Tata Cara Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 Orang Pribadi Pada Kantor Pelayanan Pratama Binjai
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
LAPORAN TUGAS AKHIR
TENTANG
TATA CARA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 ORANG
PRIBADI PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA BINJAI
DIAJUKAN
O
L
E
H
NAMA
: IMMANUEL SILALAHI
NIM
: 062600175
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Menyelesaikan Studi Pada Program Studi Diploma III
Administrasi Perpajakan
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
(2)
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat dan rahmat
serta hidayahNYA, penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktik Kerja Lapangan
Mandiri (PKLM) yang berjudul “TATA CARA PERHITUNGAN PAJAK
PENGHASILAN PASAL 25 ORANG PRIBADI PADA KANTOR PELAYANAN
PRATAMA BINJAI”.
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat dalam
menyelesaikan studi pada Progam Diploma III Administrasi Perpajakan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Penulis berharap laporan ini dapat
memberikan sumbangan kepada siapapun yang membaca laporan ini untuk mendalami
masalah perpajakan.
Dalam penyelesaian laporan ini penulis mengalami berbagai kesulitan, akan tetapi
berkat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak penulis dapat menyelesaikan laporan
ini sebagaimana mestinya. Pada kesempatan ini secara khusus penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih sebagai penghargaan dan rasa cinta yang paling tulus
kepada Ayah dan Ibu tercinta, serta adik yang saya sayangi yang telah memberikan doa,
dorongan dan bantuan baik secara moril maupun materil.
Pada kesempatan sekarang ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1.
Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
(3)
2.
Bapak Drs. H. M. Husni Thamrin Nasution, M. Si, selaku Ketua Program
Diploma III Administrasi Perpajakan Universitas Sumatera Utara.
3.
Bapak Drs. H. M. Husni Thamrin Nasution, M. Si selaku Dosen Wali dan Dosen
Pembimbing yang telah banyak memeberikan bantuan berupa motivasi dan
masukan yang berharga dalam menyelesaikan laporan PKLM ini.
4.
Seluruh Dosen dan staf pengajar serta pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sumatera Utara.
5.
Bapak Alfan Jamil, SE selaku Kasubbag. Umum dan Bapak A. Situmorang, SE.
Ak. selaku Kepala Seksi Pelayanan serta seluruh pegawai di Kantor Pelayanan
Pajak Pratama Medan Kota (khususnya Adjie, Windu dan Diana) yang telah
banyak membantu penulis dalam penulisan laporan ini.
6.
Teristimewa untuk kedua orang tua ku beserta adik-adik yang kusayangi yang
telah banyak memberikan bantuan moril dan materil, sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan PKLM ini.
7.
Untuk sahabat-sahabatku Adisti, Andi, Ainun, Bob, Fauzan, Indri, Nelvi, Panca,
Parto, dan Syourie, yang telah banyak memberikan saran, dukungan, semangat
serta doa untuk penulis dalam penyelesaian laporan PKLM ini.
8.
Untuk teman-temanku Cici, Tita, Tika, Retno, Fanny, Luly, Joker, Imei, Friska,
Panji, Yanta, Roy, Ricky, Yanta, Robinson, Rio, Beben, Benny, Dody, Mada,
Ook, serta teman-teman anak C stambuk 2006 yang lain, yang sudah menjadi
bagian dari perjalanan hidup yang tak terlupakan dan tak tergantikan penulis
selama kurang lebih 3 tahun.
(4)
Tiada gading yang tak retak. Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan masukkan berupa saran dan kritik yang
membangun sebagai masukkan bagi penulis di masa mendatang.
Akhirnya penulis mengharapkan semoga laporan PKLM ini dapat memberikan
manfaat bagi setiap pembacanya.
Medan, September 2009
(5)
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI ... ... iv
BAB I : PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri ... ... 1
1.2. Tujuan dan Manfaat Praktik Kerja Lapangan Mandiri ... ... 5
1.2.1. Tujuan Praktik Kerja Lapangan Mandiri... . ... 5
1.2.2. Manfaat Praktik Kerja Lapangan Mandiri...
5
1.3. Ruang Lingkup Praktik Kerja Lapangan Mandiri... ... 6
1.4. Metode Praktik Kerja Lapangan Mandiri ... ... 6
1.5. Metode Pengumpulan Data ... ……. 8
1.6. Sistematika Penulisan Laporan ... ……. 9
BAB II : GAMBARAN UMUM OBJEK LOKASI PRAKTIK KERJA
LAPANGAN (PKLM)
2.1.
Sejarah Singkat berdirinya Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
Pratama Binjai……… 11
2.2.
Lokasi Geografi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama
Binjai………. 12
2.3.
Struktur Organisasi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama
Binjai………. 12
(6)
BAB III : GAMBARAN DATA TENTANG PAJAK PENGHASILAN (PPh)
PASAL 25 ORANG PRIBADI
3.1.
Dasar Hukum Pajak Penghasilan (PPh) Pasal
25………...….. 22
3.1.1.
Definisi Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25……….. 23
3.1.2.
Batas Waktu Pelaporan dan Pembayaran Pajak Penghasilan
(PPh) Pasal 25………. 23
3.1.3.
Syarat-syarat Permohonan Pengurangan Angsuran Bulanan
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25……….. 27
3.1.4.
Tata Cara Perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25…….. 28
3.1.5.
Surat Ketetapan Pajak (SKP) sebagai Dasar Perhitungan Angsuran Pajak
Penghasilan (PPh) Psal 25………. 31
3.2.
Surat Tagihan Pajak (STP)………. 31
3.2.1.
Dasar Hukum Surat Tagihan Pajak (STP)………... 31
3.2.2.
Definisi Surat Tagihan Pajak (STP)……… 33
3.2.3.
Faktor Penyebab Diterbitkan Surat Tagihan Pajak (STP)…….. 33
3.2.4.
Fungsi Surat Tagihan Pajak (STP)……….. 34
3.2.5.
Sanksi Administrasi Surat Tagihan Pajak (STP)………. 35
3.2.6.
Perhitungan Sanksi Administrasi atas Surat Tagihan
Pajak (STP)………. 36
3.3.
Kasus……….. 38
BAB IV : ANALISA DAN LAPORAN
4.1.
Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi dalam Penyampaian SPT Masa
Pasal 25 di KPP Pratama Binjai………. 44
4.2.
Hambatan-hambatan dalam penerbitan Surat Tagihan Pajak PPh pasal
25 pada KPP Pratama Binjai……….. 47
(7)
PPh Pasal 25………... 48
BAB V : PENUTUP
5.1.
Kesimpulan………... 52
5.2.
Saran………. 52
DAFTAR PUSTAKA
(8)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM)
Untuk mensukseskan Pembangunan Nasional, peranan penerimaan dalam negeri
serta mempunyai kedudukan yang sangat strategis. Roda pemerintahan tidak akan
berjalan tanpa adanya dukungan dana terutama yang berasal dari penerimaan dalam
negri. Oleh karena itu, volume penerimaan dalam negeri terutama dari pajak senantiasa
diupayakan untuk terus meningkat. Hal ini sesuai dengan kebijakan pemerintah yang
menginginkan pembangunan nasional yang harus dibiayai dari sumber dana yang berasal
dari masyarakat itu sendiri sebagai upaya untuk mengurangi tingkat ketergantungan
pinjaman luar negeri dan meningkatkan kemandirian bangsa. Berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi membawa dampak yang luas dan kompleks. Kemajuan
tersebut tentunya memerlukan kesiapsediaan semua pihak terlebih di era globalisasi
sekarang ini dibutuhkan orang-orang yang memiliki kemampuan dalam menghadapi dan
mengantisipasi kemajuan tersebut. Unsur yang benar-benar harus disiapkan adalah
sumber daya manusia. Selain itu pada dasarnya peranan pemerintah dalam negeri
mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam mensukseskan pembangunan yang
sesuai dengan cita-cita pancasila.
Di negara-negara yang sedang berkembang bahwa pelaksanaan pembangunan
merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Peran serta
pemerintah dan aparatnya tetap penting dan cenderung dominan. Konsekuensi logis dari
pernyataan bahwa pembangunan merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah
(9)
dengan seluruh masyarakat baik secara sendiri-sendiri maupun secara formal melalui
berbagai jenis usaha yang terdapat dalam masyarakat harus turut aktif dalam proses
pembangunan.
Pajak merupakan sumber penerimaan negara terbesar disamping minyak dan gas
bumi dan peranan pajak adalah sangat besar dalam mendukung penerimaan negara yang
dapat dilihat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari tahun ke
tahun. Namun, apabila mendengar kata “Pajak” seringkali masyarakat merasa resah dan
masih banyak juga masyarakat yang tidak mengikuti Peraturan Perpajakan yang telah
ditetapkan oleh Pemerintah, bahkan adapula yang merasakan bahwa pajak itu adalah
sebagai beban hidup sehingga banyak masyarakat yang ingin menghindarinya. Padahal
membayar pajak sesungguhnya adalah sebagai suatu bentuk ucapan rasa terima kasih
masyarakat kepada pemerintah yang telah menghidupi, menyediakan,
menumbuhkembangkan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan oleh seluruh lapisan
masyarakat.
Sistem pemungutan pajak telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan. Mengumpulkan dana
pembangunan melalui pajak sebagai penerimaan dalam negeri akan mencerminkan
kemandirian negara Indonesia untuk melaksanakan pembangunan yang lebih terjamin.
