Sejarah Perkembangan Kabupaten Karo

15 MERDEKA 9 44,17 13.434 16 NAMAN TERAN 14 87,82 12.916 17 TIGANDERKET 17 86,76 13.301 Jumlah 2010 269 2127,25 354.242 Sumber : Pemkab Karo Dalam Angka 2012 Dari tabel diatas, terlihat bahwa Pemerintah Kabupaten Karo memiliki 17 Kecamatan dengan jumlah DesaKelurahan mencapai 269. Dengan luas wilayah sekitar 2127,25 Km 2 dan jumlah penduduk 354.242 Kabupaten Karo memiliki potensi yang cukup besar pada sumberdaya manusianya. Rata-rata hampir setangah lebih masyarakat Kabupaten Karo bertani. Secara otomatis maka potensi perkembangan budidaya tanaman markisa di daerah ini sangat menjanjikan menjadi agrowisata.

3.2 Sejarah Perkembangan Kabupaten Karo

Tanah Karo terbentuk sebagai Kabupaten Daerah Tingkat II setelah melalui proses yang sangat panjang dan dalam perjalanan sejarahnya Kabupaten ini telah mengalami perubahan mulai dari zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang hingga zaman kemerdekaan. Sebelum kedatangan penjajahan Belanda diawal abad XX di daerah dataran tinggi Karo, di kawasan itu hanya terdapat kampung Kuta, yang terdiri dari satu atau lebih “kesain” bagian dari kampung. Tiap-tiap kesain diperintah oleh seorang “Pengulu”. Menurut Tambun dalam bukunya “Adat Istiadat Karo”, Balai Pustaka 1952, arti dari pengulu adalah seseorang dari marga tertentu dibantu oleh 2 orang Universitas Sumatera Utara anggotanya dari kelompok “Anak Beru” dan “Senina”. Mereka ini disebut dengan istilah “Telu si Dalanen” atau tiga sejalanan menjadi satu badan administrasipemerintahan dalam lingkungannya. Anggota ini secara turun menurun dianggap sebagai “Pembentuk Kesain”, sedang kekuasaan mereka adalah pemerintahan kaum keluarga. Di atas kekuasaan penghulu kesain, diakui pula kekuasaan kepala kampung asli Perbapaan yang menjadi kepala dari sekumpulan kampung yang asalnya dari kampung asli itu. Kumpulan kampung itu dinamai Urung. Pimpinannya disebut dengan Bapa Urung atau biasa juga disebut Raja Urung. Urung artinya satu kelompok kampung dimana semua pendirinya masih dalam satu marga atau dalam satu garis keturunan. Menurut Tambun ada beberapa sistem atau cara penggantian perbapaan atau Raja Urung atau juga Pengulu di zaman itu, yaitu dengan memperhatikan hasil keputusan “runggun permusyawaratan” kaum kerabat berdasarkan kepada 2 dua dasar yakni: 1 Dasar Adat “Sintua-Singuda” yang dicalonkan. Yang pertama-tama berhak menjadi Perbapaan adalah anak tertua. Namun kalau ia berhalanagan atau karena sebab yang lain, yang paling berhak di antara saudara-saudaranya adalah jatuh kepada anak yang termuda. Dari semua calon Perbapaan maka siapa yang terkemuka atau siapa yang kuat mendapatkan dukungan, misalnya siapa yang mempunyai banyak Anak Beru dan Senina, besar kemungkinan jabatan PerbapaanRaja Urung atau Pengulu, akan jatuh kepadanya. Jadi dengan demikian, kedudukan Perbapaan, yang disebutkan di atas harus jatuh Universitas Sumatera Utara kepada yang tertua atau yang termuda, tidaklah sepenuhnya dijalankan secara baik waktu itu. Banyak contoh terjadi dalam hal pergantian Perbapaan seperti itu, antara lain ke daerah Perbapaan Lima Senina. Lebih-lebih kejadian seperti itu terjadi setelah di daerah itu berkuasa kaum penjajah Belanda di permulaan abad XX 1907. Belanda melakukan “intervensi” dalam hal penentuan siapa yang diangap pantas sebagai Perbapaan dari kalangan keluarga yang memerintah, walaupun ada juga selalu berdasarkan adat. 2 Dasar “Bere-bere”, yakni menurut keturunan dari pihak Ibu. Hanya dari keturunan ibukemberahen tertentu saja yang pertama-tama berhak menjadi Perbapaan. Namun setelah kedatangan perjajahan Belanda sistem atau dasar “Bere-bere” ini dihapuskan. Penduduk asli yang mendiami wilayah Kabupaten Karo disebut Suku Bangsa Karo. Suku Bangsa Karo ini mempunyai adat istiadat yang sampai saat ini terpelihara dengan baik dan sangat mengikat bagi Suku Bangsa Karo sendiri. Suku ini terdiri dari 5 lima Merga, Tutur Siwaluh, dan Rakut Sitelu.

3.3 Gambaran Umum Kecamatan Berastagi