Tabel 3.1. Parameter yang Diukur, Satuan, AlatBahanMetode yang Digunakan
dan Tempat Pengukuran Parameter
atuan Alat Bahan dan Metode
yang digunakan Temp
at pengukuran I. FISIK-KIMIA AIR DAN
SUBSTRAT Suhu air dan suhu substrat
º C Termometer Hg
lapangan Penetrasi cahaya
cm Sechi disk
lapangan Kecepatan arus
mdet Stop wacth
, bola pimpong, nilon sepanjang 10 m
lapangan Kedalaman air
cm Tali penduga
yang diberi pemberat
lapangan Fraksi substrat
Sediment core , oven,
sieve shaker
laboratorium DO dan BOD
mgl
5
Botol Winkler, alat titrasi, NaOHKI, MnSO
4
, Amilum, H
2
SO
4
lapangan ,
Natrium TioSulfat metode Winkler
laboratorium
Salinitas air ‰
Salinometer lapangan
pH air dan pH substrat -
pH meter lapangan
NO
3
dan PO mgL
4
Spektrofotometer Lapangan
laboratorium
II. BIOLOGI Makrozoobentos
Kepadatan, Kepadatan relatif,
Frekwensi kehadiran, Keragaman, Keseragaman,
Distribusi indm
2
Paralon, alkohol 70 dihitung jumlah individu, dianalisa.
lapangan dan laboratorium
3.4. Parameter Fisik Kimia Air dan Fraksi Substrat
Pengukuran parameter fisik-kimia air dan substrat dilakukan pada tiap stasiun dengan pengulangan sesuai periode pengambilan sampel makrozoobentos.
Pengukuran suhu air dan substrat, penetrasi cahaya, kecepatan arus, kedalaman air, salinitas air, pH air, pH substrat dilakukan langsung di lapangan, sedangkan
untuk kandungan nitrat, fosfar dan fraksi substrat dilakukan di laboratorium.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3.1. Peta Lokasi Penelitian
Universitas Sumatera Utara
3.5 Analisis Data 3.5.1. Kepadatan, Kepadatan Relatif, Frekwensi Kehadiran, Indeks
Keragaman dan Indeks Keseragaman Makrozoobentos
Kepadatan dan kepadatan relatif makrozobentos dihitung dengan menggunakan persamaan menurut Brower et al., 1990, frekuensi kehadiran,
Indeks keragaman menggunakan persamaan menurut Krebs 1985, Indeks kesamaan menggunakan persamaan menurut Odum 1993 sebagai berikut:
a. Kepadatan =
�����ℎ �������� �������������� ���� ���� ������� ���� ����
b. Kepadatan Relatif =
Jumlah individu suatu jenis Jumlah individu seluruh jenis
x 100
c. Frekuensi Kehadiran =
�����ℎ ���� ���� ��������� ����� ����� �����ℎ ����� ����
� 100
dimana jika nilai frekuensi kehadiran : 0 – 25 = kehadiran sangat jarang
26 – 50 = kehadiran jarang 51 – 75 = kehadiran sering
76 = kehadiran sangat sering
d. Indeks Keragaman H’ = - ∑ pi ln pi
dimana pi = Perbandingan jumlah individu spesies i dengan total individu seluruh spesies
ln = Logaritma natural
e. Indeks Keseragaman E =
�′ �����
dimana: H’ = Indeks keragaman Shannon-Wiener Hmax = Indeks keragaman maksimum Ln S
S = Jumlah spesies
3.5.2. Distribusi Genus Makrozoobentos
Distribusi makrozoobentos pada tiap stasiun dianalisa menggunakan persamaan Indeks Distribusi Morisita menurut Krebs 1989 sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
dengan: Id
= Indeks distribusi Morisita n
= banyaknya plot mulai dari 1 sampai n N
i
Σx = jumlah total individu dalam total plot
i 2
= jumlah kuadrat individu dalam total plot
3.5.3. Analisis Korelasi
Keeratan hubungan antara keragaman makrozoobentos dengan parameter fisik kimia air dan substrat dianalisa menggunakan analisa korelasi Pearson
melalui program komputerisasi SPSS versi 17.
