perdagangan semata, tetapi
Universitas Sumatera Utara
menjadi wilayah
politik ekonomi
karena aspek
strategis berbagai
bidang itu menuntut peran pemerintah yang proporsional dan efektif Arifin dan Rachbini, 2001.
Beras telah menjadi komoditas strategis dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Selain sebagai sumber pangan pokok, beras juga menjadi sumber
penghasilan bagi petani dan kebutuhan hidup sehari-hari bagi jutaan penduduk. Beras juga bisa dijadikan sebagai komoditas politik karena keberadaannya tidak
dapat digantikan oleh komoditas lain dan harus dalam jumlah yang memadai. Tingginya permintaan pangan, terutama beras dan peningkatan jumlah penduduk
juga menjadi masalah dalam pencapaiannya. Oleh karena itu, gerakan peningkatan produksi beras nasional melalui perubahan teknologi dan adanya inovasi harus
didukung oleh semua daerah di seluruh Indonesia Jamal et al, 2008. Di Provinsi Sumatera Utara maupun secara Nasional beras merupakan
komoditas strategis dalam kehidupan sosial ekonomi nasional, karena beras menjadi bahan makanan pokok sekitar 95 penduduk dan menjadi sumber
pendapatan bagi sekitar 21 juta rumah tangga petani. Sebagai bangsa dengan penduduk dan potensi sumber daya pertanian yang besar, Indonesia harus mampu
memenuhi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri BKP, 2007. Komoditi beras bagi masyarakat Indonesia bukan saja merupakan bahan
pangan pokok, tetapi sudah merupakan komoditi sosial. Oleh karena itu, perubahan-perubahan yang terjadi pada beras akan begitu mudah mempengaruhi
kehidupan sosial ekonomi yang lain. Perhatian pemerintah terhadap beras sudah lama dimulai dan bahkan setelah Indonesia merdeka, perhatian terhadap beras ini
sudah menjadikan program prioritas Anonimous, 2004.
Universitas Sumatera Utara
Harga beras di Provinsi Sumatera Utara mengalami penurunan yang cukup signifikan. Harga beras medium IR-64 rata-rata Rp 5.241,48kg dan turun
menjadi Rp 4.911,09kg di akhir bulan September 2007. Hal ini disebabkan di beberapa daerah sentra produksi beras di Sumatera Utara mengalami panen dan
terus masuknya beras antar pulau dari Jawa dan NAD BPS, 2010. Konsekuensi logis dari rendahnya harga beras di tingkat petani adalah
bahwa disinsentif yang dihadapi petani untuk meningkatkan produksi dan produktivitasnya menjadi sangat besar. Harus disadari bahwa motivasi kerja
petani dapat meningkat sangat tergantung pada harga beras. Kalau harga beras lebih rendah dari biaya produksi, semangat kerja pun merosot. Sesuai dengan
teori ekonomi mikro, harga dari suatu produk terlalu rendah tidak akan menggairahkan orang untuk menghasilkan produk tersebut. Berarti akan sedikit
sekali petani Indonesia yang bersemangat menjadi produsen beras karena memproduksi komoditas pertanian lain yang memiliki harga jual yang lebih
tinggi menjadi jauh lebih rasional Arifin dan Rachbini, 2001. Defenisi ketahanan pangan menurut International Conference of Nutrition
1992 adalah tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap orang baik dalam jumlah dan mutu pada setiap saat untuk hidup sehat, aktif dan produktif. Di
Indonesia, secara formal dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional, istilah kebijakan dan program ketahanan pangan diadopsi sejak 1992 Repelita
VI yang defenisi formalnya dicantumkan dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, pasal 1 angka 17 menyatakan bahwa “Ketahanan pangan
adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan
Universitas Sumatera Utara
terjangkau”. Pengembangan ketahanan pangan mempunyai perspektif pembangunan yang sangat mendasar karena : 1 akses terhadap pangan dengan
gizi seimbang merupakan hak yang paling asasi bagi manusia; 2 keberhasilan dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan oleh
keberhasilan pemenuhan kecukupa n konsumsi pangan dan gizi ; 3 ketahanan pangan merupakan basis atau pilar utama dalam mewujudkan ketahanan ekonomi
dan ketahanan nasional yang berkelanjutan Anonimous, 2012. Dapat dikatakan ketahanan pangan merupakan konsentrasi untuk
mewujudkan akses setiap individu untuk memperoleh pangan yang bergizi. Dalam ketahanan pangan terdapat tiga komponen penting pembentukan ketahanan
pangan yaitu : produksi, dan ketersediaan pangan, jaminan akses terhadap pangan, serta mutu dan keamanan pangan Anonimous, 2012.
