Pola asuh pada keluarga yang memiliki anggota keluarga yang autis.

(1)

ABSTRAK

Adrianus Dian Widyatmoko (2007). Pola Asuh Pada Keluarga Yang Memiliki Anggota Keluarga yang Autis. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara orang tua mengasuh dan menangani anak autis, serta mengetahui pola asuh yang ideal untuk anak autis dengan melihat berbagai pola asuh yang diterapkan oleh orang tua di dalam keluarga yang memiliki anggota anak autis. Latar belakang permasalahan yang terjadi adalah orang tua yang memiliki anak autis masih kesulitan untuk mengasuh dan menangani anak autis.

Responden penelitian ini adalah para ibu yang memiliki beberapa orang anak dan salah satunya autis. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah empat orang ibu. Metode yang digunakan untuk mengambil data adalah metode fenomenologi. Metode penelitian fenomenologi adalah suatu penelitian yang menggambarkan makna dari pengalaman dalam suatu fenomena (atau topik atau konsep) pada beberapa individu. Pengumpulan data menggunakan observasi langsung, wawancara dan wawancara pendukung. Teknik verifikasi menggunakan intersubjective validity, serta menggunakan sumber data majemuk (wawancara dengan orang dekat dan observasi langsung).

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sebagian besar orang tua memberlakukan pola asuh autoritatif dalam menangani anak autis. Namun, sebagian lainnya juga menerapkan pola autoritarian untuk menangani anak autis. Masing-masing subjek menerapkan cara yang berbeda untuk menangani anak-anak autis sesuai dengan kondisi keluarga, lingkungan dan yang paling utama karakteristik anak autis itu sendiri. Faktor utama yang mendukung keberhasilan penanganan anak autis adalah dalam diri subjek harus tumbuh sikap sabar dan pantang menyerah, mengerti kebutuhan anak autis, serta penuh perhatian dan kasih sayang. Selain itu, perlu juga harus dimunculkan sikap penerimaan akan keberadaan dan kondisi anak autis serta tidak menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan anak autis pada orang lain. Sikap total dalam menangani juga menjadi faktor pendukung keberhasilan perkembangan anak autis.


(2)

ABSTRACT

Adrianus Dian Widyatmoko (2007). Parenting Method in the Family with Autistic. Yogyakarta: Faculty of Psychology Sanata Dharma University.

The aims of this qualitative study were to know how parents take care and treat an autistic child and what the ideal parenting method for an autistic is by observing various parenting models implemented by parents in the family with an autistic child. The problem of this study was that parents found it is difficult to take care of children with autism.

The subjects of this research were four mothers whose one of their children is an autistic. The method used in taking the data was phenomenology method. It is a research method which describes the meaning of an experience in a phenomenon (or a topic or a concept) upon any individual. The data were collected by using observation, interview and supporting interview. The verification techniques used were intersubjective validity and complex data sources (such as interviewing and observing the people around the autistic).

The findings showed that some of the parents implemented authoritative parenting method whilst the others implemented authoritarian parenting method in taking care and treating the autistic. Each subject implemented a different way. It depended on the condition of the family and the environment, but above all it depended on the condition of the autistic himself. The main factor which supported the success of treating an autistic is that the subject should never give up, understood the needs of the autistic and had to be very patient and full of caring and loving. Besides, it was necessary to develop the attitude of accepting the existence and the condition of the autistic and not to pass over the responsibility to take care and educate the autistic to the caretaker. The attitude in treating the autistic totally was also a supporting factor to the success on the development of the autistic.


(3)

POLA ASUH PADA KELUARGA YANG

MEMILIKI ANGGOTA KELUARGA YANG

AUTIS

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Adrianus Dian Widyatmoko NIM : 019114061

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

SKRIPSI

POLA ASUH PADA KELUARGA YANG MEMILIKI ANGGOTA KELUARGA YANG AUTIS

Telah disetujui oleh :


(5)

(6)

HALAMAN MOTTO

S ,

S , y

:I A

y


(7)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi dengan Judul

POLA ASUH PADA KELUARGA YANG MEMILIKI ANGGOTA KELUARGA YANG AUTIS

Saya persembahkan kepada

:

 

 

MY

 

LORD

 

JESUS

 

CHRIST

 

BAPAKKU

 

B.Z

 

ABIDIN

 

IBUKU

 

YOHANA

 

RATNA

 

SUSANTI

 

ADIK

ADIKKU

 

HANY

YOSI

AYOE

 

 

dan

 

para

 

orang

 

tua

 

yang

 

memiliki

 

anak

 

autis

 

serta

 

semua

 

yang

 

terlibat

 

dalam

 

penelitian

 

ini

  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


(8)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang saya tuliskan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 18 Desember 2007 Penulis,

Adrianus Dian Widyatmoko

             


(9)

ABSTRAK

Adrianus Dian Widyatmoko (2007). Pola Asuh Pada Keluarga Yang Memiliki Anggota Keluarga yang Autis. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara orang tua mengasuh dan menangani anak autis, serta mengetahui pola asuh yang ideal untuk anak autis dengan melihat berbagai pola asuh yang diterapkan oleh orang tua di dalam keluarga yang memiliki anggota anak autis. Latar belakang permasalahan yang terjadi adalah orang tua yang memiliki anak autis masih kesulitan untuk mengasuh dan menangani anak autis.

Responden penelitian ini adalah para ibu yang memiliki beberapa orang anak dan salah satunya autis. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah empat orang ibu. Metode yang digunakan untuk mengambil data adalah metode fenomenologi. Metode penelitian fenomenologi adalah suatu penelitian yang menggambarkan makna dari pengalaman dalam suatu fenomena (atau topik atau konsep) pada beberapa individu. Pengumpulan data menggunakan observasi langsung, wawancara dan wawancara pendukung. Teknik verifikasi menggunakan intersubjective validity, serta menggunakan sumber data majemuk (wawancara dengan orang dekat dan observasi langsung).

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sebagian besar orang tua memberlakukan pola asuh autoritatif dalam menangani anak autis. Namun, sebagian lainnya juga menerapkan pola autoritarian untuk menangani anak autis. Masing-masing subjek menerapkan cara yang berbeda untuk menangani anak-anak autis sesuai dengan kondisi keluarga, lingkungan dan yang paling utama karakteristik anak autis itu sendiri. Faktor utama yang mendukung keberhasilan penanganan anak autis adalah dalam diri subjek harus tumbuh sikap sabar dan pantang menyerah, mengerti kebutuhan anak autis, serta penuh perhatian dan kasih sayang. Selain itu, perlu juga harus dimunculkan sikap penerimaan akan keberadaan dan kondisi anak autis serta tidak menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan anak autis pada orang lain. Sikap total dalam menangani juga menjadi faktor pendukung keberhasilan perkembangan anak autis.


(10)

ABSTRACT

Adrianus Dian Widyatmoko (2007). Parenting Method in the Family with Autistic. Yogyakarta: Faculty of Psychology Sanata Dharma University.

The aims of this qualitative study were to know how parents take care and treat an autistic child and what the ideal parenting method for an autistic is by observing various parenting models implemented by parents in the family with an autistic child. The problem of this study was that parents found it is difficult to take care of children with autism.

The subjects of this research were four mothers whose one of their children is an autistic. The method used in taking the data was phenomenology method. It is a research method which describes the meaning of an experience in a phenomenon (or a topic or a concept) upon any individual. The data were collected by using observation, interview and supporting interview. The verification techniques used were intersubjective validity and complex data sources (such as interviewing and observing the people around the autistic).

The findings showed that some of the parents implemented authoritative parenting method whilst the others implemented authoritarian parenting method in taking care and treating the autistic. Each subject implemented a different way. It depended on the condition of the family and the environment, but above all it depended on the condition of the autistic himself. The main factor which supported the success of treating an autistic is that the subject should never give up, understood the needs of the autistic and had to be very patient and full of caring and loving. Besides, it was necessary to develop the attitude of accepting the existence and the condition of the autistic and not to pass over the responsibility to take care and educate the autistic to the caretaker. The attitude in treating the autistic totally was also a supporting factor to the success on the development of the autistic.


(11)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Adrianus Dian Widyatmoko

Nomor Mahasiswa : 019114061

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

Pola Asuh pada Keluarga yang Memiliki Anggota Keluarga yang Autis.

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 22 Januari 2008 Yang menyatakan


(12)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang karena berkat kasihNya penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Tanpa bimbinganNya, skripsi ini akan semakin lama terselesaikan.

Penulisan skripsi ini dilakukan sekitar dua tahun. Sebuah proses yang cukup panjang untuk sebuah penulisan skripsi. Selama dua tahun itu pula, penulis mengalamai banyak dinamika hidup. Dinamika untuk mengalahkan diri sendiri, untuk tetap fokus pada studi dan untuk tetap bisa bersikap rasional serta pasrah terhadap keadaan. Namun semua tantangan ini sudah dapat dilalui dan tiba saatnya untuk mempertanggunjawabkannya. Meskipun demikian, peneliti menyadari berbagai kekurangan yang masih ada dalam skripsi ini, oleh karena itu, masukan-masukan akan sangat berguna bagi kesempurnaan skripsi ini.

Untuk semuanya itu, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan waktu, informasi, dan dukungan hingga selesainya penyusunan skripsi ini, secara khusus kepada:

1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi, M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberi kesempatan dalam penyusunan skripsi ini.

2. Ibu Sylvia Carolina Murtisari, S.Psi, M.Psi selaku pembimbing skripsi, yang dengan teliti memeriksa dan senantiasa memberikan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.


(13)

3. Bapak C. Siswa Widyatmoko, S. Psi dan Ibu Silvia Carolina Maria Yuniati Murtisari, S.Psi, M.Psi selaku dosen pembimbing akademik.

4. Bapak Dr. Augustinus Supratiknya dan Ibu MM. Nimas Eki, S.Psi., Psi., M. Si., yang telah memberikan kesempatan bagi saya untuk mempertanggungjawabkan penelitian ini.

5. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi USD Yogyakarta; Ibu MB. Rohaniwati, Mas Gandung Widiyantoro, Mas P. Mujiono, Mas Doni, dan Bpk Giyono yang dengan setia senantiasa membantu.

6. Buat semua responden yang telah membantu penulis untuk memperoleh data-data yang akurat. Terima kasih telah membatu saya “bu...mudah-mudahan penelitian ini bisa membawa kesejukan untuk anak-anak autis di Indonesia.”

7. Buat Pak Somad, Bu Nila dan Pak Hendro selaku pimpinan lembaga terapi dan sekolah autis. Terima kasih untuk bantuan dan masukkan yang sudah diberikan. Berkat anda semua saya bisa mendapatkan responden yang sesuai. 8. Papah dan mamah. Terimakasih banyak buat waktu, tenaga, materi yang sudah dikorbankan buat aku. Terima kasih buat dukungan, cinta kasih, dan kesabaran yang sudah diberikan. “Akhirnya aku bisa ujian mi...pi....”

9. Adik-adikku....Hany & Yosi.” Akhire aku lulus bro!!!” Buat adik terkecilku yang juga autis, Ayoe. “Mbak, dido akhirnya sudah lulus universitas. Mudah-mudahan dido bisa bantu kamu jadi lebih baik....”


