Angkutan Udara Luar Negeri

yang pelaksanaannya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional berdasarkan perjanjian. Dalam penyelenggaraan angkutan udara perintis, pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya lahan, prasarana angkutan udara, keselamatan dan keamanan penerbangan serta kompensasi lainnya. Angkutan udara perintis harus dilaksanakan secara terpadu dengan sector lain berdasarkan pendekatan pembangunan wilayah. Setiap tahun angkutan udara perintis dievaluasi oleh pemerintah yang hasilnya untuk mengubah suatu rute angkutan udara perintis menjadi rute komersial.

C. Angkutan Udara Luar Negeri

1. Angkutan Udara Niaga Berjadwal Luar Negri 10 Dalam UURI No. 15 Tahun 1992, angkutan udara niaga berjadwal luar negri diatur dalam pasal 36.Menurut pasal tersebut kegiatan angkutan udara niaga yang melayani angkutan udara luar negri hanya dapat diusahakan oleh badan hukum Indonesia yang telah mendapat izin Menteri Perhubungan.Badan hukum Indonesia tersebut dapat berupa Badan Usaha Milik Negara BUMN, Badan Usaha Milik Swasta BUMS atau koperasi 11 . Hal ini berbeda dengan UURI No. 1 Tahun 2009. Menurut UURI No. 1 TAhun 2009, kegiatan angkutan udara niaga luar negri Pasal 1 angka 17 UURI Berdasarkan ketentuan ini tidak ada perusahaan angkutan udara asing dapat melakukan angkutan udara berjadwal luar negeri sementara itu UURI No. 15 Tahun 1992 tidak berbicara mengenai perjanjian angkutan udara bilateral. 10 Dalam hukum Internasional angkutan udara niaga berjadwal diatur dalam pasal 6 Konvensi Chicago 1946 11 Sampai saat ini belum ada badan usaha angkutan udara milik koperasi No. 1 tahun 2009 : Angkutan udara luar negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan udara dari satu Bandar udara di dalam negeri ke Bandar udara lain di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional danatau perusahaan angkutan udara niaga berjadwal asing untuk mengangkut penumpang, kargo berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral. Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal tersebut harus merupakan badan usaha angkutan udara niaga yang telah ditunjuk oleh pemerintah Republik Indonesia dan mendapat persetujuan dari negara asing yang bersangkutan dan sebaliknya perusahaan angkutan udara niaga berjadwal asing tersebut juga harus merupakan perusahaan angkutan udara niaga yang telah ditunjuk oleh negara yang bersangkutan dan mendapat persetujuan pemerintah Republik Indonesia. Menurut Pasal 87 UURI No.1 Tahun 2009, dalam hal Indonesia melakukan perjanjian plurilateral mengenai angkutan udara dengan suatu organisasi komunitas negara asing, pelaksanaan perjanjian dilakukan berdasarkan perjanjian bilateral dengan masing-masing negara komunitas tersebut, pelaksanaan perjanjian dilakukan berdasarkan ketentuan yang disepakati dalam perjanjian tersebut. Menurut Pasal 124 UURI No.1 Tahun 2009, perusahaan angkutan udara niaga berjadwal asing foreign scheduled airlines khusus mengangkut kargo tersebut harus merupakan perusahaan angkutan udara niaga yang telah ditunjuk oleh negara yang bersangkutan dan mendapat persetujuan pemerintah Republik Indonesia. 2. Angkutan Udara Niaga Tidak Berjadwal Luar Negeri Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negri foreign non- scheduled airlines hanya dapat dilakukan oleh perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal atau berjadwal asing yang merupakan angkutan udara dalam bentuk rombongan tertentu affinity group atau penumpang yang dikumpulkan untuk melakukan perjalanan dalam bentuk paket inclusive tour charter atau perorangan yang membeli seluruh kapasitas pesawat udara untuk kepentingan sendiri own used charter. Perusahaan angkutan udara niaga asing yang akan melaksanakan kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negri harus mendapatkan diplomatic clearance dari Departemen Luar Negeri, security clearance dari Departemen Pertahanan dan persetujuan terbang flight approval dari Direktur Jenderal Perhubungan udara. Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing hanya dapat menurunkan penumpangnya ke wilayah Indonesia dan menaikkan penumpang asal penerbangan yang diturunkan pada penerbangan sebelumnya in bound traffic. Dalam UURI No. 15 Tahun 1992, secara khusus tidak mengatur kegiatan angkutan udara tidak berjadwal luar negeri, walaupun demikian bukan berarti badan usaha nasional maupun perusahaan penerbangan asing tidak dapat melakukan kegiatan angkutan udara tidak berjadwal luar negeri, karena dalam pasal 13 UURI No. 15 Tahun 1992 memungkinkan penggunaan pesawat udara asing untuk melakukan penerbangan dari dan ke atau melalui wilayah Republik Indonesia berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral atau izin khusus pemerintah. Dalam RUU Penerbangan kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri international non-scheduled airlines diusulkan dalam Pasal 30 ayat 3 dan 4. Menurut usul tersebut kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri dapat diusahakan oleh perusahaan angkutan udara niaga nasional dan perusahaan angkutan udara asing berdasarkan izin pemerintah. Angkutan udara niaga luar negeri tidak berjadwal menurut RUU Penerbangan dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional danatau asing untuk mengangkut penumpang dan kargo atau khusus kargo. Kecuali penumpangnya sendiri yang diturunkan pada penerbangan sebelumnya in-bound traffic, perusahaan angkutan udara tidak berjadwal asing yang melayani rute ke Indonesia, dilarang mengangkut penumpang dari wilayah Republik Indonesia dengan dikenakan ancaman sanksi administrasi berupa denda administrasi. Ketentuan prosedur dan cara pengenaan sanksi tersebut diatur dalam peraturan pemerintah mengenai penerimaan negara bukan pajak kecuali dengan izin Menteri Perhubungan. 3. Perjanjian Angkutan Udara Bilateral Bilateral AirTransport Agreement Dasar hukum Internasional perjanjian angkutan udara bilateral adalah Pasal 6 Chicago 1944. Menurut pasal tersebut, tidak ada penerbangan internasional berjadwal yang dapat dilakukan ke Negara anggotan lainnya, kecuali atas persetujuan atau izin Negara yang bersangkutan. Izin tersebut biasanya dalam bentuk perjanjian angkutan udara bilateral. Pasal tersebut lahir karena kegagalan konferensi penerbangan sipil internasional di Chicago dalam tahun 1944 yang bermaksud mempertukarkan hak-hak penerbangan five freedom of the air secara multilateral. Pada saat konfensi penerbangan sipil internasional tersebut, sepanjang menyangkut regulasi teknis maupun operasional, para delegasi setuju mengambil alih ketentuan yang terdapat didalam konvensi Paris 1919 maupun konfensi Havana 1928. Pada pokoknya perjanjian angkutan udara bilateral mengatur pertukaran hak-hak penerbangan five freedom of the air, kemudian dibungkus dengan judul, pertimbangan, pengertian, pertukaran hak penerbangan traffic rights, penunjukan perusahaan penerbangan designated airlines, pejabat yang berwenang civil aviation authority, persyaratan kelayakan keudaraan pesawat udara aircraft airworthiness requirements, pengakuan sertifikat awak pesawat udara recognition of aircraft certificate, persyaratan kepemilikan perusahaan penerbangan ownership and effective control, persyaratan pengoperasian untuk pembebasan berbagai peralatan yang digunakan selama penerbangan berlangsung, keberangkatan dan pendaratan, kesempatan yang sama, rute penerbangan, hukum yang berlaku, konsultasi, tarif, sengketa, kepatuhan, perubahan amandemen, mulai dan berakhirnya perjanjian, dan bahasa yang digunakan serta penandatanganan. Indonesia saat ini telah mempunyai perjanjian angkutan udara bilateral tidak kurang dari 67 negara. Dalam UURI No. 15 Tahun 1992 perjanjian angkutan udara bilateral diatur dalam Pasal 37 ayat 3. Menurut pasal tersebut perjanjian antarnegara rute dan jejaring penerbangan internasional dibicarakan dalam negosiasi antarnegara dengan memanfaatkan wilayah udara nasional bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam RUU Penerbangan, perjanjian angkutan udara bilateral diusulkan dalam Pasal 30. Dalam UURI No. 1 Tahun 2009, dasar hukum nasional untuk membuat perjanjian angkutan udara internasional diatur dalam Pasal 86, 87, 89, 90. Menurut Pasal 86 UURI No. 1 Tahun 2009 ada dua macam perjanjian internasional masing-masing perjanjian angkutan udara secara bilateral oleh pemerintah Republik Indonesia dengan satu Negara asing yang menjadi mitra perikatan contracting party dan perjanjian angkutan udara internasional secara multilateral yang bersifat khusus atau umum yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia dengan beberapa negara asing yang menjadi mitra perikatan contracting parties dan anggota dalam perjanjian tersebut. Perjanjian angkutan udara internasional bilateral maupun multilateral tersebut sebagai dasar hukum angkutan udara niaga berjadwal luar negeri yang dilakukan oleh perusahaan angkutan udara nasional maupun perusahaan angkutan udara asing untuk mengangkut penumpang dan kargo.

D. Kegiatan Usaha Penunjang yang Terkait dengan Angkutan Udara