Ketahanan pangan menjadi salah satu prioritas dalam pembangunan nasional. Ada tiga alasan penting yang melandasi adanya kesadaran dari semua
komponen bangsa atas pentingnya ketahanan pangan yaitu: 1 akses atas pangan yang cukup dan bergizi bagi setiap penduduk merupakan salah satu pemenuhan
hak asasi manusia; 2 konsumsi pangan dan gizi yang cukup merupakan basis bagi pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas; 3 ketahanan pangan
merupakan basis bagi ketahanan ekonomi, bahkan bagi ketahanan nasional suatu negara berdaulat.
Ketahanan pangan suatu negara dikatakan baik jika semua penduduk di suatu negara setiap saat dapat memiliki akses terhadap makanan dalam volume
dan mutu yang sesuai bagi suatu kehidupan yang produktif dan sehat. Akses setiap individu terhadap pangan yang cukup merupakan hak asasi manusia yang
Universitas Sumatera Utara
berlaku secara universal. Oleh sebab itu, sampai sejauh mana suatu negara menghormati hak asasi warganya yang dapat diukur dari ketahanan pangan yang
dimilikinya, bahkan ketahanan pangan dijadikan salah satu indikator penting bagi keberhasilan pembangunan nasional, disamping indikator pertumbuhan ekonomi
dan pemerataan pendapatan Saragih, 2001. Berdasarkan defenisi ketahanan pangan dalam UU RI No. 7 Tahun 1996
yang mengadopsi FAO Food Association Organization, didapat 5 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu:
1 Kecukupan ketersediaan pangan; 2 Stabilitas ketersediaan pangan; 3 Fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun; 4
Aksesibilitasketerjangkauan terhadap pangan dan; 5 Kualitaskeamanan pangan FAO, 1996
Campur tangan pemerintah dalam ekonomi perberasan nasional pada dasarnya ada lima yaitu: meningkatkan produksi padi, meningkatkan pendapatan
petani, mengurangi ketidakstabilan harga di tingkat produsen dan konsumen, dan mengendalikan keseimbangan harga beras di antara pasar domestik dengan pasar
internasional. Stabilisasi harga beras oleh pemerintah dilakukan melalui mekanisme buffer stock, yaitu dengan menetapkan harga dasar dan harga batas
tertinggi. Harga dasar minimum dijamin pemerintah untuk melindungi konsumen dari kenaikan harga yang tidak terkendali terutama pada musim
paceklik. Ini semuanya diusahakan dengan pengadaan beras dikala panen dan penyaluran di kala paceklik
Tim Pengkajian Kebijakan Perberasan Nasional, 2001.
Universitas Sumatera Utara
Tujuan dari penetapan HPP gabah dan beras adalah untuk memberikan perlindungan kepada petani padi agar memperoleh pendapatan usahatani yang
layak. Kenyataannya, harga gabah di tingkat petani sudah jauh lebih tinggi dari HPP sehingga tingkat keuntungan petani juga lebih tinggi lagi. Bila tujuan
pemerintah adalah memberikan pendapatan yang layak kepada petani padi, maka dengan mengacu uraian di atas, kebijakan perberasan yang selama ini
dilaksanakan cukup efektif. Namun, kebijakan tersebut perlu terus disesuaikan secara periodik seiring dengan dinamika yang berkembang. Beberapa justifikasi
yang mendukung perlunya penyesuaian HPP gabah dari tingkat yang berlaku saat ini yaitu : 1 harga beras domestik saat ini lebih rendah dari harga di pasar dunia;
2 harga gabah aktual sudah lebih tinggi dari HPP sehingga dapat menyulitkan BULOG dalam membeli gabah dari petani; dan 3 harga komoditas lain naik
lebih tinggi sehingga dapat mengurangi minat petani untuk menanam padi Rachman dan Sudaryanto, 2009.
