POLA KOMUNIKASI DAI DENGAN PSK BANGUNSARI, SURABAYA (Studi Deskriptif Kualitatif Mengenai Pola Komunikasi Da’i dengan PSK Bangunsari, Surabaya).
Bangunsari Surabaya)
SKRIPSI
OLEH :
NANIK KARTIKASARI
NPM. 0843010257
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN “ JAWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
SURABAYA 2012
(2)
iii Nanik Kartikasari NPM. 0843010257
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran “ Jawa Timur Pada Tanggal 13 Juni 2012
Menyetujui
Pembimbing Tim Penguji:
1. Ketua
Drs. Kusnarto, M.Si Dra. Sumardjijati, M.Si NIP. 19580801 198402 100 NIP. 19620323 199309 2001
2. Sekretaris
Drs. Kusnarto, M.Si NIP. 19580801 198402 100 3. Anggota
Yuli Candrasari, S.Sos, M.Si NPT. 3 7107 94 0027 1 Mengetahui,
Dekan FISIP,
Dra. Ec. Hj. Suparwati, M.Si NIP. 19550718 198302 2001
(3)
ii
Disusun Oleh :
NANIK KARTIKASARI NPM. 084 30 10 257
Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi Menyetujui,
Pembimbing Utama
Drs. Kusnarto, M.Si NIP. 195080801 198402 1001
Mengetahui, DEKAN
Dra. Ec. Hj. Suparwati, M.Si NIP. 1 95507 181 983 022 001
(4)
iv
KATA PENGANTAR
Segala Puji syukur atas kehadirat ALLAH SWT, penulis panjatkan karena
dengan limpahan rahmat. Karunia serta hidayahNYA. Skripsi yang berjudul “ Pola Komunikasi Da’i dengan PSK Bangunsari “ dapat penulis susun dan selesai sebagai wujud pertanggung jawaban sebagai tugas akhir memperoleh S1.
Dalam proses penyelesaian Skripsi ini, penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada pihak – pihak berikut ini :
1. Prof. DR. Ir. Teguh Soedarto, MP, selaku Rektor UPN “ Veteran “ Jatim.
2. Dra. Ec. Hj. Suparwati, MSi. Sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik ( FISIP ) UPN “ Veteran “ Jatim.
3. Juwito, S.Sos, MSi. Sebagai Ketua Program Studi Ilmu Komunkasi FISIP
UPN “ Veteran “ Jatim.
4. Drs. Syaifuddin Zuhri, MSi sebagai Seketeris Program Studi Ilmu
Komunikasi FISIP UPN “ Veteran “ Jatim.
5. Drs. Kusnarto, MSi selaku Dosen Pembimbing Proposal Penulis. Terima
kasih atas segala kontribusi bapak terkait penyusunan Proposal Skripsi ini.
6. Seluruh Dosen Program Ilmu Komunikasi maupun staf Karyawan FISIP
hingga UPN “ veteran “ Jatim pada umumnya.
7. Ibundaku tersayang, Sari Dewi. Terimakasih tiada tara atas segala pengorbanan dan perjuangan tulus suci untuk menjadikanku manusia yang
belajar memahami hidup dan kehidupan, “ you are my best, mom “
8. Kakak Semata Wayangku, Ratna Narsi Oktarini yang telah banyak
(5)
v
9. Kakak Angkatku, “ You are my guardian angel “ makasih sudah mau jagain
dan temenin penulis setiap penulis jenuh ataupun bergadang ngerjakan
skripsi.
10. Kaka, Akhirnya penulis sampai tahap ini juga. Makasih buat statementnya,
itu motivasi tersendiri buat penulis.
11. Aba Khoiron, Pk. Gatot, Ibu Parnita, Ibu Lis, dan Ibu Yanti. Terimakasih atas
bantuan dan kerjasamanya selama penulis melakukan penelitian dan indepth
interview. Bantuan kalian sangat membantu kemudahan penulis dalam
mengerjakan skripsi ini.
12. Saudara seperjuanganku, Brownies a.k.a. Windi. Makasih sudah mau
menemani langkah penulis.
13. Adek Sepupuku, Uli yang selalu menemani penulis mencari inspirasi.
14. Seluruh Anggota UPN TV yang telah mensupport penulis, terimakasih
keluarga keduaku.
15. Mas Maul, Mas B-Way, Mas ses, Koo Joko, Mas Andi, Mas Yopi. Makasih
buat support dan saling mengingatkan kalau penulis lagi kehilangan ide atau
semangat.
16. Pk. Pruuu, yang selalu membantu penulis. Makasih sudah meminjamkan
Recordernya.
17. Pk. Korbiddd, makasih sudah jadi teman sharing penulis selama ini.
18. Kania, makasih sudah support penulis.
19. Umi, jojo, mb viii. Makasih atas pengertiannya ketika penulis jarang ke lab
(6)
vi
20. Nana, nenin, via, bayu, ndutz, dhe-dhe, titi, mama kiki, cha – cha, mas nola
dan mas gatot, “ I love you all “
21. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan atau keterbatasan halaman
ini, untuk segala bentuk bantuan yang diberikan. Penulis ucapkan terima
kasih.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh
sebab itu, kritik maupun saran penulis harapkan demi tercapainya hal terbaik dari
skripsi ini. Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat
sekaligus menambah pengetahuan bagi berbagai pihak. Amin.
Surabaya, Mei 2012
(7)
vii
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI... ii
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... x
ABSTRAK ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 5
1.3. Tujuan Penelitian ... 5
1.4. Kegunaan Penelitian ... 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 7
2.1. Landasan Teori ... 7
2.1.1.Pengertian Komunikasi ... 7
2.2. Pengertian Komunikasi Interpersonal ... 9
2.2.1. Efektifitas Komunikasi Interpersonal ... 15
2.2.2 Bahasa Verbal dan Nonverbal ... 16
(8)
viii
2.7. Ikatan Da’i Area Lokalisasi ... 33
2.8. Pekerja Seks Komersial. ... 33
2.9. Kerangka Berfikir ... 37
BAB III METODE PENELITIAN ... 39
3.1. Definisi Operasional Konsep ... 39
3.2.Subyek dan Obyek Penelitian ... 43
3.3. Unit AnalisisPenelitian ... 45
3.4. Teknik Penumpulan Data ... 45
3.5. Teknik Analisis Data... 47
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 48
4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 48
4.2. Identitas Informan ... 51
4.3. Penyajian Data ... 52
4.4. Analisis Data... 5
4.4.1.1. Komunikasi Secara Terbuka Yang Dilakukan Da’i Kepada PSK Agar Memahami Karakter Lawan Bicara ... 53
4.4.1.2. Pendekatan Efektif Yang dilakukan Oleh Da’i Kepada PSK Yang Menjadikan PSK Berhenti Dari Pekerjaannya ... 55
4.4.1.3. Keberhasilan Da’i Yang Menjadikan PSK Berhenti Dari Pekerjaannya ... 57
(9)
ix
4.4.1.5. Keputusan PSK Berhenti Dari Pekerjaannya... 63
4.4. Pembahasan... 66
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 68
5.1. Kesimpulan ... 68
5.2. Saran ... 69
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(10)
x
Lampiran 2. Interview Guide………. 71
(11)
xi
Surabaya)
Penelitian ini didasarkan pada fenomena keberhasilan Da’i Area Lokalisasi memulangkan 20 PSK di balai RW IV Bangunsari Surabaya. Keberhasilan tersebut menunjukkan bahwa antara Da’i dan PSK dapat hidup berdampingan. Hal ini tentunya berbeda jauh dengan masyarakat yang menggangap jika Da’i dengan PSK tidak dapat hidup berdampingan karena perbedaan kebiasaan diantara keduanya. Namun sebaliknya, pada kenyataannya anggapan tersebut tidak benar adanya.
