Pengaruh Pengasuhan Ibu Dan Nenek Terhadap Perkembangan Kemandirian Dan Kognitif Anak Usia Prasekolah

(1)

PENGARUH PENGASUHAN IBU DAN NENEK

TERHADAP PERKEMBANGAN KEMANDIRIAN DAN

KOGNITIF ANAK USIA PRASEKOLAH

EKA WULIDA LATIFAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK

CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Pengasuhan Ibu dan Nenek terhadap Perkembangan Kemandirian dan Kognitif Anak Usia Prasekolah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2016

Eka Wulida Latifah


(4)

RINGKASAN

EKA WULIDA LATIFAH. Pengaruh Pengasuhan Ibu dan Nenek terhadap Perkembangan Kemandirian dan Kognitif Anak Usia Prasekolah. Dibimbing oleh DIAH KRISNATUTI dan HERIEN PUSPITAWATI.

Pengasuhan nenek merupakan salah satu isu yang penting dalam pengasuhan. Fenomena ini menjadi pilihan bagi para ibu bekerja. Keikutsertaan nenek dalam merawat cucu merupakan salah satu bentuk dukungan pada keluarga ibu bekerja. Pengasuhan ibu dan pengasuhan nenek menjadi hal yang penting dalam mendukung pengasuhan yang optimal pada anak yang ditinggal bekerja oleh ibunya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh karakteristik anak, karakteristik ibu, karakteristik nenek, gaya pengasuhan ibu dan nenek, serta kelekatan anak saat bersama ibu dan nenek terhadap perkembangan kemandirian dan kognitif anak.

Populasi penelitian ini adalah seluruh anak usia prasekolah dari ibu bekerja yang diasuh oleh nenek dan anak usia prasekolah yang diasuh oleh ibu rumah tangga. Contoh penelitian ini adalah anak usia prasekolah yang berada di tiga kelurahan terpilih yaitu Kelurahan Pasir Jaya, Kelurahan Gunung Batu, dan Kelurahan Bubulak. Contoh dalam penelitian ini dipilih dengan menggunakan tehnik sensus pada populasi anak usia prasekolah yang diasuh nenek dan tehnik proportional randomsampling pada populasi anak usia prasekolah yang diasuh ibu. Berdasarkan dua tehnik ini diperoleh sebanyak 52 orang nenek, 104 orang ibu dan 104 anak usia prasekolah sehingga total partisipan dalam penelitian ini adalah 260 orang. Data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer (metode wawancara dan observasi) dan data sekunder (karakteristik anak usia prasekolah). Pengolahan dan analisis data dilakukan secara deskriptif (tabulasi silang) dan inferensia (regresi).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nenek dan ibu bekerja menerapkan gaya pengasuhan otoritatif yang cukup baik. Gaya pengasuhan otoriter sedikit diterapkan oleh ibu rumah tangga. Pada keluarga ibu bekerja, penerapan gaya pengasuhan yang permisif pada nenek lebih terlihat dibandingkan dengan ibu. Anak memiliki respon kasih sayang yang lebih baik saat bersama dengan ibunya. Kelekatan yang terjalin pada anak saat bersama dengan ibunya memiliki tingkat yang cukup aman. Hal yang serupa terjadi pada keluarga ibu bekerja dimana anak memiliki kelekatan yang aman. Perkembangan kognitif dan kemandirian anak pada kedua kelompok (anak yang diasuh nenek dan anak yang diasuh ibu rumah tangga) menunjukkan hasil yang baik.

Anak yang memiliki kelekatan yang aman secara bersamaan dengan ibu dan neneknya memiliki skor perkembangan kognitif yang lebih baik. Anak perempuan memiliki kelebihan dalam kemandirian, sementara anak laki-laki memiliki kelebihan dalam perkembangan kognitif. Anak yang diasuh ibu memiliki kelemahan dalam kemandirian berkomunikasi, kemandirian bergerak dan perkembangan kognitif. Sementara anak yang diasuh nenek memiliki kelemahan dalam kemandirian berpakaian.


(5)

Penerapan gaya pengasuhan yang otoritatif dan kelekatan yang aman akan dapat membantu anak untuk menjadi lebih mandiri dan cerdas.

Usia ibu, lama pendidikan ibu, gaya pengasuhan ibu, dan lama pendidikan nenek memiliki pengaruh terhadap kemandirian anak. Kelekatan anak-ibu, usia nenek, lama pendidikan nenek, usia awal saat cucu diasuh pertama kali, dan kelekatan anak-nenek mempengaruhi perkembangan kognitif anak.

Kata kunci : kemandirian, perkembangan kognitif, gaya pengasuhan, kelekatan


(6)

SUMMARY

EKA WULIDA LATIFAH. The Effect of Parenting and Grandparenting on Autonomy and Cognitive’s Development of Preschool Children. Supervised by DIAH KRISNATUTI and HERIEN PUSPITAWATI.

Grandparenting is one of the crucial issues on parenting. This issue has become a choice for working mothers. Grandmother’s involvement in

grandchild’s care is one of supports for working mothers’ family. Parenting and grandparenting is an important thing to support optimal parenting on children that left by their mothers for working. This study was aimed to

analyze the effect of children, mothers and grandmothers’ characteristics, parenting styles and attachment on child’s autonomy and cognitive development.

The population is all of preschool children from working mothers who are taken care by grandmothers and all of preschool children from housewives.The sample is preschool children who lived in three subdistricts that were chosen, which where Pasir Jaya, Gunung Batu, and Bubulak subdistricts. The sample in this research was chosen by sensus technic at preschool children who are taken care by their grandmothers and

proportionalrandom sampling technic at preschool children who are taken

care by their mothers. Based on two of these technic, obtained 52

grandmothers, 104 mothers, and 104 preschool children untill total

paticipants in this research were 260 participants. This study used primer data (interview and observation method) and secunder data (preschool characteristic). Data analysis used by descriptive (cross tab) and inferensia (regression).

The result showed that grandmothers and working mothers used quite good of authoritaive parenting styles.Authoritatian parenting style used by housewives with little number. At working mothers’ family, implementation of permissive parenting styles of grandmother is more visible than mother. Children have affection respons that are better when they are together with their mothers. Attachment interweave is quite secure at children when they stay together with their mothers. This similar with working mothers’ family where children have secure attachment with their mothers. Cognitive and autonomy development of children at two groups (child who are taken care by their grandmothers and their mothers) showed good result.

Children who have secure attachment contemporaneously with their mothers and grandmothers, they have cognitive scor that is better than the others. Girls have excellence in autonomy and boys have excellence in cognitive. Children who are taken care by their mothers have weaknesses at

communication autonomy, locomotion autonomy, and cognitive

development. Children who are taken care by grandmothers have a weakness at self-help dressing. The implementation of authoritative parenting style and secure attachment will help children to be more independent and intelligent.

Mother’s age, mother’s education, mother’s parenting style, and grandmother’s education have effects on children autonomy.


(7)

Children-mother attachment, grandChildren-mother’s age, grandChildren-mother’s education, first time age when grandchildren taken care by grandmothers, and children-grandmothers attachment affects children’s cognitive.

Keywords: autonomies, cognitive development, parenting styles,


(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak

PENGARUH PENGASUHAN IBU DAN NENEK

TERHADAP PERKEMBANGAN KEMANDIRIAN

DAN KOGNITIF ANAK USIA PRASEKOLAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016


(10)

(11)

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Pengaruh Gaya Pengasuhan Ibu dan Nenek terhadap Perkembangan Kemandirian dan Kognitif Anak Usia Prasekolah. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr.Ir. Diah Krisnatuti, MS selaku ketua komisi pembimbing yang selalu memberikan arahan, masukan dan bimbingan, serta nasihat yang membangun kepada penulis

2. Dr.Ir. Herien Puspitawati, MSc, MSc selaku anggota komisi pembimbing dan ketua program studi yang selalu memberikan arahan, masukan dan bimbingan, serta nasihat yang membangun kepada penulis

3. Ibu saya, Maridah, suami saya Abdul Gani, S.Si serta kedua putri saya tercinta Aulia Syifa Al Ghina dan Hilma Salsabila Az Zahra atas dukungan, motivasi, doa, cinta dan kasih sayang, serta semangat yang tidak pernah henti diberikan untuk penulis

4. Pemerintah Kecamatan Bogor, beserta para kader Posyandu Kelurahan Pasirjaya, Gunung Batu, Bubulak dan seluruh responden yang terlibat dalam penelitian ini

5. Teman-teman IKA 2012, IKA 2013, IKA 2014, Mardita Kurnia Putri dan Saniatu Aini sebagai teman seperjuangan penelitian atas pengertian dan bantuan yang diberikan serta selalu bersama memberikan semangat dan motivasi

6. Semua pihak yang belum disebutkan namanya yang telah memberikan kontribusi dalam penulisan thesis ini.

Semoga penelitian ini dapat bermanfaat.

Bogor, Maret 2016


(13)

(14)

DAFTAR ISI

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Teori Struktural Fungsional 6

Pengasuhan 9

Gaya Pengasuhan 10

Pengasuhan Nenek 13

Kelekatan 15

Kemandirian Anak Anak Usia Prasekolah 19

Perkembangan Kognitif Anak Usia Prasekolah 22

3 4

KERANGKA PEMIKIRAN METODE PENELITIAN

23 26

Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian 26

Teknik Penarikan Contoh 26

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 27

Pengolahan dan Analisis Data 28

Definisi Operasional 33

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 33

Hasil 33

Karakteristik Ibu 33

Karakteristik Nenek 38

PeranPengasuhan Nenek 40

Karakteristik Anak 42

Gaya Pengasuhan 44

Kelekatan 49

Perkembangan Kemandirian Anak 53

6

Perkembangan Kognitif Anak

Perbedaan Gaya Pengasuhan dan Kelekatan pada Keluarga dan Ibu Bekerja dan Ibu Rumah Tangga

Perbedaan Gaya Pengasuhan dan Kelekatan Nenek dan Ibu pada Keluarga Ibu Bekerja

Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kemandirian dan Kognitif Anak yang diasuh Nenek

Pembahasan

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Saran

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

64 67 70 73 76 79 79 79 80 81 86


(15)

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan cara pengumpulan data 28

2 Pemberian kategori dan skala ukuran variabel 29

3 Sebaran ibu berdasarkan kategori usia (persen) 34

4 Sebaran ibu berdasarkan status pernikahan (persen) 34

5 Sebaran ibu berdasarkan besar keluarga (persen) 35

6 Sebaran ibu berdasarkan tingkat pendidikan (persen) 36 7 Sebaran ibu bekerja berdasarkan jenis pekerjaan (persen) 36 8 Sebaran ibu bekerja berdasarkan lama ibu bekerja (persen) 37 9 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kelompok pendapatan per kapita per bulan

(persen)

37

10 Sebaran nenek berdasarkan kelompok usia (persen 38

11 Sebaran nenek berdasarkan status pernikahan (persen) 39 12 Sebaran nenek berdasarkan tingkat pendidikan (persen) 39 13 Sebaran nenek berdasarkan kelompok pendapatan per kapita per bulan (persen) 39