Usaha untuk mencapai target tersebut dibutuhkan kerja keras, kesadaran akan hak dan
kewajiban, serta kedisiplinan dari seluruh aparatur perpajakan dibawah naungan
Direktorat Jenderal Pajak. Namun untuk tercapainya target tersebut juga tidak terlepas
dari peran serta masyarakat dan wajib pajak. Untuk itu perlu diusahakan peningkatan
kesadaran wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya. Masyarakat harus menyadari
(10)
bahwa pemenuhan kewajiban perpajakan merupakan salah satu perwujudan kewajiban
negara yang merupakan sarana peran serta masyarakat dalam pembiayaan negara dan
pembangunan nasional.
Adapun cara-cara yang dilakukan untuk meningkatkan penerimaan sektor pajak
antara lain dengan menyempurnakan sistem perpajakan, mengintensifkan penerimaan
pemungutan pajak dan menciptakan aparatur perpajakan yang bersih dan berwibawa.
Penyempurnaan sistem perpajakan telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia yaitu
dengan mengadakan pembaharuan dibidang perpajakan. Pembaharuan dibidang
perpajakan tersebut dikenal dengan sebutan Tax Reform (Reformasi Perpajakan).
Pembaharuan tersebut dimulai pada tahun 1983 yang ditempuh dengan mengeluarkan
Undang-Undang Perpajakan baru yang diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Undang-Undang Pajak Penghasilan tersebut telah
beberapa kali diubah yaitu :
1.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
2.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991
3.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994
4.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
5.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
Suatu perubahan mendasar yang terjadi akibat dari Tax Reform 1983 tersebut adalah
munculnya sistem self assessment dalam sistem perpajakan yang berlaku di Indonesia.
Self assessment system
yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan
kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan
melaporkan sendiri pajak terutangnya (Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
(11)
Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan). Sistem
self assessment menggantikan
sistem
official assessment yang sebelumnya berlaku di Indonesia yaitu sistem
pemungutan pajak yang dipungut oleh fiskus (Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan). Dalam sistem self assessment
aparatur perpajakan (fiskus) diharuskan juga berperan aktif untuk melakukan
pengendalian administrasi perpajakan. Peran aktif fiskus tersebut antara lain meliputi
tugas untuk membina, meneliti, mengawasi dan menerapkan sanksi administrasi
perpajakan.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 1 disebutkan bahwa Pajak adalah
kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Dan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan pada Pasal 25 mengatur kewajiban Wajib Pajak yang perlu diawasi
yakni pembayaran pajak dengan cara “Angsuran Pajak”.
Dalam hal ini unit operasi Jenderal Pajak Yaitu Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
Pratama, mengupayakan peningkatan penerimaan pajak khususnya Pajak Penghasilan
(PPh) Pasal 25 yang merupakan tugas dari Direktorat Jenderal Pajak. Pelaksanaan
peningkatan penerimaan pajak penghasilan pasal 25 yang merupakan tugas dari Kantor
Pelayanan Pajak Pratama menjadi sedikit terlambat karena masih ada wajib pajak yang
belum juga mendaftarkan menjadi wajib pajak karena kurangnya pengetahuan wajib
pajak dalam melakukan perhitungan (PPh) Pasal 25, oleh karena itu penulis mengangkat
(12)
judul mengenai “TATA CARA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL
25 ORANG PRIBADI PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA
BINJAI”.
B.
Tujuan dan Manfaat Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM)
Kegiatan Praktik Kerja Lapangan Mandiri oleh mahasiswa Program Studi
Diploma III Administrasi Perpajakan dilaksanakan dengan tujuan agar mahasiswa dapat
belajar dari dunia kerja dan sekaligus membantu memberikan pemecahan masalah yang
dihadapi berdasarkan potensi mahasiswa.
B.1. Tujuan Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM)
1.
Untuk mengetahui Tatacara Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 25.
2.
Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi dalam perhitungan pajak
Penghasilan Pasal 25.
B.2. Manfaat Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM)
Bagi Mahasiswa
1.Mengaplikasikan teori yang telah dipelajari terhadap masalah-masalah yang nyata
dalam kehidupan dunia kerja.
2.Sebagai bahan penulis untuk mendalami tatacara pelaksanaan PPh pasal 25.
3.Untuk melakukan sosialisasi terhadap masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Binjai
1.Meningkatkan mutu dan kualitas dengan adanya penelitian jangka pendek.
2.Membina kerja sama antara lembaga pendidikan dengan perusahaan dan instansi
pemerintahan.
(13)
3.Memperoleh ide-ide baru dalam upaya untuk mengoptimalkan Pajak Penghasilan
(PPh) Pasal 25 Orang pribadi.
Bagi Program Diploma III Administrasi Perpajakan FISIP USU
1.
Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain dalam bidang Administrasi
Perpajakan.
2.
Guna mempromosikan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dihasilkan dari
lembaga pendidikan nasional khususnya Universitas Sumatera Utara khususnya
Pragram Diploma III.
C.
Ruang Lingkup Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM)
Dalam hal ini mahasiswa melakukan Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) di
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Binjai yang dilakukan pada bulan April-Mei
2010. Adapun yang terjadi ruang lingkup selama melakukan penelitian adalah:
1.
Tata cara perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 Orang Pribadi.
2.
Kendala yang dihadapi dalam perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 baik dari
wajib pajak maupun Fiskus.
3.
Data-data penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 Orang Pribadi di tahun
berjalan agar dapat membantu mahasiswa dalam penulisan laporan.
D.
Metode Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM)
Metode yang dipergunakan mahasiswa dalam kegiatan Praktik Kerja Lapangan
Mandiri (PKLM) adalah tehnik diskusi yang dibagi dalam berbagai tahap :
(14)
Yaitu kegiatan yang harus dilakukan oleh mahasiswa sebelum melakukan penelitian
ke objek lokasi penelittian yang meliputi seperti : pemilihan objek penelitian, lokasi
penelitian, pengajuan proposal penelitian dan surat pengantar.
b.
Studi Literatur
Yaitu kegiatan studi mencari data dan informasi dengan membaca landasan teori,
menelaah buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan,
majalah, surat kabar, catatan-catatan, maupun bahasa tertulis yang ada hubungannya
dengan laporan penelitian.
c.
Studi Observasi Lapangan
Yaitu kegiatan studi mencari data dan informasi dengan mengikuti penelitian di
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Binjai serta mempelajari laporan-laporan
yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas.
d.
Pengumpulan Data
Yaitu kegiatan pengumpulan data atau keterangan dan informasi mengenai Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 25 Orang Pribadi yang terdiri dari:
Data Primer
Adalah data yang diperoleh melalui wawancara terhadap orang-orang yang
dianggap mampu memberikan informasi serta observasi penulis di lapangan
tempat objek PKLM.
Data Sekunder
Adalah data yang diperoleh melalui studi literatur seperti sumber-sumber Pustaka,
Undang-Undang, Dokumentasi, maupun literatur yang berhubungan dengan
PKLM.
(15)
e.
Analisis & Evaluasi
Yaitu kegiatan studi yang dilakukan dengan cara menganalisa permasalahan dan
kendala yang dihadapi dan mencari tahu atau menayakan solusi/jalan keluar yang
terbaik untuk memecahkan masalah tersebut pada pegawai Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) Pratama Binjai.
E.
Metode Pengumpulan Data
Adapun jenis-jenis data yang dikumpulkan berupa data tertulis dalam bentuk
dokumen, tabel, bagan, dan grafik dimana metodenya terdiri dari :
1.
Metode Wawancara (Interview)
Yaitu kegiatan mengumpulkan dan mencari dengan melakukan wawancara dan
mengajukan pertanyaan secara langsung dengan Kepala Seksi dan Pegawai instansi
yang berkomponen dan menambah objektif yang berkaitan dengan kebutuhan untuk
melengkapi laporan penelitian.
2.
Metode Observasi (Pengamatan)
Yaitu kegiatan mengumpulkan dan mencari data dengan langsung maupun tidak
langsung terjun kelapangan untuk melakukan peninjauan dengan mengamati,
mendengar, dan bila perlu membantu mengerjakan tugas yang diberikan oleh pihak
instansi dengan memberikan petunjuk atau arahan terlebih dahulu dengan
berpedoman pada ketentuan yang berlaku pada instansi dan tidak boleh melakukan
pekerjaan yang menjadi rahasia dan memiliki resiko yang tinggi.
3.
Dokumentasi
Yaitu kegiatan mengumpulkan dan mencari data dengan membuat daftar dokumentasi
yang telah diperoleh dari instansi. Penulis juga melakukan pengamatan yang
(16)
dilakukan berdasarkan bahan bacaan di perpustakaan, Undang-Undang Pajak,
Peratuaran Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Direktorat Jenderal
Pajak, Surat Edaran, dan sumber lainnya yang berhubungan dengan masalah yang
dihadapi penulis, untuk memperoleh data dan keterangan yang dibutuhkan dalam
tugas akhir ini.
F.
Sistematika Penulisan laporan PKLM
Adapun yang menjadi maksud sistematika penulisan laporan penelitian adalah
untuk mempermudah pemahaman dan penulisan laporan penelitian. Sistematika
penulisan laporan penelitian dibuat dalam 5 bab dan dilengkapi dengan sub bab:
BAB I
: PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan latar belakang PKLM, tujuan dan manfaat
PKLM, ruang lingkup PKLM, metode PKLM, metode pengumpulan data,
dan sistematika penulisan laporan PKLM.
BAB II
: GAMBARAN UMUM OBJEK LOKASI PENELITIAN
Dalam bab ini diuraikan sejarah singkat Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
Pratama Binjai, metode pengumpulan data serta gambaran petugas
pegawai Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Binjai.
