POLA DISTRIBUSI HUJAN JAM JAMAN DI SUB DAS KEDUANG

(1)

commit to user

POLA DIST

DI

Distribution Pattern

Disusun Sebagai Sala Pada Jur

JURUSAN TE

UNIVER

STRIBUSI HUJAN JAM-JAMAN

DI SUB DAS KEDUANG

rn of Hourly Rainfall in Keduang Sub Watershe

SKRIPSI

alah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Tekni Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik

Universitas Sebelas Maret

Disusun Oleh :

WINDA AGUSTIN I 0106139

TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK

VERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

rshed


(2)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

POLA DIST

DI

Distribution Pattern

Telah disetujui untuk di Fakultas Te

Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Mamok Soeprapto R NIP. 19510710 198103 1

STRIBUSI HUJAN JAM-JAMAN

DI SUB DAS KEDUANG

rn of Hourly Rainfall in Keduang Sub Watershe

Disusun Oleh :

WINDA AGUSTIN I 0106139

SKRIPSI

uk dipertahankan dihadapan tim penguji pendadar kultas Teknik Universitas Sebelas Maret

Disetujui,

bing I

pto R, M. Eng. 8103 1 003

Dosen Pembimbing II

Ir.Siti Qomariyah, MSc NIP. 19580615 198501 2 001

rshed

daran

h, MSc 2 001


(3)

(4)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

HALAMAN PERSETUJUAN

POLA DISTRIBUSI HUJAN JAM-JAMAN

DI SUB DAS KEDUANG

Distribution Pattern of Hourly Rainfall in Keduang Sub Watershed

SKRIPSI

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Pada Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Disusun Oleh: WINDA AGUSTIN

I 0106139

Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Pendadaran Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret

Persetujuan: Dosen Pembimbing I

Dr. Ir. Mamok Soeprapto R, M. Eng. NIP. 19510710 198103 1 003

Dosen Pembimbing II

Ir.Siti Qomariyah, MSc NIP. 19580615 198501 2 001


(5)

commit to user

HALAMAN PENGESAHAN

POLA DISTRIBUSI HUJAN JAM-JAMAN

DI SUB DAS KEDUANG

Distribution Pattern of Hourly Rainfall in Keduang Sub Watershed

Disusun Oleh: WINDA AGUSTIN

I 0106139

Telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Pendadaran Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret pada:

Hari : Kamis

Tanggal : 5 Agustus 2010

Susunan Tim Penguji:

1. Dr. Ir. Mamok Soeprapto R, M.Eng ( ... )

NIP. 19510710 198103 1 003

2. Ir.Siti Qomariyah, MSc ( ... )

NIP. 19580615 198501 2 001

3. Ir. Susilowati, MSi

NIP.19480610 198503 2 001 ( ... )

4. Ir. Suyanto, MM

NIP.19520317 198503 1 001 ( ... )

Mengetahui,

a.n. Dekan Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret

Pembantu Dekan I

Ir. Noegroho Djarwanti, MT. NIP. 19561112 198403 2 007

Mengesahkan, Ketua Jurusan Teknik Sipil

Ir. Bambang Santosa, MT NIP. 19590823 198601 1 001


(6)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

HALAMAN PERSETUJUAN

POLA DISTRIBUSI HUJAN JAM-JAMAN

DI SUB DAS KEDUANG

Distribution Pattern of Hourly Rainfall in Keduang Sub Watershed

SKRIPSI

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Pada Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Disusun Oleh: WINDA AGUSTIN

I 0106139

Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Pendadaran Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret

Persetujuan: Pembimbing Balai Penelitian Kehutanan

Ir. Sukresno, M.Sc NIP.


(7)

commit to user

viii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan YME yang telah memberikan berkat dan kuasanya kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Skripsi dengan judul “Pola Distribusi Hujan Jam-jaman di Sub DAS Keduang”

ini merupakan salah satu syarat dalam meraih gelar Sarjana Teknik pada Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak, karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Mamok Soeprapto R, M. Eng, selaku Dosen Pembimbing Skripsi I,

2. Ir. Siti Qomariyah, M.Sc. selaku Dosen Pembimbing Skripsi II,

3. Ir. Sukresno, M.Sc, selaku pembimbing dari Balai Penelitian Kehutanan,

4. Ir. Agus Hari Wahyudi, M.Sc yang telah membantu dalam perolehan data,

5. Dosen-dosen Jurusan Teknik Sipil FT UNS khususnya KBK Keairan,

6. Balai Penelitian Kehutanan yang telah memberikan data,

7. Dinas Pengairan Kabupaten Wonogiri yang telah memberikan data,

8. Ropri Nurhidayah, Yunie Wiyasri, Awaludin F Aryanto, Ferdian Agung, M.

Yushar Yahya, dan Nanang Sulistyanto selaku rekan di peminatan keairan,

9. Galuh Pinunjul atas bantuannya dalam belajar GIS,

10. Rekan-rekan mahasiswa Teknik Sipil UNS angkatan 2006.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Segala kekurangan dan keterbatasan ilmu yang dimiliki penulis menyebabkan kekurangsempurnaan tersebut. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya.

Surakarta, Juli 2010


(8)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR NOTASI ... xv

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah... 2

1.3. Batasan Masalah ... 2

1.4. Tujuan Penelitian ... 3

1.5. Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Tinjauan Pustaka... 4

2.1.1. Umum ... 4

2.1.2. Kualitas Data Hujan ... 5

2.1.3. Seri Data Hidrologi ... 6

2.1.4. Karakteristik Hujan ... 8

2.1.5. Pola Agihan Hujan ... 10

2.2. Dasar Teori ... 12

2.2.1. DAS ... 12

2.2.2. Pengalihragaman Hujan Menjadi Aliran ... 12

2.2.3. Uji Kepanggahan ... 14

2.2.4. Analisis Frekuensi ... 16


(9)

commit to user

x

2.2.6. Intensitas Hujan ... 20

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian ... 24

3.2. Data yang Dibutuhkan ... 24

3.3. Alat yang Digunakan ... 25

3.4. Tahapan Penelitian ... 25

3.4.1. Pengolahan Data Hujan dari Stasiun Otomatis ... 25

3.4.2. Pengolahan Data Hujan dari Stasiun Manual ... 25

3.5. Diagram Alir Tahapan Penelitian ... 27

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1. Uji Kepanggahan Data Hujan ... 28

4.2. Uji Kerapatan Jaringan ... 30

4.3. Hujan Wilayah ... 34

4.4. Uji Kecocokan Jenis Agihan ... 37

4.4.1. Cara I (Hujan Harian Maksimum Tahunan) ... 38

4.4.2. Cara II (Hujan Harian) ... 38

4.4.3. Cara III (Hujan Harian Maksimum Rerata Tiap Stasiun) ... 40

4.5. Hujan Rancangan ... 41

4.6. Durasi Hujan dan Waktu Konsentrasi ... 42

4.6.1. Durasi Hujan ... 42

4.6.2. Waktu Konsentrasi ... 43

4.7. Pola Agihan Hujan... 44

4.7.1. Cara Observed ... 44

4.7.2. Cara Empiris ... 46

4.7.3. Kesesuaian Pola Agihan Hujan ... 59

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 65

5.2. Saran ... 65

Daftar Pustaka ... xvi Lampiran A

Lampiran B Lampiran C


(10)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Distribusi Hujan Tadashi Tanimoto ... 11

Tabel 2.2. Nilai kritik Q dan R ... 15

Tabel 4.1. Data Hujan Tahunan Stasiun Hujan di Sub DAS Keduang ... 28

Tabel 4.2. Perhitungan Uji Kepanggahan dengan RAPS pada Stasiun Hujan Girimarto PP 125b ... 29

Tabel 4.3. Hasil Uji Kepanggahan Semua Stasiun di Sub DAS Keduang .... 30

Tabel 4.4. Data Hujan Harian MaksimumTahunan Sub DAS Keduang (mm) ... 35

Tabel 4.5. Hujan Harian Maksimum Wilayah Sub DAS Keduang ... 37

Tabel 4.6. Resume Hasil Uji Chi Kuadrat ... 38

Tabel 4.7. Resume Hasil Uji Smirnov-Kolmogorov ... 38

Tabel 4.8. Resume Hasil Pengujian Parameter Statistik ... 40

Tabel 4.9. Resume Hasil Uji Chi Kuadrat ... 41

Tabel 4.10. Resume Hasil Uji Smirnov-Kolmogorov ... 41

Tabel 4.11. Hasil Uji Kecocokan Agihan Data ... 42

Tabel 4.12. Hujan Rancangan dengan Berbagai Kala Ulang ... 42

Tabel 4.13. Durasi Hujan dan Banyak Kejadian Hujan ... 43

Tabel 4.14. Agihan Hujan 2 Jam Sub DAS Keduang ... 47

Tabel 4.15. Agihan Hujan 3 Jam Sub DAS Keduang ... 48

Tabel 4.16. Agihan Hujan 5 Jam Sub DAS Keduang ... 49

Tabel 4.17. Agihan Hujan 7 Jam Sub DAS Keduang ... 50

Tabel 4.18. Agihan Hujan 8 Jam Sub DAS Keduang ... 52

Tabel 4.19. Agihan Hujan 4 Jam Sub DAS Keduang (THM)... 54

Tabel 4.20. Agihan Hujan 4 Jam Sub DAS Keduang (THM dalam diagram batang) ... 54

Tabel 4.21. Agihan Hujan 6 Jam Sub DAS Keduang (THM)... 55

Tabel 4.22. Agihan Hujan 6 Jam Sub DAS Keduang (THM dalam diagram batang) ... 56

Tabel 4.23. Agihan Hujan 4 Jam Sub DAS Keduang (ABM) ... 57


(11)

commit to user

xii

Tabel 4.25. Kesesuaian Pola Agihan Hujan 2 Jam ... 59

Tabel 4.26. Kesesuaian Pola Agihan Hujan 3 Jam ... 60

Tabel 4.27. Kesesuaian Pola Agihan Hujan 4 Jam ... 60

Tabel 4.28. Kesesuaian Pola Agihan Hujan 5 Jam ... 61

Tabel 4.29. Kesesuaian Pola Agihan Hujan 6 Jam ... 62

Tabel 4.30. Kesesuaian Pola Agihan Hujan 7 Jam ... 62


(12)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Cara Poligon Thiessen ... 9

Gambar 2.2. Cara Garis Isohyet ... 10

Gambar 2.3. Hyetograph dengan ABM ... 22

Gambar 3.1. Peta Sub DAS Keduang ... 24

Gambar 3.2. Diagram Alir Tahapan Penelitian ... 27

Gambar 4.1. Peta Jaringan Stasiun Hujan dengan Metode Kagan di Sub DAS Keduang ... 33

