Hubungan antara durasi penggunaan media sosial dengan kestabilan emosi pada pengguna media sosial usia dewasa awal.

(1)

vii

HUBUNGAN ANTARA DURASI PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL DENGAN KESTABILAN EMOSI PADA PENGGUNA MEDIA SOSIAL

USIA DEWASA AWAL

Melisa Setyawan

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris hubungan antara durasi penggunaan media sosial dengan kestabilan emosi pada pengguna media sosial usia dewasa awal. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif korelasional yang dilakukan terhadap 112 subjek. Subjek merupakan individu yang tergolong dalam usia dewasa awal dan merupakan pengguna media sosial. Analisis data yang digunakan adalah teknik uji korelasi Spearman Rho. Koefisien korelasi (r) yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebesar – 0.313 dengan nilai signifikansi p = 0,000 (p < 0,01) dan koefisien determinasi sebesar (R2) 9.8%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif dan signifikan antara durasi penggunaan media sosial dengan kestabilan emosi pada pengguna media sosial usia dewasa awal. Durasi penggunaan media sosial memberikan sumbangan efektif sebesar 9.8 % terhadap penurunan atau kenaikan kestabilan emosi pengguna media sosial usia dewasa awal.


(2)

viii

THE CORELATION OF SOCIAL MEDIA USAGE DURATION AND EMOTIONAL STABILITY AMONG YOUNG-ADULT SOCIAL MEDIA

USERS

Melisa Setyawan

ABSTRACT

This study aimed to measure the correlation between social media usage duration and emotional stability among young-adult social media users. Quantitative research methods was used and applied to 112 young-adult social media users as subjects. This study used the Spearman Rho correlation to analyze the strength of the correlation. Correlation coefficient (r) was found at

– 0.313 with significance value p=0.000 (p<0.01) and determinant coefficient (R2) at 9.8%. This

findings show that there is a negative and significant correlation between social media usage duration and emotional stability among young-adult social media users. Social media usage duration contributes effectively at 9.8% to the change of emotional stability among young-adult social media user.


(3)

HUBUNGAN ANTARA DURASI PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL DENGAN KESTABILAN EMOSI PADA PENGGUNA MEDIA SOSIAL

USIA DEWASA AWAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh: Melisa Setyawan NIM: 119114156

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016


(4)

i

HUBUNGAN ANTARA DURASI PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL DENGAN KESTABILAN EMOSI PADA PENGGUNA MEDIA SOSIAL

USIA DEWASA AWAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh: Melisa Setyawan NIM: 119114156

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016


(5)

SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA DURASI PENGGUNAAN N{EDIA SOSIAL DENGAN KESTABILAN EMOSI PADA PENGGUNA MEDIA SOSIAL

USIA DEWASA AWAL

-ffiry

p

ilr

T

h

"\

vlr

/

)

/,El

ga &p

ry

et

7,

Pernbimbi

Mffi,


(6)

SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA DURASI PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL DENGAN KESTABILAN EMOSI PADA PENGGUNA MEDIA SOSIAL

USIA DEWASA AWAL

Dipersiapkan dan ditulis oleh: Melisa Setyawan

an Panitia Penguji

$&Y,vu

Tanda tangan

Penguji 1

Penguji 2

Penguji 3 : Dra. L. Pratidarrnanasititi, MS.

Yogyakarta,Z

9

FEB ?11l,q

Fak Psikologi

ata Dharma

111

:119114156


(7)

iv

HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAN

Your ethics & working spirit are built along your education journey. Skripsi ini kudedikasikan untuk

Para leluhurku yang kuhormati,

Kakekku yang telah mengajariku untuk jatuh cinta pada kesenian, Nenekku yang telah mengajariku bahwa segala sesuatu yang masih bisa dilihat

oleh mata, tidak ada yang sulit untuk dilakukan,

Kedua orangtuaku yang telah mendedikasikan hidup mereka untukku dan adikku, Segenap alam yang telah membantuku.


(8)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis

ini

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan dalam daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarla, 21 J anuai 201 6

r^t'fiI"''

kh*


(9)

LEMBAR PERNYATAAN

PERSETUJUAN

PUBLIKASI

KARYA

ILMIAH

UNTUK KEPENTIGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama

Nomor Mahasiswa

: Melisa Setyawan

: 1 191 14156

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dhanna karya ihniah saya yang berjudul:

HUBUNGAN ANTARA DURASI PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL DENGAN KESTABILAN EMOSI PADA PENGGUNA MEDIA SOSIAL

USIA DEWASA AWAL

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata

Dharma

hak

untuk

menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan

mempublikasikannya

di

Intemet atau media lain untuk kepentingan akademis

tanpa perlu meminta

ijin

dari saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenamya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal 21 Jartuai 2016

Yang menyatakan,

Melisa Setyawan


(10)

vii

HUBUNGAN ANTARA DURASI PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL DENGAN KESTABILAN EMOSI PADA PENGGUNA MEDIA SOSIAL

USIA DEWASA AWAL

Melisa Setyawan

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris hubungan antara durasi penggunaan media sosial dengan kestabilan emosi pada pengguna media sosial usia dewasa awal. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif korelasional yang dilakukan terhadap 112 subjek. Subjek merupakan individu yang tergolong dalam usia dewasa awal dan merupakan pengguna media sosial. Analisis data yang digunakan adalah teknik uji korelasi Spearman Rho. Koefisien korelasi (r) yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebesar – 0.313 dengan nilai signifikansi p = 0,000 (p < 0,01) dan koefisien determinasi sebesar (R2) 9.8%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif dan signifikan antara durasi penggunaan media sosial dengan kestabilan emosi pada pengguna media sosial usia dewasa awal. Durasi penggunaan media sosial memberikan sumbangan efektif sebesar 9.8 % terhadap penurunan atau kenaikan kestabilan emosi pengguna media sosial usia dewasa awal.


(11)

viii

THE CORELATION OF SOCIAL MEDIA USAGE DURATION AND EMOTIONAL STABILITY AMONG YOUNG-ADULT SOCIAL MEDIA

USERS

Melisa Setyawan

ABSTRACT

This study aimed to measure the correlation between social media usage duration and emotional stability among young-adult social media users. Quantitative research methods was used and applied to 112 young-adult social media users as subjects. This study used the Spearman Rho correlation to analyze the strength of the correlation. Correlation coefficient (r) was found at

– 0.313 with significance value p=0.000 (p<0.01) and determinant coefficient (R2) at 9.8%. This

findings show that there is a negative and significant correlation between social media usage duration and emotional stability among young-adult social media users. Social media usage duration contributes effectively at 9.8% to the change of emotional stability among young-adult social media user.


(12)

ix

KATA PENGANTAR

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa. Segala pujian dan hormat saya haturkan ke hadapan Buddha, Dhamma, dan Sangha atas berkat dan penyertaan selama penyusunan skripsi ini. Saya bersyukur atas kekuatan, kesehatan, dan kemampuan untuk menghadapi perjuangan panjang menuju akhir dari pendidikan sarjana saya di Fakultas Psikologi ini.

Terima kasih saya yang dalam saya ucapkan kepada keluarga kecil saya yang terkasih, Yanuar Setyawan, Ninik Setyawati, Monica Setyawan, Sora, dan Snoopy untuk cinta tanpa syarat mereka yang tiada akhir dan dukungan mereka yang sangat luar biasa. Saya berterima kasih atas kesediaan mereka mendampingi saya dalam suka dan duka, terutama karena mereka tidak pernah menyerah atas saya. Saya berterima kasih untuk segala bentuk bantuan, hiburan, sindiran, dan pengorbanan mereka, semua itu sungguh sangat berharga! Secara khusus, saya juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih saya kepada tante terkasih Kumiayi Agung Saputra dan nenek terbaik yang sangat bijaksana Sri Widjayanti. Saya berterima kasih dan merasa beruntung memiliki sahabat,

sparing partner, penasihat, sumber ilmu hidup, motivator, penyedia makanan

yang lezat, dan atas segala yang telah kami lewati bersama. I love them!

Saya mengucapkam terima kasih yang mendalam kepada dosen pembimbing skripsi saya yang sekaligus menjabat sebagai kepala program studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma pada saat pengerjaan skripsi, Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si. atas penyertaan, perhatian, dan kesabaran beliau. Saya berterima kasih untuk kejelian dan ketulusan beliau dalam membimbing saya.


(13)

x

Saya ucapkan pula terima kasih yang mendalam untuk Bapak Carolus Wijoyo Adinugroho, M.Psi. sebagai pembimbing akademik saya yang tidak pernah lelah memberikan semangat, tips, dan berbagi ilmu hidup.

Saya ucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma dan dosen penguji atas masukan dan bimbingan yang diberikan. Saya ucapkan terima kasih kepada Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si. selaku sebagai kepala program studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang baru. Saya ucapkan terima kasih kepada Ibu L. Pratidarmanasititi, MS. selaku dosen penguji saya atas masukan dan bimbingan yang belau berikan, terima kasih pula karena semangat beliau telah mengajarkan saya untuk tidak mudah menyerah dan mengeluh. Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah menjadi pelita semasa perjalanan saya menuntut ilmu. Saya ucapkan terima kasih khususnya kepada Ibu Debri Pristinella, M.Si. yang telah menjadi pembina PKM, dosen yang sekaligus bisa menjadi teman dan motivator. Demikian pula kepada Bapak Victorius Didik Suryo Hartoko, M.Si. Terima kasih karena Bapak telah menginspirasi saya untuk berpikir dengan cara yang berbeda, selalu semangat untuk belajar, dan menjadi psikolog yang benar-benar mampu. Terima kasih saya haturkan juga kepada ibu Nanik, mas Gandung, pak Giyono selaku staff sekretariat untuk bantuan dan dukungan yang telah mereka berikan, serta pada mas Muji selaku petugas lab psikologi yang selalu siap sedia melayani dan menyemangati para mahasiswa.


(14)

xi

Secara khusus saya berterima kasih kepada Ibu Dr. Fransisca Ninik Yudianti, M.Acc. dan Romo Cyprianus Kuntoro Adi, S.J. yang telah mendukung saya dan memudahkan saya mengurus kehidupan ganda saya selama kuliah. Terima kasih untuk perhatian yang hangat dan semangat yang selalu saya terima kapan pun dan di mana pun kami bertemu.

Saya berterima kasih kepada teman-teman dekat yang menemukan dan saya temukan selama saya belajar dan bermain di Universitas Sanata Dharma, Venni, Bayu, Nut2, Ani, Icha, Tuti, Yunika, Ruth, Tara, Mbak Herlina, Dimas, Bibin, Wila, Nina, Tammy, Disty, Budi, Mandana, Rere, Reza, Seno, si kembar Ko Billy & Ko Willy, Fil, dan Sandy. Saya berterima kasih karena mereka selalu ada ketika dunia serasa memusuhi. Saya berterima kasih untuk kesetiaan, tawa dan tangis, rasa sayang dan sebal, dan terutama untuk kesempatan saling membantu. Terima kasih karena telah menjadi bagian dari inspirasiku!