BAB III
: GAMBARAN DATA PKLM
Dalam bab ini diuraikan mengenai bagaimana tata cara penghitungan
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 Orang Pribadi di Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) Pratama Binjai.
(17)
Dalam bab ini diuraikan mengenai penganalisaan masalah yang timbul dan
alternatif pemecahan masalah juga evakuasi terhadap alternatif pemecahan
masalah.
BAB V
: KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan mengenai masalah yang timbul pada saat
melaksanakan penelitian dan juga kesimpulan bab-bab terdahulu serta
saran-saran terhadap pelaksanaan agar lebih baik di masa yang akan
datang.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
(18)
BAB II
GAMBARAN UMUM OBJEK LOKASI PRAKTIK KERJA LAPANGAN (PKLM)
2.1.
Sejarah Singkat berdirinya Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Binjai
KPP Binjai didirikan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor: 94/KMK-01/1994 tanggal 29 Maret 1994, dengan wilayah kerja
sebagai berikut:
1)
Kotamadya Binjai
2)
Kabupaten Langkat
3)
Kabupaten Deli Serdang
a.
Kec. Labuhan Deli
b.
Kec. Sunggal
c.
Kec. Pancur Batu
d.
Kec. Hamparan Perak
e.
Kec. Sibolangit
f.
Kec. Kutalimbaru
4)
Kabupaten Tanah Karo
Pada tanggal 27 Mei 2008, KPP Binjai berubah nama menjadi KPP Pratama
Binjai yang artinya KPP Pratama Binjai telah menjadi KPP Modern dimana pelayanan
(19)
perpajakan telah menjadi pelayanan satu atap. KPP Pratama Binjai memiliki wilayah
kerja sebagai berikut:
1)
Kota Binjai
2)
Kabupaten Langkat
2.2.
Lokasi Geografi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Binjai
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Binjai terletak di jalan Jambi Nomor 1
Rambung Barat, Binjai Selatan. Kantor Pemerintah ini mempunyai kewajiban untuk
memudahkan pengawasan dan memberikan pelayanan terhadap masyarakat dalam
membayar pajak.
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Binjai dikepalai oleh seorang kepala
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang terdiri atas Sub Bagian Umum, dan beberapa seksi
yang dipimpin oleh masing-masing seorang kepala seksi agar dapat lebih jelas dan
transparan tentang keadaan dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Binjai. Maka
disini penulis akan menggambarkan tentang struktur organisasi.
2.3.
Struktur Organisasi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Binjai
Struktur organisasi merupakan wadah bagi sekelompok orang yang bekerjasama
dalam usaha untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Struktur organisasi
menyeiakan pengadaan personil yang memegang jabatan tertentu dan masing-masing
diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab sesuai dengan jabatannya. Hubungan kerja
dalam organisasi dituangkan dalam struktur organisasi yang merupakan gambaran
sistematis tentang hubungan kerja dari orang-orang yang menggerakkan organisasi dalam
usaha mencapai tujuan yang telah ditentukan.
(20)
Struktur organisasi sangat penting untuk terlaksananya fungsi pengorganisasian
dengan baik sebab dengan adanya struktur organisasi akan terlihat jelas tugas dan
wewenang dari setiap bagian yang terdapat dalam hierarki organisasi dan ini akan
memudahkan setiap karyawan untuk menjalankan tugas dan fungsinya.
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Binjai mempunyai tugas melaksanakan
pelayanan, pengawasan administrasi, dan pemeriksaan sederhana terhadap wajib pajak di
bidang Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam wilayah wewenangnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas, Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) Pratama Binjai menyelenggarakan fungsi:
1)
Pengumpulan, pencarian dan pengolahan data, pengamatan potensi
perpajakan, penyajian informasi perpajakan, penetapan dan penerbitan produk
hukum perpajakan.
2)
Pengadministrasian dokumen dan berkas perpajakan, penerimaan dan
pengolahan Surat Pemberitahuan (SPT), serta penerimaan surat lainnya.
3)
Pengawasan, pembayaran masa Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan
Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), dan Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
4)
Penatausahaan piutang pajak, penerimaan, penagihan, penyelesaian keberatan
penatausahaan banding, dan penyelesaian restitusi Pajak Penghasilan (PPh),
Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(21)
(PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Bea Perolehan atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB).
5)
Pelaksanaan pemeriksaan sederhana dan penerapan sanksi perpajakan.
6)
Pengawasan kepatuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
7)
Pelaksanaan penyuluhan dan konsultasi perpajakan.
8)
Pelaksanaan Intensifikasi dan Ekstensifikasi.
9)
Pelaksanaan administrasi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Binjai.
Adapun struktur organisasi pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Binjai adalah
sebagai berikut:
1)
Sub Bagian Umum
Sub Bagian Umum terdiri dari 3 bagian, yakni:
a.
Bagian Tata Usaha dan Kepegawaian
Tugasnya adalah menyelenggarakan tugas pelayanan di bidang tata usaha
dan kepegawaian dengan cara melakukan pengurusan surat, pengetikan
dan pengadaan, penetaan berkas, penyusunan arsip, tata usaha
kepegawaian, dan pengiriman laporan agar dapat menunjang kelancara
tugas Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Binjai.
b.
Bagian Keuangan
Tugasnya adalah merencanakan kebutuhan dana dan melakukan urusan
pendanaan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Binjai.
(22)
Tugasnya adalah melakukan seluruh urusan rumah tangga dan urusan
perlengkapan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Binjai dari segi
material agar dapat menunjang kelancaran jalannya pekerjaan di Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Binjai.
2)
Seksi Pengolahan Data dan Informasi (PDI)
Seksi Pengolahan Data dan Informasi (PDI) terdiri dari seorang kepala seksi
pengolahan data dan informasi yang tugasnya adalah mengkoordinasikan
urusan pengolahan data dan penyajian informasi, pembuatan monografi pajak,
penggalian potensi perpajakan, serta ekstensifikasi wajib pajak, dan
intensifikasi sesuai dengan peraturan per Undang-Undangan yang berlaku.
Kepala Seksi Pengolahan Data dan Informasi (PDI) membawahi koordinator
pelaksana yang tugasnya adalah:
a.
Menerima dan memanfaatkan data intern (dari seksi terkait di KPP
Pratama Binjai) dan data ekstern (di luar KPP Pratama Binjai; Pemda
Binjai, Asosiasi, Notaris dan PPAT, dan pihak ketiga lainnya).
b.
Mengidentifikasi data intern dan data ekstern untuk dikatagorikan
menjadi data dikenal dan data tidak dikenal.
c.
Mengirimkan data dikenal ke seksi yang terkait dan KKP di luar KPP
Pratama Binjai.
d.
Mengirimkan data tidak dikenal ke KPP di luar KPP Pratama Binjai,
bila alamat pada data tersebut bukan merupakan wilayah kerja KPP
Pratama Binjai.
(23)
e.
Melakukan perekaman data ke menu Sistem Informasi Perpajakan
(SIP) KPP Pratama Binjai.
f.
Mengirimkan back up data harian KPP Pratama Binjai.
g.
Mengirimkan
back up data KPP Pratama Binjai ke Kanwil DJP
Sumatera I secara priodik 2 (dua) minggu sekali.
h.
Melaksanakan transfer data mingguan ke Kantor Pusat.
i.
Membuat himbauan NPWP/ NPPKP kepada wajib pajak, baik orang
pribadi maupun badan.
3)
Seksi Pelayanan
Seksi Pelayanan terdiri dari seorang Kepala Seksi Pelayanan yang tugasnya
adalah mengkoordinasikan pelayanan ada Tempat Pelayanan Terpadu (TPT),
penatausaan pendataan, pemindahan dan pencabutan identitas wajib pajak
lainya, kearsipan berkas penelitian Surat Pemberitahuan (SPT) dan surat wajib
pajak lainnya, kearsipan beras wajib pajak, serta penertiban Surat Ketetapan
Pajak (SKP) sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kepala Seksi Pelayanan membawahi koordinator pelaksana yang tugasnya
adalah:
a.
Melakukan urusan peneriaan Surat Pemberitahuan (SPT), surat wajib
pajak lainnya, melakukan penatausahaan pendaftaran, dan pencabutan
identitas wajib pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(24)
b.
Melakukan penelitian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, dan
penyelesaian permohonan penundaan penyampaian SPT sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
c.
Melaksanakan urusan tata usaha penerbitan Surat Ketetapan Pajak
(SKP) dan kearsipan wajib pajak sesuai dengan ketentuan yang yang
berlaku.
4)
Seksi Pengawasan dan Konsultasi (Waskon)
Waskon adalah salah satu seksi pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama
di seluru Indonesia. Seksi ini terbentuk setelah Kantor Pelayanan Pajak
melakukan modernisasi, dimana pembagian seksi pada Kantor Pelayanan
Pajak tidak lagi berorientasi pada jenis pajak, tetapi pembagian seksi pada
Kantor Pelayanan Pajak berorientasi pada fungsi seksi.
Waskon adalah singkatan dari dua suku kata yaitu pengawasan dan konsultasi.
Fungsi umum dari seksi waskon adalah melakukan pengawasan dan konsultasi
terhadap wajib pajak dalam hal menjalankan seluruh kegiatan administrasi
nya.