Gambar 4.2. Poligon Thiessen Sub DAS Keduang dengan 7 Stasiun Hujan ... 36

Gambar 4.3. Hujan Wilayah Harian Rerata Tahun 1989-2008 ... 39

Gambar 4.4. Hujan Wilayah Harian Maksimum Rerata Tiap Stasiun ... 40

Gambar 4.5. Pola Agihan Hujan 2 Jam (observed) ... 44

Gambar 4.6. Pola Agihan Hujan 3 Jam (observed) ... 44

Gambar 4.7. Pola Agihan Hujan 4 Jam (observed) ... 45

Gambar 4.8. Pola Agihan Hujan 5 Jam (observed) ... 45

Gambar 4.9. Pola Agihan Hujan 6 Jam (observed) ... 45

Gambar 4.10. Pola Agihan Hujan 7 Jam (observed) ... 46

Gambar 4.11. Pola Agihan Hujan 8 Jam (observed) ... 46

Gambar 4.12. Pola Agihan Hujan 2 Jam (Modified Mononobe) ... 48

Gambar 4.13. Pola Agihan Hujan 3 Jam (Modified Mononobe) ... 49

Gambar 4.14. Pola Agihan Hujan 5 Jam (Modified Mononobe) ... 50

Gambar 4.15. Pola Agihan Hujan 7 Jam (Modified Mononobe) ... 51

Gambar 4.16. Pola Agihan Hujan 8 Jam (Modified Mononobe) ... 53

Gambar 4.17. Pola Agihan Hujan 4 Jam (THM) ... 54

Gambar 4.18. Pola Agihan Hujan 4 Jam (THM dalam diagram batang) ... 55

Gambar 4.19. Pola Agihan Hujan 6 Jam (THM) ... 55

Gambar 4.20. Pola Agihan Hujan 6 Jam (THM dalam diagram batang) ... 56

Gambar 4.21. Pola Agihan Hujan 4 Jam (ABM) ... 57

Gambar 4.22. Pola Agihan Hujan 4 Jam (ABM) ... 59


(13)

commit to user

xiv

Gambar 4.24. Kesesuaian Pola Agihan Hujan 3 Jam ... 60

Gambar 4.25. Kesesuaian Pola Agihan Hujan 4 Jam ... 61

Gambar 4.26. Kesesuaian Pola Agihan Hujan 5 Jam ... 61

Gambar 4.27. Kesesuaian Pola Agihan Hujan 6 Jam ... 62

Gambar 4.28. Kesesuaian Pola Agihan Hujan 7 Jam ... 63


(14)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xv

DAFTAR NOTASI

L Panjang sisi segitiga (km)

A Luas wilayah (km2)

N Jumlah stasiun pencatat hujan

rd Korelasi antar stasiun dengan jarak d km

ro Korelasi antar stasiun dengan jarak yang sangat kecil (±0 km)

d Jarak antar stasiun (km)

d0 Radius korelasi

Z1 Kesalahan perataan (%)

Z2 Kesalahan interpolasi (%)

Cv Koefisien varian

S Standar deviasi

P Hujan wilayah (mm)

Pi Hujan masing-masing stasiun pencatat hujan (mm)

Ai Luas masing-masing stasiun pencatat hujan (km2)

Sk* Kumulatif hujan dikurangi rerata hujan (mm)

Sk** Sk*- standar deviasi (mm)

Yi Data hujan ke-i

Y Data hujan rerata-i

Cs Koefisien skewness

Ck Koefisien kurtosis

X Tinggi hujan rerata (mm)

p Probabilitas

T Kala ulang (tahun)

KT Faktor frekuensi

c2 Harga Chi-kuadrat terhitung

K Banyaknya kelas

Of Frekuensi terbaca pada setiap kelas

Ef Frekuensi yang diharapkan untuk setiap kelas

Tc Waktu konsentrasi (jam)

L Panjang sungai (km)

S Kemiringan sungai

I Intensitas hujan dengan kala ulang T dengan durasi t(mm/jam)

R24 Intensitas hujan harian untuk kala ulang T (mm/hari)

t Durasi hujan (jam)

Ip Intenasitas puncak (mm/jam)

p Hujan rencana (mm)

Td Durasi hujan (jam)

r Rasio (berkisar antara 0.3-0.5)


(15)

commit to user vi

Abstrak

Winda Agustin, 2010, Pola Distribusi Hujan Jam-jaman di Sub DAS Keduang.

Skripsi, Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Sub DAS Keduang merupakan salah satu sub DAS yang bermuara di Waduk Wonogiri. Perubahan iklim secara global berpengaruh terhadap perubahan pola hujan, dalam skala ruang, waktu, dan besaran. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui validitas data hujan, mengetahui karakteristik hujan, dan

mengetahui pola distribusi hujan jam-jaman di Sub DAS Keduang.

Validitas data hujan dilakukan dengan metode RAPS (Rescaled Adjusted Partial

Sums). Karakteristik hujan ditentukan dengan pengelompokkan data berdasarkan durasi dan kejadian hujan. Analisis pola agihan jam-jaman dilakukan berdasarkan

observed data dan dicari kemiripannya dengan metode Modified Mononobe,

Alternating Block Method (ABM), dan Triangular Hyetograph Method (THM).

Hasil analisis menunjukkan bahwa dari sembilan stasiun hujan yang ada delapan di antaranya panggah. Hujan yang terjadi di Sub DAS Keduang didominasi oleh kejadian hujan dua jam. Pola agihan hujan jam-jaman menunjukkan bahwa agihan

hujan 2, 3, 5, 7, dan 8 jam mengikuti bentuk Modified Mononobe, sedangkan

agihan hujan 4 dan 6 jam mengikuti bentuk Triangular Hyetograph Method

(THM).


(16)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user vii

Abstract

Winda Agustin, 2010, Distribution Pattern of Hourly Rainfall in Keduang Sub

Watershed. Thesis. Department of Civil Engineering Faculty of Engineering, Sebelas Maret University Surakarta.

Sub watershed Keduang is one sub watershed which empties into the reservoir Wonogiri. Changes in global climate affect rainfall patterns change, in the scale of space, time, and scale. The purpose of this study is to determine the validity of rainfall existing data, to investigate the characteristics of rainfall, to determine the distribution pattern of hourly rainfall in the Keduang sub watershed.

The validity of rainfall data was conducted by RAPS (Rescaled Adjusted Partial

sums). The rainfall characteristics were determined by grouping data based on the duration and occurrence of rainfall. Analysis of distribution pattern of hourly

rainfall was based on observed data and finded the similiarity with Mononobe

Modified method, Alternating Block Method (ABM), and Triangular Hyetograph Method (THM).

The analysis resulted in the validity of eight rain stations from the existing nine stations. Rainfall in the Keduang sub watershed was dominated by two-hour rainfall events. Pattern of rainfall distribution hourly showed that rainfall

distribution in 2, 3, 5, 7, and 8 hours follows Modified Mononobe model, while

the pattern of rainfall distribution in 4 and 6 hours follows Triangular Hyetograph

Method (THM) model.

Keywords: distribution rainfall patterns, the validity of rainfall data, rainfall characteristics.


(17)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah

Air merupakan sumberdaya alam karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang tidak akan pernah habis. Secara keseluruhan, jumlah air di bumi relatif tetap dari masa ke masa. Keberadaan air yang selalu terbarukan itu disebabkan karena air mengikuti siklus hidrologi. Siklus hidrologi merupakan proses yang dilalui air dari atmosfer ke muka bumi dan kembali lagi ke atmosfer. Evaporasi dari tanah, laut, atau air permukaan terkondensasi membentuk awan yang selanjutnya menjadi hujan yang jatuh ke permukaan bumi.

Siklus hidrologi sangat dipengaruhi oleh iklim, dan secara tidak langsung dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Oleh karena itu, keberadaan air di bumi dalam skala jumlah, agihan, dan waktu berbeda.

Perubahan iklim ditandai dengan perubahan dua faktor meteorologi penting, yaitu temperatur dan curah hujan, yang kemudian dapat menyebabkan kenaikan temperatur muka air laut. Perubahan temperatur ini akan menyebabkan perubahan variabel atmosfer lainnya, yang pada akhirnya akan menyebabkan perubahan pola hujan dalam skala ruang, waktu, dan besaran.

Pola curah hujan Indonesia adalah tipe V atau tipe muson, atau curah hujan dengan grafik tahunan berbentuk seperti huruf V. Indonesia pada umumnya akan mengalami hujan dalam jumlah banyak pada bulan Desember–Februari. Bulan Maret–Mei dan September–November disebut sebagai musim peralihan. Pada musim peralihan, kondisi curah hujan dan angin sangat tidak menentu, hal ini disebabkan oleh perubahan angin pasat maupun muson oleh karena adanya

pergeseran tekanan (UNDP-Sisi Lain Perubahan Iklim). Sebagian besar daerah di

Indonesia mengalami banjir pada awal musim penghujan, sedangkan kekeringan terjadi pada saat musim hujan baru saja selesai.


(18)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

Waduk Wonogiri merupakan salah satu tampungan air hujan yang ada di provinsi

Jawa Tengah, yang menampung aliran dari 7 (tujuh) sub DAS, yaitu:1) Keduang,

2) Tirtomoyo, 3) Temon, 4) Bengawan Solo, 5) Alang, 6) Ngunggahan, 7) Wuryantoro.

Sub DAS Keduang merupakan sub DAS yang paling besar di antara keenam sub DAS lainnya. Hingga kini konstribusi air dari sub DAS Keduang terhadap Waduk Wonogiri belum dapat diketahui secara pasti. Satu-satunya cara untuk mengetahui besarnya konstribusi air di sub DAS Keduang adalah dengan memprediksi besarnya aliran dari data hujan yang ada. Oleh karena itu, data hujan sebagai masukan utama proses transformasi hujan menjadi aliran menjadi suatu hal yang sangat penting, dan harus memiliki tingkat ketelitian yang tinggi. Kondisi hujan tersebut menarik untuk dilakukan penelitian.

Untuk mengetahui pola hujan jam-jaman pada suatu DAS dapat dilakukan dengan

dua cara, yaitu dengan cara empiris dan observed. Cara observed dengan

menggunakan data hujan dari stasiun hujan otomatis, sedangkan cara empiris dengan data hujan harian dari stasiun hujan manual.

1.2

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana kualitas data hujan yang ada pada sub DAS Keduang?

2. Bagaimana karakteristik hujan yang terjadi di sub DAS Keduang?

3. Bagaimana pola distribusi hujan jam-jaman pada sub DAS Keduang selama

dua puluh tahun terakhir (1989-2008)?

1.3

Batasan Masalah

Batasan-batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(19)

commit to user

2. Penelitian hanya membahas pola distribusi hujan yang terjadi pada sub DAS

Keduang.

3. Data curah hujan menggunakan data sekunder, yaitu data hujan dari stasiun

hujan manual tahun 1989-2008 yang berasal dari Dinas Pengairan Kabupaten Wonogiri, dan data hujan dari stasiun hujan otomatis tahun 2006-2009 yang berasal dari Balai Penelitian Kehutanan.

1.4

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui kualitas data hujan yang ada pada sub DAS Keduang.

