Kerangka Teori Kajian Yuridis Terhadap Kedudukan Dan Peranan Bappeda Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Dan Pembangunan (Studi Pada Bappeda Provinsi Sumatera Utara)

sebelumnya,sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini dapat dijamin keasliannya dan dapat saya pertanggung-jawabkan dari segi isinya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Dalam penulisan tesis yang berjudul kajian yuridis terhadap kedudukan dan peranan Bappeda dalam penyelenggaraaan pemerintahan dan pembangunan studi pada Bappeda Provinsi Sumatera Utara adalah merupakan landasan teori, untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini digunakan pendekatan tiga macam teori : 1. Teori Desentralisasi dan Otonomi Daerah Menurut Hanif Nurcholis, dalam sistem negara kesatuan ditemukan adanya dua cara yang dapat menghubungkan pemerintahan pusat dan daerah. Cara pertama disebut sentralisasi, dimana segala urusan, tugas, fungsi dan wewenang penyelenggaraan pemerintahan pada pemerintah pusat. Cara kedua dikenal sebagai desentralisasi, dimana urusan, tugas dan wewenang pelaksanaan pemerintah diserahkan seluas-luasnya kepada daerah. 11 Desentralisasi dan otonomi daerah mempunyai tempatnya masing-masing, Istilah Desentralisasi cenderung pada aspek administrasi negara Administrative aspect, sedangkan otonomi daerah lebih mengarah pada aspek politikkekuasaan negara Political Aspect, namun jika dilihat dari konteks berbagai kekuasaan 11 Hanif Nurcholis, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Jakarta : PT Grasindo, 2007, hlm 39-42 Universitas Sumatera Utara Sharing of Power , kedua istilah tersebut mempunyai keterkaitan yang erat dan tidak dapat dipisahkan. Secara etimologis istilah desentralisasi berasal dari bahasa Latin, yaitu “de” yang berarti lepas dan “centrum” yang berarti pusat, dengan demikian desentralisasi berarti melepaskan diri dari pusat. Dari sudut ketatanegaraan yang dimaksud dengan desentralisasi adalah pelimpahan kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. 12 Menurut Faisal Akbar Nasution, Sentralisasi mungkin saja merupakan pilihan yang tepat untuk menggerakkan roda organisasi negara bagi suatu negara yang memiliki wilayah yang sangat kecil dan dikategorikan sebagai negara kota. Akan tetapi bagi negara yang memeiliki wilayah yang sangat luas seperti Indonesia, sentralisasi kekuasaan akan menimbulkan kesulitan-kesulitan dan sukar untuk dilaksanakan. 13 Desentralisasi menurut Amrah Muslimin adalah pelimpahan kewewenangan pada badan-badan dan golongan-golongan masyarakat dalam daerah-daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya sendiri. 14 Desentralisasi mengandung 2 dua elemen pokok yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan secara hukum dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus bagian dari urusan pemerintahan tertentu. Pelaksanaan desentralisasi dalam negara kesatuan berarti memberikan hak 12 M.Victor Situmorang dan Sitanggang, Hukum Administrasi Pemerintahan di Daerah, Jakarta : Singar Grafika, 1990, hlm 40 13 Faisal Akbar Nasution, Pemerintah Daerah dan Sumber-Sumber Pendapatan Asli Daerah, Jakarta : Sof Media, 2009 hlm. 7 14 Amrah Muslimin, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Bandung : Alumni, 1990, hlm. 5 Universitas Sumatera Utara untuk mengatur dan mengurus kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat, tetapi tidak dimungkinkan adanya daerah yang bersifat negara yang dapat mendorong lahirnya negara. Menurut pendapat Cohen dan Peterson tentang Desentralisasi sebagai alat untuk pembangunan; maka posisi Desentralisasi tergantung pada pembangunan, pembangunan adalah sebuah kegiatan yang kolosal, memakan waktu yang panjang, melibatkan seluruh negara Indonesia 15 , sesuai Pasal 1 UUD 1945 negara Indonesia adalah Negara kesatuan dan kemudian dibangun pula berbagai daerah otonom melalui Pasal 18 UUD 1945 untuk memungkinkan terdapatnya kebijakan dan implementasi sesuai dengan kondisi riil masyarakat yang bersangkutan. Pembentukan daerah otonomi melalui desentralisasi pada hakikatnya adalah untuk menciptakan efisiensi dan inovasi dalam pemerintah. Desentralisasi sebagai suatu sistem yang dipakai dalam bidang pemerintahan merupakan kebalikan dari sentralisasi. Desentralisasi sangat berkaitan erat dengan pembangunan di Indonesia secara sungguh-sungguh dimulai sejak era orde baru. Dalam perkembangannya, untuk memahami perencanaan pembangunan di Indonesia lebih fokus dapat dilakukan pada perencanaan pembangunan serta 15 Cohen dan Peterson menurut kutipan Kirman, Pegangan Memahami Desentralisasi dan Beberapa Pengertian Tentang Desentralisasi, Yogyakarta: Pondok Edukasi, 2005, hlm. 9 Universitas Sumatera Utara penilaian dan pelaksanaan. 