14 Sebaran nenek berdasarkan jumlah cucu (persen) 40

15 Sebaran nenek berdasarkan frekuensi mengasuh cucu (persen) 40 16 Sebaran nenek berdasarkan jumlah cucu yang diasuh (persen) 41 17 Sebaran nenek berdasarkan usia awal cucu diasuh (persen 41 18 Sebaran nenek berdasarkan kategori tempat tinggal nenek (persen 42 19 Sebaran nenek berdasarkan jumlah aktivitas harian bersama cucu (persen) 42 20 Sebaran anak usia prasekolah berdasarkan jenis kelamin (persen) 43 21 Sebaran anak usia prasekolah berdasarkan urutan kelahiran anak (persen) 43 22

23

Sebaran anak usia prasekolah berdasarkan usia anak (persen)

Sebaran anak usia prasekolah berdasarkan status sekolah anak (persen)

44 44 24 Sebaran kelompok pengasuh berdasarkan kategori skor gaya pengasuhan otoritatif

(persen)

45 25 Sebaran kelompok pengasuh berdasarkan kategori skor gaya pengasuhan otoriter

(persen)

46 26 Sebaran kelompok pengasuh berdasarkan kategori skor gaya pengasuhan permisif

(persen)

47 27 Sebaran kelompok pengasuh berdasarkan kategori skor gaya pengasuhan

pengabaian (persen)

48 28 Sebaran kelompok pengasuh berdasarkan kategori kelekatan (persen) 49 29 Sebaran kelompok pengasuh berdasarkan kategori dimensi perilaku

Eksploratif

50 30

31

Sebaran kelompok pengasuh berdasarkan kategori dimensi respon kasih sayang

Sebaran kelompok pengasuh berdasarkan kategori dimensi kesadaran sosial

51 52 32 Sebaran kelompok pengasuh berdasarkan kategori kemandirian anak (persen) 53 33 Sebaran kelompok pengasuh berdasarkan kategori dimensi kemandirian umum

(persen)

55 34 Sebaran kelompok pengasuh berdasarkan kategori dimensi kemandirian makan

(persen)


(16)

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN

1 Sebaran data gaya pengasuhan nenek 86

2 Sebaran data kelekatan nenek 87

3 Sebaran data gaya pengasuhan 88

4 Sebaran data kelekatan ibu bekerja 89

5 Sebaran data gaya pengasuhan 90

6 Sebaran data kelekatan ibu rumah tangga 91

7 Uji beda rata-rata skor pernyataan gaya pengasuhan antara nenek dan ibu 92 35

36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46

Sebaran kelompok pengasuh berdasarkan kategori dimensi kemandirian berpakaian (persen)

Sebaran kelompok pengasuh berdasarkan kategori dimensi kemandirian mengarahkan diri (persen)

Sebaran kelompok pengasuh berdasarkan kategori dimensi kemandirian mengerjakan tugas (persen)

Sebaran kelompok pengasuh berdasarkan kategori dimensi kemandirian berkomunikasi (persen)

Sebaran kelompok pengasuh berdasarkan kategori dimensi kemandirian bergerak (persen)

Sebaran kelompok pengasuh berdasarkan kategori perkembangan kognitif anak (persen)

Rata-rata dan p value gaya pengasuhan dan kelekatan berdasarkan kategori pengasuh utama

Rata-rata dan p value gaya pengasuhan dan kelekatan berdasarkan kategori keluarga

Rata-rata dan p value gaya pengasuhan dan kelekatan pengasuh pada keluarga ibu bekerja

Perbedaan rata-rata dan p value antar kombinasi kategori kelekatan dengan perkembangan kognitif pada keluarga ibu bekerja

Pengaruh karakteristik anak, karakteristik ibu, gaya pengasuhan ibu, dan kelekatan ibu-anak terhadap perkembangan kemandirian dan kognitif anak pada anak yang diasuh nenek (n = 52)

Pengaruh karakteristik nenek, gaya pengasuhan ibu, dan kelekatan nenek-cucu terhadap perkembangan kemandirian dan kognitif anak pada anak yang diasuh nenek (n = 52)

58 60 61 63 64 67 68 70 71 72 74 75

1 Bagan teori ekologi Bronfenbrenner (Santrock, 2007) 7 2 Tipologi gaya pengasuhan berdasarkan dimensi tuntutan/pengawasan dan

kehangatan/kasih sayang disarikan dari Baumrind (1971) dan Adam (1994)

11 3 Kerangka pemikiran mengenai analisis pengaruh pengasuhan ibu dan nenek

terhadap perkembangan kemandirian dankognitif anak usia prasekolah di wilayah perkotaan Bogor

25

4 Skema cara penarikan contoh ibu bekerja 26


(17)

8 9 10 11 12 13

bekerja

Uji beda rata-rata skor pernyataan gaya pengasuhan antara nenek dan ibu rumah tangga

Uji beda rata-rata skor pernyataan gaya pengasuhan antara ibu bekerja dan ibu rumah tangga

Uji beda rata-rata skor pernyataan kelekatan antara nenek dan ibu bekerja Uji beda rata-rata skor pernyataan kelekatan antara nenek dan ibu rumah tangga

Uji beda rata-rata skor pernyataan kelekatan antara ibu bekerja dan ibu rumah tangga

Sebaran data kemandirian anak ibu bekerja

93 94 95 97 99 101

14 Sebaran data kognitif anak ibu bekerja 109

15 Sebaran data kemandirian anak ibu rumah tangga 112

16 17 18 19

Sebaran data kognitif anak ibu rumah tangga

Uji beda rata-rata skor pernyataan kemandirian antara ibu bekerja dan ibu rumah tangga

Uji beda rata-rata skor pernyataan perkembangan kognitif antara ibu bekerja dan ibu rumah tangga

Hasil uji regresi perkembangan kemandirian

119 122 126 128 20

21 22

Hasil uji regresi perkembangan kognitif

Hasil uji one way ANOVA kombinasi kelekatan nenek dan ibu dengan perkembangan kemandirian dan kognitif anak

Riwayat hidup

132 136 139


(18)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Menurut data UNDP (2012), Indonesia menempati peringkat indeks pembangunan manusia ke 124 dari 187 negara pada tahun 2012. Indeks tersebut mengisyaratkan perlunya perhatian untuk meningkatkan kualitas manusia karena Indonesia masih menempati urutan yang rendah. Anak-anak usia dini merupakan aset bagi bangsa Indonesia. Idris (2012) menyatakan bahwa dalam keseluruhan siklus hidup manusia, anak usia dini merupakan periode yang paling kritis dalam menentukan kualitas sumberdaya manusia karena proses tumbuh kembang anak usia dini berjalan sangat cepat. Sudaryanti (2012) menyatakan bahwa tingkat variabelitas kecerdasan orang dewasa, 50% sudah terjadi ketika masa usia dini (4 tahun pertama), 30% berikutnya pada usia 8 tahun dan 20% setelah mencapai usia 18 tahun. Para ahli mengatakan bahwa masa usia dini disebut sebagai masa emas

(golden age period), khususnya pada anak usia 0-2 tahun dimana perkembangan

otak anak mencapai angka 70-80 persen. Megawangi (2003) juga menyatakan bahwa usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang. Banyak pakar menyatakan bahwa kegagalan penanaman karakter pada seseorang sejak usia dini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak.

Usia prasekolah merupakan masa kritis dalam perkembangan siklus hidup seseorang. Menurut Erickson (1950) dalam Santrock (2007), anak usia TK berada pada tahap initative vs guilt yang sedang berkembang ke arah industry vs

inferiority. Pada tahap ini anak mengalami perkembangan yang positif dalam kreativitas, memiliki banyak ide dan imajinasi, berani mencoba, berani mengambil resiko dan mudah bergaul. Sudaryanti (2012) menyatakan bahwa anak usia dini memiliki perkembangan fisik, motorik, intelektual dan sosial yang sangat pesat dan merupakan masa pembentukan landasan awal bagi tumbuh dan kembang anak. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya masa pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini yang tentunya membutuhkan stimulasi yang baik dari lingkungan di sekitarnya. Maka dari itu, apabila masa usia dini tidak distimulasi dengan baik, maka dimungkinkan akan terjadi permasalahan pada perkembangan anak di masa mendatang. Agar pengasuhan pada anak usia prasekolah dengan ibu bekerja ini bisa berlangsung optimal, dibutuhkan dukungan dari orang-orang terdekatnya, terutama keluarga. Di Indonesia, fenomena pengasuhan oleh nenek menjadi pilihan bagi para ibu bekerja. Keikutsertaan nenek dalam merawat cucu merupakan salah satu bentuk dukungan pada keluarga ibu bekerja.

Pengasuhan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan peran orangtua serta anggota keluarga lainnya dalam pembinaan tumbuh kembang anak sesuai dengan usia dan tahap perkembangan yang harus dimiliki, baik dalam aspek fisik, kecerdasan, dan sosial emosional agar anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi anak yang maju, mandiri dan berkualitas. Oleh sebab itu, permasalahan pengasuhan anak usia prasekolah pada ibu bekerja harus menjadi perhatian.

Agar pengasuhan pada anak usia prasekolah bisa berlangsung optimal, dibutuhkan dukungan dari orang-orang terdekatnya, terutama keluarga. Cutrona (1996) menyatakan bahwa dukungan keluarga dapat berupa informasi verbal,


(19)

perhatian, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab yang dapat memberikan keuntungan emosional atau pengaruh pada tingkah laku penerimanya. Dalam hal ini anak usia prasekolah yang memperoleh dukungan keluarga, secara emosional merasa bahagia karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya. Pada ibu bekerja, biasanya pengasuhan diserahkan kepada anggota keluarga terdekat, salah satunya kepada nenek sehingga nenek memiliki peran penting dalam memberikan pengasuhan anak. Maka dari itu, pengasuhan ibu dan pengasuhan nenek menjadi hal yang penting dalam mendukung pengasuhan yang optimal pada anak yang ditinggal bekerja oleh ibunya.

Perkembangan kemandirian dan kognitif merupakan salah satu tolak ukur yang digunakan untuk melihat kesiapan anak untuk masuk ke sekolah dasar. Pada masa anak-anak, dengan kompetensi yang muncul, mereka berusaha untuk membangun rasa kontrol diri, kecukupan, dan kebanggaan dalam prestasi mereka (Santrock, 2007). Anak usia prasekolah berada pada tahap praoperasional yang merupakan tahapan persiapan sebelum anak memasuki tahap operasional konkret. Baumrind (1971) menyatakan bahwa terdapat gaya pengasuhan orangtua yang penting untuk mendorong otonomi anak-anak. Gaya pengasuhan

authoritative memberikan dukungan kebebasan dan individualitas pada anak

dimana orangtua mendengarkan komentar kritis dari anak, berbagi pengambilan keputusan dengan anak, dan memberikan alasan dengan arahan. Gaya pengasuhan juga berkaitan erat dengan kualitas kelekatan pada anak. Santrock (2007) menyatakan bahwa bayi yang memiliki kelekatan yang aman biasanya memiliki pengasuh yang sensitif terhadap sinyal yang mereka berikan dan selalu siap merespon kebutuhan bayi. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sensitivitas keibuan dalam pola asuh berhubungan dengan kelekatan yang aman di dua budaya yang berbeda, yakni di Amerika Serikat dan Kolombia.