Seksi Waskon dipimpin oleh seorang Kepala Seksi (Kasi), yang tugasnya
adalah mengkoordinir seluruh tugas-tugas pada Seksi Waskon. Dan Kepala
Seksi Waskon dibantu oleh Accounter Representative (AR). Tugas dari
Accounter Representative adalah melaksanakan tugas-tugas teknis pada Seksi
Waskon I, seperti:
(25)
a.
Memberikan pejelasan tentang kegiatan administrasi perpajakan yang
harus dipenuhi oleh wajib pajak.
b.
Menjadi tempat konsultasi dan konseling para wajib pajak.
c.
Membuat surat-surat, seperti surat teguran, surat ucapan terima kasih,
surat pemberitahuan kepada wajib pajak, dan lain sebagainya.
d.
Memeriksa Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampaikan wajib pajak.
e.
Mendisposisiskan surat-surat, seperti surat masuk dan surat keluar.
f.
Memberikan aturan kepada wajib pajak untuk menghitung pajak dan
mengisi Surat Pemberitahuan (SPT).
g.
Membuat data base Wajib Pajak..
Seksi Waskon pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Binjai dibagi
menjadi 3 (tiga) bagian:
1.
Seksi Pengawasan dan Konsultasi I
2.
Seksi Pengawasan dan Konsultasi II
3.
Seksi Pengawasan dan Konsultasi III
Dan pada prinsipnya tugas dari ketiga seksi tersebut adalah sama, dan yang
membedakan hanyalah pembagian wilayah kerjanya. Hal ini diberlakuakan
dengan tujuan untuk mempermudah dan membantu tugas dan fungsi Kantor
Pelayanan Pajak Pajak (KPP) Pratama Binjai.
(26)
5)
Seksi Ekstensifikasi Perpajakan
Dalam istilah perpajakan di Indonesia, Ekstensifikasi adalah kegiatan yang
dilakukan untuk memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kepada
wajib pajak orang pribadi yang berstatus sebagai pengurus, komisaris,
pemegang saham/ pemilik dan pegawai, wajib pajak orang pribadi yang
melakukan kegiatan usaha dan/ atau memiliki tempat usaha di pusat
perdagangan dan/ atau pertokoan. Kegiatan Ekstensifikasi ini dilaksanakan
oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Binjai melalui Seksi
Ekstensifikasi perpajakan.
Dasar peraturannya adalah:
a.
Per-16/PJ/2007 tentang Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
Orang Pribadi yang berstatus sebagai pengurus, komisaris, pemegang
saham/ pemilik dan pegawai melalui pemberi kerja/ bendaharawan
pemerintah.
b.
Per-116/PJ/2007 tentang Ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribai melalui
Pendataan Objek Pajak Bumi dan Bangunan, sebagaimana telah diubah
melalui Per-32/PJ/2008.
c.
Per-35/PJ/2008
tentang Kewajiban Pemilik Nomor Pokok Waji Pajak
(NPWP) dalam rangka pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan.
6)
Seksi Penagihan
Seksi Penagihan terdiri dari seorang Kepala Seksi Penagihan yang tugasnya
adalah mengkoordinasikan urusan penatausahaan piutang pajak, penagihan,
(27)
penundaan dan angsuran, serta pembuatan usulan penghapusan piutang pajak
berdasarkan ketentuan peraturan per- Undang-Undangan yang berlaku.
Kepala Seksi penagihan membawahi koordinator pelaksana yang tugasnya
adalah:
a.
Melakukan penatausahaan piutang pajak, usul penghapusan piutang
pajak, penundaan dan angsuran sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
b.
Melakukan penyiapan Surat Teguran, Surat Paksa, Surat perintah
Melaksanakan Penyitaan (SPMP), Sita, Urusan Lelang, dan dukungan
penagihan lainnya berdasarkan ketentuan yang berlaku.
7)
Seksi Pemeriksaan
Seksi Pemeriksaan terdiri dari seorang Kepala Seksi Pemeriksaan yang
tugasnya adalah:
a.
Mengkoordinir penyusunan rencana pemeriksaan.
b.
Melakukan pelaksanaan pemeriksaan dan,
c.
Penerbitan serta penyaluran Surat Perintah pemeriksaan pajak serta
administrasi pemeriksaan perpajakan lainnya.
2.4.
Jumlah Pegawai Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Binjai
1)
Sub Bagian Umum
Jumlah Pegawai : 7 Orang (termasuk 1 (satu) orang Kasubbag Umum)
2)
Seksi Pengolahan Data dan Informasi (PDI
(28)
Jumlah Pegawai : 9 Orang (termasuk 1 (satu) orang Kepala Seksi)
3)
Seksi Pelayanan
Jumlah Pegawai : 10 Orang (termasuk 1 (satu) orang Kepala Seksi)
4)
Seksi Pengawasan dan Konsultasi I
Jumlah Pegawai : 6 Orang (termasuk 1 (satu) orang Kepala Seksi)
5)
Seksi Pengawasan dan Konsultasi II
Jumlah Pegawai : 6 Orang (termasuk 1 (satu) orang Kepala Seksi)
6)
Seksi Pengawasan dan Konsultasi III
Jumlah Pegawai : 6 Orang (termasuk 1 (satu) orang Kepala Seksi)
7)
Seksi Ekstensifikasi
Jumlah Pegawai : 10 Orang (termasuk 1 (satu) orang Kepala Seksi)
8)
Seksi Penagihan
Jumlah Pegawai : 7 Orang (termasuk 1 (satu) orang Kepala Seksi)
9)
Seksi Pemeriksaan
Jumlah Pegawai : 2 Orang (termasuk 1 (satu) orang Kepala Seksi)
10)
Seksi Fungsi Pemeriksaan
(29)
BAB III
GAMBARAN DATA PRAKTIK KERJA
LAPANGAN MANDIRI (PKLM)
3.1
Dasar Hukum Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25
Dasar hukum PPh Pasal 25 adalah Undang-Undang Nomor 7 tahun
1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1991,
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1994, dan Undang-Undang Nomor 17 tahun
2000, terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008.
Uraian yang mengacu pada Pasal 25 Undang-Undang Nomor 36 tahun
2008 tentang perubahan keempat Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan (PPh), selanjutnya aturan pelaksanaannya
diperbaharui yaitu:
1)
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 522/KMK.04/2002 tanggal 14
Desember 2000 tentang perhitungan besarnya Angsuran Pajak Penghasilan
(PPh) dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
Baru, Bank, Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi, BUMN/ BUMD, dan
Wajib Pajak lainnya termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi, pengusaha
Tertentu. Keputusan ini telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 84/KMK.04/2002 tanggal 08 Maret 2002.
2)
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 210/ PJ/ 2001 tanggal 12 Maret
tentang besarnya pembayaran angsuran bulanan Pajak Penghasilan (PPh)
Pasal 25 dalam masa transisi tahun pajak 2001.
(30)
2.1.1.
Definisi Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 adalah ketentuan yang mengatur
tentang perhitungan besarnya angsuran bulanan pajak penghasilan yang harus
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (WP) dalam tahun berjalan. Angsuran Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 25 tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak
terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak (WP) pada akhir tahun pajak
yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh.
2.1.2.
Batas Waktu Pelaporan dan Pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal
25
Dalam Pajak Penghasilan dikenal adanya suatu batas bagi Wajib Pajak
untuk melakukan kewajibannya yaitu membayar pajak dan melaporkannya.
Ketentuan ini tentu saja dimaksudkan untuk adanya ketertiban dalam
administrasi perpajakan dan juga untuk memudahkan dalam pengawasan yang
dilakukan oleh otoritas perpajakan. Untuk menjamin dilaksanakannya
ketentuan seperti ini, maka atas pelanggarannya akan dikenakan sanksi berupa
sanksi bunga Pasal 9 ayat (2a) atas keterlambatan penyetoran dan sanksi denda
Pasal 7 atas keterlambatan atau tidak menyampaikan SPT.
2.1.2.1.
Batas Waktu Pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT)
1)
SPT Masa
Tanggal jatuh tempo pembayaran masa ditetapkan oleh Menteri
Keuangan berdasarkan kuasa Pasal 9 ayat 1 UU KUP. Sementara itu,
tanggal jatuh tempo pembayaran SPT Masa diatur dalam Pasal 3 UU
(31)
Tabel 3.1
Jangka Waktu Pelaporan SPT Masa
No Jenis Pajak
Yang Menyampaikan SPT Batas Waktu Pelaporan
1
PPh Pasal 21
Pemotong PPh Pasal 21
Tanggal 20 bulan takwim
berikutnya setelah masa
pajak berakhir
2
PPh Pasal 22
atas impor
Pemungut Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai
(DJBC)
Selambat-lambatnya 7 hari
setelah masa pajak berakhir
3
PPh Pasal 22 Bendaharawan
Pemerintah
Selambat-lambatnya 14 hari
setelah masa pajak berakhir
4
PPh Pasal 22
atas bahan
bakar
Pemungut Pertamina
Tanggal 20 bulan takwim
berikutnya setelah masa
pajak berakhir
5
PPh Pasal 22
Badan
Tertentu
Pihak yang melakukan
penyerahan
Tanggal 20 bulan takwim
berikutnya setelah masa
pajak berakhir
6
PPh Pasal 23
Pemotong PPh Pasal 23
Tanggal 20 bulan takwim
berikutnya setelah masa
pajak berakhir
7
PPh Pasal 25
Wajib Pajak yang
mempunyai NPWP
Tanggal 20 bulan takwim
berikutnya setelah masa
pajak berakhir
8
PPh Pasal 26
Pemotong PPh Pasal 26
Tanggal 20 bulan takwim
berikutnya setelah masa
pajak berakhir
9
PPN dan
PPnBM
Bendaharawan
Pemerintah
Selambat-lambatnya 14 hari
setelah masa pajak berakhir
10
PPN dan
PPnBM
Pemungut PPN selain
Bendaharawan
Pemerintah
Tanggal 20 bulan takwim
berikutnya setelah masa
pajak berakhir
11
PPN dan
PPnBM
Pemungut Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai
Selambat-lambatnya 7 hari
setelah masa pajak berakhir
Sumber : Peraturan Menteri Keuangan No. 184/PMK.03/20072)
SPT Tahunan
Tabel 3.2
Jangka Waktu Pelaporan SPT Tahunan
No Jenis Pajak
Yang menyampaikan
SPT
Batas Waktu Pelaporan
1
SPT PPh Tahunan
OP dan
Wajib Pajak yang
mempunyai NPWP
Tanggal 31 bulan ketiga
setelah tahun pajak atau
(32)
melakukan
pekerjaan bebas
bagian tahun pajak
2
SPT PPh Tahunan
Badan
Wajib Pajak yang
mempunyai NPWP
Tanggal 31 bulan keempat
setelah tahun pajak atau
bagian tahun pajak
Sumber : Peraturan Menteri Keuangan No. 184/PMK.03/2007
2.1.2.2.
