Perilaku Bidan Tentang Penyimpanan dan Transportasi Vaksin di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2014
PERILAKU BIDAN TENTANG PENYIMPANAN DAN
TRANSPORTASI VAKSIN DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS HELVETIA MEDAN
TAHUN 2014
NOVITA SAFITRI JAMBAK
135102100
KARYA TULIS ILMIAH
PROGRAM D-IV BIDAN PENDIDIK FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(2)
(3)
(4)
Perilaku Bidan Tentang Penyimpanan dan Transportasi Vaksin di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2014
ABSTRAK
Novita Safitri Jambak
Latar belakang : Indonesia masih menghadapi banyak masalah kesehatan yang cukup serius terutama dalam bidang kesehatan ibu dan anak. Salah satu faktor penting dalam penurunan angka kematian bayi dan balita adalah imunisasi.
Tujuan penelitian : Untuk mengetahui karakteristik responden tentang penyimpanan dan transportasi vaksin, untuk mengidentifikasi pengetahuan bidan tentang penyimpanan dan transportasi vaksin, untuk mengidentifikasi sikap bidan tentang penyimpanan dan transportasi vaksin, untuk mengidentifikasi tindakan bidan tentang penyimpanan dan transportasi vaksin.
Metodologi : Penelitian ini bersifat deskriptif. Sampel penelitian ini sebanyak 33 bidan yang terdiri dari 20 klinik dengan menggunakan pendekatan cross sectional.
Pengambilan sampling dilakukan dengan purposive sampling. Penelitian ini
dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Helvetia Medan.
Hasil : hasil penelitian diperoleh data, mayoritas responden berusia 20-30 tahun sebanyak 19 orang (57,7%), pendidikan DIII sebanyak 29 orang (87,9%), lama masa kerja 1-5 tahun sebanyak 18 orang (54,5%), sumber informasi pelatihan sebanyak 13 orang (39,4%), pengetahuan cukup sebanyak 19 orang (57,6%), sikap positif sebanyak 17 orang (51,5%), tindakan dari 20 klinik, tidak tepat sebanyak 14 klinik (70%).
Kesimpulan : Penelitian ini membuktikan pengetahuan responden masih cukup, sikap responden positif dan tindakan responden tidak tepat. Dengan demikian diharapkan bidan di wilayah kerja puskesmas Helvetia Medan agar lebih meningkatkan pengetahuannya tentang penyimpanan dan transportasi vaksin agar dapat terlaksana pelaksanaan penyimpanan dan transportasi vaksin sehingga vaksin yang diberikan masih terjaga kualitasnya.
Kata kunci : perilaku, penyimpanan, transportasi, vaksin
(5)
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti ucapkan kepada Allah SWT karena atas berkat rahmat
dan hidayah-Nya, peneliti dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul
Perilaku Bidan Tentang Penyimpanan dan Transportasi Vaksin di Wilayah Kerja
Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2014.
Dalam penyelesaian Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mengalami
kesulitan, akan tetapi berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya penulis dapat
menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini tepat pada waktunya. Untuk itu
perkenankanlah penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara.
2. Ibu Nur Asiah, S.Kep. Ns. M.Biomed Selaku Penguji I yang telah
memberikan masukan dan saran demi perbaikan Karya Tulis Ilmiah.
3. dr. Ichwanul Adenin, Sp. OG (K) selaku penguji II yang telah memberikan
masukan dan saran demi perbaikan Karya Tulis Ilmiah.
4. Ibu Nur Asnah Sitohang, S.Kep. Ns. M.Kep selaku Ketua Program Studi
D-IV Bidan Pendidik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara
dan selaku dosen pembimbing dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah,
yang telah membimbing hingga Karya Tulis Ilmiah ini selesai.
5. Seluruh dosen, staf dan pegawai administrasi Program Studi D-IV Bidan
Pendidik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
6. Ayahanda dan Ibunda, Kakanda, Abangda serta Adinda yang telah
(6)
7. Teman-teman yang telah memberikan dukungan kepada peneliti sehingga
Karya Tulis Ilmiah ini selesai.
8. Semua pihak yang mendukung peneliti dalam menyelesaikan Karya Tulis
Ilmiah ini.
Akhir kata peneliti ucapkan terimahkasih atas semua bantuan yang diberikan,
semoga mendapat anugerah dari Allah SWT. Amin Ya Robbal Alamin.
Medan, Juli 2014
(7)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR SKEMA ... x
DAFTAR SINGKATAN ... xi
DAFTAR ISTILAH ... xii
DAFTAR NAMA KLINIK ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I Pendahuluan ... 1
A.Latar Belakang ... 1
B.Rumusan Masalah ... 4
C.Tujuan Penelitian ... 5
1. Tujuan Umum ... 5
2. Tujuan Khusus ... 5
D.Manfaat Penelitian ... 5
BAB II Tinjauan Pustaka ... 7
A.Perilaku ... 7
1. Defenisi ... 7
2. Respon Perilaku ... 7
3. Proses Perubahan Perilaku ... 8
4. Perilaku Kesehatan ... 8
B.Pengetahuan... 9
1. Defenisi ... 9
2. Tingkat Pengetahuan ... 9
(8)
4. Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan ... 13
a. Umur ... 13
b. Pendidikan ... 13
c. Lama Bekerja ... 14
5. Kriteria tingkat pengetahuan ... 14
C.Sikap ... 14
1. Defenisi ... 14
2. Komponen Sikap ... 15
3. Tingkatan Sikap ... 16
4. Cara Pengukuran Sikap ... 16
D.Praktek atau Tindakan ... 17
1. Defenisi ... 17
2. Tingkatan Praktek ... 17
E. Bidan ... 18
1. Defenisi ... 18
2. Perilaku Profesional Bidan ... 19
3. Peran Bidan ... 19
4. Fungsi dan Tugas Bidan ... 20
5. Hak Bidan ... 20
6. Kewajiban Bidan ... 21
F. Imunisasi dan Vaksinasi ... 22
1. Defenisi ... 22
2. Jenis Vaksin ... 23
3. Sifat Vaksin ... 24
a. Vaksin yang sensitif terhadap beku (freeze sensitive) ... 24
b. Vaksin yang sensitif terhadap panas (heat sensitive) ... 24
4. Penyimpanan dan Transportasi Vaksin ... 25
a. Rantai Vaksin ... 27
1. Suhu Optimum Untuk Vaksin Hidup ... 27
2. Suhu Optimum Untuk Vaksin Mati ... 28
3. Kamar Dingin dan Kamar Beku ... 28
4. Lemari Es dan Freezer ... 29
(9)
7. Lemari Es dengan Pintu Membuka Ke Atas ... 32
8. Wadah Pembawa Vaksin ... 32
9. Cold Pack atau Cool Pack ... 33
b. Kualitas Vaksin ... 33
1. Kualitas Rantai Vaksin dan Tanggal Kadaluarsa ... 33
2. VVM (Vaccine Vial Monitor) ... 34
3. Freeze Watch dan Freeze Tag ... 34
4. Warna dan Kejernihan Vaksin ... 35
5. Pemilihan vaksin ... 35
6. Sisa Vaksin di Sarana Pelayanan Statis (Puskesmas, Klinik, Rumah Sakit, atau Praktek Swasta) ... 35
7. Sisa Vaksin di Sarana Pelayanan Luar Gedung ... 36
G.Dasar Dilakukan Penelitian Ini ... 37
BAB III Kerangka Konsep ... 39
A.Kerangka Konsep ... 39
B.Defenisi Operasional ... 40
BAB IV Metode Penelitian ... 42
A.Data Demografi ... 42
B.Desain Penelitian ... 42
C.Populasi dan Sampel ... 42
1. Poulasi ... 42
2. Sampel ... 43
D.Tempat Penelitian Dan Waktu Penelitian ... 43
1. Tempat Penelitian ... 43
2. Waktu Penelitian ... 44
E. Etika Penelitian ... 44
F. Instrumen Penelitian ... 45
G.Uji Validitas dan Reliabilitas ... 49
1. Uji Validitas ... 49
(10)
H.Rencana Analisa Data ... 50
I. Analisa Data ... 52
BAB V Hasil Penelitian Dan Pembahasan ... 53
A.Hasil Penelitian ... 53
1. Distribusi Karakteristik Bidan ... 54
2. Distribusi Pengetahuan Bidan Tentang Penyimpanan Dan Transportasi Vaksin...55
3. Distribusi Sikap Bidan Tentang Penyimpanan dan Tranportasi Vaksin..56
4. Distribusi Tindakan Bidan Tentang Penyimpanan dan Tranportasi Vaksin...59
B.Pembahasan ... 61
1. Interpretasi dan Diskusi Hasil ... 61
a. Karakteristik Responden Tentang Penyimpanan Dan Transportasi Vaksin di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2014....61
b. Pengetahuan Bidan Tentang Penyimpanan Dan Transportasi Vaksin di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2014 ... 63
c. Sikap Bidan Tentang Penyimpanan Dan Transportasi Vaksin di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2014 ... 66
d. Tindakan Bidan Tentang Penyimpanan Dan Transportasi Vaksin di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2014 ... 67
e. Keterbatasan Penelitian ... 68
f. Implikasi Penelitian ... 69
BAB VI Kesimpulan Dan Saran ... 70
A.Kesimpulan ... 70
B.Saran... 71
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(11)
DAFTAR TABEL
Tabel 2.f.3.a Tabel vaksin yang sensitif terhadap beku ((freeze snsitive) ... 24
Tabel 2.f.3.b Tabel vaksin yang sensitif terhadap panas (heat sensitive) ... 25 Tabel 2.f.4.a.4 Tabel perbedaan lemari es dengan pintu membuka ke depan dan ke
atas ... 30
Tabel 2.f.4.b.2 Tabel perubahan warna Vaccine Vial Monitor ... 34
Tabel 2.f.4.b.6 Tabel masa pemakaian vaksin dari vial yang sudah dibuka di sarana pelayanan statis ... 37
Tabel 3.b Defenisi Operasional ... 39
Tabel 5.1 Tabeldistribusi responden berdasarkan karakteristik data demografi bidan di wilayah kerja Puskesmas Helvetia Medan... 50
Tabel 5.2 Tabel distribusi pengetahuan responden tentang penyimpanan dan
transportasi vaksin berdasarkan item kuesioner “pengetahuan”di wilayah kerja Puskesmas Helvetia Medan tahun 2014... 52
Tabel 5.3 Tabel distribusi pengetahuan bidan tentang penyimpanan dan
tranportasi vaksin di wilayah kerja Puskesmas Helvetia Medan tahun 2014... 53
Tabel 5.4 Tabel distribusi sikap bidan tentang penyimpanan dan tranportasi
vaksin berdasarkan butir item kuesioner “sikap” di wilayah kerja Puskesmas Helvetia Medan tahun 2014... 54
Tabel 5.5 Tabel distribusi sikap bidan tentang penyimpanan dan transportasi
(12)
Tabel 5.6 Tabeldistribusi tindakan bidan tentang penyimpanan dan tranportasi vaksin berdasarkan butir item kuesioner “tindakan” di wilayah kerja Puskesmas Helvetia Medan tahun 2014...56