2. Mengetahui karakteristik hujan yang terjadi di sub DAS Keduang.

3. Mengetahui pola distribusi hujan jam-jaman pada sub DAS Keduang selama

dua puluh tahun terakhir (1989-2008).

1.5

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat teoritis: memberikan informasi keilmuan dalam bidang teknik sipil

khususnya mengenai hidrologi, yaitu pola distribusi hujan yang terjadi pada suatu sub DAS.

2. Manfaat praktis: memberikan informasi kualitas hujan yang handal sehingga


(20)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Umum

Trenberth, dkk (1995) menyatakan bahwa perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan pada iklim yang dipengaruhi langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia yang mengubah komposisi atmosfer, dan akan memperbesar keragaman iklim pada periode yang cukup panjang.

Perubahan iklim global disebabkan karena peningkatan jumlah karbon dioksida

(CO2) dan Metana (CH4) di atmosfer. Perubahan iklim memperlihatkan variasi

abnormal dari iklim bumi dan selanjutnya mempengaruhi bagian lain bumi terutama curah hujan dan suhu udara. Untuk wilayah Asia Tenggara, terjadi kenaikan suhu sekitar 2,5 - 4 ºC dengan kisaran 2- 6 ºC dan curah hujan yang lebih banyak (Sulistyowati, 2006).

Perubahan iklim telah menyebabkan fluktuasi curah hujan tinggi dan mengubah pola distribusi hujan dengan kecenderungan daerah yang basah semakin basah, dan daerah yang kering semakin kering. Di negara dengan empat musim, siklus

musim (seasonal cycle) telah terpengaruh oleh perubahan iklim yang ditandai

dengan meningkatnya intensitas hujan pada musim dingin, berkurangnya hujan di musim panas, dan peningkatan suhu (Dunne, dkk, 2008).

UNDP-Indonesia (2007) menyatakan bahwa ada kecenderungan sebagian wilayah Indonesia, terutama wilayah yang terletak di sebelah selatan katulistiwa, dapat mengalami musim kemarau yang lebih panjang dan musim hujan yang lebih pendek dengan rombakan pola hujan yang cukup drastis.

Hujan rata-rata tahunan menunjukkan peningkatan sebesar 7% selama satu dekade, dikarenakan meningkatnya intensitas hujan pada bulan Oktober sampai


(21)

commit to user

Maret dan menurunnya intensitas hujan selama Juli sampai September. Peningkatan jumlah terjadinya hujan dengan intensitas yang melampaui hujan maksimum sebesar 0.1% dari seluruh hari hujan dengan rata-rata peningkatan kedalaman hujan 7%. (Hans Thodsen, 2007).

2.1.2 Kualitas Data Hujan

Besaran hujan merupakan masukan terpenting dalam analisis tansformasi hujan-aliran, sehingga dapat dipahami apabila kesalahan yang terbawa dalam data hujan terlalu besar maka hasil analisisnya pantas diragukan (Sri Harto, 1993). Oleh karena itu perlu dilakukan uji kualitas data hujan.

a. Kelengkapan Data

Sering sekali data hujan dari suatu stasiun hujan tidak terekam, dan jika itu terjadi akan sangat merugikan. Untuk mengisi data yang hilang dapat dicoba dengan memperkirakan besaran data hasil ekstrapolasi data stasiun lain di sekitarnya. Dalam hal ini diandaikan bahwa karakter hujan di stasiun yang ditunjau sebanding dengan karakter hujan di stasiun sekitarnya.

Namun menurut Sri Harto (1993), dalam pengujian yang dilakukan di sejumlah DAS di Pulau Jawa, ditemukan bahwa cara tersebut menghasilkan data hujan yang menyimpang jauh dari yang sebenarnya. Hal ini disebabkan karena variabilitas ruang hujan yang sangat tinggi, sehingga andaian yang melandasi cara tersebut terlalu jauh dari kenyataan. Oleh sebab itu, disarankan untuk tidak melakukan pengisian data yang hilang tersebut.

b. Kepanggahan

Sri Harto (1993) menguraikan bahwa satu seri data hujan untuk satu stasiun tertentu, dimungkinkan sifatnya tidak panggah. Data semacam ini tidak dapat langsung digunakan dalam analisis. Ketidakpanggahan dapat saja terjadi karena berbagai sebab, yaitu:

1. Alat ukur yang diganti spesifikasi yang berbeda atau alat yang sama, tetapi


(22)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

2. Alat ukur dipindahkan dari tempat semula, tetapi secara administratif nama

stasiun tersebut tidak diubah, misalnya karena masih dalam satu desa yang sama.

3. Alat ukur sama, tempat tidak dipindahkan, tetapi lingkungan berubah,

misalnya semula dipasang di tempat ideal menjadi berubah karena ada bangunan atau pohon besar.

Dalam uji kepanggahan ada beberapa cara yang dapat digunakan, di antaranya

adalah dengan lengkung massa ganda (double mass curve) dan Rescaled Adjusted

Partial Sums (RAPS).Untuk stasiun hujan lebih dari 3, dilakukan uji konsistensi

menggunakan cara double mass curve, dan untuk individual stasiun (stand alone

station) dengan cara RAPS (Rescaled Adjusted Partial Sums) (Mamok Suprapto, 2008).

2.1.3 Seri Data Hidrologi

Data yang digunakan dalam analisis frekuensi dapat dibedakan menjadi dua tipe berikut ini (Bambang Triatmodjo, 2008):

a. Partial duration series

Metode ini digunakan apabila jumlah data kurang dari 10 tahun data runtut waktu.

Partial duration series yang juga disebut POT (peaks over treshold) adalah rangkaian data debit banjir/hujan yang besarnya di atas suatu nilai batas tertentu. Dengan demikian dalam satu tahun bisa terdapat lebih dari satu data yang digunakan dalam analisis. Dari setiap tahun data diperoleh 2 sampai 5 data tertinggi.

b. Annual maximum series

Metode ini digunakan apabila tersedia data debit atau hujan minimal 10 tahun runtut waktu. Tipe ini adalah dengan memilih satu data maksimum setiap tahun. Dalam satu tahun hanya ada satu data. Dengan cara ini, data terbesar kedua dalam suatu tahun yang mungkin lebih dari data maksimum pada tahun yang lain tidak diperhitungkan.


(23)

commit to user

Kualitas data sangat menentukan hasil analisis yang dilakukan. Panjang data yang tersedia juga mempunyai peranan yang cukup besar. Sri Harto (1993) mendapatkan bahwa perbedaan panjang data yang dipergunakan dalam analisis memberikan penyimpangan yang cukup berarti terhadap perkiraan hujan dengan kala ulang tertentu. Khusus untuk analisis frekuensi data hujan, pengambilan data hendaknya dilakukan dengan prosedur yang benar. Data hujan yang dimaksudkan dalam analisis adalah data hujan rata-rata DAS, sedangkan data yang diketahui adalah data hujan dari masing-masing stasiun hujan. Dalam praktek analisis frekuensi dijumpai lima cara penyiapan data.

1. Data hujan DAS diperoleh dengan menghitung hujan rata-rata setiap hari

sepanjang data yang tersedia. Bila tersedia data 20 tahun, berarti hitungan hujan rata-rata kawasan diulang sebanyak 20 x 365 = 7300 kali. Cara ini yang terbaik, tetapi waktu penyiapan data yang panjang.

2. Pendekatan yang dapat dilakukan untuk menggantikan cara pertama

dilakukan seperti berikut ini.

a. Dalam satu tahun tertentu, untuk stasiun I dicari hujan maksimum

tahunannya. Selanjutnya dicari hujan harian pada stasiun-stasiun lain pada hari kejadian yang sama dalam tahun yang sama, dan kemudian dihitung hujan rata-rata DAS. Masih dalam tahun yang sama, dicari hujan harian untuk stasiun-stasiun lain dicari dan dirata-ratakan. Demikian selanjutnya sehingga dalam tahun itu akan terdapat N buah data hujan rata-rata DAS.

b. Untuk tahun berikutnya cara yang sama dilakukan sampai seluruh data

yang tersedia.

3. Cara ketiga dengan menggunakan data pada salah satu stasiun (data

maksimum) dan mengalikan data tersebut dengan koefisien reduksi.

4. Cara penyiapan data lain adalah dengan mencari hujan-hujan maksimum

harian setiap stasiun dalam satu tahun, kemudian dirata-ratakan untuk mendapatkan hujan DAS. Cara ini tidak dapat dijelaskan arti fisiknya, karena perata-rataan hujan dilakukan atas hujan masing-masing stasiun pada hari yang berbeda.


(24)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

5. Cara lain yaitu dengan analisis frekuensi data hujan setiap stasiun sepanjang

data yang tersedia. Hasil analisis frekuensi tersebut selanjutnya dirata-ratakan sebagai hujan rata-rata DAS.

Dalam kaitan penyiapan data hanya cara yang pertama dan kedua yang dianjurkan untuk digunakan.

2.1.4 Karakteristik Hujan

Suripin (2004) menguraikan bahwa data hujan yang diperoleh dari alat penakar

hujan merupakan hujan yang terjadi hanya pada satu titik saja (point rainfall).

Mengingat hujan sangat bervariasi terhadap tempat (space), maka untuk kawasan

yang luas, satu alat penakar hujan belum dapat menggambarkan hujan wilayah tersebut. Dalam hal ini diperlukan hujan kawasan yang diperoleh dari harga rerata curah hujan beberapa stasiun penakar hujan yang ada di dalam atau di sekitar kawasan.

Bambang Triatmodjo (2008) menerangkan bahwa ada tiga cara yang digunakan dalam menghitung hujan rerata kawasan, yaitu:

1. Metode rerata aritmatik (aljabar)

Metode ini paling sederhana dibanding metode lain. Pengukuran yang dilakukan di beberapa stasiun dalam waktu yang bersamaan dijumlahkan kemudian dibagi dengan jumlah stasiun. Stasiun hujan yang digunakan dalam hitungan biasanya adalah yang berada di dalam DAS, tetapi stasiun di luar DAS yang masih berdekatan juga bisa diperhitungkan.

Metode rerata aljabar memberikan hasil yang baik apabila:

a. stasiun hujan tersebar secara merata di DAS dalam jumlah yang cukup,


(25)

commit to user

2. Metode Thiessen

Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang mewakili luasan di sekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS dianggap bahwa hujan adalah sama dengan yang terjadi pada stasiun terdekat, sehingga hujan yang tercatat pada suatu stasiun mewakili luasan tersebut. Metode ini digunakan apabila penyebaran stasiun hujan di daerah yang ditunjau tidak merata. Hitungan curah hujan rerata dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh dari tiap stasiun.

Metode poligon Thiessen banyak digunakan untuk menghitung hujan rerata kawasan. Poligon Thiessen adalah tetap untuk jumlah dan letak stasiun hujan tertentu. Apabila terdapat penambahan jumlah stasiun hujan, ataupun perubahan letak stasiun hujan, maka harus dibuat poligon yang baru.

