21
Tepat waktu dalam menyampaikan SPT untuk semua jenis pajak
dalam 2 tahun terakhir.
Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda
pembayaran pajak.
Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir.
Dalam 2 tahun terakhir menyelenggarakan pembukuan dan dalam
hal terhadap Wajib Pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk masing-masing jenis pajak
yang terutang paling banyak 5.
Wajib Pajak yang laporan keuangannya untuk 2 tahun terakhir diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat wajar tanpa
pengecualian, atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba rugi fiskal.
2.2.2. Kepatuhan Wajib Pajak Meningkatkan Penerimaan Pajak
Setiap Negara mengharapkan bahwa setiap Wajib Pajak yang terdaftar akan memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi. Kepatuhan
Wajib Pajak tidak terlepas dari bagaimana setiap Wajib Pajak mampu memperoleh ataupun menikmati berbagai fasilitas milik negara yang
merupakan hasil dari pengelolaan dana perpajakan. Maka dari itu setiap Wajib Pajak akan mematuhi Undang-Undang Perpajakan dan
taat untuk melakukan pembayaran pajak jika mereka mampu
Universitas Sumatera Utara
22
memahami bahwa pajak yang dipungut oleh pemerintah memiliki tujuan yang sangat baik.
Kepatuhan Wajib Pajak yang tinggi akan mampu meningkatkan penerimaan negara di bidang perpajakan. Hal ini selaras dengan
sebuah penelitian yang telah di lakukan bahwa kepatuhan Wajib Pajak akan meminimalisir etika penggelapan pajak. Tetapi harus dipahami
bahwa setiap Wajib Pajak yang memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi tentunya juga memiliki pengetahuan yang tinggi pula mengenai
perpajakan.Penelitian sebelumnya, yang dilakukan oleh Suryani 2013, tidak menggunakan variabel kepatuhan Wajib Pajak sebagai
alat ukur untuk menilai tindakan etika penggelapan pajak. Tetapi dapat dianalogikan bahwa setiap Wajib Pajak yang patuh, maka tidak akan
melakukan penggelapan pajak dan tentunya mereka sangat berperan aktif di dalam meningkatkan penerimaan negara di sektor perpajakan.
2.2.3. Pentingnya Kepatuhan Wajib Pajak
MasalahkepatuhanWajibPajakadalahmasalahpentingdiseluruhd unia,baikbaginegaramajumaupundinegara
sedang berkembang.KarenajikaWajibPajaktidakpatuhmakaakanmenimbulkank
einginanuntukmelakukantindakanpenghindaran,pengelakan,penyelund upandanpelalaian
pajak. Padaakhirnyatindakantersebutakanmenyebabkanpenerimaanpajaknegar
aakanberkurang.Setiap Wajib Pajak diharapkan memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi untuk melakukan pembayaran pajak.Hal ini
Universitas Sumatera Utara
23
dikarenakan negara sangat membutuhkan pembayaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak sebagai penerimaan bagi negara.
Dari pernyataan diatas maka dapat disimpulkan bahwa sebuah negara yang memiliki rakyat yang mampu melakukan pembayaran
pajak secara teratur, maka penerimaan negaranya dari sektor perpajakan akan sangat meningkat. Namun demikian, pemerintah juga
harus mampu menarik kepercayaan masyarakat ataupun Wajib Pajak bahwa setiap pajak yang mereka setorkan akan dimanfaatkan sebaik-
baiknya untuk kepentingan bersama dalam rangka meningkatkan kesejahteraan bersama. Jadi, hal yang paling diharapkan oleh Wajib
Pajak adalah dana perpajakan tersebut dapat terealisasi dengan baik sesuai dengan tujuan pemerintah untuk memakmurkan rakyat.
2.3.Pengetahuan Wajib Pajak Tax Knowledge 2.3.1.Pengertian Pengetahuan Wajib Pajak
Pengetahuan Wajib Pajak mengenai perpajakan secara keseluruhan merupakan sesuatu yang sangat diharapkan. Palil 2005 dalam Witono
2008 menemukan bahwa pengetahuan Wajib Pajak tentang pajak yang baik akan dapat memperkecil adanya tax evasion. Hal senada juga
ditemukan oleh Kassipillai 2006, ia mengatakan pengetahuan tentang pajak merupakan hal yang sangat penting bagi berjalannya SAS.