Kelekatan juga memiliki keterkaitan dengan kemandirian anak. Menurut Ohba (2000), kelekatan ibu dan anak akan mempengaruhi kemandirian pada anak. Kelekatan antara pengasuh dan anak sangat menentukan jalinan hubungan antara anak dengan orang lain. Anak yang mendapatkan jenis kelekatan yang baik akan merasa aman saat berinteraksi dengan orang lain, tidak mudah curiga dan takut pada orang lain. Sebaliknya, anak yang mendapatkan jenis kelekatan yang tidak baik akan cenderung menutup diri dari orang lain, bahkan tidak mempercayai siapapun yang ada di sekitarnya. Anak yang memiliki kelekatan yang baik dengan nenek dan ibunya diharapkan dapat memiliki perkembangan yang baik. Macnab (2004) juga mengatakan bahwa kelekatan yang baik antara nenek dan cucu dapat mengurangi permasalahan perilaku pada cucu.

Perumusan Masalah

Saat ini, munculnya era globalisasi memicu peningatan jumlah wanita yang bekerja di luar rumah. Munculnya isu kesetaraan gender juga mengakibatkan banyak ibu yang bekerja di luar rumah baik karena tuntutan hidup maupun aktualisasi diri. Lebih dari separuh ibu yang bekerja di Amerika Serikat memiliki anak berusia di bawah 5 tahun dan lebih dari 2/3 ibu bekerja memiliki anak berusia 6 hingga 17 tahun. Tingkat partisipasi angkatan kerja wanita di Jawa Barat juga cukup tinggi yakni mencapai angka 41.78% dan untuk wilayah Kota Bogor


(20)

mencapai angka 31.74%. Hal ini menunjukkan cukup tingginya angka partisipasi wanita bekerja. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012, ada sekitar 47.91 persen wanita Indonesia yang bekerja di bidang formal maupun informal. Sementara sebanyak 36.97 persen wanita merupakan ibu rumah tangga. Menurut Santrock (2007), ibu bekerja merupakan bagian dari kehidupan modern, namun pengaruhnya masih diperdebatkan. Seorang wanita yang menjalankan peran ganda sebagai istri, ibu, dan pekerja profesional akan menemukan kesulitan dalam memilih antara tuntutan karir dan keluarga (Puspitawati, 2012).

Perubahan peran ibu dari sektor domestik ke sektor publik mengakibatkan pengambilalihan peran pengasuhan dari ibu ke pengasuh lainnya. Padahal, usia prasekolah merupakan masa kritis dalam perkembangan siklus hidup seseorang. Apabila pada masa usia ini anak tidak dibina dengan baik, maka anak akan mengalami gangguan perkembangan baik emosi, sosial, mental, intelektual, dan moral yang akan menentukan sikap serta nilai pola perilaku seseorang di kemudian hari (Idris, 2012). Hasil penelitian Dimova dan Wolf (2010) menemukan bahwa semakin tinggi pendapatan ibu bekerja maka akan semakin rendah kualitas pengasuhan anak sehingga pengasuhan anak usia prasekolah pada keluarga ibu bekerja perlu mendapatkan perhatian. Agar pengasuhan pada anak usia prasekolah bisa berlangsung optimal, dibutuhkan dukungan dari orang-orang terdekatnya, terutama keluarga dekat. Di Indonesia, pengambilalihan peran pengasuhan dari ibu bekerja kepada nenek merupakan fenomena yang banyak berkembang.

Fenomena pengasuhan anak usia prasekolah oleh kakek dan nenek di luar negeri sudah banyak diteliti di luar negeri. Studi literatur menunjukkan bahwa pengalaman menjadi kakek dan nenek merupakan pengalaman yang kompleks dan beragam. Perawatan dan dukungan terhadap keluarga yang dilakukan oleh kakek dan nenek dapat memiliki kekuatan hukum baik formal maupun informal. Penelitian menunjukkan bahwa nenek dan kakek memiliki peran dukungan penting dalam hal emosional dan finansial untuk ibu dan anak. Dukungan kakek dan nenek, khususnya nenek, telah terbukti memberikan manfaat yang besar bagi keluarga dari orang tua bercerai (Ferguson et al, 2004). Menurut Santrock (2007), sekitar 80 persen kakek dan nenek mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan yang bahagia dengan cucu. Kakek dan nenek dari pihak ibu lebih sering berinteraksi dengan cucunya daripada kakek dan nenek dari pihak ayah.

Pada masa awal perkembangan anak, salah satu hal penting yang harus dilakukan oleh orangtua ialah mendukung terbentuknya kelekatan yang aman pada anak (Brooks, 2001). Byng-Hall (2002) menemukan hubungan yang erat antara kelekatan dengan jenis pengasuhan yang diberikan kepada anak. Kedua faktor ini menurutnya dapat membantu orangtua dalam menghadapi krisis yang dialami oleh anak selama masa perkembangannya. Salah satu tujuan dalam pengasuhan menurut Brooks (2001) ialah untuk memastikan kompetensi intelektual dan sosial anak berkembang dengan baik. Kompetensi intelektual dan sosial anak dapat dilihat pada perkembangan kognitif dan kemandirian anak yang menjadi tolak ukur yang digunakan untuk melihat kesiapan anak untuk masuk sekolah. Pada masa anak-anak, dengan kompetensi yang muncul, mereka berusaha untuk membangun rasa kontrol diri, kecukupan, dan kebanggaan dalam prestasi mereka (Santrock, 2007). Paxson dan Schady (2007) menyatakan bahwa perkembangan kognitif merupakan proses kumulatif yang komplikatif dari


(21)

interpretasi suatu hubungan. Anak usia prasekolah mengembangkan kemampuan kognitif dan emosinya untuk mempersiapkan diri mereka dalam menguasai materi dan bertransisi ke tahap usia sekolah (Lleras, 2008; Santrock, 2007).

Sejumlah studi menunjukkan bahwa gaya pengasuhan dan kelekatan memiliki pengaruh terhadap perkembangan kemandirian dan kognitif anak. Penelitian Saba (2002) menemukan bahwa kelekatan ibu berpengaruh terhadap kemandirian anak dan peneliti lain menemukan kelekatan berpengaruh juga terhadap perkembangan kognitif anak (Ohba, 2000). Macnab (2004) juga menemukan bahwa kelekatan yang baik antara nenek dan cucu dapat mengurangi permasalahan perilaku pada cucu sehingga dengan terjalinnya kelekatan yang baik antara nenek dan cucu memungkinkan perkembangan kemandirian dan kognitif yang baik pada anak.

Mattanah (2005) menyatakan bahwa orang tua harus mendorong kemandirian anak dengan mengakui dan mendengarkan pernyataan anak-anak mereka ketika mereka memiliki keinginan yang berbeda dengan orang tua. Orangtua yang terlalu mendorong atau melarang serta terlalu banyak membantu anak justru akan mengakibatkan anak merasa tidak mampu atau merasa bersalah sehingga membuat anak menjadi tidak mandiri (Weiss, 2006). Di sisi lain, gaya pengasuhan yang diterapkan nenek biasanya bersifat permisif (Viguer et al, 2010). Gaya pengasuhan nenek yang demikian dikhawatirkan dapat menghambat perkembangan kemandirian dan kognitif cucu yang diasuh oleh nenek. Maka dari itu, pengasuhan merupakan salah satu faktor yang penting dalam membangun kemandirian dan kognitif anak.

Penelitian mengenai pengasuhan oleh kakek atau nenek masih belum banyak dilakukan di Indonesia. Smith dan Palmieri (2007) menyatakan bahwa anak-anak yang diasuh nenek ememiliki resiko permasalahan perilaku yang lebih tinggi dibandingkan anak lainnya. Galoya (tt) juga pernah melakukan penelitian kualitatif mengenai kelekatan antara kakek dan nenek dengan cucu yang tinggal bersama mereka sejak lahir. Pengasuhan yang dilakukan oleh kakek dan nenek kurang memberikan aturan-aturan yang tegas dan selalu menuruti keinginan cucunya. Mattanah (2005) menekankan pentingnya dorongan kemandirian pada anak. Orang tua harus mendorong kemandirian anak dengan mengakui dan mendengarkan pernyataan anak-anak mereka dan dengan bernegosiasi dengan anak-anak mereka ketika mereka memiliki keinginan yang berbeda dengan orang tua, bukan dengan menyerahkan seluruhnya kepada anak atau menuntut kepatuhan anak. Namun, jika pengasuhan yang diberikan cenderung mengekang dan terlalu membebaskan, maka hal ini dapat menghambat keberhasilan anak dalam mencapai kemandirian. Viguer et al (2010) juga menyatakan bahwa gaya pengasuhan yang diterapkan oleh nenek biasanya bersifat permisif. Nenek cenderung untuk memanjakan cucu dan menuruti semua kemauan cucu sehingga menurut pernyataan Mattanah (2005) hal ini dapat menghambat kemandirian dan kognitif pada anak. Padahal, aspek perkembangan yang penting dan harus dicapai pada anak usia prasekolah ialah kemandirian dan kognitif.

Di sisi lain, kondisi ibu yang bekerja juga dikhawatirkan memberikan dampak negatif bagi perkembangan kognitif anak. Huerta et al (2011) menyatakan bahwa ibu yang bekerja akan memiliki keterbatasan dalam memberikan perawatan, waktu dan perhatian kepada anak sehingga memungkinkan terjadinya permasalahan pada kelekatan anak yang pada akhirnya


(22)

berhubungan dengan perkembangan kesehatan, kognitif, dan emosional anak. Hasil penelitian Huerta et al (2011) menemukan bahwa kondisi ibu yang bekerja mengakibatkan permasalahan perkembangan kognitif pada anak usia prasekolah yang tinggal di kanada. Jika anak usia prasekolah mengalami permasalahan kemandirian dan kognitif maka anak akan kesulitan dalam mempersiapkan dirinya memasuki usia sekolah sehingga dapat menghambat keberhasilannya dalam mengikuti kegiatan belajar di sekolah.

Penelitian-penelitian terdahulu lebih banyak mendalami mengenai peran pengasuhan nenek, stres dan coping nenek dalam mengasuh cucu, dan kualitas hidup nenek setelah mengasuh cucu. Penelitian yang menganalisis pengaruh pengasuhan oleh kakek/nenek terhadap perkembangan anak belum banyak dilakukan. Mengingat eratnya hubungan antara gaya pengasuhan, kelekatan, kemandirian dan kognitif anak, menjadi suatu hal yang menarik bagi peneliti untuk dapat melihat bagaimana pengaruh pengasuhan ibu dan nenek terhadap perkembangan kemandirian dan kognitif anak. Dari penjelasan di atas maka peneliti merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaruh pengasuhan nenek terhadap perkembangan anak? 2. Bagaimana gaya pengasuhan ibu bekerja dan nenek di Indonesia serta

pengaruhnya terhadap perkembangan kemandirian dan kognitif anak?

