10
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Limbah Air Asam Tambang
Limbah air asam tambang merupakan permasalahan lingkungan yang dihadapi di seluruh industri tambang di dunia. Di Amerika Serikat pencemaran
limbah air asam tambang di seluruh wilayah pertambangan mencakup area sekitar 25.000 hektar dan mencemari wilayah aliran air permukaan yang cukup luas
Durkin dan Herrmann, 1994. Di Indonesia di wilayah industri pertambangan limbah air asam tambang menjadi permasalahan lingkungan yang krusial. Hasil
monitoring limbah pertambangan batu bara di Kalimantan, atau pertambangan tembaga di Nusa Tenggara dan Papua, memperlihatkan bahwa limbah air bua ngan
tambang masih melebihi ambang batas mutu air. Hal ini yang menyebabkan kondisi lingkungan di sekitar limbah buangan tersebut mengalami kerusakan.
Air asam tambang adalah limbah yang mengancam kelestarian lingkungan yang terbentuk akibat kegiatan pertambangan. Johnson dan Hallberg 2005
mengemukakan bahwa pada tahun 1989 diperkirakan 19.300 km badan sungai dan 72.000 hektar danau dan bendungan di berbagai belahan di dunia mengalami
kerusakan karena limbah air asam tambang, walaupun tingkat kerusakan tersebut sulit untuk diukur secara tepat.
Proses terjadinya air asam tambang telah diuraikan secara rinci oleh Johnson 2003. Air asam tambang merupakan hasil reaksi oksidasi batuan
tambang yang kaya akan mineral sulfida. Banyak jenis mineral sulfida yang ada di alam, seperti pyrrhotite FeS, arsenopirit FeAsS, chalcopirit CuFeS
2
, dan pirit FeS
2
. Pirit merupakan mineral sulfida yang banyak dijumpai pada pertambangan batu bara. Batuan sulfida tersebut mengalami oksidasi dengan
adanya air dan oksigen, yang dikatalis oleh bakteri pengoksida besi dan sulfur, seperti Thiobacillus ferrooxidans, Leptospirillum ferrooxidans dan Thiobacillus
thiooxidans Schipper, 2004; Cohen, 2005; Johnson dan Halberg, 2005. Reaksi oksidasi pirit merupakan reaksi yang kompleks, sehingga Lizama
dan Suzuki 1989 membagi proses oksidasi pirit menjadi tiga reaksi utama, yakni i reaksi spontan yang terjadi saat mineral pirit tersingkap ke permukaan tanah,
ii reaksi dipercepat dengan adanya ion Fe
3+
, dan iii reaksi biologi yang mengikutsertakan aktivitas oksidasi bakteri pengoksida besi dan sulfur.
11
Reaksi oksidasi pirit FeS
2
dapat ditulis dengan persamaan sebagai berikut:
FeS
2 s
+ 72 O
2
+ H
2
O à
Fe
2+
+ 2SO
4 2-
+ 2H
+
1 Fe
2+
+ 14 O
2
+ H
+
à Fe
3+
+ ¼ H
2
O 2
FeS
2 s
+ 14Fe
3+
+ 8H
2
O à
15 Fe
2+
+ 2SO
4 2-
+ 16 H
+
3 Fe
3+
+ 3H
2
O à
FeOH
3 s
+ 3H
+
4 Secara keseluruhan oksidasi pirit mengikuti persamaan berikut,
FeS
2 s
+ 154 O
2
+ 72 H
2
O à FeOH
3 s
+ 2SO
4 2-
+ 4H
+
+ energi 5 Reaksi 1 dan 2 menunjukkan oksidasi mineral sulfida pirit membentuk ion
Fe
3+
, sulfat dan beberapa proton pembentuk kemasaman, sehingga kondisi lingkungan menjadi lebih asam. Ion Fe
3+
merupakan pengoksida yang cukup kuat, sehingga mempercepat oksidasi mineral sulfida membentuk ion sulfat
Fowler dan Crundwell, 1998. Penurunan kemasaman lingkungan merupakan kondisi yang cukup sesuai bagi pertumbuhan mikrob asidofilik pengoksida besi
dan sulfur. Proses oksidasi pirit menjadi Fe
2+
dan SO
4 2-