Pengetahuan tentang peraturan pajak akan mempengaruhi sikap Wajib Pajak terhadap kewajiban pajak.
Universitas Sumatera Utara
24
Mereka menemukan bahwa pengetahuan pajak akan bertambah dengan panjangnya masa pendidikan yang dilakukan dan kursus,
walaupun secara tidak langsung tidak ditemukan adanya kaitan dengan sikap Wajib Pajak dalam Palil, 2005, dikemukakan hasil penelitian
bahwa semakin tinggi pengetahuan akan peraturan pajak, semakin tinggi pula nilai etika terhadap pajak. Palil 2005 menyatakan bahwa
pengetahuan tentang peraturan pajak akan mempengaruhi tax fairness. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengetahuan
setiap Wajib Pajak mengenai perpajakan, mulai dari sistem perpajakan sampai dengan Undang-Undang Perpajakan, akan memberikan motivasi
untuk menjadi seorang Wajib Pajak yang patuh dalam membayar pajak. Maka dari itu, setiap Wajib Pajak berhak memperoleh pemahaman yang
sama dan mendalam mengenai sistem perpajakan di Indonesia. Hal ini menjadi kewajiban juga bagi Pemerintah untuk memberikan pemahaman
kepada Wajib Pajak, mulai dari melakukan berbagai penyuluhan, sosialisasi dan penataran lainnya. Setiap Wajib Pajak yang mampu
memahami perpajakan secara mutlak, maka akan memahami pula bahwa penggelapan pajak itu tidak boleh dilakukan. Dengan demikian,
pemahaman mengenai perpajakan ini akan memperkecil pelaksanaan tax evasion dan tax fraud juga akan di minimalisir.
2.3.2.Pengetahuan Wajib Pajak Sebagai Ukuran Kepatuhan
Berbagai sosialisasi mengenai perpajakan akan mampu meningkatkan pengetahuan Wajib Pajak di bidang perpajakan. Tidak
dapat dipungkiri bahwa setiap Wajib Pajak yang mampu memahami
Universitas Sumatera Utara
25
secara mutlak mulai dari penerapan Undang-Undang Perpajakan, tujuan pemungutan pajak, dan pengalokasian dana perpajakan akan memiliki
pengetahuan yang lebih baik dan meningkatkan kepatuhannya untuk membayar pajak
Dalam penelitian Rahayu 2010 pengetahuan pajak mempengaruhi tingkat kepatuhan Wajib Pajak secara signifikan yang
dilakukan pada 107 Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan pada KPP Surakarta.Penelitian – penelitian terdahulu tersebut telah dilakukan silih
berganti dengan populasi dan smapel yang berbeda-beda pula. Dapat ditarik sebuah pemikiran sederhana bahwa ketika Wajib Pajak memiliki
pengetahuan tentang pajak dengan baik, maka etika penggelapan pajak akan semakin rendah dan enggan untuk dilaksanakan. Tetapi, pada
kenyataannya pengetahuan pajak ini bukanlah sesuatu hal yang merata untuk dapat diberikan kepada seluruh Wajib Pajak.
2.4.Sistem Perpajakan Tax System 2.4.1.Sistem Perpajakan Berkontribusi Terhadap Penerimaan Pajak
Sebuah sistem perpajakan akan mempengaruhi Wajib Pajak untuk melakukan pembayaran pajak. Sistem perpajakan yang cenderung rumit,
akan membuat Wajib Pajak enggan melakukan pembayaran pajak. Suryani 2013 telah melakukan sebuah penelitian untuk mengukur
apakah sistem perpajakan memiliki hubungan yang erat dengan etika penggelapan pajak.Hasilnya adalah sistem perpajakan memiliki
hubungan yang negatif dengan penggelapan pajak.Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Suminarsasi 2011
Universitas Sumatera Utara
26
menyatakan bahwa sistem perpajakan memiliki korelasi negatif signifikan terhadap penggelapan pajak.