Gambar 2.1 Cara Poligon Thiessen

3. Metode Isohyet

Isohyet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan kedalaman hujan yang sama. Pada metode isohyet, dianggap bahwa hujan pada suatu daerah di antara dua garis isohyet adalah merata dan sama dengan nilai rerata dari kedua garis isohyet tersebut.

Metode isohyet merupakan cara paling teliti untuk menghitung ketebalan hujan rerata di suatu daerah, tetapi cara ini membutuhkan data yang dapat mendukung


(26)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

disusunnya Isohyet, baik dalam hal jumlah stasiun dan kualitas serta kunantitas data hujan.

Gambar 2.2 Cara Garis Isohyet

CD Soemarto (1986) menyatakan bahwa dalam proses pengalihragaman hujan menjadi aliran ada beberapa sifat hujan yang penting untuk diperhatikan, antara lain adalah intensitas hujan (I), lama waktu hujan (t), ketebalan hujan (d), frekuensi(f), dan luas daerah pengaruh hujan (A).

Durasi adalah lamanya suatu kejadian hujan (Sri Harto, 1993). Intensitas hujan yang tinggi pada umunya berlangsung dengan durasi pendek dan meliputi daerah yang tidak sangat luas.

Sri Harto (1993) menyebutkan bahwa analisis intensitas hujan memerlukan

analisis frekuensi dengan menggunakan seri data yang diperoleh dari rekaman data hujan. Dalam statistik dikenal empat macam distribusi frekuensi yang banyak digunakan dalam hidrologi, yaitu Normal, Log-Normal, Gumbel dan Log Pearson III. Masing-masing distribusi mempunyai sifat yang khas, sehingga data curah hujan harus diuji kecocokannya dengan menggunakan uji Chi Kuadrat dan Smirnov-Kolmogorov. Pemilihan jenis distribusi yang tidak benar dapat

menimbulkan kesalahan yang cukup besar, baik over estimated maupun under

estimated.

2.1.5 Pola Agihan Hujan

Hujan yang jatuh pada suatu wilayah tertentu pada umumnya memiliki pola agihan untuk hujan jam-jaman. Pola agihan ini penting untuk mengetahui setiap


(27)

commit to user

kejadian hujan. Umumnya data yang tersedia di lapangan adalah hujan harian, maka dengan pola ini dapat diperkirakan agihan hujan jam-jaman untuk tiap kejadian hujan harian.

Secara empiris, penentuan agihan hujan dapat dilakukan dengan menggunakan

pola agihan Tadashi Tanimoto, Alternating Block Method (ABM), Triangular

Hyetograph Method (THM), Instantaneous Intensity Method (IIM), seragam, atau

Modified Mononobe. Dalam penentuan agihan hujan diperlukan data lama hujan yang biasanya didekati dengan menghitung waktu konsentrasinya atau dari hasil analisis yang didasarkan pada kejadian hujan.

Model distribusi seragam adalah yang paling sederhana yaitu dengan menganggap hujan rancangan terdistribusi (P) secara merata selama durasi hujan rancangan (Td). Triangular Hyetograph Method (THM)/ segitiga menggunakan satu tinggi hujan untuk menentukan puncak hujan. Puncak hujan terjadi sekitar separuh

waktu hujan. Alternating Block Method (ABM) adalah cara sederhana untuk

membuat hyetograph rencana dari kurva Intensitas Durasi Frekuensi (IDF).

Modified Mononobe adalah cara yang menggunakan data hujan harian dan memperhitungkan waktu konsentrasi.

Tadashi Tanimoto mengembangkan distribusi hujan jam-jaman yang dapat digunakan di Pulau Jawa (Bambang Triatmodjo, 2008). Model agihan tersebut seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 2.1

Tabel 2.1 Distribusi Hujan Tadashi Tanimoto

Waktu (jam ke-) 1 2 3 4 5 6 7 8

% Distribusi hujan 26 24 17 13 7 5.5 4 3.5

% Distribusi hujan kumulatif 26 50 67 80 87 92.5 96.5 100


(28)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

2.2 Dasar Teori

2.2.1 DAS

Mamok Suprapto (2000) menjelaskan bahwa pengertian daerah aliran sungai,

yang sering disebut juga dengan basin, watershed, catchment area, atau DAS

adalah total permukaan tanah dan air yang dibatasi oleh pembagian air secara topografi. Setiap DAS memiliki karakter khas sendiri-sendiri dan setiap karakter memberikan pengaruh yang berbeda-beda pula terhadap limpasan permukaan. Karakteristik DAS tersebut antara lain ketinggian rata-rata, bentuk, luas, dan kemiringan DAS.

2.2.2 Pengalihragaman Hujan Menjadi Aliran a. Hujan

Presipitasi adalah istilah umum untuk menyatakan uap air yang mengkondensasi

dan jatuh dari atmosfir ke bumi dalam segala bentuknya dalam rangkaian siklus

hidrologi. Air yang jatuh dalam bentuk cair disebut hujan (rainfall) sedangkan air

yang turun dalam bentuk padat (es) disebut salju.

Jumlah hujan yang turun ke permukaan bumi dinyatakan dalam ketebalan air,

yang dianggap terdistribusi secara merata pada seluruh daerah tangkapan air. Intensitas hujan adalah jumlah curah hujan dalam satu satuan waktu. Durasi hujan adalah waktu yang dihitung dari saat hujan mulai turun sampai berhenti. Ketebalan hujan diukur oleh alat pencatat hujan (stasiun hujan) yang dianggap mewakili hujan di suatu kawasan dengan luasan tertentu.

b. Hujan titik (point rainfall)

Hujan sangat bervariasi dalam skala ruang dan waktu (Chow dkk., 1988). Hujan

dengan jumlah sama tidak jatuh secara seragam (uniform) pada seluruh DAS

(Ponce, 1989). Dalam analisis hidrologi, dikenal istilah hujan terukur yaitu hujan


(29)

commit to user

Hujan titik merupakan dasar dalam analisis hidrologi (Chow dkk., 1988), karena teori yang ada untuk menghitung hujan wilayah didasarkan pada hujan titik. Tidak banyak pustaka yang membahas tentang jumlah stasiun pencatat hujan sekaligus agihannya. Padahal stasiun pencatat hujan yang akan digunakan perlu dievaluasi kerapatannya. Sri Harto (1993) menyarankan penggunaan cara Kagan dalam evaluasi jumlah dan jaringan stasiun pencatat hujan pada suatu wilayah, agar kerapatan jaringan stasiun hujan yang dipilih memberikan kesalahan sekecil mungkin.

Kagan menyarankan penempatan alat pencatat hujan seyogyanya berada pada simpul-simpul segitiga samasisi yang memiliki panjang sisi sesuai Persamaan 2.1. Korelasi antar stasiun dapat dihitung dengan Persamaan 2.2, kesalahan perataan dengan Persamaan 2.3 dan kesalahan interpolasi dengan Persamaan 2.4. Kagan dapat menetapkan jaringan stasiun hujan sesuai dengan kriteria kesalahan yang ditetapkan. Jumlah stasiun hujan yang diperlukan minimal sama dengan jumlah simpul segitiga samasisi yang terdapat di wilayah kajian.

N A

L=1,07 (2.1)

dengan:

L = panjang sisi segitiga (km),

A = luas wilayah (km2),

N = jumlah stasiun pencatat hujan.

( 0) 0exp

d d d r

r = - (2.2)

dengan:

rd = korelasi antar stasiun dengan jarak d km,

r0 = korelasi antar stasiun dengan jarak yang sangat kecil (± 0 km ),

d = jarak antar stasiun (km),

d0 = radius korelasi.

N N d

A r

C

Z v 0

0 1

23 , 0

1- +

= (2.3)


(30)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

Zl = kesalahan perataan (%),

Cv = koefisien varian,

A = luas wilayah (km2),

N = jumlah stasiun hujan.

N S d

r r

C

Z v

0 0 0

2 0,52

3 1

+

-= (2.4)

dengan:

Z2 = kesalahan interpolasi (%),

S = deviasi standar.

c. Hujan Wilayah (areal arinfall)

Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan rerata di seluruh daerah yang bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu titik tertentu (Suyono Sosrodarsono, 1976). Dalam penelitian ini hujan wilayah diperhitungkan dengan cara poligon Thiessen yang dapat dihitung dengan persamaan berikut:

å

=

= N

i i i w

P A A

P

1 .

1

(2.5) dengan:

J = hujan Wilayah (mm),

J = hujan masing-masing stasiun pencatat hujan (mm),

= luas wilayah (km2),

= luas masing-masing poligon (km2),

N = jumlah stasiun pencatat hujan.

2.2.3 Uji Kepanggahan

Data yang diperoleh dari stasiun hujan perlu diuji karena ada kemungkinan data tidak panggah akibat alat pernah rusak, alat pernah berpindah tempat, lokasi alat terganggu, atau data tidak sah. Uji kepanggahan dalam penelitian ini dilakukan

dengan cara RAPS (Rescaled Adjusted Partial Sums). Bila Q/ n yang didapat

lebih kecil dari nilai kritik untuk tahun dan confidence level yang sesuai, maka

data dinyatakan panggah. Uji kepanggahan dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan-persamaan berikut:


(31)

commit to user

(

)

å

= -= k i i

k Y Y

S

1 *

, dengan k = 1, 2, 3, ..., n (2.6)

0

* 0 =

S (2.7)

y k k D S S * * * =

, dengan k = 0, 1, 2, 3, ...., n (2.8)

(

)

å

= -= n i i y n Y Y D 1 2 2 (2.9) dengan:

Yi = data hujan ke-i,

Y = data hujan rerata –i,

Dy = deviasi standar,

n = jumlah data.

Untuk uji kepanggahan digunakan cara statistik:

| | **

k

S maks

Q= , 0 ≤kn, atau (2.10)

* * *

*

min k

k imumS

S maksimum

R= - , dengan 0 ≤kn (2.11)

Nilai kritik Q dan R ditunjukkan dalam Tabel 2.2

Tabel 2.2. Nilai kritik Q dan R

n n

Q

n R

90% 95% 99% 90% 95% 99%

10 1.05 1.14 1.29 1.21 1.28 1.38

20 1.10 1.22 1.42 1.34 1.43 1.60

30 1.12 1.24 1.46 1.40 1.50 1.70

40 1.13 1.26 1.50 1.42 1.53 1.74

50 1.14 1.27 1.52 1.44 1.55 1.78

100 1.17 1.29 1.55 1.50 1.62 1.86

∞ 1.22 1.36 1.63 1.62 1.75 2.00


(32)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

2.2.4 Analisis frekuensi

Analisis data hujan dimaksudkan untuk menentukan besarnya hujan rancangan. Analisis ini meliputi beberapa tahapan hitungan antara lain hitungan hujan wilayah daerah aliran sungai (DAS) diikuti dengan analisis frekuensi dan lengkung intensitas hujan. Hujan rancangan untuk daerah yang ditinjau, sebagai masukan model hujan-aliran untuk perancangan debit rancangan, dapat diperkirakan dengan analisis frekuensi terhadap rangkaian data hujan.

