Penilaian Kepentingan Relatif Perikanan Rakyat dan Perikanan Industri di Indonesia

(1)

PENILAIAN KEPENTINGAN RELATIF

PERIKANAN RAKYAT DAN PERIKANAN INDUSTRI

DI INDONESIA

ERWIN AMBUA PARULIAN SIMORANGKIR

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI KELAUTAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul ”Penilaian Kepentingan Relatif Perikanan Rakyat dan Perikanan Industri di Indonesia” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2010

Erwin Ambua Parulian Simorangkir

NRP C551054144


(3)

ABSTRACT

ERWIN AMBUA PARULIANSIMORANGKIR, 2010. An assessment

on the relative importance of artisanal fisheries and industrial fisheries in

Indonesia (M. FEDI A. SONDITA, as supervisor, VICTOR P. H.

NIKIJULUW, as co-supervisor)

In order to support capture fishery business and human welfare, Department of Marine and Fisheries, or Departemen Kelautan dan Perikanan

published Ministerial Regulation on Marine and Fishery, or Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, No. PER.17/MEN/2006 about integrated capture fishery business. The regulation is expected to provide strong bases for the development pillars in fishery field, such as pro-growth, pro-poor and pro-job, and creates business sector of capture fishery changing out sphere that promotes investment in marine and fishery sector. The artisanal activity of catching fish in the sea done by two industrial elements: people-based fisheries and industrial-based fisheries. The people-based fisheries involve local fishermen to catch the fish, but the based fisheries are private company. The needs of people-based and industrial-based fisheries are distinct in each province. The distinction could be caused by several factors, such as the characteristic of fish resources, the condition of marine environment, and the characteristic of the people and the policy that implemented in every region. Based on the mentioned reasons, it needs a focus on implementing a policy nationally in every province.

The purpose of this research is: (1) to analyze the role of people-based fisheries and industrial-based fisheries in every province in Indonesia , (2) to analyze the role of people-based fisheries and industrial-based fisheries in national-based fisheries. The Location Quetient (LQ) method is used to determine basis sector so that it is useful to determine an appropriate policy that is implemented in every region (province).

Keywords : pro-growth , pro-poor and pro-job , (pro-business), people-based fisheries, industrial-based fisheries, Location Quotient (LQ).


(4)

RINGKASAN

ERWIN A. P. SIMORANGKIR, 2010. Penilaian Kepentingan Relatif Perikanan Rakyat dan Perikanan Industri di Indonesia (M. FEDI A. SONDITA,

sebagai ketua, VICTOR P.H. NIKIJULUW, sebagai anggota komisi

pembimbing)

Kegiatan penangkapan ikan di laut berperan sebagai penyumbang terbesar terhadap produksi perikanan nasional. Pada tahun 2006, produksi perikanan dari penangkapan ikan di laut mencapai 4.468.010 ton sementara produksi perikanan nasional mencapai 7.451.756 ton. Sejak tahun 2001 hingga 2006, produksi perikanan laut ini mengalami peningkatan rata-rata 2,45% per tahun (DKP 2007). Produksi perikanan tangkap tersebut dihasilkan oleh berbagai jenis usaha perikanan tangkap yang didominasi oleh usaha berskala kecil, seperti ditunjukkan oleh proporsi jumlah kapal penangkapan ikan berukuran kurang dari 10 GT yang mencapai 97% dari seluruh kapal perikanan yang ada. Data ini juga sekaligus menunjukkan bahwa usaha perikanan tangkap skala kecil mempunyai peran penting dalam perikanan nasional.

Dalam rangka mendukung kegiatan usaha perikanan tangkap dan kesejahteraan masyarakat, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah menerbitkan Peraturan Menteri (PerMen) Kelautan dan Perikanan nomor PER.17/MEN/2006 tentang Usaha Perikanan Tangkap Terpadu. Peraturan tersebut diharapkan mampu mewujudkan tiga pilar pembangunan dibidang perikanan, yaitu pro-growth (pertumbuhan), pro-poor (pengentasan kemiskinan) dan pro-job (penyerapan tenaga kerja), serta menciptakan iklim usaha yang menunjang untuk mendorong investasi di bidang kelautan dan perikanan ( pro-business).

Kajian analisis kepentingan relatif perikanan rakyat dan perikanan industri dalam usaha perikanan tangkap sangat diperlukan untuk mengetahui keragaman atau kelebihan dari setiap provinsi yang diukur dari variabel – variabel yang seperti nelayan, produksi, armada, alat tangkap, olahan hasil perikanan, karena sampai saat ini kepentingan relatif dari kedua skala usaha di tiap wilayah atau provinsi belum diketahui. Implementasi kebijakan pro-growth, pro-poor dan pro

-job dapat mempertimbangkan kepentingan relatif dari setiap jenis perikanan tersebut, sehingga nantinya dapat ditentukan bagaimana kebijakan tersebut di atas dapat diterapkan di tiap wilayah. Penelitian ini bertujuan menganalisis peran perikanan rakyat dan perikanan industri di setiap wilayah provinsi di Indonesia, menganalisis peran perikanan rakyat dan perikanan industri terhadap perikanan nasional.

Kegiatan penangkapan ikan di laut dilakukan oleh dua jenis industri, yaitu perikanan rakyat dan perikanan industri. Jenis industri pertama melibatkan usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan kecil sedangkan jenis industri kedua melibatkan perusahaan swasta. Kepentingan perikanan rakyat dan perikanan industri tersebut dapat berbeda-beda di setiap provinsi. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya adalah karakteristik sumberdaya ikan, keadaan lingkungan laut dan karakteristik masyarakat dan kebijakan yang diterapkan di setiap wilayah.


(5)

Berdasarkan gambaran diatas maka perlu adanya fokus dalam menerapkan suatu kebijakan secara nasional pada setiap propinsi. Dapat disimpulkan bahwa penelitian ini. Dilihat dari komposisi–komposisi variabel nelayan, jenis alat penangkapan ikan, jenis kapal penangkapan ikan, jenis penangkap ikan, produksi dan produk olahan, perikanan nasional masih dicirikan oleh perikanan rakyat sedangkan perikanan tangkap disembilan belas (19) provinsi masih didominasi perikanan rakyat sedangkan sebelas (11) provinsi lainnya didominasi oleh perikanan industri. Hal ini menunjukkan bahwa perikanan industri perlu ditingkatkan untuk mendukung perbaikan ekonomi nelayan.

Kata kunci : pro-growth (pertumbuhan), pro-poor (pengentasan kemiskinan) dan

pro-job (penyerapan tenaga kerja), (pro-business), perikanan rakyat, perikanan industri, location quotient (LQ).


(6)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

PENILAIAN KEPENTINGAN RELATIF

PERIKANAN RAKYAT DAN PERIKANAN INDUSTRI

DI INDONESIA

ERWIN AMBUA PARULIAN SIMORANGKIR

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Studi Teknologi Kelautan

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI KELAUTAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010


(8)

Judul Tesis : Penilaian Kepentingan Relatif Perikanan Rakyat dan Perikanan Industri di Indonesia

Nama : Erwin Ambua Parulian Simorangkir

NRP : C551054144

Program Studi : Teknologi Kelautan

Disetujui : Komisi Pembimbing

Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc

Ketua

Dr. Ir.Vicktor P.H Nikijuluw, M.Sc

Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Teknologi Kelautan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Nabire pada tanggal 11 Oktober 1975 sebagai putra ketiga dari lima bersaudara, pasangan dari Bapak P.A. Simorangkir ( Alm ) dan Ibu M.Z. Hutabarat. Pendidikan penulis dari Sekolah Dasar hingga Menengah Atas di tempuh di Papua. Selepas dari SMA Negeri II Jayapura, penulis melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi UJB Yogyakarta dan selesai pada tahun 2001. Pada tahun 2005 diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil dan ditempatkan di Departemen Kelautan dan Perikanan.

Untuk memperkaya dan memperdalam pengetahuan tentang bidang perikanan dan kelautan maka pada tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikan pada Program Studi Teknologi Kelautan, Sub Program Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis dinyatakan lulus dalam sidang ujian tesis yang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana IPB pada bulan Februari dengan judul tesis ”Penilaian Kepentingan Relatif Perikanan Rakyat dan Perikanan Industri di Indonesia”.


(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena berkat petunjuk dan bimbingan dari-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Judul tesis ini adalah ”Penilaian Kepentingan Relatif Perikanan Rakyat dan Perikanan

Industri di Indonesia”. Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian data sekunder dari bulan Januari sampai November 2009.

Selesainya penulisan tugas akhir ini merupakan suatu kebahagiaan tersendiri bagi penulis, karena tesis merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan dan memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

(1) Bapak Dr. Ir. Fedi A. Sondita, M.Sc, selaku ketua pembimbing, dan Dr. Ir. Victor P.H. Nikijuluw, M.Sc, selaku anggota pembimbing atas segala saran, arahan dan waktu yang diberikan kepada penulis dalam rangka penulisan tesis. (2) Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo M,Si sebagai dosen penguji yang telah

memberikan masukan konstruktif untuk penyempurnaan tesis ini, serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini. (3) Ungkapan terima kasih tak lupa pula penulis haturkan kepada Prof. Dr. Ir.

John Haluan, M.Sc sebagai ketua program studi TKL

(4) Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan dan Direktur Usaha dan Investasi yang telah berkenan memberikan izin belajar dan bantuan pendidikan.

(5) Tidak lupa penulis mempersembahkan tesis ini untuk saudara-saudara terkasih : Tunggul, Eva (Alm ), Hellen, David, Natalia, Joshua, Evi, Judika, Abi, Angle.