− −
=
∑
1
2 i
i i
i
N N
N x
n Id
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Parameter Fisik Kimia Air dan Substrat
Hasil pengukuran nilai rata-rata parameter fisik kimia air dan substrat pada tiap stasiun disajikan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Nilai Rata-rata Parameter Fisik Kimia Air dan Substrat pada Tiap Stasiun
Parameter Stasiun
1 2
3 4
Suhu air °C 27.50
26.30 26.70
26.80 Suhu substrat °C
31.70 31.00
31.10 31.50
Penetrasi cahaya cm 75.30
52.00 52.00
57.70 Kecepatan arus mdetik
1,84 3,26
2,53 3,43
Kedalaman air m 1.30
1.60 2.10
1.50 pH air
7.20 6.70
6.80 7.10
pH substrat 6.30
6.20 6.20
6.10 Salinitas air ppt
17.90 16.40
17.50 12.50
DO mgL 4.80
3.60 3.70
3.70 BOD
5
1.00 mgL
0.80 0.80
0.60 NO
3
1.26 mgL
2.18 1.66
1.18 PO
4
0.15 mgL
0.20 0.17
0.13 Fraksi substrat pasir
51,00 49,00
47,00 53,00
Fraksi substrat debu 31,00
25,00 23,00
21,00 Fraksi substrat liat
18,00 26,00
30,00 30,00
Keterangan : Stasiun 1 : N3
44
’
57,7
’
E98 38
’
50,1
’’
; Stasiun 2 : N3 44
’
16,5”E 98 38
’
Stasiun 3 : N3
44,3” 45
’
22,9”E98 38
’
29,8
”
; Stasiun 4 : N3 45
’
03,4
’’
E98 38
’
22,0
’’
4.1.1. Suhu dan Penetrasi Cahaya
Hasil pengukuran suhu air dan suhu substrat pada tiap stasiun mendapatkan nilai yang berkisar antara 26,30°C-27,50°C dan 31,00°C-31,70°C. Suhu air dan
substrat tertinggi dijumpai pada stasiun 1 dan terendah pada stasiun pada stasiun 2. Hasil pengukuran penerasi cahaya mendapatkan nilai yang berkisar antara
52,00 cm – 75,30 cm, dengan nilai terendah dijumpai pada stasiun 2 dan 3 dan tertinggi pada stasiun 1 Tabel 3.1. Tingginya suhu air dan substrat pada stasiun 1
Universitas Sumatera Utara
berkaitan erat dengan tingginya nilai penetrasi cahaya pada stasiun ini. Stasiun 1 merupakan kawasan lebih terbuka dibanding ketiga stasiun lainnya, sehingga
intensitas cahaya matahari yang masuk ke permukaan air juga lebih tinggi, yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kondisi suhu perairan di stasiun
tersebut. Priosambodo 2011 menyatakan intensitas cahaya matahari yang masuk ke kolom air akan meningkatkan suhu perairan tersebut. Stasiun 2 memiliki suhu
air dan substrat terendah disebabkan stasiun ini merupakan kawasan alami yang banyak ditumbuhi vegetasi nipa Nypa fruticans. Selain nipa, stasiun ini juga
secara visual terlihat memiliki vegetasi mangrove lebih lebat dibanding stasiun lainnya, sehingga intensitas vahaya matahari yang masuk ke kolom air juga lebih
rendah.
4.1.2. Kecepatan Arus
Kecepatan arus berpengaruh bagi kehidupan biota perairan termasuk makrozoobentos terutama dalam hal migrasi. Hasil pengukuran kecepatan arus
pada tiap stasiun mendapatkan nilai yang berkisar antara 1,84 mdetik- 3,43 mdetik Tabel 3.1. Kecepatan arus terendah terdapat pada stasiun 1 dan
tertinggi pada stasiun 4. Tingginya kecepatan arus pada stasiun 4 disebabkan pada stasiun ini banyak dijumpai anak sungai yang mengalir di dalamnya , sehingga
mempengaruhi kecepatan arus di stasiun tersebut. Knox 1986 menyatakan salah satu penyebab tingginya kecepatan arus di suatu perairan adalah adanya sumber
air yang berasal dari anak sungai yang mengalir ke perairan tersebut, selain adanya pengaruh arus akibat pasang surut.