Saya juga berterima kasih kepada keluarga baru yang kutemukan dalam perjalanan ini, Paduan Suara Mahasiswa Cantus Firmus, Komunitas Mahasiswa

Buddhis Konghucu Dharma Viriya, Komunitas Buddhis Vidyasena, Komunitas Buddhis Kadam Coeling Indonesia, all fellow 2010 PBI students, all fellow

“Latu” play performance team, teman Psikologi angkatan 2011, teman-teman Psikologi angkatan 2010, teman-teman-teman-teman Beswan Djarum Batch 28, staff Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, teman-teman sekelompok dan adik-adik atlet Taekwondo PKM-M Mood Modification Skill, dan teman-teman PPL SMA


(15)

xii

telah kita jalani bersama. Terutama terima kasih karena telah memberikan begitu banyak pelajaran tentang hidup.

Tak lupa, saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah dengan tulus membantu dan menyemangati saya. Terima kasih karena saya telah diingatkan untuk selalu berbuat lebih dari sekedar baik.

Sabbe sattā bhavantu sukhitattā. May all beings be happy.

Semoga semua makhluk hidup berbahagia.


(16)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ...viii

KATA PENGANTAR ... .ix

DAFTAR ISI ...xiii

DAFTAR TABEL ... ...xvii

DAFTAR GAMBAR ... ..xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... ....xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B.Rumusan Masalah ... 10

C.Tujuan Penelitian ... 10

D.Manfaat Penelitian ... 10

1. Manfaat Teoretis ... 10

2. Manfaat Praktis ... 11


(17)

xiv

A.Masa Dewasa Awal ... 12

1. Pengertian Masa Dewasa Awal ... 12

2. Karakteristik Masa Dewasa Awal ... 14

3. Tugas-tugas Perkembangan Masa Dewasa Awal ... 17

B.Kestabilan Emosi ... 19

1. Pengertian Kestabilan Emosi ... 19

2. Indikator Kestabilan Emosi ... 23

3. Ciri-ciri Kestabilan Emosi ... 26

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kestabilan Emosi ... 28

C.Media Sosial ... 29

1. Pengertian Media Sosial ... 29

2. Fungsi Media Sosial ... 30

3. Bentuk-Bentuk Media Sosial ... 32

4. Tipe Penggunaan Media Sosial ... 32

D.Durasi Penggunaan Media Sosial ... 34

E. Dinamika Hubungan Durasi Penggunaan Media Sosial dengan Kestabilan Emosi Pengguna Media Sosial Usia Dewasa Awal ... 34

F. Skema ... 39

G. Hipotesis Penelitian ... 39

BAB III METODE PENELITIAN... 40

A. Jenis Penelitian ... 40

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 40


(18)

xv

1. Variabel Bebas ... 41

2. Variabel Tergantung... 41

D. Subjek Penelitian ... 42

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 43

1. Angket Durasi Penggunaan Media Sosial ... 43

2. Skala Kestabilan Emosi ... 44

F. Validitas, Seleksi Item, dan Reliabilitas Alat Pengumpulan Data ... 46

1. Validitas ... 46

2. Reliabilitas ... 47

3. Analisis Aitem ... 48

G. Metode Analisis Data ... 50

1. Uji Asumsi ... 50

a. Uji Normalitas ... 50

b. Uji Linearitas ... 51

3. Uji Hipotesis ... 51

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 53

A. Pelaksanaan Penelitian ... 53

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 53

C. Deskripsi Data Penelitian ... 55

D. Hasil Analisis Data Penelitian ... 58

1. Hasil Uji Asumsi Penelitian ... 58

a. Uji Normalitas ... 58


(19)

xvi

2. Hasil Uji Hipotesis ... 60

E. Pembahasan ... 62

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 70

A. Kesimpulan ... 70

B. Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 73


(20)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tabel Penilaian skala ... 48

Tabel 2. Tabel Blueprint Skala Kestabilan Emosi ... 48

Tabel 3. Tabel Distribusi Aitem Skala Kestabilan Emosi (sebelum uji coba) ... 49

Tabel 4. Tabel Distrbusi Aitem Skala Kestabilan Emosi (setelah uji coba) ... 53

Tabel 5. Tabel Deskripsi Subjek Berdasarkan Tipe Pengguna Media Sosial ... 54

Tabel 6. Tabel Deskripsi Jenis Media Sosial ... 54

Tabel 7. Tabel Deskripsi Subjek Berdasarkan Jenis Media Sosial yang Dimiliki dan Digunakan ... 55

Tabel 8. Tabel Deksripsi Statistik Data Penelitian ... 56

Tabel 9. Tabel Data Empiris Durasi Penggunaan Media Sosial ... 57

Tabel 10. Tabel Hasil Uji Normalitas Kolmogorov- Smirnov... 59


(21)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bagan model afek ... 21 Gambar 2. Histogram data durasi penggunaan media sosial ... 57


(22)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Angket Durasi Penggunaan Media Sosial dan Skala Kestabilan Emosi ... 81 Lampiran 2. Hasil Seleksi Aitem Skala Kestabilan Emosi ... 87 Lampiran 3. Hasil Uji Reliabilitas Skala Kestabilan Emosi ... 89 Lampiran 4. Hasil Uji Deskriptif Mean Empiris ... 90 Lampiran 5. Hasil Uji Normalitas ... 91 Lampiran 6. Hasil Uji Linearitas ... 92 Lampiran 7. Hasil Uji Hipotesis ... 94


(23)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Pusat Kajian dan Komunikasi (Puskakom) UI pengguna internet di Indonesia telah mencapai 88,1 juta orang pada akhir tahun 2014 dan 95% dari pengguna internet tersebut menggunakan internet untuk mengakses media sosial (kominfo.go.id). Hasil survei tersebut juga menemukan bahwa mayoritas pengguna internet di Indonesia adalah individu yang berada dalam kelompok usia dewasa awal dengan rentang usia 18 – 25 (49%) tahun dan diikuti oleh usia 28 –35 tahun (33,8 %). Masa dewasa awal meliputi usia 19 hingga 40 tahun (Hurlock, 1999) atau usia 20 hingga 40 tahun (Papalia, 2007).

Secara umum, media sosial mengacu pada media atau alat interaksi antar manusia yang berbasis komputerisasi dimana setiap orang dapat menciptakan, membagikan, dan bertukar informasi di dalamnya melalui internet (Ahlqvist dkk, 2008; Jones, 2011; Jalonen, 2014). Media sosial merupakan wadah yang mampu menyatukan antara teknologi, manusia, dan informasi. Media sosial memungkinkan orang untuk menyimpan, mempublikasi, berdiskusi, menyampaikan pendapat, dan termasuk di dalamnya mempengaruhi masyarakat (Jalonen, 2014). Media sosial yang


(24)

digemari oleh masyarakat Indonesia setelah Facebook adalah Twitter,

Instagram, dan LINE secara berurutan (id.techinasia.com).

Media sosial dinilai sebagai gebrakan baru tempat dimana pengalaman emosional dibagikan dan diperkuat, seperti dikatakan oleh Rubin (2011). Meskipun emosi dirasakan pada level individual, melalui media sosial, emosi dapat langsung dibagikan pada dan oleh orang lain (Jalonen, 2014). Kemampuan media sosial untuk menghapus rintangan waktu dan jarak, memungkinkan apa yang terjadi pada taraf lokal kini dapat menjadi isu global.

Salah satu efek yang terjadi apabila terlalu banyak menggunakan media sosial adalah emosi yang diungkapkan melalui media sosial dapat ditularkan tanpa sadar. Hal ini memungkinkan pengguna media sosial untuk merasakan emosi yang sama tanpa sadar. Kramer dkk (2014) menyatakan bahwa penularan emosi dapat terjadi tanpa melalui interaksi secara langsung dan meski tanpa informasi non-verbal. Hal ini dibuktikan pula dalam penelitian Fowler & Christakis (2008) serta Rosenquist dkk (2011) yang dilakukan selama 20 tahun pada sebuah media sosial yang menunjukkan bahwa mood yang bertahan lama, seperti depresi dan kebahagiaan, dapat ditularkan melalui media masa.

Kramer dkk (2014) juga melakukan penelitian yang membuktikan efek media sosial terhadap emosi penggunanya. Kramer dkk menemukan bahwa ketika seseorang banyak terpapar konten media sosial yang bernada negatif, kemungkinan ia akan memposting konten yang bernada negatif juga akan


(25)

meningkat. Sebaliknya, jika seseorang lebih sering terpapar pada konten positif, kemungkinan ia memposting konten yang bernada positif juga akan bertambah. Namun, pada kenyataannya, konten informasi yang banyak disajikan kepada masyarakat kini cenderung bernada negatif, yang berisiskan keresahan, kekerasan dan rusaknya moral. Hal ini menyebabkan berkembangnya angka depresi dan tingkat agresi dalam masyarakat (Chaturvedi & Chander, 2010).

Penelitian lain (Shweiter & Garcia, 2010; Chmiel dkk, 2011; Tadic dkk, 2013; Kwon, Kim, & Kim, 2013, Jalonen, 2014) menunjukkan bahwa media sosial dapat mengendalikan kondisi emosi kolektif manusia baik emosi positif maupun negatif. Media sosial dapat mendorong terjadinya ledakan konten emosional yang melibatkan banyak orang, dimana apa yang orang bagikan, baik informasi maupun emosi, di dalam media sosial dapat berlipat ganda (Chmiel dkk, 2011 & Tadic dkk, 2013). Hal ini makin menguatkan pernyataan bahwa media sosial memungkinkan emosi untuk ditularkan dari satu orang ke orang yang lain melalui konten emosional.

Menurut penelitian Hartfield dkk (1994), beberapa orang akan lebih mudah mengalami penularan emosi dari pada yang lain. Mereka menemukan bahwa orang yang paling mudah tertular adalah orang yang cenderung bersifat perhatian dan sensitif, menghargai kebersamaan daripada individualitas dan keunikan, serta mereka yang pengalaman emosionalnya sangat dipengaruhi oleh umpan balik dari lingkungan sekitar.