(6) Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan tesis, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

(7) Semua pihak yang telah membaca dan menggunakan karya ilmiah ini sebagai


(11)

Penulis menyadari bahwa didalam tesis ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Februari 2010

Erwin Ambua Parulian Simorangkir NRP C551054144


(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... . viii

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

DAFTAR ISTILAH ...xiii

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.1 Perumusan Masalah... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.5 Kerangka Pemikiran ... 4

1.6 Hipotesis Penelitian ... 8

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Pembangunan Daerah ... 9

2.2 Location Quotient (LQ) ... 11

2.3 Klasifikasi Perikanan Tangkap ... 16

2.4 Produksi ... 20

2.5 Nelayan ... 23

2.6 Armada ... 26

2.7 Alat Tangkap... 28

2.8 Produk Olahan ... 29

3 METODE PENELITIAN ... 31

3.1 Waktu dan Daerah Penelitian ... 31

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 31

3.3 Metode Analisis Data ... 33

3.3.1 Tahapan pengolahan data ... 33

3.3.2 Penentuan sektor basis ... 39

4 HASIL ... 41

4.1 Nilai LQ Sektor Perikanan Industri dan Sektor Perikanan Rakyat ... 41


(13)

4.1.2 Nilai LQ jumlah armada ... 42

4.1.3 Nilai LQ jumlah alat tangkap ... 44

4.1.4 Nilai LQ jumlah produksi ... 45

4.1.5 Nilai LQ hasil olahan ... 46

4.2 Arah Pengembangan Perikanan Tangkap tiap Provinsi ... 47

4.2.1 Provinsi Nangroe Aceh Darussalam ... 48

4.2.2 Provinsi Sumatera Utara ... 48

4.2.3 Provinsi Sumatera Barat ... 49

4.2.4 Provinsi Riau ... 49

4.2.5 Provinsi Jambi ... 50

4.2.6 Provinsi Sumatera Selatan ... 50

4.2.6 Provinsi Bangka Belitung ... 51

4.2.7 Provinsi Bengkulu ... 51

4.2.8 Provinsi Lampung ... 52

4.2.9 Provinsi Banten ... 52

4.2.10 Provinsi DKI Jakarta ... 52

4.2.12 Provinsi Jawa Barat ... 53

4.2.13 Provinsi Jawa Tengah ... 53

4.2.14 Provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta ... 54

4.2.15 Provinsi Jawa Timur ... 54

4.2.16 Provinsi Bali ... 55

4.2.17 Provinsi Nusa Tenggara Barat ... 55

4.2.18 Provinsi Nusa Tenggara Timur ... 56

4.2.19 Provinsi Kalimantan Barat ... 56

4.2.20 Provinsi Kalimantan Tengah ... 56

4.2.21 Provinsi Kalimantan Selatan ... 57

4.2.22 Provinsi Kalimantan Timur ... 57

4.2.23 Provinsi Sulawesi Utara ... 58

4.2.24 Provinsi Gorontalo... 58

4.2.25 Provinsi Sulawesi Tengah ... 59


(14)

4.2.27 Provinsi Sulawesi Tenggara ... 59

4.2.28 Provinsi Maluku ... 60

4.2.29 Provinsi Maluku Utara ... 60

4.2.30 Provinsi Papua ... 61

4.3 Peran Perikanan Industri dan Perikanan Rakyat pada Perikanan Nasional ... 68

5 PEMBAHASAN ... 69

5.1 Nilai LQ Sektor Perikanan Industri dan Sektor Perikanan Rakyat ... 69

5.1.1 Nilai LQ jumlah nelayan ... 69

5.1.2 Nilai LQ jumlah armada ... 70

5.1.3 Nilai LQ jumlah alat tangkap ... 71

5.1.4 Nilai LQ jumlah produksi ... 71

5.1.5 Nilai LQ jumlah hasil olahan ... 71

5.2 Arah Pengembangan Perikanan Tangkap tiap Provinsi ... 72

5.2.1 Provinsi dengan kebijakan pro-growth ... 73

5.2.1.1 Provinsi Sumatera Barat ... 73

5.2.1.2 Provinsi Bangka Belitung ... 73

5.2.1.3 Provinsi Bangka Bengkulu ... 74

5.2.1.4 Provinsi Jawa Barat ... 74

5.2.1.5 Provinsi Jawa Timur ... 74

5.2.1.6 Provinsi Nusa Tenggara Barat ... 74

5.2.1.7 Provinsi Kalimantan Timur ... 75

5.2.1.8 Provinsi Banten ... 75

5.2.2 Provinsi dengan kebijakan pro-business ... 75

5.2.2.1 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ... 75

5.2.3 Provinsi dengan Kebijakan Pro-Business dan Pro-poor ... 76

5.2.3.1 Provinsi Sumatera Utara ... 76

5.2.3.2 Provinsi Riau ... 76

5.2.3.3 Provinsi Gorontalo... 77

5.2.4 Provinsi dengan kebijakan pro-business, pro-poor, pro-job .... ... 78

5.2.4.1 Provinsi Jambi ... 78


(15)

5.2.4.3 Provinsi Papua ... 79

5.2.4.4 Provinsi Maluku Utara ... 80

5.2.5 Provinsi dengan kebijakan pro-job , pro-growth ... 80

5.2.5.1 Provinsi Kalimantan Lampung... 80

5.2.5.2 Provinsi Kalimantan Barat ... 81

5.2.5.3 Provinsi Kalimantan Tengah ... 81

5.2.5.4 Provinsi Kalimantan Selatan ... 82

5.2.5.5 Provinsi Sulawesi Tenggara ... 82

5.2.5.6 Provinsi Sulawesi Selatan ... 83

5.2.5.6 Provinsi Sulawesi Tengah ... 83

5.2.6 Provinsi dengan kebijakan pro-job, pro-business ... 83

5.2.6.1 Provinsi DKI Jakarta ... 83

5.2.6.2 Provinsi Jawa Tengah ... 84

5.2.6.3 Provinsi Sulawesi Utara ... 84

5.2.7 Provinsi dengan kebijakan pro-growth, pro-job, pro-business ... 85

5.2.7.1 Provinsi Maluku ... 85

5.3 Peran Perikanan Industri dan Perikanan Rakyat pada Perikanan Nasional ... 86

6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 87

6.1 Kesimpulan ... 87

6.2 Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 88

LAMPIRAN ... 92


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Klasifikasi perikanan tangkap ... 17

2 Perbandingan nelayan industri, artisanal dan subsisten berdasarkan keadaan technico-socio-economic ... 19

3 Trend produksi dan nilai produksi perikanan tangkap (2000-2005) ... 21

4 Trend populasi nelayan perikanan tangkap (2000-2005) ... 25

5 Trend kapal penangkap ikan di laut menurut kategori dan ukuran (2000-2005) ... 27

6 Jenis alat tangkap berdasarkan statistik perikanan Indonesia ... 28

7 Klasifikasi perlakuan produksi dan hasil olahan perikanan tangkap ... 30

8 Ciri-ciri perikanan rakyat dan perikanan industri yang digunakan dalam penelitian ini ... 32

9 Nilai LQ jumlah nelayan pada 30 provinsi tahun 2003-2007 ... 41

10 Nilai LQ jumlah armada pada 30 provinsi tahun 2003-2007 ... 43

11 Nilai LQ jumlah alat tangkap pada 30 provinsi tahun 2003-2007... 44

12 Nilai LQ jumlah produksi pada 30 provinsi tahun 2003-2007 ... 45

13 Nilai LQ hasil olahan pada 30 provinsi tahun 2003-2007 ... 46

14 Arah pengembangan perikanan tangkap pada provinsi NAD ... 48

15 Arah pengembangan perikanan tangkap pada provinsi Sumatera Utara .. 49

16 Arah pengembangan perikanan tangkap pada provinsi Sumatera Barat ... 49

17 Arah pengembangan perikanan tangkap pada provinsi Riau ... 50

18 Arah pengembangan perikanan tangkap pada provinsi Jambi ... 50

19 Arah pengembangan perikanan tangkap pada provinsi Sumatera Selatan 51 20 Arah pengembangan perikanan tangkap pada provinsi Bangka Belitung 51 21 Arah pengembangan perikanan tangkap pada provinsi Bengkulu ... 51

22 Arah pengembangan perikanan tangkap pada provinsi Lampung ... 52

23 Arah pengembangan perikanan tangkap pada provinsi Banten... 52

24 Arah pengembangan perikanan tangkap pada provinsi DKI Jakarta ... 53

25 Variabel nilai LQ pada provinsi Jawa Barat ... 53


(17)

27 Arah pengembangan perikanan tangkap pada Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta ... 54

28 Arah pengembangan perikanan tangkap pada provinsi Jawa Timur ... 54

29 Arah pengembangan perikanan tangkap pada provinsi Bali ... 55

30 Arah pengembangan perikanan tangkap pada provinsi Nusa Tenggara Barat ... 55

31 Arah pengembangan perikanan tangkap pada provinsi Nusa Tenggara Timur ... 56

32 Arah pengembangan perikanan tangkap pada provinsi Kalimantan Barat ... 56

33 Arah pengembangan perikanan tangkap pada provinsi Kalimantan Tengah ... 57

34 Arah pengembangan perikanan tangkap pada provinsi Kalimantan Selatan ... 57

35 Arah pengembangan perikanan tangkap LQ pada provinsi Kalimantan Timur ... 57

36 Arah pengembangan perikanan tangkap pada provinsi Sulawesi Utara ... 58

37 Arah pengembangan perikanan tangkap pada provinsi Gorontalo ... 58

38 Arah pengembangan perikanan tangkap pada provinsi Sulawesi Tengah 59 39 Arah pengembangan perikanan tangkap pada provinsi Sulawesi Selatan 59 40 Arah pengembangan perikanan tangkap pada provinsi Sulawesi Tenggara ... 60

41 Arah pengembangan perikanan tangkap pada provinsi Maluku ... 60

42 Arah pengembangan perikanan tangkap pada provinsi Maluku Utara ... 60

43 Arah pengembangan perikanan tangkap pada provinsi Papua ... 61

44 Hasil arah pengembangan perikanan tangkap pada tiap provinsi ... 62

45 Jumlah prioritas kebijakan... 66

46 Matriks penentuan kebijakan ... 66

47 Jumlah provinsi yang basis pada PI dan PR ... 68


(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pemikiran .... ... 7 2. Bagan alir proses perhitungan nilai location quotient untuk

perikanan rakyat dan perikanan industri di setiap provinsi ... 34 3. Peta hasil arah pengembangan perikanan tangkap tiap provinsi ... 67


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Alat tangkap perikanan rakyat... 92