Penelitian ini menaruh pada masalah perbedaan latar belakang budaya, yaitu kebiasaan yang berbeda antara Da’i dengan PSK Bangunsari Surabaya yang mempengaruhi pola komunikasi Da’i dengan PSK Bangunsari Surabaya. Da’i yang dimaksut adalah dai yang dibentuk oleh MUI dalam Ikatan Da’i Area Lokalisasi yang fungsi dari para Da’i ini adalah untuk melakukan pembinaan terhadap para PSK di area lokalisasi yang sama dengan para Da’i itu berada. Sedangkan PSK seks adalah seseorang yang menjual jasanya untuk melakukan hubungan seksual untuk uang. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pola komunikasi Da’i dengan PSK Bangunsari Surabaya.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah Indepth Interview yang termasuk dalam penelitian kualitatif. Disini metode kualitatif menggunakan teori Joseph A. Devito, yang menjelaskan pola komunikasi yang digunakan Da’i dengan PSK Bangunsari.
Data yang terdapat dalam obyek penelitian dijelaskan dalam identitas informan. Adapun pembagian identitas informan, meliputi nama, alamat, usia, pendidikan terakhir dan khusus untuk Da’i indetitas responden dicantumkan juga jabatan Da’i didalam Ikatan Da’I Area Lokalisasi.
Hasil penelitian ini berdasarkan analisis data yang didapatkan dari wawancara mendalam dengan informan. Dari hasil wawancara tersebut, maka didapatkan data yang merupakan pernyataan Da’i yang kemudian dikroschek dengan pernyataan PSK. Dari hasil wawancara dengan ke-empat informan maka diketahui jika pola komunikasi yang digunakan Da’i dengan PSK Bangunsari Surabaya adalah pola komunikasi keseimbangan. Meskipun didalam berkomunikasi, kedua belah pihak dipengaruhi oleh perbedaan latar belakang budaya, yaitu perbedaan kebiasaan. Tapi itu tidak menimbulkan konflik antara Da’i dengan PSK Bangunsari. Hal ini dikarenakan dalam pola komunikasi ini, antara Da’i ataupun PSK Bangunsari tidak ada yang mendominasi. Komunikasipun bersifat apa adanya dan terbuka. Hal inilah yang membuat komunikasi antara kedua belah pihak dapat berhasil.
(12)
1
1.1Latar Belakang Masalah
Pada hakekatnya manusia adalah makhluk hidup sekaligus makhluk sosial
yang hidup bermasyarakat dan berkelompok, karena itulah manusia menjalin
hubungan (berinteraksi) dengan sesamanya. Seperti berinteraksi dengan
keluarganya, tetangga, sekolah, teman sebaya, tempat bermain, tempat
berkerja, di jalan, dalam perjalanan, organisasi sosial, dan lain sebagainya.
Dalam rangka menghubungkan diri dengan manusia lain tersebut
diperlukan adanya jalinan komunikasi, karena komunikasi merupakan sarana
vital untuk mengerti diri sendiri juga mengerti orang lain. Menurut Laswell,
manusia berkomunikasi karena adanya hasrat untuk mengontrol lingkungan,
sebagai upaya untuk beradaptasi dengan lingkungan dan untuk melakukan
trasformasi budaya.
Komunikasi merupakan suatu kebutuhan pokok, karena setiap sendi
kehidupan manusia selalu membutuhkan komunikasi. Sebagai suatu
fenomena, komunikasi selalu ada di mana saja dan kapan saja. Kualitas hidup
dan hubungan kita dengan sesama dapat membaik jika kita memahami dan
memperbaiki komunikasi yang kita lakukan.
Dalam komunikasi, setiap pesan yang disampaikan oleh komunikator
bertujuan untuk mempengaruhi komunikan ke arah pemikiran yang diinginkan
(13)
menciptakan saling pengertian (mutual understanding) sehingga terjadi
perubahan terhadap pendapat yang berbeda dan memantapkan pendapat yang
sama.
Komunikasi merupakan pengoperan lambang – lambang, yang berarti
merupakan penuangan pemikiran, perasaan, kekecewaan, harapan dari
sebagaian orang dengan tujuan untuk mempengaruhi orang lain. Apapun
bentuk dan model dari kegiatan komunikasi yang dilakukan tujuan akhirnya
adalah mempngaruhi, mengubah sikap dan tindakan komunikan. Jika seorang
komunikator telah berhasil mengubah perilaku antau pandangan
komunikannya maka ia dikatakan berhasil melakukan kegiatan
komunikasinya.
Komunikasi juga memperpendek jarak dan waktu, menghemat biaya, serta
menembus ruang dan waktu. Komunikasi berusaha menjembatani antara
pikiran dan kebutuhan seseorang dengan dunia luarnya yang dibantu oleh
suatu media komunikasi.
Komunikasi adalah faktor yang amat penting dalam kehidupan.
Komunikasi juga memberikan implikasi yang besar jika kita tidak dapat
menggunakan dengan baik. Pada dasarnya komunikasi berarti penyampaian
pesan dari komunikator kepada komunikan melalui media yang dapat
menimbulkan efek. Tujuan komunikasi itu sendiri pada akhirnya adalah
persamaan makna. Dengan persamaan makna tersebut, maka komunikasi
dapat dikatakan efektif. Untuk lebih mengefektifkan komunikasi maka
(14)
Pola komunikasi adalah bentuk atau gambaran yang sederhana dari
jaringan komunikasi yang diperlihatkan kaitan antara komponen komunikasi
dengan komponen lainnya ( Rakhmat, 2005 : 162 ).
Selain berkomunikasi, manusia juga membutuhkan informasi. Informasi
bisa didapatkan melalui media massa. Dan yang meliputi media massa antara
lain adalah surat kabar, majalah, radio, televisi dan media online.
Salah satunya seperti informasi yang bisa didapatkan dari pemberitaan
yang dilansir surat kabar surya, edisi sabtu (04/02). Dalam pemberitaan
tersebut, dijelaskan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim melantik para
pengurus Ikatan Da’i Area Lokalisasi (IDIAL) dan memulangkan 20 PSK dan
Mucikari di Jl Dupak bangunsari, balai RW IV Kelurahan Dupak Bangunsari,
Kecamatan Krembangan.
Masing – masing 20 PSK yang dipulangkan, diberi dana 3 juta untuk
membuka usaha. Mengutip dari keterangan ketua IDIAL Jatim, Sunarto.
Beliau mengatakan jika tidak mudah mengarahkan para PSK meninggalkan
pekerjaannya selama ini. Butuh proses panjang berupa pendekatan personal.
Pemulangan 20 PSK ini merupakan yang kelima sejak lima tahun terakhir.
Lokalisasi bangunsari dulu dihuni 274 orang, kini tinggal 153 orang. Dan
hasilnyapun luar biasa, Bangunsari yang pada era 80-an termasuk lokalisasi
terbesar se-Asia Tenggara, saat ini hampir bersih dan hanya tinggal sekitar
15%.