(14)

10.My special one...Maia Stepanie. Thanks udah mau menghadapi and mendukung aku. Thanks buat rasa sayang dan cintamu yang bisa bikin aku tetap semangat buat terus berjuang. Thanks a lot honey...

Buat Sella, makasih juga udah mau jadi korban keisenganku. Maaf ya kalau sering bikin kamu jutek. Trima kasih juga buat pinjeman motor yang sering jadi kendaraan operasionalku.

Buat Vika, makasih banyak buat pinjeman laptopnya. Jadi aku bisa presentasi dengan maksimal...

11.Tente Ameng and Family---Om Yopie, Dino, Bella, Duta----makasih buat semua bantuannya. Makasih buat tumpangannya selama aku di Semarang. Buat Dino, makasih banyak....sory sampe bikin kakimu cedera. “Semoga cepet sembuh ya bro!...”

12.Temen-teman dikala susah dan senang: Acong, Oho, Dian (cuk), Kodok, Sondlop. Kalian semua sudah bikin aku mengerti tentang banyak hal, mengerti tentang dunia. Nice to be yours friend...

13.Teman-teman 01, Ari, Adi Gendut, Kris dan Pati. Makasih banyak atas pertemanan selama ini, kalian adalah teman-teman “sialku”. “Guys....kapan do ngumpul meneh and rembugan jaket??” Tak lupa juga eks anak 99999 Crodel, Diana, Fentul, Okta, Nyunz, (+) Tien & Mbeng. Makasih udah mau ngajarin aku tentang persahabatan.

14.Transformind Counsultainment, Mas Is, Mbak Mei, Windra, Neri, Suko, Kodok, Aconk, Laura, dkk. Makasih buat semuanya pren...


(15)

15.Teman-teman PAT (Psychology Adventure Team), Topik, Barjo, Cuki, Vembri, Nuke, Boloth, Sutaman, Bayu, Ratna, dan teman-teman yang lainnya.... “kapan kita bisa mengakrabi alam lagi teman?”. Aku benar-benar menikmati perjalanan bersama kalian...Life free and go wild, pals... 16.Serta semua dosen, karyawan, teman-teman mahasiswa Fakultas Psikologi

USD (terutama angkatan 2001) dan teman-teman yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang senantiasa menyemangati saya dalam tugas ini. Juga buat semua teman yang sudah mendukung dan menemaniku saat ujian berlangsung....Terima kasih banyak!!!...

Akhirnya, saya ucapkan terimakasih atas semua yang telah mewarnai hidup saya. Bapa, dampingilah dan berkatilah semuanya...amin.

Yogyakarta, 18 Desember 2007

Hormat saya,


(16)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………...…...………..i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...ii

HALAMAN PENGESAHAN...iii

MOTTO...iv

HALAMAN PERSEMBAHAN...v

PERNYATAAN KEASLIAN DATA...vi

ABSTRAK...vii

ABSTRACT...viii

HALAMAN PERSETUJUAN ...ix

KATA PENGANTAR...x

DAFTAR ISI...xiv

DAFTAR TABEL...xvii

DAFTAR GAMBAR...xviii

DAFTAR LAMPIRAN...xvix

BAB I PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang...1

B. Masalah Penelitian...6

C. Tujuan...6

D. Manfaat Penelitian...6

BAB II LANDASAN TEORI...8


(17)

1. Bentuk-bentuk pola asuh...9

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi...11

B. Anak Autis...14

1. Penyebab autis...15

2. Karakteristik anak autis...18

C. Pola asuh pada keluarga yang emiliki anak autis...22

1. Langkah-langkah untk menangani anak autis...24

2. Cara-cara mengajarkan berbagai hal pada anak autis...25

3. Sikap-sikap orang tua yang mendukung perkembangan anak autis...27

D. Kerangka Penelitian...31

BAB III METODOLOGI PENELITIAN...32

A. Desain Penelitian...32

B. Subjek Penelitian...33

C. Identifikasi variabel dan batasan istilah...34

D. MetodePengambilan Data...37

1. Wawancara...37

2. Observasi...43

E. Analisis Data...44

1. Organisasi data...44

2. Koding...45

3. Interpretasi...46


(18)

BAB IV HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN...50

A. Identitas dan Gambaran Subjek...50

1. Identitas subjek...50

2. Gambaran Subjek...51

B. Tahap Pengambilan Data...55

C. Hasil Penelitian...57

1. Subjek 1...59

2. Subjek 2...77

3. Subjek 3...91

4. Subjek 4...105

D. Pembahasan...118

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...151

A. Kesimpulan...151

B. Saran...153


(19)

DAFTAR TABEL

TABEL 1. Aspek Penelitian ...36

TABEL 2. Pedoman Wawancara...38

TABEL 3. Identitas Subjek...50

TABEL 4. Tahap Pengumpulan Data ...56


(20)

DAFTAR GAMBAR

Skema 1: Kerangka penelitian Pola Asuh Pada Keluarga yang Memiliki

Anggota Keluarga yang Autis ...31 Skema 2: Hasil Penelitian Pola Asuh Pada Keluarga yang Memiliki

Anggota Keluarga yang Autis Subjek 1...58 Skema 3: Hasil Penelitian Pola Asuh Pada Keluarga yang Memiliki

Anggota Keluarga yang Autis subjek 2...76 Skema 4: Hasil Penelitian Pola Asuh Pada Keluarga yang Memiliki

Anggota Keluarga yang Autis Subjek 3...90 Skema 5: Hasil Penelitian Pola Asuh Pada Keluarga yang Memiliki

Anggota Keluarga yang Autis Subjek 4...104 Skema 6: Hasil Penelitian Pola Asuh Pada Keluarga yang Memiliki

Anggota Keluarga yang Autis...116 Skema 7: Keberhasilan Pengasuhan Pada Perkembangan Anak Autis…………149 Skema 8: Kekurangberhasilan Pengasuhan Pada Perkembangan Anak Autis...150


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1.Verbatim Subjek...158

LAMPIRAN 2. Koding Subjek ...………...159

LAMPIRAN 3. Koding Observasi Subjek...160

LAMPIRAN 4. Koding Wawancara Sumber lain...161

LAMPIRAN 5. Pernyataan subjek...……….162


(22)

BAB I

PENDAHULUAN

A

. Latar Belakang Masalah

Menjadi orang tua bukan merupakan suatu pekerjaan yang mudah. Orang tua merupakan bentuk pelayanan yang paling dasar, yang meliputi pengasuhan, pendidikan dan pemberian perhatian terutama bagi anak-anaknya. Hal ini dikarenakan pengasuhan dan pendidikan yang diberikan orang tua dalam sebuah keluarga pada anak-anaknya merupakan dasar bagi pendidikan, proses sosialisasi dan kehidupannya di masyarakat (Amal, 2005).

Ketika seseorang memutuskan untuk membentuk sebuah keluarga, ia tentunya sudah memiliki pemahaman mengenai keluarga. Sekalipun mereka memiliki sejarahnya sendiri-sendiri dan punya latar belakang yang seringkali sangat jauh berbeda, baik latar belakang keluarga, lingkungan tempat tinggal ataupun pengalaman pribadinya selama ini, mereka harus siap menghilangkan itu semua (Rini, 2002). Mereka harus benar-benar memahami bahwa mereka tidak lagi dua individu yang berbeda tetapi sudah menjadi satu kesatuan yang utuh yang bernama keluarga, yang siap untuk memasuki fase kedua dan ketiga dalam hidup manusia, yaitu perkawinan dan kelahiran anak dengan segala bentuk permasalahannya (Santrock, 1995).

Permasalahan yang dihadapi oleh para orang tua biasanya berputar pada masalah finansial, terutama pada pasangan yang baru membina hubungan keluarga (Harefa; dkk, 2002). Selain permasalahan finansial, permasalahan


(23)

mengenai anak juga muncul, dimana permasalahan ini cukup banyak menyita perhatian dari para orang tua. Bentuk permasalahan mengenai anak ini beraneka ragam yang dapat kita lihat, seperti permasalahan tentang pendidikan, pengasuhan dan perilaku anak (Harefa; dkk, 2002).

Masalah pengasuhan menjadi menarik untuk dibahas karena pengasuhan menjadi dasar yang utama dalam perkembangan diri anak, terutama kreativitas dan pembentukan karakter kepribadian anak (Amal, 2005). Sebelum menginjak bangku sekolah, kehidupan anak-anak banyak dihabiskan dengan orang tuanya. Pada saat memasuki bangku sekolah, anak-anak juga lebih banyak bertemu dengan orang tuanya sehingga dapat dikatakan bahwa peran orang tua dalam mengasuh dan mendidik anak sangat besar. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan eksistensi anak (Gunarsa, 1995).

Dalam menghadapi anak, orang tua banyak menggunakan berbagai pola pengasuhan yang variatif. Kita tidak bisa menyamaratakan bentuk pola pengasuhan yang ada dalam setiap rumah tangga. Hal ini dikarenakan pola pengasuhan dalam keluarga dipengaruhi oleh pola pikir yang dimiliki oleh orang tua dan tingkat pendidikan serta sosial ekonomi rumah tangga. Dengan kata lain, bentuk pola asuh yang diterapkan oleh orang tua dipengaruhi faktor internal dan eksternal (Amal, 2005). Selain itu, karakteristik anak yang beraneka ragam juga mempengaruhi bentuk pola asuh yang diterapkan oleh keluarga. Berbagai kekhasan yang dimiliki anak juga tidak bisa disamaratakan begitu saja, tetapi kita harus melihat keunikan dan memperhitungkan keadaan-keadaan dari


(24)

masing-masing anak, baru dapat diterapkan pola asuh yang sesuai bagi anak tersebut (Rini, 2006).

Karakteristik dari masing-masing anak yang khusus membuat orang tua harus benar-benar pandai untuk mencari celah dalam mengasuh anak-anaknya. Ada keluarga yang memiliki anak-anak yang lahir secara normal dan dapat berkembang sesuai dengan kemampuan dan tugas perkembangannya dengan baik. Namun, ada juga keluarga yang memiliki anak dengan berbagai hambatan yang dapat mengganggu proses perkembangan dari anak tersebut. Hal ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi bentuk pola asuh yang diterapkan orang tua pada anaknya (Rini, 2006). Salah satu hambatan dalam proses perkembangan anak adalah anak-anak yang terlahir autis.

Hawkes (2002), mengatakan bahwa autisme adalah suatu bentuk ketidakmampuan dan gangguan perilaku yang membuat penyandangnya lebih suka menyendiri. Ketidakmampuan dan gangguan perilaku pada anak autis ini membuat mereka mengalami kesulitan untuk memahami apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan, sehingga menyebabkan keterlambatan perkembangan dalam kemampuan komunikasi, bicara, interaksi sosial, emosi, kepandaian serta perilaku dan keterampilan motorik (Oyeng, 2002).

Bagi orang tua yang memiliki anak autis, tentu akan memiliki pola pengasuhan yang berbeda dan khusus dibandingkan dengan anak yang normal. Hal ini dikarenakan anak-anak autis memiliki kehidupan sendiri dan kontak yang sangat terbatas dengan lingkungan, sehingga membutuhkan dukungan yang penuh dari lingkungan di sekitarnya untuk dapat berkembang (Oyeng, 2002).