Tabel 5.7 Tabel distribusi tindakan bidan tentang penyimpanan dan
transportasi vaksin di wilayah kerja Puskesmas Helvetia Medan
(13)
DAFTAR SKEMA
(14)
DAFTAR SINGKATAN
Balita : Bayi dibawah Lima Tahun
BBL : Bayi Baru Lahir
BCG :Bacillus Calmette Guerin
BPS : Bidan Praktek Swasta
DNA : Deoxyribo Nucleic Acid DPT : Difteri Pertusis Tetanus
DT : Difteri Tetanus
EEFO : Early Expire First Out
FIFO : First In First Out
FIGO : Federation Of International Gynecologist Obstetrition
HB : Hepatitis B
HS : Heat Sensitive
IBI : Ikatan Bidan Indonesia
ICM : International Confederation Of Midwives
KIPI : Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
KLB : Kejadian Luar Biasa PID : Pelvic Inflamatory Disease
SDKI : Survei Kesehatan Dan Demografi Indonesia
TT : Tetanus Toxoid
UPS : Unit Pelayanan Swasta
VVM : Vaccine Vial Monitor
(15)
DAFTAR ISTILAH
Cool Pack : wadah plastik berbentuk segi empat yang berisi air dingin, digunakan untuk mencegah vaksin terpapar suhu beku selama transportasi
Cold Pack : wadah plastik berbentuk segi empat yang berisi air yang dibekukan, bila digunakan untuk transportasi vaksin golongan freeze sensitif, maka berisiko vaksin menjadi rusak
Cold Chain :seluruh peralatan (vaccine carrier, cool pack,
termometer, lemari es) dan prosedur pengelolaan vaksin ( cara membawa, cara menyimpan, cara memantau suhu, cara menggunakan) untuk menjaga vaksin pada suhu yang ditetapkan
EEFO :sistem pendistribusian/pemakaian vaksin dengan
mendahulukan vaksin yang mas kedaluwarsanya hampir habis, meskipun vaksin tersebut diterima terakhir
Freezer : tempat penyimpanan vaksin golongan peka terhadap panas (BCG, Campak, Polio)
Freezer Compartement : jenis lemari es yang dilengkapi dengan freezer
didalamnya (seperti jenis lemari rumah tangga)
Vaccine Carrier : alat untuk mengirim/membawa vaksin dari Puskesmas ke Posyandu atau tempat pelayanan imunisasi lainnya yang dapat mempertahankan suhu 2-8°C
Vaccine Freeze Sensitive : kelompok vaksin yang peka terhadap suhu beku : HB, DPT-HB, DT, DPT, dan TT
Vaccine Heat Sensitive : kelompok vaksin yang peka terhadap panas : BCG, Campak, Polio
VVM : Vaccine Vial Monitor yaitu indikator paparan panas pada vaksin, menempel pada label vaksin, dengan tanda kotak di dalam lingkaran
(16)
DAFTAR NAMA KLINIK
1. Bidan Harianja : 1 orang
2. Bidan Henny : 3 orang
3. Bidan J.B Manurung : 1 orang
4. Bidan Praktek Diana Girsang : 1 orang
5. Bidan Rismawaty : 2 orang
6. Bidan Sulastry : 1 orang
7. Klinik Bersalin Setia Budi : 1 orang
8. Klinik Bersalin WIPA : 4 orang
9. Klinik Dewi : 1 orang
10. Klinik Haryantari : 5 orang
11. Klinik Mariana : 2 orang
12. Klinik Martama : 1 orang
13. Klinik Naibaho : 1 orang
14. Klinik Rizky : 1 orang
15. Praktek Bidan Erni Naibaho : 1 orang
16. Rumah Bersalin Eka Sari : 1 orang
17. Rumah Bersalin Elly : 1 orang
18. Rumah Bersalin Hanafi : 1 orang
19. Rumah Bersalin Sinur : 3 orang
(17)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Riwayat Hidup
Lampiran 2 : Lembar Penjelasan Kepada Calon Responden
Lampiran 3 : Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan
Lampiran 4 : Kuesioner
Lampiran 5 : Surat Izin Penelitian Instansi Pendidikan
Lampiran 6 : Surat Balasan Izin Penelitian Puskesmas Helvetia Medan
Lampiran 7 : Master Tabel
(18)
Perilaku Bidan Tentang Penyimpanan dan Transportasi Vaksin di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2014
ABSTRAK
Novita Safitri Jambak
Latar belakang : Indonesia masih menghadapi banyak masalah kesehatan yang cukup serius terutama dalam bidang kesehatan ibu dan anak. Salah satu faktor penting dalam penurunan angka kematian bayi dan balita adalah imunisasi.
Tujuan penelitian : Untuk mengetahui karakteristik responden tentang penyimpanan dan transportasi vaksin, untuk mengidentifikasi pengetahuan bidan tentang penyimpanan dan transportasi vaksin, untuk mengidentifikasi sikap bidan tentang penyimpanan dan transportasi vaksin, untuk mengidentifikasi tindakan bidan tentang penyimpanan dan transportasi vaksin.
Metodologi : Penelitian ini bersifat deskriptif. Sampel penelitian ini sebanyak 33 bidan yang terdiri dari 20 klinik dengan menggunakan pendekatan cross sectional.
Pengambilan sampling dilakukan dengan purposive sampling. Penelitian ini
dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Helvetia Medan.
Hasil : hasil penelitian diperoleh data, mayoritas responden berusia 20-30 tahun sebanyak 19 orang (57,7%), pendidikan DIII sebanyak 29 orang (87,9%), lama masa kerja 1-5 tahun sebanyak 18 orang (54,5%), sumber informasi pelatihan sebanyak 13 orang (39,4%), pengetahuan cukup sebanyak 19 orang (57,6%), sikap positif sebanyak 17 orang (51,5%), tindakan dari 20 klinik, tidak tepat sebanyak 14 klinik (70%).
Kesimpulan : Penelitian ini membuktikan pengetahuan responden masih cukup, sikap responden positif dan tindakan responden tidak tepat. Dengan demikian diharapkan bidan di wilayah kerja puskesmas Helvetia Medan agar lebih meningkatkan pengetahuannya tentang penyimpanan dan transportasi vaksin agar dapat terlaksana pelaksanaan penyimpanan dan transportasi vaksin sehingga vaksin yang diberikan masih terjaga kualitasnya.
Kata kunci : perilaku, penyimpanan, transportasi, vaksin
(19)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia masih menghadapi banyak masalah kesehatan yang cukup serius
terutama dalam bidang kesehatan ibu dan anak. Salah satu faktor penting dalam
penurunan angka kematian bayi dan balita (bayi dibawah lima tahun) adalah
imunisasi. Banyak penyakit menular yang dapat menyebabkan kematian seperti
difteri, tetanus, hepatitis B, dan masih banyak penyakit lainnya (Proverawati, 2010,
hlm 20).
Sejarah imunisasi di Indonesia dimulai pada tahun 1956 dengan imunisasi
cacar. Tahun berikutnya imunisasi tidak berkembang signifikan, perkembangan baru
dirasakan pada tahun 1973 dengan dilakukannya imunisasi BCG untuk
menanggulangi penyakit tuberkulosis. Disusul imunisasi Tetanus Toxoid pada ibu
hamil pada tahun 1974, kemudian imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) pada
bayi diadakan pada tahun 1976 (Proverawati, 2010, hlm 20).
Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara
aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang
serupa, tidak terjadi penyakit (Maryunani, 2010, hlm. 208). Sedangkan vaksinasi
adalah imunisasi aktif dengan pemberian vaksin (antigen) yang dapat merangsang
pembentukan imunitas (antibodi) dari sistem imun di dalam tubuh (Ranuh. et. all,
(20)
Imunisasi yang wajib diberikan pada balita di bawah 12 bulan adalah BCG,
hepatitis B, polio, DPT dan campak. Imunisasi ini berfungsi untuk mencegah
penyakit yang dapat menimbulkan kematian serta kecacatan seperti TBC, Hepatitis
dan Polio. Sedangkan reaksi masing-masing imunisasi juga berbeda-beda pada setiap
anak, tergantung pada penyimpanan vaksin dan sensitivitas tiap anak (Marimbi,
2010, hlm. 122).
Terkait dengan prosedur penyimpanan, vaksin yang disimpan dan diangkut
secara tidak benar akan kehilangan potensinya. Instruksi pada lembar penyuluhan
(brosur) informasi produk harus disertakan. Aturan umum untuk sebagian besar
vaksin, bahwa vaksin harus didinginkan pada temperatur 2-8° C dan tidak membeku.
Sejumlah vaksin (DPT, Hib, Hepatitis B dan Hepatitis A) akan tidak aktif bila beku
(Muhadir, 2012, ¶ 5).
Vaksin akan rusak apabila temperatur terlalu tinggi atau terkena sinar matahari
langsung, seperti vaksin polio oral (OPV), BCG, dan campak. Apabila disimpan
dalam suhu yang terlalu dingin atau beku, seperti toksoid difteri, toksoid tetanus,
vaksin pertusis (DPT, DT), hepatitis B dan vaksin influenza. Vaksin polio boleh
membeku dan mencair tanpa membahayakan potensinya, selain itu cairan pelarut
tidak boleh beku karena botol bisa pecah dan adjuvant akan rusak. Vaksin yang
sudah dilarutkan lebih cepat rusak. Sekali vaksin hilang akibat panas atau beku,
maka potensinya tidak dapat dikembalikan, walaupun temperatur sudah disesuaikan
kembali, sehingga cara penyimpanan vaksin harus bisa menjamin potensi vaksin
tidak akan berubah. Potensi vaksin hanya bisa diketahui dengan pemeriksaan
(21)
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Kristini (2008) tentang
faktor-faktor risiko kualitas pengelolaan vaksin program imunisasi yang buruk di Unit
Pelayanan Swasta (studi kasus di kota Semarang), diperoleh hasil penelitian bahwa
kualitas pengelolaan vaksin yang buruk terdapat di 84 UPS (Unit Pelayanan Swasta)
(60.9%), suhu lemari es >8°C terdapat di 72 UPS (52,2%), VVM (Vaccine Vial
Monitor) C ditemukan di 31 UPS (22,5%), vaksin beku ditemukan di 15 UPS (10,9%) dan vaksin kadaluwarsa ditemukan di enam UPS (4,5%), yang merupakan
faktor dari kurang baiknya pengetahuan dan sikap petugas kesehatan (Kristini, 2013,
¶ 4) .
Sedangkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Sari (2011) tentang
pengetahuan dan sikap bidan terhadap penyimpanan dan transportasi vaksin di
Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang tahun 2011, diperoleh hasil bahwa
pengetahuan dan sikap bidan tentang penyimpanan dan transportasi vaksin dari 58
responden berdasarkan umur tidak ada responden yang berpengetahuan kurang dan
tingkat pengetahuan cukup sebanyak 37 orang (63,8%) dan dari umur 31-40 tahun
terdapat 17 orang (38,7%) responden bersikap positif.