Sedangkan keberhasilan pemulangan PSK Bangunsari berbeda dengan
(15)
mendapatkan perhatian dari pemerintah. Banyak upaya yang telah dilakukan
pemerintah untuk mengarahkan para PSK yang bekerja disana agar berhenti
dari pekerjaanya, namun upaya itu tetap tidak berhasil.
Selain pemerintah, ada salah satu LSM di kawasan dolly yang juga
membantu memberikan penyuluhan terhadap para PSK tersebut agar berhenti
dari pekerjaannya. LSM yang merupakan tempat PSK dapat “ curhat “ ini
adalah LSM Abdi Asih yang berada di Jl Dukuh Kupang Timur XII/31
Surabaya, Jawa Timur. LSM yang telah 23 tahun berdiri ini merupakan tempat
dimana PSK dapat “curhat” akan permasalahan maupun gejolak batin yang
mereka hadapi. Alasan PSK memberikan istilah LSM sebagai tempat “curhat”
karena tidak semua PSK dapat memilih atau percaya pada setiap orang untuk
menceritakan permasalahan yang mereka hadapi.
. LSM ini fokus pada pemberian dampingan pada para PSK dan siap
menjadi tempat bagi PSK untuk menceritakan permasalahan mereka. Selain
itu yayasan ini juga senantiasa memberikan pelatihan keterampilan bagi para
PSK agar saat mereka sudah keluar dari pekerjaannya meliki keterampilan
dan dapat di aplikasikan tanpa harus kembali menjadi PSK. LSM ini juga
terus memberikan pemahaman dan kesadaran agar mereka cepat keluar dari
pekerjaan sebagai PSK. Banyaknya upaya yang dilakukan LSM ini juga tetap
tidak berhasil membuat para PSK tersebut untuk berhenti dari pekerjaan
(16)
Perbandingan kedua hal diatas, peniliti tertarik untuk meneliti
permasalahan tersebut. Peneliti ingin mengetahui bagaimana pola komunikai
yang digunakan antara Da’i dengan PSK Bangunsari.
1.2.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah yang
peneliti angkat adalah bagaimana pola komunikasi Da’i dengan PSK
Bangunsari ?
1.3Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola komunikasi yang
digunakan Da’i dengan PSK Bangunsari, Surabaya.
1.4Manfaat penelitian
Dari terlaksananya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi beberapa pihak, antara lain :
1. Teoritis
a. memperluas wawasan keilmuan dan memberikan sumbangan bagi
perkembangan ilmu komunikasi, khususnya untuk pola komunikasi.
b. Menjadi bahan informasi untuk dimanfaatkan dan dipertimbangkan
dalam penelitian lebih lanjut.
c. Menambah khasanah referensi bagi mahasiswa komunikasi UPN “
Veteran “ Jatim. Khususnya mengenai komunikasi personal terhadap
(17)
2. Praktis :
a. Menambah wawasan bagi para Da’i sehingga mampu melakukan
pendekatan yang lebih mudah terhadap PSK dan memberikan
pandangan agar antara dai dan PSK mengetahui makna kekeluargaan
dalam area lokalisasi.
b. Memberikan gambaran, pemikiran pada pihak Da’i area lokalisasi
mengenai Pola Komunikasi yang baik sehingga dapat digunakan oleh
pihak Dai sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan penyuluhan
(18)
7
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Pengertian Komunikasi
Istilah komunikasi dalam bahasa inggris communication, yang berasal dari kata latin communication dan bersumber dari kata communis yang berarti sama disini artinya “sama makna” (Onong Uchjana dalam prasetyo, 2000 :60). Komunikasi sangat penting bagi kehidupan manusia. Melalui komunikasi manusia dapat menyampaikan pesan atau informasi kepada orang lain. Pendek kata dengan melakukan komunikasi manusia dapat berhubungan atau berinteraksi antara satu dengan yang lain.
Menurut (Widjaya, 1987:27) komunikasi pada umumnya diartikan sebagai hubungan atau kegiatan yang ada kaitannya dengan masalah berhubungan atau diartikan pula saling tukar – menukar pendapat. Komunikasi dapat pula diartikan sebagai hubungan kontak antara manusia baik individu atau kelompok.
Menurut Edward Depari (Onong, 2000 : 62) komunikasi adalah proses penyampaian gagasan harapan dan pesan melalui lambing tertentu, mengandung arti dilakukan oleh penyampai pesan ditujukan kepada penerima pesan. Secara terminologis komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain.
(19)
Pengertian ini jelas bahwa komunikasi melibatkan sejumlah orang, dimana seseorang menyatakan sesuatu kepada orang lain. Dalam pengertian paradigmatik, komunikasi mengandung tujuan tertentu, ada yang dilakukan secara lisan, secara tatap muka, atau melalui media. Pengertian lain komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan, maupun tak langsung melalui media. Dalam definisi terebut tersimpul tujuan, yakni memberitahu atau mengubah sikap (attitude), pendapat (opinion), atau perilaku (behavior).
Perkembangan terakhir adalah munculnya pandangan dari Joseph de Vito, K. Sereno dan Erika Vora yang menilai faktor lingkungan merupakan unsur yang tidak kalah pentingnya dalam mendukung terjadinya proses komunikasi.
Kalau unsur – unsur komunikasi yang dikemukakan diatas dilukiskan dalam gambar, kaitan antara satu unsur dengan unsur lainnya dapat dilihat seperti berikut.
Di dalam komunikasi terjadi hubungan interpersonal. Melalui komunikasi interpersonal manusia dapat menyampaiakan pesan atau informasi kepada orang lain. Dengan melakukan komunikasi manusia dapat berhubungan, berinteraksi satu dengan yang lain. Berdasarkan definisi – definisi diatas dapat ditarik kesimpulan pengertian komunikasi adalah suatu proses penyampaian pernyataan oleh seseorang kepada orang lain, dengan
(20)
mengandung tujuan tertentu, memberitahu atau untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku baik langsung secara lisan maupun tidak langsung melalui media.
Menurut (Rahmad, 1999 : 129) faktor – faktor yang menumbuhkan hubungan interpersonal dalam komunikasi interpersonal adalah :
a. Percaya (trust)
Percaya disini merupakan faktor yang paling penting sejauh mana percaya kepada orang lain dipengaruhi oleh faktor personal dan situasional. Dengan adanya percaya dapat meningkatkan komunikasi interpersonal karena membuka hubungan komunikasi, memperjelas pengiriman dan penerimaan informasi.
b. Sikap suportif
Sikap suportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensive dalam komunikasi, seseorang bersifat defensive apabila tidak menerima, tidak jujur, tidak empatis. Dengan sikap defensive komunikasi interpersonal akan gagal.
c. Sikap terbuka (open mindedness)
Dengan sikap percaya dan sikap suportif, sikap terbuka mendorong timbulnya saling pengertian, saling menghargai, dan yang paling penting yaitu saling mengembangkan kualitas hubungan interpersonal.
2.2 Pengertian Komunikasi Interpersonal
Menurut Devito (2007:5), definisi komunikasi interpersonal atau komunikasi antarpribadi adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan –
(21)
pesan antara dua orang, atau diantara sekelompok kecil orang – orang dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika.