Analisis frekuensi untuk pemilihan distribusi hujan yang sesuai untuk daerah yang ditinjau dapat dilakukan dengan metoda yang lazim digunakan di Indonesia, yaitu metoda moment. Analisis frekuensi dalam penelitian ini menggunakan data dari

tiga cara penyajian, yaitu annual maximum series (selanjutnya disebut cara I),

data hujan harian (selanjutnya disebut cara II), dan data hujan harian maksimum rerata stasiun (selanjutnya disebut cara III). Dengan menghitung parameter statistik seperti nilai rerata, standard deviasi, koefisien variasi, dan koefisien skewness dari data yang ada serta diikuti dengan uji statistik, maka distribusi probabilitas hujan yang sesuai dapat ditentukan.

Rumus-rumus statistik yang digunakan untuk menentukan jenis distribusi probabilitas tesebut adalah sebagai berikut.

Standar deviasi, S =

(

)

(

)

5 . 0 1 2 1 ú ú ú ú û ù ê ê ê ê ë é

= n X x n i i (2.12)

Koefisien skewness, Cs =

(

)(

)

(

)

3 1

3

2

1

å

=

-n i i X x s n n n (2.13)

Koefisien variasi, Cv =

X S

(2.14)

Koefisien kurtosis, Ck =

(

)(

)(

)

å

=

(

)

-n i i X x S n n n n 1 4 4 2 3 2


(33)

commit to user

dengan:

n = panjang data,

X = tinggi hujan rerata,

S = standar deviasi.

Ada beberapa distribusi dalam analisis hidrologi antara lain distribusi Normal,

Log-Normal, extreme value Type I (Gumbel), dan Log-Pearson III. Dalam

praktek, distribusi probabilitas yang benar sulit diketahui, maka untuk menjelaskan fenomena yang terkait perlu dilakukan pemilihan jenis distribusi yang cocok melalui pendekatan statistik.

Beberapa bentuk jenis distribusi yang dipakai dalam analisis frekuensi untuk hidrologi di antaranya:

a. Distribusi Normal

Persamaan yang dipakai dalam distribusi normal adalah:

T

p= 1 (2.16)

) 5 . 0 0 ( , 1 ln 2 1

2 ú < £

û ù ê ë é ÷÷ ø ö çç è æ = p p

w (2.17)

3 2 2 001308 . 0 189269 . 0 432788 . 1 1 010328 . 0 802853 . 0 515517 . 2 w w w w w w z KT + + + + + -=

= (2.18)

dengan:

T = kala ulang,

p = probabilitas,

KT = faktor frekuensi.

Sifat-sifat distribusi Normal adalah nilai koefisien kemelencengan (skewness)

sama dengan nol (Cs≈0) dan nilai koefisien kurtosis mendekati tiga (Ck≈3). Selain

itu terdapar sifat-sifat distribusi frekuensi kumulatif berikut ini:

% 87 , 15 ) (x -s = P

% 50 ) (x = P % 14 , 84 ) (x +s = P


(34)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

b. Distribusi Log-Normal

Distribusi Log-Normal digunakan apabila nilai-nilai dari variabel random tidak mengikuti distribusi Normal, tetapi nilai logaritmanya memenuhi distribusi Normal. Sifat-sifat distribusi Log-Normal adalah sebagai berikut:

Koefisien kemelencengan : Cs=Cv3+3Cv (2.19)

Koefisien kurtosis : Ck=Cv8+6Cv6+15Cv4+16Cv2+3 (2.20)

c. Distribusi Gumbel

Persamaan yang dipakai dalam distribusi Gumbel adalah:

{

þ ý ü ú û ù ê

ë é

÷ ø ö ç è æ

-+

-=

1 ln ln 5772 . 0 6

T T KT

p (2.21)

dengan:

KT = faktor frekuensi,

T = kala ulang.

Distribusi gumbel mempunyai sifat:

Koefisien kemelencengan : Cs=1,14

Koefisien kurtosis : Ck=5,4

d. Distribusi Log Pearson III

Distribusi Log Pearson III digunakan apabila parameter statistik tidak sesuai dengan model distribusi yang lain. Persamaan yang dipakai adalah:

(

2

)

(

3

)

2

(

2

)

3 4 5

3 1 1

6 3

1

1k z z k z k zk k

z z

KT = + - + - - - + +

(2.22)

dengan:

KT = faktor frekuensi,

k =

6

s

C


(35)

commit to user

Untuk memilih distribusi yang sesuai dengan data yang ada, perlu dilakukan uji statistik. Pengujian biasanya dilakukan dengan uji Chi-kuadrat dan uji Smirnov-Kolmogorov.

1. Uji Chi Kuadrat

Pengujiaan chi-kuadrat dilakukan dengan menggunakan parameter c2, dengan

rumus sebagai berikut:

(

)

å

=

-= K

i Ef

Of Ef

1

2 2

c (2.23)

dengan:

c2

= harga Chi-kuadrat terhitung,

K = banyaknya kelas,

Of = frekuensi terbaca pada setiap kelas,

Ef = frekuensi yang diharapkan untuk setiap.

Nilai c2 hasil perhitungan dibandingkan dengan nilai c2 kritis. Nilai c2 kritis telah

tersedia dalam bentuk tabel yaitu merupakan fungsi dari jumlah kelas, jumlah parmeter, dan derajat kegagalan.

2. Uji Smirnov–Kolmogorov

Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai Δ maksimum, yaitu selisih

maksimum antara plot data dengan garis teoritis pada kertas probabilitas. Nilai Δ

kritis (Δcr, Smirnov Kolmogorov Test) tergantung dari jumlah data (n) dan derajat

kegagalan (α).

2.2.5 Hujan Rencana

Berdasarkan nilai parameter statistik dari data yang ada dan setelah dipilih jenis distribusi probabilitas hujan yang cocok sesuai hasil uji statistik, hujan rancangan kemudian dihitung dengan rumus berikut:

S K X

XT = + T. (2.24)


(36)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

XT = tinggi hujan dengan kala ulang T tahun,

KT = faktor frekuensi, merupakan fungsi jenis dristribusi dan kala ulang.

2.2.6 Intensitas Hujan

Intensitas hujan (I) merupakan laju hujan rerata dalam mm/jam untuk suatu wilayah/luasan tertentu. Intensitas hujan tersebut dipilih berdasarkan lama hujan dan kala ulang (T) yang telah ditentukan. Lama hujan dapat ditetapkan berdasarkan kejadian hujan, namun bila tidak terdapat data hujan dari stasiun

otomatis maka lama hujan dapat dihampiri dengan waktu konsentrasi (tc) untuk

wilayah tersebut. Kala ulang didasarkan pada kebutuhan perencanaan. Besarnya intensitas hujan dapat diperoleh dari lengkung hubungan antara tinggi hujan, lama hujan dan frekuensi atau sering disebut sebagai lengkung hujan.

a. Waktu Konsentrasi (tc)

Besarnya aliran dianggap mencapai puncak pada saat waktu konsentrasi. Waktu konsentrasi (tc) dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

Kirpich : 0,77 0,385

06628 .

0

-= L S

Tc (2.25)

Australian Rainfall-Runoff : Tc = 0 76 A

0 38

, , (2.26)

dengan:

Tc = waktu konsentrasi (jam),

A = luas DAS (km2),

L = panjang sungai utama (km),

S = kemiringan sungai (m/m).

b. Pola Agihan Hujan

Pencatatan hujan biasanya dilakukan dalam satuan waktu harian, jam-jaman atau menit. Pencatatan biasanya dilakukan dengan interval waktu pendek supaya distribusi hujan selama terjadinya hujan dapat diketahui. Distribusi hujan yang terjadi digunakan sebagai masukan untuk mendapatkan hidrograf aliran.


(37)

commit to user

Dalam penelitian ini untuk menentukan pola agihan hujan secara empiris

digunakan cara Modified Mononobe, Alternating Block Method (ABM), dan

Triangular Hyetograph Method (THM).

1. Modified Mononobe

Untuk keperluan perancangan, curah hujan rancangan yang telah ditetapkan berdasarkan hasil analisis perlu diubah menjadi lengkung intensitas curah hujan. Lengkung tersebut dapat diperoleh berdasarkan data hujan dari stasiun hujan otomatis dengan rentang waktu yang pendek misal: menit atau jam. Dalam praktek, data hujan otomatis relatif sulit diperoleh, sehingga lengkung intensitas curah hujan untuk durasi pendek ditentukan berdasarkan data hujan harian,

dengan menggunakan Modified Mononobe, yang dapat dilihat pada persamaan

berikut:

3 2

24 ÷

ø ö ç è æ ÷÷ ø ö çç è æ =

t t t R

I c

c

(2.27)

dengan:

I = intensitas hujan dengan kala ulang T untuk durasi t (mm/jam),

R24 = intensitas hujan harian untuk kala ulang T (mm/hari),

tc = waktu konsentrasi (jam),

t = durasi hujan (jam).

2. Alternating Block Method (ABM)

Alternating Block Method (ABM) adalah cara sederhana untuk membuat

hyetograph rencana dari kurva IDF (Chow et al., 1988). Hyetograph rencana yang dihasilkan oleh metode ini adalah hujan yang terjadi dalam n rangkaian interval

waktu yang berurutan dengan durasi ∆t selama waktu Td = n∆t. Untuk periode

ulang tertentu, intensitas hujan diperoleh dari kurva IDF pada setiap durasi waktu

∆t, 2∆t, 3∆t,...,n∆t. Ketebalan hujan diperoleh dari perkalian antara intensitas

hujan dan durasi waktu tersebut. Perbedaan antara nilai ketebalan hujan yang

berurutan merupakan pertambahan hujan dalam interval waktu ∆t. Pertambahan

hujan tersebut (blok-blok), diurutkan kembali ke dalam rangkaian waktu dengan intensitas maksimum berada pada tengah-tengah durasi hujan Td dan blok-blok


(38)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

sisanya disusun dalam uruta blok tengah. Dengan dem Gambar 2.3.