Upaya imunisasi di Indonesia dapat dikatakan telah mencapai tingkat yang
memuaskan. Dalam pencapaian tujuan imunisasi memang sangat penting dalam
melakukan evaluasi dan pengamatan kualitas pelayanan imunisasi yang sangat erat
kaitannya dengan bagaimana cara penyimpanan dan transportasi vaksin, cara
pemberian imunisasi, sterilisasi peralatan imunisasi dan pemeliharaan rantai dingin
(cold chain). Penanganan dan pengelolaan yang tidak benar akan menyebabkan vaksin tidak lagi bermanfaat, dan mengakibatkan terjadinya suatu penyakit dan
(22)
adanya kepercayaan terhadap masyarakat dan berpengaruh terhadap pencapaian
imunisasi yang ditargetkan dan ditetapkan oleh Program Imunisasi Nasional
(Muslihatum, 2010, hlm. 35).
Namun, dari Survei Kesehatan dan Demografi Indonesia (SKDI) (2005),
diketahui bahwa pada dua tahun terakhir cakupan imunisasi dan kualitas vaksinasi
tampak menurun (Ranuh. et. all, 2011, hlm. 11). Masih banyaknya petugas kesehatan
yang beranggapan asal di dalam pendingin maka vaksin sudah aman. Bahkan masih
banyak yang punya pemahaman bahwa makin dingin tempat penyimpanan vaksin
makin baik bagi vaksin. (Muhadir, 2012, ¶ 4).
Kurangnya kesadaran terhadap pentingnya cara penyimpanan dan transportasi
yang benar terhadap vaksin untuk menunjang pencapain tujuan pemberian imunisasi,
mengakibatkan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap keefektifan imunisasi
membuat peneliti merasa tertarik melakukan penelitian tentang perilaku bidan
tentang penyimpanan dan transportasi vaksin imunisasi di wilayah kerja Puskesmas
Helvetia Medan tahun 2014.
B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana perilaku bidan
tentang penyimpanan dan transportasi vaksin imunisasi di wilayah kerja Puskesmas
(23)
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui perilaku bidan tentang penyimpanan dan transportasi
vaksin di wilayah kerja Puskesmas Helvetia Medan tahun 2014.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui karakteristik responden tentang penyimpanan dan
transportasi vaksin.
b. Untuk mengidentifikasi pengetahuan bidan tentang penyimpanan dan
transportasi vaksin.
c. Untuk mengidentifikasi sikap bidan tentang penyimpanan dan transportasi
vaksin.
d. Untuk mengidentifikasi tindakan bidan tentang penyimpanan dan
transportasi vaksin.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Penelitian ini adalah sebagai aplikasi metodologi penelitian yang telah
didapat selama perkuliahan, serta menambah pengetahuan dan pengalaman
peneliti tentang penyimpanan dan transportasi vaksin.
2. Bagi Bidan
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai informasi untuk upaya peningkatan
mutu kesehatan, khususnya tentang cara penyimpanan dan transportasi vaksin
(24)
3. Bagi Institusi Puskesmas
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi
penanggungjawab program imunisasi guna perbaikan kualitas pelayanan
imunisasi.
4. Bagi penelitian selanjutnya
Hasil penelitian ini bermanfaat bagi peneliti berikutnya untuk menambah data
dalam meneliti perilaku bidan tentang penyimpanan dan transportasi vaksin
(25)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku
1. Definisi
Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu tindakan
yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik
disadari maupun tidak. Perilaku merupakan kumpulan berbagai faktor yang saling
berinteraksi. Sering tidak disadari bahwa interaksi tersebut amat kompleks sehingga
kadang-kadang kita tidak sempat memikirkan penyebab seseorang menerapkan
perilaku tertentu (Wawan, 2010, hlm. 48).
Sedangkan menurut Mubarak (2011), perilaku merupakan seperangkat
perbuatan atau tindakan seseorang dalam melakukan respon terhadap sesuatu dan
kemudian dijadikan kebiasaan karena adanya nilai yang diyakini (Mubarak, 2011,
hlm. 79).
2. Respon Perilaku
Menurut Skinner 1938 dalam Wawan (2008), seorang ahli perilaku
mengemukakan bahwa perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang
(stimulus), tanggapan (respon) dan respon. Ia membedakan adanya 2 respon, yakni :
respondent respon atau reflexive respon merupakan respon yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan tertentu. Dan operant respon atau instrumental respon
merupakan respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang tertentu.
Perangsang semacam ini disebut reinforcing stimuli atau reinforcer karena
rangsangan tersebut memperkuat respon yang telah dilakukan oleh organisme
(26)
3. Proses Perubahan Perilaku
Proses perubahan perilaku mencakup lima fase berikut, fase pertama yaitu
fase pencairan (unfreezing phase), yaitu individu dimulai mempertimbangkan
penerimaan terhadap perubahan. Fase kedua yaitu fase diagnosis masalah (problem diagnosis phase), yaitu individu mulai mengidentifikasi segala sesuatu, baik yang mendukung maupun menentang perubahan. Fase ketiga yaitu fase penentuan tujuan
(goal setting phase), yaitu individu menentukan tujuan sesuai dengan perubahan
yang diterimanya. Fase yang keempat yaitu fase tingkah laku baru (new behavior
phase), yaitu individu mulai mencoba. Dan fase yang kelima yaitu fase pembekuan ulang (refreezing phase), yaitu tingkah laku individu yang permanen (Mubarak, 2011, hlm. 88).
4. Perilaku Kesehatan
Berdasarkan batasan perilaku dari Skinner tersebut, maka perilaku kesehatan
adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang
berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan
minuman, serta lingkungan (Notoatmodjo, 2003, hlm. 116).
Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3
kelompok, yang pertama yaitu perilaku pemeliharaan kesehatan (health
maintanance) merupakan perilaku atau usaha-usaha untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Yang
kedua yaitu perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan
kesehatan yaitu merupakan perilaku yang menyangkut upaya atau tindakan seseorang
pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan. Serta yang ketiga yaitu perilaku
(27)
lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya, sehingga lingkungan
tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya (Notoatmodjo, 2003, hlm. 118).
B. Pengetahuan (Knowledge) 1. Definisi
Pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang
mengadakan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihtan, pendengaran, penciuman, rasa
dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga
(Notoatmodjo, 2003, hlm. 127).
2 . Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif
mempunyai 6 tingkatan. Tingkatan yang pertama yaitu “tahu” diartikan sebagai
mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam
pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang
spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
Setelah seseorang tahu akan pengetahuan yang diperolehnya maka ia akan mengarah
menuju tingkatan yang kedua yaitu memahami. Memahami itu sendiri diartikan
sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang
diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar (Notoatmodjo,
2003, hlm. 123).
Dari hasil tahu dan memahami akan suatu pengetahuan itu maka seseorang
akan menuju tingkatan yang selanjutnya yaitu mengaplikasikannya. Aplikasi
diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada
(28)
maka seseorang akan menganalisa pengetahuan yang diperolehnya. Analisa itu
sendiri adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke
dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan
masih ada kaitannya satu sama lain (Notoatmodjo, 2003, hlm. 123).
Setelah semua pengetahuan diaplikasikan maka seseorang akan berusaha
untuk menuju ke tingkatan yang selanjutnya yaitu mengsintesiskan pengetahuan
yang diperolehnya. Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru
dari formulasi-formulasi yang ada. Selanjutnya pengetahuan yang diperoleh akan
dievaluasi terlebih dahulu kebenarannya. Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan
untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek
(Notoatmodjo, 2003, hlm. 123).
3. Cara Memperoleh Pengetahuan
Untuk memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah, dapat
dikelompokkan menjadi dua, yakni: cara tradisional atau nonilmiah, yakni tanpa
melalui penelitian ilmiah, dan cara modern atau cara ilmiah, yakni melalui proses
penelitian. Cara kuno atau tradisional ini dipakai orang untuk memperoleh kebenaran
pengetahuan, sebelum ditemukannya metode ilmiah atau metode penemuan secara
sistematik dan logis (Notoatmodjo, 2010, hlm. 11).
Cara-cara penemuan pengetahuan pada periode ini terdapat 10 macam cara.
Yang pertama yaitu cara coba-salah (trial and error) yaitu merupakan upaya
pemecahannya dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam memecahkan
masalah, dan apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil, dicoba kemungkinan yang
(29)
kemungkinan ketiga dan seterusnya, sampai masalah tersebut dapat terpecahkan
(Notoatmodjo, 2010, hlm. 11).
Cara yang kedua yaitu secara kebetulan yang merupakan penemuan
kebenaran secara kebetulan terjadi karena tidak disengaja oleh orang yang
bersangkutan. Cara yang ketiga yaitu cara kekuasaan atau otoriter yaitu sumber
pengetahuan tersebut dapat berupa pemimpin-pemimpin masyarakat baik formal
maupun informal, ahli agama, pemegang pemerintah dan sebagainya. Dengan kata
lain pengetahuan tersebut diperoleh berdasarkan pada otoritas atau kekuasaan, baik
tradisi, otoritas pemerintah, otoritas atau kekuasaan ahli ilmu pengetahuan
(Notoatmodjo, 2010, hlm. 12).
Cara yang keempat yaitu berdasarkan pengalaman pribadi, pengalaman
adalah guru yang baik, demikian bunyi pepatah. Pepatah ini mengandung maksud
bahwa pengalaman itu merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu
merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu
pengalaman pribadi pun digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan. Hal ini
dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam
memecahkan masalah yang dihadapi, maka untuk memecahkan masalah lain yang
sama, orang dapat pula menggunakan cara tersebut (Notoatmodjo, 2010, hlm. 13).
Cara yang kelima yaitu cara akal sehat, dimana akal sehat atau common sense
kadang-kadang dapat menemukan teori atau kebenaran. Sebelum ilmu pendidikan
ini berkembang, para orang tua zaman dahulu agar anaknya mau menuruti nasihat
orang tuanya, atau agar anak disiplin menggunakan cara hukuman fisik bila anaknya
berbuat salah. Cara keenam yaitu kebenaran melalui wahyu yang mana ajaran dan
dogma agama adalah suatu kebenaran yang diwahyukan dari Tuhan melalui para
(30)
bersangkutan, terlepas dari apakah kebenaran tersebut rasional atau tidak. Sebab
kebenaran ini diterima oleh para Nabi adalah sebagai wahyu dan bukan karena hasil
usaha penalaran atau penyelidikan (Notoatmodjo, 2010, hlm. 14).
Cara yang ketujuh yaitu kebenaran secara intuitif dimana kebenaran secara
intuitif diperoleh manusia secara cepat sekali melalui proses di luar kesadaran dan
tanpa melalui proses penalaran atau berpikir. Kebenaran yang diperoleh melalui
intuitif sukar dipercaya karena kebenaran ini tidak menggunakan cara-cara yang
rasional dan sistematis. Kebenaran ini diperoleh seseorang hanya berdasarkan intuisi
atau suara hati atau bisikan hati saja (Notoatmodjo, 2010, hlm. 15).
Cara yang kedelapan yaitu melalui jalan pikiran, sejalan dengan
perkembangan kebudayaan umat manusia. Cara berfikir manusia pun ikut
berkembang, dari sini manusia telah mampu menggunakan penalarannya dalam
memperoleh pengetahuannya, baik melalui induksi maupun deduksi. Induksi dan
deduksi pada dasarnya merupakan cara melahirkan pemikiran secara tidak langsung
melalui pernyataan-pernyataan yang dikemukakan, kemudian dicari hubungannya
sehingga dapat dibuat suatu kesimpulan itu melalui pernyataan-pernyataan khusus
kepada yang umum dinamakan induksi. Sedangkan deduksi adalah pembuatan
kesimpulan dari pernyataan-pernyataan umum kepada yang khusus (Notoatmodjo,
2010, hlm. 15).