16 Secara konsepsual, suatu perencanaan pembangunan yang baik harus didukung oleh pembagian dan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, desentralisasi dan otonomi daerah menimbulkan konsekuensi yang mengharuskan adanya hubungan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah dalam suatu konsep utuh, terutama menyangkut urusan dan kewenangan pemerintahan serta cara menyusun dan menyelenggarakan organisasi pemerintahan daerah. Prinsip desentralisasi dan otonomi secara tegas dinyatakan dalam konstitusi UUD 1945, khususnya Pasal 18 ayat 1 UUD 1945 menyatakan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-undang. Pemerintahan daerah dimaksud dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan desentralisasi. Desentralisasi juga merupakan salah satu cara untuk mengembangkan kapasitas lokal kekuasaan. Jika suatu badan lokal khususnya Bappeda diberi tanggng jawab dan sumber daya, maka kemampuan untuk mengembangkan otonomi daerah akan meningkat 17 . Jika pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan 16 Riant Nugroho, Reinventing Pembangunan Jakarta : PT. Elex Media Komputindo, 2003, hlm. 76 17 Tetapi demikian ada penulis yang berpendapat bahwa demokrasi kurang erat hubungannya dengan otonomi daerah. Dikatakan bahwa demokrasi bisa berjalan dengan baik meskipun tidak ada otonomisentralisasi. Lihat M. Hadin Muhjad, “Otonomi dan Pembangunan Nasional” dalam beberapa pemikiran tentang otonom daerah, editor : Abdurrahman, Jakarta : Media Sarana Press , 1987, hlm. 105-106 Universitas Sumatera Utara pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah 18 . 2. Teori Pemerintahan Yang Baik Good Gouverment Menurut PP No. 41 Tahun 2007 tentang tugas dan fungsi Badan Perencanan Pembangunan Daerah pada dasarnya merupakan bentuk penyelenggaraan pemerintahan yang baik khususnya pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah yang terdiri dari unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi, diwadahi dalam sekretariat, unsur pengawas yang diwadahi dalam bentuk inspektorat, unsur perencana yang diwadahi dalam bentuk badan, unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga teknis daerah. 19 Sejalan dengan hal itu, dalam pasal 3 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dinyatakan sebagaimana dimaksud diatas adalah a pemerintahan daerah provinsi, dan daerah pemerintahan daerah kabupatenkota yang terdiri atas pemerintah daerah kabupatenkota dan DPRD kabupatenkota. Sedangkan yang dmaksud dengan pemerintah daerah adalah terdiri atas kepala daerah dan perangkat daerah 20 . Oleh sebab itu, ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 tersebut dalam Bab IV tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah, mulai dari pasal 19 sampai dengan pasal 128, berlaku umum baik bagi daerah Provinsi maupun daerah kabupaten dan 18 Jimly Asshiddigie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007, hlm. 428 19 Penjelasan Umum PP No. 41 Tahun 2007 Tentang Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja Badan Perencanaan Pembangunan Daerah 20 Pasal 3 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Universitas Sumatera Utara kota. Bahkan, pasal 10 sampai dengan pasal 18 juga berlaku umum untuk seluruh tingkatan daerah provinsi, kabupaten, dan kota. Ketentuan yang berlaku khusus bagi daerah provinsi berupa tercantum dalam pasal 10 ayat 5 huruf daerah, pasal 12 ayat 2 dan pasal 13. sedangkan pasal 14 hanya berlaku bagi daerah kabupaten dan kota. Dalam pasal 37 dan pasal 38 juga diatur tersendiri mengenai tugas gubernur selaku wakil pemerintah pusat selebihnya adalah ketentuan yang berlaku umum, baik bagi provinsi maupun kabupaten dan kota. Dengan demikian, sepanjang berkenaan dengan pembagian urusan pemerintahan dan penyelenggaraan pemerintahan berlaku prosedur-prosedur normatif yang secara umum sama antara setiap satuan pemerintah daerah provinsi daerah kabupaten, dan daerah kota diseluruh Indonesia. Oleh karena itu, secara umum ada kesamaan normatif pengaturan mengenai daerah Provinsi maka sebagian besar ketentuan yang diuraikan diatas yang berlaku bagi daerah Provinsi, juga berlaku bagi daerah kabupaten dan kota yang dibahas pada bagian