Semakin baik, mudah dan terkendali prosedur sistem perpajakan yang diterapkan, maka tindak penggelapan pajak dianggap suatu yang
tidak etis bahkan mampu meminimalisir perilaku tindak penggelapan pajak. Hal ini dapat dianalogikan bahwa setiap Wajib Pajak merupakan
pihak yang akan menyetorkan uang mereka maka dari itu pihak pemerintah selaku pemungut pajak, harus membuat sebuah sistem
perpajakan yang cenderung praktis namun efektif dan efisien. Sistem perpajakan memiliki kontribusi terhadap penerimaan pajak, dimana jika
sistem perpajakan yang diterapkan baik maka Wajib Pajak akan melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak. Jika sistem
perpajakannya cenderung rumit, maka Wajib Pajak malas untuk membayarkan pajak dan penerimaan pajak akan menurun karena
tingginya tingkat penggelapan pajak yang dilakukan.
2.4.2.Asas-Asas Pemungutan Pajak
Asas-asas pemungutan pajak sebagaimana dikemukakan oleh Adam Smith dalam buku An Inquiri into the Nature and Cause of the
Wealth of Nations menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada asas-asas berikut :
a. Equality
Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu pajak dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan
kemampuan membayar pajak ability to pay dan sesuai dengan
Universitas Sumatera Utara
27
manfaat yang diterima.Adil dimaksudkan bahwa setiap Wajib Pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding
dengan kepentingannya dan manfaat yang diminta. b.
Certainty Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang.Oleh karena
itu, Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu
pembayaran. c.
Convenience Kapan wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai
dengan asas-asas yang tidak menyulitkan Wajib Pajak. Sebagai contoh: pada saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan. Sistem
pemungutan ini disebut pay as you earn. d.
Economy Secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban
pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang ditanggung Wajib Pajak.
2.4.3.Sistem Pemungutan Pajak
Menurut Purwono 2011 : 12, hingga saat ini ada 3 sistem yang diaplikasikan dalam pemungutan pajak, diantaranya adalah sebagai
berikut:
Universitas Sumatera Utara
28
a. Official Assesment System
Melalui sistem ini banyak pajak ditentukan oleh fiskus dengan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak SKP Rampung.Jadi, dapat
dikatakan bahwa Wajib Pajak bersifat pasif.Tahapan-tahapan dalam menghitung dan memperhitungkan pajak yang terutang ditetapkan
oleh fiskus yang terutang dalam SKP.Selanjutnya Wajib Pajak baru aktif ketika melakukan penyetoran pajak terutang berdasarkan
ketetapan SKP tersebut. Indonesia pernah menggunakan sistem ini pada kurun waktu awal kemerdekaan dengan mengadopsi atau tetap
memberlakukan beberapa peraturan perpajakan buatan Belanda hingga tahun 1997, ketika diperkenalkan sitem Menghitung Pajak
Sendiri MPS dan Menghitung Pajak Orang lain MPO yang oleh sebahagian ahli disebut dengan Semi Self Assesment System.
b. Self Assesment System
Sistem ini mulai diaplikasikan bersamaan dengan reformasi perpajakan tahun 1983 setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1984. Dalam memori
penjelasan Undang-Undang tersebut bahwa anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk melaksanakan
kegotongroyongan melalui sistem menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak yang terutang self assesment, sehingga
melalui sistem ini administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana, dan mudah
Universitas Sumatera Utara
29
dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.Selain itu, Wajib Pajak juga diwajibkan untuk melaporkan secara teratur jumlah pajak
yang terutang dan yang telah dibayar sebagaimana yang ditentukan dalam Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan.Pemerintah,
dalam hal ini aparat perpajakan, sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian, dan pengawasan
terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam Peraturan Perundang-Undangan
Perpajakan. c.