Cara yang kesembilan yaitu secara Induksi yaitu merupakan proses berpikir
induksi itu beranjak dari hasil pengamatan indra atau hal-hal yang nyata, maka dapat
dikatakan bahwa induksi beranjak dari hal-hal yang konkret kepada hal yang
abstrak. Cara yang kesepuluh yaitu secara deduksi yaitu merupakan pembuatan
kesimpulan dari pernyataan-pernyataan umum ke khusus. Di dalam proses berpikir
(31)
tertentu, berlaku juga kebenarannya pada semua peristiwa yang terjadi pada setiap
yang termasuk dalam kelas itu. Di sini terlihat proses berpikir berdasarkan pada
pengetahuan yang umum mencapai pengetahuan yang khusus (Notoatmodjo, 2010,
hlm. 16).
Selain cara tradisional atau nonilmiah pengetahuan dapat diperoleh dengan
cara modern atau ilmiah. Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan
pada dewasa ini lebih sistematis, logis dan ilmiah. Cara ini disebut “metode
penelitian ilmiah” atau lebih popular disebut metodologi penelitian (Notoatmodjo,
2010, hlm. 18)
4. Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan
a. Umur
Dengan bertambahnya umur seseorang akan mengalami perubahan aspek
fisik dan psikologis (mental). Secara garis besar, pertumbuhan fisik terdiri atas empat
kategori perubahan yaitu perubahan ukuran, perubahan proporsi, hilangnya ciri-ciri
lama, dan timbulnya ciri-ciri baru. Perubahan ini terjadi karena pematangan fungsi
organ. Pada aspek psikologis atau mental, taraf berfikir seseorang menjadi semakin
matang dan dewasa (Mubarak, 2011, hlm. 83).
b. Pendidikan.
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang lain
agar dapat memahami sesuatu hal. Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin tinggi
pendidikan seseorang, semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada
akhirnya pengetahuan yang dimilikinya akan semakin banyak. Sebaliknya, jika
seseorang memiliki tingkat pendidikan yang rendah, maka akan menghambat
perkembangan sikap orang tersebut terhadap penerimaan informasi dan nilai-nilai
(32)
c. Lama Bekerja
Masa kerja adalah rentang waktu yang telah ditempuh oleh seorang bidan
dalam melaksanakan tugasnya, selama waktu itulah banyak pengalaman dan
pelajaran yang dijumpai sehingga sudah mengerti apa keinginan dan harapan klien
kepada seorang bidan (Wawan, 2010, hlm. 17).
5. Kriteria Tingkat Pengetahuan
Menurut Arikunto 2006 dalam Wawan (2010), pengetahuan seseorang dapat
diketahui dan diinterpretasikan dengan skala yang bersifat kualitatif, yaitu:
1) Baik : hasil presentase 76% - 100%
2) Cukup : hasil presentase 56% - 75%
3) Kurang : hasil presentase < 56 % (Wawan, 2010, hlm.18).
C. Sikap 1. Defenisi
Menurut Eagly & Chaiken 1993 dalam Wawan (2010) , mengemukakan
bahwa sikap dapat diposisikan sebagai hasil evaluasi terhadap objek sikap, yang
diekspresikan ke dalam proses-proses kognitif, afektif, dan perilaku. Sedangkan
Aiken (dalam Mitchell, 1990) mengemukakan bahwa sikap adalah suatu predisposisi
yang dipelajari untuk merespon secara konsisten, baik positif maupun negatif
terhadap suatu objek. Melalui sikap, kita memahami proses kesadaran yang
menentukan tindakan nyata dan mungkin dilakukan individu dalam kehidupan
(33)
Defenisi tersebut diatas menunjukkan bahwa secara garis besar sikap terdiri
dari komponen kognitif (ide yang umumnya berkaitan dengan pembicaraan dan
dipelajari), perilaku (cenderung mempengaruhi respon sesuai dan tidak sesuai), dan
emosi (menyebabkan respon-respon yang konsisten) (Wawan, 2010, hlm. 31).
2. Komponen Sikap
Menurut Azwar 2000 dalam Wawan (2010), struktur sikap terdiri atas 3
komponen yang saling menunjang. Komponen yang pertama yaitu komponen
kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap,
komponen kognitif berisi kepercayaan stereotipe yang dimiliki individu mengenai
sesuatu dapat disamakan penanganan (opini) terutama apabila menyangkut masalah
isu atau problem yang kontroversial. Komponen yang kedua yaitu komponen afektif
yang mana merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek
emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan
merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin
adalah mengubah sikap seseorang, komponen afektif disamakan dengan perasaan
yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu (Wawan, 2010, hlm. 32).
Komponen yang ketiga yaitu Komponen konatif yang merupakan aspek
kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimilki oleh
seseorang. Dan berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak dan bereaksi
terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Dan berkaitan dengan objek yang
dihadapinya adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang adalah
(34)
3. Tingkatan Sikap
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari 4 tingkatan.
Tingkatan yang pertama yaitu tingkatan menerima (receiving), dimana menerima
diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan
(objek). Tingkatan yang kedua yaitu tingkatan dalam merespon (responding), dimana memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang
diberikan adalah suatu indikasi sikap karena dengan suatu usaha untuk menjawab
pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan. Lepas pekerjaan itu benar atau
salah adalah berarti orang itu menerima ide tersebut (Notoatmodjo, 2003, hlm. 126).
Tingkatan yang ketiga yaitu tingkatan menghargai (valuting), dimana proses mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain
terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Tingkatan yang
kelima atau yang terakhir yaitu tingkatan bertanggungjawab (responsible), dimana bertanggungjawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko
adalah mempunyai sikap yang paling tinggi (Notoatmodjo, 2003, hlm. 126).
4. Cara Pengukuran Sikap
Menurut Notoatmodjo 2003 dalam wawan (2010), pengukuran sikap dapat
dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan
bagaimana pendapat atau pertanyaan responden terhadap suatu objek. Secara tidak
langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis kemudian
ditanyakan pendapat responden melalui kuesioner (Wawan, 2010, hlm. 37).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil pengukuran sikap yang
meliputi keadaan objek yang diukur, situasi pengukuran, alat ukur yang digunakan,
penyelenggaraan pengukuran, serta pembacaan atau penilaian hasil pengukuran
(35)
D. Praktek atau Tindakan (Practise) 1. Definisi
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior).
Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor
pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas.
Sikap ibu yang sudah positif terhadap imunisasi harus mendapat konfirmasi dari
suaminya, dan ada fasilitas imunisasi yang mudah dicapai, agar ibu tersebut
mengimunisasikan anaknya. Di samping faktor fasilitas juga diperlukan faktor
dukungan (support) dari pihak lain, misalnya suami atau istri, orang tua atau mertua,
dan lain-lain (Notoatmodjo, 2003, hlm. 127).
2. Tingkatan Praktek
Praktek atau tindakan ini terdiri dari 4 tingkatan, yaitu: yang pertama
persepsi (perception) yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan
dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.
Tingkatan yang kedua yaitu respon terpimpin (guide respons) yang mana dapat
melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah
merupakan indikator praktek tingkat kedua (Notoatmodjo, 2003, hlm. 127).
Tingkatan yang ketiga mekanisme (mecanism) yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah
merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga. Tingkatan yang
terakhir atau yang keempat yaitu adaptasi (adaptation), dimana adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu
sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut
(36)
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan
wawancara terhadap kegiatan – kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari,
atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden (Notoatmodjo, 2003,
hlm. 128).
E. Bidan 1. Definisi
Definisi bidan menurut ICM (International Confederation Of Midwives) ke
27, bulan juli 2005, yang diakui oleh WHO dan Federation of International
Gynecologist Obstetrition (FIGO), “Bidan adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan bidan yang diakui oleh negara serta memperoleh
kualifikasi dan diberi izin untuk menjalankan praktek kebidanan di negeri itu”
(Hidayat & Mufdlilah, 2008. hlm. 13) .
Bidan adalah seorang yang telah mengikuti dan menyelesaikan pendidikan
bidan yang telah diakui oleh pemerintah dan lulus ujian sesuai dengan persyaratan
yang berlaku, jika melakukan praktik yang bersangkutan harus mendaftar untuk
mendapatkan izin praktik dari lembaga yang berwenang dalam melaksanakan asuhan
sesuai dengan kebutuhan pada: wanita hamil, bersalin, nifas, BBL, bayi dan balita
(bayi dibawah lima tahun) (Hidayat & Mufdlilah, 2008. hlm. 14) .
IBI menetapkan bahwa bidan Indonesia adalah seorang wanita yang lulus dari
pendidikan bidan yang diakui pemerintah dan organisasi profesi di wilayah Negara
Republik Indonesia serta memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk diregister,
sertifikasi dan atau secara sah mendapat lisensi untuk menjalankan praktik kebidanan
(37)
2. Perilaku Profesional Bidan
Dalam melaksanakan tugas atau prakteknya dalam pelayanan kebidanan
bidan memiliki perilaku yang profesional. Dalam melaksanakan tugasnya, bidan
berpegang teguh pada filosofi etika profesi dan aspek legal. Bertanggung jawab
dalam keputusan klinis yang dibuatnya. Senantiasa mengikuti perkembangan
pengetahuan dan keterampilan mutakhir secara berkala. Menggunakan cara
pencegahan universal untuk penyakit, penularan dan strategi pengendalian infeksi.
Melakukan konsultasi dan rujukan yang tepat dalam memberikan asuhan kebidanan.
Menghargai dan memanfaatkan budaya setempat sehubungan dengan praktik
kesehatan, kehamilan, kelahiran, periode pasca persalinan, bayi baru lahir dan anak
(Hidayat & Mufdlilah, 2008. hlm. 53).
Menggunakan model kemitraan dalam bekerjasama dengan kaum wanita atau
ibu agar mereka dapat menentukan pilihan yang telah diinformasikan tentang semua
aspek asuhan, meminta persetujuan secara tertulis supaya mereka bertanggung
jawab atas kesehatannya sendiri. Menggunakan keterampilan mendengar dan
memfasilitasi. Bekerjasama dengan petugas kesehatan lain untuk meningkatkan
pelayanan kesehatan ibu dan keluarga. Advokasi terhadap ibu dalam tatanan
pelayanan (Hidayat & Mufdlilah, 2008. hlm. 53).
3. Peran Bidan
Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan seseorang pada situasi
sosial tertentu. Menurut Kozier 1995 dalam Mubarak (2011), menyatakan bahwa
peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap
sseseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh
keadaan sosial, baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran bidan
(38)
menyelesaikan pendidikan formalnya yang diakui dan diberi kewenangan oleh
pemerintah untuk menjalankan tugas dan tanggungjawab kebidanan secara
profesional sesuai dengan kode etik profesional (Mubarak, 2011, hlm. 106).