(25)

Lingkungan sekitar yang paling dekat dan paling bisa menjadi tempat dan sarana bagi mereka untuk tumbuh dan berkembang adalah keluarga, terutama kedua orang tuanya.

Anak autis tidak bisa diperlakukan dengan pola pengasuhan yang sama dengan anak yang normal. Mereka tidak bisa diberi bimbingan dan petunjuk secukupnya kemudian kita lepaskan begitu saja. Orang tua perlu memberikan perhatian yang lebih untuk mendukung perkembangan diri dan kepribadian anak autis. Mereka juga perlu diawasi dan dibimbing dengan sangat baik dalam melakukan tugasnya, sehingga mereka dapat bekerja dengan baik dan benar.

Dukungan bagi perkembangan diri anak autis terkadang memerlukan pengorbanan yang cukup besar, khususnya dari pihak keluarga. Kasus yang cukup nyata adalah adanya 2 orang ibu yang memiliki anak autis yang rela berhenti bekerja agar dapat memiliki banyak waktu untuk mengasuh anaknya yang autis (CP & ARN, 2003). Seorang ibu bernama Erni memilih berhenti bekerja karena ia ingin selalu memonitor dan mendampingi anaknya yang autis, sehingga dapat memperoleh pengasuhan yang tepat. Ibu lainnya bernama Riri memilih berhenti bekerja karena ia ingin anaknya dapat mendapatkan pendidikan yang tepat dan baik, sehingga ia membawa anaknya ke Australia untuk memperoleh pendidikan yang tepat. Dengan demikian, peran orang tua merupakan sosok sentral dalam kehidupan dan perkembangan diri dan kepribadian anak-anak autis ini.

Penanganan atau pengasuhan terhadap anak autis membutuhkan biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Ada upaya-upaya untuk memberdayakan orang tua yang mempunyai anak autis, sehingga diharapkan orang tua dapat menjadi seorang


(26)

pelatih dan pendidik sekaligus terapis yang baik bagi anak-anak mereka yang menderita autis (Haniman, 2001). Besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tua yang memiliki anak autis apabila akan menitipkan anaknya pada lembaga yang khusus menangani anak autis menjadi satu alasan mengapa peran orang tua menjadi lebih vital. Selain itu, tidak semua daerah memiliki lembaga yang khusus menangani anak autis, sehingga banyak orang tua yang harus mengeluarkan biaya transportasi tambahan untuk mencapai tempat tersebut (CP & ARN, 2003). Padahal tidak semua orang tua memiliki kemampuan finansial yang mencukupi untuk mengantar anaknya melakukan terapi dan membiayai mereka agar dapat menerima terapi di lembaga khusus autis.

Dari sudut pandang psikologi perkembangan, anak autis memiliki hambatan dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak yang normal. Dengan demikian tentu akan terdapat perbedaan dalam proses pengasuhan, meskipun anak autis tersebut berada dalam satu keluarga yang sama dengan saudara-saudaranya yang normal. Akibat dari kekurangan yang dimiliki anak autis tersebut maka seharusnya para orang tua menerapkan pola asuh yang berbeda dengan saudara-saudaranya yang dapat berkembang dengan normal.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat dan memberikan gambaran mengenai bentuk pola asuh orang tua yang memiliki anak autis, terutama orang tua yang memiliki anak lebih dari satu dan salah satu diantaranya menderita autis. Dengan demikian, akan dapat diketahui apakah para orang tua telah memberikan pola pengasuhan yang sesuai dalam mengasuh dan mendidik anaknya yang autis.


(27)

Selain itu, pada akhirnya penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pola asuh yang ideal bagi para orang tua yang memiliki anak autis.

B. Rumusan Permasalahan

Bagaimanakah bentuk pola asuh pada keluarga yang memiliki anggota keluarga yang autis?

C. Tujuan

• Mengetahui bagaimana cara orang tua mengasuh dan menangani individu autis

• Mengetahui bentuk pola asuh yang ideal untuk anak autis dengan melihat berbagai pola asuh yang diterapkan oleh orang tua di dalam keluarga yang memiliki anggota keluarga yang autis

D. Manfaat

1. Manfaat Teoretis

Memberikan gambaran dan pengetahuan mengenai penanganan dan pengasuhan individu autis dalam keluarga yang memiliki anggota keluarga yang autis

2. Manfaat Praktis a. Bagi Subjek

Subjek dapat lebih memahami keadaan anggota keluarganya yang autis, sehingga bisa memperlakukannya sesuai dengan keadaan individu tersebut.


(28)

b. Bagi Lembaga Terapi Autis

Membantu mendampingi orang tua dalam mengasuh dan memperlakukan individu autis agar mereka bisa berkembang dengan maksimal.

c. Bagi Masyarakat Umum

Mengenalkan mengenai individu autis dengan berbagai kondisinya, sehingga bisa memberikan kontribusi yang positif bagi perkembangan diri individu autis tersebut.


(29)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pola Asuh

Orang tua merupakan sosok yang paling dekat dengan anak-anaknya. Dengan demikian, orang tua merupakan sosok yang paling bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Hal ini dikarenakan orang tua memiliki kewajiban untuk mendidik dan mengasuh anak-anaknya agar dapat berkembang dengan baik sesuai dengan tugas perkembangannya. Bentuk tanggung jawab yang bisa dilakukan orang tua adalah dengan menerapkan pola asuh yang benar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi anak-anaknya agar mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan sebaik-baiknya.

Kohn (dalam Tarmuji, 2001) menyatakan bahwa pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orang tua ini meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritasnya, dan cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya.

Amal (2005) mengatakan bahwa pola asuh merupakan suatu sistem atau cara pendidikan, pembinaan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain. Dalam hal ini adalah pola asuh yang diberikan orang tua atau pendidik terhadap anak adalah mengasuh dan mendidiknya dengan penuh pengertian.


(30)

Jadi, dapat dikatakan bahwa pola asuh merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan.

A.1 Bentuk-bentuk Pola Asuh

Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua pada anaknya harus disesuaikan dengan kondisi dari masing-masing anak. Baumrind (1991, dalam Santrock 1996) dan Astuti (2008) menekankan 3 jenis pola asuh yang pada umumnya diterapkan dalam rumah tangga, yaitu:

A.1.1 Pola Asuh autoritarian

Pola asuh autoritarian adalah gaya yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak anak untuk mengikuti petunjuk orang tua dan untuk menghormati pekerjaan dan usaha. Pola ini bersifat kaku dan terdapat penerapan hukuman fisik dan aturan-aturan tanpa perlu menjelaskan pada anak apa maksud dari aturan tersebut. Pola asuh ini biasanya berdampak buruk pada anak, seperti tidak merasa bahagia, ketakutan, tidak terlatih untuk berinisiatif, selalu tegang, tidak mampu menyelesaikan masalah, dan kemampuan komunikasinya buruk.

A.1.2 Pola Asuh Autoritatif

Pola asuh autoritatif mendorong anak untuk bersikap bebas tetapi tetap memberikan batasan-batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung dengan bebas, dan orang tua bersikap hangat dan bersifat membesarkan hati anak. Anak yang terbiasa dengan pola


(31)

asuh ini biasanya menunjukkan sikap merasa bahagia, kontrol diri dan rasa percaya diri terpupuk, bisa mengatasi stres, punya keinginan untuk berprestasi dan bisa berkomunikasi baik dengan orang lain.

A.1.3 Pola Asuh Permisif

Pola asuh permisif ini memiliki 2 bentuk, yaitu pola asuh permisif memanjakan dan pola asuh permisif-tidak peduli.

A.1.3.1 Pola Asuh Permisif Memanjakan

Pola asuh permisif memanjakan adalah suatu pola dimana orang tua sangat terlibat dengan anak tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka. Pola ini membuat orang tua selalu mengikuti keinginan anak apapun keinginan tersebut. Akibat dari pola asuh ini yang biasanya muncul adalah sikap anak yang selalu menuntut orang lain menuruti keinginannya, tapi tidak bisa menghormati dan cenderung mendominasi orang lain. Akibatnya, anak-anak ini memiliki kesulitan dalam berteman.

A.1.3.2 Pola Asuh Permisif Tidak Peduli

Pola asuh permisif tidak peduli adalah suatu pola dimana orang tua tidak ikut campur dalam kehidupan anak. Pola ini menunjukkan sikap orang tua yang tidak mau pusing memedulikan kehidupan anaknya. Walau tinggal satu rumah, bisa jadi orang tua tidak begitu tahu perkembangan anaknya. Akibat dari pola asuh ini, anak akan menunjukan sikap memiliki harga diri yang rendah, tidak punya kontrol diri yang baik, kemampuan sosialnya buruk, dan merasa bukan


(32)

A.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh

Pola asuh yang banyak diterapkan oleh orang tua untuk mendidik anak di dalam keluarga sedikit banyak dipengaruhi oleh lingkungan internal dan eksternal (Amal, 2005). Dengan demikian, kemampuan seorang anak untuk mengembangkan dirinya tidak terlepas dari bentuk pengasuhan orang tua atau pendidik. Beberapa faktor yang memiliki peran dalam pembentukan pola asuh orang tua dalam keluarga adalah:

A.2.1 Faktor Keluarga Asal

Faktor keluarga asal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri masing-masing orang tua yang pada akhirnya mempengaruhi penggunaan bentuk pola asuh yang diterapkan oleh orang tua pada anak-anaknya. Faktor-faktor dari dalam diri masing-masing orang tua ini meliputi aspek pribadi, identitas dan diri seseorang. Pribadi, identitas dan diri seseorang ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pola asuh. Pola asuh orang tua, pada dasarnya merupakan sintesa – hasil dinamika dua pribadi (ayah dan ibu) dalam mengasuh, mendidik dan menghadapi anak. Jika hendak diperdalam lagi, pribadi ayah yang menghasilkan pola sikap tertentu terhadap anak – juga hasil dari pola asuh orang tua sang ayah (Rini, 2006).

Rini (2002) juga menjelaskan bahwa menurut para ahli, pola asuh orang tua atau pun kualitas hubungan yang terjalin antara orang tua dengan anak, merupakan


(33)

faktor penting yang kelak mempengaruhi kualitas persepsi orang tersebut terhadap perannya sendiri.

A.2.2 Faktor Lingkungan Sosial dan Budaya

Faktor lingkungan sosial budaya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pemilihan bentuk pola asuh yang diterapkan dalam keluarga. Faktor lingkungan sosial budaya ini sedikit banyak dapat mempengaruhi pola pikir dan sikap orang tua pada anaknya. Hal ini dikarenakan pola asuh yang berkembang di masyarakat terbentuk menjadi kebiasaan yang turun-temurun (Jalu, 2003).

Tarmuji (2001) dalam penelitiannya juga mengatakan bahwa dalam mengasuh anaknya orang tua dipengaruhi oleh budaya yang ada di lingkungannya. Hal ini semakin menguatkan bahwa pengaruh lingkungan sosial budaya membawa pengaruh yang kuat bagi orang tua dalam mengasuh anak-anaknya.