Batas Waktu Pembayaran Surat Pemberitahuan (SPT)
Pembayaran pajak (penyetoran pajak), diatur dalam Pasal 9 dan Pasal
10 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(KUP), juga dengan peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 184/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007 dan peraturan
Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember
2007 , ringkasannya sebagai berikut:
1)
Sarana untuk membayar pajak adalah Surat Setoran Pajak (SSP).
2)
Tempat pembayaran yang ada pada saat ini adalah Kantor Pos dan
Giro serta Bank-Bank yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal
Pajak.
3)
Jangka waktu pembayaran:
a.
SPT Masa
Tabel 3.3
Jangka Waktu Pembayaran SPT Masa
No Jenis Pajak
Yang Menyampaikan
SPT
Batas Waktu Pembayaran
1
PPh Pasal 21
Pemotong PPh Pasal 21 Tanggal 10 bulan takwim
berikutnya setelah masa pajak
berakhir
2
PPh Pasal 22
atas impor
Pemungut Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai
(DJBC)
Harus disetor dalam jangka
waktu sehari setelah
pemungutan dilakukan
(33)
3
PPh Pasal 22 Bendaharawan
Pemerintah
Pada hari yang sama dengan
pembayaran atas penyerahan
barang yang dibiayai dari
belanja negara
4
PPh Pasal 22
atas bahan
bakar
Pemungut Pertamina
Harus dilunasi sendiri oleh
Wajib Pajak sebelum
penebusan
Delivery Order
(DO)
5
PPh Pasal 22
Badan
Tertentu
Pihak yang melakukan
penyerahan
Tanggal 10 bulan takwim
berikutnya setelah masa pajak
berakhir
6
PPh Pasal 23
Pemotong PPh Pasal 23 Tanggal 10 bulan takwim
berikutnya setelah masa pajak
berakhir
7
PPh Pasal 25
Wajib Pajak yang
mempunyai NPWP
Tanggal 15 bulan takwim
berikutnya setelah masa pajak
berakhir
8
PPh Pasal 26
Pemotong PPh Pasal 26 Tanggal 10 bulan takwim
berikutnya setelah masa pajak
berakhir
9
PPN dan
PPnBM
Bendaharawan
Pemerintah
Tanggal 7 bulan takwim
berikutnya setelah masa pajak
berakhir
10
PPN dan
PPnBM
Pemungut PPN selain
Bendaharawan
Pemerintah
Tanggal 15 bulan takwim
berikutnya setelah masa pajak
berakhir
11
PPN dan
PPnBM
Pemungut Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai
disetor jangka wakru sehari
setelah pemungutan dilakukan.
Sumber : Peraturan Menteri Keuangan No. 184/PMK.03/2007b.
SPT Tahunan
Tabel 3.4
Jangka Waktu Pembayaran SPT Tahunan
No
Jenis Pajak
Yang
menyampaikan
SPT
Batas Waktu Pembayaran
1
SPT PPh
Tahunan OP
yang melakukan
pekerjaan bebas
Wajib Pajak yang
mempunyai
NPWP
Tanggal 25 bulan ketiga
setelah tahun pajak atau
bagian tahun pajak sebelum
SPT disampaikan
2
SPT PPh
Tahunan Badan
Wajib Pajak yang
mempunyai
NPWP
Tanggal 25 bulan keempat
setelah tahun pajak atau
bagian tahun pajak sebelum
SPT disampaikan
(34)
Sumber : Peraturan Menteri Keuangan No. 184/PMK.03/2007
Jangka waktu pelunasan Surat Tagihan Pajak (STP), Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), dan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), serta Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, dan Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan
jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, paling lama 1
bulan sejak tanggal penerbitan.
2.1.3.
Syarat-Syarat Permohonan Pengurangan Angsuran Bulanan Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 25
Dalam permohonan angsuran PPh Pasal 25 yang diajukan oleh Wajib
Pajak dalam tahun berjalan harus memenuhi syarat-syarat yang telah
ditetapkan, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh).
Adapun syarat-syarat yang diajukan oleh Wajib Pajak tersebut adalah:
1)
Apabila sesudah 4 (empat) bulan atau lebih berjalannya satu tahun pajak,
Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa PPh yang terutang untuk tahun
pajak tersebut kurang dari 75% dari PPh yang terutang yang menjadi dasar
perhitungan besarnya PPh Pasal 25. Wajib pajak dapat mengajukan
permohonan pengurangan besarnya PPh Pasal 25 secara tertulis kepada
KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
(35)
2)
Dalam pengajuan permohonan pengurangan PPh Pasal 25 sebagaimana
dimaksud pada ayat (1). Wajib Pajak harus menyampaikan perhitungna
besarnya PPh yang akan terutang berdasarkan perkiraan penghasilan yang
akan diterima atau diperoleh dan besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan
yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan
3)
Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak diterimanya dengan
lengkap surat permohonan pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Kepala KPP tidak memberikan keputusan, maka permohonan
pengurangan tersebut dianggap diterima dan Wajib Pajak dapat melakukan
pembayaran PPh Pasal 25 sesuai dengan perhitungannya.
4)
Apabila dalam suatu tahun pajak Wajib Pajak mengalami peningkatan
usaha yang diperkirakan PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut
lebih dari 150% dari PPh yang terutang yang menjadi dasar perhitungan
besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa sampai dengan akhir
tahun pajak yang bersangkutan dihitung kembali berdasarkan PPh yang
diperkirakan terutang tersebut.
5)
Selama belum ada tanggapan dari KPP, maka Wajib Pajak harus tetap
membayar angsuran seperti bulan-bulan yang lalu. Jangka waktu
pemerosesan adalah 1 (satu) bulan sejak saat permohonan diterima secara
lengkap. Dalam hal 1 (satu) bulan tidak bisa dipenuhi oleh Direktorat
Jenderal Pajak, maka permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan sesuai
dengan perhitungan Wajib Pajak.
(36)
2.1.4.
Tata Cara Perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25
Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak (WP) setiap bulanya dilakukan dengan cara
menghitung selisih pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan (SPT)
Pajak Penghasilan (PPh) tahun pajak yang lalu dengan kredit pajak berupa
Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 dibagi dengan 12 atau banyaknya
bulan dalam bagian tahun pajak. Kredit pajak yang dimaksud adalah kredit
pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Nomor 6 tahun 1983 dan terakhir diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007, yaitu suatu jumlah yang
merupakan angsuran pajak baik yang telah dipungut/ dipotong maupun dibayar
berdasarkan ketentuan yang berlaku, yang dapat dikreditkan atau
diperhitungkan dengan pajak yang terutang untuk seluruh tahun pajak.
Dalam pelaksanaan PPh Pasal 25 mempunyai ketentuan sebagai berikut:
1)
Setelah mengetahui selisih pajak yang terutang pada tahun yang lalu, maka
kita dapat mengetahui besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri
setiap bulannya pada tahun sekarang yaitu sebesar selisih pajak dibagi
dengan 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
2)
Batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi adalah 3 (tiga)
bulan setelah tahun pajak berakhir. Karena dalam hal ini tidak sempat
menghitung besarnya angsuran pajak sekarang, maka ditetapkan angsuran
pajak bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT PPh adalah
(37)
lalu, tetapi tidak boleh lebih dari rata-rata angsuran bulanan tahun pajak
yan lalu.
3)
Angsuran bulanan yang menggunakan Surat Ketetapan Pajak (SKP)
dihitung menurut Surat ketetapan Pajak (SKP) terakhir.
4)
Dalam hal-hal tertentu Direktur Jenderal Pajak memberikan wewenang
untuk menyelesaikan perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (WP) dalam tahun berjalan, yang besar
angsuran bulanannya mendekati kewajaran.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari contoh berikut:
PPh yang terutang berdasarkan SPT PPh OP tahun 2008 Rp 50.000.000,-
Dikurangi:
-
PPh yang dipotong pemberi kerja (Pasal 21) Rp 15.000.000,-
-
PPh yang dipungut oleh pihak lain (Pasal 22) Rp 10.000.000,-
-
PPh yang dipotong oleh pihak lain (Pasal 23) Rp 2.500.000,-
-
Kredit PPh Luar Negeri (Pasal 24)
Jumlah Kredit Pajak
Rp 7.500.000,-
Rp
35.000.000,-Selisih
Rp
15.000.000,-Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan mulai bulan
Maret sampai dengan Desember tahun 2008 adalah sebesar:
Rp
12
(38)
2.1.5.