3. Bagaimana kelekatan anak dengan ibu dan neneknya serta pengaruhnya terhadap perkembangan kemandirian dan kognitif anak?

Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh pengasuhan ibu dan nenek terhadap perkembangan kemandirian dan kognitif anak usia prasekolah.

Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi gaya pengasuhan dan kelekatan yang dilakukan oleh nenek dan ibu kepada anak usia prasekolah.

2. Mengukur tingkat kemandirian dan kognitif anak usia prasekolah.

3. Menganalisis perbedaan gaya pengasuhan dan kelekatan pada nenek dan ibu pada keluarga ibu bekerja.

4. Menganalisis perbedaan gaya pengasuhan, kelekatan, kemandirian dan kognitif anak pada keluarga ibu bekerja dan ibu rumah tangga.

5. Menganalisis pengaruh karakteristik nenek, ibu dan anak usia prasekolah; gaya pengasuhan nenek dan ibu, serta kelekatan nenek dan ibu terhadap tingkat kemandirian dan kognitif anak usia prasekolah pada keluarga ibu bekerja.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dan acuan bagi pihak akademisi dan praktisi yang bergerak di bidang keluarga dan anak. Selain dapat memberikan informasi terkait pengaruh gaya pengasuhan dan kelekatan terhadap kemandirian dan kognitif pada anak usia prasekolah, penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan gambaran akan pentingnya


(23)

memperhatikan kehidupan pada keluarga ibu bekerja yang masih memiliki anak baik usia, bayi, prasekolah maupun sekolah khususnya di daerah perdesaan dan perkotaan.

Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran dan meningkatkan pengetahuan kepada masyarakat dan pemerintah untuk memperhatikan dan mendukung pengasuhan yang baik pada keluarga ibu bekerja untuk menghasilkan perkembangan anak yang optimal. Penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya khasanah penelitian di bidang keluarga dan anak.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Teori Struktural Fungsional

Puspitawati (2012) menyatakan bahwa salah satu teori yang melandasi studi keluarga diantaranya adalah Teori Struktural Fungsional/Teori Sistem. Pendekatan teori sosiologi struktural-fungsional biasa digunakan oleh Spencer dan Durkheim yang menyangkut struktur (aturan pola sosial) dan fungsinya dalam masyarakat dan pada kehidupan sosial secara total. Penganut pandangan teori struktural-fungsional melihat sistem sosial sebagai sistem yang seimbang, harmonis, dan berkelanjutan. Konsep struktural sosial meliputi bagian-bagian dari sistem dengan cara kerja pada setiap bagian yang terorganisir. William F. Ogburn dan Talcot Parson adalah sosiolog ternama yang mengemukakan pendekatan struktural-fungsional dalam kehidupan keluarga pada abad ke-20. Pendekatan teori ini mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial yang kemudian diakomodasi dalam fungsi sesuai dengan posisi seorang dalam struktur sebuah sistem (Megawangi 1999). Talcott Parsons (Klein dan White 1996) merupakan salah satu tokoh yang terkenal dengan konsep pendekatan sistem melalui AGIL (Adaptation; Goal Attainment; Integration, and Latency), yaitu adaptasi dengan lingkungan, adanya tujuan yang ingin dicapai, integrasi antar sub-subsistem, dan penilaian budaya/norma/nilai-nilai/kebiasaan.

Puspitawati (2012) menyatakan bahwa pendekatan teori struktural-fungsional dapat digunakan dalam menganalisis peran keluarga agar dapat berfungsi dengan baik untuk menjaga keutuhan keluarga dan masyarakat. Konsep keseimbangan mengarah kepada konsep homeostatis suatu organisme yaitu suatu kemampuan untuk memelihara stabilitas agar kelangsungan suatu sistem tetap terjaga dengan baik meskipun di dalamnya mengakomodasi adanya adaptasi dengan lingkungan.

Prasyarat dalam teori struktural-fungsional menjadikan suatu keharusan yang wajib ada agar keseimbangan sistem tercapai, baik pada tingkat masyarakat maupun tingkat keluarga. Megawangi (1999) menyatakan bahwa menurut Levy, prasyarat struktural yang harus dipenuhi oleh keluarga agar dapat berfungsi, yaitu meliputi : (a) Diferensiasi peran yaitu alokasi peran/tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga, (b) Alokasi solidaritas yang menyangkut distribusi relasi antaranggota keluarga, (c) Alokasi ekonomi yang menyangkut distribusi barang dan jasa antar anggota keluarga untuk mencapai tujuan keluarga, (d) Alokasi politik yang menyangkut distribusi kekuasaan dalam keluarga, dan (e) Alokasi integrasi dan ekspresi yaitu meliputi cara/tehnik sosialisasi internalisasi maupun pelestarian nilai-nilai maupun perilaku pada setiap anggota keluarga dalam memenuhi tuntutan norma-norma yang berlaku.


(24)

Teori sistem mempunyai pengertian dan konsep yang sama dengan Teori struktural-fungsional. Namun, teori sistem lebih menekankan pada beroperasinya hubungan antara satu set dengan set lainnya, sedangkan teori struktural-fungsional lebih menekankan pada mekanisme struktur dan fungsi dalam mempertahankan keseimbangan struktur. Kedua teori tersebut dipandang sebagai teori yang sama dan keduanya diterapkan pada analisis kehidupan keluarga.

Santrock (2007) menggambarkan lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan anak terbagi ke dalam lima sistem yakni mikrosistem, mesosistem, eksosistem, makrosistem dan kronosistem yang dapat dilihat pada gambar 1.

Mikrosistem merupakan situasi dimana anak tinggal meliputi keluarga, teman, dan sekolah. Lingkungan ini merupakan tempat anak berinteraksi dengan orang-orang terdekatnya, yakni orangtua, kakek/nenek, teman sebaya, guru. Mesosistem merupakan relasi antara dua mikrosistem atau lebih. Contohnya ialah relasi antara pengalaman keluarga dengan sekolah, keluarga dengan teman sebaya anak-anaknya.

Eksosistem memungkinkan anak untuk berinteraksi dengan secara aktif dengan lingkungannya dan berpengaruh terhadap perkembangan anak, yakni media dan kebijakan pemerintah. Makrosistem merupakan budaya dimana anak tinggal. Budaya merujuk pada pola-pola perilaku, keyakinan dan semua produk dari sekelompok manusia yang diteruskan dari generasi ke generasi. Kronosistem adalah pola-pola peristiwa lingkungan dan transisi dari rangkaian kehidupan dan keadaan-keadaan sosiohistoris.

Individu Usia Kesehatan Keluarga

Jasa kese- hatan

Kelompok

ibadah Tempat bermain

Teman sebaya Sekolah

M e d i a

Gambar 1. Bagan teori ekologi Bronfenbrenner (Santrock, 2007)

T e t a n g g a

Kronosistem


(25)

Pendekatan teori sistem sosial diperkenalkan oleh seorang ahli ekonomi, Adam Smith, yang menyangkut adanya konsep kesatuan dan saling ketergantungan antara individu dan masyarakat. Pendekatan ini digunakan dalam menganalisis keluarga dengan menerapkan konsep keluarga sebagai ekosistem dan keluarga sebagai suatu sistem sosial. Keluarga sebagai suatu sistem terdiri dari suatu set bagian berbeda, tetapi berhubungan dan saling tergantung satu dengan yang lainnya (Puspitawati, 2012).

Keluarga juga menerapkan praktik komunikasi antar organisasi yang menyangkut kemampuan manusia dan perilakunya dalam menggunakan bahasa dan penafsiran simbol-simbol yang berkaitan dengan sistem sosial di sekelilingnya. Konsep struktural fungsional adalah :

1. Sistem : suatu set objek dan hubungan antar-objek dengan atributnya

2. Boundaries : suatu batas antara sistem dan lingkungannya yang

memengaruhi aliran informasi dan energinya (tertutup atau terbuka) 3. Aturan transformasi : memperlihatkan hubungan antara elemen-elemen

dalam suatu sistem.

4. Feedback : suatu konsep dari teori sistem yang menggambarkan aliran sirkulasi dari output kembali sebagai input (positif, negatif, penyimpangan).

5. Variety : merujuk pada derajat variasi adaptasi perubahan di mana sumberdaya dari sistem dapat memenuhi tuntutan lingkungan yang baru.

6. Equilibrium : merujuk pada keseimbanga antara input dan output

(homeostatis; mempertahankan keseimbangan secara dinamis antara

feedback dan kontrol)

7. Subsistem : variasi tingkatan dari suatu sistem yang merupakan bagian dari suatu sistem.

8. Struktur keluarga.

9. Pembagian peran, tugas, dan tanggung jawab, hak dan kewajiban. 10.Menjalankan fungsi.

11.Mempunyai aturan dan nilai/norma yang harus diikuti. 12.Mempunyai tujuan

Aplikasi teori struktural-fungsional dalam keluarga menurut Puspitawati (2012) ialah :

1. Berkaitan dengan pola kedudukan dan peran dari anggota keluarga tersebut, hubungan antara orangtua dan anak, ayah dan ibu, ibu dan anak perempuannya, dan lain-lain.

2. Setiap masyarakat mempunyai peraturan-peraturan dan harapan-harapan yang menggambarkan orang harus berperilaku.

3. Tipe keluarga terdiri atas keluarga dengan suami istri utuh beserta anak-anak (intact families), keluarga tunggal dengan suami/istri dan anak-anaknya (single parents families), keluarga dengan anggota normal atau keluarga dengan anggota yang cacat, atau keluarga berdasarkan tahapannya, dan lain-lain.

4. Aspek struktural menciptakan keseimbangan sebuah sistem sosial yang tertib (social order). Ketertiban keluarga akan tercipta jika ada struktur atau strata dalam keluarga, dimana masing-masing mengetahui peran dan posisinya dan patuh pada nilai yang melandasi struktur tersebut.


(26)

5. Terdapat 2 (dua) bentuk keluarga yaitu : (1) keluarga inti (nuclear family) dan (2) keluarga luas (extended family).

6. Struktur dalam keluarga dapat dijadikan institusi keluarga sebagai sistem kesatuan dengan elemen-elemen utama yang saling terkait :

a. Status sosial : pencari nafkah, ibu rumah tangga, anak sekolah, dan lain-lain.

b. Fungsi dan peran sosial : perangkat tingkah laku yang diharapkan dapat memotivasi tingkah laku seseorang yang menduduki status sosial tertentu (peran instrumental/mencari nafkah; peran emosional ekspresif/pemberi cinta, kasih sayang).

c. Norma sosial : peraturan yang menggambarkan bagaimana sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam situasi tertentu.

Pengasuhan

Pengasuhan erat kaitannya dengan kemampuan suatu keluarga atau rumah tangga dan komunitas dalam hal memberikan perhatian, waktu, dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan sosial anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan serta bagi anggota keluarga lainnya (Latifah, et al

2007). Menurut Sunarti (2004), pengasuhan dapat diartikan sebagai impelementasi serangkaian keputusan yang dilakukan orangtua atau orang dewasa kepada anak sehingga memungkinkan anak menjadi bertanggung jawab, menjadi anggota masyarakat yang baik, memiliki karakter-karakter yang baik.