2. Standarisasi jumlah alat tangkap perikanan rakyat tahun 2003-2007... 120

3. Alat tangkap perikanan industri ... 121

4. Standarisasi jumlah alat tangkap perikanan industri tahun 2003-2007... 130

5. Alat tangkap PI dan PR ... 131

6. Nilai LQ alat tangkap ... 132

7. Produksi perikanan industri ...134

8. Total produksi perikanan industri tahun 2003-2007 ... 137

9. Produksi perikanan rakyat ... 138

10.Total produksi perikanan rakyat tahun 2003-2007 ... 146

11.Produksi PI dan PR ... 148

12.Nilai LQ produksi ...149

13.Produksi hasil olahan perikanan industri ... 150

14.Total produksi olahan perikanan industri tahun 2003-2007 ... 153

15.Produksi hasil olahan perikanan rakyat ... 154

16.Total produksi olahan perikanan rakyat tahun 2003-2007 ... 159

17.Produksi PI dan PR ... 160

18.Nilai LQ produksi olahan ... 161

19.Jumlah nelayan penuh (p) perikanan industri ... 163

20.Nilai standar jumlah nelayan penuh (p) ... 164

21.Jumlah nelayan sambilan utama (SU) perikanan rakyat ... 165

22.Nilai standar jumlah nelayan SU ... 167

23.Jumlah nelayan sambilan tambahan (ST) perikanan rakyat ... 168

24.Nilai standar jumlah nelayan ST ………. 169

25.Total jumlah nelayan PR ... 170

26.Jumlah nelayan PI dan PR ... 171

27.Nilai LQ nelayan ... 172

28.Jumlah armada PI dan PR ... 173


(20)

30.Armada perikanan rakyat ... 175

31.Armada perikanan industri ... 180

32.Nilai LQ nelayan ... 192

33.Nilai LQ produksi ... 193

34.Nilai LQ armada ... 194

35.Nilai LQ alat tangkap ... 195

36.Nilai LQ produksi olahan ... 196

37.Rerata nilai LQ semua variabel ... 197

38.Rerata nilai LQ selama 5 tahun ... 200

39.Rerata nilai LQ semua variabel untuk PI ... 203


(21)

DAFTAR ISTILAH

BUMD : Badan Usaha Milik Daerah BUMN : Badan Usaha Milik Negara

Cured Fish : Ikan olahan tradisional

Fish Meal : Tepung ikan

Fishing Ground : Daerah penangkapan ikan FPI : Fishing Power Index Frozenfish : Ikan beku

Income Distribution : Distribusi pendapatan

IPTEK : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi KKMB : Konsultan Keuangan Mitra Bank

Large Scale Fisheries : Perikanan skala besar LOA : Kapal dengan panjang total LQ : Location Quotient

Management Area : Daerah pengelolaan

Overspecialized : Spesialisasi yang tinggi

PNBP : Penerimaan Negara Bukan Pajak

Productivity Growth : Pertumbuhan produktivitas

Pro-business : Penciptaan iklim usaha

Pro-growth : Pertumbuhan

Pro-job : Penyerapan tenaga kerja

Pro-poor : Pengentasan kemiskinan

Small Scale Fisheries : Perikanan skala kecil

Sustainable Development : Pembangunan berkesinambungan


(22)

1. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kegiatan penangkapan ikan di laut berperan sebagai penyumbang terbesar terhadap produksi perikanan nasional. Pada tahun 2006, produksi perikanan dari penangkapan ikan di laut mencapai 4.468.010 ton sementara produksi perikanan nasional mencapai 7.451.756 ton. Sejak tahun 2001 hingga 2006, produksi perikanan laut ini mengalami peningkatan rata-rata 2,45% per tahun (DKP 2007). Produksi perikanan tangkap tersebut dihasilkan oleh berbagai jenis usaha perikanan tangkap yang didominasi oleh usaha berskala kecil, seperti ditunjukkan oleh proporsi jumlah kapal penangkapan ikan berukuran kurang dari 10 GT yang mencapai 97% dari seluruh kapal perikanan yang ada. Data ini juga sekaligus menunjukkan bahwa usaha perikanan tangkap skala kecil mempunyai peran penting dalam perikanan nasional.

Dalam rangka mendukung kegiatan usaha perikanan tangkap dan kesejahteraan masyarakat, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah menerbitkan Permen Kelautan dan Perikanan nomor PER.17/MEN/2006 tentang Usaha Perikanan Tangkap Terpadu. Peraturan tersebut diharapkan mampu mewujudkan tiga pilar pembangunan di bidang perikanan, yaitu pro-growth

(pertumbuhan), pro-poor (pengentasan kemiskinan) dan pro-job (penyerapan tenaga kerja), serta menciptakan iklim usaha yang menunjang untuk mendorong investasi di bidang kelautan dan perikanan (pro-business). Kemudian dalam rangka percepatan pengembangan industri pengolahan hasil perikanan di Indonesia melalui usaha penangkapan ikan secara terpadu, Menteri Kelautan dan Perikanan merevisi Permen No. PER.17/MEN/2006 menjadi Permen No. PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Dalam revisi peraturan tersebut, perikanan tangkap nasional didorong untuk meningkatkan keragaman kemampuan perikanan Indonesia dari hanya sebagai negara produsen bahan baku menjadi negara yang juga memiliki industri perikanan yang dapat menciptakan lapangan kerja di dalam negeri.

Revisi peraturan Menteri tersebut diharapkan dapat mempercepat peningkatan investasi usaha perikanan. Upaya pemerintah dapat dilakukan


(23)

melalui meningkatkan ketersediaan prasarana pendukung, sedangkan investasi dari pihak swasta terutama untuk pengembangan industri perikanan tangkap, baik pada kegiatan hulu, proses produksi maupun kegiatan hilir. Berbagai kegiatan pembangunan perikanan tangkap dilakukan melalui upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha perikanan yang diarahkan untuk meningkatkan konsumsi, penerimaan devisa dan peningkatan penyediaan bahan baku industri dalam negeri.

Salah satu masalah dalam perikanan tangkap adalah rendahnya produktivitas nelayan yang antara lain disebabkan oleh keterbatasan teknologi. Perkembangan ekonomi dunia juga berpengaruh terhadap eksploitasi sumber daya perikanan yang menyebabkan terjadinya over fishing. Penangkapan yang bebas akan menyebabkan terjadinya permasalahan harga pasar dan kualitas produksi (Liese dan Smith 2007). Dengan berkembangnya perikanan skala industri diharapkan dapat meningkatkan produktivitas tangkapan dengan teknologi penangkapan yang lebih memadai dan daerah penangkapan yang lebih luas. Dengan adanya Permen No. 05/MEN/2008 diharapkan industri perikanan dapat berkembang lebih baik. Dengan demikian perikanan tangkap nasional yang didominasi oleh perikanan skala rakyat, kiranya dapat didorong bertumbuh ke skala industri, terutama dengan dihapusnya skim perijinan penangkapan ikan bagi kapal berbendera asing.

Kegiatan penangkapan ikan di laut dilakukan oleh dua jenis industri, yaitu perikanan rakyat dan perikanan industri. Jenis industri pertama melibatkan usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan kecil sedangkan jenis industri kedua melibatkan nelayan terdidik yang dihimpun oleh perusahaan swasta. Kepentingan perikanan rakyat dan perikanan industri tersebut dapat berbeda-beda di setiap provinsi. Oleh karena adanya Perbedaan kepentingan dalam penerapan kebijakan di tiap provinsi maka perlu adanya suatu perencanaan yang nantinya akan memberikan informasi kepada DKP maupun pemerintah daerah dalam mengimplementasikan kebijakan yang tepat diterapkan di setiap provinsi. Perbedaan kepentingan di tiap provinsi tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya adalah karakteristik sumberdaya ikan, keadaan lingkungan


(24)

laut dan karakteristik masyarakat dan kebijakan yang diterapkan di setiap wilayah.

1.2Perumusan Masalah

Keanekaragaman sumberdaya ikan, kondisi lingkungan laut dan masyarakat telah menyebabkan keanekaragaman perikanan tangkap di Indonesia. Setelah sejumlah kebijakan nasional tentang pembangunan perikanan diterapkan, belum dapat diketahui dengan pasti apakah kebijakan nasional tersebut selalu tepat untuk setiap lokasi di Indonesia, yaitu provinsi dan kabupaten.

Kajian analisis kepentingan relatif perikanan rakyat dan perikanan industri dalam usaha perikanan tangkap sangat diperlukan untuk mengetahui keragaman atau kelebihan dari setiap provinsi yang diukur dari variabel – variabel yang seperti nelayan, produksi, armada, alat tangkap, olahan hasil perikanan, karena sampai saat ini kepentingan relatif dari kedua skala usaha di tiap wilayah atau provinsi belum diketahui. Implementasi kebijakan pro-growth, pro-poor dan pro

-job dapat mempertimbangkan kepentingan relatif dari setiap jenis perikanan tersebut, sehingga nantinya dapat ditentukan bagaimana kebijakan tersebut di atas dapat diterapkan di tiap wilayah. Dengan demikian penerapan kebijakan – kebijakan tersebut di atas belum tentu sama antar wilayah satu dengan wilayah lainnya. Dengan adanya keragaman permasalahan di setiap provinsi maka perlu adanya perencanaan strategi pengembangan sektor perikanan pada setiap provinsi, sehingga dengan adanya perlakuan yang berbeda maka kebijakan yang diterapkan berbeda. Penelitian ini juga menjadi suatu gambaran yang dapat digunakan oleh sebagai regulator dalam pembinaan maupun pengembangan sektor perikanan di Indonesia dapat segera mengidentifikasi peran dari tiap kebijakan di tiap provinsi.

Berdasarkan uraian di atas penelitian ini mencoba menganalisis tingkat kepentingan relatif perikanan rakyat dan perikanan industri di tingkat wilayah/provinsi. Apakah peran dari perikanan skala rakyat dan skala industri memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan wilayah dan nasional?

Rumusan beberapa permasalahan dalam penelitian ini :

(1) Bagaimana kebijakan pro-growth, pro-poor, pro-job dan pro-business


(25)

(2) Bagaimana kebijakan pro-growth, pro-poor, pro-job dan pro-business yang diterapkan terhadap perikanan rakyat dan perikanan industri kontribusinya terhadap perikanan nasional?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :

(1) Menganalisis peran perikanan rakyat dan perikanan industri di setiap wilayah provinsi di Indonesia.

(2) Menganalisis peran perikanan rakyat dan perikanan industri terhadap perikanan nasional.