sangat dipengaruhi oleh konsentrasi Fe
3+
dan pH lingkungan. Peningkatan konsentrasi Fe
3+
akan mempercepat laju oksidasi pirit, sedangkan peningkatan nilai pH lingkungan akan
menghambat laju oksidasi pirit Williamson dan Rimstidt, 1994. Hossner dan Doolittle 2003 mengemukakan bahwa pada nilai pH di bawah 4, ion Fe
3+
akan mudah larut dan menjadi pengoksida kuat bagi mineral sulfida. Pada kondisi
demikian laju oksidasi FeS
2
berubah sesuai dengan perubahan waktu tergantung pada konsentrasi FeS
2
. Pada nilai pH lebih dari 4, laju oksidasi FeS
2
akan konstan sepanjang waktu, dan pada nilai pH di atas 4,5, oksidasi FeS
2
lebih banyak terjadi dengan adanya oksigen, sedang bakteri T. ferrooxidans kurang aktif.
Vaughan et al. 2001 mengemukakan bahwa reaksi oksidasi mineral sulfida dipengaruhi oleh sifat fisika dan kimia mineral sulfda, diantaranya adalah
perbandingan stoikiometri kandungan logam dan sulfur dalam mineral sulfida dan ukuran permukaan mineral. Dikemukakan bahwa ukuran permukaan mineral
akan menentukan reaksi kimia yang terjadi, seperti interaksi antara mineral pirit dengan beberapa logam tertentu Cu dan Cd, dan reaksi redoks.
12
Proses oksidasi ion Fe
2+
menjadi Fe
3+
dipercepat dengan adanya mikrob pengoksida besi, seperti T. ferrooxidans dan L. ferrooxidans. T. ferrooxidans
mampu memanfaatkan Fe
3+
untuk mengoksidasi senyawa sulfur, tetapi laju oksidasi sulfur tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan oksidasi Fe
2+
Lizama dan Suzuki, 1989. Laju oksidasi FeS
2
akan dipercepat dengan adanya Fe
3+
dan bakteri T. ferrooxidans Fowler et al., 1999. Hossner dan Doolittle 2003 mengemukakan bahwa dengan adanya aktivitas bakteri pengoksida, laju
oksidasi meningkat sampai 10
6
kali lipat, sedang Schrenk et al. 1998 mengemukakan bahwa percepatan laju pelarutan pirit ole h bakteri mencapai 10
-5
µmol Fe per sel per hari pada pH 0,7 dan suhu 42
o
C. Keberadaan bakteri pengoksida Fe dan sulfur sangat mempengaruhi laju
oksidasi mineral pirit. Sand dan Gehrke 2006 mengemukakan bahwa bakteri pengoksida T. ferrooxidans tidak ha nya mampu meningkatkan laju oksidasi pirit
melebihi laju oksidasi yang terjadi secara kimia, tetapi bakteri T. ferrooxidans juga mampu berinteraksi langsung dengan mineral melalui sekresi ektraselular
atau melalui oksidasi dengan enzim spesifik mineral sulfida yang ada di permukaan dinding sel, dengan mengikuti persamaan seperti di bawah ini
FeS
2
+ H
2
O + 72O
2
Fe
2+
+ 2SO
4 2-
+ 2H
+
Proses pelarutan dan oksidasi mineral oleh bakteri terjadi melalui singgungan langsung bakteri dengan permukaan partikel mineral. Naveke 1986
menggambarkan pentingnya peran bakteri dalam proses pelarutan dan oksidasi pirit seperti pada Gambar 2. FeS
2
akan terurai menjadi Fe
2+
dan S
2-
. Selanjutnya bakteri T. ferrooxidans akan berperan dalam mengoksidasi Fe
2+
menjadi Fe
3+
seperti disajikan pada Gambar 3a. T. ferrooxidans mengoksidasi Fe
2+
untuk menghasilkan energi yang kemudian dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan per-
kembangan sel bakteri. Sedangkan S
2-
atau S dioksidasi menjadi SO
4 2-
oleh T. ferrooxidans bersama-sama denga n T. thiooxidans, seperti pada Gambar 3.