A.2.3 Faktor Kepribadian dan Karakteristik Anak

Menurut Tedjasaputra (2008, dalam Rahayu, 2008), terdapat tiga tipe kepribadian yang umumnya terdapat pada anak. Ketiga tipe tersebut antar lain:

A.2.3.1 Tipe Mudah

Anak dengan kepribadian tipe mdah ini cenderung memiliki suasana hati yang positif dan cenderung tidak rewel. Mereka dengan mudah membentuk kebiasaan rutin yang teratur dan mudah menyesuaikan diri dengan pengalaman, situasi dan orang-orang baru. Selain itu, anak


(34)

dengan tipe ini pada umumnya mudah untuk memahami penjelasan tentang perilaku yang diharapkan dari mereka.

A.2.3.2 Tipe Sulit

Anak dengan tipe ini cenderung untuk bereaksi secara negatif dan seringkali menangis. Mereka cenderung untuk bereaksi negatif terhadap kegiatan rutin dan lamban untuk menyesuaikan diri dengan situasi, lingkungan dan orang-orang baru. Selain itu, makanan baru pun sulit untuk diterimanya. Anak-anak tipe ini sulit untuk diberi pengertian tentang perilaku yang tidak diharapkan dari mereka.

A.2.3.3 Tipe Slow to warm up

Anak dengan tipe ini cenderung memiliki aktivitas yang rendah. Mereka juga menunjukkan suasana hati yang negatif (namun sedikit lebih baik dari tipe sulit). Selain itu, mereka memiliki penyesuaian diri yang lamban, namun mudah dibujuk untuk ditenangkan. Anak-anak dengan tipe ini tidak terlalu mudah saat diberi pengertian dan penjelasan tentang perilaku yang diharapkan dari mereka. Dituntut usaha yang cukup kuat dan kesabaran yang ekstra dari orang tua dalam rangka mengajak anaknya bekertja sama.

Tedjasaputra (2008, dalam Rahayu, 2008) menambahkan bahwa ada juga anak-anak yang tidak memiliki ciri-ciri seperti yang telah diungkapkan diatas. Orang tua perlu mewaspadai anak-anak dengan keterbelakangan mental, autis ataupun gangguan


(35)

Anak- anak dengan kebutuhan khusus demikian bisa jadi memiliki tipe kepribadian yang merupakan gabungan lebih dari satu tipe kepribadian yang telah diuraikan diatas. Tedjasaputra (2008, dalam Rahayu, 2008) mengatakan bahwa anak-anak autis bisa memiliki ciri kepribadian yang merupakan gabungan dari ketiga tipe kepribadian diatas, sehingga butuh kewaspadaan dan kepekaan orang tua dalam mengamati proses perkembangan diri anak-anaknya. Dengan demikian, anak-anak mereka dapat ditangani dengan tepat dan sesuai dengan kebutuhann dan kemampuannya (Tedjasaputra, 2008 dalam Rahayu, 2008).

B. Autis

Hawkes (2002), mengatakan bahwa autisme adalah suatu bentuk ketidakmampuan dan gangguan perilaku yang membuat penyandangnya lebih suka menyendiri. Ketidakmampuan dan gangguan perilaku pada individu autis ini membuat mereka mengalami kesulitan untuk memahami apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan; sehingga menyebabkan keterlambatan perkembangan dalam kemampuan komunikasi, bicara, interaksi sosial, emosi, kepandaian serta perilaku dan keterampilan motorik (Oyeng, 2002).

Budiman (1999) mengungkapkan bahwa autis merupakan gangguan perkembangan yang mencakup bidang komunikasi, interaksi dan perilaku yang luas dan berat. Gangguan perkembangan yang terjadi pada individu autis ini dikarenakan adanya kerusakan pada salah satu bagian otak dari individu tersebut. Sekitar 10 tahun


(36)

yang lalu, banyak individu autis yang salah didiagnosis oleh para ahli medis. Hal ini dikarenakan pada saat itu autis masih merupakan sesuatu yang asing di Indonesia dan masih cukup sulit mencari tahu apa sebenarnya penyebab dari autis ini.

Jadi dapat disimpulkan bahwa seorang autis adalah seseorang yang mengalami gangguan perkembangan yang mencakup bidang komunikasi, interaksi, dan perilaku sehingga menyebabkan mereka tampak hidup dalam dunianya sendiri.

B. 1. Penyebab Autis

Pada awal dekade ’90-an, penyebab autis masih merupakan suatu misteri yang cukup membuat banyak ahli medis bingung. Hal ini dikarenakan banyak orang tua yang sering merujuk anaknya yang memiliki kelainan autis ini ke para ahli medis tersebut. Padahal saat itu, autis ini masih merupakan suatu kelainan yang langka di masyarakat. Namun, seiring dengan kemajuan teknologi kedokteran, maka saat ini para ahli medis telah behasil menyingkap penyebabnya (Budiman, 2002).

Autis merupakan suatu kelainan perkembangan otak yang disebabkan oleh dua hal yang paling berpengaruh dalam proses perkembangan diri seseorang, yaitu faktor genetik dan faktor neurologis (Wenar & Kerig, 2000).

B.1.1 Penyebab Genetik

Faktor genetika bisa dikarenakan kelainan yang disebabkan oleh cacar air yang diderita ibu selama mengandung dan karena diturunkan melalui percampuran


(37)

gen dari orang tua yang memiliki kelainan genetik secara klinis (Wenar & Kerig, 2000).

Selain karena penyebab di atas, gangguan autis juga bisa disebabkan karena pada proses pembentukan sel-sel otak tersebut dalam kandungan terjadi penghambatan pertumbuhan sel-sel otak, misalnya karena virus (rubella, tokso, herpes), jamur (candida), oksigenasi (perdarahan), dan keracunan dari makanan (Budiman, 1999). Kelainan tersebut mengakibatkan kelainan pada struktur sel otak, yaitu gangguan pertumbuhan sel otak pada trisemester pertama, terutama fungsi otak yang mengendalikan pemikiran, pemahaman, komunikasi dan interaksi (Budiman, 1999).

Penelitian Wakkerfield, dkk di Inggris pada tahun 1998 (Jalu, 2001) menunjukkan bahwa gangguan perkembangan otak dapat disebabkan karena pengaruh biologis. Pengaruh biologis ini dapat disebabkan karena faktor genetik atau kelainan kromosom dan dapat pula karena pengaruh negatif selama masa perkembangan otak. Faktor- faktor yang dapat menyebabkan pengaruh negatif selama masa perkembangan otak, antara lain:

1.1 Penyakit infeksi yang mengenai susunan saraf pusat 1.2 Trauma

1.3 Keracunan logam berat maupun zat kimia lain baik selama dalam kandungan maupun setelah dilahirkan.


(38)

Salah satu logam berat yang menyebabkan keracunan Sistem Saraf Pusat adalah Hg (Hydrogyrum = air raksa) yang terdapat dalam vaksin DPT dan Hepatitis B dalam bentuk senyawa Thiomerosal.

1.4 Gangguan imunologis

1.5 Gangguan absorbsi protein tertentu akibat kelainan di usus

B.1.2 Penyebab Neurologis

Faktor neurologis dapat disebabkan oleh kelainan di otak dan sistem saraf. Courchesne, dkk pada tahun 1988 (dalam Wenar & Kerig, 2000) mengungkapkan hasil penelitiannya yang menemukan bahwa dari hasil MRI penderita autis mengalami cerebral hypoplasia (penyusutan ukuran otak) pada bagian pons atau otak tengah. Kerusakan ini mempengaruhi kerja sistem saraf yang terhubung langsung dengan cerebellum (otak kecil), termasuk saraf yang mengatur atensi dan gerakan motorik.

Penelitian Courchesne, dkk tahun 1988 dalam Wenar & Kerig (2000) tersebut mengindikasikan bahwa ada hubungan antara simptom autistik dengan disfungsi sistem otak, khususnya kognisi sosial. Pendapat ini diperkuat oleh Dawson (1996 dalam Wenar & Kerig, 2000) yang berpendapat bahwa pada individu autis, amigdala (bagian dalam lobus temporalis otak) telah tergabung menjadi satu bagian dengan simptom autistik awal, termasuk orientasi sosial, imitasi motorik, atensi, dan empati.

Kondisi neurotransmitter (zat kimia pengantar pesan dalam sistem saraf) yang abnormal juga menjadi salah satu faktor dari gangguan perkembangan otak. Pada


(39)

sebagian anak autis, jumlah serotonin dalam neurotransmitter menunjukkan jumlah yang cukup tinggi (Wenar & Kerig, 2000). Serotonin merupakan salah satu jenis neurotransmitter dalam otak yang dapat meningkatkan aktivitas otak (Handout Faal, 2002; hal 187). Apabila jumlah serotonin di dalam otak meningkat, maka aktivitas otak meningkat dan dapat mengakibatkan kegelisahan.

Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa penyebab utama dari autis adalah kelainan di otak yang terjadi akibat adanya gangguan dalam masa perkembangan otak. Gangguan selama masa perkembangan otak ini dapat disebabkan karena faktor genetik yang diakibatkan pengaruh negatif selama masa perkembangan otak dan faktor neurologis yang terpengaruh gangguan perkembangan otak.

B. 2. Karakteristik Anak Autis

Tidak semua individu yang acuh atau tidak memperhatikan lingkungan sekitarnya termasuk dalam kategori individu autis. Individu yang masuk dalam kategori autis apabila mereka menunjukkan karakteristik sebagai berikut (Wenar & Kerig, 2000): B. 2. 1 Interaksi Sosial

Individu dengan gangguan autis memiliki kekurangan dalam tiga aspek perkembangan yang normal yang membedakannya dari bayi dan balita dalam lingkungan sosialnya. Aspek-aspek tersebut adalah orientasi, imitasi dan perhatian. Kesulitan kognisi untuk memahami suasana hati orang lain sejalan dengan kesulitan untuk mengekspresikan emosi diri secara nyata, mengakibatkan peningkatan isolasi


(40)

memahami individu autis karena kekurangan individu autis dalam menjalin relasi sosial.

Siegel (1996, dalam Puspita, 2003) menambahkan bahwa kekurangan individu autis untuk berelasi sosial dan juga banyak dan cenderung menarik diri dari lingkungan sosial dikarenakan faktor sensory sensitivities (sensitivitas indera) yang sangat peka dari individu autis. Sebagian dari mereka bahkan cenderung sangat peka terhadap berbagai muatan emosi yang terjadi di sekitarnya. Mereka bingung dan cemas bila tidak dapat memahami pesan-pesan emosi yang terjadi saat bergaul, sehingga mereka kadang memutuskan untuk menarik diri dari pergaulan.

Menurut Siegel (1996, dalam Puspita, 2003), beberapa indera perangsang yang memiliki kepekaan tinggi pada individu autis adalah:

B.2.1.1 Sound sensitivity

Individu menjadi takut secara berlebihan pada suara keras atau bising. Ketakutan yang berlebihan ini membuat mereka bingung, merasa cemas atau terganggu, yang sering termanifestasi dalam bentuk perilaku buruk. Pola kepekaan akan suara keras atau bising ini tidak sama, dan frekuensi setiap individu juga berbeda-beda. Kadang individu mendengung atau bergumam untuk menghalangi gangguan suara tadi, sehingga dengan ia mendengung, ia hanya mendengar dengungannya dan tidak mendengar suara lain yang tidak dapat ia prediksi.