Pentingnya situasi komunikasi interpersonal adalah karena proses memungkinkan berlangsung secara dialogis. Dialog adalah bentuk komunikasi antar pribadi yang menunjukkan terjadinya interaksi. Mereka yang terlibat dalam komunikasi bentuk ini berfungsi ganda, masing – masing menjadi pembicara dan pendengar secara bergantian. Dalam proses komunikasi dialogis, Nampak adanya upaya dari para pelaku komunikasi untuk terjadinya pergantian bersama (mutual understanding) dan empati. Disitu terjadi rasa saling menghormati bukan disebabkan status sosial melainkan didasarkan pada anggapan bahwa masing – masing adalah manusia yang wajib, berhak, pantas, dan wajar menghargai dan dihormati sebagai manusia.
Dibanding dengan bentuk komunikasi lainnya komunikasi antarpribadi dinilai paling ampuh dalam kegiatan mengubah sikap, kepercayaan opini dan perilaku komunikan. Hal ini dikarenakan komunikasi berlangsung tatap muka, oleh karena dengan komunikasi terjadilah kontak pribadi ( personal contact ) yaitu pribadi anda menyentuh pribadi komunikan. Ketika menyampaikan pesan, umpan balik berlangsung seketika (immediate feedback) mengetahui pada saat itu tanggapan komunikan terhadap pesan yang dilontarkan, pada ekspresi wajah, postur atau sikap badan, kontak mata dan tatapan serta gaya bicara. Apabila umpan balik positif, artinya tanggapan itu menyenangkan, kita akan mempertahankan gaya komunikasi, sebaliknya jika tanggapan
(22)
Pengiriman ( encoding ) Penerimaan ( decoding )
komunikasi negatif, maka harus mengubah gaya komunikasi sampai komunikasi berhasil.
Dalam komunikasi antarpribadi arus komunikasi yang terjadi adalah sirkuer atau berputar, artinya setiap individu mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi komunikator an komunikan dalam proses komunikasi. Untuk dapat mengetahui komponen–komponen yang terlibat dalam komunikasi antarpribadi, efek dan umpan balik dapat terjadi kesetika. Dapat dijelaskan dalam gambar sebagai berikut :
Bidang Pengalaman
EFEK
Bidang pengalaman
EFEK
Um pan Balik
Pengiriman ( encoding ) Penerim aan ( decoding ) saluran
Pesan- pesan
(23)
Gambar 1. Model komunikasi interpersonal secara umum
Dalam gambar diatas dapat dijelaskan bahwa komponen – komponen komunikasi antarpribadi adalah sebagai berikut : (Devito, 2007 : 10)
1. Pengirim – penerima
Komunikasi antarpribadi, paling tidak melibatkan dua orang, setiap orang terlibat dalam komunikasi antarpribadi memfokuskan dan mengirim pesan dan juga sekaligus menerima dan memahami pesan.
2. Encoding – Decoding
Encoding adalah tindakan menghasilkan pesan, artinya pesan – pesan yang yang akan disampaikan dikode atau diformulasikan terlebih dahulu dengan menggunakan kata – kata, simbol dan sebagainya. Sebaliknya, tindakan untuk menginterpretasikan dan memahami pesan – pesan yang diterima, disebut sebagai decoding. Dalam komunikasi antarpribadi, karena pengirim juga bertindak sekaligus sebagai penerima. Maka fungsi encoding – decoding dilakukan oleh setiap orang yang terlibat dalam komunikasi antarpribadi.
3. Pesan – Pesan
Dalam komunikasi antarpribadi, pesan – pesan ini bisa berbentuk verbal (seperti kata – kata) atau nonverbal (gerak tubuh, simbol, ekspresi wajah, tatapan mata seseorang, gaya bicara), atau gabungan antara bentuk verbal dan nonverbal.
(24)
4. Saluran
Saluran ini berfungsi sebagai media dimana dapat menghubungkan antara pengirim dan penerima pesan atau informasi. Saluran komunikasi personal, baik yang bersifat langsung perorangan maupun kelompok lebih persuasif dengan saluran media massa. Hal ini disebabkan karena pertama, penyampaian pesan melalui saluran komunikasi personal dapat dilakukan secara langsung kepada khalayak yang dituju, bersifat pribadi dan manusiawi. Kedua, penyampaian melalui komunikasi personal dapat dilakukan secara rinci dan lebih fleksibel dengan kondisi nyata khalayak. Ketiga, keterlibatan khalayak dalam komunikasi cukup tinggi. Keempat, pihak komunikator atau sumber dapat langsung mengetahui reaksi, umpan balik dan tanggapan dari pihak khalayak atas isi pesan yang disampaiakannya. Kelima, pihat komunikator atau sumber dapat dengan segera memberikan penjelasan apabila terdapat kesalahpahaman tau kesalahan persepsi dari pihak khalayak atas pesan yang disampaikannya. 5. Gangguan atau Noise
Seringkali pesan – pesan yang dikirim dengan pesan yang diterima. Hal ini dapat terjadi karena gangguan saat berlangsungnya komunikasi yang terdiri dari :
a. Gangguan Fisik
Gangguan ini biasanya berasal dari luar dan menganggu transmisi fisik pesan, seperti : kegaduhan, intrupsi, jarak, dan sebagainya.
(25)
b. Gangguan Psikologis
Gangguan ini timbul karena adanya perbedaan gagasan dan penilaian subyektif diantara orang – orang yang terlibat dalam komunikasi.
c. Gangguan Simatik
Gangguan ini terjadi karena kata – kata atau symbol yang digunakan dalam komunikasi, sering kali memiliki arti ganda, sehingga menyebabkan penerima gagal dalam menangkap dari maksud – maksud pesan yang disampaikan.
6. Umpan Balik
Umpan balik memainkan peranan yang sangat penting dalam proses komunikasi antarpribadi, karena pengirim dan penerima secara terus – menerus bergantian memberikan umpan balik dalam berbagai cara baik secara verbal maupun nonverbal. Umpan balik bersifat positif apabila dirasa saling menguntungkan. Bersifat netral apabila tidak menimbulkan efek, dan bersifat negative apabila merugikan.
7. Konteks
Komunikasi selalu terjadi dalam sebuah konteks yang mempengaruhi isi dan bentuk dari isi pesan yang disampaikan. Ada dua dimensi konteks dalam komunikasi antarpribadi, yaitu :
a. Dimensi Fisik, mencakup tempat dimana komunikasi berlangsung. b. Dimensi Sosial Psikologi, mencakup hubungan yang memperhatikan
masalah status, peranan yang dimainkan, norma – norma kelompok mayarakat, keakraban, formalitas dan sebagainya.
(26)
8. Bidang Pengalaman (Field of Experience)
Bidang pengalaman merupakan faktor yang paling penting dalam komunikasi antarpribadi. Komunikasi akan terjadi apabila para pelaku yang terlibat dalam komunikasi mempunyai bidang pengalaman yang sama.
9. Efek
Dibandingkan dengan bentuk komunikasi lainnya, komunikasi antarpribadi dinilai paling ampuh untuk mengubah sikap, perilaku, kepercayaan dan opini komunikan. Hal ini disebabkan komunikasi dilakukan secara tatap muka.
