27 etika. Tujuan dari kerangka kerja seperti itu adalah membantu
mengidentifikasi isu-isu etis dan memutuskan serangkaian tindakan yang tepat dengan menggunakan nilai dari orang itu sendiri.
Pendekatan enam langkah berikut ini dimaksudkan agar dapat menjadi suatu pendekatan yang relatif sederhana untuk menyelesaikan dilema
etika: 1 Memperoleh fakta yang relevan.
2 Mengidentifikasi isu-isu etis berdasarkan fakta tersebut. 3 Menentukan siapa yang akan terpengaruh oleh akibat dari dilema
etika tersebut dan bagaimana setiap orang atau kelompok itu terpengaruhi.
4 Mengidentifikasi berbagai alternatif yang tersedia bagi orang yang harus menyelesaikan dilema tersebut.
5 Mengidentifikasi konsekuensi yang mungkin terjadi dari setiap alternatif.
6 Memutuskan tindakan yang tepat.
2. Independensi
Independensi dianggap sebagai karakteristik auditor yang paling kritis, bahkan nilai auditing sangat bergantung pada persepsi publik atas
independensi auditor Arens et al, 2008:111. Kwanbo 2009 mendefinisikan Independensi sebagai berikut:
Independence is the ability to act with integrity and objectivity, and that certain relationships with client would cause third parties to question
the ability of an auditor to act with requisite impartiality.
28 Ikatan Akuntan Indonesia IAI, 2009 melalui Standar Profesional
Akuntan Publik SA Seksi 220 mendefinisikan independensi sebagai berikut:
”Independen, artinya tidak mudah dipengaruhi, tidak dibenarkan memihak kepada kepentingan siapapun, mengakui kewajiban untuk jujur tidak
hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditur dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan paling tidak
sebagian atas laporan auditor independen”. Standar umum yang kedua mengatur sikap mental auditor dalam
menjalankan tugasnya. Independensi berarti sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang
lain. Menurut IAI dalam Standar Profesional Akuntan Publik SPAP,2009 yaitu pada standar umum kedua berbunyi: ”Dalam semua hal yang
berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor”. Standar ini mengharuskan auditor bersikap
independen, artinya tidak mudah dipengaruhi, karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum dibedakan dalam hal ini Ia
berpraktik sebagai auditor intern. Supriyono 1988 yang dikutip Wati dan Subroto 2003 dalam
Alim, Hapsari, dan Purwanti 2007 telah melakukan penelitian mengenai independensi auditor di Indonesia. Penelitian ini mempelajari faktor-faktor
yang mempengaruhi independensi auditor yaitu Ikatan keputusan keuangan dan hubungan usaha dengan klien, persaingan KAP, pemberian
jasa selain jasa audit, lama penugasan audit, besar kantor akuntan, dan
29 besarnya audit fee. Responden yang dipilih meliputi direktur keuangan
perusahaan yang telah go public, partner KAP, pejabat kredit bank dan lembaga keuangan non bank, dan Bapepam.
Selanjutnya Nicholas dan Price 1976 dalam Alim, Hapsari, dan Purwanti 2007 menemukan bahwa ketika auditor dan manajemen tidak
mencapai kata sepakat dalam aspek kinerja, maka kondisi ini dapat mendorong manajemen untuk memaksa auditor melakukan tindakan yang
melawan standar, termasuk dalam pemberian opini. Kondisi ini akan sangat menyudutkan auditor sehingga ada kemungkinan bahwa auditor
akan melakukan apa yang diinginkan oleh pihak manajemen. Deis dan Giroux 1992 mengatakan bahwa pada konflik kekuatan,
klien dapat menekan auditor untuk melawan standar profesional dan dalam ukuran yang besar, kondisi keuangan klien yang sehat dapat digunakan
sebagai alat untuk menekan auditor dengan cara melakukan pergantian auditor. Hal ini dapat membuat auditor tidak akan dapat bertahan dengan
tekanan klien tersebut sehingga menyebabkan independensi mereka melemah. Posisi auditor juga sangat dilematis dimana mereka dituntut
untuk memenuhi keinginan klien namun di satu sisi tindakan auditor dapat melanggar standar profesi sebagai acuan kerja mereka .
3. Pengalaman