Gamba

3. Triangular Hyetograph M

Model distribusi seragam se terdistribusi mengikuti bent

kedalaman hujan rencana p

segitiga merupakan nilai ke dihitung dengan rumus:

Td p Ip

2

=

dengan:

Ip = intensitas punca

p = hujan rencana (

Td = durasi hujan (ja

Untuk menentukan waktu t yang didefinisikan sebagai

0 5 10 15 20 25

1

K

e

te

b

al

an

h

u

jan

(

m

m

)

utan menurun secara bolak-balik pada kanan dan

demikian terbentuk hyetograph rencana, seper

mbar 2.3 Hyetograph dengan ABM

ograph Method (THM)

segitiga menganggap bahwa ketebalan hujan jam

bentuk segitiga. Hyetograph segitiga bisa dibentuk

p dan durasi hujan Td diketahui. Dalam metode

i ketebalan hujan dan ordinat puncak hyetograp

s puncak (mm/jam), (mm),

n (jam).

u terjadinya intensitas hujan puncak, dipakai koe gai rasio dari waktu terjadi intensitas hujan dengan

2 3 4 5 6 7

Durasi hujan (jam)

22

dan kiri dari perti pada

n jam-jaman ntuk setelah ode ini, luas

ograph yang

(2.28)

koefisien r


(39)

commit to user

Tp dengan nilai total durasinya Td. Jadi waktu dimana terjadinya intensitas hujan

puncak ditentukan dengan rumus:

Td r

Tp= . (2.29)

dengan:

r = rasio (umumnya ditetapkan sebesar 0.3-0.5),

Tp = waktu puncak (jam),


(40)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Jatipurno Girimarto SKT Girimarto PP

Jatisrono Slogohimo Jatisrono Otm

Sidoharjo Ngadirojo

Jatiroto

®

01.252.5 5 7.5 10 Kilometers

PETA SUB DAS KEDUANG KABUPATEN WONOGIRI

KETERANGAN

Stasiun hujan manual Stasiun hujan otomatis

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di Sub DAS Keduang yang terletak di Kabupaten Wonogiri seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.1. Sub DAS Keduang memiliki 9 (sembilan) stasiun hujan, yaitu: 1) Sidoharjo, 2) Slogohimo, 3) Jatiroto, 4) Jatipurno, 5) Jatisrono, 6) Ngadirojo, 7) Girimarto PP, 8) Girimarto SKT, dan 9) Jatisrono Otm.

Gambar 3.1 Peta Sub DAS Keduang

3.2Data yang Dibutuhkan

Data yang dibutuhkan dalam analisis adalah:

1. Peta sub DAS keduang beserta stasiun hujan yang ada di dalamnya.

2. Peta batas DAS Wonogiri.


(41)

commit to user

3. Data hujan dari stasiun hujan manual dari tahun 1989-2008.

4. Data hujan dari stasiun hujan otomatis dari tahun 2006-2009.

5. Koordinat stasiun hujan.

5.3 Alat yang digunakan

Alat bantu yang digunakan dalam kajian ini adalah perangkat lunak:

1. AutoCAD untuk pengolahan peta DAS.

2. Microsoft Excel atau program terapan untuk pengolahan data hujan.

3. Transkoord untuk mengubah koordinat stasiun hujan dari geografis ke

UTM.

4. Curve Expert untuk pembuatan kurva.

5. Arc Map untuk pengeplotan data dan pembuatan polygon thissen.

6. Havara untuk analisis frekuensi data.

5.4 Tahapan Penelitian

5.4.1 Pengolahan data hujan dari stasiun otomatis

1. Mengelompokan data hujan berdasarkan durasi hujan dalam satuan jam.

2. Menentukan durasi hujan sesuai dengan kejadian hujan.

3. Membuat pola hujan jam-jaman (observed).

5.4.2 Pengolahan data hujan dari stasiun manual

1. Melakukan uji jaringan pada peta DAS dan uji kepanggahan data pada stasiun

hujan di dalam peta DAS.

2. Melakukan plotting stasiun hujan dan pembuatan poligon Thiessen.

3. Menyiapkan seri data hujan.

4. Menghitung parameter statistik data hujan.

5. Melakukan uji kecocokan distribusi frekuensi data.

6. Menghitung analisis frekuensi data.

7. Melakukan test jenis distribusi.

8. Menghitung hujan rencana.


(42)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

10. Menghitung intensitas hujan jam-jaman dengan metode Modified Mononobe.

11. Menentukan pola agihan hujan jam-jaman (empiris) berdasarkan observed

data.

12. Menentukan kesesuaian pola agihan hujan jam-jaman.


(43)

commit to user

5.5 Diagram Alir Tahapan Penelitian

frekuensi data

Gambar 3.2 Diagram Alir Tahapan Penelitian

Data hujan dari Sta manual

Uji: Jaringan Kepanggahan

Plot stasiun hujan Polygon thiessen

Mulai

Hujan wilayah

Parameter statistik

Uji kecocokan distribusi frekuensi Penyiapan seri data hujan:

-Hujan Harian Maksimum Tahunan (Cara I) -Hujan Harian (Cara II)

-Hujan Harian Max Tiap Sta (CaraIII)

Cara I dan III

Uji Chi Kuadrat dan Smornov Kolmogorov

Cara II

Uji Parameter Statistik

Test jenis distribusi

Jenis distribusi frekuensi terpilih

Hujan rencana

Durasi hujan dan waktu konsentrasi

Selesai Intensitas hujan

Pola agihan hujan jam-jaman (empiris)

Data hujan dari Sta otomatis

Pengelompokan hujan berdasarkan durasi

Pola agihan hujan jam-jaman

(observed)


(44)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Triatmodjo, 2008, Hidrologi Terapan. Beta Offset, Yogyakarta.

CD Soemarto , 1986, Hidrologi Teknik. Usaha Nasional, Surabaya.

Chow, dkk, 1988, Applied Hidrology. McGraw-Hill, New York.

Mamok Soeprapto, 2000, Buku Pegangan Kuliah: Hidrologi. Universitas Sebelas

Maret, Surakarta.

Mamok Suprapto, 2008, Pemodelan Pengelolaan Aliran Rendah Dengan

Pendekatan Hidrologi Elementer. Disertasi, UGM, Yogyakarta.

Sri Harto Br, 1993, Analisis Hidrologi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Suripin, 2004, Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. Andi, Yogyakarta.

Dunne, dkk, 2008, The impacts of climate change on hydrology in Ireland.

University College, Dublin, Ireland.

Suyono Sosrodarsono dan Kensaku Takeda, 1976, Hidrologi Untuk Pengairan.

Pradnya Paramita, Jakarta.

Thodsen, Hans, 2007, The influence of climate change on stream flow in Danish

rivers. University of Compenhagen, Denmark.

Dhanu Apriyanto, 2006. Perhitungan Aliran Permukaan Menggunakan Sistem

Informasi Geografis Studi Kasus DAS Keduang. Skripsi, UNS, Surakarta.

Trenberth, dkk, 1995. The Effects of Climate Change. University

Wincosin-Madison. US

Sulistyowati, 2006. Dampak Pola Iklim Terhadap Sumber Daya Air di Indonesia.

Suara Pembaruan.

UNDP, 2007. Sisi Lain Perubahan Iklim. Jakarta.


(45)

commit to user

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Uji Kepanggahan Data Hujan

Sub DAS Keduang mempunyai sembilan stasiun hujan. Untuk menguji validitas data hujan yang ada digunakan data hujan tahunan dengan menggunakan metode

Rescaled Adjusted Partial Sums (RAPS). Data hujan tahunan disajikan dalam Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Data Hujan Tahunan Stasiun Hujan di Sub DAS Keduang

TAHUN

HUJAN TAHUNAN (mm/tahun)

G irim a r to S K T 5 7 G irim a r to P P 1 2 5 b S id o h a r jo 1 2 5 c Ng a d iro jo 1 2 5 f J a tip u r n o 1 3 0 .b J a tiro to 1 3 0 c J a tis r o n o 1 3 1 S lo g o h im o 1 3 1 b J a tis r o n o O to m a tis

1989 1926 701 2043 1734 1857 2192 2484 2290

1990 1319 1269 1687 1645 1159 1499 1765 1697

1991 2300 181 1622 497 1575 1950 1674 1690 3190

1992 4842 2456 2130 2509 2292 2405 2563 5415

1993 4054 2635 2230 1120 2572 2026 2180 2035 4427 1994 2534 2293 1795 1334 1632 1462 1647 1634 5458 1995 4343 4148 2509 2553 1853.5 2726 2313 2214 5099 1996 3403 3214 1772 1888 2605.5 2202 2007 2020 4043 1997 2461 1979 1214 1633 1909 1636 1145 1394 3461 1998 4537 3667 1967 2251 1984 2721 2742 2378 5404 1999 3357 3149 1788 1978 1730 2136 2239 506 4522 2000 3361 2980 1898 1812 2334 2472 2221 1726 2125 2001 2665 2683 1939 1642 1896 1865 1948 1650 2482

2002 1210 1275 502 1074 1014 1322 921 771 2043

2003 1224 1665 1204 1699 1105 1408 709 2203

2004 1738 1231 378 1293 1562 1497 309 2585

2005 2298 1971 1359 973 1030 1452 714 2313

2006 2236 1421 1513 1400 2027 1637 1954

2007 2614 2706 3594 2222 2383 1571 2314

2008 2567 831 147 2761 2475 1928 1198 2569

Sumber: Dinas Pengairan Kabupaten Wonogiri

Keterangan:

28 = Data rusak


(46)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

Contoh hasil uji kepanggahan untuk stasiun pencatat hujan Girimarto PP 125b dengan menggunakan cara RAPS ditampilkan pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Uji Kepanggahan pada Stasiun Girimarto PP125b

Keterangan:

= nilai absolut

i = hujan tahunan

Sk* = kumulatif i-Rerata

Sk** = S*/standar deviasi

n = jumlah data

Dari nilai yang didapatkan pada Tabel 4.2, tampak bahwa nilai QRAPS hit (maks)

terdapat pada tahun 1991. Dengan menggunakan Persamaan 2.12 dan Persamaan

2.13 maka diperoleh besaran QRAPShit /√& = 0.9. Nilai ini dibandingkan dengan

nilai kritik yang terdapat pada Tabel 2.1 dengan n=18 dan Confidence Interval

90%. Setelah dilakukan interpolasi besaran nilai kritik untuk kasus ini adalah

QRAPShit /√& = 0.87. Terjadi nilai QRAPShit /√& < dari pada nilai QRAPSkritik. Hasil ini menunjukan bahwa data hujan pada stasiun pencatat hujan Girimarto PP 125b adalah panggah. Hasil uji kepanggahan dengan metode RAPS pada stasiun hujan yang lain dapat dilihat pada Tabel 4.3.

1 1989 701 (1.371) (1.370.8) (1.25) 1.2 3.7 0.9 < .90 2 1990 1269 (803) (2.173.7) (1.98) 2.0

3 1991 181 (1.891) (4.064.5) (3.70) 3.7 <Ttk Kritik. panggah 4 1993 2635 563 (3.501.3) (3.19) 3.2

5 1994 2293 221 (3.280.2) (2.99) 3.0 6 1995 4148 2.076 (1.204.0) (1.10) 1.1 7 1996 3214 1.142 (61.8) (0.06) 0.1 8 1997 1979 (93) (154.7) (0.14) 0.1 9 1998 3667 1.595 1.440.5 1.31 1.3 10 1999 3149 1.077 2.517.7 2.29 2.3 11 2000 2980 908 3.425.8 3.12 3.1 12 2001 2683 611 4.037.0 3.68 3.7 13 2002 1275 (797) 3.240.2 2.95 3.0 14 2003 1665 (407) 2.833.3 2.58 2.6 15 2004 1231 (841) 1.992.5 1.82 1.8 16 2005 1971 (101) 1.891.7 1.72 1.7 17 2006 1421 (651) 1.240.8 1.13 1.1 18 2008 831 (1.241) (0.0) (0.00) 0.0

No Absolut Q Abs

Maks Abs

Q/sqrt(n) Nilai Kritik


(47)

commit to user

Tabel 4.3 Hasil Uji Kepanggahan Semua Stasiun di Sub DAS Keduang

Dari Tabel 4.3 diketahui bahwa data hujan di Stasiun Girimarto SKT 57 tidak panggah. Oleh sebab itu data hujan dari Stasiun Girimarto SKT 57 tidak dipakai dalam analisis selanjutnya.