(41)

B.2.1.2 Touch sensitivity

Individu memiliki kepekaan terhadap sentuhan ringan atau sebaliknya terhadap sentuhan dalam. Masalah kepekaan yang berlebihan ini biasanya terwujud dalam bentuk masalah perilaku (termasuk masalah makan dan pakaian). Bila individu peka terhadap sentuhan dan terganggu dengan sentuhan kita, maka pelukan kita justru dapat ia artikan sebagai hukuman yang menyakitkan.

B.2.1.3 Rhytm difficulties

Individu sulit mempersepsi irama yang tertampil dalam bentuk lagu, bicara, jeda dan ‘saat untuk masuk dalam percakapan’. Itu sebabnya banyak individu autis terus menerus berbicara, atau menyerobot masuk saat percakapan sedang berlangsung, yang seringkali dianggap lingkungan sebagai ‘tidak sopan’. Padahal, ini adalah masalah fisik mereka.

B. 2. 2 Bahasa

Individu autis memiliki kesulitan untuk memahami simbol-simbol secara umum. Simbol-simbol yang mudah dipahami adalah yang sesuai dengan minat dan ketertarikan mereka. Selain itu, individu autis juga mengalami kesulitan dalam mengungkapkan apa yang ingin dikatakan. Pada dasarnya mereka dapat membuat kalimat dengan pola dan susunan yang sempurna, namun apa yang dikatakan tidak sesuai dengan konteks sosial. Hanya saja, individu autis mengalami kesulitan untuk memahami komunikasi verbal dari lawan bicaranya. Mereka lebih mudah untuk


(42)

memahami gerak tubuh dalam berkomunikasi. Hal ini dikarenakan individu autis memiliki pola berpikir visual (visual thinking,), sehingga lebih mudah untuk memahami hal kongkret (dapat dilihat dan dipegang) daripada hal abstrak (Siegel, 1996 dalam Puspita, 2003). Oleh karena itu, akibat dari proses berpikir dengan menggunakan gambar atau film seperti ini, maka jelas akan lebih lambat daripada proses berpikir verbal, sehingga mereka perlu jeda beberapa saat sebelum bisa memberikan jawaban atas pertanyaan tertentu.

Siegel (1996, dalam Puspita, 2003) menambahkan bahwa bahwa individu autis lebih berpikir menggunakan asosiasi daripada berpikir secara logis menggunakan logika. Hal ini disebabkan anak autis memiliki problems of

connection yang berkaitan dengan ‘kemampuan individu menalar’. Menurut Siegel

(1996, dalam Puspita, 2003) berbagai masalah tersebut adalah:

B.2.2.1 Attention problems: masalah pemusatan perhatian, terus menerus terdistraksi

B.2.2.2 Perceptual problems: masalah proses persepsi, bingung sehingga menghindari orang lain.

B.2.2.3 Systems integration problems: proses informasi di otak bekerja secara ‘mono’ (tunggal) sehingga sulit memproses beberapa hal sekaligus B.2.2.4 Left-right hemisphere-integration problems: otak kiri tidak secara

konsisten tahu apa yang terjadi pada otak kanan (dan sebaliknya), sehingga tidak sepenuhnya sadar pada apa yang sedang terjadi.


(43)

B. 2. 3 Keinginan untuk selalu sama

Individu autis selalu ingin tampil dengan pola dan kegiatan yang sama sehari-hari. Kesamaan-kesamaan ini dapat mereka tunjukkan dengan berbagai aktivitas yang monoton setiap hari, pakaian ataupun makanan yang selalu sama setiap hari. Mereka juga suka dengan pola-pola tertentu, baik itu penempatan ataupun penyimpanan barang yang mereka sukai. Mereka dapat menjadi panik, gusar dan marah apabila mereka tidak menemukan pola dan kegiatan yang sama seperti biasanya.

C. Cara-cara untuk Mengasuh Anggota Keluarga yang Autis

Dalam mengasuh individu yang autis, para orang tua tidak bisa menggunakan berbagai cara yang umum digunakan pada individu yang normal. Oleh karena itu, orang tua perlu memahami beberapa cara yang bisa digunakan untuk menghadapi individu autis seperti berikut ini.

C.1 Langkah-langkah untuk anggota keluarga yang autis

Menangani individu autis diperlukan langkah-langkah yang khusus dan berbeda dari anak-anak lain yang normal. Pada saat menghadapi individu-individu autis ini, para orang tua ada baiknya menerapkan langkah-langkah berikut ini (Puspita, 2005):

C.1.1 Memahami keadaan apa adanya

Langkah ini merupakan langkah yang paling sulit dilakukan orang tua. Hal ini dikarenakan banyak dari mereka enggan menangani sendiri anggota keluarga


(44)

mereka yang autis. Padahal pengasuhan sehari-hari bisa berdampak baik bagi hubungan interpersonal antara individu yang autis ini dengan orang tuanya, sebab bisa membuat orang tua:

C.1.1.1 Memahami kebiasaan-kebiasaan mereka

C.1.1.2 Menyadari apa yang bisa dan belum bisa mereka lakukan C.1.1.3 Menyadari penyebab perilaku buruk atau baik mereka C.1.1.4 Membentuk ikatan batin yang kuat dengan mereka C.1.2 Mendampingi dengan intensif

Langkah ini bukan dimaksudkan agar orang tua menemani individu yang autis ini, tetapi memastikan adanya interaksi aktif antara individu yang autis tersebut dengan orang-orang disekitarnya. Tujuan dari pendampingan ini bukan untuk melatih kontak mata, namun untuk memunculkan kontak batin dan meningkatkan pemahaman indivdu autis yang pada umumnya terbatas. Orang tua perlu terlibat langsung disini, sebab orang tua merupakan guru terbaik bagi mereka. Pada langkah ini perlu kesadaran orang tua untuk mendampingi dan membimbing individu autis tanpa pamrih dan tidak mengenal kata percuma.


(45)

C.2 Cara-cara mengajarkan berbagai hal pada anggota keluarga

yang autis

Peran orang tua dalam mengasuh individu autis kembali diperlukan dalam mengajarkan berbagai hal baru pada mereka. Orang tua perlu untuk menerapkan cara-cara yang khusus ketika hendak memberi tahu sesuatu hal pada anggota keluarganya yang autis. Cara-cara yang disarankan untuk mengajari individu yang autis adalah (Puspita, 2005):

C.2.1 Instruksi Verbal

Cara ini hanya efektif diberikan pada individu autis hanya jika mereka memperhatikan. Instruksi verbal tersebut diberikan dengan kata-kata yang dipahami individu autis, lugas dan menggunakan kalimat yang singkat.

C.2.2 Peragaan

Mendemonstrasikan apa yang kita maksud dalam instruksi verbal tadi. Cara ini efektif bila dilakukan dengan lambat dan berlebihan. Sejalan dengan penguasaan mereka, ada baiknya porsi peragaan dikurangi sedikit-sedikit. C.2.3 Pengarahan

Cara ini dilakukan sambil memberikan pengarahan dan peragaan pada individu autis. Pada cara ini, orang tua bisa sambil mengarahkan tangan mereka atau menunjukkan apa yang kita instruksikan tersebut. Sejalan dengan pemahaman individu autis tersebut, kita harus mengurangi cara ini atau


(46)

bahkan menghilangkannya, sehingga mereka dapat mengerjakan secara mandiri.

Manolson (1995, dalam Puspita, 2005) menambahkan beberapa cara yang bisa digunakan untuk menambahkan pengalaman dan kosa kata baru. Cara-cara yang digunakan adalah:

C.2.4 Menggunakan gerakan yang dapat ditirunya

C.2.5 Memberikan nama pada benda atau gerakan apapun yang ia lihat atau lakukan

C.2.6 Meniru anak sambil menambahkan kata atau gerakan yang sesuai C.2.7 Memberi penekanan pada kata-kata yang bermakna

C.2.8 Menambahkan ide baru pada hal-hal yang sudah dikuasainya.

C.3 Sikap-sikap orang tua yang mendukung perkembangan anggota

keluarga yang autis

Selain berbagai cara dan langkah yang bisa diaplikasikan orang tua dalam menghadapi individu autis, diperlukan juga sikap-sikap dari dalam diri orang tua yang bisa membuat proses pengasuhan individu autis berjalan dengan baik. Sikap-sikap tersebut antara lain (CP & ARN, 2003; Messwati, 2005; 2005):

1. Sabar dan pantang menyerah dalam menghadapi dan membimbing

Kesabaran dan sikap pantang menyerah dari orang tua akan dapat membantu perkembangan diri individu autis. Kesabaran dalam menghadapi perilaku dan sikap


(47)

pantang menyerah dalam menghadapi berbagai hal seputar kebutuhan individu autis akan banyak membantu individu autis tersebut mencapai perkembangan dirinya yang lebih baik.

2. Penuh perhatian dan kasih sayang

Orang tua dituntut untuk selalu memantau dan mengajari berbagai hal bagi anggota keluarganya yang autis. Walaupun sudah mendapatkan pendidikan atau terapi pada suatu lembaga, peran orang tua masih tetap vital dalam mendidik. Diharapkan, dengan adanya perhatian dan kasih sayang, serta adanya sikap penerimaan individu autis dari orang tua, akan sangat membantu perkembangan dirinya.

3. Memahami kemauan dan kebutuhan anggota keluarga yang autis

Orang tua harus pintar dalam menangkap maksud individu autis. Hal ini dikarenakan mereka memiliki kesulitan dalam mengungkapkan apa yang diinginkannya. Kemampuan orang tua untuk menangkap kebutuhan dan kemauan individu autis tersebut akan banyak membantu perkembangan diri mereka.

Kris (2008) menambahkan juga beberapa sikap yang bisa mendukung orang tua untuk menghadapi individu autis. Sikap-sikap tersebut adalah:

1. Jangan Menuntut Terlalu Tinggi

Jangan menyamakan individu autis dengan anak normal lainnya. Kadang sesuatu hal yang mudah sangat sulit dilakukan oleh individu autis. Jadi,


(48)

2. Bersikap Realis

Kadang orang tua masih berharap setelah individu autis diterapi ini dan itu , mereka bisa mengikuti teman sebayanya sehingga bisa masuk sekolah umum. Jika memang setelah terapi tidak bisa mengikuti teman sebayanya, maka bersikaplah realis. Memang ia hanya memiliki takaran segitu. Lebih penting mengoptimalkan potensi yang ada daripada memaksa kemampuan yang kurang

3. Suara Lembut

Memberitahu atau memperingatkan individu autis jangan dengan suara keras. Semakin keras suara Anda maka dia semakin “marah”.

D. Pola Asuh untuk Anggota Keluarga yang Autis

Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Interaksi orang tua dengan anaknya ini sedikit banyak akan mempengaruhi perkembangan diri anak tersebut ke depan. Oleh karena itu, orang tua perlu menerapkan pola asuh yang tepat dan benar sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak-anaknya (Rini,2006). Orang tua memegang peranan yang cukup penting dalam perkembangan diri anak-anaknya, karena orang tua merupakan sosok yang paling dekat dengan anak-anaknya, dan keluarga merupakan institusi awal yang paling bertanggung jawab dimana seorang anak tumbuh dan berkembang.