4.1.3. Kedalaman Air
Hasil pengukuran kedalaman air menunjukkan nilai yang berkisar antara 1,30 m-2,10 m. Kedalaman air terendah dijumpai pada stasiun 1 dan tertinggi
pada stasiun 3. Tingginya kedalaman air di stasiun 3 disebabkan pada stasiun tersebut terkadang dijumpai adanya aktivitas masyarakat lokal yang mengambil
pasir pantai untuk bahan membuat rumah mereka, sehingga diduga sebagai penyebab lebih tingginya kedalaman air di stasiun tersebut dari stasiun lainnya..
Universitas Sumatera Utara
4.1.4. Nilai pH Air dan pH Substrat
Hasil pengukuran mendapatkan nilai pH air dan pH substrat yang bervariasi. Nilai pH air pada keempat stasiun berkisar antara 6,70-7.30, sedangkan
untuk pH substrat 6,20-6,40. Cole 1983 menyatakan adanya perbedaan nilai pH pada suatu perairan disebabkan penambahan atau kehilangan CO2 melalui proses
fotosintesis di dalam perairan. Lebih lanjut Rinawati et al. 2007 menyatakan nilai pH yang normal mengindikasikan jumlah bahan organik terlarut sedikit.
Semakin banyak jumlah bahan organik terlarut akan menyebabkan nilai pH menurun, karena konsentrasi CO2 semakin meningkat akibat aktifitas mikroba
dalam menguraikan bahan organik. Secara keseluruhan nilai pH air dan pH substrat pada tiap stasiun masih mendukung kehidupan makrozoobentos. Menurut
Sastrawijaya 1991 nilai pH air dan subsrat yang baik untuk mendukung kehidupan organisme makrozoobentos berkisar antara 5.0 – 8.0. Selanjutnya
Mahida 1993 menyatakan nilai pH yang dibutuhkan makrozoobentos di perairan adalah berkisar 6,00-9,00.
4.1.5. Salinitas Air
Hasil pengukuan salinitas air pada tiap stasiun menunjukkan nilai yang berfluktuasi, berkisar antara 12,50‰-17,90‰. Fluktuasi kisaran nilai salinitas ini
disebabkan pada lokasi penelitian dijumpai adanya aliran sungai yang masuk ke badan perairan sehingga mempengaruhi salinitas pada perairan ini. Nybakken
1992 menyatakan salinitas di perairan pantai dapat berfluktuasi disebabkan adanya sungai-sungai yang mengalirkan air tawar.
Berdasarkan nilai salinitas yang didapat terlihat bahwa kondisi salinitas di perairan estuari Belawan masih dalam kisaran normal untuk perairan estuari dan
masih mendukung kehidupan makrozoobentos. Hutabarat dan Evans 1985 menyatakan kisaran salinitas yang masih dapat mendukung kehidupan organisme
perairan, khususnya fauna makrobenthos adalah 15 - 35‰. Menurut Odum 1994 salinitas dapat mempengaruhi penyebaran
organisme makrozoobentos baik secara horizontal, maupun vertikal. Selanjutnya Effendi 2003 menyatakan bahwa makrozoobentos dari kelompok Gastropoda
yang bersifat mobile mempunyai kemampuan untuk bergerak guna menghindari
Universitas Sumatera Utara
salinitas yang terlalu rendah, namun bivalvia yang bersifat sessile akan mengalami kematian jika pengaruh air tawar berlangsung lama.