2.2.1 Efektivitas Komunikasi Interpersonal
Menurut Joseph A. Devito dalam buku The Interpersonal Communication Book yang dikutip oleh Soemiati (Soemiati, 1993 : 50 – 51) :
1. Keterbukaan, adanya kemauan untuk membuka diri, menyatakan tentang keadaan dirinya sendiri yang tadinya tetap disembunyikan yang berhubungan dengan komunikasi pada saat itu serta keterbukaan dalam memberikan tanggapan secara spontan dan tanpa dalih terhadap komunikasi dan umpan balik orang lain.
2. Empati, sebagai suatu perasaan individu yang merasa sama seperti yang dirasakan orang lain (menempatkan diri pada posisi orang lain).
3. Dukungan, suatu dukungan situasi terhadap kritik maupun caci maki.
4. Rasa positif, dimana komunikasi akan positif bila dirasakan situasi yang positif sehingga mau aktif dan membuka diri.
(27)
5. Kesamaan, kesamaan dalam bidang pengalaman, seperti sikap, perilaku, nilai dan sebagainya serta kesamaan dalam hal mengirim dan menerima pesan.
2.2.2 Bahasa Verbal dan Nonverbal
Pada dasarnya komunikasi adalah pertukaran pesan (baik secara verbal maupun nonverbal) dari komunikator ke komunikan yang dilakukan melalui suatu media tertentu, yang pada akhirnya menimbulkan umpan balik kepada komunikatornya. Ketika pesan ini disampaikan dari satu orang ke orang lain, akan terjadi proses penciptaan makna yang disebut juga dengan persepsi. Proses penciptaan makna atau persepsi ini tidak lepas dari bagaimana cara seseorang menangkap dan menafsirkan pesan yang diterimanya, sedangkan penyampaian pesan ini sendiri tidak semata – mata dilakukan hanya menggunakan bahasa verbal saja tetapi juga menggunakan bahasa nonverbal. Berikut adalah beberapa hal yang menyangkut komunikasi verbal dan nonverbal untuk memperjelas proses persepsi yang terjadi ketika seseorang menangkap suatu pesan dari orang lain :
1. Pengertian Pesan Verbal dan Nonverbal
Mulyana dalam bukunya Pengantar Ilmu Komunikasi (2001 : 237 – 239), simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara yang disadari termasuk kedalam kategori pesal verbal yang disengaja, yaitu usaha – usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan. Bahasa dapat juga dianggap sebagai suatu sistem kode verbal. Bahasa dapat
(28)
didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol – simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas.
Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menayatakan pikiran, perasaan, dan maksud seseorang. Bahasa verbal menggunakan kata – kata yang mempresentasikan berbagai aspek realitas individual.
Baik kita menyertakan budaya sebagai variabel dalam proses abstrak itu, problemnya menjadi semakin rumit. Ketika seseorang berkomunikasi dengan seseorang dari budayanya sendiri, proses abstraksi untuk mempresentasikan pengalaman akan jauh lebih mudah, karena dalam suatu budaya orang – orang berbagai sejumlah pengalaman serupa. Namun bila komunikasi melibatkan orang – orang berbeda budaya, banyak pengalaman berbeda, dan konsekuensinya, proses abstraksi juga menyulitkan. Berikut ini fungsi bahasa menurut para pakar, yaitu :
1. Menurut Larry L. baker dalam Mulyana (2001 : 243), bahasa memiliki tiga fungsi :
a. Penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transisi informasi. Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasi objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi.
b. Fungsi interaksi menekankan berbagai gagasan dan emosi, yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan.
(29)
c. Bahasa sebagai fungsi informasi. Seseorang menerima informasi setiap hari, sejak bangun tidur hingga tidur kembali, dari orang lain baik secara langsung atau tidak (melalui media massa misalnya). Fungsi bahasa inilah yang disebut sebagai fungsi transmisi. Keistimewaan bahasa sebagai sarana transmisi informasi yang lintas waktu, dengan menghubungan masa lalu, masa kini, dan masa depan, memungkinkan kesinambungan budaya dan tradisi kita. Tanpa bahasa seseorang tidak mungkin menghadirkan semua objek dan tempat untuk dirujuk dalam komunikasi.
2. Book dalam Mulyana (2001 :243), mengemukakan bahwa agar komunikasi berhasil, setidaknya bahasa harus memenuhi tiga fungsi, yaitu :
a. Untuk mengenal dunia sekitar. Fungsi pertama bahasa ini jelas tidak terelakkan. Melalui bahasa, anda dapat mempelajari apa saja yang menarik minat, mulai sejarah suatu bangsa yang hidup pada masa lalu yang tidak pernah ditemui.
b. Untuk berhubungan dengan orang lain. Fungsi kedua dari bahasa, yakni sebagai sarana untuk berhubungan dengan orang lain, sebenarnya banyak berkaitan dengan fungsi – fungsi komunikasi.
c. Untuk menciptakan koherensi dalam kehidupan. Fungsi ketiga dari bahasa, yakni memungkinkan seseorang untuk hidup lebih teratur, saling memahami mengenai diri masing – masing, kepercayaan – kepercayaan, dan tujuan – tujuan. Seseorang tidak mungkin menjelaskan semuaitu dengan menyusun kata – kata secara acak, melainkan berdasarkan urutan – urutan tertentu yang telah disepakati
(30)
bersama. Akan tetapi, sebenarnya tidak selamanya dapat memenuhi ketiga fungsi tersebut, oleh karena meskipun bahasa merupakan sarana komunikasi dengan manusia lain, sarana ini secara inheren mengandung kendala, karena sifatnya yang cair dan keterbatasannya.
Seseorang mempersepsi orang lain tidak hanya lewat bahasa verbalnya : bagaimana bahasanya (halus, kasar, intelektual, maupun bahasa asing, dan sebagainya), namun juga perilaku verbalnya. Seseorang dapat mengetahui suasana emosional seseorang, apakah ia sedang bahagia, bingung, atau sedih. Kesan awal apada seseorang sering didasarkan perilaku nonverbalnya, yang mendorong untuk mengenalnya lebih jauh. Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata – kata. Pesan – pesan nonverbal sangat berpengaruh dalam komunikasi.
Sementara kebanyakan perilaku verbal biasanya bersifat eksplisit dan diproses secara kognitif, perilaku nonverbal bersifat spontan, ambigu, sering berlangsung cepat, dan diluar kesadaran atau kendali. Karena itulah Edward T. Hall menamai bahasa nonverbal ini sebagai “bahasa diam” (silent
language) dan “dimensi tersembunyi” (hidden dimension) suatu budaya.
Dalam suatu budaya boleh jadi terdapat variasi bahasa nonverbal, misalnya bahasa tubuh, bergantung pada jenis kelamin, agama, usia, pekerjaan, kelas sosial, tingkat ekonomi, lokasi geografis, dan sebagainya (Mulyana, 2001 : 308 – 310).
(31)
2. Macam – Macam Perilaku Nonverbal
Perilaku nonverbal dapat dibagi secara garis besar ke dalam beberapa kategori yang berkaitan erat dengan konteks antarbudaya yang dikemukakan oleh Samovar (1991) :
1. Penampilan (objectives)
Untuk memutuskan apakah anda akan memulai pembicaraan dengan orang lain, tidak jarang seseorang dipengaruhi oleh penampilan. Kadang – kadang kesimpulan tentang kecerdasan, status sosial, pekerjaan seseorang ditarik dari bagaimana ia menampilkan dirinya, misalnya : cara berpakaian. Pada dasarnya kontak pertama antara seseorang dengan orang lain adalah “mata ke tubuh“. Maksudnya bahwa seseorang akan melihat kearah bagian tubuh lawan bicaranya terlebih dahulu sebelum melakukan kontak mata. Hal ini berarti bahwa orang pasti melihat penampilan orang lain melalui cara berpakaiannya untuk memberikan penilaian tertentu. (Wainwright, 2006 : 183).