Menurut Hastuti (2008), pengasuhan adalah pengetahuan, pengalaman, keahlian, dalam melakukan pemeliharaan, perlindungan, pemberian kasih sayang dan pengarahan pada anak. Pengasuhan adalah saat dimana orangtua memberikan sumberdaya paling dasar kepada anak, pemenuhan kebutuhan anak, kasih sayang, memberikan perhatian, dan mengajarkan nilai-nilai kebaikan kepada anak. Pengasuhan memiliki beberapa pola yang menunjukkan adanya hubungan dengan aspek tertentu, memenuhi kebutuhan anak baik fisik maupun non fisik, agar anak dapat hidup normal dan mandiri di masa mendatang. Pola pengasuhan ini mencakup pengasuhan makan, pengasuhan hidup sehat, pengasuhan akademik, pengasuhan sosial emosi, serta pengasuhan moral dan disiplin.

Hoghughi dan Long (2004) mendefinisikan pengasuhan sebagai kegiatan yang bertujuan agar anak mampu bertahan hidup dan berkembang. Pengasuhan merupakan suatu proses yang didalamnya terdapat peran orangtua sebagai pengasuh utama anak untuk menyediakan beberapa kebutuhan yang diperlukan oleh anak. Pengasuhan merupakan suatu interaksi antara orangtua dengan anak-anak yang diasuh (Brooks, 2001). Pengasuhan merupakan serangkaian aksi dan interaksi untuk mendukung perkembangan anak. Terdapat tiga tujuan utama dalam pengasuhan menurut Brooks (2001) yakni : (a) menjamin kesehatan fisik dan keberlangsungan hidup anak, (b) mempersiapkan anak untuk dapat mandiri secara ekonomi ketika anak dewasa, dan (c) mendukung perilaku personal dan sosial yang positif seperti penyesuaian psikologis, kompetensi intelektual, dan kemampuan untuk membangun relasi dengan teman. Pengasuhan merupakan suatu proses panjang yang mencakup : 1) interaksi antar anak, orangtua dan masyarakat sekitarnya; 2) penyesuaian kebutuhan hidup dan temperamen anak dengan orangtuanya; 3) pemenuhan tanggung jawab untuk membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak; 4) proses mendukung atau menolak keberadaan anak


(27)

dan orangtua; 5) proses mengurangi risiko dan perlindungan terhadap individu dan lingkungan sosialnya. Kelima proses tersebut akan membentuk gaya pengasuhan yang diterapkan kepada anak, penerimaan, dan kehangatan yang disampaikan kepada anak yang kemudian akan membentuk kualitas anak selanjutnya.

Gaya Pengasuhan

Salah satu aplikasi pengasuhan di dalam keluarga ialah gaya yang diterapkan oleh orangtua dalam mengasuh anaknya. Pola sikap orang tua terhadap anak-anak yang diungkapkan dalam bentuk dukungan emosional, komunikasi, gerak tubuh, dan nada suara, mencirikan suatu gaya pengasuhan dan memiliki perbedaan pada cara dan sejauh mana orang tua menyampaikan nilai-nilai mereka, perilaku, dan standar untuk mereka anak-anak. Diana Baumrind telah lama melakukan penelitian paling komprehensif dalam pengaruh gaya pengasuhan terhadap perkembangan anak-anak. Gaya pengasuhan, yang telah secara luas dijelaskan dalam literatur selama 35 tahun terakhir, merupakan pola sikap orangtua yang disampaikan kepada anak-anak dan menciptakan iklim emosional di mana orangtua mengungkapkan perilaku mereka (Darling & Steinberg, 1993).

Para ahli psikologi terutama yang menekuni psikologi perkembangan telah banyak menelaah secara ilmiah mengenai gaya pengasuhan orang tua terhadap anaknya. Salah satu psikolog yang dikenal sebagai pencetus konsep gaya pengasuhan orang tua adalah Diana Baumrind. Menurut Baumrind (1991), gaya pengasuhan merupakan bentuk-bentuk perlakukan orang tua saat mereka berinteraksi dengan anak atau remaja. Gaya ini terdiri dari tiga kategori menurut Baumrind yaitu authoritarian, permissive dan authoritative . Ketiga jenis gaya pengasuhan tersebut memiliki ciri tersendiri dan akan memberikan efek yang berbeda terhadap perilaku anak.

Banyak ahli yang membuat tipologi gaya pengasuhan. Baumrind (1971) menggunakan dimensi kontrol orangtua untuk mengkarakterisasi tiga gaya pengasuhan yaitu, authoritarian, permissive, dan authoritative. Maccoby dan Martin (1983) memperluas dimensi gaya pengasuhan Baumrind dengan menambahkan responsif sebagai dimensi kedua. Dimensi demandingness dan

responsif ini membentuk tipologi empat gaya pengasuhan.

Baumrind (1971) dan Adam (1994) menyatakan bahwa orangtua yang berada pada kategori yang tinggi pada kedua dimensi dikategorikan sebagai orangtua yang authoritative-reciprocal. Gaya pengasuhan ini ditandai dengan penetapan standar yang jelas, penegakan aturan, penggunaan hukuman bila diperlukan, dorongan kemandirian anak, komunikasi terbuka antara orang tua dan anak, memberi dan menerima secara verbal, dan pengakuan hak-hak kedua belah pihak baik orang tua maupun anak. Anak-anak yang orang tuanya authoritative

kurang suka menjadi anak yang depresi atau terlibat dalam kenakalan, dan memiliki performa yang lebih baik secara akademis daripada anak-anak yang orang tuanya tidak authoritative. Pengasuhan ini mendorong anak untuk mandiri namun masih menerapkan batas dan kendali pada tindakan mereka. Tindakan verbal memberi dan menerima dimungkinkan, dan orangtua bersikap hangat dan penyayang pada anak. Gaya ini biasanya mengakibatkan perilaku anak yang berkompeten secara sosial. Orangtua dengan gaya ini menunjukkan kesenangan dan dukungan sebagai respons terhadap perilaku anak yang dewasa, mandiri, dan


(28)

sesuai dengan usianya. Anak yang memiliki orangtua dengan gaya ini seringkali ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, serta berorientasi pada prestasi. Mereka cenderung untuk mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerjasama dengan orang dewasa, dan bisa mengatasi stres dengan baik.

Gambar 2. Tipologi Gaya Pengasuhan berdasarkan Dimensi

Tuntutan/Pengawasan dan Kehangatan/Kasih Sayang disarikan dari Baumrind (1971) dan Adam (1994)

Orangtua yang authoritarian-autocratic memiliki demandingness yng tinggi namun memiliki respon yang rendah. Orangtua yang menerapkan gaya pengasuhan ini mencoba untuk mengontrol perilaku dan sikap anak-anak mereka sesuai dengan standar mereka, ketaatan terhadap nilai yang ditetapkan, penghormatan terhadap otoritas orangtua sementara di sisi lain orangtua tidak mementingkan sikap saling memberi dan menerima antara orang tua dan anak. Gaya pengasuhan ini membatasi dan menghukum anak dimana orangtua mendesak anak untuk mengikuti arahan orangtua dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Batas dan kendali yang tegas diterapkan kepada anak dan sangat sedikit tawar-menawar verbal yang diperbolehkan. Gaya ini biasanya mengakibatkan perilaku anak yang tidak berkompeten secara sosial. Orangtua dengan gaya ini mungkin juga sering memukul anak, memaksakan aturan secara kaku tanpa menjelaskannya, dan menunjukkan amarah kepada anak. Anak dari orangtua yang demikian seringkali tidak bahagia, ketakutan, minder ketika membandingkan diri dengan orang lain, tidak mampu memulai aktivitas, dan memiliki kemampuan komunikasi yang lemah. Anak mungkin akan berperilaku agresif.

Orang tua yang indulgent-permissive memberikan respon yang tinggi dan

demandingness yang rendah. Orang tua yang demikian akan bersikap toleran, menerima sikap impulsif anak, membuat sedikit tuntutan perilaku yang matang

Kehangatan/ Kasih Sayang Tuntutan/Pengawasan

Authoritative Authoritatirian

Permissive Uninvolved/

indifferent

Tuntutan/Pengawasan Kehangatan/


(29)

bagi anak, menggunakan hukuman kecil, dan menghindari penegasan otoritas atau penerapan kontrol atau pembatasan. Gaya pengasuhan ini biasanya ditandai dengan keterlibatan orangtua yang sangat tinggi namun tidak menaruh banyak tuntutan dan kontrol yang ketat kepada mereka. Gaya ini biasanya mengakibatkan inkompetensi sosial anak terutama kurangnya pengendalian diri. Orangtua yang menerapkan gaya pengasuhan ini membiarkan anak melakukan apa yang ia inginkan. Hasilnya, anak tidak belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap mendapatkan keinginannya. Beberapa orangtua sengaja membesarkan anak mereka dengan cara ini karena mereka percaya bahwa kombinasi antara keterlibatan yang hangat dan sedikit batasan akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri. Namun, anak-anak yang diasuh dengan gaya ini jarang belajar menghormati orang lain dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya. Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan, dan kesulitan untuk berhubungan dengan teman sebaya.

Orang tua yang memberikan demandingness dan respon yang rendah termasuk ke dalam kategori orang tua yang indifferent-uninvolved. Orang tua mungkin sangat terlibat dengan aspek-aspek lain dari kehidupan, tetapi orang tua melakukan apapun yang diperlukan untuk meminimalkan biaya berupa waktu dan usaha untuk berinteraksi dengan anak (yaitu, menyerah langsung pada tuntutan anak sedemikian rupa agar segera mengakhiri tuntutan anak), dan menghindari ketidaknyamanan dalam merawat anak. Gaya pengasuhan ini menunjukkan rendahnya keterlibatan orangtua dalam kehidupan anak. Anak yang diasuh dengan gaya ini merasa bahwa aspek lain kehidupan orangtua lebih penting daripada diri mereka. Anak-anak ini cenderung tidak memiliki kemampuan sosial. Banyak di antaranya memiliki pengendalian diri yang buruk dan tidak mandiri. Mereka sering kali memiliki penghargaan diri yang rendah, tidak dewasa, dan mungkin terasing dari keluarga.

Adam (1994) menyatakan bahwa gaya pengasuhan yang paling banyak diteliti ialah gaya pengasuhan yang otoritatif dan otoriter. Pengasuhan otoriter melibatkan kombinasi dari respon yang tinggi dan kontrol yang tinggi dan menjadi ciri khas orang tua yang menunjukkan dengan tingkat kehangatan dan penerimaan tinggi, pengakuan dan dorongan kemandirian pada anak, dan disiplin mereka melibatkan pengaturan batas yang wajar dan menggunakan penalaran dan induksi. Sebaliknya, gaya pengasuhan otoriter ditandai dengan respon yang rendah dan control yang tinggi, dimana orangtua membatasi kemandirian anak, memberikan kehangatan yang rendah,sering menggunakan paksaan secara fisik, permusuhan verbal, dan hukuman yang tidak logis.