Proses oksidasi S
2-
menjadi SO
4 2-
mengikuti reaksi berikut, S
2-
à S
o
à S
2
O
3 2-
à S
4
O
6 2-
à SO
3 2-
à SO
4 2-
bakteri
13
Gambar 2. Proses pelarutan mineral pirit oleh bakteri Thiobacillus sp.
a
b Gambar 3. Proses oksidasi besi dan sulfur oleh bakteri Thiobacillus sp.
Bakteri T. ferrooxidans mengoksidasi sulfida menjadi sulfat untuk mendapatkan energi bagi pertumbuhannya. Melalui proses tersebut, T.
ferrooxidans mampu melarutkan logam dari senyawa sulfida secara langsung maupun tidak langsung seperti reaksi berikut Lizama dan Suzuki, 1987,
MS + 2O
2
à M
2+
+ SO
4 2-
secara langsung MS + 2Fe
2+
à M
2+
+ S + 2Fe
2+
secara tidak langsung
14
dimana MS adalah logam sulfida dan M
2+
adalah ion logam bervalensi 2. Ion Fe
2+
dan S akan teroksidasi oleh T. ferrooxidans membentuk Fe
3+
dan SO
4 2-
. Terbentuknya ion sulfat sangat mempengaruhi kemasaman lingkungan.
Pada pH 2.5 sampai 3.5, sulfat akan melarutkan ion- ion logam dari bentuk karbonat dan oksidanya dan relatif rendah terhadap logam sulfida Greenberg et
al., 1992. Disamping itu, adanya ion Fe
3+
yang merupakan pengoksida kuat mampu melarutkan mineral- mineral logam sulfida, seperti timbal, tembaga, seng
dan kadmium, seperti persamaan berikut : MS + 2Fe
3+
à M
2+
+ S
2-
+ 3Fe
2+
Melalui reaksi tersebut, logam- logam berat dalam mineral sulfida akan teroksidasi menjadi ion logam yang terlarut Leduc dan Ferroni, 1994. Dengan
adanya kandungan sulfat dan logam yang terlarut menyebabkan limbah air asam tambang sangat berbahaya bagi kehidupan flora dan fauna, serta ekosistem secara
keseluruhan Downing, 2002. Tingkat kemasaman yang tinggi meningkatkan kelarutan logam- logam
berbahaya, seperti As, Cd, Cr, Pb, dan Se. Meningkatnya kelarutan logam- logam tersebut akan sangat membahayakan organisme air, karena akan berakibat pada
keracunan dan bahkan dapat menyebabkan kematian hewan air. Dengan demikian, peningkatan kelarutan logam berbahaya tersebut akan mempengaruhi
keseimbangan ekosistem. Tingkat kemasaman yang tinggi pada limbah air asam tambang secara
langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kualitas lingkungan dan kehidupan organisme. Sebagian besar tumbuhan dan hewan tidak mampu hidup
pada pH rendah, dan hanya mikroorganisme asidofil yang mampu bertahan dan hidup pada pH rendah Ingledew, 1990. Sampai saat ini limbah air asam
tambang ini belum dikelola dengan baik, sehingga mencemari sistem perairan darat, dan bahkan mencemari perairan pesisir dan laut.
2.2. Teknik Remediasi Air Asam Tambang