(49)

Seseorang yang autis merupakan seseorang yang mengalami gangguan perkembangan yang mencakup bidang komunikasi, interaksi, dan perilaku sehingga menyebabkan mereka tampak hidup dalam dunianya sendiri. Penerapan pola asuh yang digunakan oleh orang tua dalam mengasuh anggota keluarganya yang autis hendaknya disesuaikan dengan karakteristik yang dimiliki oleh individu yang autis tersebut. Setiap individu sangat unik, sehingga penanganan haruslah bisa menjawab kebutuhan masing-masing individu (Puspita, 2005). Jangan memaksakan individu autis untuk berkembang seperti layaknya individu yang normal dengan mengarahkan individu autis sesuai standar dan kemauan orang tua (Rini, 2006). Hal ini dikarenakan individu autis memiliki karakteristik berupa hambatan untuk berinteraksi dengan lingkungan dan orang-orang disekitarnya. Selain itu, individu autis juga memiliki kesulitan dalam berkonsentrasi dan menggunakan bahasa secara tepat, sesuai dengan maksud yang diinginkannya (Wenar & Kerig, 2000 ; Oyeng, 2002). Dengan demikian, diperlukan keahlian dan pemahaman dari orang yang mengasuh, khususnya orang tua, dalam menangani individu- individu autis ini.

Menghadapi individu autis, kondisi orang tua harus benar-benar siap. Orang tua perlu untuk membuang jauh-jauh sikap denial (penolakan) dan memunculkan sikap menerima kondisi anaknya yang autis tersebut. Sikap denial yang ada dalam diri orang tua justru akan memperlambat proses penanganan, membuat individu autis merasa tidak dimengerti dan tidak diterima apa adanya, serta menimbulkan penolakan dari mereka yang lalu termanifestasi dalam bentuk perilaku yang tidak diinginkan


(50)

kategori individu autis, sehingga dengan adanya sikap menerima, orang tua diharapkan bisa menangani mereka dengan lebih baik. Kesadaran orang tua yang baik untuk terlibat langsung dalam proses perkembangan anggota keluarganya yang autis juga dapat membuat individu autis ini menjadi berkembang dengan maksimal (Puspita, 2005). Keterlibatan langsung orang tua dengan individu autis ini secara tidak langsung akan membuat mereka merasa diperhatikan.

Selain menerima dan memahami kondisi serta karateristik anggota keluarganya yang autis, para orang tua yang memiliki anggota keluarga yang autis juga harus memberikan pengertian dan pemahaman pada orang-orang di lingkungan di sekitar individu autis tersebut tinggal. Hal ini dikarenakan penerimaan lingkungan terhadap individu autis akan dapat membantu perkembangan diri individu autis tersebut (CP & ARN, 2003; Messwati, 2005; 2005). Lingkungan sekitar yang dimaksud antara lain saudara kandung individu autis tersebut, keluarga besar dan saudara-saudara, lingkungan sekitar, lingkungan dimana individu autis tersebut biasa beraktifitas, dan orang lain yang berada di rumah dimana individu autis tersebut tinggal (CP & ARN, 2003; Messwati, 2005; 2005).

Jadi, pola asuh yang sesuai untuk individu autis adalah pola asuh yang tidak membuat mereka tersebut merasa ditinggalkan, tertekan ataupun terlalu dimanjakan, sebab pola asuh yang demikian justru akan membuat mereka merasa kurang bisa mandiri, tidak diterima dan akan kembali ke dalam dunianya (Puspita, 2005). Pola asuh yang tepat adalah pola asuh yang bisa membuat mood individu autis bisa terjaga,


(51)

melakukan berbagai aktivitas serta mempelajari hal baru (Safaria, 2005). Oleh sebab itu, pola asuh yang paling mendekati ideal adalah pola autoritatif. Hal ini dikarenakan pola asuh autoritatif mengajak para orang tua untuk berlaku lebih demokratis pada anak-anaknya, tetapi tidak melepaskan mereka begitu saja tanpa pengawasan (Baumrind, 1991 dalam Santrock, 1996).

Pada penerapannya, pola asuh autoritatif ini perlu didukung dengan pemahaman orang tua mengenai keberadaan individu autis. Jadi, pola asuh ini juga memerlukan beberapa penyesuaian dalam penerapannya pada individu autis. Penyesuaian yang dimaksud adalah penyesuaian proses pengasuhan antara pola asuh dengan karakteristik dari masing-masing individu, terutama individu autis. Selain itu, perlu ada dukungan sikap dari orang tua untuk bisa menerima dan mendukung perkembangan individu autis serta menerapkan cara-cara yang tepat menghadapi individu autis. Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa pengasuhan sehari-hari oleh orang tua sangat memegang peranan pada perkembangan individu autis (Puspita, 2005).


(52)

D. Kerangka Penelitian

Berdasarkan kerangka penelitian berikut ini, peneliti ingin meneliti mengenai pola asuh dan penanganan terhadap anak autis, di dalam keluarga yang memiliki anggota keluarga yang autis.

Subjek: Ibu

Skema 1. Kerangka Penelitian Pola Asuh Pada Keluarga yang Memiliki Anggota Keluarga Autis

Individu Autis

- Individu yang memiliki gangguan perkembangan

- Memiliki perilaku dan pola pikir yang berbeda dengan individu lain seusianya - Memerlukan perhatian dan dukungan

yang besar dari orang-orang di sekitarnya - Memerlukan penanganan dan perlakuan

yang khusus

Individu Normal

- Relasi dengan individu yang autis

Hubungan dengan Lingkungan Pemilihan Pola Asuh:

Pola asuh khusus yang sesuai dengan karakteristik individu autis Hubungan

dengan Keluarga

Pengasuhan dan Perlakuan pada individu autis

Berkaitan dengan keberhasilan tugas perkembangan individu autis


(53)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan sebuah penelitan kualitatif-fenomenologis untuk melihat bagaimana relasi keluarga, terutama orang tua terhadap anak autis, pada keluarga yang memiliki anak autis. Penelitian fenomenologis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan makna dari pengalaman dalam suatu fenomena (topik atau konsep) pada beberapa individu (Creswell, 1998). Penelitian ini menggunakan metode fenomenologi dengan pertimbangan bahwa fenomenologi memungkinkan untuk mengetahui bentuk-bentuk pola asuh dan penanganan terhadap anak autis, di dalam keluarga yang memiliki anak autis.

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan suatu gambaran mengenai bentuk pola asuh yang ideal bagi keluarga yang memiliki anak autis. Penelitian ini akan dilakukan dalam natural setting (Creswell, 1998) artinya peneliti tidak akan memanipulasi lingkungan penelitian, melainkan melihat sebuah fenomena dalam situasi dimana fenomena tersebut ada. Pada penelitian ini, peneliti tidak akan mengubah setting lingkungan, sehingga pengambilan data diharapkan dapat sesuai dengan fenomena aslinya. Fokus penelitian ini dapat berupa orang, program, pola hubungan maupun interaksi dalam konteks yang alamiah (Poerwandari, 1998).


(54)

B. Subjek Penelitian

Penelitian ini akan mengambil subjek para orang tua yang memiliki anak-anak autis. Subjek dari penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak-anak autis. Dukes (dalam Creswell 1998) mengungkapkan bahwa dalam penelitian kualitatif jumlah subjek yang direkomendasikan 3 sampai 10 orang. Proses pengambilan sampel yang dilakukan sesuai dengan prosedur yang digunakan dalam proses penelitian kualitatif. Sarantakos (dalam Poerwandari, 1998) mengatakan bahwa pengambilan sampel dalam penelitian kualitatif umumnya menampilkan karakteristik (1) tidak diarahkan pada jumlah yang besar, namun pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian; (2) tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian; dan (3) tidak diarahkan pada keterwakilan (dalam arti jumlah/ peristiwa acak) melainkan pada peristiwa konteks.

Sebjek dalam penelitian fenomenologis harus merupakan individu-individu yang memiliki pengalaman pada permasalahan yang akan dibahas dan dapat membagikan pengalaman-pengalaman tersebut (Creswell, 1998). Oleh karena itu, penelitian ini akan mengambil sampel penelitian dengan menggunakan prosedur pengambilan sampel pada kasus tipikal. Sampel pada kasus tipikal ini sendiri merupakan pengambilan sampel yang dianggap mewakili kelompok “normal” dari fenomena yang diteliti (Poerwandari, 1998). Dengan demikian dapat diharapkan diperoleh subjek penelitian yang relevan dan benar-benar


(55)

memahami banyak hal yang terkait dengan penelitian, sehingga dapat diperoleh hasil yang maksimal.

Patton (dalam Poerwandari, 1998) mengatakan bahwa penggunaan metode pemilihan sampel ini seringkali cocok untuk mempelajari perkembangan masyarakat di dunia ketiga. Hal ini sesuai dengan kondisi perkembangan sosial ekonomi mayarakat di Indonesia yang merupakan negara berkembang. Dengan demikian diharapkan penggunaan metode pemilihan sampel ini akan dapat mewakili dan menjawab pertanyaan yang melandasi penelitian ini.

Kriteria yang digunakan dalam pemilihan subjek adalah: 1. Ibu yang memiliki anak autis

2. Tidak dibatasi karier, bisa bekerja atau ibu rumah tangga 3. Jenis kelamin anak autis tidak ditentukan

4. Anak tidak dibatasi sedang mengikuti program terapi atau tidak, bersekolah disekolah autis atau tidak.

C. Identifikasi Variabel dan Batasan Istilah

Penelitian ini ingin melihat bagaimana bentuk pola asuh yang diterapkan para orang tua yang memiliki anak autis. Selain itu, peneliti juga ingin mengetahui bentuk pola asuh yang ideal untuk anak autis dengan melihat berbagai pola asuh yang diterapkan di dalam keluarga yang memiliki anak autis. Oleh karena itu, perlu kiranya dilakukan pembatasan hal-hal yang akan dibahas dalam proses penelitian ini.


(56)

Batasan hal-hal yang akan dibahas dalam penelitian ini, antara lain:

1. Pola asuh adalah interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan.

2. Anak autis adalah individu yang mengalami gangguan perkembangan yang mencakup bidang komunikasi, interaksi, dan perilaku sehingga menyebabkan mereka tampak hidup dalam dunianya sendiri.

Gangguan komunikasi yang dialami anak autis ini berbentuk keterlambatan bicara dan kesulitan komunikasi secara verbal. Gangguan interaksi lebih dikarenakan ketidakmampuan anak autis untuk mengekspresikan perasaannya dan kesulitan mereka untuk berkonsentrasi serta berkontak mata dengan orang lain. Gangguan perilaku anak autis ini terlihat dari respon mereka terhadap suatu stimulus. Anak autis kadang bereaksi secara berlebihan atau bahkan tidak bereaksi sama sekali pada suatu stimulus. (Wenar & Kerig, 2000; Oyeng, 2002).

3. Pola asuh pada anak autis adalah interaksi antara orang tua dengan anaknya, terutama mengarah pada hubungan orang tua dengan dan lingkungannya.