Dalam dua studi sebelumnya, Baumrind menunjukkan perhatiannya terhadap pengaruh potensial dari pengasuhan otoritatif terhadap pengendalian diri, ketegasan, kemandirian, tanggung jawab, ketaatan, dan kecenderungan untuk mengeksplorasi anak usia prasekolah. Berbagai aspek kompetensi yang didukung melalui dorongan kemandirian dan pengambilan keputusan akan menumbuhkan kemandirian pada diri anak.

Santrock (2007) menyatakan bahwa Orangtua Asia Amerika seringkali meneruskan aspek-aspek dari cara pengasuhan anak tradisional Asia yang kadang-kadang dianggap authoritarian. Orangtua menerapkan kontrol yang cukup ketat pada kehidupan anak. Namun, gaya pengasuhan yang digunakan oleh banyak orangtua Asia Amerika berbeda dari kontrol dominan pada gaya authoritarian.


(30)

Kontrol dalam budaya Asia Amerika mencerminkan kepedulianm dan keterlibatan orangtua dalam kehidupan anak mereka dan sangat tepat dikonseptualisasikan sebagai suatu jenis pelatihan. Pengutamaan dalam menuntut rasa hormat dan kepatuhan juga diasosiasikan dengan gaya authoritarian. Namun, dalam pengasuhan anak pada kebudayaan Latin, fokus ini mungkin positif, alih-alih bersifat menghukum. Alih-alih menekan perkembangan anak, hal tersebut bisa mendorong perkembangan diri dan identitas yang mendarah daging dalam keluarga. Lebih jauh, banyak keluarga Latin terdiri atas beberapa generasi yang tinggal bersama dan saling membantu. Dalam keadaan ini, menekankan rasa hormat dan kepatuhan oleh anak mungkin merupakan bagian dari upaya mempertahankan rumah tangga yang harmonis dan penting dalam pembentukan identitas anak.

Hukuman fisik, ciri lain dari gaya authoritarian, bahkan bisa memiliki beragam pengaruh dalam konteks yang berbeda. Orangtua Afrika Amerika cenderung lebih sering menggunakan hukuman fisik dibanding orangtua non-Latin kulit putih. Namun, penggunaan hukuman fisik telah dikaitkan dengan meningkatnya masalah yang diungkapkan (seperti mengungkapkan perasaan dan tingkat agresi yang tinggi) dalam keluarga non-Latin kulit putih, tetapi tidak dalam keluarga Afrika Amerika. Salah satu penjelasan tentang penemuan ini menunjuk pada kebutuhan orang tua Afrika Amerika untuk memaksakan aturan di lingkungan berbahaya tempat mereka biasanya hidup. Dalam konteks ini, menuntut kepatuhan pada otoritas orangtua mungkin merupakan strategi adaptif untuk menjauhkan anak dari perilaku antisosial yang bisa berakibat serius pada korban atau pelaku. Walaupun demikian, seperti yang akan kita lihat selanjutnya, secara umum penggunaan hukuman fisik dalam mendisiplinkan anak memunculkan banyak keprihatinan.

Pengasuhan Nenek

Saat ini, para peneliti mulai meningkatkan fokus penelitian pada topik hubungan intergenerational dalam keluarga. Dukungan nenek merupakan salah satu bentuk perawatan anak secara informal. Anak memiliki implikasi penting dalam kehidupan kakek dan nenek, seperti memberikan peluang pekerjaan, ekstra pengeluaran dan penambahan beban, terutama jika kakek-nenek merawat cucu dan saudaranya. Namun, tidak semua kakek dan nenek mempermasalahkan hal tersebut dan merasakan kehilangan kebebasan pribadi yang dimiliki selama ini (Ferguson et al, 2004).

Studi literatur menunjukkan bahwa pengalaman menjadi kakek dan nenek merupakan pengalaman yang kompleks dan beragam. Perawatan dan dukungan terhadap keluarga yang dilakukan oleh kakek dan nenek dapat memiliki kekuatan hukum baik formal maupun informal. Penelitian menunjukkan bahwa nenek dan kakek memiliki peran dukungan penting dalam hal emosional dan finansial untuk ibu dan anak. Dukungan kakek dan nenek, khususnya nenek, telah terbukti memberikan manfaat yang besar bagi keluarga dari orang tua bercerai (Ferguson

et al, 2004). Kakek dan nenek memungkinkan para orangtua untuk mengurangi beban yang dialami keluarga ibu bekerja terutama ibu dari keluarga tunggal saat beradaptasi dengan perubahan kondisi yang dialami keluarga (Doyle, et al, 2010).

Kakek dan nenek tentu mengalami pengalaman yang baru saat mengasuh cucu seperti menanamkan nilai yang baru dan aktivitas yang baru selama


(31)

berkomunikasi dengan cucu (Lou et al 2008).Wellard (2005) menyatakan bahwa kakek dan nenek memberikan dukungan yang besar dengan mengasuh cucu mereka dan pengasuhan oleh kakek dan nenek memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan kakek dan nenek serta mengurangi rasa kesepian yang dialami oleh kakek dan nenek saat memasuki usia tua.

Kakek dan nenek memiliki peran penting dalam memberikan pengasuhan anak. Pertumbuhan partisipasi ibu di pasar tenaga kerja meningkatkan tuntutan perawatan anak oleh pihak lain. Hal ini berimplikasi pada pengalihan peran yang lebih besar untuk kakek-nenek dalam merawat anak-anak di saat ibu mereka bekerja. Anggota keluarga merupakan sumber utama informal pengasuhan anak dan dukungan keluarga, dan kakek-nenek memainkan peran penting dalam hal ini. Di banyak Negara, angka perceraian dan jumlah anak yang lahir di luar pernikahan mengalami peningkatan. Anak yang tinggal di rumah dengan orang tua tunggal atau dalam keluarga tiri menjadi lebih banyak. Keberadaan ibu dari keluarga tunggal yang bekerja penuh waktu dan tidak memiliki waktu untuk merawat anak-anak mereka memungkinkan kakek dan nenek untuk merawat cucu jika orang tua cucu sudah bercerai. Kakek dan nenek memberikan bantuan praktis dan keuangan yang signifikan terhadap kehidupan anak-anak dan cucu mereka, namun intensitas dan skala kontribusi ini bervariasi di seluruh Eropa. Penelitian menunjukkan bahwa di Eropa barat laut dan Amerika Serikat sering terjadi kontak antara nenek dan kakek dengan orang tua dan anak-anak yang telah dewasa (Ferguson et al, 2004).

Kakek dan nenek merupakan pengganti orang tua dan berperan sebagai pengasuh utama sehingga kakek dan nenek memiliki tanggung jawab pengasuhan layaknya orangtua (White, 2009). Viguer, et al 2010 mengatakan bahwa pengasuhan yang dilakukan oleh nenek dan kakek tidak terlalu ketat atau tidak terlalu disiplin. Cucu lebih sering merasa lebih dekat, memiliki hubungan yang lebih langsung, memiliki pemahaman yang lebih besar, dan lebih dipengaruhi oleh kakek-nenek mereka. Kakek dan nenek mempengaruhi cucu dalam berbagai cara dan berpartisipasi dalam memberikan dukungan dan kepedulian, serta memberikan informasi tentang dunia di sekitar mereka.

Sama halnya dengan penduduk Afrika Amerika di Amerika Serikat, pengasuhan oleh nenek dan kakek pada penduduk Cina mungkin sebagian disebabkan oleh budaya normatif sehingga peranan kakek dan nenek dalam mengasuh cucu merupakan hal yang biasa terjadi. Pada tahun 2006, orang tua di perkotaan (41,43%) dan pedesaan (35,38%) di Cina membantu merawat cucu mereka (Zhang 2010). Namun, kemampuan dan kemauan kakek-nenek untuk mencukupi kebutuhan anak akan berbeda pada kakek-nenek yang memiliki dukungan yang minimal. Pada warga Afrika Amerika, kakek dan nenek cenderung memegang peran keluarga yang penting, termasuk dalam bersama membesarkan anak dan pengambilan keputusan bersama, dan memastikan keberlangsungan hidup dan perkembangan pada keluarga Amerika Afrika.

Filosofi grandparenting pada warga Afrika Amerika dan Cina agak sedikit berbeda dengan warga Amerika. Modernisasi yang cepat dan urbanisasi di negara Cina berkontribusi terhadap peningkatan jumlah dewasa madya (18-45) yang bermigrasi ke daerah perkotaan untuk bekerja, meninggalkan anak-anak, orang tua, dan istri di kampung halaman belakang pedesaan. Hal ini tentunya menyebabkan banyak permasalah sosial, termasuk meningkatnya jumlah anak


(32)

yang ditinggalkan oleh orangtuanya terutama di daerah pedesaan. Permasalahan ekonomi dilaporkan menjadi faktor utama yang menyebabkan anak-anak ditinggalkan oleh orangtua mereka dan sebagian besar dari mereka berada dalam perawatan kakek-nenek (Wang dan Wu 2003). Selain itu, biaya hidup yang tinggi termasuk biaya pendidikan, di daerah perkotaan lebih memaksa orang tua migran meninggalkan anak-anak mereka dengan kakek-neneknya (Duan et al. 2005).

Jill (2003) menyatakan bahwa praktek pengasuhan yang dilakukan kakek dan nenek bisa saja menggantikan ibu selama satu hari penuh, setengah hari atau sekali-kali. Pekerjaan mengasuh cucu bisa saja menjadi stress tersendiri bagi kakek dan nenek, namun kakek dan nenek tidak melihat keberadaan cucu sebagai stress bagi mereka. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kedekatan kakek dan nenek dengan cucunya diantaranya : (a) jarak geografis, (b) hubungan orangtua/kakek-nenek, (c) jumlah cucu, (d) pengasuhan oleh kakek/nenek, dan (e) status pernikahan kakek/nenek.

Kelekatan

Megawangi (2014) menyatakan bahwa kelekatan menggambarkan bagaimana derajat ikatan emosi antara pengasuh utama dengan anaknya yang diwarnai dengan oleh kualitas hubungan timbal balik antara keduanya. Kualitas ini bergantung pada sejauh mana perasaan cinta/kasih sayang, ketergantungan emosi, dan interaksi kedua belah pihak. Kelekatan adalah hubungan dua arah antara ibu dan anak yang proses berjalannya secara perlahan terutama ketika bayi sudah mulai mengenal orang-orang di sekitarnya.

Teori mengenai kelekatan dilakukan oleh Harlow yang membuktikan pentingnya sentuhan dalam pembentukan attachment. Harlow melakukan penelitian terhadap anak-anak kera yang dipisahkan dari ibunya ketika baru lahir. Selama 6 bulan mereka dibesarkan oleh “ibu pengganti” yang terbuat dari kain dan kawat. Bayi kera menghabiskan waktu yang lebih banyak dengan “ibu” yang terbuat dari kain. Penelitian ini mematahkan teori Freud mengenai fase oral pada bayi dimana Freud menyatakan bahwa bayi membangun kelekatan pada seseorang yang memberikan kepuasan oral. Penelitian ini menunjukkan dengan jelas bahwa menyusui bukan merupakan elemen terpenting dalam pembentukan attachment, dan adanya kontak yang membuat nyaman merupakan hal yang penting dalam

attachment (Santrock, 2007).