(26)

Selain dapat menjadi media penularan emosi, penggunaan media sosial yang terlalu banyak juga telah terbukti dapat mempengaruhi suasana hati seseorang. Sebuah studi (Steer, 2014) menemukan bahwa saat menghabiskan waktu menelusuri media sosial, seseorang secara otomatis akan mulai membandingkan apa yang terjadi dalam hidupnya dengan apa yang terjadi pada hidup orang lain dan pencapaian mereka. Hal ini tidak dapat dikendalikan karena pengguna media sosial tidak dapat memprediksi apa yang akan diunggah oleh sesama pengguna media sosial. Seberapa lama seseorang menghabiskan waktu menelusuri media sosial dan mengalami proses pembandingan sosial ini menghasilkan reaksi depresif akibat

munculnya efek “alone together” (Turkle, 2011). Turkle (2011) menjelaskan

bahwa melalui media sosial, seperti Facebook, seseorang dapat menciptakan profil yang diinginkan atau yang dipikirkan sesuai dengan diri. Hal ini dapat menjadi sumber stres karena melalui proses inilah seseorang membangun citra diri.

Perubahan suasana hati terjadi karena orang akan melalui proses pembandingan profil dirinya dengan profil milik orang lain. Terutama ketika seseorang dihadapkan pada kebahagiaan orang lain, maka akan menghasilkan perasaan iri dan muram. Sejalan dengan studi ini, studi lain menemukan bahwa semakin sering seseorang membuka Facebook, semakin orang tersebut merasa tidak bahagia (Kross dkk, 2013; telegraph.co.uk). Hal ini menunjukkan bahwa media sosial yang memaparkan kebahagiaan seseorang, dapat membuat pengguna media sosial lain merasa kesepian dan muram.


(27)

Dilansir pula dalam situs sains.kompas.com dan solopos.com bahwa gaya hidup yang tidak terlepas dari penggunaan media sosial dapat memicu

gejala depresif yang dikenal dengan sebutan ”Facebook depression”. Gejala

ini muncul akibat terpaparnya seseorang pada laman yang berisi kesenangan atau pengalaman bahagia yang membuat berkurangnya rasa percaya diri orang tersebut karena tidak bernasib sama. Selain itu, tidak mendapatkan respon yang diharapkan, terpaparnya masa lalu yang memalukan atau menyakitkan, dan tidak memiliki jumlah teman yang banyak dapat pula menjadi sumber munculnya gejala depresif pada pengguna media sosial.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan media sosial yang terlalu banyak dapat memberikan efek pada kondisi emosional dan suasana hati penggunanya. Munculnya media sosial menjadi salah satu media yang dapat memberikan rangsangan dari luar yang memicu keadaan emosional atau perubahan suasana hati. Oleh karena itu, media sosial dapat menjadi sumber stressor tambahan bagi individu dewasa awal.

Adanya rangsangan emosional dari media sosial yang dapat mempengaruhi suasana hati ini kemudian berdampak pada perubahan kestabilan emosi seseorang. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kestabilan emosi. Salah satu faktor yang mempengaruhi kestabilan emosi seseorang adalah faktor steming atau suasana hati atau mood (Morgan & King dalam Walgito, 1970). Faktor ini terkait dengan keterpaparan individu pada berbagai macam emosi, termasuk di dalamnya emosi positif atau negatif yang


(28)

sangat mempengaruhi suasana hati individu tersebut. Kemunculan kondisi atau rangsangan dari luar inilah yang memicu keadaan emosional atau perubahan suasana hati.

Individu dewasa awal yang berkembang dengan normal seharusnya telah mencapai kestabilan emosi yang baik (Chaturvedi & Chander, 2010). Individu dewasa awal membutuhkan kestabilan emosi agar dapat menemukan cara yang efektif, realistis, dan seimbang dalam mengahadapi masalah dan tekanan yang timbul. Pencapaian ini didukung oleh perkembangan emosi yang telah mencapai kematangan (Santrock, 2009). Individu dewasa awal telah memiliki kemampuan pengendalian emosi yang lebih baik dibandingkan dengan individu pada masa perkembangan sebelumnya, yaitu pada masa anak-anak dan remaja dimana individu masih melewati tahap perkembangan emosi. Hal ini dapat dilihat dari pemilihan strategi coping individu dewasa awal yang lebih realistis dan tidak kekanak-kanakan.

Kestabilan emosi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan sistem emosi yang kompleks pada individu untuk tetap menjaga ketenang-seimbangannya secara efektif (Li, 2005). Kestabilan emosi menurut Thorndike dan Hagen (1979) ditandai dengan adanya kesamaan mood, niat, ketertarikan, keceriaan, ketenangan dan kendali, perasaan sehat, tidak adanya perasaan bersalah, tidak adanya kecemasan atau kesepian, tidak adanya lamunan, serta tidak adanya dominasi ide-ide dan mood. Maka, dapat disimpulkan bahwa kestabilan emosi merupakan faktor yang memampukan seseorang untuk mengembangkan cara yang tenang dan seimbang dalam


(29)

menghadapi tekanan dalam hidup. Keseimbangan ini muncul dalam bentuk cara pikir yang berfokus pada realita, kemampuan yang baik untuk menilai dan mengevaluasi, serta berkembangnya perasaan, persepsi, dan sikap yang mendukung dalam memahami kondisi yang tidak menyenangkan dalam hidup (Smithson, 1974).

Sebaliknya, ketidakstabilan emosi merujuk pada kegagalan seseorang dalam mengembangkan kemandirian yang seharusnya tampak pada orang dewasa yang normal (Chaturvedi & Chander, 2010). Ketidakmandirian ini menyebabkan pola penyesuaian diri yang kekanak-kanakan dan ketidakmampuan untuk menjaga ketenang-seimbangan di tengah tekanan. Kanfer & Heggestad (1997) menyebutkan bahwa orang yang memiliki ketidakstabilan emosi tidak mampu mengendalikan emosi dan oleh karenanya membuat mereka sulit berkonsentrasi dan menyelesaikan tugas terutama dalam kondisi penuh tekanan. Kurangnya kemampuan berkonsentrasi ini dapat menyebabkan menurunnya produktivitas, meningkatnya kesalahan, dan akibatnya performa seseorang akan menjadi buruk.

Pandangan yang sama mengenai kestidakstabilan emosi diungkapkan pula oleh Judge & Ilies (2002) yang menyebutkan bahwa mereka yang mudah mengalami kecemasan dan rasa tidak aman (ciri-ciri ketidakstabilan emosi) cenderung merasa ketakutan, lebih sering memikirkan kegagalan, serta lebih merasa tidak mampu berbuat apa-apa dan membutuhkan bantuan orang lain. Dalam kata lain, ketidakstabilan emosi dapat memicu munculnya perasaan ketidakberdayaan yang umum disebut, meminjam istilah dari Rodewalt


(30)

(1994), ”self-handicapping”. Merangkum dari apa yang sudah dijelaskan

sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa individu dengan ketidakstabilan emosi akan menunjukkan keringkihan, ketidakberdayaan, keputusasaan, sikap kekanak-kanakan, selalu mencari simpati dari orang lain, rendahnya kemampuan mengendalikan, dan rendahnya kemampuan untuk menyelesaikan masalah.

Sebuah penelitian (Kendler dkk, 2004) menemukan bahwa individu yang megalami ketidakstabilan emosi (individu dengan neurotisme tinggi) lebih rentan terhadap efek depresif akibat ancaman kontekstual jangka panjang dari pada individu yang memiliki kestabilan emosi (individu dengan neurotisme rendah). Penelitian lain oleh Kling dkk (2003) mendapatkan hasil bahwa kestabilan emosi mampu memprediksi perubahan gejala depresif pada wanita yang mengalami perubahan hidup secara signifikan.

Hasil dari kedua penelitian ini menunjukkan bahwa kestabilan emosi merupakan faktor yang penting untuk menghadapi tekanan yang dialami oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Kestabilan emosi dapat berperan menjadi penengah dalam menghadapi stressor bagi individu dewasa awal sehubungan dengan tugas perkembangan membutuhkan keterampilan sosial dan emosional (Santrock, 2009). Keterampilan ini nantinya akan membantu memudahkan individu dewasa awal dalam beradaptasi dengan perubahan pola hidup dan mengahadapi masalah. Salah satu hal yang termasuk dalam keterampilan emosional yang harus dimiliki oleh individu dewasa awal adalah kestabilan emosi (Chaturvedi & Chander, 2010). Berdasarkan


(31)

penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti kestabilan emosi individu dewasa awal terkait dengan adanya perkembangan teknologi media sosial yang dapat menjadi sumber stress tambahan. Maka, peneliti hendak meneliti hubungan antara durasi penggunaan media sosial dengan kestabilan emosi pengguna usia dewasa awal.

Peneliti juga tertarik melakukan penelitian ini pada masyarakat Indonesia karena masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang menganut budaya kolektif (Rahmani, 2014). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, individu yang lebih mudah mengalami penularan emosi, yaitu cenderung bersifat perhatian dan sensitif, mengahargai kebersamaan dan pengalaman emosionalnya sangat dipengaruhi oleh umpan balik dari lingkungan sekitar (Hartfield dkk, 1994). Hal-hal tersebut merupakan ciri individu yang merupakan bagian dari masyarakat kolektif (Matsumoto, 1999).

Subjek dari penelitian ini adalah individu dewasa awal pengguna media sosial. Subjek meliputi individu yang berusia usia 19 hingga 40 tahun. Subjek penelitian dewasa awal pada saat penelitian ini dilakukan tergolong dalam generasi Y yang lebih dekat dengan pengggunaan media sosial yang juga merupakan kelompok usia mayoritas pengguna media sosial di Indonesia. Dalam penelitian ini, kestabilan emosi yang terdiri dari lima indikator berperan sebagai variabel tergantung dan durasi penggunaan media sosial akan berperan sebagai variabel bebas. Kelima indikator kestabilan emosi meliputi optimisme, empati, kemandirian, ketenangan, dan toleransi. Variabel


(32)

ini akan diukur menggunakan skala yang disusun berdasarkan teori yang diajukan oleh Chaturvedi & Chander (2010), sedangkan durasi penggunaan media sosial akan diukur menggunakan angket.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah hubungan antara durasi penggunaan media sosial dan kestabilan emosi pengguna media sosial usia dewasa awal.

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa hubungan antara durasi penggunaan media sosial dan kestabilan emosi pengguna media sosial usia dewasa awal.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ulasan dan informasi bagi perkembangan ilmu psikologi perkembangan, terutama pada bidang perkembangan dewasa awal dan perkembangan emosi terkait dengan pengaruh perkembangan teknologi dan informasi terhadap perkembangan psikologi. Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat


(33)

membantu menyediakan referensi bagi peneliti selanjutnya yang tertarik pada bidang yang sama.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca memahami bahwa penggunaan media sosial dapat mempengaruhi suasana hati yang dapat mengganggu kestabilan emosi, sehingga diharapkan hasil penelitian ini dapat mendorong pembaca untuk meningkatkan sikap kritis dalam menggunakan media sosial serta memberi informasi bagi pembaca akan pentingnya kestabilan emosi untuk menyikapi permasalahan hidup dengan efektif.