1.4 Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini akan dihasilkan informasi yang menggambarkan keanekaragaman perikanan di Indonesia. Informasi ini dapat digunakan sebagai masukan bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mengembangkan perikanan tangkap, khususnya untuk menerapkan Peraturan Menteri Nomor 05/MEN/2008. Adapun penelitian ini mempunyai dampak positif bagi pengembangan IPTEK misalnya dalam suatu wilayah provinsi terdapat variabel armada lebih unggul/dominan maka dapat diambil kebijakan dalam penambahan armada, analisa seperti ini dapat diterapkan oleh pemerintah baik itu pusat, provinsi untuk mengidentifikasi keragaman keunggulan yang terdapat di setiap wilayah masing-masing dalam hal ini tingkat kabupaten/kota.

Begitu pun penelitian ini mempunyai manfaat bagi pengelolaan perikanan khususnya masyarakat nelayan misalnya dalam bentuk usaha sektor perikanan yang bebasis pada perikanan rakyat dapat diambil kebijakan dalam penguatan modal usaha dan pada masyarakat nelayan yang bebasis pada sektor industri dapat dikembangkan dengan lebih memacu pertumbuhan industri perikanan. Penelitian seperti ini dapat digunakan dalam peneliti sektor basis pada lingkup yang lebih kecil misalnya satu provinsi dengan mengambil fokus penelitian pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

1.5 Kerangka Pemikiran

Sektor kelautan dan perikanan telah diarahkan agar menjadi salah satu mesin pertumbuhan ekonomi yang dapat mendorong dan menarik pertumbuhan


(26)

sektor lain, andalan dalam penyediaan sumber pangan yang sehat bagi penduduk, andalan dalam penyediaan lapangan kerja dan sebagai sumber pendapatan penduduk untuk pengentasan kemiskinan, andalan untuk menghasilkan devisa melalui peningkatan ekspor dan pengendalian impor, serta mewujudkan laut sebagai alat pemersatu bangsa (DKP 2006). Salah satu bagian yang membentuk sektor tersebut adalah subsektor perikanan tangkap. Sosok dari subsektor ini biasanya ditunjukkan dengan sejumlah indikator kuantitatif seperti jumlah ikan yang dihasilkan (produksi perikanan), jumlah kapal ikan yang beroperasi, jumlah tenaga kerja yang terlibat (nelayan), dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang dihasilkan dari kegiatan perikanan tangkap.

Usaha perikanan dapat dimodelkan sebagai sebuah sistem bisnis perikanan yang mencakup kegiatan pra-produksi, produksi, pengolahan dan pemasaran. Usaha perikanan tangkap adalah kegiatan ekonomi yang mencakup kegiatan penangkapan ikan, kegiatan penangkapan dan pengangkutan ikan dalam satuan armada penangkapan, dan kegiatan pengangkutan ikan. Menurut pelakunya, usaha perikanan tangkap dapat dibedakan menjadi usaha yang dilakukan oleh perorangan dan usaha yang dilakukan oleh badan hukum.

Usaha perikanan perorangan tersebut merupakan ciri utama dari perikanan rakyat, yang sebagian di antaranya bertujuan untuk pemenuhan hidup sehari-hari nelayan dan keluarganya (perikanan subsisten) dan yang bertujuan untuk maksud komersial yang dilakukan oleh masyarakat lokal yang memiliki keterampilan khusus menangkap ikan (perikanan artisanal). Kedua jenis usaha perikanan ini tergolong sebagai usaha perikanan berskala kecil karena memiliki produktivitas yang rendah.

Menurut Monintja (2008) nelayan tradisional merupakan nelayan kecil, yaitu mencakup nelayan subsisten, nelayan skala kecil dan mencakup sebagian besar nelayan artisanal, serta memiliki hak untuk diberdayakan oleh pemerintah melalui skim kredit, layanan pelatihan/pendidikan/penyuluhan, penumbuh-kembangkan kelompok dan koperasi perikanan. Istilah perikanan skala kecil yang sering juga disebut sebagai perikanan artisanal, sulit untuk didefinisikan karena memiliki pengertian ganda, istilah ini cenderung digunakan dalam keadaan yang berbeda di berbagai negara yang berbeda pula. Secara umum FAO (2008)


(27)

mengindikasikan perikanan artisanal sebagai perikanan tradisional termasuk perikanan skala rumah tangga (yang berbeda dengan perusahaan perikanan komersial), yang menggunakan modal dan energi dalam jumlah yang relatif kecil, jika menggunakan kapal maka berukuran relatif kecil, trip penangkapannya singkat di sekitar perairan pantai, hasil tangkapannya terutama untuk konsumsi lokal. Perikanan artisanal dapat berupa perikanan subsisten atau perikanan komersial, menangkap ikan dengan tujuan untuk konsumsi lokal atau ekspor. Terkadang perikanan artisanal merujuk pada perikanan skala kecil.

Jenis usaha perikanan lainnya adalah perikanan industri yang memiliki tujuan komersial yang jelas, yaitu memproduksi ikan yang akan diperdagangkan untuk keuntungan industri atau perusahaan. Mengingat berbagai upaya pembangunan yang telah dilakukan, maka perikanan di suatu wilayah (provinsi) tentu telah ada yang mengalami perubahan. Perubahan-perubahan tersebut dapat merubah komposisi jenis usaha penangkapan ikan dan peran setiap jenis usaha tersebut. Di masa lalu, sering dikatakan bahwa perikanan rakyat (yaitu perikanan subsisten dan artisanal) adalah ciri utama perikanan nasional. Bagaimana dalam situasi sekarang ini? Apakah ciri perikanan nasional tersebut masih tetap?

Kegiatan produktif dalam subsektor perikanan tangkap terwujud karena ada sejumlah unit penangkapan ikan dimana nelayan adalah ujung tombak dari subsektor ini. Faktor yang mempengaruhi tingkat produktivitas usaha perikanan tangkap di antaranya adalah jumlah kapal penangkapan ikan dan teknologi yang diterapkan. Semakin baik teknologi kapal dan alat penangkapan ikan maka akan meningkatkan intensitas penangkapan ikan dan semakin luas cakupan daerah operasi penangkapan ikan. Pemerintah berupaya untuk melakukan transformasi perikanan nasional dari industri perikanan yang sekedar memasok bahan mentah menjadi industri perikanan yang tidak hanya menghasilkan bahan mentah tetapi juga produk hasil olahan yang memiliki nilai tambah. Dampak dari transformasi tersebut di antaranya adalah semakin banyak produk ekspor yang bernilai tinggi. Peningkatan ini diharapkan akan menciptakan iklim usaha yang kondusif, menggerakkan ekonomi lokal dan memperluas penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat.


(28)

Kepentingan relatif perikanan rakyat dan perikanan industri dalam penelitian ini dikaji lebih lanjut dengan melihat indikator jumlah produksi perikanan, jumlah nelayan, besarnya armada, jumlah alat tangkap dan produksi hasil olahan yang dikelompokkan ke masing-masing skala usaha, yang hanya mencakup perikanan tangkap di perairan laut.

Salah satu cara untuk mengetahui status kepentingan relatif dari suatu kegiatan atau usaha adalah dengan menggunakan metode Location Quotient

(LQ). Metode LQdapatdigunakan untuk menganalisis status perkembangan suatu kegiatan atau usaha di daerah terhadap kegiatan atau usaha yang sama pada tingkat geografi yang lebih luas. LQ merupakan suatu indikator yang menunjukkan besar kecilnya peranan suatu kegiatan/usaha dalam suatu daerah dibandingkan dengan peranan kegiatan/usaha yang sama di daerah lain. Dalam penelitian ini, LQ digunakan untuk menentukan status perikanan rakyat dan perikanan industri di tiap provinsi. Karakteristik perikanan yang ditunjukkan oleh nilai LQ tersebut dapat dipakai untuk menentukan alokasi sumberdaya pembangunan yang jumlahnya terbatas. Kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka pemikiran

Perikanan tangkap

Nelayan Armada

Kepentingan relatif perikanan rakyat dan perikanan industri setiap provinsi Produksi

Analisis tingkat kepentingan relatif perikanan rakyat dan industri di tiap provinsi

Analisis LQ

Perikanan rakyat Perikanan industri


(29)

1.6 Hipotesis Penelitian

Dengan mempertimbangkan keanekaragaman daerah dan kerangka pemikiran di atas dapat diduga bahwa peran perikanan rakyat dan perikanan industri berbeda di setiap daerah.


(30)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembangunan Daerah

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemerataan pendapatan per kapita merupakan tolok ukur utama bagi pembangunan suatu daerah. Tolak ukur lainnya, seperti struktur politik, kepastian hukum, kelembagaan sosial, budaya, dan kelestarian lingkungan hidup berperan untuk kemajuan dan pemerataan dari waktu ke waktu. Sasaran utama yang banyak dicanangkan oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dalam pengembangan wilayahnya adalah meningkatkan pertumbuhan produktivitas (productivity growth), memeratakan distribusi pendapatan (income distribution), memperluas kesempatan berusaha atau menekan tingkat pengganguran (unemployment rate), serta menjaga pembangunan tetap berjalan secara berkesinambungan (sustainable development) (Alkadri dan Djajadiningrat 2002).

Salah satu tujuan dari kebijakan pembangunan adalah mengurangi perbedaan atau kesenjangan dalam tingkat perkembangan dan pembangunan dan kemakmuran antar daerah yang satu dengan daerah yang lain (Kadariah 1985). Adanya kesenjangan pembangunan antar daerah merupakan indikator dari tidak tercapainya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya di antara berbagai daerah. Untuk mendorong terwujudnya pemerataan pembangunan, perencanaan pembangunan daerah hendaknya juga menjadi bagian dari perencanaan pembangunan nasional hingga kini terus berkembang (Alkadri dan Djajadiningrat 2002). Setiap daerah mempunyai potensi pertumbuhan yang berbeda dengan daerah lain. Potensi sumberdaya alam, kondisi sosial, budaya, ekonomi masyarakat, ketersediaan infrastruktur, dan lain-lain sangat berpengaruh pada penerapan konsep pembangunan daerah yang dipergunakan. Secara garis besar, berikut ini dikemukakan beberapa konsep perencanaan pembangunan di suatu daerah (Alkadri dan Djajadiningrat 2002) :

(1)Perencanaan pembangunan daerah berbasis sumberdaya

Sumberdaya merupakan semua potensi yang dimilki oleh alam dan manusia, baik dalam bentuk tanah, bahan mentah, modal, tenaga kerja, keahlian, keindahan alam, maupun sosial budaya.