4.1.6. Kandungan Oksigen Terlarut
Kandungan oksigen terlarut di perairan berfluktuasi secara harian dan musiman tergantung pada percampuran dan pergerakan massa air, aktifitas
fotosintesis, respirasi dan limbah yang masuk ke dalam badan air. Hasil penelitian menunjukkan kandungan oksigen terlarut pada keempat stasiun berkisar antara
3,60 mgL-4,80 mgL. Kondisi ini menggambarkan bahwa kandungan oksigen terlarut di setiap stasiun masih mendukung kehidupan makrozoobentos. Menurut
Sinambella 1994 kehidupan mankrozoobentos di air dapat bertahan jika ada kandungan oksigen terlarut minimum sebesar 2 mgL.
4.1.7. BOD
Nilai BOD menunjukkan sejumlah oksigen dalam perairan yang dibutuhkan oleh bakteri aerobik untuk menetralisir atau menstabilkan bahan-
bahan organik di dalam air melalui proses oksidasi biologis Sugiharto, 1987. Hasil pengukuran nilai BOD selama lima hari didapatkan nilai sebesar 0,60 mgL-
1,00 mgL. Berdasarkan nilai BOD yang didapatkan menunjukkan bahwa perairan estuari Belawan masih dapat dikategorikan baik. Brower, et al 1990 menyatakan
nilai konsentrasi BOD
5
5
4.1.8. Nitrat dan Fosfat
menunjukkan suatu kualitas perairan yang masih tergolong baik apabila konsumsi oksigen selama periode 5 hari
≤ 5 mgL. Semakin besar nilai BOD menunjukkan derajat pencemaran air semakin besar.
Menurunnya oksigen terlarut dalam perairan menyebabkan mikroorganisme aerobik tidak dapat hidup dan berkembang biak, tetapi sebaliknya
mikroorganisme yang bersifat anaerobik akan menjadi aktif memecah bahan- bahan pencemar. Konsumsi oksigen berkisar antara 10 mgL-20 mgL
menunjukkan tingkat pencemaran oleh materi organik yang tinggi.
Senyawa nitrat dan fosfat merupakan salah satu faktor pembatas bagi kehidupan makrozoobentos, selain sebagai senyawa nutrien yang sangat penting
di perairan estuari. Hasil pengukuran pada tiap stasiun mendapatkan kadar nitrat
Universitas Sumatera Utara
di perairan estuari Belawan berkisar antara 1,18 mgL – 2,18 mgL dengan nilai terendah dijumpai pada stasiun 4 dan tertinggi pada stasiun 2, sedangkan untuk
senyawa fosfat didapatkan nilai yang berkisar antara 0,13 mgL – 0,20 mgL, dengan nilai terendah juga dijumpai pada stasiun 4 dan tertinggi pada stasiun 2.
Tingginya kadar nitrat dan fosfat pada stasiun 2 disebabkan stasiun ini letaknya lebih ke arah hilir muara dan pada stasiun ini juga dijumpai kegiatan pertanian di
lahan atas. Suplai air tawar terutama pada saat surut, kemungkinan membawa limbah pertanian pemupukan, sehingga dapat mempengaruhi kadar nitrat dan
fosfat di stasiun tersebut. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Hutagalung et al., 1997 yang menyatakan kadar nitrat dan fosfat umumnya semakin tinggi di
bagian hilir muara. Salah satu penyebab peningkatan kadar nitrat dan fosfat adalah masuknya limbah pertanian pemupukan yang umumnya banyak mengandung
nitrat dan fosfat. Berdasarkan KepMen LH No. 51 2004
b
4.1.9. Fraksi Substrat
tentang Baku Mutu Air Laut, kadar nitrat sesuai kriteria Baku Mutu air laut kelas adalah sebesar
0,008 mgL dan untuk kadar fosfat sebesar 0,015 mgL. Hasil penlitian mendapatkan kadar nitrat di atas Baku Mutu air laut yang ditetapkan sehingga
dapat dikatakan perairan estuari Belawan masih dalam kondisi baik dan sangat subur.
