3 Biotransformasi Metabolisme Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur
kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air dan
kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat
berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau tidak toksik. Ada obat yang merupakan calon obat
prodrug justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut danatau diekskresi sehingga kerjanya
berakhir Lu FC 1995. Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan
berdasarkan letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus yang pada isolasi in vitro membentuk mikrosom,
dan enzim non mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel,
saluran cerna, dan plasma. 4 Ekskresi
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit
polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting Lu FC 1995.
2.8. Patologi hati
Hati sangat rentan terhadap pengaruh berbagai zat kimia dan sering menjadi organ sasaran utama dari efek racun zat kimia. Oleh karena itu, hati
merupakan organ tubuh yang paling sering mengalami kerusakan. Menurut Lu FC 1995, hal ini disebabkan sebagian besar toksikan yang masuk ke dalam tubuh
setelah diserap oleh usus halus dibawa ke hati oleh vena porta hati. Melihat fungsi hati tersebut, maka dapat dipahami bahwa hati merupakan organ yang mudah
terkena efek toksik senyawa asing. Peristiwa tersebut dapat terjadi karena: 1 Senyawa kimia yang diberikan secara oral akan diabsorbsi dari saluran cerna ke
dalam hati melalui vena porta dapat meracuni hati; 2 Senyawa kimia yang
dimetabolisme di dalam hati dieksresikan ke dalam empedu dan kembali lagi ke duodenal; 3 Senyawa asing yang dimetabolisme di dalam hati sebagian
dilokalisir di dalam hati. Dengan demikian hati merupakan organ yang banyak berhubungan dengan senyawa kimia sehingga mudah terkena efek toksik.
Menurut Linawati et al. 2006, ada tiga macam kerusakan hati, antara lain : kerusakan hati akut, subakut dan kronis. Pada hakekatnya dapat dibedakan
tiga macam kerusakan hati akut, yaitu: 1 sitotoksik hepatoseluler yang berhubungan dengan kerusakan
parenkim sel hati. Luka ini dapat berupa steatosis degenerasi melemak dan atau nekrosis sel-sel hati.
2 kolestatik berupa hambatan aliran empedu dengan sedikit atau tanpa kerusakan sel-sel hati, baik karena luka pada kanalikuler
hepatokanalikuler atau luka pada saluran empedu kolangia destruktif dan dapat pula tanpa adanya luka kanalikuler.
3 campuran berupa kombinasi dari kedua macam kerusakan sitotoksik dan kolestatik.
Perubahan-perubahan histopatologi pada organ hati yang dapat terjadi diantaranya: degenerasi hidropis, degenerasi lemak, apoptosis atau nekrosa dan
lain-lain. Degenerasi hidropis merupakan perubahan yang bersifat sementara ditandai dengan kehadiran vakuol-vakuol di sitoplasma.
Sel membutuhkan ATPase untuk mengaktifkan pompa sodium potasium dalam pengaturan keluar dan masuknya ion. Infeksi akut sel akan menyebabkan
air dan protein tetap berada pada sitoplasma. Pompa lapisan membran akan memindahkan ion air dengan cepat keluar dari sitosol dan masuk ke reticulum
endoplasma. Hal ini akan mengakibatkan kebengkakan sel yang disebut degenerasi hidropis. Kebengkakan RE akan menghambat sintesa protein, sehingga
ribosom terlepas dari Rough Endoplasmic Reticulum RER. Karena sel gagal memperoleh energi yang bersumber dari mekanisme aerobik, untuk sementara sel
berusaha memperoleh energi dari sumber mekanisme anaerobik glikolisis. Tanda-tanda tersebut merupakan tanda lesio sel yang bersifat sementara
reversible Cheville 1999. Penggunaan energi dari suatu sel bersumber dari glikolisis dan akan menghasilkan produk asam laktat. Produk asam laktat terus
menerus akan menyebabkan penurunan pH intraseluler, yang mengakibatkan penggumpalan kromatin inti kematian sel.