Surat Ketetapan Pajak (SKP) sebagai Dasar Perhitungan Angsuran Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 25
Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP)
untuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali
berdasarkan SKP tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah
penerbitan SKP.
SKP dapat dipakai sebagai dasar perhitungan angsuran PPh Pasal 25
dalam hal sebagai berikut:
1)
Apabila telah diterbitkan SKP untuk 2 (dua) tahun pajak sebelum Surat
Pemberitahuan (SPT) PPh tahun pajak yang lalu, yang menghasilkan
angsuran pajak yang lebih besar dari pada jumlah angsuran pajak bulan
lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembaliberdasarkan SKP
tahun pajak terakhir dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan
penerbitan SKP.
2)
Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan SKP untuk 2 (dua) tahun
pajak sebelumnya yang menghasilkan jumlah angsuran pajak yang lebih
besar dari jumlah angsuran pajak bulan lalu, maka besarnya angsuran
pajak dihitung kembali berdasarkan SKP tahun pajak terakhir dan berjalan
mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan SKP.
2.2.
Surat Tagihan Pajak (STP)
(39)
Dasar hukum yang melandasi dikeluarkannya STP adalah
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang-Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1994, dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 14 dan terakhir di ubah dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (KUP).
Surat Tagihan Pajak (STP) mempunyai kekuatan hukum yang sama
dengan Surat Ketetapan Pajak (SKP) sehingga dalam hal penagihannya dapat
juga dilakukan dengan Surat Paksa.
Uraian yang mengacu pada Surat Tagihan Pajak (STP) dalam Pasal 14
Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (KUP), selanjutnya aturan pelaksaannya terdapat dalam:
1)
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
189/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007 tentang Tata Cara
Penerbitan Surat Tagihan Pajak.
2)
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
187/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007 tentang Jangka Waktu
Pelunasan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan Putusan
Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah.
(40)
3)
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 24/PMK.03/2008
tanggal 6 Februari tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan dengan Surat
Paksa dan Pelaksanaan Penagihan seketika Sekaligus.
2.2.2.
Definisi Surat Tagihan Pajak (STP)
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 angka 19, disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan Surat Tagihan Pajak (STP) adalah Surat untuk
melakukan tagihan pajak dan/ atau sanksi administrasi berupa bunga dan/ atau
denda.
2.2.3.
Faktor Penyebab diterbitkan Surat Tagihan Pajak (STP)
Dalam hukum diterbitkannya Surat Tagihan Pajak (STP) tercantum di
dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (KUP) yang menyatakan Direktur Jenderal Pajak dapat
menerbitkan Surat tagihan Pajak (STP), apabila:
1)
Pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar
2)
Dari hasil penelitian Surat pemberitahuan (SPT) terdapat kekurangan
pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung.
(41)
4)
Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP),
tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat
waktu.
5)
Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)
tidak mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2000, kecuali faktur pajak tersebut telah mencantumkan:
a.
Identitas pembeli
b.
Identitas pembeli serta nama dan tanda tangan dalam hal penyerahan
dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) pedagang eceran.
6)
Pengusaha Kena Pajak (PKP) melaporkan faktur pajak tida sesuai dengan
masa penerbitan faktur pajak.
2.2.4.
Fungsi Surat Tagihan Pajak (STP)
Surat Tagihan Pajak (STP) berfungsi, antara lain:
1)
Sebagai alat untuk mengoreksi atas besarnya jumlah pajak terutang Surat
Pemberitahuan (SPT) wajib pajak.
Maksud dari fungsi Surat Tagihan Pajak (STP) sebagai alat untuk
mengoreksi atas besarnya jumlah pajak yang terutang Surat
Pemberitahuan (SPT) wajib pajak adalah jika pajak dalam tahun berjalan
(42)
yang tidak atau kurang bayar disetor atau pun kekurangan pembayaran
penyetoran pajak akibat salah tulis dan/ atau salah hitung dalam Surat
pemberitahuan (SPT).
2)
Sebagai sarana untuk mengenakan sanksi administrasi berua bunga dan/
atau denda.
Maksud dari fungsi Surat Tagihan Pajak (STP) sebagai sarana
untuk mengenakan sanksi administrasi berupa bunga atau denda adalah:
a.
Sanksi administrasi berupa denda atas keterlambatan menyampaiakn
Surat Pemberitahuan (SPT), yaitu:
-
SPT Tahunan PPh orang pribadi Rp 100.000,-
-
SPT Tahunan PPh Badan Rp 1.000.000,-
-
SPT Masa PPN Rp 500.000,-
-
SPT Masa Lainnya Rp 100.000,-
b.
Sanksi administrasi berupa bunga dalam hal wajib pajak membetulkan
sendiri Surat Pemberitahuan (SPT) nya.
c.
Sanksi administrasi berupa bunga apabila wajib pajak terlambat/ tidak
membayar pajak yang sudah jatuh tempo pembayarannya.
3)
Alat untuk menagih.
(43)
1)
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dala Surat Tagihan Pajak (STP)
ditambah dengan sanksi administrsi berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan (Maksimum
48%), dihitung sejak saat terutangnya pajak atau bagian tahun pajak atau
tahun pajak sampai diterbitkannya Surat Tagihan Pajak (STP).
2)
Terhadap Pengusaha Kena Pajak (PKP) dikenakan sanksi administrasi
berupa dena sebesar 2% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP).
3)
Terhadap Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak (PKP) tetapi membuat faktur pajak, tidak dikenai sansi administrasi
tetapi dikenai sanksi pidana perpajakan.
4)
Terhadap Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang gagal berproduksi dan telah
diberikan pengembalian Pajak Masukan (PM) diwajibkan membayar
kembali Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ditambah sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% per bulan sejak SKPKPP sampai dengan STP.
2.2.6.
Perhitungan Sanksi Administrasi atas Surat Tagihan Pajak (STP)
Dalam Pasal 14 ayat 3 mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa
bunga atas Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan karena:
1)
Penelitian Surat Pemberitahuan (SPT) yang menghasilkan pajak kurang
dibayar karena terdapat salah tulis dan/ atau salah hitung
2)
Pajak Penghasilan (PPh) dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar.
Untuk jelasnya cara perhitungannya diberikan contoh sebagai berikut:
(44)
1)
Hasil penelitian Surat Pemberitahuan (SPT).
SPT Tahunan PPh PPh tahun 2008 yang disampaikan tanggal 31 Maret
2009 setelah dilakukan penelitian ternyata terdapat salah hitung yang
menyebabkan PPh kurang bayar sebesar Rp 2.000.000,-. Atas kekurangan
PPh tersebut diterbitkan STP tanggal 14 Juni 2009 dengan perhitungan
sebagai berikut:
-
Kekurangan bayar Pajak penghasilan
Rp 2.000.000,-
-
Bunga = 3 x 2% x Rp 2.000.000,-
-
Jumlah yang harus dibayar
Rp 2.120.000,-
Rp 120.000,-
2)
Pajak Penghasilan (PPh) dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar.
PPh Pasal 25 tahun 2008 setiap bulan sebesar Rp 200.000.000,- jatuh
tempo misalnya setiap tanggal 15. Pada bulan Juni 2008, dibayar tepat
waktu seesar Rp 80.000.000,-. Atas kekurangan Pajak penghasilan (PPh)
Pasal 25 tersebut diterbitkan STP tanggal 18 September 2008 dengan
perhitungan sebagai berikut:
-
Kekurangan bayar Pajak Penghasilan
Rp 120.000.000,-
-
Bunga = 3 x 2% x Rp 120.000.000,-
-
Jumlah yang harus dibayar
Rp 127.200.000,-
Rp 7.200.000,-
3)
Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang
tidak atau kurang bayar pada saat jatuh tempo pembayaran.
(45)
Surat Ketetapan Pajka Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Penghasilan (PPh)
tahun 2008 diterbitkan tanggal 18 September 2008 (misalnya jatuh tempo
tanggal 17 Oktober 2008). Wajib pajak membayar tanggal 30 Oktober
2008 sebesar Rp 200.000.000,-. STP diterbitkan dengan perhitungan
sebagai berikut:
-
Pajak yang terlambat dibayar
Rp 200.000.000,-
-
Bunga = 1 x 2% x Rp 200.000.000,-
-
Jumlah yang harus dibayar
Rp 204.000.000,-
Rp 4.000.000,-
2.3.
Kasus
1)
Tuan Muliadi adalah seorang pengusaha di bidang servis & pemeliharaan
kenderaan bermotor telah beristri dan mempunyai 3 (tiga) orang anak. Dalam
tahun 2008 dari penjumlahan seluruh penghasilannya berjumlah Rp
600.000.000,-. Penghasilan istrinya dari usaha tataboga Rp 75.000.000.
Berapa besar pajak yang terutang dalam SPT PPh tahun pajak 2008 dan
berapa besarnya angsuran PPh menurut Pasal 25 untuk tahun 2009?