Hasil analisis fraksi substrat pada tiap stasiun di perairan estuari Belawan mendapatkan nilai yang bervariasi Tabel 4.1. Substrat pasir terlihat
mendominasi pada tiap stasiun, diikuti oleh substrat debu dan liat. Hal ini diduga substrat pasir banyak dibawa oleh perairan laut ke daerah estuari Belawan.
Percampuran substrat pasir yang dibawa dari perairan laut dengan susbtrat liat yang dibawa dari daratan oleh air sungai akan membentuk partikel lumpur,
sehingga bila dilihat secara kasat mata akan tampak substrat pada perairan estuari bersubstrat lumpur. Nybakken 1992 menyatakan kebanyakan perairan estuari
didominasi oleh substrat lumpur yang sangat lunak. Substrat ini berasal dari sedimen yang dibawa ke estuari, baik oleh air laut maupun air tawar. Ketika kedua
partikel tersuspensi tersebut bercampur dengan air laut di estuari, maka ion yang berasal dari air laut akan menyebabkan kedua partikel tersebut menggumpal dan
Universitas Sumatera Utara
membentuk partikel yang lebih berat, kemudian mengendap dan membentuk susbstrat lumpur dan pasir.
Nybakken 1992 menyatakan bahwa substrat dasar merupakan salah satu faktor ekologis utama yang mempengaruhi struktur komunitas makrozoobentos.
Penyebaran makrozoobentos dapat dengan jelas berkorelasi dengan tipe substrat. Makrozoobentos yang mempunyai sifat penggalipemakan deposit cenderung
melimpah pada sedimen lumpur dan sedimen lunak yang merupakan daerah yang banyak mengandung bahan organik yang tinggi. Substrat di dasar perairan akan
menentukan kelimpahan dan komposisi jenis dari makrozoobentos. Selanjutnya Correa dan Uieda 2008 menambahkan bahwa komposisi dan kelimpahan
makrozoobentos yang berasosiasi dengan mangrove, selain berhubungan dengan variasi salinitas juga kompleksitas dari substrat dasar.
4.2. Genus Makrozoobentos yang Didapatkan di Lokasi Kajian
Hasil penelitian mendapatkan 16 genus makrozoobentos, yang berdasarkan urutan taksonnya terlihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Genus Makrozoobentos yang Didapatkan pada Tiap Stasiun Kelas
Ordo Famili
Genus Bivalvia
Arcoida Arcidae
Anadara Veneroida
Psammobiidae Hiatula
Tellinidae Peronidia
Tellina Crustaceae
Decapoda Portunidae
Scylla Stomatopoda
Squillidae Erugosquilla
Gastropoda Archaeogastropoda
Neritidae Neritina
Basommatophora Ellobiidae
Ellobium Mesogastropoda
Cerithiidae Ceritium
Littorinidae Littorina
Naticidae Lunatia
Potamididae Telescopium
Terebralia Malacostraca
Decapoda Penaeidae
Penaeus Polychaeta
Nereidea Nereididae
Nereis Polyplacophora
Teleoplacophora Chitonidae
Chiton
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian mendapatkan 16 genus makrozoobentos yang dikelompokkan atas 6 kelas, 10 ordo dan 14 famili. Ciri morfologi masing-masing genus yang didapat
dari keempat stasiun adalah sebagai berikut: a.
Anadara Cangkang berbentuk sedikit membulat, berwarna putih kehitaman, dan terdapat
garis radial. Bagian dalam cangkang sering berwarna hijau lumut. Dagingtubuh bagian dalam berwarna oranye atau sedikit kemerahan Panjang cangkang
± 1,2 cm dan lebar ± 1,5 cm.Gambar 4.1. Hidup membenamkan diri di substrat lumpur maupun pasir.
b. Hiatula
Cangkang berbentuk memanjang dan tipis, berwarna kecoklatan. Cangkang bagian dalam permukaannya berwarna ungu dan putih. Cangkang mudah
terkelupas bila kering. Panjang cangkang 2 cm - 8 cm. Ukuran panjang cangkang dua kali lebarnya. Gambar 4.2. Hidup membenamkan diri di subtrat lumpur
maupun pasir, walaupun terkadang dijumpai di permukaan substrat.
c. Peronidia
Cangkang berbentuk oval, berwarna merah kecoklatan sampai kehitaman. Terdapat garis konsentris pada bagian permukaan cangkang. Panjang cangkang
3 cm – 6 cm dan lebar 2 cm – 5 cm. Gambar 4.3. Hidup membenamkan diri pada substrat lumpur maupun pasir.