(34)

12 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Masa Dewasa Awal

1. Pengertian Masa Dewasa Awal

Masa dewasa awal adalah periode perkembangan manusia yang mencakup individu yang berusia 18 hingga 40 tahun (Hurlock, 1999). Pendapat lain, Papalia (2007) menjelaskan bahwa masa dewasa awal mencakup individu yang berusia 20 hingga 40 tahun. Masa ini merupakan masa transisi dari masa remaja menuju masa dewasa. Pada masa remaja, perubahan yang terjadi pada individu terbatas pada perubahan dalam diri, baik secara fisik maupun secara mental (Papalia, 2007). Berbeda dengan masa remaja, individu pada masa dewasa awal dihadapkan pada perubahan tanggung jawab, yang melibatkan tidak hanya diri individu tetapi juga orang lain (Papalia, 2007).

Individu yang telah memasuki masa dewasa awal adalah individu yang telah menyelesaikan proses pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan bersama individu dewasa lain dalam masyarakat. Pada masa ini, individu akan meninggalkan rumah orangtuanya untuk menyelesaikan pendidikan, untuk bekerja demi mencapai kemandirian ekonomi dan kestabilan hubungan dengan pasangan, atau untuk berkeluarga (Berk, 2007). Pada masa ini, individu sudah dianggap dapat membuat keptusan sendiri dan bertanggung jawab atas dirinya, tidak


(35)

seperti remaja dan anak-anak yang masih menjadi tanggung jawab orang tua. Oleh karena itu, pada masa ini individu dituntut untuk menyesuaikan diri dengan pola kehidupan yang baru serta harapan sosial yang baru (Hurlock, 1999).

Penyesuaian diri yang dilakukan oleh individu dewasa awal membutuhkan keterampilan sosial dan emosional (Santrock, 2009). Hal ini berkaitan dengan masa dewasa awal adalah tahap dimana individu mulai membangun hubungan yang intim dengan individu lain (Erickson dalam Santrock, 2009). Jika individu dewasa awal gagal membangun keintiman, ia akan mengalami keterkucilan atau isolasi yang kemudian akan mempengaruhi hubungan interpersonalnya (Santrock, 2009).

Masa dewasa awal ini ditandai dengan adanya kemandirian secara finansial maupun tanggung jawab atas tindakan diri sendiri (Lemme, 1995). Pada masa ini pula terdapat keputusan penting yang dibuat berkaitan dengan pekerjaan, keluarga, dan gaya hidup. Papalia dkk (2007) menjelaskan bahwa keputusan penting inilah yang mengganggu keseimbangan hidup individu pada masa ini. Hal ini terkait dengan pengaruh keputusan yang mereka buat pada kehidupan mereka selanjutnya, baik dalam bidang kesehatan, kebahagiaan, atau kesuksesan karir.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa masa dewasa awal merupakan masa manusia memasuki transisi dari remaja ke dewasa yang mencakup usia 18 tahun hingga 40 tahun. Masa dewasa merupakan


(36)

masa penyesuaian diri individu terhadap pola kehidupan dan harapan sosial yang baru.

2. Karakteristik Masa Dewasa Awal

Hurlock (1999) menjelaskan ada beberapa karakteristik atau ciri yang membedakan masa dewasa awal dengan tahap perkembangan lainnya. Karakteristik tersebut adalah:

a. Masa Pengaturan

Pada masa dewasa awal, individu mulai menerima tanggung jawab yang lebih besar sebagai orang dewasa. Salah satu pengaturan yang dilakukan oleh individu pada masa ini adalah menentukan pekerjaan yang paling sesuai dengan diri untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan yang lebih permanen.

b. Masa Usia Reproduktif

Pada masa dewasa awal, individu mulai memasuki tahap pembanguan hubungan intim yang mengarah pada pernikahan, bekeluarga, dan menjadi orang tua. Di sisi lain, individu yang belum menikah akan membangun kehidupan karirnya.

c. Masa Bermasalah atau Ketidakstabilan

Pada tahap perkembangan ini, bermunculan banyak masalah baru yang harus dihadapi. Hal ini berkaitan dengan peralihan masa kanak-kanak ke masa dewasa yang berbeda pola hidup dan tanggung


(37)

jawab. Ketidakstabilan terjadi dalam berbagai aspek kehidupan individu dewasa awal karena pola hidupnya berubah.

d. Masa Emosional

Pada masa ini, individu akan mengalami kebingungan dan keresahan emosional. Berbeda dengan masa remaja, dimana keresahan emosional terjadi karena perubahan secara fisik dan hormonal, pada masa dewasa awal hal ini terkait dengan penyesuaian diri yang penuh dengan konflik yang harus dihadapi berkaitan dengan pola hidup baru serta tuntutan sosial dan upaya penyelesaian masalah baru yang bermunculan.

e. Masa Keterasingan Sosial

Pada masa ini, individu menjadi lebih egosentris. Hal ini berkaitan dengan tuntutan persaingan dan kemajuan dalam berkarir. Maka, individu dapat pula mengalami kesepian.

f. Masa Komitmen

Pada masa ini, individu memasuki pola hidup yang baru dimana ia dituntut untuk memikul sendiri tanggung jawab dan komitmen baru. g. Masa di antara

Pada masa ini, individu menganggap dirinya bukan remaja lagi tetapi juga belum sepenuhnya dewasa. Individu mengharapkan otonomi atas hidup mereka dengan membiayai diri sendiri secara mandiri meski sebenarnya mereka menyadari bahwa mereka masih


(38)

memiliki ketergantungan pada orang lain, seperti misalnya pada orang tua untuk membiayai pendidikan.

h. Masa Perubahan Nilai

Pada masa ini, individu akan mengalami perubahan nilai yang ia bawa semasa kanak-kanak dan remaja. Nilai-nilai itu pada masa ini mulai dilihat menggunakan kacamata orang dewasa.

i. Masa Penyesuaian Diri dengan Cara Hidup Baru

Pada masa ini, individu harus melakukan penyesuaian diri pada gaya hidup yang baru. Penyesuaian yang dilakukan pada umumnya adalah dalam bidang pekerjaan, kehidupan perkawinan, peran sebagai orang tua, maupun dalam hal berkeluarga. Hal ini sulit karena pada umumnya terdapat ketidakcocokan antara gaya hidup yang lama dengan gaya hidup yang baru.

j. Masa Kreatif

Pada masa ini, individu memusatkan minat dan kemampuan individual mereka pada kegiatan-kegiatan yang memberikan kepuasan seperti hobi atau pekerjaan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa masa dewasa awal merupakan masa yang ditandai dengan dimasukinya masa pengaturan, masa usia reproduktif, masa bermasalah atau ketidakstabilan, masa emosional, masa keterasiangan sosial, masa komitmen, masa di antara, masa perubahan nilai, masa penyesuaian diri, dan masa kreatif. Karakter yang paling menonjol dari masa dewasa awal yang


(39)

membedakan masa ini dengan masa remaja yang juga bergejolak adalah adanya tuntutan sosial yang berkaitan dengan peran sosial dan tanggung jawab sosial dari individu kepada masyarakat, serta adanya perubahan pola hidup dimana hidup tidak lagi berfokus ke dalam diri (perubahan fisik dan kelenjar), melainkan keluar diri. Individu dewasa awal mulai memasuki pola hidup dimana individu mulai membangun hidup bersama dengan orang lain (keluarga dan pekerjaan).

3. Tugas-Tugas Perkembangan Masa Dewasa Awal

Setiap melewati sebuah tahap perkembangan, individu memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi sebelum akhirnya masa perkembagan pada tahap itu berakhir dan individu memasuki tahap perkembangan yang selanjutnya (Hurlock, 1999). Dariyo (2003) menjabarkan ada beberapa tugas perkembangan individu dewasa awal, yaitu:

a. Mencari dan menemukan pasangan hidup

Ketika memasuki masa dewasa awal, individu akan semakin matang secara seksual dan menjadi siap untuk melakukan reproduksi melalui proses pernikahan resmi. Maka, pada masa ini, individu akan berusaha untuk menemukan pasangan hidup yang cocok dengan kriteria tertentu untuk membina rumah tangga.


(40)

b. Membina kehidupan rumah tanggga

Individu yang berada di masa dewasa awal akan berusaha untuk membuktikan diri dengan menunjukkan bahwa mereka telah mandiri secara ekonomi dan tidak bergantung pada orangtua. Hal ini berkaitan dengan persiapan membangun rumah tangga sendiri. Individu dituntut untuk mampu membentuk, membina, dan mengembangkan kehidupan rumah tangga dengan baik agar mencapai kebahagiaan. Selain itu, individu juga memiliki kewajiban untuk melahirkan (bagi wanita), membesarkan anak, mendidik anak, dan membina anak dalam keluarga. Maka, individu harus dapat bekerja sama dengan pasangan hidupnya.

c. Meniti karir untuk memantapkan kehidupan ekonomi rumah tangga Setelah menyelesaikan pendidikannya, individu dewasa awal akan memasuki dunia kerja dan menerapkan ilmunya. Individu akan berusaha menemukan dan menekuni karir yang cocok dengan minat dan bakat mereka, meski tidak sedikit individu yang tetap bekerja pada bidang yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Hal ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan jaminan masa depan keuangan yang baik. Penghasilan yang layak dapat membantu individu untuk membangun kehidupan ekonomi keluarga yang mapan. Selain itu, masa ini merupakan masa individu mencapai puncak prestasi. Individu akan bersemangat dan penuh idealisme sehingga pada masa ini mereka akan bekerja dengan keras dan bersaing dengan


(41)

individu sebaya untuk menunjukkan prestasi kerja yang baik. Dengan demikian, individu tersebut akan mampu mendapatkan pengahasilan yang baik dan mampu memberi kehidupan yang sejahtera bagi keluarganya.

d. Menjadi warga negara yang bertangggung jawab

Individu pada masa ini wajib memenuhi seluruh syarat yang tertera dalam undang-undang, seperti mengurus dan memiliki surat tanda penduduk, akta kelahiran, paspor/visa bagi yang akan bepergian, membayar pajak, serta turut menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengendalikan diri serta terlibat dalam kegiatan gotong-royong, dsb.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa tugas perkembangan yang harus dilaksanakan oleh individu dewasa awal. Tugas tersebut meliputi tugas mencari pasangan hidup, membina kehidupan rumah tangga, meniti karir dan memantapkan perekonomian keluarga, dan menjadi warga negara yang bertanggung jawab.