4. Fungsi Dan Tugas Bidan
Fungsi dan tugas bidan dalam melaksanakan pelayanan kebidanan
dijelaskan sebagai berikut ini:
a. Fungsi : pekerjaan yang harus dilakukan sesuai dengan peranannya (Hidayat
& Mufdlilah, 2008. hal. 48).
b. Tugas : kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan untuk memenuhi
fungsinya, tugasnya adalah perincian dari fungsi (yang harus
dilakukan sehubungan dengan hak wewenang dan
tanggungjawabnya) (Hidayat & Mufdlilah, 2008. hal. 48).
5. Hak Bidan
Bidan memiliki hak dalam melaksanakan tugas dan prakteknya dalam
pelayanan kebidanan yang diberikannya, berikut ini adalah hak bidan yaitu:
a. Bidan berhak mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas
sesuai dengan profesinya.
b. Bidan berhak untuk bekerja sesuai dengan standar profesi pada setiap
tingkatan atau jenjang pelayanan kesehatan.
c. Bidan berhak menolak keinginan pasien atau klien dan keluarga yang
bertentangan dengan peraturan perundangan, dan kode etik profesi.
d. Bidan berhak atas privasi atau kedirian dan menuntut apabila nama baiknya
dicemarkan baik oleh pasien, keluarga maupun profesi lain.
e. Bidan berhak atas kesempatan untuk meningkatkan diri baik melalui
(39)
f. Bidan berhak atas kesempatan untuk meningkatkan jenjang karir dan jabatan
yang sesuai.
g. Bidan berhak mendapat kompensasi dan kesejahteraan yang sesuai
(Wahyuningsih, 2005, hlm. 28).
6. Kewajiban Bidan
Berikut ini adalah kewajiban bidan dalam melaksanakan tugas dan
prakteknya dalam pelayanan kebidanan.
a. Bidan wajib mematuhi peraturan rumah sakit sesuai dengan hubungan hukum
antara bidan tersebut dengan rumah sakit bersalin dan sarana pelayanan
dimana ia bekerja.
b. Bidan wajib memberikan pelayanan asuhan kebidanan sesuai dengan standar
profesi dengan menghormati hak-hak pasien.
c. Bidan wajib merujuk pasien dengan penyulit kepada dokter yang mempunyai
kemampuan dan keahlian sesuai dengan kebutuhan pasien.
d. Bidan wajib memberi kesempatan kepada pasien untuk didampingi oleh
suami atau keluarga.
e. Bidan wajib memberikan kesempatan kepada pasien untuk menjalankan
ibadah sesuai dengan keyakinannya.
f. Bidan wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang
pasien.
g. Bidan wajib memberikan informasi yang akurat tentang tindakan yang akan
dilakukan serta resiko yang mungkin dapat terjadi.
h. Bidan wajib meminta persetujuan tertulis (Informed Consent) atas tindakan yang akan dilakukan.
(40)
j. Bidan wajib mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi serta
menambah ilmu pengetahuannya melalui pendidikan formal atau non formal.
k. Bidan wajib bekerja sama dengan profesi lain dan pihak yang terkait secara
timbal balik dalam memberikan asuhan kebidanan (Wahyuningsih, 2005,
hlm. 29).
F. Imunisasi Dan Vaksinasi 1. Definisi
Menurut Matondang 2005 dalam Maryunani (2010), Imunisasi adalah suatu
cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen,
sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa, tidak terjadi penyakit
(Maryunani, 2010, hlm. 208).
Sedangkan vaksinasi merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja
memberikan paparan dengan antigen yang berasal dari suatu patogen. Antigen yang
diberikan telah dibuat sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun
mampu memproduksi limfosit yang peka sebagai antibodi dan sel memori. Cara ini
meniru infeksi alamiah yang tidak menimbulkan sakit namun cukup memberikan
kekebalan (Ranuh, et all, 2011, hlm. 8).
Tujuannya adalah memberikan “infeksi ringan” yang tidak berbahaya namun
cukup untuk menyiapkan respon imun sehingga apabila terjangkit penyakit yang
sesungguhnya di kemudian hari anak tidak menjadi sakit karena tubuh dengan cepat
membentuk antibodi dan mematikan antigen atau penyakit yang masuk tersebut
(41)
2. Jenis Vaksin
Pada dasarnya, vaksin dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu : Live attenuated
(bakteri atau virus yang dilemahkan) dan Inaclivated (bakteri, virus atau
komponennya yang dibuat tidak aktif). Sifat vaksin attenuated dan Inaclivated
berbeda sehingga hal ini menentukan bagaimana vaksin ini digunakan (Ranuh. el. all,
2011, hml. 134).
Vaksin terdiri dari kuman atau virus yang dilemahkan, masih antigenik
namun tidak patogenik. Contohnya adalah virus polio oral, campak, rubella dan
BCG. Oleh karena vaksin diberikan sesuai infeksi alamiah (oral), virus dalam vaksin
akan hidup dan berkembang biak di epitel saluran cerna, sehingga akan memberikan
kekebalan lokal. Sekresi antibodi IgA lokal yang ditingkatkan akan mencegah virus
liar yang masuk ke dalam sel tubuh (Ranuh. el. all, 2011, hml. 134).
Vaksin Inactivated (vaksin mati) jelas tidak patogenik dan tidak berkembang biak dalam tubuh. Contohnya vaksin pertusis dan inactivated poliomyelitis (IPV). Oleh karena itu diperlukan pemberian beberapa kali (Ranuh. el. all, 2011, hml. 136).
Susunan vaksin rekombinan (misal hepatitis B) memerlukan epitop
organisme yang patogen. Contohnya vaksin pneumococcus, hepatitis B, influenza.
Sintesa dari antigen vaksin tersebut melalui isolasi dan penentuan kode gen epitop
bagi sel penerima vaksin (Ranuh. el. all, 2011, hml. 139).
Vaksin toksoid merupakan vaksin yang paling berhasil dari semua vaksin
bakteri adalah vaksin tetanus dan difteri. Bahan yang bersifat imunogenik dibuat dari
toksin kuman. Pemanasan dan penambahan formalin biasanya digunakan dalam
proses pembuatannya. Hasil dari pembuatan bahan toksoid efektif selama satu tahun.
Bahan adjuvan digunakan untuk memperlama rangsangan antigenik dan
(42)
Dan yang terakhir adalah Vaksin plasma DNA (plasmid DNA vaccines).
Vaksin ini berdasarkan isolasi DNA mikroba yang mengandung kode antigen yang
patogen dan saat ini sedang dalam perkembangan penelitian. Hasil akhir penelitian
pada binatang percobaan menunjukkan bahwa vaksin DNA (virus dan bakteri)
merangsang respon humoral dan selular yang kuat, sedangkan penelitian klinis pada
manusia saat ini sedang dilakukan (Marimbi, 2010, hlm. 123).
3. Sifat Vaksin
Sifat vaksin digolongkan berdasarkan pada kepekaan atau sensitivitasnya
terhadap suhu. Sifat-sfat vaksin tersebut, yaitu :
a. Vaksin yang sensitif terhadap beku (freeze senzitive) merupakan vaksin yang rusak bila terpapar dengan suhu dingin atau suhu pembekuan (0°). Vaksin
yang tergolong dalam sifat ini, antara lain vaksin Hepatitis B, vaksin
DPT-HB, DT, dan TT (Maryunani, 2010, hlm. 225).
Tabel vaksin yang sensitif terhadap beku
Vaksin Pada Suhu Dapat Bertahan
Selama Hepatitis B,
DPT-HB 0,5° C Maksimal 30 menit
DPT, DT, TT 5° C s/d 10° C Maksimal 1,5 – 2
jam DPT,
DPT-HB, DT
Beberapa °C di atas suhu udara luar
(ambient temperatur < 34° C) 14 hari
HB dan TT Beberapa ° C di atas suhu udara luar
(ambient temperatur < 34° C) 30 hari
b. Vaksin yang sensitif terhadap panas (Heat Sensitive) merupakan golongan vaksin yang akan rusak jika terpapar dengan suhu panas yang berlebihan.
Vaksin yang mempunyai sifat seperti ini, antara lain vaksin Polio, vaksin
(43)
Tabel F.3b vaksin yang sensitif terhadap panas
Vaksin Pada Suhu Dapat Bertahan
Selama
Polio Beberapa ° C di atas suhu udara
luar (ambient temperature < 34° C)
2 hari
Campak dan BCG
Beberapa ° C di atas suhu udara luar (ambient temperaure < 34° C)
7 hari
4. Penyimpanan dan Transportasi Vaksin
Vaksin adalah suatu produk biologis yang terbuat dari kuman, komponen
kuman, atau racun kuman yang telah dilemahkan atau dimatikan yang berguna untuk
merangsang timbulnya kekebalan tubuh seseorang. Bila vaksin diberikan kepada
seseorang, akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit
tertentu. Sebagai produk biologis, vaksin memiliki karakteristik tertentu dan
memerlukan penanganan yang khusus sejak diproduksi di pabrik hingga dipakai di
unit pelayanan. Suhu yang baik untuk semua jenis vaksin adalah + 2° C sampai
dengan + 8° C (Maryunani, 2010, hlm. 224).
Penyimpanan vaksin merupakan salah satu titik kritis yang dapat
mempengaruhi stabilitas dari sisi antigenik tersebut. Penyimpanan pada suhu yang
tidak sesuai menyebabkan stabilitas dari zat pembawa mengalami kerusakan. Secara
kasat mata fisik dari vaksin tersebut tidak berubah. Tetapi kemungkinan besar
terdapat komponen lain dari vaksin tersebut yang rusak. Kerusakan zat pembawa
atau komponen lain secara tidak langsung dapat menyebabkan kerusakan sisi
antigenik virus sehingga dapat menurunkan potensinya (Maryunani, 2010, hlm. 224).
Menurut Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi Depkes RI (2005), vaksin sebagai
media utama kegiatan imunisasi, merupakan sediaan biologis yang rentan terhadap
perubahan temperatur lingkungan, sehingga penyimpanan vaksin membutuhkan
(44)
membeku tanpa membahayakan potensi vaksin. Sedangkan vaksin DPT, DT,
hepatitis-B dan Hib akan rusak bila membeku pada temperatur 0° (vaksin hepatitis-B
akan membeku sekitar -0,5°C) (Muhadir, 2012).
Agar kualitas vaksin sesuai dengan standar yang ditetapkan guna menumbuhkan
imunitas yang optimal bagi sasaran imunisasi maka dibutuhkan suatu cara
penyimpanan vaksin yang baik, yang disebut rantai dingin (cold chain). Rantai dingin (cold chain) adalah cara menjaga agar vaksin dapat digunakan dalam keadaan baik atau tidak rusak sehingga mempunyai kemampuan atau efek kekebalan pada
penerimanya, akan tetapi apabila vaksin di luar temperatur yang dianjurkan maka
akan mengurangi potensi kekebalannya (Maryunani, 2010, hlm. 224).
Penyimpanan vaksin yang tidak baik atau menyimpang dari ketentuan yang
telah ditetapkan, dapat mengakibatkan kerusakan vaksin sehingga menurunkan atau
menghilangkan potensinya. Kerusakan vaksin dapat mengakibatkan kerusakan
sumber daya yang tidak sedikit, baik dalam bentuk biaya vaksin maupun biaya-biaya
lain yang terpaksa dikeluarkan untuk menanggulangi masalah Kejadian Ikutan Pasca
Imunisasi (KIPI) atau Kejadian Luar Biasa (KLB) (Maryunani, 2010, hlm. 224).