Kebijakan harga melalui jaminan harga dasar dapat memperkecil risiko usahatani, karena petani terlindungi dari kejatuhan harga jual gabah atau beras di
bawah ongkos produksi, yang sering terjadi pada musim panen raya. Manakala risiko suatu usahatani dapat ditekan sekecil mungkin, maka ketersediaan beras
dari produksi dalam negeri lebih terjamin. Ketersediaan beras dari produksi dalam negeri menjadi salah satu unsur penting dalam memperkuat ketahanan pangan
Sawit, 2010. Pada tahun 2001 melalui Inpres No. 9 Tahun 2001 tentang kebijakan
perberasan terjadi perubahan istilah harga dasar menjadi harga dasar pembelian pemerintah HDPP yang berlaku sejak 1 Januari 2002. Inpres perberasan di era
Universitas Sumatera Utara
reformasi lebih komprehensif yang mencakup kebijakan harga dan non harga, kebijakan perdagangan, stok publik, serta subsidi beras terarah. Inpres perberasan
yang dikeluarkan oleh pemerintah hampir setiap tahun diperbaharui Sawit, 2010 Sejak tahun 2005 istilah HDPP diganti dengan harga pembelian pemerintah HPP
melalui Inpres No. 2 Tahun 2005. Selanjutnya dikeluarkan Inpres No. 13 Tahun 2005, Inpres No. 3 Tahun 2007 dan Inpres No.1 Tahun 2008 peraturan sejenis
yang terakhir adalah Inpres No. 7 tahun 2009 berlaku efektif pada Januari 2010 yang masih digunakan sampai saat ini BKP, 2011.
Walaupun Pemerintah dengan Inpres No. 9 Tahun 2002 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan Nasional, telah menetapkan kebijakan Harga Dasar
Pembelian Gabah oleh Pemerintah HDPP, dimana untuk operasionalisasi kebijakan HDPP tersebut telah dikeluarkan Surat Keputusan Bersama SKB
antara Badan Bimas Ketahanan Pangan Departemen Pertanian dengan Badan Urusan Logistik BULOG No. 02SKBBBKPI2003. Kep-08UP012003
tanggal 16 Januari 2003 tentang harga pembelian gabah oleh kontraktor pengadaan gabahberas dalam negeri dari petanikelompoktani. Namun demikian
keadaan di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak petani yang menjual gabahnya di bawah harga dasar. Hal ini disebabkan antara lain : kurangnya Akses
Lembaga Usaha Ekonomi Pedesan LUEP terhadap desa untuk pengadaan gabahberas, tidak adanya institusi penghubung antara Dolog dengan
petanikelompok tani yang menjamin bahwa petani menerima harga sesuai HDPP BKP, 2007.
Bulog adalah lembaga pemerintah yang dibentuk pada tahun 1967. BULOG ditugaskan pemerintah untuk mengendalikan stabilitas harga dan
Universitas Sumatera Utara
penyediaan bahan pokok, terutama pada tingkat konsumen. Pembelian hasil panen dengan harga dasar yang lebih tinggi dari pasar, bertujuan untuk mengendalikan
harga beras yang murah pada saat panen. Pemerintah juga memberikan jaminan atas kerugian yang timbul dari operasi tersebut. Guna meratakan stok antar
daerah, Bulog juga membangun jaringan pergudangan di daerah produsen dan konsumen yang tersebar disekitar 1500 lokasi gudang dengan kapasitas sekitar 3,5
juta ton Amang dan Sawit, 1999. Bulog di tahun 2012 diberikan anggaran sebesar Rp 19 triliun dan Inpres
HPP beras sebesar Rp 6.600. Sebelum dikeluarkannya HPP baru, Bulog selama ini berpegang kepada HPP lama sesuai Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2009
tentang Kebijakan Perberasan. Dalam Inpres tersebut harga gabah kering panen GKP ialah Rp 2.640 per kg, gabah kering giling GKG Rp 3.300 per kg dan
beras Rp 5.060 per kg Munawar, 2012.
2.2 Landasan Teori