(31)

(2)Perencanaan pembangunan daerah berbasis komoditas unggulan

Konsep ini menekankan motor penggerak pembangunan suatu daerah pada komoditas-komoditas yang dinilai bisa menjadi unggulan, baik di tingkat domestik maupun internasional.

(3)Perencanaan pembangunan daerah berbasis efisiensi (free market mechanism) Konsep ini menekankan pembangunan daerah melalui pembangunan bidang ekonomi yang porsinya lebih besar dibandingkan bidang-bidang lainnya. Pembangunan ekonomi itu sendiri dijalankan dalam kerangka pasar bebas atau pasar persaingan sempurna (free market mechanism).

(4)Perencanaan pembangunan daerah menurut peranan pelaku pembangunan

Perencanaan pembangunan daerah dapat pula ditempuh dengan

mengedepankan peranan setiap pelaku pembangunan ekonomi. Menurut PBB (1968) yang diacu dalam Alkadri dan Djajadiningrat (2002), pelaku pembangunan ekonomi dipilah menjadi lima kelompok, yaitu :

1) Usaha kecil/rumah tangga (household), seperti petani, nelayan, pedagang, dan usaha kecil/rumah tangga lainnya.

2) Usaha lembaga sosial (nonprofit institution), seperti pendidikan, rumah sakit, lembaga keagamaan, dan usaha lembaga sosial lainnya.

3) Lembaga bukan keuangan (nonfinancial institution), seperti usaha pertambangan, perkebunan, industri tekstil, semen, mobil, dan berbagai bentuk usaha di sektor riil lainnya.

4) Lembaga keuangan (financial institution), seperti bank, asuransi, pegadaian, pasar modal, dan lembaga keuangan lainnya.

5) Pemerintah (government), baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, melalui BUMN dan BUMD.

Di Indonesia, di samping kelima pelaku di atas dapat pula ditambah satu pelaku, yaitu koperasi yang mempunyai dasar hukum sangat kuat sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. Perencanaan daerah dimaksudkan agar semua daerah dapat melaksanakan pembangunan secara proposional dan merata sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh daerah tersebut. Manfaat perencanaan daerah adalah untuk pemerataan pembangunan. Apabila perencanaan dan pembangunan


(32)

daerah berkembang dengan baik, maka diharapkan daerah dapat tumbuh dan berkembang atas kekuatan sendiri (Soekartawi 1990).

Menurut Anwar dan Rustiadi (2000), perencanaan pembangunan selalu memerlukan skala prioritas, karena (1) setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda kepada pencapaian sasaran-sasaran pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan regional dan lain-lain), (2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda, dan (3) aktivitas sektoral tersebar tidak merata dan bersifat spesifik, sehingga beberapa sektor cenderung terpusat dan terkait dengan sebaran sumberdaya alam, sumberdaya buatan (infrastruktur) dan sumberdaya sosial (adat istiadat) yang ada. Oleh karena itu di setiap wilayah/daerah selalu terdapat sektor-sektor yang bersifat strategis akibat besarnya sumbangan yang diberikan dalam perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan aspek spasialnya

Dalam perencanaan pembangunan daerah terdapat teknik analisis daerah yang dapat dipergunakan untuk menentukan atau memilih aktivitas ekonomi yang dikembangkan dalam suatu daerah atau menentukan lokasi yang sesuai dengan aktivitas ekonomi. Teknik-teknik analisis tersebut di antaranya adalah basis ekonomi, multplier effect, model gravitasi, analisis titik pertumbuhan dan analisis

input-output (Richardson 1991).

2.2 Location Quotient (LQ)

Location quotient (LQ) adalah nilai yang digunakan dalam ekonomi dan geografis untuk mengukur konsentrasi relatif dari suatu aktivitas (Djira et al

2008). Teknik Location quotient (LQ) merupakan suatu pendekatan yang umum digunakan dalam model basis ekonomi sebagai langkah awal untuk memahami sektor kegiatan yang menjadi pemacu pertumbuhan (Hendrayana 2003). Inti dari model basis ekonomi menerangkan bahwa arah dan pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh ekspor wilayah. Ekspor itu sendiri tidak terbatas pada bentuk barang-barang dan jasa, akan tetapi dapat juga berupa pengeluaran orang asing yang berada di wilayah tersebut terhadap barang-barang tidak bergerak (Budiharsono 2001).


(33)

Teori basis ekonomi mengklasifikasikan seluruh kegiatan ekonomi ke dalam dua sektor, yaitu sektor basis dan sektor nonbasis. Dijelaskan Hendrayana (2003) bahwa kegiatan basis merupakan kegiatan suatu masyarakat yang hasilnya baik berupa barang maupun jasa ditujukan untuk ekspor ke luar dari lingkungan masyarakat atau yang berorientasi keluar, regional, nasional dan internasional. Konsep efisiensi teknis maupun efisiensi ekonomis sangat menentukan dalam pertumbuhan basis suatu wilayah. Menurut Tarigan (2006), kegiatan ekspor adalah semua kegiatan baik penghasil produk maupun penyedia jasa yang mendatangkan uang dari luar wilayah karena kegiatan basis. Lapangan kerja dan pendapatan di sektor basis adalah fungsi dari permintaan yang bersifat exogeneous

(tidak tergantung pada kekuatan intern atau permintaan lokal).

Semua kegiatan lain yang bukan kegiatan basis termasuk ke dalam kegiatan nonbasis atau sektor service atau pelayanan (Tarigan 2006). Menurut Temenggung (1999) pertumbuhan wilayah dalam jangka panjang tergantung industri ekspornya. Kekuatan utama pertumbuhan wilayah adalah permintaan dari luar akan barang dan jasa yang dihasilkan dan diekspor. Permintaan dari luar wilayah mempengaruhi penggunaan modal, tenaga kerja, dan teknologi untuk menghasilkan ekspor sehingga terbentuk keterkaitan ekonomi baik ke belakang maupun ke depan.

Kegiatan nonbasis merupakan kegiatan masyarakat yang hasilnya baik berupa barang atau jasa diperuntukkan bagi keperluan masyarakat itu sendiri dalam kawasan kehidupan ekonomi masyarakat tersebut. Konsep swasembada, mandiri, kesejahteraan dan kualitas hidup sangat menentukan dalam kegiatan nonbasis ini (Hendrayana 2003). Sektor nonbasis bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan konsumsi lokal, sehingga pendapatan masyarakat setempat berpengaruh terhadap sektor ini. Sektor ini tidak bisa berkembang melebihi pertumbuhan ekonomi wilayah, yang melebihi pertumbuhan alamiah adalah sektor basis (Tarigan 2006).

Untuk mengetahui suatu sektor basis atau nonbasis dapat digunakan metode location quotient (Budiharsono 2001). Teknik ini merupakan cara permulaan untuk mengetahui kemampuan suatu daerah dalam sektor kegiatan


(34)

tertentu (Idjaz 2007), dengan kata lain alat ukur kuantitatif untuk menganalisis potensi daerah.

Location quotient (LQ) adalah sebuah indeks yang mengukur tingkat kekhususan (overspecialization atau underspecialization) dari sektor tertentu dalam suatu daerah (Alkadri dan Djajadiningrat 2002). Teknik LQ banyak digunakan untuk membahas kondisi perekonomian, mengarah pada identifikasi spesialisasi kegiatan perekonomian atau mengukur konsentrasi relatif kegiatan ekonomi untuk mendapatkan gambaran dalam penetapan sektor unggulan sebagai

leading sector suatu kegiatan ekonomi (industri) (Hendrayana 2003). Dengan kata lain, menurut Alkadri dan Djajadiningrat (2002) LQ mengukur tingkat spesialisasi relatif suatu daerah di dalam aktivitas sektor perekonomian tertentu. Pengertian relatif ini dapat diartikan sebagai tingkat spesialisasi yang membandingkan suatu daerah dengan wilayah yang lebih besar dimana daerah yang diamati merupakan bagian dari wilayah tersebut. Wilayah yang lebih besar disebut sebagai wilayah referensi. Apabila wilayah yang diamati setingkat kabupaten atau kota, maka wilayah referensinya adalah provinsi.

Adapun variabel yang digunakan untuk menghasilkan koefisien di antaranya adalah jumlah tenaga kerja pada sektor tersebut, hasil produksi atau variabel lain yang dapat dijadikan kriteria, seperti nilai tambah bruto (Idjaz 2007). Menurut Hendrayana (2003), penggunaan teknik ini dalam penetapan sektor unggulan dalam suatu kegiatan ekonomi, dasar pembahasannya sering difokuskan pada aspek tenaga kerja dan pendapatan.

Metode location quotient dapat digunakan untuk mengetahui apakah suatu sektor tergolong sebagai basis atau nonbasis (Budiharsono 2001). Tarigan (2006) menyatakan metode LQ adalah membandingkan porsi lapangan kerja atau nilai tambah untuk sektor tertentu di wilayah yang dibandingkan dengan porsi lapangan kerja atau nilai tambah untuk sektor yang sama secara nasional. Asumsi yang digunakan adalah bahwa penduduk di setiap daerah mempunyai pola permintaan yang sama dengan pola permintaan tingkat nasional. Selain itu, permintaan wilayah akan suatu barang pertama-tama akan dipenuhi oleh hasil produksi wilayah itu sendiri, jika jumlah yang diminta melebihi jumlah produksi wilayah, maka kekurangannya diimpor. Sebaliknya, produksi yang dihasilkan terlebih


(35)

dahulu ditujukan untuk konsumsi lokal dan diekspor ke luar wilayah apabila terjadi surplus produksi. Hasil analisis LQ dinyatakan dengan nilai koefisien LQ. Apabila LQ kurang dari satu, maka wilayah yang bersangkutan harus mengimpor dari wilayah lain (nonbasis/non basic), jika nilai LQ sama dengan satu maka wilayah tersebut telah mencukupi dalam kegiatan tersebut, sedangkan jika nilai LQ lebih dari satu maka wilayah tersebut dapat melakukan ekspor atau memiliki potensi surplus (sektor basis/basic).