Telah disebutkan sebelumnya bahwa suhu yang baik untuk semua jenis
vaksin adalah +2° C sampai dengan +8° C. Maka semua vaksin akan rusak bila
terpapar atau kena sinar matahari langsung. Tetapi beberapa vaksin juga tidak tahan
terhadap pembekuan, bahkan dapat rusak secara permanen dalam waktu yang lebih
singkat dibandingkan bila vaksin terpapar panas. Jadi, anggapan bahwa bila sudah ada pendingin (kulkas) maka vaksin sudah aman atau makin dingin penyimpanan, vaksin baik merupakan anggapan yang tidak tepat dan perlu diluruskan (Maryunani, 2010, hlm. 225).
(45)
Maka bidan terutama yang bertugas dalam pemberian imunisasi perlu
mengetahui penggolongan vaksin berdasarkan sensitivitas terhadap suhu berikut ini
agar dapat melakukan penyimpanan vaksin dengan tepat. Penggolongan vaksin
berdasarkan sensitivitas terhadap suhu yaitu vaksin sensitif beku (freeze sensitive
atau FS) yang merupakan golongan vaksin yang akan rusak terhadap suhu di bawah
0° C (beku). Vaksin tersebut adalah vaksin Hepatitis B, DPT, DPT-HB, DT, dan TT.
Serta vaksin sensitif panas (heat sensitive atau HS) yang merupakan
golongan vaksin yang akan rusak terhadap paparan panas yang berlebih. Vaksin
tersebut adalah vaksin BCG, Polio, dan Campak ( Maryunani, 2010, hlm. 225).
Prosedur penyimpanan dan transportasi vaksin imunisasi terbagi atas dua
yaitu : rantai vaksin dan kualitas vaksin. Berikut ini adalah penjabaran dari kedua
bagian tersebut.
a. Rantai Vaksin
Rantai vaksin adalah rangkaian proses penyimpanan dan transportasi vaksin
dengan menggunakan berbagai peralatan sesuai prosedur untuk menjamin kualitas
vaksin sejak dari pabrik sampai diberikan kepada pasien. Rantai vaksin terdiri dari
proses penyimpanan vaksin di kamar dingin atau kamar beku, di lemari pendingin,
di dalam alat pembawa vaksin, serta pentingnya alat-alat untuk mengukur dan
mempertahankan suhu. Dampak perubahan suhu pada vaksin hidup dan mati
berbeda. Untuk itu harus diketahui suhu optimum untuk setiap vaksin sesuai
petunjuk penyimpanan dari pabrik masing-masing (Ranuh. el. all, 2011, hml. 187).
1) Suhu Optimum Untuk Vaksin Hidup
Secara umum semua vaksin sebaiknya disimpan pada suhu +2° C s/d +8° C,
di atas suhu +8° C vaksin hidup akan cepat mati, vaksin polio hanya bertahan 2 hari,
(46)
hidup masih tetap baik pada suhu kurang dari 2° C sampai dengan beku. Vaksin
polio oral yang belum dibuka bertahan lebih lama (2 tahun) bila disimpan pada suhu
(-25° C ) – (-15° C), namun hanya bertahan 6 bulan pada suhu (+2° C) – (+8° C)
(Ranuh. el. all, 2011, hml. 187).
Vaksin BCG dan campak berbeda, walaupun disimpan pada suhu (-25° C) –
(-15° C), umur vaksin tidak lebih lama dari suhu (+2° C) s/d (+8° C), yaitu BCG dan
campak yang belum dilarutkan tidak perlu disimpan di (-25) – (-15° C) atau di dalam
freezer (Ranuh. et. all, 2011. Hlm. 187).
2) Suhu Optimum Untuk Vaksin Mati
Vaksin mati (inaktif) sebaiknya disimpan dalam suhu (+2° C) – (+8° C) juga,
bila disimpan pada suhu dibawah +2° C (beku) vaksin mati (inaktif) akan cepat
rusak. Bila beku dalam suhu -0,5° C vaksin hepatitis B dan DPT-Hepatitis B
(kombinasi) akan rusak dalam setengah jam, tetapi dalam suhu di atas 8° C vaksin
hepatitis B bisa bertahan sampai 30 hari, DPT-Hepatitis B kombinasi sampai 14 hari.
Bila dibekukan dalam suhu (-5° C) – (-10° C) vaksin DPT , DT dan TT akan rusak
dalam 1,5 – 2 jam, tetapi dalam suhu di atas 8° C masih bisa bertahan sampai 14 hari
(Ranuh. et. all, 2011. Hlm. 188).
3) Kamar Dingin Dan Kamar Beku
Kamar dingin (cold room) dan kamar beku (freeze room) umumnya berada di pabrik, distributor pusat, departemen kesehatan atau dinas kesehatan propinsi, berupa
ruang yang besar dengan kapasitas 5 – 100 �3, untuk menyimpan vaksin dalam
jumlah yang besar. Suhu kamar dingin berkisar antara (-2° C) – (+8° C), terutama
untuk menyimpan vaksin yang tidak boleh beku. Suhu kamar beku berkisar antara
(47)
Kamar dingin dan beku harus beroperasi terus menerus, menggunakan 2 alat
pendingin yang bekerja secara bergantian. (Ranuh. el. all, 2011, hml. 188).
Aliran listrik tidak boleh terputus sehingga harus dihubungkan dengan
pembangkit listrik yang secara otomatis akan berfungsi bila listrik mati. Suhu
ruangan harus dikontrol setiap hari dari data suhu yang tercatat secara otomatis.
Alarm akan berbunyi bila suhu kurang dari 2° C, atau diatas 8° C, atau listrik padam.
Pintu tidak boleh sering dibuka tutup. Kamar dingin dan kamar beku tidak boleh
digunakan untuk membuat cool pack atau cold pack, atau meletakkan benda-benda lain. Pembuatan cool pack atau cold pack menggunakan lemari pendingin tersendiri (Ranuh. el. all, 2011, hml. 188).
4) Lemari Es Dan Freezer
Setiap lemari es sebaiknya mempunyai 1 stop kontak tersendiri . Jarak lemari
es dengan dinding belakang 10 – 15 cm, kanan kiri 15 cm, sirkulasi udara
disekitarnya harus baik. Lemari es tidak boleh terkena panas matahari langsung.
Suhu di dalam lemari es harus berkisar (+2° C) – (+8° C), digunakan untuk
menyimpan vaksin-vaksin hidup maupun mati, dan untuk membuat cool pack (kotak dingin cair). Sedangkan suhu di dalam freezer berkisar antara (-25° C) – (-15° C),
khusus untuk menyimpan vaksin polio dan pembuatan cold pack (kotak es beku)
(Ranuh. el. all, 2011, hml. 189).
Termostat di dalam lemari es harus diatur sedemikian rupa sehingga suhunya
berkisar antara (+2°C) – (+8°C) dan suhu freezer berkisar (-15°C) - (-25°C). Perubahan suhu dapat diketahui setelah 24 jam pengaturan termostat, dengan melihat
termometer Dial atau Muller yang diletakkan pada rak ke 2. Di dalam lemari es lebih
baik bila dilengkapi freezer watch atau freezer tag pada ke 3, untuk memantau apakah suhunya pernah mencapai dibawah 0 derajat (Ranuh. el. all, 2011, hml. 189).
(48)
Setelah suhu stabil, posisi termostat jangan diubah, sebaiknya termostat difiksasi
dengan pita perekat (selotape) agar tidak tergeser ketika mengambil atau meletakkan vaksin. Sebaiknya pintu lemari es hanya dibuka dua kali sehari, yaitu ketika
mengambil vaksin dan mengembalikan sisa vaksin, sambil mencatat suhu lemari es
(Ranuh. el. all, 2011, hml. 189).
Pintu lemari es ada dua jenis membuka ke depan dan membuka ke atas,
masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian. Lemari es dengan pintu
membuka ke atas lebih dianjurkan untuk penyimpanan vaksin (Ranuh. el. all, 2011,
hml. 189).
Tabel perbedaan lemari es dengan pintu membuka ke depan dan ke atas
Pintu membuka ke depan Pintu membuka ke atas
Suhu tidak stabil.
Pada saat pintu dibuka ke depan, suhu dingin turun dari atas ke bawah dan keluar
Bila listrik padam relatif tidak bertahan lama
Jumlah vaksin yang bisa disimpan lebih sedikit
Susunan vaksin lebih mudah dilihat dari depan
Suhu lebih stabil,
Pada saat pintu dibuka ke atas, suhu dingin turun dari atas ke bawah, tidak keluar
Bila listrik padam relatif bisa bertahan lebih lama
Jumlah vaksin yang bisa disimpan lebih banyak
Susunan vaksin lebih sulit dikontrol karena bertumpuk sulit dilihat dari atas
Karet-karet pintu harus diperiksa kerapatannya, untuk menghindari keluarnya
udara dingin. Bila pada dinding lemari es telah terdapat bunga es, atau di freezer
telah mencapai tebal 2-3 cm harus segera dilakukan pencairan (defrost). Sebelum melakukan pencairan, pindahkan semua vaksin ke cool box atau lemari es yang lain. Cabut kontak listrik lemari es, biarkan pintu lemari es dan freezer terbuka selama 24 jam, kemudian dibersihkan. Setelah bersih, pasang kembali kontak listrik, tunggu
(49)
sampai suhu stabil. Setelah suhu lemari suhu lemari sedikitnya mencapai +8° C dan
suhu freezer -15° C, masukkan vaksin sesuai tempatnya (Ranuh. el. all, 2011, hml. 190).
5) Susunan Vaksin Di Dalam Lemari Es
Vaksin hidup dan vaksin inaktif mempunyai daya tahan berbeda terhadap
suhu dingin, maka kita harus mengenali bagian yang paling dingin dari lemari es.
Freezer hanya untuk membuat es batu atau cold pack, yang dapat digunakan untuk mempertahankan suhu lemari es bila listrik mati, dengan meletakkan es batu atau
cold pack diantara vaksin-vaksin, sampai listrik menyala kembali (Ranuh. el. all, 2011, hml. 190).
Vaksin hidup diletakkan dekat dengan bagian yang paling dingin, sedangkan
vaksin mati jauh dari bagian yang paling dingin. Diantara kotak-kotak vaksin beri
jarak selebar jari tangan (sekitar 2 cm) agar udara dingin bisa menyebar merata ke
semua kotak vaksin (Ranuh. el. all, 2011, hml. 191).
Bagian paling bawah tidak untuk menyimpan vaksin tetapi khusus untuk
meletakkan cool pack, pendingin untuk membawa vaksin di dalam termos, dan untuk mempertahankan suhu bila listrik mati. Pelarut vaksin jangan disimpan di dalam
lemari es atau freezer, karena akan mengurangi ruang untuk vaksin, dan akan pecah bila beku. Penetes (dropper) vaksin polio juga tidak boleh diletakkan di lemari es atau freezer karena akan menjadi rapuh, mudah pecah (Ranuh. el. all, 2011, hml. 193).