Harlow juga meneliti perilaku dari kera yang dipisahkan dari ibunya. Mereka menjadi sangat agresif, hiper agitatif, dan menyenangi perilaku kekerasan. Mereka juga tidak dapat melakukan kontak sosial, penakut, seperti anak autis, dan memperlihatkan perilaku seksual yang tidak patut. Ketika dewasa, monyet betina tidak dapat mengasuh, tidak mau menyusui dan melakukan kekerasan kepada anaknya.

Tokoh berikutnya yang menjelaskan mengenai attachment ialah Bowlby. John Bowlby adalah seorang psikolog dari Inggris pada tahun 1958. Bowlby menjelaskan bahwa “maternal deprivation” atau kekurangan kasih sayang ibu sering menyebabkan kecemasan (anxiety), kemarahan (anger), penyimpangan perilaku (delinquency), dan depresi (Mc Cartney dan Dearing, 2002). Bowlby menyatakan bahwa kelekatan pada pengasuh selama satu tahun pertama kehidupan memiliki konsekuensi penting sepanjang hidup. Jika kelekatan ini positif dan aman, seseorang mempunyai dasar untuk berkembang menjadi


(33)

individu yang kompeten dan memiliki hubungan sosial yang positif serta matang secara emosional. Jika hubungan kelekatan negatif dan tidak aman, menurut Bowlby, saat anak tumbuh, ia mungkin akan menghadapi kesulitan dalam hubungan sosial dan penanganan emosi.

Formulasi yang lebih lengkap dikemukakan oleh Mary Ainsworth pada tahun 1969. Ainsworth menyatakan bahwa kelekatan merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang mempunyaiarti khusus dalam kehidupannya, biasanya orang tua (Mc Cartney dan Dearing, 2002).

Bowlby menyatakan bahwa terdapat 4 karakteristik dari kelekatan (attachment) yaitu :

a. Proximity Maintenance : keinginan untuk berada dekat dengan figur

attachment.

b. Safe Haven : mencari figur attachment ketika merasa takut menghadapi suatu ancaman (agar dapat merasa aman dan nyaman) dimana individu membutuhkan rasa nyaman serta support sehingga figur attachment

berfungsi sebagai tempat untuk berlindung.

c. Secure Base : figur attachment bertindak sebagai dasar rasa aman agar anak dapat mengeksplorasi lingkungan sekitar.

d. Separation Distress : kecemasan yang terjadi ketika figur attachment tidak ada. Kecemasan ini mengarah kepada ketidaksediaan individu untuk berpisah dari figur attachment.

Ainsworth kemudian bergabung dengan Bowlby untuk melakukan penelitian mengenai “stranger situation” yang merupakan pengukuran observasional terhadap kelekatan bayi dimana bayi akan diperkenalkan, dipisahkan, lalu dipertemukan kembali dengan pengasuh dan orang asing dalam urutan tertentu (Santrock, 2007). Kelekatan antara pengasuh dan anak yang baik menjadi awal bagi perkembangan hati nurani, penghargaan diri, empati dan logika berfikir anak yang baik pula. Sebaliknya, kelekatan yang buruk bahkan traumatis akan mengakibatkan ketidakpercayaan anak pada orang lain yang ada di sekitarnya.

Hasil penelitian Bowlby dan Ainsworth menunjukkan bahwa pada anak-anak yang memiliki kelekatan yang aman (securely attached babies), bayi mengeksplorasi ruangan dan mengamati mainan yang disediakan di ruangan ketika pengasuh hadir di ruangan. Ketika anak ditinggalkan oleh pengasuhnya, bayi sedikit protes dan saat pengasuh kembali, bayi membangun kembali interaksi positif terhadap pengasuhnya dengan cara tersenyum dan duduk di pangkuannya. Bisa juga bayi melanjutkan bermain dengan mainan yang ada di dalam ruangan. Anak menempatkan pengasuh sebagai dasar yang aman untuk mengeksplorasi lingkungan. Saat dewasa, anak memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan yang akrab, mengembangkan rasa empati dan menetapkan batasan dengan tepat (Santrock, 2007).

Pada anak yang memiliki kelekatan yang tidak aman dan cenderung menghindari anak (insecure-avoidant), pengasuh tidak responsif terhadap kebutuhan anak, tidak peduli dan mengabaikan kebutuhan anak. Saat anak ditinggalkan oleh pengasuhnya, anak tidak mengalami stress dan saat pengasuh kembali, anak tidak mau menyapa atau mengakui kehadiran pengasuh. Anak juga


(34)

tidak berusaha mencari atau melakukan kontak dengan pengasuh. Saat dewasa, anak menghindari hubungan yang akrab, dekat dan emosional, menjaga jarak, kritis, kaku, dan tidak memiliki rasa toleransi terhadap orang lain.

Pada anak yang memiliki kelekatan yang tidak aman dan cenderung membingungkan (insecure-ambivalence), pengasuh merespon kebutuhan anak namun tidak konsisten. Saat anak ditinggalkan oleh pengasuhnya, anak mengalami stress dan saat pengasuh kembali, anak merasa tidak nyaman dengan kehadiran pengasuh. Saat dewasa, anak menjadi pencemas, merasa tidak aman, selalu mengawasi keadaan sekitar, tidak dapat diduga, dan terkadang nampak ramah.

Pada anak yang memiliki kelekatan yang tidak aman dan cenderung tidak terorganisir (insecure-disorganized), pengasuh melakukan kekerasan kepada anak atau menolak keberadaannya. Pengasuh juga merespon dengan cara yang menakutkan bagi anak. Saat anak ditinggalkan oleh pengasuhnya, anak tidak menunjukkan ekspresi apapun dan anak justru gelisah dan bingung saat pengasuh kembali kepadanya. Saat dewasa, anak mengalami permasalahan, tidak sensitif, emosi meledak-ledak, merusak, dan tidak percaya terhadap orang lain.

Kelekatan merupakan suatu hubungan yang didukung oleh tingkah laku lekat (attachment behavior) yang dirancang untuk memelihara hubungan tersebut (Durkin, 1995). Bowlby percaya bahwa perilaku awal sudah diprogam secara biologis. Reaksi bayi berupa tangisan, senyuman, isapan akan mendatangkan reaksi ibu dan perlindungan atas kebutuhan bayi. Proses ini akan meningkatkan hubungan ibu dan anak. Sebaliknya bayi juga dipersiapkan untuk merespon tanda, suara dan perhatian yang diberikan ibu. Hasil dari respon biologis yang terprogram ini adalah anak dan ibu akan mengembangkan hubungan kelekatan yang saling menguntungkan (mutuality attachment).

Teori etologi juga menggunakan istilah “Psychological Bonding” yaitu hubungan atau ikatan psikologis antara ibu dan anak, yang bertahan lama sepanjang rentang hidup dan berkonotasi dengan kehidupan sosial (Bowley dalam Hadiyanti,1992). Pengertian tingkah laku lekat (attachment behavior) adalah beberapa bentuk perilaku yang dihasilkan dari usaha seseorang untuk mempertahankan kedekatan dengan seseorang yang dianggap mampu memberikan perlindungan dari ancaman lingkungan terutama saat seseorang merasa takut, sakit dan terancam. Berkaitan dengan tingkah laku lekat, Ainsworth (Papalia dan Old 1986) menyebutkan ada mekanisme yang disebut dengan

“working model” atau istilah Bowlby disebut dengan “internal working model”.

Konsep working model selanjutnya dikembangkan oleh Collins dan Read dalam Pramana (1996) yang terdiri dari empat komponen yang saling berhubungan, yaitu;

1. Memori tentang kelekatan yang dihubungkan dengan pengalaman

2. Kepercayaan, sikap dan harapan mengenai diri dan orang lain yang dihubungkan dengan kelekatan

3. Kelekatan dihubungkan dengan tujuan dan kebutuhan (goal and needs)

4. Strategi dan rencana yang disosiasikan dengan pencapaian tujuan kelekatan. Mc Cartney dan Dearing (2002) menyatakan bahwa pengalaman awal akan mengarahkan dan menentukan perilaku dan perasaan melalui internal


(35)

1. “internal” : karena disimpan dalam pikiran;

2. “working” : karena membimbing persepsi dan perilaku dan

3. “model” : karena mencerminkan representasi kognitif dari pengalaman

dalam membinahubungan.

Anak akan menyimpan pengetahuannya mengenai suatu hubungan, khususnya pengetahuan mengenai keamanan dan bahaya. Model ini selanjutnya akan mengarahkan mereka dalam interaksi di masa yang akan datang. Interaksi interpersonal dihasilkan dan diinterpretasikan berdasarkan gambaran mental yang dimiliki seorang anak Model ini diasumsikan bekerja di luar pengalaman sadar. Pengetahuan anak didapatkannya dari interaksi dengan pengasuh, khususnya ibu. Anak yang memiliki orang tua yang mencintai dan dapat memenuhi kebutuhannya akan mengembangkan model hubungan yang positif yang didasarkan pada rasa percaya (trust). Selanjutnya secara simultan anak akan mengembangkan model yang parallel dalam dirinya. Anak dengan orang tua yang mencintai akan memandang dirinya “berharga”. Model ini selanjutnya akan digeneralisasikan anak dari orang tua pada orang lain, misalnya pada guru dan teman sebaya. Anak akan berpendapat bahwa guru dan teman adalah orang yang dapat dipercaya. Sebaliknya anak yang memiliki pengasuh yang tidakmenyenangkan akan mengembangkan kecurigaan (mistrust) dan tumbuh sebagai anak yang pencemas dan kurang mampu menjalin hubungan sosial. Mc Cartney dan Dearing (2002)

Selanjutnya, dalam tingkah laku lekat, ada dua macam figur lekat, yaitu figur lekat utama dan figur lekat pengganti. Menurut Bowlby, individu yang selalu siap memberikan respon ketika anak menangis tetapi tidak memberikan perawatan fisik cenderung dipilih sebagai figur lekat pengganti. Adapun individu yang kadang-kadang memberikan perawatan fisik namun tidak bersifat responsif tidak akan dipilih menjadi figur lekat.

Adapun kondisi yang dapat menimbulkan kelekatan pada anak ialah pengasuh anak dan komposisi keluarga. Pengasuh Anak, termasuk pada siapa dan bagaimana pengasuhan dilakukan. Orang yang paling banyak mengasuh anak adalah orang yang paling sering berhubungan dengan anak dengan maksud mendidik dan membesarkan anak. Hal ini menyangkut kualitas hubungan antara pengasuh dan anak, disamping itu pengasuh anak harus tetap dan berhubungan dengan anak secara berkesinambungan Komposisi keluarga berarti bahwa anak mempunyai kemungkinan untuk memilih salah satu dari orang-orang yang ada dalam keluarga sebagai figur lekatnya. Figur lekat yang dipilih anak biasanya adalah orang dewasa yang memenuhi persyaratan seperti pengasuh yang dijelaskan sebelumnya (Mc Cartney dan Dearing, 2002).