2. Gerakan badaniah (kinesics)
Dalam beberapa tahun terakhir, buku – buku dan artikel mengenai bahasa badan ( body language ) telah memusatkan perhatian pada cara – cara manusia menggunakan gerak isyarat badan sebagai suatu bentuk komunikasi. Studi sistematik yang berupaya untuk memformulasikan dan mengkordifikasikan perilaku badaniah ini disebut kinesics. Studi kinesics mempelajari bagaimana isyarat – isyarat nonverbal ini, baik yang sengaja maupun tidak, dapat mempengaruhi komunikasi. Berikut uraian mengenai macam – macam bahasa nonverbal yang tergolong dalam kinesics :
(32)
a. Postur atau sikap badan
gerak gerik dan sikap tubuh memiliki kaitan yang erat dan tidak dapat dipisahkan. Sikap tubuh juga bisa menjadi petunjuk mengenai kepriadian seseorang dan juga mengenai karakternya. Perubahan sikap tubuh juga merupakan bagian yang penting dari proses perubahan sikap dan meningkatkan kemampuan untuk membangun hubungan yang positif dan komunikatif dengan orang lain.
Kondisi pikiran seseorang juga dapat diketahui dari sikap tubuhnya, apakah mereka berbesar hati atau depresi, percaya diri atau pemalu, dominan atau patuh, dan sebagainya. Sikap tubuh juga merefleksasikan citra seseorang dan memiliki peran penting dalam penampilan diri (Wainwright, 2006 : 112, 115).
b. Gerak – gerik (gesture) atau gerakan tubuh yang meliputi juga gerakan tangan dan lengan, gerakan kaki, isyarat – isyarat badan.
Gerak – gerik memungkinkan tingkat pengekspresian dan kehalusan cara yang tidak mungkin dilakukan dengan aspek komunikai nonverbal lainnya. Gerak – gerik mengemukakan sebagian besar yang seseorang pikirka.
Menurut Gerard Nierenberg dan Henry Calero dalam Wainwright (2006 : 83, 104), gerak – gerik memiliki fungsi antara lain : mengekspresikan keterbukaan, sikap bertahan, kesiapan, menentramkan hati, penerimaan, pengharapan, frustasi, keyakinan diri, kegelisahan, hubungan dan kecurigaan, menciptakan komunikasi yang hangat serta keramahtamahan.
(33)
c. Gerakan Kepala
Gerakan kepala adalah penting tidak hanya ketika sedang berbicara, tetapi juga ketika kita sedang mendengarkan. Jika gerakan – gerakan ini digunakan secara tepat, maka akan membantu kita berkomunikasi dengan lebih mudah, namun jika gerakan – gerakan ini tidak tepat pengunaannya maka sapat dengan cepat merusak hubungan dengan orang lain.
d. Ekspresi muka atau wajah
Ekspresi wajah digunakan sebagaimana sarana untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik terhadap sesuatu yang sedang dikomunikasikan orang lain.
Pengekspresian wajah adalah hal penting kedua setelah mata dalam hubungannya dengan penggunaan bahasa tubuh. Kita memperoleh banyak informasi tentang kondisi emosional orang lain melalui ekspresi – ekspresi wajah mereka. Sikap – sikap seseorang dapat terbaca jelas melalui ekspresi – ekspresi wajahnya, apakah menunjukkan rasa senang, tertarik, bosan, takut atau marah.
e. kontak mata dan tatapan
Beberapa penulis tentang komunikasi nonverbal memperkirakan sejumlah kemungkinan mengenai mengapa manusia selalu membutuhkan kontak mata, antara lain : kontak mata terjadi karena dorongan yang kuat untuk memandang orang lain, kontak pertama seseorang dengan orang lain adalah melalui kontak mata, erupakan sesuatu yang biasanya terjadi berdasarkan dorongan instingtif dan berhubungan dengan pola – pola dasar kehidupan.
(34)
Peneliti lain mengatakan bahwa signitifikasi kontak mata dipelajari seseorang dalam pertumbuhannya bersama dengan orang dewasa maupun orang – orang lain yang memperhatikannya. Dari proses belajar itu seseorang mengerti bahwa kontak mata dan model – model tatapan tertentu memiliki arti yang berbeda – beda (Wainwright, 2006 : 13 – 14).
3. Persepsi Inderawi ( sensorics ) a. Rabaan atau sentuhan
Kebudayaan mengajarkan pada anggota – anggotanya sejak kecil tentang siapa yang dapat kita raba, bilamana dan dimana kita bisa raba atau sentuh. Dalam banyak hal juga, kebudayaan mengajarkan kita bagaimana tafsirkan tindakan perabaan atau sentuhan. Dalam hal berjabat tangan juga ada variasi kebudayaannya. Setiap kebudayaan juga memberikan batasan pada bagian – bagian mana dari badan yang dapat disentuh, dan mana yang bisa diraba. b. Penciuman
Indera penciuman dapat berfungsi sebagai saluran untuk membangkitkan makna.
4. Penggunaan ruang dan jarak ( proxemics )
Cara kita menggunakan ruang jarak sering kali menyatakan kepada orang lain sesuatu mengenai diri kita secara pribadi maupun kebudayaan. Aturan – aturan dan prosedur – prosedur yang menentukan ruang dan jarak dipelajari sebagai bagian dari masing – masing kebudayaan. Contoh penggunaan ruang jarak di kantor – kantor. Orang Indonesia belajar untuk membuat batas tembok dengan orang lain, yaitu dengan cara bicara dalam nada rendah atau diam.
(35)
5. Penggunaan waktu ( chronemics )
Kebiasan – kebiasaan bisa berbeda pada macam – macam kebudayaan dalam hal :
a. Persiapan berkomunikasi b. Saat dimulainya komunikasi
c. Saat proses komunikasi berlangsung d. Saat mengakhiri
6. Paralanguange
Paralanguange termasuk dalam unsur – unsur linguistic, yaitu bagaimana
atau cara sesuatu pesan diungkapkan dan bukan isi pesan itu sendiri.
Paralanguange memberikan informasi mengenai informasi, atau apa yang
disebut metakomunikasi. Hal – hal yang termasuk dalam klasifikasi
paralanguange antara lain : aksen, volume suara atau tekanan suara, nada suara
ditujukan pada tinggi rendah suara, intonasi suara, kecepatan bicara, penggunaan waktu berhenti dalam bicara yang disebut juga jeda bicara.
Lamanya waktu jeda bicara dan berhenti meiliki nilai komunikasi, jika diasosiasikan dengan berbagai macam kesalahan berbicara, keragu – keraguan sejenak mengindiasikan bahwa pembicara sedang gugup atau sedang berbohong, berhenti dalam waktu lama menunjukkan bahwa pembicara telah selesai bicara atau kehabisan bahan pembicaraan. Dalam pembicaraan hal ini juga dapat diartikan bahwa pembicara mengalami kebuntuan dan tidak menginginkan segera ada respons dari lawan bicaranya. (Wainwright, 2006 : 212).