Tidak boleh menyimpan makanan, minuman, obat-obatan atau benda-benda
lain di dalam lemari es vaksin, karena akan mengganggu stabilitas suhu karena sering
(50)
6) Lemari Es Dengan Pintu Membuka Ke Depan
Bagian yang paling dingin lemari es ini adalah di bagian paling atas (freezer). Di dalam freezer untuk membuat es batu atau mendinginkan cold pack, sedangkan rak tepat di bawah freezer untuk meletakkan vaksin-vaksin hidup, karena tidak mati
pada suhu rendah. Rak yang lebih jauh dari freezer (rak ke 2 dan 3) untuk
meletakkan vaksin-vaksin mati (inaktif), agar tidak terlalu dekat freezer, untuk menghindari rusak karena beku. Termometer Dial atau Muller diletakkan pada rak ke
2, freeze watch atau freeze tag pada rak ke 3 (Ranuh. el. all, 2011, hml. 193).
7) Lemari Es Dengan Pintu Membuka Ke Atas
Bagian yang paling dingin dalam lemari es ini adalah bagian tengah
(evaporator) yang membujur dari depan ke belakang. Oleh karena itu vaksin hidup
diletakkan di kanan-kiri bagian yang paling dingin (evaporator). Vaksin mati
diletakkan di pinggir, jauh dari evaporator . Beri jarak antara kotak-kotak vaksin
selebar jari tangan (sekitar 2 cm). Letakkan termometer Dial atau Muller atau freeze watch atau freeze tag dekat vaksin mati(Ranuh. el. all, 2011, hml. 194).
8) Wadah Pembawa Vaksin
Untuk membawa vaksin dalam jumlah sedikit dan jarak tidak terlalu jauh
dapat menggunakan cold box (kotak dingin) atau vaccine carrier (termos). Cold box
berukuran lebih besar, dengan ukuran 40-70 liter, dengan penyekat suhu dari
poliuretan, selain untuk transportasi dapat pula untuk menyimpan vaksin sementara.
Untuk mempertahankan suhu vaksin di dalam kotak dingin atau termos dimasukkan
(51)
9) Cold Pack Atau Cool Pack
Cold pack berisi air yang dibekukan dalam suhu (-15°C) – (-25°C) selama 24 jam, dibuat dalam wadah plastik berwarna putih. Cool pack berisi air dingin (tidak beku) yang didinginkan dalam suhu (+2°C) – (+8°C) selama 24 jam, dibuat di dalam
wadah plastik berwarna merah atau biru. Cold pack (beku) dimasukkan ke dalam
termos untuk mempertahankan suhu vaksin ketika membawa vaksin hidup
sedangkan cool pack (cair) untuk membawa vaksin hidup dan vaksin mati (inaktif) (Ranuh. el. all, 2011, hml. 195).
b. Kualitas Vaksin
Vaksin hidup akan mati pada suhu di atas suhu 8°C, dan vaksin mati (inaktif)
akan rusak di bawah suhu 2° C. Bila pengelolaan vaksin dan rantai tidak baik, maka
vaksin tidak mampu merangsang kekebalan tubuh secara optimal bahkan dapat
menimbulkan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang tidak diharapkan. Oleh
karena itu dalam pelayanan sehari-hari kita perlu memahami beberapa hal praktis
untuk menilai apakah vaksin masih layak diberikan kepada pasien atau tidak. Namun
untuk mengetahui potensi vaksin yang sesungguhnya harus dilakukan pemeriksaan
laboratorium yang rumit (Ranuh. el. all, 2011, hml. 197).
Berikut ini adalah beberapa hal praktis untuk menilai apakah vaksin masih
layak diberikan kepada pasien atau tidak, yaitu :
1. Kualitas Rantai Vaksin dan Tanggal Kadaluarsa
Untuk mempertahankan kualitas vaksin maka penyimpanan dan transportasi
vaksin harus memenuhi syarat rantai vaksin yang baik, antara lain: disimpan di
dalam lemari es atau freezer dalam suhu 2-8°C, transportasi vaksin di dalam kotak dingin atau termos yang tertutup rapat, tidak terendam air, terlindung dari sinar
(52)
(Vaccine Vial Monitor) atau freezer watch atau tag belum pernah dibawah suhu 2°C atau 8°C dalam waktu cukup lama (Ranuh. el. all, 2011, hml. 197).
2. VVM (Vaccine Vial Monitor)
Vaccine Vial monitor untuk menilai apakah vaksin sudah pernah terpapar suhu di atas 8°C dalam waktu lama, dengan membandingkan warna kotak segi empat
dengan warna lingkaran di sekitarnya. Bila warna kotak segi empat lebih muda
daripada lingkaran dan sekitarnya (disebut kondisi VVM A atau B) maka vaksin
belum terpapar suhu di atas 8°C. Vaksin dengan kondisi VVM B harus segera
dipergunakan (Ranuh. el. all, 2011, hml. 195).
Gambar 2.b. perubahan warna Vaccine Vial Monitor
Kondisi VVM Keterangan
Kondisi A Segi empat lebih terang dari lingkaran sekitar, bila
belum kadaluwarsa: Gunakan vaksin.
Kondisi B Segi empat berubah gelap tapi lebih terang dari
lingkaran sekitar, bila belum kadaluwarsa: Segera Gunakan vaksin
Kondisi C Segi empat sama warna dengan lingkaran sekitar ,
Jangan Gunakan vaksin: lapor kepada pimpinan.
Kondisi D Segi empat lebih gelap dari lingkaran sekitar,
Jangan Gunakan vaksin: lapor kepada pimpinan.
Bila warna kotak segi empat sama atau lebih gelap daripada lingkaran dan
sekitarnya (disebut kondisi VVM C atau D) maka vaksin sudah terpapar suhu di atas
8°C, tidak boleh diberikan pada pasien (Ranuh. el. all, 2011, hml. 198).
3. Freeze Watch dan Freeze Tag
Freeze watch dan freeze tag adalah alat untuk mengetahui apakah vaksin pernah terpapar suhu di bawah 0°C. Bila dalam Freeze watch terdapat warna biru yang melebar ke sekitarnya atau dalam freeze tag ada tanda silang (X), berarti vaksin pernah terpapar suhu di bawah 0°C yang dapat merusak vaksin mati (inaktif).
(53)
Vaksin-vaksin tersebut tidak boleh diberikan kepada pasien (Ranuh. el. all, 2011,
hml. 198).
4. Warna Dan Kejernihan Vaksin
Warna dan kejernihan beberapa vaksin dapat menjadi indikator praktis untuk
menilai stabilitas vaksin. Vaksin polio harus berwarna kuning oranye. Bila warnanya
berubah menjadi pucat atau kemerahan berarti pHnya telah berubah, sehingga tidak
stabil dan tidak boleh diberikan kepada pasien (Ranuh. el. all, 2011, hml. 199).
Vaksin toksoid, rekombinan dan polisakarida umumnya berwarna putih jernih
sedikit berkabut. Bila menggumpal atau banyak endapan berarti sudah pernah beku,
tidak boleh digunakan karena sudah rusak (Ranuh. el. all, 2011, hml. 199).
Bila vaksin setelah dikocok tetap menggumpal atau mengendap, maka vaksin
tidak boleh digunakan karena sudah rusak (Ranuh. el. all, 2011, hml. 199).
5. Pemilihan Vaksin
Vaksin yang harus segera dipergunakan adalah vaksin yang belum dibuka
tetapi telah dibawa ke lapangan, sisa vaksin telah dibuka (dipergunakan), vaksin
dengan VVM B, vaksin dengan tanggal kadaluarsa sudah dekat (EEFO = Early
Expire First Out), vaksin yang sudah lama tersimpan dikeluarkan segera (FIFO = First In First Out) (Ranuh. el. all, 2011, hml. 200).
6. Sisa Vaksin di Sarana Pelayanan Statis (Puskesmas, Klinik, Rumah Sakit,
atau Praktek Swasta)
Sisa vaksin yang telah dibuka di sarana pelayanan statis masih bisa diberikan
pada pelayanan berikutnya bila masih memenuhi syarat-syarat, tidak melewati
tanggal kadaluwarsa, disimpan dalam suhu (+2°C) – (+8°C), tidak pernah terendam
air, VVM A atau B. Oleh karena itu sebaiknya selalu ditulis tanggal mulainya
(54)
diletakkan dalam satu wadah atau tempat khusus (tray), sehingga segera dapat dikenali (Ranuh. el. all, 2011, hml. 200).
Khusus untuk vaksin yang telah dilarutkan, stabilitas vaksin lebih singkat.
Vaksin BCG yang telah dilarutkan walaupun disimpan di dalam suhu (+2°C) –
(+8°C) hanya stabil selama 3 jam (WHO 6 jam). Vaksin campak yang telah
dilarutkan walaupun disimpan di dalam suhu (+2°C) – (+8°C) hanya stabil selama
6-8 jam. Vaksin Hib yang sudah dilarutkan potensinya sangat menurun setelah 24 jam.
Vaksin varisela yang sudah dilarutkan potensinya sangat menurun setelah 30 menit
(Ranuh. el. all, 2011, hml. 200).
Tabel 2.f. masa pemakaian vaksin dari vial yang sudah dibuka di sarana pelayanan statis
Vaksin Masa pemakaian (minggu)
Polio 2
DPT 4
DT 4
TT 4
Hepatitis B 4
7. Sisa Vaksin Di Sarana Pelayanan Luar Gedung
Vaksin yang belum dibuka tetapi sudah dibawa ke lapangan harus diberi
tanggal untuk segera dipergunakan pada pelayanan berikutnya, selama semua
syarat-syarat masih terpenuhi. Sisa vaksin yang telah dibuka di sarana pelayanan luar
gedung, sebaiknya tidak dipergunakan lagi, dimusnahkan dengan membakar di
dalam insinerator bersama alat suntik bekas, atau dikubur sedalam 2-3 meter (Ranuh.
(55)
G. DASAR DILAKUKAN PENELITIAN INI
Penelitian yang dilakukan oleh Julita (2010), dengan judul pengetahuan bidan
terhadap penyimpanan dan transportasi vaksin di wilayah kerja Puskesmas Terjun
Kecamatan Medan Marelan tahun 2010. Desain penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengetahuan bidan terhadap penyimpanan dan
transportasi vaksin di wilayah kerja Puskesmas Terjun Kecamatan Medan Marelan
Tahun 2010. Variabelnya yang diteliti adalah pengetahuan. Sampel penelitian yaitu
30 orang. Adapun teknik pengambilan sampel adalah total sampling. Analisis
disajikan dalam bentuk tabel distribusi dan frekuensi.
Hal yang menjadi persamaan dengan penelitian ini adalah desain penelitian yaitu
deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Tujuan penelitiannya sama-sama bertujuan untuk mengidentifikasi pengetahuan bidan terhadap penyimpanan dan
transportasi vaksin. Sedangkan yang menjadi perbedaannya adalah sebagai berikut:
pada penelitian ini tujuannya yaitu selain mengidentifikasi pengetahuan, pada
penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sikap dan tindakan serta mengetahui
karakteristik bidan tentang penyimpanan dan transportasi vaksin. Tempat penelitian
yaitu wilayah kerja Puskesmas Helvetia Medan. Tekhnik pengambilan sampel yang
digunakan pada penelitian ini adalah purposive sampling.