Menurut Tarigan (2006) secara umum rumus LQ adalah :

T t

I i

V v

V v LQ

dimana :

vi = pendapatan, nilai tambah, kesempatan kerja atau indikator lain dari industri atau sektor tertentu di suatu wilayah

VI = total pendapatan, nilai tambah, kesempatan kerja atau indikator lain di wilayah tersebut

vt = pendapatan, nilai tambah, kesempatan kerja atau indikator lain dari industri atau sektor tertentu di wilayah perbandingan yang lebih luas ( wilayah referensi )

VT = total pendapatan, nilai tambah, kesempatan kerja atau indikator lain di wilayah perbandingan yang lebih luas ( wilayah referensi ) Kelebihan metode LQ dalam mengindentifikasi komoditas unggulan antara lain penerapannya sederhana, mudah dan tidak memerlukan pengolahan data yang rumit. Penyelesaian analisis cukup dengan spread sheet dari program Excel atau Lotus, bahkan jika datanya tidak terlalu banyak kalkulator pun bisa digunakan (Hendrayana 2003). Keterbatasannya adalah karena demikian sederhananya pendekatan LQ ini, maka yang dituntut adalah akurasi data. Sebaik apapun hasil olahan LQ tidak akan banyak manfaatnya jika data yang digunakan tidak valid. Oleh karena itu sebelum memutuskan menggunakan analisis ini maka validitas data musiman dan tahunan diperlukan nilai rata-rata dari data series yang cukup panjang, sebaiknya tidak kurang dari 5 tahun. Sementara di lapangan,


(36)

mengumpulkan data yang panjang ini sering mengalami hambatan (Hendrayana 2003).

Menurut Alkadri dan Djajadiningrat (2002) LQ mempunyai beberapa kelemahan, di antaranya :

(1) Apabila daerah yang diamati memiliki peran penting maka nilai-nilai yang dimiliki oleh daerah tersebut akan mendekati nilai-nilai yang dimiliki oleh wilayah referensi, atau nilai LQ akan cenderung mendekati 1. Untuk kasus seperti ini, wilayah lain harus dicari sebagai referensi.

(2) Perbedaan produktivitas antar sektor dapat mengganggu gambaran

kesimpulan dari analisis. Di suatu daerah, sektor tertentu dapat mencapai tingkat spesialisasi yang tinggi (overspecialized) karena produktivitas tenaga kerjanya relatif lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Dengan demikian, spesialisasi sektor yang tinggi tersebut tidak tercermin dalam jumlah tenaga kerja, sehingga untuk kasus seperti ini, variabel lain dapat dipakai untuk menghitung indeks LQ, misalnya nilai tambah bruto sektor yang bersangkutan.

Masalah lain yang perlu dipertimbangkan adalah kemungkinan terjadinya perhitungan ganda (double accounting) jika di suatu daerah terdapat banyak pekerja yang berasal dari daerah lain, namun bukan penduduk yang terdaftar di lokasi yang diteliti (Tarigan 2006). Mobilitas pekerja tersebut menyebabkan batas-batas wilayah menjadi kabur, seperti dikatakan oleh Hendrayana (2003). Akibatnya hasil hitungan LQ terkadang aneh, tidak konsisten dengan yang diduga. Misalnya suatu wilayah provinsi diduga memiliki keunggulan di sektor non pangan, namun yang muncul malah pangan dan sebaliknya. Oleh karena itu data yang dijadikan sumber analisis perlu diperiksa kebenarannya dengan data lainnya, sehingga akan diperoleh hasil dengan tingkat konsistensi yang mantap dan akurat.

Dalam prakteknya, penggunaan teknik LQ tidak terbatas pada bahasan ekonomi saja akan tetapi juga dimanfaatkan untuk menentukan sebaran komoditas atau melakukan identifikasi wilayah berdasarkan potensinya. Berdasarkan pemahaman terhadap teori basis ekonomi, teknik LQ relevan digunakan sebagai metode dalam menentukan komoditas unggulan khususnya dari segi penawaran (produksi atau populasi) (Hendrayana 2003). Hendrayana (2003) menggunakan


(37)

teknik LQ untuk menentukan komoditas unggulan nasional yang berbasis lahan, seperti tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan, perhitungannya didasarkan pada luas lahan pertanian (areal tanam atau areal panen); sedangkan Susilawati et al. (2006) menentukan komoditas unggulan nasional di Provinsi Kalimantan Tengah dengan menggunakan data produksi atau produktivitas. Peneliti lain, yaitu Manese (2001), menentukan komoditas unggulan peternakan di Sulawesi Utara menggunakan jumlah populasi (ekor) dalam perhitungan LQ sedangkan Rumayar

et al. (2005) menentukan komoditas unggulan perikanan Kabupaten Buol Sulawesi Tengah menggunakan data produksi dalam perhitungan LQ.

2.3Klasifikasi Perikanan Tangkap

Di Indonesia, menurut UU No. 31 Tahun 2004, perikanan didefinisikan sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya, mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya. Perikanan tangkap dapat diklasifikasikan berdasarkan seperti pada Tabel 1.

Kegiatan penangkapan ikan di laut dapat dikembangkan dengan berbagai skala usaha, baik kecil, sedang atau menengah, maupun besar. Hal ini tentunya berkaitan dengan modal atau investasi yang akan dilakukan di bidang penangkapan ikan ini. Menurut Charles (2001) skala usaha perikanan tangkap dapat ditinjau dari berbagai faktor, di antaranya ukuran kapal yang dioperasikan, lokasi fishing ground dan tujuan produksinya. Berdasarkan faktor pertama, maka dikenal perikanan skala kecil (small scale fisheries) dan perikanan skala besar (large scale fisheries).

Menurut Direktorat Pengembangan Potensi Daerah Badan Koordinasi Penanaman Modal (2008), skala usaha dalam penangkapan ikan tergolong usaha kecil jika jumlah tenaga kerja yang terlibat kurang dari 20 orang. Apabila melibatkan tenaga kerja antara 20 – 99 orang, maka usaha penangkapan ikan tersebut tergolong usaha sedang. Jika melibatkan 100 orang atau lebih maka usaha


(38)

perikanan tersebut tergolong usaha besar. Adapun dari sisi modal, jika modal awalnya mencapai Rp. 2.235.000.000,- dengan spesifikasi meliputi jumlah kapal penangkap 1 buah, tenaga kerja 30 orang, pembelian peralatan tangkap ikan, kantor, sarana transportasi darat, perijinan, dan pembelian peralatan bantu lainnya maka usaha perikanan tersebut tergolong usaha sedang.

Tabel 1. Klasifikasi perikanan tangkap

No. Berdasarkan Klasifikasi Keterangan

1 Lokasi 1) Laut Perikanan pantai,

perikanan lepas pantai, perikanan samudera

2) Perairan umum Danau/waduk, sungai

2 Habitat 1) Perikanan demersal

2) Perikanan pelagis 3) Perikanan karang

3 Spesies target 1) Perikanan tuna

2) Perikanan cakalang 3) Perikanan udang 4) dan lain-lain

4 Alat tangkap 1) Perikanan purse seine

2) Perikanan gillnet

3) Perikanan pole and line

4) dan lain-lain

5 Tujuan 1) Komersial

2) Sport/rekreasi

6 Skala usaha 1) Skala kecil

2) Skala sedang 3) Skala besar 7 Tingkat teknologi 1) Tradisonal

2) Modern

8

Bio-Technico-Socio-Economic

1) Komersial Industri, artisanal

2) Subsisten

Sumber: Monintja (2006).

Menurut Smith (1983) usaha perikanan tangkap dapat dibedakan kedalam beberapa kategori, yaitu perikanan skala kecil atau skala besar, perikanan pantai atau lepas pantai, dan perikanan artisanal atau komersial. Penggolongan tersebut masih menjadi perdebatan hingga saat ini mengingat luasnya dimensi yang dilingkupi. Selanjutnya Smith (1983) mengemukakan bahwa skala usaha perikanan dapat juga dilihat dengan cara membandingkan perikanan berdasarkan situasi technico-socio-economic nelayan. Berdasarkan situasi tersebut kegiatan


(39)

perikanan dapat digolongkan ke dalam skala industri dan skala tradisional.

Berdasarkan tujuan pemanfaatan hasil tangkapan, Kesteven (1973)

mengelompokkan nelayan ke dalam tiga kelompok yaitu industri, artisanal dan subsisten. Nelayan industri dan artisanal berorientasi komersial sedangkan nelayan subsisten memanfaatkan hasil tangkapan untuk kebutuhan pangan harian dan kadang untuk ditukar melalui barter.

Pengelompokan skala usaha penangkapan ikan sering pula didasarkan pada ukuran kapal atau besarnya tenaga mesin, jenis alat tangkap dan jarak daerah penangkapan (fishing ground) dari pantai. Penggolongan skala usaha perikanan tangkap di Indonesia umumnya dilakukan berdasarkan ukuran kapal dan jenis atau tipe mesin. Menurut data yang tersedia di dalam statistik perikanan tangkap, skala usaha penangkapan ikan dapat diklasifisikasikan berdasarkan ukuran kapal yang digunakan. Usaha penangkapan ikan yang menggunakan kapal berukuran lebih kecil atau kurang dari 5 GT dikategorikan sebagai usaha kecil, sedangkan usaha yang menggunakan perahu berukuran lebih besar dari 5 GT digolongkan sebagai usaha besar.

Menurut Monintja (2008) nelayan tradisional merupakan nelayan kecil, yaitu mencakup nelayan subsisten, nelayan skala kecil dan mencakup sebagian besar nelayan artisanal, serta memiliki hak untuk diberdayakan oleh pemerintah melalui skim kredit, layanan pelatihan/pendidikan/penyuluhan, penumbuh-kembangkan kelompok dan koperasi perikanan. Istilah perikanan skala kecil yang sering juga disebut sebagai perikanan artisanal, sulit untuk didefinisikan karena memiliki pengertian ganda, istilah ini cenderung digunakan dalam keadaan yang berbeda di berbagai negara yang berbeda pula. Secara umum FAO (2008) mengindikasikan perikanan artisanal sebagai perikanan tradisional termasuk perikanan skala rumah tangga (yang berbeda dengan perusahaan perikanan komersial), yang menggunakan modal dan energi dalam jumlah yang relatif kecil, jika menggunakan kapal maka berukuran relatif kecil, trip penangkapannya singkat di sekitar perairan pantai, hasil tangkapannya terutama untuk konsumsi lokal. Perikanan artisanal dapat berupa perikanan subsisten atau perikanan komersial, menangkap ikan dengan tujuan untuk konsumsi lokal atau ekspor. Terkadang perikanan artisanal merujuk pada perikanan skala kecil.