Selain degenerasi hidropis juga terdapat degenerasi lemak hepatosit. Akumulasi lemak dalam sel biasanya terjadi karena terlalu banyak asupan lemak
bebas kedalam sel hati. Peningkatan pembentukan lipid di dalam sel hati akibat toksin yang merusak jalur metabolisme lemak atau hipoksia kronis yang
mengganggu kerja enzim pada metabolisme lemak. Secara mikroskopis, akumulasi lemak intraseluler menyebabkan sel membesar berisi vakuola-vakuola
lemak bundar yang jernih di dalam sitoplasma. Terkadang vakuol-vakuol kecil bergabung membentuk vakuol yang lebih besar sehingga inti terdesak ke tepi
Darmawan 1996; Saleh 1996. Menurut Maclachlan dan Cullen 1999, secara histopatologi lemak atau lipid di dalam sitoplasma terlihat sebagai rongga bulat
tidak berwarna. Degenerasi bisa bersifat menetap irreversible. Pada keadaan ini akan
terjadi kematian sel apoptosis atau nekrosa. Apoptosis merupakan kematian sel yang terprogram, melibatkan satu atau sekelompok sel tanpa sel radang dan dapat
terjadi pada kondisi normal fisiologis maupun abnormal patologis. Nekrosa melibatkan sekelompok sel hingga pada sebagian jaringan dapat ditemukan
sejumlah sel radang. Nekrosa dapat terjadi akibat bahan beracun, aktivitas mikroorganisme, defisiensi pakan dan kadang-kadang gangguan metabolisme
termasuk hipoksia. Perubahan sel nekrosa terjadi pada inti dan sitoplasma. Jika nekrosa masih baru terjadi, sitoplasma sel akan lebih banyak mengambil warna
eosin, lebih merah dari sel normal jika terjadi autolisis kematian akibat enzimnya sendiri, sel lebih sedikit mengambil warna eosin. Inti menjadi mengecil dan
berwarna biru piknosis akibat penggumpalan kromatin inti atau warna inti terlihat tidak jelas atau tidak terjadi sama sekali seolah-olah menghilang
karyolisis atau inti pecah menjadi bagian-bagian kecil karyohexis Cheville 1999; Jubb et al.1993.
Kongesti adalah terjadinya pembendungan darah pada hati yang disebabkan adanya gangguan sirkulasi yang dapat mengakibatkan kekurangan
oksigen dan zat gizi. Pada sel hati, kongesti didahului dengan pembengkakan sel hati sehingga sel hati membesar yang mengakibatkan sinusoid menyempit
sehingga aliran darah terganggu. Hal ini menyebabkan terjadinya pembendungan darah pada beberapa tempat.
Hemoragi adalah keluarnya darah dari sirkulasi kardiovaskuler dan biasanya terdapat kerusakan pada susunan kardiovaskuler tersebut arteri, vena
dan kapiler Sudiono 2003. Nekrosis adalah terjadinya kematian sel hati.Kematian sel terjadi bersama dengan pecahnya membran plasma. Perlemakan
hati adalah hati yang mengandung berat lipid lebih dari 5 atau telah terjadi penimbunan lipid dalam hati. Atrofi adalah menurunnya ukuran ukuran jaringan
yang disebabkan berkurangnya jumlah sel atau ukuran sel.Tingkat kerusakan hati menurut Darmono 1995, dibagi menjadi tiga yaitu ringan, sedang dan berat.
Perlemakan hati termasuk dalam tingkat ringan yang ditandai dengan pembengkakan sel. Tingkat kerusakan sedang yaitu kongesti dan hemoragi,
sedangkan tingkat berat adalah kematian sel atau nekrosis. Hepatotoksin didefinisikan sebagai senyawa kimia yang memiliki efek
toksik pada sel hati. Dengan dosis berlebihan dosis toksik atau pemejanan dalam jangka waktu yang lama senyawa bersangkutan dapat menimbulkan kerusakan
hati akut, subakut maupun kronis. Terdapat dua macam senyawa hepatotoksin yaitu hepatotoksin hakiki hepatotoksin teramalkan dan hepatotoksin tak
teramalkan. Hepatotoksin hakiki adalah golongan senyawa yang memiliki sifat dasar toksik terhadap hati, misalnya karbon tetraklorida CCl
4
, kloroform, etionin dan parasetamol. Senyawa-senyawa tersebut dapat menyebabkan
kerusakan hati pada semua individu. Hepatotoksin tak teramalkan adalah golongan senyawa yang bersifat toksik terhadap hati, tetapi hanya dapat
mengakibatkan hepatitis Linawati et al. 2006.
2.9. Ayam broiler