Penelitian yang dilakukan oleh Sari (2011), dengan judul pengetahuan dan sikap
bidan terhadap penyimpanan dan transportasi vaksin di Kecamatan Pancur Batu
Kabupaten Deli Serdang tahun 2011. Desain penelitian yang digunakan oleh Sari
merupakan penelitian deskriptif yaitu betujuan untuk memperoleh pengetahuan dan
(56)
Kabupaten Deli Serdang tahun 2011. Populasi dalam penelitian sari adalah seluruh
bidan yang ada di puskesmas dan praktek klinik swasta di Kecamatan Pancur Batu
Kabupaten Deli Serdang sebanyak 58 bidan. Tehnik pengambilan samplingnya yaitu
total sampling.
Hal yang menjadi persamaan dengan penelitian ini adalah desain penelitian yaitu
deskriptif. Populasi penelitian yaitu semua bidan yang ada di wilayah kerja
Puskesmas. Sedangkan yang menjadi perbedaannya adalah sebagai berikut: pada
penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui karakteristik serta mengidentifikasi
pengetahuan, sikap dan tindakan bidan tentang penyimpanan dan transportasi vaksin.
Tempat penelitian yaitu wilayah kerja Puskesmas Helvetia Medan. Tehnik
pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah purposive sampling.
Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 33 orang.
Penelitian yang dilakukan oleh Kristini (2008), dengan judul faktor-faktor risiko
kualitas pengelolaan vaksin yang buruk di Unit Pelayanan Swasta. Desain penelitian
adalah cross sectional, jumlah sampel sebanyak 138 UPS. Tujuan mengetahui faktor risiko yang mempengaruhi kualitas pengelolaan vaksin program imunisasi di unit
pelayanan swasta.
Hal yang menjadi persamaan dengan penelitian ini adalah desain penelitian yaitu
cross sectional. Sedangkan yang menjadi perbedaannya adalah sebagai berikut: pada penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui karakteristik serta mengidentifikasi
pengetahuan, sikap dan tindakan bidan tentang penyimpanan dan transportasi vaksin.
Tempat penelitian yaitu wilayah kerja Puskesmas Helvetia Medan. Jumlah sampel
(57)
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Kerangka Konsep
Kerangka konseptual penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara
konsep satu terhadap konsep yang lainnya dari masalah yang ingin diteliti (Setiadi,
2007, hlm. 117). Dari skema dibawah ini, kerangka konsep dalam penelitian ini
bertujuan untuk menjelaskan peilaku bidan tentang penyimpanan dan transportasi
vaksin di wilayah kerja Puskesmas Helvetia Medan tahun 2014 adalah sebagai
berikut:
Skema 1. Skema Kerangka Konsep
Perilaku bidan tentang penyimpanan dan transportasi vaksin di wilayah kerja Puskesmas Helvetia Medan:
1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Tindakan
1. Defenisi imunisasi dan vaksinasi
2. Jenis vaksin 3. Sifat vaksin 4. Penyimpanan dan transportasi vaksin
1. Rantai vaksin 2. Kualitas vaksin
1. Suhu optimum untuk vaksin hidup
2. Suhu optimum untuk vaksin mati
3. Kamar dingin dan kamar beku
4. Lemari es dan freezer
5. Susunan vaksin dalam lemari es
6. Lemari es dengan pintu membuka ke depan
7. Lemari es dengan pintu membuka ke atas
8. Wadah pembawa vaksin
9. Cold pack dan cool pack
1. Kualitas rantai vaksin dan tanggal kadaluarsa 2. VVM ( Vaccine Vial Monitor)
3. Freezer watch dan freezer tag 4. Warna dan kejernihan vaksin 5. Pemilihan vaksin
6. Sisa vaksin di sarana pelayanan statis (Puskesmas, Klinik, Rumah Sakit, atau Praktek Swasta)
(58)
B. Definisi Operasional
No Variabel Definisi operasional Alat ukur
Cara ukur Hasil ukur Skala
1. Pengetahuan Segala sesuatu yang
diketahui bidan di wilayah kerja Puskesmas Helvetia Medan tentang penyimpanan dan transportasi vaksin sampai pada tahap memahami rantai vaksin yang terdiri dari suhu optimum untuk vaksin hidup, suhu optimum untuk vaksin mati, kamar dingin dan kamar beku, lemari es dan
freezer, susunan vaksin dalam lemari es, lemari es dengan pintu membuka ke depan, lemari es dengan pintu membuka ke atas, wadah pembawa vaksin, cold pack
dan cool pack.
kualitas vaksin yang terdiri dari kualitas rantai vaksin dan tanggal kadaluarsa, VVM (Vaccine Vial Monitor), freezer watch dan freezer tag, warna dan kejernihan vaksin, pemilihan vaksin, sisa vaksin di sarana pelayanan statis serta sisa vaksin di sarana
Kuesioner Wawancara 1.Baik bila
benar menjawab pertanyaan sebanyak 14 - 20.
2.Cukup bila benar menjawab pertanyaan sebanyak 7 - 13.
3. Kurang bila benar menjawab pertanyaan sebanyak 0 - 6.
(59)
pelayanan luar gedung.
2. Sikap Reaksi atau respon
yang masih tertutup dari bidan di wilayah kerja Puskesmas Helvetia Medan terhadap cara penyimpanan dan transportasi vaksin
Kuesioner Dengan
menghitung jawaban responden pada kuesioner dengan menggunak an item: Setuju = 3 Ragu-ragu = 2
Tidak setuju = 1
1. Positif bila skornya 40 -60.
2. Negatif bila skornya 20 - 39.
Nominal
3. Tindakan Cara yang dilakukan
oleh bidan di wilayah kerja Puskesmas Helvetia Medan terhadap cara penyimpanan dan transportasi vaksin
Observasi Dengan
menghitung jawaban responden pada lembar
checklist
1. Tepat bila skornya 11 - 20.
2. Tidak tepat 1- 10
(60)
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Data Demografi
Gambaran umum Puskesmas Helvetia Medan yaitu dengan luas wilayah 540 Ha,
jumlah kelurahan sebanyak 7 Kelurahan yaitu Helvetia, Helvetia Tengah, Helvetia
Timur, SSC II, Dwi Kora, Cinta Damai dan Tg. Gusta. Jumlah Lingkungan sebanyak
88 Lingkungan. Batas wilayahnya meliputi : sebelah Utara berbatasan dengan Kab.
Deli Serdang, sebelah Selatan berbatasan dengan Kec. Medan Sunggal, sebelah Barat
berbatasan dengan Kab. Deli Serdang dan Sebelah Timur berbatasan dengan
Kecamatan Medan Petisah.
B. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan
pendekatan penelitian cross sectional yaitu untuk mengidentifikasi perilaku bidan tentang penyimpanan dan transportasi vaksin (Setiadi, 2007. Hal. 129).
C. Populasi Dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Bidan yang ada di wilayah kerja
Puskesmas Helvetia Medan yang meliputi 10 orang yang bekerja di Puskesmas, 14
(61)
2. Sampel
Teknik pengambilan sampel dalam penelitan ini menggunakan purposive
sampling. Dimana kriteria responden disini adalah :
a. Bersedia menjadi responden
b. Bidan pemilik Praktek Swasta atau Mandiri atau Klinik Bersalin yang ada di
Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan
c. Bidan yang bekerja magang di BPS Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia
Medan.
Karena populasi tersebut jumlahnya lebih dari 100 orang, sampel sebanyak 10
-25% jumlah populasi (Arikunto, 2006, hlm 131).
Jumlah sampel = populasi x 25%
= 133 orang x 25%
= 33,25
Jadi jumlah sampel yang dapat diperoleh dari populasi berdasarkan acuan
tersebut adalah 33 orang.
D. Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian 1. Tempat penelitian
Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan.
Adapun pertimbangan dalam penentuan lokasi penelitian adalah lokasi ini memiliki
populasi yang ingin diteliti, tersedianya sumber sampel yang diharapkan oleh
peneliti, efesiensi waktu, biaya dan tenaga disamping itu belum ada dilakukan
penelitian sejenis dengan judul perilaku bidan tentang penyimpanan dan transportasi
(62)
2. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan mulai Februari 2013 sampai dengan Juli 2014.
E. Etika Penelitian
Penelitian ini dilakukan setelah proposal disetujui oleh Institusi Pendidikan
Program Studi D-IV Bidan Pendidik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera
Utara. Selanjutnya surat diajukan ke tempat penelitian yaitu Wilayah Kerja
Puskesmas Helvetia Medan. Dalam penelitian ini terdapat beberapa hal yang
berkaitan dengan permasalahan etik, yaitu : memberikan penjelasan kepada calon
responden penelitian tentang tujuan dan prosedur penelitian. Apabila calon
responden bersedia, maka calon responden dipersilahkan untuk menandatangani
informed consent.
Tetapi jika calon responden tidak bersedia, maka calon responden berhak untuk
menolak dan mengundurkan diri, dan ada 4 orang bidan yang ditemui oleh peneliti
menolak untuk menjadi responden. Ada 3 orang bidan yang ditemui tersebut
mengakui bahwa wilayah tempatnya itu sudah masuk Kecamatan Medan Sunggal.
Sedangkan 1 bidan lagi beralasan masih repot dan masih banyak kerjaan yang mesti
dikerjakannya sehingga tidak bisa dimintai jadi responden. Kerahasiaan catatan
mengenai data responden dijaga dengan cara tidak menuliskan nama responden pada
instrumen, tetapi menggunakan inisial. Responden juga berhak secara bebas untuk
mengundurkan diri, dan setiap responden tidak ada yang dirugikan sehingga
data-data yang diperoleh dari responden juga hanya digunakan untuk kepentingan
(63)
F. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan untuk memperoleh informasi dari
responden berupa kuesioner yang disusun oleh peneliti berdasarkan literatur yang
ada dan dikonsultasikan kepada pembimbing. Kuesioner yang dibagikan terdiri dari
empat bagian, yaitu : bagian pertama adalah karakteristik bidan yang merupakan data
demografi meliputi umur, pendidikan, dan lama bekerja.
Kuesioner bagian kedua dari instrumen penelitian berisi data pengetahuan.
Bagian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengetahuan bidan tentang
penyimpanan dan transportasi vaksin. Terdiri dari 20 pertanyaan tertutup
menggunakan “pilihan berganda” dari pilihan jawaban a, b, c, d. Untuk jawaban
yang benar diberi skor 1 dan untuk jawaban salah diberi skor 0. Nilai minimum yang
mungkin didapat adalah 0 dan nilai maksimum adalah 20. Pengukuran dilakukan
dengan menggunakan rumus Sudjana dalam Hidayat (2007) yaitu dilakukan
penilaian dengan kriteria menggunakan skala yang menyediakan tiga alternatif
jawaban baik, cukup dan kurang (Hidayat, 2007, hlm. 104-106).
Untuk mendapatkan kriteria digunakan perhitungan berikut :
Keterangan :
P = Panjang kelas interval
Rentang = Nilai tertinggi - Nilai terendah
Banyak Kelas = Jumlah kategori
P = Rentang Banyak Kelas
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)