ini. Karena itu, hal tersebut dipandang tidak perlu dibahas secara tersendiri dalam bagian ini. Pemerintah daerah dimaksud dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum, dan daya saing daerah. Kemudian dalam pasal 10 ayat 1 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 21 , pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan 21 Ibid, Pasal 10 ayat 1 Universitas Sumatera Utara yang menjadi kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seuluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi. Urusan pemerintah, menurut pasal 10 ayat 3 Undng- Undang Nomor 32 Tahun 2004 meliputi : 22 a. Politik Luar Negeri b. Pertahanan c. Keamanan d. Peradilan atau Yustisi e. Moneter dan Fiskal nasional, dan f. Agama. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang tersebut diatas, pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah yang ada di daerah atau dapat menugaskan atau memberi penugasan kepada pemerintahan daerah danatau pemerintahan desa untuk melaksanakannya. Dalam urusan pemerintah yang menjadi kewenangan pemerintah diluar urusan pemerintahan tersebut, pemerintah pusat dapat : 1 Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan 2 Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada gubernur selaku wakil pemerintah, atau 22 Ibid, Pasal 10 ayat 3 Universitas Sumatera Utara 3 Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah danatau pemerintahan desa berdasarkan asas Desentralisasi. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Penyelenggaran urusan pemerintahan dimaksud merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria tersebut, terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Penyelenggaraaan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintahan. Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan,pengalihan saran dan prasaran, sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. Artinya, kebijakan Desentralisasi itu diikuti dengan kebijakan berkenaan dengan sumber dana, sarana dan prasarana, serta kepegawaian, sedangkan kebijakan dekonsentrasi diikuti dengan pedanaan saja. Urusan-urusan yang ditentukan bersifat wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi meliputi: 23 1 Perencanaan dan pengendalian pembangunan 2 Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang. 3 Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. 23 Ibid, Pasal 13 ayat 3 Universitas Sumatera Utara 4 Penyediaan sarana dan prasarana umum 5 Penanganan bidang kesehatan 6 Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial. 7 Penanggulangan masalah sosial 8 Pelayanan bidang ketenagakerjaan. 9 Fasilitasi pengembangan koperasi usaha kecil, dan menengah 10 Pengendalian lingkungan hidup. 11 Pelayanan peternakan. 12 Pelayanan kependudukan dan catatan sipil. 13 Pelayanan adminstrasi untuk pemerintahan. 14 Pelayanan administrasi penanaman modal. 15 Penyelenggaran pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan. 16 Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Titik berat penyelenggaraan pemerintahan diletakkan pada prinsip penggunan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Dengan prinsip otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab, maka memberikan kewenangan yang lebih banyak kepada daerah provinsi dan kabupaten kota yang didasarkan atas asas Desentralisasi. Kewenangan otonomi luas, nyata dan bertanggung-jawab sebagaimana dimaksud dalam pejelasan umum Undang-undang No. 32 Tahun 2004 adalah: a. Otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang kecuali kewenangan politik luar negeri, pertahaan, keamanan, peradilan, moneter, fiskal, agama serta kewenangan Universitas Sumatera Utara bidang lainnya, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Disamping itu keleluasaan otonomi daerah mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dari dilaksanakan perencanaan pembangunan daerah oleh Bappeda yang mempunyai peranan penting dalam perencanaan pembangunan pelaksanaan, pengawasan, pengadilan dan evaluasi. b. Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah dibidang tertentu yang secara nyata dan diperlukan serta tumbuh dan berkembang di daerah. c. Otonomi yang bertanggung jawab adalah merupakan perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan berkembang di daerah. Dalam konteks otonomi daerah, mengacu pada pemerintah daerah dalam tingkatan yang sama antara provinsi atau antara kabupatenkota. 