(40)

Tabel 2. Perbandingan nelayan industri, artisanal dan subsisten berdasarkan keadaan technico-socio-economic

Komersial Subsisten

Industri Artisanal

Unit penangkapan Stabil, terdapat pembagian tenaga kerja (divisi) dan prospek karir

Stabil, kurang terspesialisasi tanpa pembagian tenaga kerja

Menggunakan tenaga sendiri, atau keluarga atau kelompok masyarakat

Kapal Bertenaga mesin,

dengan banyak perlengkapan/ peralatan

Kecil, dengan motor tempel

Tidak ada, atau menggunakan kano

Peralatan Buatan mesin,

peralatan lainnya dirakit Sebagian atau seluruhnya menggunakan bahan/material buatan mesin, dirakit oleh nelayan Menggunakan bahan/material buatan tangan, dirakit oleh nelayan

Pelaksanaan pekerjaan

Dengan bantuan mesin

Bantuan mesin minim

Dioperasikan dengan tangan/manual

Investasi Tinggi; dengan

proporsi yang besar ketimbang yang dihasilkan nelayan Rendah; seluruhnya dihasilkan oleh nelayan Tidak ada

Hasil tangkapan Besar Menengah hingga

rendah

Rendah hingga sangat rendah Penempatan hasil

tangkapan

Dijual ke pasar yang telah terorganisir

Dijual ke pasar lokal yang tidak terorganisir, signifikan dikonsumsi oleh nelayan sendiri

Khusus dikonsumsi oleh nelayan sendiri, keluarganya dan kelompoknya; ditukar melalui barter Status ekonomi nelayan

Seringkali kaya Menengah kebawah

minimal Kondisi sosial Terasimilasi

(perpaduan)

Kerap terpisah Merupakan masyarakat yang terisolasi

Sumber : Kesteven (1973)

Perikanan skala kecil dan artisanal jelas berbeda dengan perikanan industri dan perikanan rekreasi. Kosa kata FAO (2008) cenderung menyamakan

“perikanan artisanal” dengan “perikanan skala kecil”. Namun, dari sudut pandang

seorang ahli teknologi, kedua jenis perikanan ini berkaitan tetapi terdapat konsep berbeda yang berkaitan dengan ukuran unit penangkapan (skala), dan berkaitan dengan tingkat teknologi yang menggambarkan sebagai modal investasi per nelayan di atas kapal (FAO 2008).


(41)

Suatu jarak dari metode penangkapan dapat juga digolongkan ke dalam perikanan skala kecil atau artisanal, dimana kapal tidak digunakan dan teknologi yang digunakan sangat sederhana. Metode penangkapan ini termasuk pukat pantai (beach seine), bermacam jaring lempar (cast) dan jaring angkat (lift net), pancing di pantai, perangkap ikan, dan pemanenan manual (rumput laut, kerang, kepiting dan lain-lain), yang dioperasikan di daerah pesisir (FAO 2008).

Perikanan skala kecil dan perikanan artisanal sering kali bersaing dengan perikanan industri sehingga menimbulkan konflik. Perikanan industri memiliki lebih banyak keunggulan dibanding dengan perikanan skala kecil atau artisanal, namun beberapa kelebihan dari perikanan skala kecil dan artisanal menurut (FAO 2008) di antaranya adalah:

(1) Biaya operasi dan konsumsi bahan bakar lebih rendah (2) Dampak ekologi lebih rendah

(3) Kesempatan kerja yang lebih besar, secara lokal perikanan artisanal membentuk kegiatan ekonomi dan memberikan mata pencaharian untuk masyarakat desa bahkan perkotaan, dan akses terlibat dalam perikanan skala kecil sangat terbuka bagi orang yang tidak mempunyai pekerjaan atau keahlian.

(4) Lebih mudah beroperasi di perairan yang lebih dangkal (5) Biaya konstruksi yang lebih rendah

(6) Lebih sedikit menggunakan teknologi mahal

2.4 Produksi

Secara global, perikanan artisanal memproduksi sekitar 50% dari hasil tangkapan perikanan tangkap dunia, dimanfaatkan untuk konsumsi masyarakat, kontribusi yang signifikan bagi ketahanan pangan khususnya di daerah pedesaan (FAO 2008).

Tabel berikut menunjukkan trend produksi perikanan tangkap yang cenderung meningkat dari tahun 2000 sampai 2005, dengan nilai produksinya masing-masing.


(42)

Tabel 3. Trend produksi dan nilai produksi perikanan tangkap (2000-2005)

Tahun

Perikanan Laut (ton)

Perikanan Perairan Umum (ton)

Total Produksi

(ton)

Total Nilai Produksi (Rp 1000)

2000 3.807.191 318.334 4.125.525 24.044.822.088

2001 3.966.480 310.240 3.997.504 26.773.560.675

2002 4.073.506 304.989 4.378.495 28.986.862.096

2003 4.383.103 308.693 4.691.796 31.584.962.809

2004 4.320.241 330.890 4.651.131 20.052.180.265

2005 4.408.499 297.370 4.705.869 36.171.338.838

Sumber: Statistik Kelautan dan Perikanan Tahun 2006, DKP (2007)

Menurut statistik perikanan FAO, Indonesia pada tahun 2005 menduduki peringkat ke-5 dunia sebagai negara penghasil produk perikanan dari hasil penangkapan dengan nilai ekspor sebesar 1.802.961 juta U$ merupakan peringkat ke-13 di dunia (DKP 2007). Produksi ikan suatu daerah dapat dianggap sebagai potensi ketersediaan ikan di daerah tersebut. Bila perdagangan antar pulau dan ekspor-impor tidak signifikan jumlahnya dibandingkan dengan produksi lokal maka jumlah ikan yang tersedia atau pasokan ikan akan semakin kuat. Produksi ikan di setiap daerah dapat digunakan pula untuk menggambarkan status pengusahaan sumberdaya perikanan di perairan daerah yang bersangkutan. Untuk kepentingan ini, pemerintah Indonesia membagi perairan nusantara (termasuk ZEE) menjadi sembilan daerah pengelolaan (management area) (Nikijuluw 2005).

Namun ke sembilan daerah pengelolaan atau wilayah pengelolaan perikanan (WPP) telah disempurnakan oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan (2007) menjadi sebelas WPP, kesebelas daerah itu adalah WPP 571 yaitu Selat Malaka dan Laut Andaman, WPP 572 yaitu Samudera Hindia Barat Sumatra dan Selat Sunda, WPP 573 yaitu Samudera Hindia Selatan Jawa hingga Nusa Tenggara, WPP 711 yaitu Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut Cina Selatan, WPP 712 yaitu Laut Jawa, WPP 713 yaitu Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Bali, WPP 714 yaitu Laut Banda, WPP 715 yaitu Laut Aru, Laut Arafura dan Laut Timor, WPP 716 yaitu Laut Maluku, Teluk Tomini dan Laut Seram, WPP 717 Laut Sulawesi dan Laut Halmahera, dan WPP 718 yaitu Samudera Pasifik.


(43)

Wilayah Selat Malaka telah mengalami tekanan penangkapan ikan yang cukup berat dengan tingkat pemanfaatan sumberdaya sekitar 112%. Laut Jawa berada dalam kondisi tangkap yang hampir jenuh (89% dari potensi lestari). Sementara produksi Selat Malaka dan Laut Jawa memberikan gambaran yang kurang cerah, di daerah pantai selatan Jawa dan pantai barat Sumatera peluang pengembangan perikanan tangkapnya masih terbuka. Di Indonesia Timur, kecuali Laut Flores dan Laut Sulawesi, pemanfaatannya masih tergolong rendah. Demikian pula masih terbuka peluang pengembangan di Samudera Indonesia yang menyangkut pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, Bali, NTB dan NTT. Jadi bila saja ketersediaan sumberdaya ikan dan tingkat pemanfaatannya ini menjadi indikator pemasokan ikan maka dapat dikatakan kawasan timur Indonesia, pantai selatan Jawa dan pantai barat Sumatera masih memiliki peluang untuk pengembangan pemasokan atau penyediaan ikan (Nikijuluw 2005).

Sekitar separuh seafood dunia ditangkap atau dikumpulkan oleh nelayan-nelayan perikanan skala kecil, dengan mengoperasikan berjuta-juta alat tangkap dengan berbagai jenis (Ben-Yami 2000). Menurut Dahuri (2003) belum optimalnya produksi yang dihasilkan sektor perikanan terutama karena disebabkan rendahnya produktivitas nelayan dalam kegiatan perikanan tangkap. Rendahnya produktivitas nelayan disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu :

(1)Sebagian besar nelayan merupakan nelayan tradisional dengan teknologi penangkapan yang tradisional pula sehingga kapasitas tangkapnya rendah. (2)Adanya ketimpangan tingkat pemanfaatan stok antar kawasan perairan laut.

Di satu pihak terdapat kawasan-kawasan perairan yang mengalami kondisi

overfishing.

(3)Telah terjadinya kerusakan lingkungan ekosistem laut, seperti kerusakan hutan

mangrove, terumbu karang, dan padang lamun (seagrass bed), yang merupakan habitat ikan dan organisme laut lainnya berpijah, mencari makan atau membesarkan diri (nursery ground).