(57)

Tabel 1: Aspek Penelitian

Tema Diperoleh dari

1. Anak autis

2. Pola asuh pada anak autis

a. Apakah subjek memahami tetntang autis b. Apakah subjek memahami kondisi anaknya

dari kecil

c. Bagaimana subjek memperlakukan anaknya yang autis

d. Apakah subjek memiliki cara-cara khusus dalam mengasuh anaknya yang autis.

a.Bagaimana relasi antara subjek dengan anaknya yang autis

b. Bagaimana relasi anak tersebut dengan saudara-saudara dan lingkungannya

c. Apakah subjek menjelaskan kondisi anaknya pada lingkungan dan saudara-saudaranya d. Apakah subjek menutup-nutupi keadaan


(58)

D. Metode Pengambilan Data D.1 Wawancara

Metode yang digunakan dalam pengambilan data yang utama adalah dengan melakukan wawancara pada para subjek. Wawancara adalah tanya jawab dan percakapan antara dua orang untuk mendapatkan informasi berdasarkan tujuan tertentu (Poerwandari, 1998). Wawancara ini penting dilakukan karena dengan wawancara peneliti dapat memperoleh berbagai data subjektif yang dapat dieksplorasi secara lebih mendalam mengenai fenomena yang akan diteliti, yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Poerwandari, 1998).

Pada proses wawancara nanti, teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara dengan pedoman umum. Paton (dalam Poerwandari, 1998) mengungkapkan bahwa wawancara dengan pedoman umum adalah proses wawancara yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan. Pada teknik wawancara ini, peneliti tetap harus memiliki daftar pertanyaan yang akan digunakan sebagai acuan, akan tetapi proses wawancara sendiri tidak terpaku pada daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan.

Daftar pertanyaan tersebut hanya merupakan pedoman bagi peneliti untuk tetap berada dalam jalur yang telah direncanakan dan sebagai checklist bagi peneliti apakah aspek-aspek yang sesuai tersebut telah ditanyakan atau dibahas (Paton, dalam Poerwandari, 1998). Pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan atau dibahas juga tidak terpaku pada daftar yang telah ada, akan tetapi juga dapat disesuaikan dengan kondisi pada saat proses wawancara berlangsung.


(59)

Pedoman wawancara mengacu pada landasan teori yang telah dicantumkan di Bab II. Pedoman wawancara yang akan digunakan untuk memperoleh data adalah sebagai berikut:

Tabel 2: Pedoman Wawancara

Tema Diperoleh dari

1. Anak autis a. Apakah subjek memahami tentang autis • Menurut ibu apakah anak autis itu? • Dari mana ibu memahami tentang

anak autis itu?

• Bagaimana pendapat ibu tentang perilaku anak autis itu? Dan bagaimana ibu mengatasi atau menghadapi hal tersebut?

b. Apakah subjek memahami kondisi anaknya dari kecil

• Kapan ibu mengetahui bahwa putranya autis?

• Apakah ibu menyadari sendiri atau setelah ada pemberitahuan dari orang lain (ahli)? Jika ada pemberitahuan dari ahli, apakah itu atas keinginan ibu sendiri atau ada dorongan dari orang lain?


(60)

• Bagaimana reaksi ibu ketika mengetahui hal tersebut? Bagaimana ibu menghadapinya? Apakah sempat ada penolakan?

c. Bagaimana subjek memperlakukan anaknya yang autis

• Setelah mengetahui anak ibu autis, apa yang ibu lakukan pada anak tersebut? Apakah ada perubahan perilaku atau perlakuan ibu pada dia?

• Adakah bentuk perlakuan yang khusus, yang istimewa dari ibu terhadap anaknya yang autis dibandingkan dengan saudara lainnya? Jika iya, seperti apa bentuk perlakuan tersebut? • Apakah ibu memahami berbagai hal

yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan diberikan pada anak autis? Apakah hal tersebut dilakukan?

d. Apakah subjek memiliki cara-cara khusus dalam mengasuh anaknya yang autis

• Bagaimana cara ibu menerangkan berbagai hal pada anak anda ini?


(61)

2. Pola asuh pada anak autis

• Apakah yang mendasari ibu menerapkan cara yang demikian dalam mengasuh anak tersebut?

• Apakah ada yang menganjurkan ibu untuk mengasuh anak-anak dengan cara demikian?

a. Bagaimana relasi antara subjek dengan anaknya yang autis dan keluarga

• Bagaimana hubungan ibu dengan anak tersebut?

• Apakah ada kedekatan yang lebih antara ibu dengan anak ibu ini dibandingkan dengan saudara yang lain?

• Bagaimana relasi ibu dengan anggota keluarga yang lain? Apakah ada kecemburuan?

b. Bagaimana relasi anak tersebut dengan saudara-saudara dan lingkungannya

• Bagaimana sikap saudara-saudara yang lain ketika mengetahui salah satu saudaranya autis? Apakah mereka


(62)

sempat merasa malu, minder atau bahkan menolak keberadaannya?

• Bagaimana hubungan anak ibu yang autis ini sedniri dengan saudaranya? Apakah bisa membaur atau tidak?

• Bagaimana hubungannya dengan lingkungan? Apakah ada relasi yang akrab dengan lingkungan bu?

c. Apakah subjek menjelaskan kondisi anaknya pada lingkungan dan saudara-saudaranya

• Apakah ibu berusaha memberikan penjelasan atau pemahaman mengenai keberadaan salah satu anaknya yang autis kepada keluarga? Lingkungan? • Bagaimana sikap orang-orang di

sekitarnya (seperti tetangga, saudara-saudara yang lain)? Apakah ada penolakan bu?

• Bagaimana dengan reaksi saudara atau lingkungan sekarang bu? Jika menerima, apakah penerimaan itu berasal dari mereka sendiri atau ada


(63)

penjelasan dari ibu?

• Apabila ada penolakan atau cemoohan, apakah ibu tetap berusaha menjelaskan pada mereka?

d. Apakah subjek menutup-nutupi keadaan anaknya.

• Ketika mengetahui anaknya ada yang autis, apakah ibu sempat berusaha menutupi dari orang lain?

• Apakah ibu berusaha untuk membatasi relasi anak ibu ini dengan lingkungan atau saudara-saudaranya?

• Jika ada, apa yang mendasari ibu menutupi keberadaannya dari orang lain?


(64)

D.2 Observasi

Selain menggunakan metode wawancara dalam mengumpulkan data, penelitian ini juga menggunakan metode observasi atau pengamatan. Metode observasi ini dipilih karena dengan menggunakan observasi, peneliti dimungkinkan untuk memperoleh data-data yang lebih akurat dari subjek, yang tidak terungkap melalui wawancara (Paton dalam Poerwandari, 1998). Dengan demikian, diharapkan akan diperoleh data-data yang lebih akurat dan sesuai dengan keadaan nyata yang dialami oleh subjek.

Metode observasi yang akan digunakan adalah observasi langsung, yaitu cara pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa adanya pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut (Nazir, 1985). Peneliti memilih menggunakan metode observasi secara langsung karena metode ini memiliki beberapa keuntungan dalam proses penelitian. Keuntungan menggunakan metode observasi secara langsung menurut Nazir (1985) adalah:

1. Terdapat kemungkinan untuk mencatat perilaku, pertumbuhan, dan lain sebagainya sewaktu kejadian berlangsung, tanpa perlu mengandalkan data atau ingatan orang lain.

2. Dapat memperoleh data dari orang yang tidak dapat atau tidak mau berkomunikasi secara verbal.

Tujuan dilakukannya metode observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut (Poerwandari, 1998). Metode observasi ini


(65)

digunakan untuk memperoleh data yang dapat mendukung data yang diperoleh dari proses wawancara. Metode ini juga dapat digunakan selama proses penelitian berlangsung dan di akhir penelitian untuk melihat perkembangan-perkembangan yang terjadi pada subjek.

Untuk itu, perlu kiranya dibuat suatu sistematika dari berbagai hal yang akan diamati oleh peneliti baik sebelum, selama dan pada akhir proses penelitian. Hal- hal yang perlu diamati adalah (1) hubungan subjek dengan anak-anaknya; (2) perlakuan subjek pada anak-anaknya; (3) aktivitas keseharian subjek; (4) hubungan anak autis dengan saudara-saudaranya atau lingkungannya; (5) hubungan subjek dengan anaknya yang autis.

E. Analisis Data E.1 Organisasi Data

Setelah memperoleh data yang akan digunakan dalam penelitian ini, peneliti perlu untuk mengorganisasikan data-data tersebut agar dapat berguna secara lebih maksimal. Tujuan dari pengorganisasian data-data tersebut adalah supaya peneliti tidak merasa kesulitan ketika melakukan proses analisis dari data-data yang telah diperoleh. Highlen & Finley (dalam Poerwandari, 1998) mengungkapkan bahwa pengorganisasian data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk (a) memperoleh kualitas data yang baik; (b) mendokumentasikan analisis yang dilakukan; dan (c) menyimpan data dan analisis yang berkaitan dengan penyelesaian penelitian. Data-data yang perlu disimpan adalah (Poerwandari, 1998):


(66)

1. Data mentah (data lapangan, kaset hasil rekaman)

2. Data yang sudah diproses sebagiannya (transkrip wawancara) 3. Data-data yang sudah dikode/ ditandai

Jika dilakukan, proses pengorganisasian data ini terkesan akan membutuhkan banyak waktu dan tempat. Padahal, tidak semua data yang diorganisasikan relevan dengan penelitian yang kita lakukan. Namun demikian, data-data tersebut perlu untuk dikumpulkan karena dalam proses penelitian kualitatif, seorang peneliti perlu untuk memiliki data selengkap mungkin karena dapat menunjang keberhasilan, keakuratan dan kredibilitas penelitian.

E.2 Koding

Koding merupakan proses mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail, sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 1998). Proses koding ini sangat diperlukan dalam penelitian kulitatif mengingat banyaknya data mentah yang harus dikumpulkan oleh peneliti. Dengan koding ini, peneliti akan dipermudah dalam proses penelusuran fakta yang memperkuat argumentasi dan analisis data dalam penelitian.

Agar dapat memperoleh hasil yang maksimal, proses koding sendiri hendaknya dapat dibuat seringkas dan semudah mungkin, sehingga tidak membingungkan dan menyesatkan peneliti dalam penelusuran fakta. Langkah-langkah melakukan proses koding menurut Poerwandari (1998) adalah, pertama peneliti menyusun transkrip verbatim atau catatan lapangan sedemikian rupa


(67)

sehingga ada kolom kosong yang cukup besar disebelah kanan dan kiri transkrip. Hal ini akan memudahkan pemberian kode atau catatan tertentu pada transkrip tersebut.

Kedua, peneliti secara urut dan kontinyu melakukan penomoran pada baris-baris transkrip atau catatan lapangan tersebut. Ketiga, peneliti memberikan nama pada masing-masing berkas dengan kode-kode tertentu. Kode yang digunakan harus kode yang mudah diingat dan dianggap paling mewakili berkas tersebut. Contoh untuk memberikan nama berkas adalah:

WS 2.YK.31agus06.S1: Transkrip wawancara pada subjek 2, dilaksanakan di Yogyakarta pada tanggal 31 Agustus 2006, subjek 1.