24 Oleh karena itu, menempatkan otonomi secara utuh pada daerah provinsi, kabupaten .kota berkedudukan sebagai daerah otonom yang mempunyai kewenangan dan keleluasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. 25 Adapun manfaat dari otonomi daerah adalah untuk pemberian dan pelaksanaan otonomi daerah adalah sangat tergantung pada kemauan, kemampuan aparatur dalam mengelola dan memperoleh daftar serta mengorganisasikan manusianya sebagai aktor dalam membiayai kegiatan dan manusia sebagai aktor 24 Syamsuddin Haris, Desentralisasi dan Otonomi Daerah Jakarta: LIPI Press, 2005, hlm. 165 25 Harry Alexander, Panduan Rancangan Peraturan Daerah di Indonesia, Jakarta : Solusidno, 2004, hlm. 26 Universitas Sumatera Utara dalam proses pelaksanaan otonomi daerah dan untuk pelaksanaan Desentralisasi diharapkan daerah dalam mengalokasikan dana pembangunan daerah serta tepat berdasarkan karakteristik dan potensi daerah masing-masing, sehingga diharapkan hasilnya akan lebih optimal, 26 dimana tujuannya untuk lebih meningkatkan pemerataan pembangunan daerah melalui bidang pembangunan yang diteruskan kepada Bappeda tingkat provinsi, namun bukan pemekaran daerah. 27 3. Teori Pembangunan Teori pembangunan dalam pelaksanaan Bappeda pada masa reformasi dalam perencanaan pembangunan daerah dilakukan dengan pendekatan secara Top-Down dalam hal ini yaitu perencanaan memperhatikan kebijakan pemerintahan pusat yang dapat dipedomani dalam perencanaan sedangkan Bottom-Up dalam hal ini yaitu perencanaan memperhatikan aspirasi dari masyarakat dalam perencanaan pembangunan daerah dan bertanggung-jawab demi kepentingan pembangunan masyarakat secara menyeluruh. 28 Kuncoro mengatakan perencanaan pembangunan daerah dari atas ke bawah top down planning diartikan perencanaan yang dibuat oleh pemerintah pusat atau sasaran-sasarannya ditetapkan dari tingkat daerah. Sedangkan perencanaan dari bawah ke atas bottom up planning dibuat oleh pemerintah tingkat mikroproyek. Berdasarkan apa yang dkemukakan Kunarto daerahdepartemen dalam, dapat 26 Sujanto, Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggung-jawab, Jakarta: Gahalia Indonesia, 1990, hlm. 19 27 Andi A. Malarangeng, Otonomi Daerah Perspektif Teoritis dan Praktis, Malang:Bigraf Publishing, 2000, hlm. 62-63 28 M. Masoed, Negara, Bisnis dan KKN. Yogyakrta: Aditya Media, 1994, hlm. 58 Universitas Sumatera Utara disimpulkan bahwa top down planning bersifat makro dan bottom up planning bersifat mikro. 29 Menurut Ginanjar Kartasasmita mengatakan perencanaan dari atas kebawah top down palnning dan perencanaan dari bawah keatas bottom up planning termasuk kelompok perencanaan menurut proseshirarki penyusunan. Pandangan ini timbul karena perencanaan dari bawah keatas ini dimulai prosesnya dengan pelaksanaan. 30 Anggapan bahwa mereka yang memperoleh pengaruh atau dampak langsung pembangunan seyogyanya terlihat langsung sejak tahap perencanaan, menjadi dasar pembenaran sektoral sebagai perencanaan dari atas kebawah, bersifat makro, dan perencanaan rinci meruapakan contoh dari perencanaan dari bawah ke atas bersifat mikro, 31 Pada pendapat kedua ahli tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dikatakan perencanaan dari atas ke bawah top-down planning itu adalah perencanaan pembangunan yang dibuat oleh Badan, lembaga atau institusi pemerintah dipusat atau di tingkat atas yang sifatnya makro, khususnya mengenai bottom-up planning sering dimaksudkan perencanaan yang dibuat oleh masyarakat secara langsung. Mengacu pada pendapat kedua ahli tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dikatakan perencanaan dari atas ke bawah top down planning itu adalah perencanaan pembangunan yang dibuat oleh lembaga atau institusi pemerintah di 29 Mudrajat Kuncoro, Otonomi Daerah dan Pembangunan Daerah, Jakarta : PT. Erlangga, 2004, hlm. 15 30 Ginanjar Kartasasmita, Perdagangan Masyarakat Konsep Pembangunan Yang Berakar Pada Masyarakat Jakarta: Cides, 1997, hlm. 113 31 Ibid, hlm. 114 Universitas Sumatera Utara pusat atau tingkat atas yang sifatnya makro atau menyeluruh, sedangkan perencanaan dari bawah ke atas bottom up planning adalah perencanaan yang dibuat oleh lembaga atau institusi pemerintah di tingkat bawah yang sifatnya mikro. Hal ini sering terjadi salah pengertian dan penafsiran dibanyak kalangan terhadap isitilah top down planning dan bottom up planning. Khususnya mengenai bottom up planning sering dimaksudkan perencanaan yang dibuat oleh masyarakat secara langsung 32 .

2. Konsepsi