4.2 Uji Kerapatan Jaringan

Untuk mengetahui kerapatan jaringan stasiun hujan digunakan metode Kagan dengan menggunakan data hujan bulanan. Data hujan bulanan stasiun hujan di Sub DAS Keduang dapat dilihat pada Lampiran A. Berdasarkan analisis statistik data hujan bulanan pada stasiun hujan Girimarto PP 125b diperoleh besaran nilai parameter sebagai berikut:

Nilai rerata (mean) = 258.50

Standar eror = 22.10

Median = 175

Modus = 0

Standar deviasi = 243.11

Sampel varian = 59101.77

Kurtosis = -0.78

Skewness = 0.60

Range = 886

1

Girimarto SKT 57 5.026 1.12 Tidak Panggah 2

Girimarto PP 125b 3.704 0.87 Panggah 3

Sidoharjo 125c 2.549 0.66 Panggah

4

Ngadirojo 125f 3.325 0.74 Panggah

5

Jatipurno 1 30b 3.420 0.78 Panggah

6

Jatiroto 130 c 4.574 1.05 Panggah

7

Jatisrono 131 4.568 1.02 Panggah

8

Slogohimo 131b 3.874 1.00 Panggah

9

Jatisrono Otomatis 2.778 0.65 Panggah

No Nama Stasiun

Hujan

Q Abs


(48)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

Nilai minimum = 0

Nilai maksimum = 886

Jumlah seluruh data = 3279

Banyaknya data = 121

Confidence Level(95.0%) = 43.32

Koef Varian = 0.94

Berdasar nilai parameter statistik dicari koefisien korelasi antara dua stasiun. Koefisien korelasi antar stasiun hujan dapat dilihat pada Lampiran B. Jarak antar stasiun diperoleh berdasarkan hubungan antara koordinat UTM dua stasiun hujan yang berlainan.

Contoh perhitungan jarak antar stasiun hujan (antara Sidoharjo dan Girimarto PP125b) adalah sebagai berikut:

Koordinat UTM Sidoharjo:

X1 = 507330

Y1 = 9135343

Koordinat UTM Girimarto PP 125b:

X2 = 509065

Y2 = 9139145

2 1 2 2 1

2 ) ( )

(X X Y Y

d = - +

-2 2

) 9135343 9139145

( ) 507330 509065

( - +

-= d

m

d =4180

Hasil perhitungan jarak antar stasiun hujan yang selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran B.

Kesalahan interpolasi (Z1 dan Z2) dan panjang sisi segitiga (L) dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan 2.1, Persamaan 2.3, dan Persamaan 2.4. Perhitungan segitiga Kagan sebagai berikut:


(49)

commit to user N N d A r C

Z v 0

0 1

23 . 0

1- +

= 9 9 57 . 128 982 . 420 23 . 0 78 . 0 1 1 1 x Z + -= 23 . 0 1 = Z % 23 1 = Z N S d r r C Z v 0 0 0

2 0.52

3 1 + -= 9 37 . 188 57 . 128 78 . 0 52 . 0 3 78 . 0 1 1 2 + -= Z 29 . 0 2 = Z % 29 2 = Z N A L=1,07

9 982 . 420 07 , 1 = L

L= 7.32 km

Hasil perhitungan memberikan nilai Z1= 23%, Z2= 29%, dan L= 7.32 km. Nilai L digunakan untuk menyusun jejaring Kagan, selanjutnya disuperposisi dengan lokasi pencatat sedemikian rupa sehingga tiap stasiun mendekati atau berada pada titik simpul jejaring Kagan. Hasil superposisi yang terbaik ditampilkan pada Gambar 4.1.


(50)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

®

0 1.252.5 5 7.5 10 Kilometers

PETA JARINGAN STA HUJAN METODE KAGAN SUB DAS KEDUANG

KETERANGAN

Stasiun hujan manual Stasiun hujan otomatis

Gambar 4.1 Peta Jaringan Stasiun Hujan dengan Metode Kagan di Sub DAS Keduang

Dari Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa jumlah stasiun hujan yang seharusnya ada pada Sub DAS Keduang adalah sesuai dengan jumlah simpul segitiga yang ada pada sub DAS tersebut yaitu sejumlah 14 stasiun. Namun, pada kenyataannya jumlah stasiun hujan yang ada di Sub DAS Keduang hanya 9. Dari jumlah stasiun yang ada, beberapa di antaranya berjarak terlalu berekatan sehingga hanya dipilih salah satu saja. Sebagai contoh stasiun Girimarto SKT dan stasiun Girimarto PP berjarak terlalu dekat, sehingga dipilih Girimarto PP. Dengan demikian berdasarkan hasil analisis Kagan, stasiun yang tepat digunakan adalah stasiun Girimarto PP, Ngadirojo, Jatipurno, Jatiroto, Jatisrono Otm, Sidoharjo, dan Slogohimo. Persentase jumlah stasiun hujan yang ada di Sub DAS Keduang hanya sebesar 64% dari yang seharusnya ada. Hal ini mengakibatkan hasil yang tidak sempurna untuk perhitungan hujan wilayah. Untuk itu diperlukan 5 stasiun hujan tambahan yang terletak pada simpul-simpul segitiga Kagan.


(51)

commit to user

Jika dilakukan penambahan jumlah stasiun hujan sebanyak 5 stasiun hujan, maka kesalahan perataan dan kesalahan interpolasi dapat ditentukan dengan perhitungan berikut: N N d A r C

Z v 0

0 1

23 . 0

1- +

= 14 14 57 . 128 982 . 420 23 . 0 78 . 0 1 1 1 x Z + -= 18 . 0 1 = Z % 18 1 = Z N S d r r C Z v 0 0 0

2 0.52

3 1 + -= 14 37 . 188 57 . 128 78 . 0 52 . 0 3 78 . 0 1 1 2 + -= Z 29 . 0 2 = Z % 29 2 = Z

Hasil perhitungan memberikan nilai Z1= 18%, Z2= 29%. Nilai kesalahan perataan

lebih kecil dibandingkan dengan nilai kesalahan perataan dengan 9 (sembilan) stasiun.

4.3

Hujan Wilayah

Untuk menentukan hujan wilayah Sub DAS Keduang digunakan metode poligon Thiessen. Sebagai contoh diambil data hujan harian maksimum tahunan pada tahun 1991. Data hujan hariam maksimum tahunan Sub DAS Keduang dapat dilihat pada Tabel 4.4.


(52)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

Tabel 4.4 Data Hujan Harian Maksimum Tahunan Sub DAS Keduang (mm) TAHUN GIRIMAR

TO PP

SIDO HARJO

NGADI ROJO

JATI PURNO

JATI ROTO

SLOGO HIMO

JATI SRONO

OTM

1989 92 107 78 75 84 118 0

1990 106 72 89 99 80 67 0

1991 70 73 38 96 77 109 66

1992 0 91 72 104 74 109 165

1993 95 84 65 109 81 95 150

1994 126 104 68 88 55 85 153

1995 95 118 69 98 90 88 223

1996 95 67 65 97 85 92 168

1997 90 102 58 87 63 85 178

1998 114 79 96 107 68 89 188

1999 108 84 82 81 68 59 194

2000 102 74 97 67 95 114 80

2001 85 88 75 68 85 51 70

2002 93 82 83 76 80 70 175

2003 91 0 63 87 70 53 146

2004 84 0 70 75 102 95 222

2005 125 0 84 95 107 65 133

2006 65 0 65 0 59 60 116

2007 0 0 203 187 237 155 117

2008 75 34 155 99 75 0 117

Sumber: Dinas Pengairan Kabupaten Wonogiri

Keterangan:

= Data rusak

Poligon Thiessen Sub DAS Keduang 7 (tujuh) stasiun hujan dapat dilihat pada Gambar 4.2.


(53)

commit to user

Ngadirojo

Girimarto PP

Sidoharjo

Jatipurno

Slogohimo Jatisrono Otm

Jatiroto

®

0 1.252.5 5 7.5 10

Kilometers PETA POLIGON THIESSEN

SUB DAS KEDUANG KABUPATEN WONOGIRI

KETERANGAN

Stasiun hujan manual Stasiun hujan otomatis

Gambar 4.2 Poligon Thiessen Sub DAS Keduang dengan 7 (tujuh) Stasiun Hujan Dari poligon Thiessen yang sudah dibuat selanjutnya dihitung luas masing-masing

wilayah dengan menggunakan tool inquiry pada program AutoCAD. Hasilnya

adalah sebagai berikut:

Sub DAS Keduang = 420.98 km2

Girimarto PP 125b = 37.16 km2

Sidoharjo = 48.60 km2

Ngadirojo = 68.04 km2

Jatiroto = 77.75 km2

Jatisrono Otm = 35.06 km2

Jatipurno = 78.00 km2

Slogohimo = 76.36 km2

Contoh perhitungan untuk mendapatkan hujan wilayah harian maksimum tahun 1991:


(54)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37 2 3 2 1 1 2 2 3 3 2 2 1 1 1

1. . . .

. S J J J N S G S S J J J J J J N N S S G G A A A A A A A A P A P A P A P A P A P A P P + + + + + + + + + + + + = mm P x x x x x x P 03 . 78 36 . 76 00 . 78 06 . 35 75 . 77 04 . 68 60 . 48 16 . 37 36 . 76 109 00 . 78 96 06 . 35 . 66 75 . 77 77 04 . 68 38 60 . 48 73 16 . 37 70 = + + + + + + + + + + + + =

-Poligon Thiessen akan berbeda jika jumlah stasiun berbeda. Gambar -Poligon Thiessen dengan jumlah stasiun pencatat hujan yang berbeda serta perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran B.

Dengan menggunakan Persamaan 2.5 hujan harian maksimum wilayah pada Sub DAS Keduang dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Hujan Harian Maksimum Wilayah Sub DAS Keduang

Tahun Hujan Wilayah (mm) Tahun Hujan Wilayah (mm)

1989 91 1999 87

1990 84 2000 90

1991 78 2001 73

1992 97 2002 87

1993 93 2003 79

1994 89 2004 99

1995 102 2005 98

1996 91 2006 68

1997 87 2007 186

1998 99 2008 97

Sumber: Dinas Pengairan Kabupaten Wonogiri

4.4

Uji Kecocokan Jenis Agihan

Untuk mengetahui jenis agihan data yang sesuai digunakan uji agihan frekuensi. Analisis ini digunakan untuk dasar perhitungan hujan rancangan dengan berbagai kala ulang. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengetahui kesesuaian agihan data. Adapun jenis agihan, antara lain: agihan Normal, Log Normal, Gumbel, dan Log Pearson III.