B. Kestabilan Emosi

1. Pengertian Kestabilan Emosi

Emosi diartikan sebagai keadaan perasan yang melibatkan pikiran-pikiran dan perubahan fisiologis, ekspresi seperti reaksi wajah, gestur atau postur tubuh (Brehm, 1999; Cacioppo & Gardner, 1990 dalam Jalonen, 2014). Emosi memiliki objek yang secara intuitif dan secara


(42)

sengaja dituju. Janlonen (2014) mengutip literatur (Russel, 1980; Schweiter & Garcia, 2010) yang menjelaskan bahwa emosi dibagi menjadi dua bagian yaitu yang menggambarkan jenis emosi (valence) dan bagian yang mengambarkan efek emosi (arousal). Valence mengacu pada apakah perasaan yang berkaitan dengan emosi tertentu bersifat positif atau negatif, sedangkan arousal mengacu pada aktivitas personal yang dilakukan akibat emosi tertentu. Pejelasan mengenai bagian ini dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Bagan model afek (diadaptasi dari Russel, 1980)

Locke (2001) menjelaskan bahwa terdapat sebuah pola universal terbentuknya setiap emosi. Pola tersebut adalah: objek  kognisi  apraisal nilai  emosi. Objek di sini dapat berupa berbagai macam benda, orang, perbuatan, kejadian, ide, kenangan atau emosi pendahulu. Objek ini seringkali tidak disadari oleh individu pada umumnya. Tahap kognisi di sini melibatkan persepsi seseorang terhadap objek tersebut dan konteksnya beserta pengetahuan pendahulu yang secara bawah sadar otomatis diasosiasikan dengan objek tersebut. Tahap penilaian di sini


(43)

melibatkan pengukuran objek secara bawah sadar berdasarkan apakah nilai yang muncul dipersepsi sebagai ancaman atau pemenuhan dengan tingkatan tertentu. Kedua tahap tengah pada pola ini, yaitu tahap kognisi dan apraisal nilai, merupakan proses otomatis bukan dikendalikan kehendak serta merupakan proses bawah sadar dan bukan sadari.

Locke (2001) juga memberikan penjelasan mengenai mood. Mood adalah keadaan emosional yang bertahan karena objek emosi tersebut terdapat di mana-mana atau karena pemicu kondisi emosi tersebut adalah alam bawah sadar yang merupakan bagian ingatan atau karena terus-menerus mengingat kejadian yang memicu.

Lokus kendali emosi pada umumnya terletak pada masing-masing individu. Namun, ada pula (Bar-Tal dkk, 2007) yang berargumen bahwa ada yang disebut dengan emosi kolektif. Bar-Tal dkk menjelaskan bahwa emosi kolektif merupakan pengalaman emosional yang dikuatkan oleh masyarakat.

Li (2005) mengartikan kestabilan emosi, berdasarkan teori

self-organization, sebagai label yang menggambarkan mampu atau tidaknya

suatu sistem emosi yang kompleks untuk secara otomatis mempertahankan keseimbangannya dengan efisien. Sedangkan menurut Thorndike dan Hagen (1979), seseorang yang memiliki kestabilan emosi adalah yang memiliki kesamaan atau keseimbangan mood, intensi, ketertarikan, optimisme, keceriaan, ketenangan dan kendali, perasaan sehat, tidak adanya perasaan bersalah, tidak adanya kecemasan atau


(44)

kesepian, tidak adanya lamunan, serta tidak adanya dominasi ide-ide dan

mood. Tokoh lain, Smithson (1974), mengartikan kestabilan emosi

sebagai sebuah proses dimana kepribadian secara terus-menerus berjuang untuk mencapai kondisi kesehatan emosional yang lebih baik, secara intra-fisik maupun intra-kepribadian, sehingga orang menjadi mampu untuk mengembangkan cara memandang hidup yang terintegrasi dan berimbang, serta cara berpikir yang berorientasi pada realita. Pemahaman terhadap hidup dengan cara ini kemudian juga menguatkan ego seseorang.

Di sisi lain, ketidakstabilan emosi merujuk pada kegagalan seseorang untuk mengembangkan kemandirian atau kebergantungan pada diri sendiri yang seharusnya muncul pada orang dewasa yang normal, yang disertai dengan penggunaan terus-menerus penyesuaian diri yang kekanak-kanakan dan ketidakmampuan untuk menjaga keseimbangan di bawah kondisi yang penuh tekanan (Chaturvedi & Chander, 2010). Individu yang memiliki ketidakstabilan emosi menunjukkan ketidakmampuan untuk mengatasi masalah dan selalu membutuhkan bantuan orang lain dalam menyelesaikan tugas sehari-hari. Selain itu, individu ini juga menunjukkan sikap kekanak-kanakan, egois, mudah terpengaruh, dan penuntut.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa emosi merupakan keadaan perasaan yang melibatkan pikiran dan perubahan fisiologis. Mood merupakan keadaan emosional yang bertahan karena


(45)

objek emosi yang bertahan. Kestabilan emosi merupakan kemampuan suatu sistem emosi, yang terdapat pada individu dewasa yang normal, untuk secara otomatis mempertahankan keseimbangannya dengan efisien dalam menghadapi masalah atau ketika berada di bawah kondisi yang penuh tekanan, sehingga tercapai penyesuaian diri yang baik.

2. Indikator Kestabilan Emosi

Chaturvedi & Chander (2010) menjelaskan bahwa ada lima indikator dari kestabilan emosi. Kelima indikator tersebut merupakan hasil seleksi dan penilaian pakar psikologi yang telah memiliki pengalaman setidaknya 10 tahun dalam bidang asesmen kepribadian. Kelima indikator tersebut adalah:

a. Optimisme

Individu optimis adalah mereka yang selalu ceria dan terlihat positif. Individu ini merasa puas dengan dirinya, memandang hidup itu menyenangkan, dan berdamai dengan dunia. Mereka menunjukkan sikap tekun dalam mencari tujuan-tujuan meski terhalang hambatan, menjalani hidup dengan dasar pemikiran ada harapan untuk sukses daripada dengan dasar rasa takut akan kegagalan. Mereka memandang kegagalan sebagai situasi yang bisa dikendalikan daripada sebagai kekurangan individual. Sebaliknya, individu pesimis adalah mereka yang muram dan tertekan, kecewa dengan keberadaan mereka dan merasa bermusuhan dengan dunia. Individu ini memiliki harga diri


(46)

yang rendah, bersifat introvert, memiliki rasa bersalah, memiliki ketergantungan interpersonal, dan pasif dalam situasi sosial.

b. Empati

Empati merupakan kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Individu yang bersifat empatik selalu mempertimbangkan apa yang orang lain rasakan sekaligus mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dalam membuat keputusan. Individu ini memiliki kehangatan, kepercayaan, kejujuran, dan sifat altruisme. Sebaliknya, individu yang bersifat apatis adalah mereka yang dingin, duniawi, serta memusatkan perhatiannya pada urusan mereka dengan orang lain.

c. Kemandirian/otonomi

Individu yang memiliki sifat otonom yang tinggi menikmati adanya kebebasan dan kemandirian, membuat keputusan sendiri, memandang diri mereka sebagai tuan atas takdir diri mereka, dan mengambil tindakan realistik dalam menyelesaikan masalah. Sebaliknya, individu yang begantung pada orang lain adalah mereka yang kekurangan kemandirian, berpikir bahwa dirinya tidak berdaya atas takdir, dikendalikan oleh orang lain dan situasi, serta menunjukkan sifat submisif dan kepatuhan yang sangat tingi terhadap sosok otoritas.


(47)

d. Ketenangan

Individu yang memiliki ketenangan selalu bersikap tenang, tidak mudah terganggu, tentram, dan menolak ketakutan atau kecemasan yang tidak masuk akal. Kemampuan-kemampuan ini membuat individu dapat tetap tenang, tetap dapat berpikir dengan jernih dan fokus meski berada di bawah tekanan. Sebaliknya, individu yang cemas sangat mudah terganggu saat ada hal yang salah dan cenderung merasa cemas tanpa alasan yang jelas mengenai hal-hal yang mungkin atau tidak mungkin terjadi.

e. Toleransi

Individu yang toleran bersifat lembut, bertemperamen tenang, tidak memiliki konflik personal, dan tidak melakukan kekerasan baik secara langsung maupun tidak langsung. Mereka mampu mengatur perasaan-perasaan yang mengganggu dan impuls dengan efisien. Sebaliknya, individu yang agresif ditandai dengan ekspresi kemarahan secara langsung atau tidak langsung, seperti ditunjukkan dengan perilaku tantrum, berkelahi, perdebatan yang kasar, atau keikutsertaan pada kegiatan menantang seperti balapan mobil. Mereka tidak dapat memaklumi orang lain dan merasa harus membalas siapa pun yang bertentangan dengan mereka.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kestabilan emosi memiliki lima indikator. Indikator tersebut meliputi optimisme, empati, kemandirian/otonomi, ketenangan, dan toleransi.


(48)

3. Ciri-Ciri Kestabilan Emosi

Kestabilan emosi merupakan salah satu prediktor kepribadian yang paling kuat dari kesejahteraan atau kepuasan hidup individu (DeNeve & Cooper, 1998; Steel, Schmidt, & Schulz, 2008 dalam Barrick & Mount, 2001). Karakter kestabilan emosi dapat dengan lebih jelas dilihat apabila dipandang dari sisi lain yaitu dari sisi neurotisme. Individu yang memiliki kestabilan emosi yang rendah disebut pula dengan istilah individu neurotik.

Individu yang memiliki kestabilan emosi yang rendah ini mengalami tingkat stress yang lebih besar dan penurunan tingkat kepuasan hidup karena mereka mengalami lebih banyak peristiwa yang merugikan, dan bereaksi secara negatif dengan kuat ketika masalah muncul. Individu neurotik tidak mampu mengatasi stres dengan efektif karena ketergantungan mereka pada emosi dan coping style mereka yang berorientasi pada penghindaran masalah (Barrick & Mount, 2001). Burger (2000) menambahkan bahwa individu yang memiliki kestabilan emosi yang rendah akan mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan. Selain itu, individu neurotik cenderung bersifat emosional, mudah cemas, tegang, dan marah (De Raad & Perugini, 2002).

Sebaliknya, individu yang memiliki kestabilan emosi yang lebih tinggi memiliki kepuasan hidup yang lebih tinggi pula karena mereka lebih percaya diri dalam mengahadapi keadaan penuh tekanan, memiliki pandangan yang positif terhadap diri sendiri, orang lain, maupun


(49)

terhadap lingkungan, serta mereka tidak membiarkan emosi-emosi negatif dan pemikiran yang merusak mengalihkan mereka dari apa yang sedang dikerjakan atau dilakukan (Barrick & Mount, 2001). Individu ini lebih tenang dalam mengahadapi stres dan kegagalan. Goldberg (dalam Suhartanto, 2003) menjelaskan beberapa facet atau sifat-sifat khusus untuk kestabilan emosi (neuroticism) yaitu stabilitas, ketenangan, ketidakcemburuan, kepuasaan, rasa aman, kegembiraan, ketabahan, berkepala dingin, dan kendali/terkontrol.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki kestabilan emosi yang baik adalah individu yang memiliki kepuasan hidup lebih tinggi, bepandangan positif, tidak tergoyahkan oleh emosi-emosi dan pikiran negatif, lebih tenang dalam menghadapi stres dan kegagalan, merasa aman, tidak iri hati, dan berkepala dingin. Sedangkan individu yang memiliki kestabilan emosi yang rendah adalah individu yang mudah stres, tidak puas terhadap hidup, menghindari masalah, sulit beradaptasi, emosional, mudah cemas, tegang, dan marah.