Withholding Tax System Dengan sistem ini pemungutan dan pemotongan pajak dilakukan
melalui pihak ketiga.Untuk waktu sekarang, sistem ini tercermin pada pelaksanaan pengenaan Pajak penghasilan dan Pajak
Pertambahan Nilai. Contohnya adalah pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pajak Penghasilan Pasal 23 oleh pihak lain,
atau pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pajak Pertambahan Nilai.
Apabila dicermati dengan seksama, ketiga sistem ini digunakan secara terintegrasi pada pemungutan sistem pemungutan pajak di
Indonesia.Self Assesment System berlaku ketika Wajib Pajak melaksanakan administrasi perpajakan yang menjadi kewajibannya
menghitung, memperhitungkan, dan menyetor pajak terutang.Pada saat yang bersamaan, jika posisi Wajib Pajak adalah pemungut atau
pemotong karena berkedudukan sebagai pemberi kerja atau pihak yang
Universitas Sumatera Utara
30
berwenang memungut pajak, maka Withholding Tax System juga digunakan. Sedangkan Official Assesment System berlaku ketika fiskus
melakukan pemeriksaan dan menerbitkan surat ketetapan pajak SKP atas laporan Wajib Pajak. Namun demikian, hingga saat ini Indonesia
menerapkan Self Assesment System dalam pemungutan pajak.
2.5.Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan Fiscal Fraud 2.5.1.Kecurangan Dalam Bidang Perpajakan
Berikut ini adalah beberapa pengertian kecurangan menurut para ahli:
Pengertian fraud menurut Pusdiklatwas BPKP 2008:11 adalah sebagai berikut:
“Dalam istilah sehari-hari, fraud
dimaknai sebagai ketidakjujuran.Dalam terminologi awam fraud lebih ditekankan
pada aktivitas penyimpangan perilaku yang berkaitan dengan konsekuensi hukum, seperti penggelapan, pencurian dengan tipu
muslihat, fraud pelaporan keuangan, korupsi, kolusi, nepotisme, penyuapan, penyalahgunaan wewenang, dan lain-lain”.
Adapun kecurangan didefinisakan oleh Hiro Tugiman 2006:63 adalah sebagai berikut:
“Fraud mencakup perbuatan melanggar hukum dan pelanggaran terhadap peraturan dan perundang-undangan lainnya yang
dilakukan dengan niat untuk berbuat curang.Perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja demi keuntungan atau kerugian suatu
organisasi oleh orang dalam atau juga oleh orang luar di luar organisasi tersebut.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kecurangan
merupakan suatu kesalahan yang disengaja, dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan suatu manfaat keuangan secara tidak jujur sehingga
mengakibatkan suatu kerugian materil bagi korban.
Universitas Sumatera Utara
31
Kecurangan dalam bidang perpajakan dapat dilakukan dengan cara penggelapan pajak, transfer pricing, tidak memiliki NPWP, tidak
melakukan penyetoran SPT, memanipulasi laba, memperbesar beban, melakukan mark up terhadap aset, memindah bukukan beban, dan lain
sebagainya. Sangat banyak cara yang dilakukan untuk menerapkan penggelapan pajak. Bahkan pihak Ditjen pajak terlalu sering kecolongan
untuk mengatasi penggelapan pajak yang sering dilakukan oleh Wajib Pajak.Dengan demikian, kemungkinan terdeteksinya penggelapan pajak
dapat dilakukan dengan menerapkan pemeriksaan pajak, tidak adanya diskriminasi, menerapkan keadilan dan senantiasa memupuk
pengetahuan Wajib Pajak mengenai perpajakan. Kecurangan dalam bidang perpajakan sebenarnya sangat mudah
dilakukan, dan setiap Wajib Pajak Badan terutama yang memiliki kewajiban untuk membayar pajak dalam jumlah yang besar, sering
melakukan manipulasi dalam bidang perpajakan.Hal ini dikarenakan selalu ada celah antara bidang perpajakan dengan penerapan pencatatan
ataupun pengakuan pendapatan dan beban yang diterapkan oleh bidang akuntansi.Maka dari itu, Undang-Undang Perpajakan juga dapat menjadi
celah dalam penerapan manipulasi perpajakan ini.
2.5.2. Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan Akan