melihat anaknya rewel atau menangis, sehingga subyek tidak melanjutkan menghentikan kegiatan tersebut. Subyek sesekali akan mengulangi
mengajari anaknya tentang baca dan tulis dan setiap kali anaknya menolak, maka kegiatan tersebut berhenti. Subyek tidak menerapkan aturan untuk
pendidikan anaknya di rumah. Subyek tidak ingin melihat anaknya menjadi frustasi karena proses belajar yang diterapkan subyek, semua keinginan
anaknya akan dituruti. Perlakuan seperti ini tentu saja membawa dampak buruk terhadap perkambangan anak autis tersebut. Salah satu dampak yang
ditimbulkan dari perlakuan subyek tersebut adalah membuat emosi anak menjadi tidak stabil, karena subyek selalu menghindarkan anak dari frustasi
sekecil apapun. Anak subyek menjadi mudah tersinggung atau marah ketika keinginannya tidak terpenuhi.
6.5 Dinamika Kasus
Dinamika kasus dalam penelitian ini dapat dilihat dalam bagan sebagai berikut:
Dinamika kasus dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa ketidakpedulian subyek terhadap pendidikan remaja autis dapat dilihat dari
perilaku subyek yang tidak menyekolahkan anaknya yang autis di sekolah khusus autis, tidak memberikan terapi secara kontinyu, kurangnya interaksi intensif
dengan remaja autis, kurang menanamkan kemandirian, serta kurang kerjasama antar anggota keluarga dalam memberi dukungan terhadap perkembangan remaja
autis. Berdasarkan hasil penelitian, perilaku ketidakpedulian tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa hal, antara lain subyek lebih memprioritaskan
pendidikan untuk anaknya yang normal, fasilitas yang tidak tersedia, serta kondisi anak autis yang tidak mau diajari. Sedangkan akibat yang ditimbulkan dari
ketidakpedulian tersebut adalah terhambatnya kemandirian remaja autis. Adapun alasan subyek tidak menyekolahkan anaknya yang autis di sekolah khusus untuk
anak autis adalah karena adanya kekhawatiran subyek terhadap pelayanan pada anak autis.
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari wawancara, observasi, dan tes psikologi di lapangan, diperoleh beberapa kesimpulan
sebagai berikut: 1
Latarbelakang ketidakpedulian subyek terhadap pendidikan antara lain, prioritas subyek terhadap remaja autis kurang, fasilitas yang tidak tersedia
serta kondisi remaja autis yang tidak mau diajari. Subyek lebih memprioritaskan pendidikan untuk anak subyek yang normal, sementara itu,
di kota tempat tinggal subyek tidak terdapat fasilitas yang memadai untuk pendidikan anak autis. Hal ini justru semakin membuat subyek tidak
mempedulikan pendidikan untuk anaknya. Kondisi remaja autis itu sendiri ketika diberi terapi atau latihan selalu enggan mengikutinya sehingga
membuat subyek merasa tidak harus memberikan pendidikan kepada anaknya yang autis.
2 Akibat ketidakpedulian subyek terhadap pendidikan remaja autis tersebut
adalah terhambatnya kemandirian remaja autis. Remaja autis tersebut tidak memperoleh pendidikan ataupun terapi disebabkan karena kurangnya
perhatian atau ketidakpedulian orang tua terhadap pendidikan anaknya. Subyek sendiri selaku orang tua, tidak memberikan terapi dengan alasan anak
autis tersebut tidak mau menerima atau susah untuk diterapi. Subyek mengetahui bahwa anaknya membutuhkan terapi, namun subyek membiarkan
anaknya dan menuruti semua kemauan anak autis tersebut. Meskipun kemauan anaknya tersebut berdampak buruk terhadap anaknya, namun
subyek tetap menurutinya. Hal ini menjadikan subyek selalu membantu anaknya dalam menyelesaikan tugasnya sehingga anak tersebut tidak dapat
mandiri. 3
Sikap subyek dan anggota keluarga lainnya terhadap remaja autis tersebut cukup baik dan memperlakukannya dengan baik selayaknya saudara.
Meskipun pada awalnya subyek merasa stres dan bingung saat mengetahui anaknya menderita autis. Ketika subyek merasa ada yang tidak beres dengan
anaknya subyek membawa anaknya ke dokter spesialis anak dan psikolog saat itu anak tersebut masih berusia sekitar 1-3 tahun. Setelah mengikuti beberapa
pengobatan melalui ahli medis seperti dokter dan psikolog, belum nampak perkembangan pada anaknya. Hal ini menyebabkan subyek menghentikan
pengobatan untuk anaknya. Melihat kondisi keuangan serta kondisi anak yang mengalami gangguan ini menjadikan subyek merasa bahwa beban yang
ditanggungnya terasa sangat berat. Karena salin biaya pengobatan serta terapi yang mahal, subyek juga harus membiayai pendidikan kedua anak lainya.
Beban dan tanggung jawab subyek yang berat ini menjadikan subyek bersikap apatis. Subyek justru tidak mempedulikan pendidikan anaknya karena subyek
merasa tidak berdaya untuk memperlakukan anaknya yang mengalami autis. Namun seiring berjalannya waktu, subyek serta seluruh anggota keluarga
dapat menerima kehadiran remaja autis tersebut tanpa membeda-bedakan. Hal tersebut terlihat komunikasi yang terjalin dengan remaja autis. Meskipun