(55)

commit to user

Dalam uji kecocokan jenis agihan digunakan tiga cara penyajian data, yaitu cara I, cara II, dan cara III.

4.4.1 Cara I (Hujan Harian Maksimum Tahunan)

Data hujan harian maksimum tahunan dapat dilihat pada Tabel 4.4. Untuk memilih kesesuaian jenis agihan dengan uji Chi Kuadrat dan uji Smirnov-Kolmogorov. Hasil perhitungan hujan wilayah pada data dengan cara I dapat dilihat pada Tabel 4.5. Resume hasil uji terhadap deret data pada Tabel 4.5 disajikan pada Tabel 4.6 dan Tabel 4.7.

Tabel 4.6 Resume Hasil Uji Chi Kuadrat

Normal Log normal Gumbel LogPearson III

Chi Kuadrat 10.941 6.235 13.294 16.118

Derajat kebebasan 2 2 2 1

Chi kritik 5.9915 5.9915 5.9915 3.8415

Keterangan ditolak ditolak ditolak ditolak

Tabel 4.7 Resume Hasil Uji Smirnov-Kolmogorov

Distribusi ∆ maks keterangan

Normal 0.280 diterima

Log normal 0.223 diterima

Gumbel 0.214 diterima

LogPearson III 0.298 diterima

Berdasarkan uji Chi Kuadrat yang disajikan pada Tabel 4.6 diketahui bahwa semua distribusi ditolak, sedangkan berdasarkan uji Smirnov-Kolmogorov yang disajikan pada Tabel 4.7 tampak bahwa semua distribusi diterima. Hasil uji selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran B. Untuk dapat memilih agihan yang paling cocok, maka dipilih yang memiliki nilai penyimpangan terkecil. Maka dalam hal ini agihan Gumbel adalah yang paling cocok karena memiliki nilai penyimpangan yang terkecil di antara yang lain.

4.4.2 Cara II (Hujan Harian)

Cara II ini menggunakan data hujan harian. Hujan harian rerata Sub DAS Keduang dapat dilihat pada Gambar 4.3.


(1)

commit to user

Hasil uji kesesuaian pola agihan hujan 3 jam dapat dilihat pada Tabel 4.26. Tabel 4.26 Kesesuaian Pola Agihan Hujan 3 Jam

Jam Observed Modified

Mononobe Delta

Penyimpangan (%)

1 43.66 69.34 -25.68 -58.81

2 39.71 18.02 21.69 54.62

3 16.62 12.64 3.98 23.94

Kesesuaian pola agihan hujan 3 jam dapat dilihat pada Gambar 4.24.

Gambar 4.24 Kesesuaian Pola Agihan Hujan 3 Jam

Hasil uji kesesuaian pola agihan hujan 4 jam dapat dilihat pada Tabel 4.27. Tabel 4.27 Kesesuaian Pola Agihan Hujan 4 Jam

Jam Observed THM ABM Delta Penyimpangan (%)

THM ABM THM ABM

1 22.62 19.55 11.49 3.07 11.13 13.57 49.22

2 49.22 46.93 63.00 2.29 -13.78 4.65 -27.99

3 18.08 25.14 16.37 -7.06 1.71 -39.04 9.44

4 10.08 8.38 9.14 1.70 0.94 16.87 9.29

Kesesuaian pola agihan hujan 4 jam dapat dilihat pada Gambar 4.25.

43.66

39.71

16.62

69,34

18,02

12,64

0 20 40 60 80

1 2 3

P

ro

se

n

tas

e

H

u

jan

(

%

)

Jam

ke-Pola Hujan 3 Jam

Observed

Modified Mononobe


(2)

commit to user

Gambar 4.25 Kesesuaian Pola Agihan Hujan 4 Jam

Hasil uji kesesuaian pola agihan hujan 5 jam dapat dilihat pada Tabel 4.28. Tabel 4.28 Kesesuaian Pola Agihan Hujan 5 Jam

Jam Observed Modified

Mononobe Delta

Penyimpangan (%)

1 71.96 58.48 13.48 18.73

2 13.72 15.20 -1.48 -10.79

3 6.62 10.66 -4.04 -61.07

4 5.84 8.49 -2.65 -45.35

5 1.86 7.17 -5.31 -285.39

Kesesuaian pola agihan hujan 5 jam dapat dilihat pada Gambar 4.26.

Gambar 4.26 Kesesuaian Pola Agihan Hujan 5 Jam

22.62 49.22 18.07 10.07 19,55 46,93 25,14 8,38 11,49 63,00 16,37 9,14 0 10 20 30 40 50 60 70

1 2 3 4

P ro se n tas e H u jan ( % ) Jam

ke-Pola Hujan 4 Jam

Observed THM ABM

71.96

13.71

6.62 5.84 1.86

58,48

15,20

10,66 8,49 7,17

0 10 20 30 40 50 60 70 80

1 2 3 4 5

P ro se n tas e H u jan ( % ) Jam

ke-Pola Hujan 5 Jam

Observed

Modified Mononobe


(3)

commit to user

Hasil uji kesesuaian pola agihan hujan 6 jam dapat dilihat pada Tabel 4.29. Tabel 4.29 Kesesuaian Pola Agihan Hujan 6 Jam

Jam Observed THM ABM Delta Penyimpangan (%)

THM ABM THM ABM

1 7.95 8.73 7.99 -0.78 -0.04 -9.86 -0.48

2 28.02 31.42 10.03 -3.40 17.99 -12.14 64.19

3 29.75 26.19 55.03 3.56 -25.28 11.98 -84.98

4 17.36 18.70 14.30 -1.34 3.06 -7.74 17.60

5 8.48 11.22 6.75 -2.74 1.73 -32.30 20.45

6 8.44 3.74 5.90 4.70 2.54 55.75 30.14

Kesesuaian pola agihan hujan 6 jam dapat dilihat pada Gambar 4.27.

Gambar 4.27 Kesesuaian Pola Agihan Hujan 6 Jam

Hasil uji kesesuaian pola agihan hujan 7 jam dapat dilihat pada Tabel 4.30. Tabel 4.30 Kesesuaian Pola Agihan Hujan 7 Jam

Jam Observed Modified

Mononobe Delta

Penyimpangan (%)

1 39.5 52.28 -12.78 -32.34

2 16.06 13.59 2.47 15.39

3 13.48 9.53 3.95 29.29

4 11.97 7.59 4.38 36.61

5 8.53 6.41 2.12 24.88

6 6.59 5.60 0.99 15.01

7 3.87 5.01 -1.14 -29.42

7.94

28.01 29.75

17.36

8.48 8.43

8,73 31,42

26,19 18,70

11,22 3,74

7,99 10,03 55,03

14,30

6,75 5,90

0 10 20 30 40 50 60

1 2 3 4 5 6

P

ro

se

n

tas

e

H

u

jan

(

%

)

Jam

ke-Pola Hujan 6 Jam

Observed THM ABM


(4)

commit to user

Kesesuaian pola agihan hujan 7 jam dapat dilihat pada Gambar 4.28.

Gambar 4.28 Kesesuaian Pola Agihan Hujan 7 Jam

Hasil uji kesesuaian pola agihan hujan 8 jam dapat dilihat pada Tabel 4.31. Tabel 4.31 Kesesuaian Pola Agihan Hujan 8 Jam

Jam Observed Modified

Mononobe Delta

Penyimpangan (%)

1 26.44 50.00 -23.56 -89.11

2 15.62 13.00 2.62 16.80

3 12.38 9.12 3.26 26.36

4 10.71 7.26 3.45 32.24

5 9.66 6.13 3.53 36.56

6 8.91 5.36 3.55 39.87

7 8.34 4.79 3.55 42.56

8 7.92 4.3534409 3.57 45.03

Kesesuaian pola agihan hujan 8 jam dapat dilihat pada Gambar 4.29.

39.49

16.05

13.47 11.97 8.53 6.59

3.87

52,28

13,59

9,53 7,59 6,41

5,60 5,01

0 10 20 30 40 50 60

1 2 3 4 5 6 7

P

ro

se

n

tas

e

H

u

jan

(

%

)

Jam

ke-Pola Hujan 7 Jam

Observed

Modified Mononobe


(5)

commit to user

Gambar 4.29 Kesesuaian Pola Agihan Hujan 9 Jam

Dari tabel dan grafik kesesuaian pola agihan hujan yang menggunakan metode

Modified Mononobe, yaitu pada durasi 2, 3, 5, 7, dan 8 terlihat bahwa kecuali

durasi 5 jam, pada jam pertama terjadi overestimated, sedangkan pada jam- jam

berikutnya terjadi underestimated terhadap pola agihan hujan observed.

Pada tabel dan grafik kesesuaian pola agihan hujan dengan durasi hujan 4 dan 6 jam terlihat bahwa pola agihan hujan dengan metode segitiga (THM) lebih sesuai

dengan pola agihan hujan observed, karena memiliki nilai penyimpangan yang

lebih kecil dibandingkan dengan ABM.

26.43 15.62

12.38

10.71 9.65 8.91 8.35 7.91

50,00

13,00

9,12 7,26

6,13 5,36 4,79 4,35

0 10 20 30 40 50 60

1 2 3 4 5 6 7 8

P

ro

se

n

tas

e

H

u

jan

(

%

)

Jam ke

Pola Hujan 8 Jam

Observed

Modified Mononobe


(6)

commit to user

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Dari 9 (sembilan) stasiun hujan yang berada di Sub DAS Keduang, semua

data adalah panggah kecuali data dari stasiun Girimarto SKT 57, sehingga data pada stasiun Girimarto SKT tidak digunakan dalam analisis, dengan alasan:

a. Data tidak panggah.

b. Lokasi dalam jejaring Kagan terlalu dekat dengan Girimarto PP 125b.

2. Durasi hujan yang paling dominan pada Sub DAS Keduang adalah 2 jam.

3. Pola agihan hujan di Sub DAS Keduang berdasarkan observed, pada durasi

hujan 2, 3, 5, 7, dan 8 jam menyerupai bentuk Modified Mononobe. Adapun

pada durasi hujan 4 dan 6 jam lebih menyerupai bentuk Triangular

Hyetograph Method (THM) dibandingkan bentuk Alternating Block Method

(ABM) .

5

.2 Saran

Saran-saran yang dapat menjadi pertimbangan dalam studi selanjutnya adalah sebagai berikut :

1. Studi selanjutnya perlu menggunakan data yang lebih banyak dari stasiun

hujan otomatis.

2. Studi selanjutnya perlu menganalisis tentang konstribusi air dari Sub DAS