Pembangunan perikanan, sesuai dengan karakteristik sumberdaya perikanan Indonesia, berbasis pada ikan yang jamak jenisnya (multi-species). Pembangunan selayaknya mempertimbangkan aspek keragaman sumberdaya ikan. Namun demi untuk mendapatkan titik fokus pembangunan dan agar supaya


(1)

FPI pukat tarik = produktivitas pukat tarik/produktivitas pukat cincin

0.60 FPI pukat cincin = produktivitas pukat cincin/produktivitas pukat cincin 1

FPI pancing = produktivitas pancing/produktivitas pukat cincin

0.09

STANDARISASI JUMLAH ALAT TANGKAP PUKAT TARIK

No Provinsi Jumlah

2003 2004 2005 2006 2007 (unit) 1 Nangroe Aceh Darussalam 191

466

221

126

212

1,216 2 Sumatera Utara 234

737

743

895

269

2,878 3 Sumatera Barat -

- - -

-

-

4 Riau 264

154

340

340

340

1,438

5 Jambi 98

102

269

173

267

910 6 Sumatera Selatan -

- - -

-

- 7 Bangka Belitung -

1,132

1,148

1,490

1,494

5,264 8 Bengkulu -

- - -

-

- 9 Lampung -

- - -

-

- 10 Banten -

- - -

-

- 11 DKI Jakarta 406

- -

314

303

1,023 12 Jawa Barat 1

-

596

596

355

1,549 13 Jawa Tengah -

- - -

23

23 14 DI. Yogyakarta -

- - -

-

- 15 Jawa Timur 22

80 -

16

13

130

16 Bali -

-

3

19

-

22

17 NTB -

- - -

-

-

18 NTT -

- - -

-

- 19 Kalimantan Barat 165

748

777

761

690

3,141 20 Kalimantan Tengah -

14

367

459

272

1,112 21 Kalimantan Selatan 54 - -


(2)

52 - 106

22 Kalimantan Timur 3,861 181 - 50 221 4,314 23 Sulawesi Utara 38

38 41 44 44 206 24 Gorontalo 15

31 34 - 43 123 25 Sulawesi Tengah - - - - - - 26 Sulawesi Selatan - - - 49 - 49 27 Sulawesi Tenggara 182

246 252 788 656 2,125 28 Maluku 29

107 102 126 136 500 29 Maluku Utara - - - - - - 30 Papua 439

523 443 469 266 2,140 Jumlah 6,001 4,610 5,338 6,716 5,604 28,270

Lampiran 4. Standarisasi jumlah alat tangkap perikanan industri tahun 2003-2007

No. Provinsi TAHUN 2003 2004 2005 2006 2007 1 Nangroe Aceh Darussalam 2,255 2,538 1,381 1,291 1,415 2 Sumatera Utara 2,316 2,468 2,534 3,467 2,593 3 Sumatera Barat 110 110 118 137 88

4 Riau 1,333 1,029 372 411 419

5 Jambi 117 119 287 185 301

6 Sumatera Selatan 14 - - 8 8

7 Bangka Belitung 1,154 1,985 1,819 4,598 7,741 8 Bengkulu 88 87 84 108 157

9 Lampung 439 535 553 544 633

10 Banten 51 52 53 55 132

11 DKI Jakarta 861 295 307 1,051 1,035 12 Jawa Barat 354 256 914 965 688

13 Jawa Tengah 2,763 1,531 3,248 3,875 2,112 14 DI. Yogyakarta 35 41 16 22 33

15 Jawa Timur 2,918 3,114 2,874 3,008 4,560 16 Bali 1,063 1,266 1,107 1,146 998

17 NTB 715 895 929 1,072 1,070 18 NTT 1,733 1,701 1,637 1,406 2,119 19 Kalimantan Barat 357 974 1,038 1,041 947

20 Kalimantan Tengah 714 467 1,084 692 450

21 Kalimantan Selatan 688 662 188 456 171

22 Kalimantan Timur 4,126 1,354 4,251 4,162 4,208 23 Sulawesi Utara 1,056 1,090 1,295 1,443 1,420 24 Gorontalo 175 179 197 193 182 25 Sulawesi Tengah 398 1,513 1,632 2,094 2,135


(3)

26 Sulawesi Selatan 3,399 2,750 3,057 2,366 3,273 27 Sulawesi Tenggara 1,017 1,208 2,030 2,379 1,402 28 Maluku 787 1,722 891 927 1,704 29 Maluku Utara 317 241 254 273 345 30 Papua 1,238 1,332 962 1,202 1,087 Jumlah 32,593 31,514 35,111 40,576 43,428


(4)

Lampiran 5. Alat tangkap PI dan PR

No Provinsi

Tahun

2003

2004

2005

PI

PR

Total

PI

PR

Total

PI

PR

Total

1 Nangroe Aceh Darussalam 2,255

1,375 3,630 2,538

1,356 3,894 1,381

1,064 2,445 2 Sumatera Utara

2,316

2,398 4,714 2,468

1,634 4,102 2,534

1,683 4,217 3 Sumatera Barat

110

2,091 2,201 110

1,356 1,466 118

1,371 1,489 4 Riau

1,333

2,785 4,118 1,029

2,973 4,002 372

684 1,056 5 Jambi

117

380 497

119 317 436 287

217 504 6 Sumatera Selatan

14

511 525 - 549 549 -

514 514 7 Bangka Belitung

1,154

3,151 4,305 1,985

3,056 5,041 1,819

4,346 6,165 8 Bengkulu

88

344 432

87 344 431 84

336 420 9 Lampung

439

2,177 2,616 535

1,943 2,478 553

1,991 2,544 10 Banten

51

571 622

52 776 828 53

859 912 11 DKI Jakarta

861

842 1,703

295 775 1,070 307

801 1,108 12 Jawa Barat

354

1,774 2,128 256

2,701 2,957 914

3,453 4,367 13 Jawa Tengah

2,763

4,218 6,981 1,531

3,810 5,341 3,248

4,263 7,511 14 DI. Yogyakarta

35

807 842

41 254 295 16

69 85

15 Jawa Timur

2,918

10,356 13,274 3,114

11,401 14,515 2,874

12,837 15,711 16 Bali

1,063

1,183 2,246 1,266

1,085 2,351 1,107

1,165 2,272 17 NTB

715

1,294 2,009 895

1,278 2,173 929

1,288 2,217 18 NTT

1,733

3,660 5,393 1,701

3,761 5,462 1,637

3,523 5,160 19 Kalimantan Barat

357

679 1,036

974 647 1,621 1,038

859 1,897 20 Kalimantan Tengah

714

672 1,386

467 816 1,283 1,084

1,208 2,292 21 Kalimantan Selatan

688

1,646 2,334 662

2,050 2,712 188

1,660 1,848 22 Kalimantan Timur

4,126

12,280 16,406 1,354

11,095 12,449 4,251

16,549 20,800 23 Sulawesi Utara

1,056

1,119 2,175 1,090

1,125 2,215 1,295

1,055 2,350 24 Gorontalo

175

292 467

179 292 471 197


(5)

25 Sulawesi Tengah

398

1,556 1,954 1,513

2,155 3,668 1,632

2,392 4,024 26 Sulawesi Selatan

3,399

5,258 8,657 2,750

5,278 8,028 3,057

3,641 6,698 27 Sulawesi Tenggara

1,017

2,218 3,235 1,208

2,054 3,262 2,030

2,392 4,422 28 Maluku

787

2,323 3,110 1,722

8,155 9,877 891

2,273 3,164 29 Maluku Utara

317

297 614

241 203 444 254

219 473 30 Papua

1,238

2,447 3,685 1,332

2,491 3,823 962

2,563 3,525 Jumlah Per Sektor Nasional

32,591 70,704 103,295 31,514 75,730 107,244 35,112

75,582 110,694

Lampiran 6. Nilai LQ alat tangkap

No Provinsi

Tahun

2003

2004

2005

2006

2007

LQ PI

LQ

PR

LQ PI

LQ

PR

LQ PI

LQ PR LQ PI LQ PR LQ P

1 Nangroe Aceh Darussalam

1.97 0.55 2.22 0.49 1.78 0.64 0.12 1.13 1. 2 Sumatera Utara

1.56 0.74 2.05 0.56 1.89 0.58 0.32 1.10 1. 3 Sumatera Barat

0.16 1.39 0.26 1.31 0.25 1.35 0.13 1.13 0. 4 Riau

1.03 0.99 0.87 1.05 1.11 0.95 2.48 0.79 0. 5 Jambi

0.75 1.12 0.93 1.03 1.80 0.63 3.51 0.64 1. 6 Sumatera Selatan

0.08

1.42 -

1.42 -

1.46

0.03

1.14 0. 7 Bangka Belitung

0.85 1.07 1.34 0.86 0.93 1.03 3.55 0.63 1. 8 Bengkulu

0.65 1.16 0.69 1.13 0.63 1.17 0.94 1.01 0. 9 Lampung

0.53 1.22 0.73 1.11 0.69 1.15 4.79 0.45 0. 10 Banten

0.26 1.34 0.21 1.33 0.18 1.38 0.22 1.11 0. 11 DKI Jakarta

1.60 0.72 0.94 1.03 0.87 1.06 3.34 0.66 1. 12 Jawa Barat

0.53 1.22 0.29 1.29 0.66 1.16 1.73 0.89 0. 13 Jawa Tengah

1.25 0.88 0.98 1.01 1.36 0.83 4.35 0.51 1. 14 DI. Yogyakarta

0.13 1.40 0.47 1.22 0.59 1.19 2.14 0.83 0. 15 Jawa Timur

0.70 1.14 0.73 1.11 0.58 1.20 1.77 0.89 1. 16 Bali

1.50 0.77 1.83 0.65 1.54 0.75 4.15 0.54 1. 17 NTB

1.13 0.94 1.40 0.83 1.32 0.85 0.88 1.02 1.


(6)

18 NTT

1.02

0.99

1.06

0.98

1.00

1.00

2.00

0.86 1. 19 Kalimantan Barat

1.09

0.96

2.04

0.57

1.73

0.66

4.32

0.52 1. 20 Kalimantan Tengah

1.63

0.71

1.24

0.90

1.49

0.77

2.05

0.85 0. 21 Kalimantan Selatan

0.93

1.03

0.83

1.07

0.32

1.32

0.64

1.05 0. 22 Kalimantan Timur

0.80

1.09

0.37

1.26

0.64

1.17

2.44

0.79 0. 23 Sulawesi Utara

1.54

0.75

1.67

0.72

1.74

0.66

3.92

0.58 1. 24 Gorontalo

1.19

0.91

1.29

0.88

1.23

0.89

0.94

1.01 0. 25 Sulawesi Tengah

0.65

1.16

1.40

0.83

1.28

0.87

2.13

0.84 1. 26 Sulawesi Selatan

1.24

0.89

1.17

0.93

1.44

0.80

1.28

0.96 1. 27 Sulawesi Tenggara

1.00

1.00

1.26

0.89

1.45

0.79

2.30

0.81 0. 28 Maluku

0.80

1.09

0.59

1.17

0.89

1.05

0.81

1.03 1. 29 Maluku Utara

1.64

0.71

1.85

0.65

1.69

0.68

0.35

1.09 1. 30 Papua

1.06

0.97

1.19

0.92

0.86

1.06

2.35

0.80 0.