Kelekatan memiliki kaitan yang erat dengan pengasuhan. Santrock (2007) menyatakan bahwa bayi yang memiliki kelekatan yang aman biasanya memiliki pengasuh yang sensitif terhadap sinyal yang mereka berikan dan selalu siap merespon kebutuhan bayi. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sensitivitas keibuan dalam pola asuh berhubungan dengan kelekatan yang aman di dua budaya yang berbeda, yakni di Amerika Serikat dan Kolombia.

Pengasuh anak yang memiliki kelekatan avoidant cenderung tidak selalu siap atau bahkan menunjukkan penolakan. Seringkali mereka tidak merespon sinyal yang diberikan bayi atau hanya memberikan kontak fisik yang sedikit dengan bayi mereka. Ketika mereka berinteraksi dengan bayi mereka, mereka


(36)

cenderung berinteraksi dengan cara marah atau kesal. Pengasuh dari bayi yang

resistant cenderung untuk bersikap tidak konsisten, kadang-kadang mereka

merespon kebutuhan bayi, kadang-kadang tidak. Secara umum mereka cenderung untuk tidak terlalu hangat dengan bayi mereka atau ketika berinteraksi cenderung untuk tidak sinkron. Pengasuh dari anak yang disorganized seringkali menelantarkan atau bahkan melakukan kekerasan pada bayi mereka. Dalam banyak kasus, pengasuh seperti ini adalah pengasuh yang mengalami depresi.

Gunarsa (2014) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang menentukan permasalahan pada anak yang terpaksa terpisah dari ibunya, yakni :

a. Durasi dan frekuensi terjadinya perpisahan

Perpisahan yang lama tanpa ada tokoh pengganti akan menimbulkan dampak yang menyulitkan anak dan orang lain di sekitarnya, secara khusus terlihat pada kehidupan dan perkembangan emosi anak. Jika perpisahan sering terjadi tanpa ada tokoh pengganti yang benar-benar bisa memenuhi kebutuhan anak maka akan mengakibatkan permasalahan emosi pada anak. b. Kondisi pengasuhan ketika terjadi perpisahan

Dalam keadaan tertentu, perpisahan sering tidak dapat dihindarkan. Dalam keadaan demikian, pengganti ibu bisa berperan sebagai sebagai figur lekat anak. Pengganti ibu perlu memperlihatkan sikap, perlakuan dan stimulasi yang memuaskan anak sehingga anak lambat laun menjadi lekat dengan tokoh pengganti ibu.

c. Sikap ibu atau tokoh pengganti ibu setelah terjadi pertemuan dengan anak Ketika ibu bertemu dengan anak setelah berpisah, anak akan memperlihatkan kekecewaan yang mungkin akan terjadi beberapa saat, tetapi mungkin juga bisa berlaku lama. Sikap ibu atau tokoh sangat penting agar si anak bisa cepat memulihkan keterikatannya. Sikap menerima dan mengerti bahwa anak kesal atau kecewa dan membiarkan anak untuk sementara waktu menampilkan kekecewaan atau kejengkelannya akan banyak menolong anak mempercepat pemulihan kondisinya.

d. Masa perkembangan ketika terjadi perpisahan

Perpisahan yang terjadi pada masa pertama terjadinya kelekatan dengan ibu atau tokoh pengganti ibu akan berakibat buruk dibandingkan dengan masa lain. Kemampuan untuk menerima sesuatu secara rasional dan berkurangnya sifat egosentris pada anak mempengaruhi bagaimana cara anak bereaksi terhadap perpisahan.

e. Keadaan atau corak hubungan antara anak dengan ibu atau tokoh sebelum terjadi perpisahan

Kuat lemahnya kelekatan anak dengan ibu atau tokoh pengganti ibu mempengaruhi reaksi-reaksi yang akan diperlihatkan anak ketika terjadi perpisahan. Lemahnya kelekatan menyebabkan anak tidak terlalu merasa kehilangan bahkan mudah untuk mencari atau memperoleh tokoh pengganti dengan siapa ia merasa lebih terikat.

Kemandirian Anak Usia Prasekolah

Banyak para ahli yang menyatakan bahwa sejak usia dini anak-anak mulai mengembangkan kemandirian dan individualitas. Awalnya, bayi membutuhkan perawatan penuh, tetapi kemudian terus bergerak ke arah keterpisahan, keinginan untuk mendapatkan rasa kontrol, untuk menyendiri dan melakukan banyak hal


(1)

Variables Entered/Removedb

Model

Variables Entered

Variables

Removed Method

1 lekatn, PERMIN, U_nek, LPDDI, ABAIN, UBALSUH, JUMLAH, DEMON, AMANN, AUTON, OTORNa . Enter

a. All requested variables entered.

b. Dependent Variable: KOGNITIF

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .623a .388 .220 15.161

a. Predictors: (Constant), lekatn, PERMIN, U_nek, LPDDI, ABAIN, UBALSUH, JUMLAH, DEMON, AMANN, AUTON, OTORN

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 5831.067 11 530.097 2.306 .027a

Residual 9193.995 40 229.850

Total 15025.062 51

a. Predictors: (Constant), lekatn, PERMIN, U_nek, LPDDI, ABAIN, UBALSUH, JUMLAH, DEMON, AMANN, AUTON, OTORN


(2)

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 23.312 27.303 .854 .398

U_nek -.491 .212 -.308 -2.315 .026

LPDDI 2.091 .744 .399 2.810 .008

UBALSUH .458 .209 .302 2.188 .035

JUMLAH .558 1.655 .051 .337 .738

DEMON -.188 .184 -.174 -1.021 .313

OTORN -.516 1.165 -.641 -.443 .660

PERMIN .726 1.345 .800 .539 .593

ABAIN .084 .487 .023 .172 .864

AUTON -2.170 7.873 -.052 -.276 .784

AMANN .872 .276 .537 3.163 .003

lekatn -12.949 10.058 -.243 -1.287 .205


(3)

Test of Homogeneity of Variances

Levene Statistic df1 df2 Sig.

KOGNITIF .576 3 48 .634 MANDIRI .152 3 48 .928

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig. KOGNITIF Between Groups 2098.942 3 699.647 2.598 .063

Within Groups 12926.121 48 269.294 Total 15025.062 51

MANDIRI Between Groups 156.230 3 52.077 2.024 .123 Within Groups 1235.086 48 25.731


(4)

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons

LSD

Dependent

Variable (I) kombilekat (J) kombilekat

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

90% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

KOGNITIF Tidak Lekat dengan keduanya Hanya lekat dengan nenek -2.407 13.730 .862 -25.44 20.62 Hanya lekat dengan ibu -16.417 14.212 .254 -40.25 7.42

Lekat dengan keduanya -20.393* 11.883 .093 -40.32 -.46

Hanya lekat dengan nenek Tidak Lekat dengan keduanya 2.407 13.730 .862 -20.62 25.44 Hanya lekat dengan ibu -14.010 11.008 .209 -32.47 4.45

Lekat dengan keduanya -17.985* 7.773 .025 -31.02 -4.95 Hanya lekat dengan ibu Tidak Lekat dengan keduanya 16.417 14.212 .254 -7.42 40.25

Hanya lekat dengan nenek 14.010 11.008 .209 -4.45 32.47 Lekat dengan keduanya -3.975 8.596 .646 -18.39 10.44

Lekat dengan keduanya Tidak Lekat dengan keduanya 20.393* 11.883 .093 .46 40.32 Hanya lekat dengan nenek 17.985* 7.773 .025 4.95 31.02


(5)

MANDIRI Tidak Lekat dengan keduanya Hanya lekat dengan nenek -1.104 4.244 .796 -8.22 6.01 Hanya lekat dengan ibu 1.668 4.393 .706 -5.70 9.04 Lekat dengan keduanya -3.900 3.673 .294 -10.06 2.26 Hanya lekat dengan nenek Tidak Lekat dengan keduanya 1.104 4.244 .796 -6.01 8.22 Hanya lekat dengan ibu 2.772 3.403 .419 -2.94 8.48 Lekat dengan keduanya -2.797 2.403 .250 -6.83 1.23 Hanya lekat dengan ibu Tidak Lekat dengan keduanya -1.668 4.393 .706 -9.04 5.70 Hanya lekat dengan nenek -2.772 3.403 .419 -8.48 2.94 Lekat dengan keduanya -5.568* 2.657 .041 -10.02 -1.11 Lekat dengan keduanya Tidak Lekat dengan keduanya 3.900 3.673 .294 -2.26 10.06 Hanya lekat dengan nenek 2.797 2.403 .250 -1.23 6.83 Hanya lekat dengan ibu 5.568* 2.657 .041 1.11 10.02 *. The mean difference is significant at the 0.1 level.


(6)

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 28 November 1987 dari pasangan Maridah dan E. Koswara (Alm). Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara. Pada tahun 1997, penulis menempuh pendidikan dasar di SD Negeri Papandayan 3 Bogor, kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 3 Kota Bogor. Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMA Negeri 7 Kota Bogor dan pada tahun yang sama lulus seleksi IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Mayor Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia tahun 2005. Penulis kemudian menikah pada tahun 2010 dan dikaruniani dua orang putri berusia 4 tahun dan 2 tahun. Penulis melanjutkan studi S2 pada Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak, Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia pada tahun 2012.

Selama kuliah, penulis pernah menjadi Asisten praktikum Perilaku Konsumen dan Manajemen Keuangan Konsumen pada tahun 2008-2009. Penulis pernah bekerja sebagai guru matematika di SMPIT Ummul Quro dan Guru SD School of Universe pada tahun 2010. Penulis kemudian bekerja menjadi Asisten Dekan pada tahun 2010-2014 dan menjadi Asisten Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen sejak tahun 2014 hingga saat ini.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif pada beberapa organisasi kemahasiswaan yaitu: Sekretaris Umum BEM FEMA (2008-2009), Anggota Divisi PSDM LDF FORSIA (2008-2009), Himpunan Mahasiswa Ilmu Keluarga dan Konsumen sebagai anggota Divisi Perkembangan Anak (2007-2008); Ketua Alumni Beastudi Etos Bogor (2010-2015), dan

Pembicara dalam kajian “Peran Muslimah dalam Masyarakat” yang diselenggarakan oleh

FORSIA tahun 2014.

Prestasi-prestasi yang diraih penulis selama di IPB diantaranya adalah : Finalis Mahasiswa Berprestasi FEMA tahun 2009; Lulusan terbaik IPB Periode Mei 2010 dan

penerima Hibah Bersaing dibiayai DIKTI tahun 2013 dengan judul penelitian “Dukungan

Keluarga dan Strategi Koping terhadap Kemandirian Lansia Miskin di Kota dan Kabupaten Bogor. Penulis juga merupakan penerima Beastudi Etos (2005-2008), Beastudi TANOTO FOUNDATION (2008-2009), dan Beasiswa Unggulan DIKTI (2012-2014).