Gambar 4.1. Anadara Gambar 4.2. Hiatula
Universitas Sumatera Utara
d. Tellina
Cangkang berbentuk oval, berwarna kemerahan. Bagian kiri cangkang lebih menonjol cembung dari bagian kanannya. Bagian permukaan cangkang terdapat
garis konsentris Panjang cangkang ± 1 cm dan lebar ± 1,3 cm Gambar 4.4. Hidup membenankan diri pada substrat pasir berlumpur walaupun terkadang
dijumpai di permukaan substrat.
e. Scylla
Karapas berbentuk oval dan tebal seperti perisai. Memiliki duri pada bagian depan tubuhnya, masing-masing 9 buah di kanan dan kiri, serta 4 buah duri di antara dua
tangkai mata. Kaki terdiri atas lima pasang. Pasangan kaki pertama berukuran besar dan memiliki capit yang digunakan sebagai alat menagkap makanan dan
pertahanan tubuh. Kaki jalan terakhir mengalami modifikasi berbentuk dayung yang digunakan untuk berenang. Karapas berwarna merah kecoklatan, dan ada
yang berwarna hijau tua. Ukuran lebar karapas 6 cm - 14 cm Gambar 4.5. Banyak ditemukan hidup di perairan estuary dan di dalam lubang pada kawasan
hutan mangrove. f.
Erugosquilla Bentuk tubuh hampir menyerupai belalang sembah. Karapas hanya menutupi
bagian belakang kepala dan tiga segmen pertama bagian dadatoraks. Tubuh berwarna pirang terang sampai kekuningan. Ukuran tubuh 6 cm – 12 cm Gambar
4.6. Hidup di perairan estuari dan di dalam lubang yang mengandung air di dalam kawasan hutan mangrove.
Gambar 4.4. Tellina Gambar 4.3. Peronidia
Universitas Sumatera Utara
g. Neritina
Bentuk cangkang bagian atas pendek dan pada bagian bawahnya melebar. Terdapat garis yang konsentris pada cangkang. Cangkang sebelah luar bentuknya
tebal dan bergerigi. Operculum berkapur seperti pelat dan di bagian luar permukaannya berbintik bintik. Cangkang berwarna merah kecoklatan. Panjang
cangkang 2 cm – 4 cm Gambar 4.7. Hidup membenamkan diri pada substrat
berpasir dan berlumpur dekat akar mangrove.
h. Ellobium
C angkang berbentuk oval. Permukaan luar cangkang berwarna putih kecoklatan.
Ukuran maksimum dapat mencapai 6 cm, tetapi umumnya hanya berukuran ± 5 cm Gambar 4.8. Jarang ditemukan berada di atas susbtrat lumpur atau pasir,
banyak ditemukan menempel pada batang dan akar mangrove. Gambar 4.5. Scylla
Gambar 4.7. Neritina Gambar 4.8. Ellobium
Gambar 4.6. Erugosquilla
Universitas Sumatera Utara
i. Ceritium
Cangkang tipis, berbentuk seperti kerucut, sedikit tumpul pada bagian ujungnya, berwarna coklat tua sampai coklat kehitaman. Cangkang berukuran panjang 2,5
cm – 5 cm Gambar 4.9. Hidup pada perairan dangkal. Banyak di temukan berkelompok di substrat berlumpur, akar, pangkal pohon mangrove, juga batang
mangrove yang sudah lapuk dan basah. j.