(50)

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kestabilan Emosi

Ada beberapa faktor menurut Morgan & King (dalam Walgito, 1970) yang dapat mempengaruhi kestabilan emosi seseorang, yaitu: a. Keadaan jasmani individu

Kondisi fisik meliputi kondisi kesehatan jasmani individu. Individu yang berada dalam kondisi sehat akan memiliki kestabilan emosi yang lebih baik daripada individu yang sedang sakit.

b. Pembawaan (Keadaan dasar individu)

Faktor pembawaan merupakan faktor yang melekat pada diri individu. Faktor ini meliputi faktor genetika, gender, kepribadian, etnis, dan kondisi sosial ekonomi.

c. Stemming atau suasana hati

Faktor suasana hati merupakan keadaan individu pada suatu waktu tertentu, dalam kata lain adalah mood. Keterpaparan individu pada berbagai macam stimulus emosi, termasuk di dalamnya emosi positif atau negatif sangat mempengaruhi suasana hati individu tersebut. Hal ini berkaitan dengan kemunculan kondisi atau rangsangan dari luar yang memicu keadaan emosional atau perubahan suasana hati.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi kestabilan emosi seseorang. Ketiga faktor tersebut adalah faktor keadaan jasmani individu, faktor keadaan


(51)

dasar individu atau faktor bawaan, serta faktor suasana hati atau

stemming.

C. Media Sosial

1. Pengertian Media Sosial

Media dalam komunikasi menurut Effendi (1986) adalah komponen dari komunikasi interpersonal yang merupakan saluran atau sarana yang memfasilitasi pihak yang saling berkomunikasi secara tidak langsung. Dengan adanya perkembangan teknologi, muncul internet yang menghapus batasan waktu dan tempat, sehingga memungkinkan orang untuk berkomunikasi dengan orang di bagian bumi yang lain kapan pun. Komunikasi yang bermediakan internet inilah yang kemudian disebut dengan media sosial.

Yunus (2010) menjelaskan bahwa media sosial merupakan media yang terhubung dengan jaringan internet yang memungkinkan pengguna melakukan komunikasi dalam dunia virtual atau online. Media sosial juga diartikan sebagai sekumpulan aplikasi berbasis internet yang menjalankan fungsinya melalui partisipasi pengguna dengan menciptakan isi, merubah isi yang telah ada, berkontribusi pada dialog masyarakat, dan menyatukan berbagai media (Tapscott & Williams, 2007; Kaplan & Haenlein, 2010). Jalonen (2014) menjelaskan bahwa pada umumnya media sosial merujuk pada alat komunikasi antar manusia dimana mereka dapat menciptakan, berbagi, dan bertukar informasi


(52)

dalam jaringan internet (networks). Selain itu, media sosial juga diartikan sebagai sebuah bentuk komunikasi yang bermediasikan komputerisasi, seperti email dan percakapan online yang memungkinkan pengguna untuk bertukar konten melalui internet (Ahlqvist dkk, 2008; Collins, 2004).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa media sosial merupakan media terkomputerisasi yang dapat berupa aplikasi yang terhubung dengan internet yang memungkinkan penggunanya untuk melakukan berbagai aktivitas komunikasi secara tidak langsung (online) dalam networks.

2. Fungsi Media Sosial

Media sosial dalam perannya sebagai alat komunikasi memiliki beberapa fungsi utama, di antaranya adalah sebagai berikut (Jalonen, 2014):

a. Media komunikasi (communication)

Sebagai alat komunikasi, media sosial menyediakan alat untuk berbagi, menyimpan, mempublikasikan isi, berdiskusi, menyatakan pendapat, dan termasuk mempengaruhi.

b. Media kolaborasi (collaboration)

Media sosial memungkinkan pengguna menciptakan konten kolektif dan merubahnya tanpa batasan waktu dan tempat.


(53)

c. Media penghubung (connecting)

Dalam tugasnya sebagai penghubung, media sosial menyediakan sebuah platform baru dimana orang mendapatkan cara baru untuk membangun jaringan dengan orang lain, mensosialisasikan profil diri kepada masyarakat, dan menciptakan dunia virtual.

d. Media pelengkap (completing)

Media sosial memiliki alat yang menungkinkan pengguna untuk melengkapi konten dengan mendeskripsikan, menambahi atau menyaring informasi, menandai konten, dan menunjukkan hubungan antar konten.

e. Media penggabung (combining)

Media sosial penghubung atau yang biasa disebut dengan istilah

mash-ups diciptakan untuk memungkinkan pengguna untuk menggabungkan, mencampurkan, atau membuka konten-konten dari berbagai aplikasi.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa media sosial memiliki lima fungsi. Fungsi tersebut meliputi fungsi sebagai media komunikasi, media kolaborasi, media penghubung, media pelengkap, dan media penggabung.


(54)

3. Bentuk-Bentuk Media Sosial

Komunikasi secara tidak langsung melalui internet dapat dilakukan melalui berbagai bentuk media sosial (Jalonen, 2014), di antaranya: a. Blog (misalnya: blogger, wordpress, Facebook)

b. Mikroblog (mislanya: Twitter, Google+, LinkedIn) c. Podcasts (misalnya: iTunes)

d. Videocasts (misalnya: YouTube)

e. Media sharing system (misalnya: SlideShare, dropbox)

f. Forum diskusi (misalnya: Apple Support Communities, Kaskus) g. Pesan instan (misalnya: Skype, Whatsapp, LINE)

h. Shared workspaces (misalnya: GoogleDocs) i. Mash-ups (misalnya: Google Maps, Foursquare) j. Wikis (misalnya: Wikipedia, dramaWiki)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa media sosial dapat ditemukan dalam berbagai bentuk. Media sosial tidak terbatas pada media yang berupa tulisan, tetapi juga media gambar dan suara, maupun gabungan antara ketiganya.

4. Tipe Penggunaan Media Sosial

Penggunaan media sosial dapat dibagi menjadi dua tipe penggunaan, yaitu pengunaan yang aktif dan penggunaan yang bersifat pasif. Askalani (2012) menjelaskan bahwa pengguna media sosial dapat dibedakan berdasarkan seberapa aktif atau pasif pengguna tersebut dalam


(55)

menggunakan media sosial. Penggunaan aktif atau pun pasif dibedakan berdasarkan bagaimana pengguna menggunakan berbagai fungsi dalam media sosial, seperti misalnya: melihat gambar, berbagi pemikiran atau pengalaman, meng-klik link atau simbol tertentu sebagai bentuk

feedback, atau sekedar menjelajahi konten halaman media sosial tersebut.

Penggunaan yang aktif adalah dimana pengguna media sosial terlibat dalam interaksi online dengan pengguna yang lain melalui berbagai fitur media sosial seperti memberikan komentar pada postingan pengguna lain, memposting status atau foto, atau pun menggunakan fitur

chat. Pengguna aktif mengendalikan dialog dan dengan leluasa

membagikan informasi personalnya. Pengguna yang bersifat aktif akan melakukan aktivitas-aktivitas tersebut. Sebaliknya, penggunaan yang pasif adalah dimana pengguna media sosial kurang terlibat dalam interaksi menggunakan fitur online. Pengguna yang pasif hanya akan menjelajahi isi halaman media sosial saja.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengguna media sosial dibagi menjadi dua tipe, pengguna aktif dan pasif. Pengguna aktif adalah pengguna yang terlibat aktif dalam interaksi online melalui berbagai fitur media sosial, termasuk di dalamnya meng-klik link atau simbol tertentu, menerima dan memberikan komentar, memposting status, foto, atau tautan, menggunakan fitur chat, dll. Pengguna pasif adalah pengguna yang hanya menjelajahi isi media sosial tanpa melakukan interaksi.


(56)

D. Durasi Penggunaan Media Sosial

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kata durasi sebagai lamanya sesuatu berlangsung, rentang waktu. Tubbs & Sylvia (1983) menjelaskan bahwa intensitas pengunaan dapat diukur berdasarkan durasi atau durasi. Berdasarkan Andarwati & Sankarto (2005), durasi dinyatakan dalam satuan kurun waktu tertentu (menit atau jam). Oleh karena itu, durasi penggunaan media sosial dapat diukur melalui seberapa seberapa lama waktu yang dihabiskan oleh pengguna untuk mengakses media sosial. Semakin lama pengguna media sosial mengakses media sosialnya, semakin tinggi pula durasi penggunaan media sosial. Sebaliknya, semakin sebnetar pengguna media sosial mengakses media sosialnya, semakin rendah pula durasi penggunaan media sosial.

E. Dinamika Hubungan Durasi Penggunaan Media Sosial dengan Kestabilan Emosi Pengguna Media Sosial Usia Dewasa Awal

Kestabilan emosi merupakan faktor yang memampukan seseorang untuk mengembangkan cara yang tenang dan seimbang dalam menghadapi masalah hidup (Smithson, 1974). Scott (1986) berpendapat bahwa kestabilan emosi merupakan salah satu dari tujuh faktor penting yang mengindikasi kesehatan mental superior. Rendahnya kestabilan emosi merujuk pada kegagalan seseorang dalam mengembangkan kemandirian yang seharusnya tampak pada orang dewasa yang normal (Chaturvedi & Chander, 2010). Individu yang memiliki kestabilan emosi yang baik adalah individu yang


(57)

memiliki kepuasan hidup lebih tinggi, bepandangan positif, tidak tergoyahkan oleh emosi-emosi dan pikiran negatif, lebih tenang dalam menghadapi stress dan kegagalan, merasa aman, tidak iri hati, dan berkepala dingin. Sebaliknya, individu yang memiliki kestabilan emosi yang rendah adalah individu yang mudah stress, tidak puas terhadap hidup, menghindari masalah, sulit beradaptasi, emosional, mudah cemas, tegang, dan marah.