(36)
2.3. Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi dan kebudayaan tidak sekedar dua kata, tetapi dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Budaya itu sendiri adalah sesuatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh suatu kelompok orang dari generasi ke generasi. Komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi lintas budaya, atau dengan kata lain komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang berbeda latar belakang budaya, baik perbedaan dalam ras, etnik, kebiasaan, maupun perbedaan sosial dan ekonomi. ( Liliweri, 2002 : 9 ).
Komunikasi tidak bisa dipandang sekedar sebagai sebuah kegiatan yang menghubungkan manusia dalam keadaan pasif, tetapi komunikasi harus dipandang sebagai proses yang menghubungkan manusia melalui sekumpulan tindakan yang terus menerus diperbaharui. Jadi komunikasi itu selalu terjadi antara sekurang – kurangnya dua orang peserta komunikasi atau mungkin lebih banyak dari itu (kelompok, organisasi, public, dan massa) yang melibatkan pertukaran tanda – tanda melalui suara, kata – kata, atau suara dan kata – kata.
Komunikasi antarbudaya yang interaktif adalah komunikasi yang dilakukan oleh komunikator dengan komunikan dalam dua arah atau timbal balik (two way communication) namun masih berada pada tahap rendah. Apabila ada proses perukaran pesan itu memasuki tahap tinggi, misalnya saling mengerti, memahami perasaan dan tindakan bersama
(37)
maka komunikasi tersebut telah memasuki tahap traksaksional. (Hybels dan Sandra dalam Liliweri, 2002 : 24).
Baik komunikasi interaktif maupun transaksional mengalami proses yang bersifat dinamis, karena proses tersebut berlangsung dalam konteks sosial yang hidup, berkembang dan bahkan berubah – ubah berdasarkan waktu, situasi dan kondisi tertentu. Karena proses komunikasi yang dilakukan merupakan dinamisator atau penghidup bagi proses komunikasi tersebut.
Komunikator dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang memprakarsai komunikasi, artinya ia mengawali pengiriman pesan tertentu kepada pihak lain yang disebut komunikan. Dalam komunikasi antarbudaya, seorang komunikator berasal dari latar belakang kebudayaan tertentu.
Menurut Gudykunst dan Kim dalam buku Liliweri (2002: 25), mengatakan secara makro perbedaan karakteristik antarbudaya itu ditentukan oleh factor nilai dan norma hingga kearah mikro yang mudah dilihat dalam wujud kepercayaan, minat dan kebiasaan. Selain itu faktor – faktor yang berkaitan dengan kemampuan berbahasa sebagai pendukung komunikasi misalnya kemampuan berbicara dan menulis secara baik dan benar ( memilih kata, membuat kalimat ), kemampuan menyatakan symbol nonverbal, bentuk – bentuk dialek dan aksen.
(38)
Berdasarkan pendapat ini, maka komunikasi antarpribadi dua orang yang berbeda gender, status dan kelas sosial serta berbeda kebiasaan, dapat digolongkan sebagai komunikasi antarbudaya.
Adapun konteks komunikasi antarbudaya ada dua, yakni : ( 1 ) komunikasi antarpribadi; ( 2 ) komunikasi kelompok.
1. Komunikasi Antarpribadi
Komunikasi antarbudaya juga ada dalam konteks komunikasi antarpribadi. Komunikasi antarbudaya melibatkan paling sedikitdua tau tiga orang yang berbeda kebudayaan, lalu jarak fisik diantara mereka sangat dekat satu sama lain. Sementara itu, dalam komunikasi bertatap muka atau bermedia, umpan baliknya berlangsung cepat, adaptasi pesan bersifat khusus, dan tujuan komunikasi bersifat tidak terstruktur. Dalam kenyataannya komunikasi antarbudaya yang dilakukan oleh dua atau tiga orang yang berbeda budaya itu dipengaruhi oleh factor – factor personal maupun kelompok budaya. Faktor – faktor personal yang mempengaruhi komunikasi antarpribadi antara lain, factor kognitif seperti konsep diri, persepsi, sikap, orientasi diri ( self orientation), dan harga diri (self esteem). 2. Komunikasi Kelompok
Komunikasi kelompok merupakan komunikasi diantara sejumlah orang (4–20 orang untuk kelompok kecil dan 20 – 50 orang untuk kelompok besar). Dalam kenyataan, komunikasi kelompok terjadi pula proses interaksi antarbudaya dari para anggota kelompok yang berbeda latar belakang kebudayaan. Termasuk dalam konteks pengertian komunikasi kelompok
(39)
adalah operasi komunikasi antarbudaya dikalangan in group maupun antara anggota sebuah in group dengan out group atau bahkan antara berbagai kelompok.
Karena itu, maka salah satu kunci untuk menentukan komunikasi antarbudaya yang efektif adalah pengakuan terhadap faktor – faktor pembeda yang mempengaruhi sebuah konteks komunikasi sebagaimana diuraikan tersebut, misalnya peserta komunikasi, apakah itu etnis, ras, kelompok kategori yang memiliki kebudayaan itu tersendiri. Perbedaan – perbedaan itu meliputi nilai, norma, kepercayaan, bahasa, sikap, persepsi, dan kebiasaan yang semua itu menentukan pola – pola komunikasi antarbudaya maupun lintas budaya. Selain itu, komunikasi antarbudaya mampu menimbulkan prasangka bagi komunikator dengan komunikan. Istilah prasangka ( prejudice ) berasal dari kata lain praejudicium, yang berarti suatu presen atau penelitian berdasarkan keputusan terdahulu. Menurut Purwasiti dalam Komunikasi Multikultural (2003:178) prasangka berangkat dari adanya pandangan negatif dengan adanya pemisahan yang tegas antara perasaan kelompok (in group) maupun adanya perasaan – perasaan dari kelompok lain (out group).
2.4. Pola Komunikasi
Secara etimologis atau menurut asal katanya, istilah komunikasi berasal dari bahasa latin yaitu communiacation, yang akar katanya adalah
communis, tetapi bukan partai dalam kegiatan politik. Arti communis
disini adalah sama, dalam arti kata sama maka, yaitu sama makna mengenai suatu hal.
(40)
Pengiriman pesan dari endocer ke decoder yang kemudian direspon oleh decoder dan diteruskan kembali pada encoder ( umpan balik ) menimbulkan interaksi. Proses komunikasi adalah sebuah proses. Proses komunikasi itu sendiri adalah setiap langkah mulai dari saat menciptakan informasi sampai dipahaminya informasi oleh komunikan dan berlangsung secara kontinu ( Suprapto, 2006 : 5 ).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pola diartikan sebagai bentuk (struktur yang tetap). Sedangkan komunikasi adalah proses penciptaan arti terhadap gagasan atau ide yang disampaikan. Menurut Djamarah ( 2004 : 1 ), pola komunikasi diartikan sebagai bentuk atau pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam proses pengiriman dan penerimaan pesan dengan cara yang tepat,sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami.
Dari pengertian diatas maka suatu pola komunikasi adalah bentuk atau pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam proses pengiriman pesan dan penerimaan pesan yang mengaitkan dua komponen, yaitu gambaran atau rencana yang meliputi langkah – langkah pada suatu aktivitas dengan komponen – komponen yang merupakan bagian penting atas terjadinya hubungan komunikasi antar manusia atau kelompok dan organisasi.