Penyelesaian:
Penghasilan
-
Penghasilan Suami
Rp 600.000.000,-
-
Penghasilan Istri
Jumlah Penghasilan
Rp 675.000.000,-
Rp 75.000.000,-
(46)
-
WP
Rp 13.200.000,-
-
WP Menikah
Rp 1.200.000,-
-
Istri Bekerja
Rp 13.200.000,-
-
Tanggungan 3
Jumlah PTKP
Rp 3.600.000,-
Penghasilan Kena Pajak
Rp 643.800.000,-
(Rp 31.200.000,-)
Besarnya PPh yang Terutang
5% x Rp 25.000.000,- = Rp 1.250.000,-
10% x Rp 25.000.000,- = Rp 2.500.000,-
15% x Rp 50.000.000,- = Rp 7.500.000,-
25% x Rp 100.000.000,- = Rp 25.000.000,-
35% x Rp 443.800.000,- =
Jumlah
Rp 191.580.000,-
Rp155.330.000,-
Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 tahun 2009
1/12 x Rp 191.580.000,- = Rp 15.965.000
2)
Tn. Arisanto adalah seorang pemilik toko roti di daerah Binjai. Pada tahun
2009 tokonya tersebut memberikan penghasilan bruto sebesar Rp
800.000.000,-. Sebagai variasi, sejak bulan Mei 2009 Tn. Arisanto juga
bekerja sebagai manajer di PT.BAHARI dengan penghasilan perbulan sebagai
berikut:
(47)
-
Tunjangan Kesehatan
=
Rp 2.000.000,-
-
Makan Siang
=
Rp 1.000.000,-
-
Premi Asuransi Dibayar Perusahaan =
Rp 500.000,-
-
Iuran THT Dibayar Perusahaan
=
Rp 250.000,-
-
Iuran Pensiun Dibayar Sendiri
=
Rp 400.000,-
Untuk menambah penghasilan suaminya, Ny. Arisanto membuka sebuah salon
di daerah Pangkalan Brandan. Peredaran usaha selama tahun 2009 mencapai
Rp 600.000.000,-. Tn. Arisanto memiliki 2 (dua) orang anak lelaki yang masih
kuliah.
Keterangan tambahan:
-
NPPN (Perdagangan) 10 Ibu Kota Provinsi Besar
=
20%
-
NPPN (Jasa) 10 Ibu Kota Provinsi Besar
=
40%
-
NPPN (Perdagangan) Ibu Kota Provinsi Lainnya
=
15%
-
NPPN (Jasa) Ibu Kota Provinsi Lainnya
=
35%
-
NPPN (Perdagangan) Daerah Lainnya
=
10%
-
NPPN (Jasa) Daerah Lainnya
=
30%
-
Atas penghasilan dari perusahaan telah dipotong PPh Pasal 21 oleh
perusahaan
(48)
-
Selama tahun 2009 telah membayar PPh Pasal 25 sebesar Rp 8.000.000,-
-
Pada tahun 2009 Tn. Arisanto pergi ke Thailand menggunakan pesawat
terbang, tetapi bebas fiskal karena memiliki NPWP.
Berapa besar pajak yang terutang dalam SPT PPh tahun pajak 2009 dan
berapa besarnya angsuran PPh menurut Pasal 25 untuk tahun 2010?
Penyelesaian:
Penghasilan dari pekerjaan Tn. Arisanto di PT. Bahari
Penghasilan Bruto
-
Gaji (8 x Rp 6.000.000,-)
Rp 48.000.000,-
-
Tunj. Kesehatan (8 x Rp 2.000.000,-)
Rp 16.000.000,-
-
Premi Asuransi (8 x Rp 500.000,-)
Rp 68.000.000,-
Rp 4.000.000,-
Pengurangan
-
Biaya jabatan
5% x Rp 68.000.000,-
Rp 3.400.000,-
Maks (8 x Rp 500.000,-=Rp 4.000.000,-)
-
Iuran Pensiun dibayar sendiri
(8 x Rp 400.000,-)
Rp 3.200.000,-
Penghasilan neto
Rp 61.400.000,-
(Rp 6.600.000,-)
PTKP
-
Wp
Rp 15.840.000,-
-
Kawin
Rp 1.320.000,-
-
Tanggungan
Rp 2.640.000,-
(49)
PKP
Rp 41.600.000,-
PPh terutang
5% x Rp 41.600.000,- = Rp 2.080.000,-
Penghasilan dari Usaha
-
Usaha toko roti Tn. Arisanti di Binjai
10% x Rp 800.000.000,-
Rp 80.000.000,-
-
Usaha salon Ny. Arisanti di P. Brandan
30% x Rp 600.000.000,-
Jumlah penghasilan dari usaha
Rp 260.000.000,-
Rp 180.000.000,-
Perhitungan PPh Pasal 21
Penghasilan neto
-
Penghasilan dari pekerjaan
Rp 61.400.000,-
-
Penghasilan dari usaha
Jumlah penghasilan neto
Rp 321.400.000,-
Rp 260.000.000,-
Biaya-biaya yang boleh dikurangkan
-
Zakat
Penghasilan neto setelah dikurangi biaya
Rp 315.400.000,-
(Rp 6.000.000,-)
PTKP
-
Wp
Rp 15.840.000,-
-
Istri
Rp 15.840.000,-
-
Kawin
Rp 1.320.000,-
-
Tangggungan 2
Rp 2.640.000,-
Rp 279.760.000,-
(Rp 35.640.000,-)
PPh terutang
5% x Rp 50.000.000,- = Rp 2.500.000,-
15% x Rp 200.000.000,- = Rp 30.000.000,-
(50)
25% x Rp 29.760.000,- =
Rp 39.940.000,-
Rp 7.440.000,-
Kredit Pot/ Put
-
PPh Pasal 21 atas pekerjaan
PPh yang masih harus dibayar sendiri
Rp 37.860.000,-
(Rp 2.080.000,-)
Kredit PPh yang dibayar sendiri
-
PPh Pasal 25
PPh yang masih harus dibayar (Kurang Bayar)
Rp 29.860.000,-
(Rp 8.000.000,-)
PPh Pasal 25 Angsuran
Angsuran per bulan = Rp 37.860.000,-
12
(51)
BAB IV
ANALISA DAN LAPORAN
4.1.
Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak terhadap SPT Masa PPh Pasal 25 dan
Penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP) pada KPP Pratama Binjai
Dalam laporan ini yang akan menjadi pembahasan terhadap pengawasan Wajib
Pajak adalah data yang berasal dari Intern Kantor Pelayanan Pajak Pratama Binjai.
Berikut ini Penulis menyajikan laporan penyampaianSPT Masa PPh Pasal 25 Orang
Pribadi Tahun 2009 pada KPP Pratama Binjai.
Tabel 5
Laporan Penyampaian SPT Masa PPh Pasal 25 Orang Pribadi dan Penerbitan STP
PPh Pasal 25 Orang Pribadi tahun 2009 di KPP Pratama Binjai
Bulan
WP
terdaftar
WP yang
menyampaikan
SPT Masa
WP yang
terlambat
STP yang
diterbitkan
Januari
1.146
596
93
3
Februari
1.787
1.116
33
18
Maret
1.311
903
99
5
April
1.410
1.098
112
8
Mei
1.315
974
82
5
Juni
2.434
1.806
440
34
Juli
1.169
790
239
7
Agustus
1.189
656
209
5
September
1.021
537
456
3
Oktober
1.117
625
176
7
November
1.290
716
90
12
Desember
1.112
584
203
6
Jumlah 16.301 10.401 2.232 113
Sumber KPP Pratama Binjai
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa Wajib Pajak yang terdaftar tahun 2009
dengan rata-rata setiap bulannya sekitar 1.275 orang tetapi yang menyampaikan SPT
Masa PPh Pasal 25 Orang pribadi rata-rata setiap bulannya hanya sekitar 866 orang saja.
Itu berarti ada 63.8% Wajib Pajak terdaftar yang sadar akan kewajiban perpajakannya.
(52)
Dengan kata lain, tidak semua Wajib Pajak yang terdaftar melaksanakan kewajibannya
dalam menyampaikan SPT. Hal ini disebabkan karena sebagian Wajib Pajak yang
terdaftar ada yang tidak mempunyai kewajiban dalam PPh Pasal 25, baik membayar
angsuran pajaknya berupa PPh Pasal 25 ataupun untuk melaporkan SPT Masa PPh Pasal
25. Ada pula Wajib Pajak yang memiliki kewajiban tetapi tidak menjalankannya. Hal ini
dapat terjadi karena Sebagian Wajib Pajak yang terdaftar hanya ingin mendapatkan
kemudahan-kemudahan dalam kepentingan pribadinya dengan memperoleh NPWP
(Nomor Pokok Wajib Pajak) tanpa menjalankan kewajibannya sebagai Wajib Pajak.
Kemudahan tersebut misalnya bebas fiskal bagi Wajib Pajak yang ingin berpergian ke
luar negeri, untuk meminjam uang ke Bank, kredit mobil, dan untuk mendapatkan
pelayanan dari instansi terkait lainnya.
Dari keterangan di atas dapat dikatakan bahwa tingkat kepatuhan Wajib Pajak
dalam menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 pada Kantor Pelayanan Pajak Binjai masih
tergolong rendah, ini dapat dilihat dari sedikitnya Wajib Pajak yang menjalankan
kewajibanya dalam menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25.
Telah kita ketahui pada bab sebelumnya bahwa prosedur administrasi dalam
penyampaian SPT adalah tidak sulit. DJP telah banyak menerapkan
kemudahan-kemudahan dalam prosedur administrasinya. Tetapi masih banyak masyarakat yang tidak
patuh akan kewajinannya tersebut. Ketidakpatuhan Wajib Pajak dalam menyampaikan
SPT Masa PPh Pasal 25 Orang pribadi baik yang terlambat atau tidak menyampaikan
SPT Masa PPh Pasal 25 dapat disebabkan karena:
1)
Kondisi perekonomian yang semakin rendah.