Sebuah penelitian (Kendler dkk, 2004) menemukan bahwa individu yang megalami ketidakstabilan emosi (individu dengan neurotisme tinggi) lebih rentan terhadap efek depresif akibat ancaman kontekstual jangka panjang dari pada individu yang memiliki kestabilan emosi (individu dengan neurotisme rendah). Penelitian lain oleh Kling dkk (2003) mendapatkan hasil bahwa kestabilan emosi mampu memprediksi perubahan gejala depresif pada wanita yang mengalami perubahan hidup secara signifikan. Dari hasil kedua penelitian ini dapat dilihat bahwa kestabilan emosi merupakan faktor yang penting untuk menghadapi tekanan yang dialami oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Kestabilan emosi dapat berperan menjadi pendukung dalam menyelesaikan masalah dan penengah dalam menghadapi stres.

Individu dewasa awal yang telah memiliki kestabilan emosi yang baik dan telah mampu mengendalikan emosi pun tetap dapat mengalami ketidakstabilan emosi pada saat tertentu. Salah satu faktor yang mempengaruhi kestabilan emosi seseorang adalah faktor steming atau suasana hati atau mood (Morgan & King dalam Walgito, 1970). Faktor ini terkait dengan keterpaparan individu pada berbagai macam emosi, termasuk di


(58)

dalamnya emosi positif atau negatif yang sangat mempengaruhi suasana hati individu tersebut. Kemunculan kondisi atau rangsangan dari luar inilah yang memicu keadaan emosional atau perubahan suasana hati.

Adanya perkembangan zaman membuat faktor yang mempengaruhi kestabilan emosi semakin bervariasi. Salah satunya adalah gaya hidup yang tidak terlepas dari penggunaan media sosial yang dapat memicu munculnya gejala depresif yang dikenal dengan sebutan ”Facebook depression

(sains.kompas.com. & solopos.com). Gejala ini muncul akibat terpaparnya seseorang pada laman yang berisi kesenangan atau pengalaman bahagia yang membuat berkurangnya rasa percaya diri orang tersebut karena tidak bernasib sama. Hal ini menjelaskan bahwa media sosial dapat mempengaruhi suasana hati seseorang yang kemudian berdampak pada kestabilan emosi.

Perubahan suasana hati terjadi karena orang melalui proses pembandingan profil dirinya dengan profil milik orang lain. Terutama ketika seseorang dihadapkan pada kebahagiaan orang lain, maka akan menghasilkan perasaan iri dan muram. Sebuah studi menemukan bahwa semakin sering seseorang membuka Facebook, semakin orang tersebut merasa tidak bahagia (Kross dkk, 2013; telegraph.co.uk). Hal ini menunjukkan bahwa media sosial yang memaparkan kebahagiaan seseorang, dapat membuat pengguna media sosial lain merasa kesepian dan muram.

Penelitian lain (Kramer dkk, 2014) membuktikan efek dari media sosial terhadap emosi penggunanya. Kramer dkk (2014) menemukan bahwa ketika seseorang banyak terpapar konten media sosial yang bernada negatif,


(59)

kemungkinan ia akan memposting konten yang bernada negatif juga akan meningkat. Sebaliknya, jika seseorang lebih sering terpapar pada konten positif, kemungkinan ia memposting konten yang bernada positif juga akan bertambah. Menurut penelitian Hartfield dkk (1994), beberapa orang akan lebih mudah mengalami penularan emosi dari pada yang lain. Orang yang paling mudah tertular adalah orang yang cenderung bersifat perhatian dan sensitif, menghargai kebersamaan daripada individualitas dan keunikan, serta mereka yang pengalaman emosionalnya sangat dipengaruhi oleh umpan balik dari lingkungan sekitar. Chaturvedi & Chander (2010) menemukan bahwa keterpaparan terhadap informasi yang pada umumnya lebih bersifat negatif menghasilkan berkembangnya angka depresi dan tingkat agresi dalam masyarakat.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa media sosial dapat menjadi media penularan emosi yang menjadi stimulus pemicu terjadinya perubahan suasana hati. Media sosial dapat menjadi sumber stressor tambahan bagi individu dewasa awal. Individu dapat ikut memposting status bernada negatif apabila individu tersebut banyak terpapar pada postingan yang bernada negatif pula. Semakin sering individu terpapar konten yang bernada negatif, semakin meningkat kemungkinan individu untuk menulis konten yang bernada negatif pula. Selain itu, individu dapat merasa muram apabila mengetahui kebahagiaan orang lain. Maka dapat diduga apabila individu menghabiskan waktu semakin lama untuk menggunakan media sosial, semakin rendah kestabilan emosi yang individu tersebut miliki. Sebaliknya,


(60)

semakin sedikit waktu yang individu habiskan untuk menggunakan media sosial, semakin tinggi kestabilan emosi yang dimiliki. Oleh karena itu, dapat ditarik asumsi bahwa ada hubungan negatif antara durasi penggunaan media sosial dengan kestabilan emosi pengguna media sosial usia dewasa awal.


(61)

Skema hubungan durasi penggunaan media sosial dengan kestabilan emosi pengguna media sosial usia dewasa awal

F. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif antara durasi penggunaan media sosial dan kestabilan emosi pengguna media sosial usia dewasa awal. Apabila durasi penggunaan media sosial tinggi maka kestabilan emosi pengguna media sosial semakin rendah. Sebaliknya, apabila durasi penggunaan media sosial rendah maka kestabilan emosi pengguna media sosial akan tinggi.

Durasi penggunaan media sosial

Tinggi

- Durasi lama

Rendah

- Durasi sebentar

Yang dialami oleh pengguna media sosial:

- Sering terpapar stimulus emosional

- Sering terpapar konten emosional

- Sering mengalami proses pembandingan

Yang dialami oleh pengguna media sosial:

-Jarang/tidak terpapar stimulus emosional

-Jarang/ tidak terpapar konten emosional

-Jarang/tidak mengalami proses pembandingan

Kestabilan Emosi Rendah Terjadi perubahan suasana hati Suasana hati menjadi tidak stabil

Jarang/tidak terjadi perubahan suasana hati

Suasana hati stabil


(62)

40 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif korelasional yang bertujuan untuk menganalisa hubungan antara dua variabel (Azwar, 2005). Analisis korelasi ini menghasilkan arah hubungan (positif atau negatif) dan besar hubungan (kuat atau lemah) (Trihendradi, 2013). Penelitian kuantitatif merupakan penelitian yang menggunakan aspek pengukuran, penghitungan, rumus, dan kepastian dalam proses pengerjaannya (Musianto, 2002). Penelitian ini menggunakan pendekatan korelasional untuk mengetahui hubungan durasi penggunaan media sosial sebagai variabel bebas dan kestabilan emosi pengguna media sosial usia dewasa awal sebagai variabel tergantung.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel adalah objek penelitian yang menjadi pusat perhatian dalam suatu penelitian (Arikunto, 2002). Ada dua variabel dalam penelitian ini, yaitu:

a. Variabel bebas : Durasi penggunaan media sosial b. Variabel tergantung : Kestabilan emosi


(63)

C. Definisi Operasional 1. Variabel Bebas

Durasi penggunaan media sosial mengacu pada lamanya pengguna media sosial menggunakan media sosialnya dalam interaksi online melalui berbagai fitur media sosial. Semakin lama seseorang menggunakan media sosial, semakin tinggi pula tingkat durasi penggunaannya. Sebaliknya, semakin sedikit waktu yang dihabiskan seseorang untuk menggunakan media sosial, semakin rendah pula tingkat durasi penggunaan media sosialnya. Durasi dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan angket. Angket yang digunakan berisi pertanyaan langsung yang terarah pada informasi yang ingin diungkap, yaitu data baik berupa fakta maupun opini yang menyangkut diri subjek (Azwar, 2011). Angket durasi penggunaan media sosial ini berisi pertanyaan mengenai kepemilikan media sosial, tipe penguna media sosial, dan durasi penggunaan media sosial yang dinyatakan dalam jumlah jam dalam seminggu.

2. Variabel Tergantung

Kestabilan emosi adalah kemampuan suatu sistem emosi, yang terdapat pada individu dewasa yang normal, untuk secara otomatis mempertahankan keseimbangannya dengan efisien di bawah kondisi yang penuh tekanan (Li, 2005; Chaturvedi & Chander, 2010). Kestabilan emosi akan diukur menggunakan skala yang disusun berdasarkan


(64)

indikator kestabilan emosi dari Chaturvedi & Chander (2010), yaitu: optimisme, empati, kemandirian/otonomi, ketenangan, toleransi. Hasil dari skala ini akan menunjukkan tingkat kestabilan emosi yang dimiliki oleh subjek. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek pada skala ini, semakin tinggi pula tingkat kestabilan emosi yang dimiliki oleh subjek. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh subjek pada skala ini, semakin rendah pula tingkat kestabilan emosi subjek.

D. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah individu yang tergolong dalam individu dewasa awal, yang mencakup rentang usia 18 hingga 40 tahun (Hurlock, 1999) yang merupakan pengguna media sosial. Subjek penelitian ini dipilih dengan teknik purposive sampling. Teknik purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan karateristik tertentu (Azwar, 2010). Teknik ini dipilih agar peneliti mendapatkan sampel sesuai dengan karateristik subjek yang diinginkan, yaitu individu dewasa awal yang berusia antara 18 hingga 40 tahun yang menggunakan media sosial. Pengumpulan sampel ini dilakukan melalui voluntary sampling dengan meminta kesediaan subjek untuk mengisi angket dan skala online menggunakan layanan website


(65)

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Metode pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan melalui penyebaran skala dan angket. Azwar (2012) menjelaskan bahwa skala merupakan alat ukur psikologi yang digunakan untuk mengungkap atribut tertentu.

1. Angket Durasi Penggunaan Media Sosial

Bersama dengan skala kestabilan emosi, peneliti menyertakan angket yang bertujuan untuk mengetahui apakah subjek menggunakan media sosial. Media sosial tidak terbatas pada media yang berupa tulisan, tetapi juga media gambar dan suara, maupun gabungan antara ketiganya. Bentuk-bentuk media sosial yang digunakan termasuk di antaranya:

Facebook, Twitter, Instagram, dan LINE. Angket durasi penggunaan

media sosial ini berisi pertanyaan mengenai kepemilikan media sosial, tipe penguna media sosial, dan durasi penggunaan media sosial yang dinyatakan dalam jumlah jam dalam seminggu. Dengan keterbatasan teori mengenai durasi penggunaan media sosial, maka peneliti tidak mendapatkan dasar yang jelas tentang jumlah maksimal atau minimal durasi penggunaan media sosial. Maka, subjek dapat mengisi secara bebas jumlah jam yang dihabiskan untuk menggunakan media sosial. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, peneliti tidak mencantumkan nilai maksimal, minimal, mean, dan standar deviasi teoretis untuk data yang berasal dari angket ini.