Littorina Cangkang berbentuk seperti kerucut dan tahan terhadap sinar matahari dalam
waktu lama karena terdapat cadangan air dalam cangkangnya. Permukaan cangkang berwarna merah tua tetapi ada juga yang berwarna kecoklatan
Gambar 4.10. Berukuran kecil, maksimal 1,5 cm. Hidup pada daerah estuari terutama pada substrat berpasir dan sedikit dijumpai pada substrat berlumpur.
k. Lunatia
Cangkang berbentuk kerucut, dengan bagian ujungnya sedikit membulat. Permukaan cangkang berwarna merah cerah atau merah kecoklatan. Berukuran
kecil, berkisar 2 mm - 5 mm Gambar 4.11. Banyak ditemukan dalam kawasan hutan mangrove dengan substrat lumpur atau lumpur berpasir.
l. Telescopium
Cangkang berbentuk tebal dan kuat, memiliki sedikit lekukan pada bagian pangkalnya. Bagian tengah cangkang memiliki kanal yang pendek Berwarna
kecoklatan. Ukuran panjang cangkang dapat mencapai 12 cm Gambar 4.12. Banyak ditemukan di dekat akar hutan mangrove dengan substrat lumpur
berpasir. Gambar 4.9. Ceritium
Gambar 4.10. Littorina
Universitas Sumatera Utara
m. Terebralia
Cangkang berbentuk kerucut. Bagian permukaan cangkang terdapat garis spiral sampai ke apeks. Ujung cangkang berbentuk bulat. Cangkang berwarna
kecoklatan. Ukuran panjang cangkang ± 5 cm Gambar 4.13. Hidup berkelompok dan melekat di substrat lumpur, akar, batang dan ranting pohon mangrove.
Ditemukan melimpah pada substrat lumpur di area hutan mangrove dan merupakan biota penghuni tetap hutan mangrove.
n. Penaeus
Bentuk tubuh beruas-ruas dan tertutup oleh eksoskeleton. Tubuh terbagi atas dua bagian yaitu bagian kepala yang menyatu dengan dada disebut sepalotoraks dan
bagian badan sampai ke pangkal ekor disebut abdomen. Bagian kepala tertutup oleh karapas yang bagian ujungnya meruncing dan bergerigi disebut rostrum.
Di bawah pangkal rostrum terdapat mata majemuk bertangkai yang dapat digerakkan Mulut terletak di bagian bawah kepala di antara rahang bawah. Tubuh
berwarna kekuningan sampai kuning tua, berukuran 4 cm – 12 cm Gambar 4.14. Banyak ditemukan di perairan estuari dengan substrat lumpur berpasir
o. Nereis
Bentuk tubuh memanjang, silindris di bagian dorsal dan pipih di bagian ventral. Kepala terlihat jelas. Segmen pertama pada bagian kepala prostomium memiliki
Gambar 4.12. Telescopium
Gambar 4.13. Terebralia Gambar 4.14. Penaeus
Gambar 4.11. Lunatia
Universitas Sumatera Utara
sepasang tentakel pendek dan 4 pasang tentakel panjang, memiliki 2 pasang bintik mata. Mulut terletak di ujung anterior dan anus pada ujung posterior
Gambar 4.7.. Pada setiap ruas mulai ruas ke-3 kecuali ruas yang terakhir, terdapat sepasang parapodia yang memiliki banyak setae. Faring proboscis dapat
dikeluarkan untuk mengambil makanan. Tubuh berwarna kuning kemerahan. Berukuran panjang ± 3 cm – 7 cm Gambar 4.15. Hidup di perairan estuari dan
dalam kawasan hutan mangrove dengan substrat lumpur. p.
Chiton Cangkang berbentuk oval, pada bagian dorsoventral sedikit pipih Tubuh bagian
dorsal dilindungi oleh delapan keping cangkang yang tersusun tumpang tindih seperti genting Gambar 4.16. Memiliki sendi yang dapat dibengkokkan sehingga
tubuh dapat dibulatkan seperti bola. Tubuh berwarna kecoklatan. Berukuran kecil dengan panjang ± 1,5 cm. Hidup pada susbstrat lumpur di kawasan hutan
mangrove.
4.3. Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran Makrozoobentos