E.3 Interpretasi

Kvale (dalam Poerwandari, 1998) membedakan istilah analisis dan interpretasi. Menurutnya, interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensi sekaligus mendalam. Peneliti menggunakan data-data yang tersedia untuk untuk menginterpretasikan perspektif mengenai apa yang sedang diteliti. Pada saat menginterpretasi data, peneliti perlu mengambil jarak dari data, dan perlu memasukkan data ke dalam konteks konseptual yang khusus.

Penelitian kualitatif mentoleransi adanya multi tafsir akan satu data yang sama. Kvale (dalam Poerwandari, 1998) mengatakan bahwa interpretasi memang tidak tunggal. Adalah sah-sah saja (legitimate) bila satu pihak dengan pihak lain mengembangkan interpretasi berbeda tentang data yang sama, dan hal itu tidak langsung berarti bahwa metode kualitatif tidak ilmiah.


(68)

Lebih jauh lagi, Kvale (dalam Poerwandari 1998) menjelaskan mengenai konteks situasi dan komunitas validasi yang memungkinkan muncul interpretasi yang berbeda. Konteks interpretasi pemahaman diri terjadi bila peneliti berusaha memformulasikan dalam bentuk lebih padat (condensed) apa yang oleh responden penelitian sendiri dipakai sebagai makna dari pernyataan-pernyataannya. Interpretasi tidak dilihat dari sudut pandang peneliti, melainkan dikembalikan pada pemahaman diri responden penelitian, dilihat dari sudut pandang dan pengertian responden penelitian tersebut.

Konteks interpretasi pemahaman biasa yang kritis terjadi bila peneliti beranjak lebih jauh dari pemahaman diri subjek penelitiannya. Peneliti menggunakan pemahaman yang lebih luas daripada kerangka pemahaman subjek. Meski demikian, hal ini tetap ditempatkan dalam konteks penalaran umum, peneliti mencoba mengambil posisi sebagai masyarakat umum dalam mana subjek penelitian berada.

Konteks interpretasi pemahaman teoretis adalah konteks paling konseptual. Pada tingkatan ketiga ini, kerangka teoretis tertentu digunakan untuk memahami pernyataan-pernyataan yang ada, sehingga dapat mengatasi konteks pemahaman diri subjek ataupun penalaran umum. Meskipun ada tingkatan-tingkatan, Kvale (dalam Poerwandari, 1998) mengatakan bahwa ketiganya dapat berbaur satu sama lain, dan harus dilihat saling terkait. Poerwandari (1998) mengatakan bahwa suatu penelitian yang baik akan mencakup semua tahapan interpretasi, tetapi berakhir pada kesimpulan pemahaman teroretis.


(69)

F. Pemeriksaan Keabsahan Data

Kredibilitas dalam penelitian kualitatif merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menggantikan istilah validitas, namun beberapa peneliti kualitatif tetap menggunakan istilah validitas, meskipun memiliki pengertian yang berbeda dengan konsep validitas kuantitatif-positivistik (Poerwandari, 1998). Kredibilitas penelitian ini dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian kualitatif. Poerwandari (1998) mengatakan bahwa kredibilitas studi kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau proses interaksi yang kompleks. Poerwandari menambahkan bahwa kredibilitas penelitian kualitatif dilihat dari deskripsi yang mendalam yang menjelaskan kemajemukan aspek-aspek yang terkait dan interaksi dari berbagai aspek. Strangl & Sarantakos (dalam Poerwandari, 1998) mengungkapkan bahwa dalam penelitian kualitatif, validitas dicoba dicapai tidak melalui manipulasi variabel, melainkan melalui orientasinya, dan upaya mendalami dunia empiris, dengan menggunakan metode yang paling cocok untuk pengambilan dan analisis data.

Sarantakos (dalam Poerwandari, 1998) mengatakan bahwa salah satu validitas penelitian kualitatif adalah validitas komunikatif, yaitu validitas dimana peneliti mengkomunikasikan kembali data penelitian pada responden penelitian. Validitas ini sama dengan konsep intersubjective validity yaitu menguji kembali pemahaman peneliti dengan pemahaman subjek melalui proses timbal balik (back-and-forth) (Creswell, 1998). Setiap subjek akan diberi salinan deskripsi dari hasil interview dan diminta untuk secara hati-hati memeriksa deskripsi tersebut. Selama


(70)

memeriksa, mereka dapat memberikan tambahan masukan dan pembetulan. Terakhir, peneliti merevisi pernyataan sintesisnya apabila ada perbedaan persepsi. Selain itu, peneliti menggunakan sumber data yang majemuk yaitu wawancara dengan orang lain yang mengetahui kondisi subjek serta observasi lapangan.


(71)

BAB IV

HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN

A.

Identitas dan Gambaran subjek

A.1 Identitas Subjek Tabel 3: Identitas Subjek

Keterangan Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3 Subjek 4

Nama S1 S2 S3 S4

Usia 49 tahun 46 tahun 34 tahun 51 tahun Pekerjaan Ibu Rumah

Tangga

PNS Ibu Rumah Tangga

Wiraswasta

Nama individu autis

O F B V

Usia individu autis dan urutan

kelahiran 20 tahun Anak kedua (bungsu) 6 tahun Anak ketiga (bungsu) 13 tahun Anak kedua 12 tahun Anak ketiga (bungsu) Urutan kelahiran anak normal

Anak pertama Anak pertama dan kedua Anak pertama dan ketiga Anak pertama dan kedua


(72)

A.2 Gambaran Subjek A.2.1 Subjek 1

Subjek 1 seorang ibu rumah tangga. Ia termasuk dari golongan keluarga yang berada. Subjek memiliki 2 orang putra, yang pertama seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogjakarta. Selain itu, anak subjek ini juga kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Jogjakarta. Anak subjek yang kedua adalah seorang anak autis yang berusia sudah cukup dewasa. Keseharian anak subjek ini bersekolah di sekolah lanjutan autis di Jogjakarta, yang sengaja didirikan oleh subjek .

Subjek tinggal di sebuah kompleks perumahan yang dapat dikatakan cukup bagus. Lingkungan perumahan tersebut termasuk tenang dan sepi. Rumah subjek tergolong besar, karena terdiri atas 2 lantai. Pada bagian depan terdapat pagar besi yang selalu dikunci apabila tidak ada tamu. Di bagian dalam rumah subjek, terdapat banyak foto keluarga yang dipajang di ruang tamu. Selain foto keluarga, ada juga foto anak-anak subjek dan foto subjek bersama dengan suami. Selain itu, banyak juga replika pesawat mainan yang dipajang di penyekat antara ruang tamu dan dapur. Menurut subjek, replika mainan pesawat itu adalah koleksi dari anaknya yang autis, yang memang menyukai pesawat. Kondisi mainan tersebut masih tampak bagus dan tidak rusak maupun kotor.

Subjek memiliki tinggi sekitar 165 cm dan berat badan sekitar 70 kg. Ia memiliki sifat keibuan yang tampak jelas dari perilakunya. Selama proses wawancara, subjek menunjukkan sikap yang kooperatif. Subjek juga tidak segan untuk menceriterakan banyak hal yang bisa membantu penelitian ini. Bahkan,


(73)

peneliti tidak perlu bertanya terlalu banyak, subjek sudah bercerita banyak hal mengenai kondisi dan cara-cara penanganan pada anaknya.

A.2.1 Subjek 2

Subjek adalah seorang pegawai negeri sipil di sebuah kantor pemerintah di Purwokerto. Subjek termasuk dalam golongan keluarga yang berkecukupan. Ia memiliki 3 orang anak yang salah satunya autis. Anak subjek yang pertama saat ini berkuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di kota Jogjakarta. Sementara itu, anak subjek yang kedua dan ketiga tinggal bersama subjek di rumahnya. Anak subjek yang kedua masih duduk di bangku SMP, sementara anak yang ketiga ini seorang anak autis yang masih berusia 5 tahun. Anak subjek ini bersekolah di Taman kanak-kanak dan mengikuti terapi untuk anak autis.

Subjek tinggal di sebuah kompleks perumahan yang cukup bagus. Lingkungan perumahan tersebut termasuk tenang dan sepi. Rumah subjek termasuk berukuran ideal untuk tinggal satu keluarga. Bagian depan rumah subjek tidak terdapat pagar. Akan tetapi, di depan rumah subjek bukan merupakan jalan utama kompleks, kondisi jalan ini cukup sepi dari lalu-lalang kendaraan. Oleh karena itu, rumah subjek tidak terlalu bising sehari-harinya dan tidak berbahaya bila anak-anak kecil bermain-main di jalan tersebut.

Subjek memiliki tinggi sekitar 160 cm dan berat lebih kurang 75 kg. Pada proses wawancara, subjek bersikap kooperatif dan membantu peneliti untuk mendapatkan data wawancara yang mendukung. Subjek juga menunjukkan harapan yang sangat besar dan antusiasme yang cukup tinggi pada peneliti untuk


(74)

bisa membantu memberikan berbagai informasi dan penanganan yang terbaik bagi anaknya yang autis.

A.2.3 Subjek 3

Subjek merupakan seorang ibu rumah tangga. Ia termasuk dalam keluarga yang berkecukupan. Subjek memiliki 3 orang anak. Anak subjek yang pertama berusia sekolah. Saat ini tengah bersekolah di sekolah lanjutan di kota Semarang. Anak subjek yang kedua saat ini berusia 12 tahun dan autis. Anak ini tidak bersekolah, akan tetapi mengikuti suatu terapi khusus untuk anak autis. Anak subjek yang ketiga masih duduk di bangku sekolah dasar.

Kondisi lingkungan rumah subjek sangat nyaman dan sejuk. Meskipun berada di lingkungan kota Semarang yang panas dan bising, kompleks rumah subjek tidak menunjukkan hal tersebut. Di sekitar rumah subjek masih terdapat pohon besar yang rindang dan jalanan kompleks yang cukup lebar namun jarang sekali ada kendaraan yang lalu lalang. Hal ini juga ditambah dengan letak rumah subjek yang berada di ujung gang, sehingga minim sekali jumlah kendaraan yang lewat.

Subjek memiliki tinggi badan sekitar 165 cm, namun berat badannya sekitar 50 kg. Oleh karena itu, ia bisa dikategorikan cukup kecil. Selama proses wawancara, subjek banyak bercerita tentang berbagai hal yang berhubungan dengan kondisi dan kemampuan yang dimiliki anaknya yang autis. Wawancara dengan subjek 3 ini selain dengan pola tanya jawab juga lebih berupa sharing pengalaman subjek yang cukup banyak, sehingga peneliti tidak perlu


(1)

(2)

(3)

LAMPIRAN 6:

Surat Keterangan Penelitian

163


(4)

(5)

(6)

Telp.(024) 6712349 HP. 081 325 373 696

SURAT

KETERANGAN

No: 047

15~';~;

( ( % / Q ? Dengan hormat,

Bersama dengan surat ini,

kami

menyatakan bahwa:

Nama: ADRIANUS DIAN WJDYATMOKO

mahiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Jogjakarta dengan nornor mahasiswa 019114061, telah rnelakukan penelitian melalui lembaga

kami

pada bulan Mei tahun 2007. Penelitian yang telah ditakukan adalah wawanma pada 2 (dm) orang klien lembaga kami, untuk melengkapi data penelitian mengenai "Pola Asuh Pada Keluarga Yang Memililu Anak Autis".

Demilaan surat keterangan ini kami ajukau untulc dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.