(66)

2. Skala Kestabilan Emosi

Skala kestabilan emosi disusun oleh peneliti dengan mengacu pada indikator kestabilan emosi yang diajukan oleh Chaturvedi & Chander (2010), yaitu: optimisme, empati, kemandirian/otonomi, ketenangan, serta toleransi. Skala kestabilan emosi menggunakan jenis skala Likert, yaitu skala yang menggunakan metode meminta subjek menyatakan kesetujuan atau ketidaksetujuannya pada sebuah kontinum dari pernyataan yang terdapat dalam skala (Anderson dalam Supratiknya, 2014). Skala dalam penelitian ini dibuat dengan memodifikasi skala

Likert dari 5 respon jawaban menjadi 4 respon jawaban karena subjek

penelitian ini adalah orang Indonesia, yang pada umumnya memilih jawaban netral yang menandakan tidak adanya jawaban yang kemudian tidak memiliki nilai (Hadi, 2011). Maka modifikasi ini dilakukan untuk menghilangkan respon jawaban netral sehingga subjek yang ragu-ragu dalam merespon tidak dapat melakukan central tendency effect.

Skala ini terdiri dari aitem-aitem berupa pernyataan yang memiliki 4 respon jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Aitem-aitem pada skala ini terdiri dari dua jenis aitem, yaitu: aitem favorable yang merupakan pernyataan yang bila disetujui menunjukkan sikap positif terhadap objek sasaran, dan aitem unfavorable yang merupakan pernyataan yang bila disetujui menunjukkan sikap negatif terhadap objek sasaran (Anderson dalam Supratiknya, 2014). Pernyataan pada skala ini memiliki bobot skor yang


(67)

berbeda, berikut adalah rincian pemberian bobot skor aitem pada skala kestabilan emosi:

Tabel 1. Tabel Penilaian Aitem Skala Kestabilan Emosi

Respon Favorable Unfavorable

Sangat Sesuai (SS) 4 1

Sesuai (S) 3 2

Tidak Sesuai (TS) 2 3

Sangat Tidak Sesuai (STS) 1 4

Skala Kestabilan Emosi disusun dengan tujuan sebagai alat ukur tingkat kestabilan emosi yang dimiliki oleh individu. Berikut adalah rincian blueprint dan distribusi aitem Skala Kestabilan Emosi:

Tabel 2. Tabel Blueprint Skala Kestabilan Emosi

Indikator Favorable Unfavorable Total

optimisme 4 aitem (10%) 4 aitem (10%) 8 aitem (20%) empati 4 aitem (10%) 4 aitem (10%) 8 aitem (20%) kemandirian/otonomi 4 aitem (10%) 4 aitem (10%) 8 aitem (20%) ketenangan 4 aitem (10%) 4 aitem (10%) 8 aitem (20%) toleransi 4 aitem (10%) 4 aitem (10%) 8 aitem (20%)

Total

20 aitem (50%)

20 aitem (50%)

40 aitem (100%)


(68)

Tabel 3. Tabel Distribusi Aitem Skala Kestabilan Emosi (sebelum uji coba)

Indikator

No. Item

Jumlah Bobot

Favorable Unfavorable

optimisme 1, 24, 30,

34 5, 18, 21, 39

8 20%

empati 3, 7, 16, 23 11, 28, 29, 35 8 20%

kemandirian/otonomi 2, 8, 32, 38 13, 15, 26, 36 8 20% ketenangan 4, 9, 19, 33 6, 14, 27, 31 8 20%

toleransi 10, 17, 37,

40 12, 20, 22, 25

8 20%

Total 20 20 40 100%

F. Validitas, Reliabilitas, dan Seleksi Aitem Alat Pengumpulan Data 1. Validitas

Validitas menunjukkan seberapa jauh ketepatan dan kecermatan alat ukur dalam menjalankan fungsi ukurnya, semakin alat ukur dapat menjalankan fungsinya dengan tepat sesuai dengan tujuannya maka alat ukur tersebut memiliki nilai validitas yang semakin tinggi (Azwar, 2012). Uji validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji validitas isi. Skala yang telah dibuat akan diuji validitas isinya melalui analisis isi aitem alat ukur berdasarkan pertimbangan expert judgment untuk menentukan sejauh mana setiap aitem dalam alat ukur tersebut mencakup kawasan ukur. Uji validitas ini dilakukan peneliti dengan berkonsultasi


(69)

pada ahli (expert judgment) dalam hal ini adalah dosen pembimbing peneliti. Selain itu, peneliti melakukan uji validitas isi dengan membandingkan kesesuaian aitem dalam alat ukur dengan blueprint alat ukur untuk memastikan kesesuaian aitem dengan indikator variabel yang hendak diukur. Kedua hal tersebut dilakukan sebelum skala diujicobakan.

2. Reliabilitas

Reliabilias adalah konsistensi atau tingkat keterpercayaan hasil pengukuran suatu alat ukur (Azwar, 2012). Pada penelitian ini, uji reliabilitas dilakukan dengan mencari konsistensi internal aitem pada alat ukur (internal consistency) dengan teknik analisis Alpha Cronbach yang dilakukan menggunakan SPSS versi 22.0 for windows. Uji ini akan menghasilkan koefisien reliabilitas.

Koefisien reliabilitas memiliki range dari 0 hingga 1,00. Semakin koefisien yang dihasilkan mendekati nilai 1,00 maka semakin reliabel alat ukur tersebut, demikian sebaliknya. Suatu skala dapat dikatakan reliabel apabila memiliki skor koefisien Alpha Cronbach 0,600 (Azwar, 2011).

Hasil penghitungan menggunakan SPSS versi 22.0 for windows terhadap reliabilitas skala kestabilan emosi setelah uji coba didapatkan koefisien Alpha Cronbach (α) sebesar 0,838. Oleh karena itu, skala kestabilan emosi dinyatakan sangat reliabel.


(70)

3. Analisis Aitem

Pada penelitian ini analisis aitem dilakukan dengan mengkorelasikan skor tiap aitem dengan skor total seluruh aitem yang menghasilkan angka daya diskriminasi aitem (Supratiknya, 2014). Daya diskriminasi yang dihasilkan menunjukkan kemampuan aitem untuk membedakan kelompok yang memiliki atau tidak memiliki atribut yang diukur. Hal ini berkaitan dengan konsistensi antara hal yang diukur oleh tiap aitem dengan hal yang diukur oleh skala. Semakin tinggi angka korelasi positif atau angka daya beda antara skor aitem dengan skor skala berarti semakin tinggi pula konsistensi aitem tersebut dengan skala secara keseluruhan. Apabila angka daya beda yang dihasilkan rendah, aitem tersebut harus gugur karena aitem tersebut tidak cocok dengan fungsi ukur skala atau memiliki daya beda yang tidak cukup baik. Analisis aitem ini dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 22.0 for windows.

Kriteria yang digunakan dalam menganalisis aitem adalah aitem yang dipilih memiliki daya diskriminasi (rix) ≥0,30 (Azwar, 2012). Aitem yang memiliki daya diskriminasi sama dengan atau lebih dari 0,30 merupakan aitem yang memuaskan dan lolos seleksi (Azwar, 2012). Teknik yang digunakan untuk menganalisis aitem-aitem skala penelitian ini adalah dengan mengkorelasikan skor tiap aitem dengan skor total seluruh aitem yang penghitungannya dilakukan menggunakan SPSS versi 22.0 for windows.


(71)

Uji coba skala dilakukan pada tanggal 8 Desember 2015 hingga 10 Desember 2015. Subjek dalam uji coba skala ini adalah pengguna media sosial usia dewasa awal. Uji coba dilakukan melalui penyebaran skala secara online menggunakan layanan GoogleForms. Skala online yang disebarkan oleh peneliti dapat diakses pada tautan

http://goo.gl/forms/IWMvtz8ZzE. Total responden yang mengisi skala

online adalah 120 orang, 56 responden mengisi pada tangal 8 Desember

2015, 49 orang mengisi pada tanggal 9 Desember 2015, dan 15 orang mengisi pada tanggal 10 Desember 2015. Subjek terdiri dari 66 subjek perempuan dan 54 subjek laki-laki. Hasil analisis yang dilakukan menggunakan SPSS versi 22.0 for windows menunjukkan sebanyak 15 dari total 40 aitem skala kestabilan emosi gugur karena memiliki daya diskriminasi < 0,30. Aitem yang gugur adalah aitem dengan daya diskriminasi 0,257, 0,181, 0,161, 0,235, 0,169, 0,213, 0,060, 0,241, 0,258, 0,165, 0,291, 0,228, -0,260, 0,109, dan 0,199. Oleh karena itu dari hasil analisis aitem ini diperoleh jumlah aitem total yang sahih sebanyak 25 aitem dengan kisaran daya diskriminasi antara 0,301 hingga 0,500.


(1)

Hasil Uji Reliabilitas Skala Kestabilan Emosi

Hasil Ujii Reliabilitas I

Case Processing Summary

N %

Cases Valid 120 100.0

Excludeda 0 .0

Total 120 100.0

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha N of Items

.838 40

Hasil Uji Reliabilitas II

Case Processing Summary

N %

Cases Valid 120 100.0

Excludeda 0 .0

Total 120 100.0

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha N of Items


(2)

Lampiran 4

Hasil Uji Deskriptif Mean Empiris

Descriptive Statistics

N Range Minimum Maximum Mean Std. Deviation

KE 112 39 57 96 72.40 7.365

DURASI 112 89 1 90 22.27 21.134

Valid N (listwise) 112

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

KE 112 72.40 7.365 .696

One-Sample Test

Test Value = 0

t df Sig. (2-tailed) Mean Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

KE 104.037 111 .000 72.402 71.02 73.78

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

DURASI 112 22.27 21.134 1.997

One-Sample Test

Test Value = 0

t df Sig. (2-tailed) Mean Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper


(3)

Hasil Uji Normalitas

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

KE .067 112 .200* .988 112 .404


(4)

Lampiran 6

Hasil Uji Linearitas

Case Processing Summary

Cases

Included Excluded Total

N Percent N Percent N Percent

KE * DURASI 112 100.0% 0 0.0% 112 100.0%

ANOVA Table

Sum of Squares df Mean Square KE * DURASI Between Groups (Combined) 2363.504 32 73.860

Linearity 247.244 1 247.244

Deviation from

Linearity 2116.260 31 68.266

Within Groups 3657.415 79 46.296

Total 6020.920 111

ANOVA Table

F Sig.

KE * DURASI Between Groups (Combined) 1.595 .049

Linearity 5.340 .023

Deviation from

Linearity 1.475 .086

Within Groups Total


(5)

R R Squared Eta Eta Squared


(6)

Lampiran 7

Hasil Uji Hipotesis

Correlations

KE FREQ

Spearman's rho KE Correlation Coefficient 1.000 -.313**

Sig. (1-tailed) . .000

N 112 112

DURASI Correlation Coefficient -.313** 1.000

Sig. (1-tailed) .000 .

N 112 112