(53)
3)
Wajib Pajak yang bersangkutan meninggal dunia.
4)
Wajib pajak yang bersangkutan pindah alamat dan tidak memberitahukan kepada
petugas Kantor Pelayanan Pajak.
5)
Wajib Pajak menunda-nunda dalam menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25.
6)
Kesibukan Wajib Pajak yang mengakibatkan Wajib Pajak lupa atau terlambat
menjalankan kewajiban perpajakannya.
7)
Kurangnya kesadaran Wajib Pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakannya.
8)
Pengetahuan Wajib Pajak pada umumnya mengenai Undang-Undang perpajakan
sangatlah terbatas pada hal-hal yang penting seperti mengenai tarif pajak, tanggal
jatuh tempo pembayaran/ penyampaian pajak, dan sanksi administrasi yang
dikenakan atas keterlambatan dalam menjalankan kewajiban perpajakannya.
9)
Penyuluhan kepada Wajib Pajak yang kurang memadai.
10)
Petugas pajak yang kurang tegas terhadap Wajib Pajak yang tidak/ terlambat dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya.
Dari data yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa jumlah STP PPh Pasal 25
Orang Pribadi yang diterbitkan pada tahun 2009 setiap bulannya secara rata-rata hanya
sekitar 10 STP (113 STP setahun) sedangkan Wajib Pajak yang tidak/ terlambat
menjalankan kewajiban perpajakannya sangat banyak. Dengan kata lain dapat
disimpulkan bahwa tidak semua Wajib Pajak yang tidak/ terlambat menjalankan
kewajibannya akan diterbitkan STP PPh Pasal 25 Orang Pribadi. Hal ini disebabkan
karena:
1)
Besarnya jumlah biaya yang dikeluakan untuk menyampaikan STP tidak sebanding
dengan jumlah utang Wajib Pajak.
(1)
Penerbitan STP PPh Pasal 25 Orang Pribadi
yang dilakukan Fiskus tidak lepas
dari permasalahan yang timbul, baik yang bersumber dari Fiskus maupun dari Wajib
Pajak itu sendiri, dan jika tidak dicarikan solusinya akan mempengaruhi penerimaan
pajak. Dan solusi ini jangan sampai merugikan Negara dan tidak pula memberatkan
Wajib Pajak. Beberapa uraian di bawah ini mengetengahkan solusi masalah penerbitan
Surat Tagihan Pajak dari sudut pandang Fiskus dan Wajib Pajak, antara lain:
1)
Kerjasama antara Fiskus dengan Pemerintah Daerah setempat untuk mengetahui
secara tepat keberadaan Wajib Pajak dan potensi pajak orang pribadi dalam rangka
ekstensifikasi dan peningkatan kepatuhan Wajib Pajak.
2)
Penanaman disiplin kepada Wajib Pajak agar secepatnya membayar utang pajak yang
tercantum dalam STP tersebut.
3)
Wajib Pajak yang setelah diterbitkannya STP tidak segera melunasi, walaupun sudah
ditagih dengan Surat Teguran atau Surat Paksa diusulkan untuk di non-efektifkan
dengan melihat kondisi ekonomisnya.
4)
Penyuluhan perpajakan dan penegakan hukum yang sepenuhnya kepada Wajib Pajak,
agar semakin loyal dan sadar kewajibannya seperti dimaksud dalam sistem
self
assessment.
Sedangkan upaya yang dapat dilakukan Fiskus dalam meningkatkan kepatuhan
Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya yaitu:
1)
Memberikan informasi tentang pajak
Sebaiknya informasi yang diberikan kepada masyarakat, tidaklah sekedar agar
masyarakat mempunyai kesadaran yang tinggi dalam melaksanakan kewajibannya
sebagai Wajib Pajak tetapi juga mengenai hak mereka kepada Wajib Pajak dan apa
(2)
manfaat mereka membayar pajak. Pemberian informasi tentang pajak tidaklah cukup
dengan hanya diberikan pada Kantor Pelayanan Pajak saja, tetapi juga disampaikan
melalui media-media yang mudah didapatkan oleh masyarakat baik itu media massa
maupun media elektronik. Adapun media tersebut antara lain:
a.
Televisi
Peranan televisi sangat penting dalam menginformasikan hal-hal yang
berhubungan dengan masalah perpajakan. Karena seperti yang ketahui televise
merupakan media informasi yang sangat umum digunakan oleh masyarakat pada
umumnya.
b.
Radio
Sebagai media elektronik yang menyebarkan informasi mengenai perpajakan
dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat di berbagai pelosok tanah air dan
berbagai jenis dan lapisan masyarakat juga sangat mendukung.
c.
Surat Kabar
Informasi yang diperoleh melalui surat kabar adalah mengenai pemberitahuan
tentang Surat Keputusan ataupun Surat Edaran yang diterbitkan oleh Direktorat
Jenderal Pajak.
d.
Internet
Telah kita ketahui sangat mudah mengakses informasi terbaru mengenai
perpajakan di Indonesia dengan websit
(3)
2)
Memberikan jasa pelayanan dengan baik kepada Wajib Pajak
Pelayanan yang baik kepada masyarakat dapat meningkatkan kesadaran Wajib Pajak
dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Direktorat Jenderal Pajak memberikan
jasa pelayanan pajak yang antara lain:
a.
Memberikan penyuluhan pajak dan restitusi pajak
b.
Permohonan perubahan alamat Wajib Pajak
c.
Permohonan NPWP dan NPPKP
d.
Melayani loket penerimaan SPT, baik SPT Masa dan SPT Tahunan
3)
Penyuluhan perpajakan dan penegakan hukum yang sepenuhnya kepada Wajib Pajak
agar semakin loyal dan sadar akan kewajinan perpajakannya
Penyuluhan seputar perpajakan harus sering dilakukan Direktorat Jenderal pajak,
Misalnya saja dengan menyelenggarakan seminar-seminar dalam memperkenalkan
sistem perpajakan yang terbaru dan lebih mudah dipahami tentunya kepada
masyarakat umum, seminar-seminar pada mahasiswa di dunia kampus, maupun
workshop aplikasi pengisian SPT bagi bendaharawan.
Penyuluhan juga dapat dilakukan dengan membagikan atau menyediakan di Kantor
Pelayanan Pajak yaitu modul-modul mengenai jenis pajak tertentu,
selebaran-selebaran pajak ataupun dapat juga berupa spanduk pada jalan raya untuk
memberitahu informasi tentang pajak.
Tingkat kepatuhan Wajib Pajak tidak merata harus segera diatasi dengan penyuluhan
dan penegakan hukum (Low Enforcement). Hal ini akan mendidik Wajib Pajak untuk
memenuhi kewajiban perpajaknnya. Kedua hal di atas merupakan jalan terbaik untuk
meningkatkan kepatuhan dan penerimaan Negara dari sektor pajak.
(4)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian pada bab-bab sebelumnya adalah:
1.
Satu faktor yang paling dominan sebagai penyebab pelanggaran kewajiban
pelaporan diri Wajib Pajak adalah rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak.
Pelanggaran kewajiban tersebut pada dasarnya merugikan Wajib Pajak itu sendiri.
Akibatnya petugas pajak sulit mengadministrasikan kewajiban perpajakannya
dengan baik dan tertib, walaupun demikian keadaan ini tidak boleh dibiarkan
berlarut-larut sebab Negara akan menderita kerugian dari penerimaan pajak
tersebut.
2.
Akibat dari Wajib Pajak tidak melaporkan pemindahan Nomor Pokok Wajib
Pajak nya dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang lama ke Kantor Pelayanan
Pajak Pratama yang baru adalah timbulnya 2 NPWP yang pada dasarnya akan
merugikan Wajib Pajak itu sendiri. Hal ini dikarenakan akan sulitnya aparat pajak
dalam mengadministrasikan pajaknya.
3.
Tanpa adanya pengawasan efektif terhadap kewajiban pelaporan sulit diharapkan
untuk mencapai hasil-hasil yang memuaskan, karena tingkat kesadaran Wajib
Pajak yang masih rendah.
5.2
Saran
1.
Untuk meningkatkan mutu pelayanan dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama, maka
diharapkan kualitas SDM terutama fiskus harus memadai, sehingga mampu
(5)
menterjemahkan atau paling tidak memberi penjelasan yang memadai terhadap
Undang-Undang dan penerapannya dalam bentuk teknis kepada Wajib Pajak yang
membutuhkan penjelasan, bimbingan, penyuluhan, dan berkaitan dengan
kewajiban perpajakan.
2.
Perlunya pengawasan yang efektif untuk menjamin keberhasilan pelaporan diri
bagi Wajib Pajak, dan diarahkan untuk mendeteksi kemungkinan adanya
pelanggaran lainnya dari kewajiban pelaporan diri bagi Wajib Pajak pindah
NPWP. Namun tidak mempersulit Wajib Pajak dalam melaksanakan
kewajibannya.
3.
Penyuluhan pajak yang dikombinasikan dengan penerapan sanksi juga perlu
mendapat perhatian khusus. Melalui kombinasi ini kita menanamkan suatu kesan
bahwa pada dasarnya kewajiban pelaporan diri ini adalah untuk kepentingan dan
kebaikan Wajib Pajak itu sendiri. Dan diharapkan Wajib Pajak termotivasi agar
mau melaksanakan kewajiban perpajakannya sebaik mungkin.
(6)