Pola komunikasi yang digunakan dalam penelitian ini bukanlah komunikasi antara suami dengan instri, melainkan pola komunikasi antara satu individu dengan individu lainnya.
(41)
Menurut Joseph A. Devito ( 2007 : 277 – 278 ), terdapat empat pola komunikasi :
1. Pola Keseimbangan
Pola Keseimbangan ini lebih terlihat pada teori daripada prakteknya, tetapi ini merupakan awal yang bagus untuk melihat komunikasi pada hubungan yang penting. Pada pola komunikasi keseimbangan ini masing – masing individu membagi sama dalam berkomunikasi. Komunikasi yang terjalin sangat terbuka, jujur, langsung dan bebas. Tidak ada pemimpin maupun pengikut, melainkan kedudukannya sama.
2. Pola Keseimbangan Terbalik
Dalam pola keseimbangan terbalik, masing – masing mempunyai orientasi diatas daerah atau wewenang yang berbeda masing – masing. 3. Pola Pemisah Tidak Seimbang
Dalam hubungan terpisah yang tak seimbang, satu orang mendominasi. Maka dari itu, satu orang ini secara teratur mengendalikan hubungan dan hampir tidak pernah meminta pendapat antara kedua belah pihak. Sedangkan anggota yang dikendalikan membiarkannya untuk menenangkan argumentasi ataupun membuat keputusan.
4. Pola monopoli
Dalam pola monopoli ini, kedua belah pihak sama – sama dirinya sebagai penguasa. Keduanya lebih suka memberi nasihat daripada berkomunikasi untuk saling bertukar pendapat.
(42)
2.5. Teori Pertukaran Sosial
Model ini memandang hubungan interpersonal sebagai traksaksi dagang. Orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. ( Rakhmat, 2003 : 122 ).
Thibault dan Kelley, dua orang pemuka utama dari model ini menyimpulkan bahwa asumsi yang mendasari individu secara suka rela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya.
“Ganjaran, biaya, laba, dan tingkat perbandingan“ merupakan empat
konsep pokok dalam teori ini.
1. Ganjaran ialah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dalam suatu hubungan.
2. Biaya adalah akibat yang dinilai negatif yang terjadi dalam satu hubungan. Biaya dapat berupa waktu, biaya, dan konflik.
3. Hasil atau laba adalah ganjaran dikurangi biaya. Bila seseorang individu merasa dalam suatu hubungan interpersonal, bahwa ia tidak memperoleh laba sama sekali, maka ia akan mencari hubungan lain yang akan menghasilkan laba.
4. Tingkat perbandingan adalah menunjukkan ukuran baku ( standar ) yang dipakai sebagai kriteria dalam menilai hubungan individu pada waktu sekarang. Tingkat perbandingan ini dapat berupa pengalaman individu pada masa lalu atau alternatif lain yang terbuka baginya. (Rahmat, 2003 : 122).
(43)
2.6. Pengertian Da’i
Secara bahasa Da'i adalah penyeru atau penyampai informasi.
Dalam teori komunikasi Da'i itu adalah komunikator. Ia yang selalu menyampaikan pesan kepada komunikan. Secara istilah Da'i adalah seseorang yang menyampaikan pesan-pesan tentang ajakan menuju jalan Allah (amar ma'ruf nahyi munkar) kepada mustami' atau umat.
Pengertian tersebut sejalan dengan kalamullah yang tersurat dalam ayat 125 surat An-Nahl, "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik..." Dengan tersirat ayat ini menjadi landasan definisi Da'i baik secara bahasa maupun istilah.
http://dioncecepsupriadi.blogspot.com/2006/06/kita-adalah-dai.html
Pencitraan ataupun pemahaman masyarakat dahulu mengenai Da’i hanyalah seseorang yang memberi ceramah atau dakwah di masjid – masjid. Hal ini berbeda dengan keadan Da’i pada saat ini. Da’i yang ada pada saat ini tidak hanya berdakwah di masjid saja melainkan juga berdakwah diluar masjid. Realitas ini dapat didapatkan dari minimnya pembinaan mental dan spiritual terhadap PSK, maka muncul gagasan untuk membentuk wadah yang menghimpun para Da'i dan komponen terkait dalam sebuah organisasi IDIAL dengan tujuan agar pola pendekatan dan pola pembinaan terhadap PSK dan Mucikari lebih sistematis.
(44)
2.7. Ikatan Da’i Area Lokalisasi
Ikatan Da’i Area Lokalisasi atau singkatannya IDIAL merupakan lembaga yang ada dibawah payung MUI Jatim dan legalitasnya berdasar SK MUI Jatim untuk periode 5 tahun. Sedangkan idial sendiri adalah lembaga pertama kali di Indonesia yang berperan mengentas para PSK. Anggotanya juga bukan hanya para Dai, tapi seluruh tokoh masyarakat dari tingkat kecamatan hingga RT.Lembaga ini dibentuk atas kesadaran terhadap realitas masyarakat yang memandang sebelah mata terhadap dunia prostitusi.
Berangkat dari realitas minimnya pembinaan mental dan spiritual terhadap PSK, maka muncul gagasan untuk membentuk wadah yang menghimpun para Da'i dan komponen terkait dalam sebuah organisasi IDIAL dengan tujuan agar pola pendekatan dan pola pembinaan terhadap PSK dan Mucikari lebih sistematis. Dengan dibentuknya organisasi ini, diharapkan mampu membersihkan Surabaya dan Jatim pada umumnya, dari lokalisasi. kan paradoks, mengingat jumlah umat Islam di Jatim mencapai 90%, tapi prostitusinya juga terbesar se-Asia Tenggara. http://www.beritajatim.com/detailnews.php/6/Politik_&_Pemerintahan/201 2-02-04/125926
2.8. Pekerja Seks Komersial
Pekerja seks komersial adalah seseorang yang menjual jasanya untuk melakukan hubungan seksual untuk uang. Di Indonesia pelacur (pekerja seks komersial) sebagai pelaku pelacuran sering disebut sebagai sundal atau sundel. Ini menunjukkan bahwa prilaku perempuan sundal itu
(45)
sangat begitu buruk hina dan menjadi musuh masyarakat, mereka kerap digunduli bila tertangkap aparat penegak ketertiban, Mereka juga digusur karena dianggap melecehkan kesucian agama dan mereka juga diseret ke pengadilan karena melanggar hukum. Pekerjaan melacur atau nyundal sudah dikenal di masyarakat sejak berabad lampau ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa kemasa. Sundal selain meresahkan juga mematikan, karena merekalah yang ditengarai menyebarkan penyakit AIDS akibat perilaku sex bebas tanpa pengaman bernama kondom.
Pelacur adalah profesi yang menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual pelanggan. Biasanya pelayanan ini dalam bentuk menyewakan tubuhnya. Di kalangan masyarakat Indonesia, pelacuran dipandang negatif, dan mereka yang menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sebagai sampah masyarakat. Ada pula pihak yang menganggap pelacuran sebagai sesuatu yang buruk, malah jahat, namun toh dibutuhkan (evil necessity). Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa kehadiran pelacuran bisa menyalurkan nafsu seksual pihak yang membutuhkannya (biasanya kaum laki-laki); tanpa penyaluran itu, dikhawatirkan para pelanggannya justru akan menyerang dan memperkosa kaum perempuan baik-baik.
Augustinus dari Hippo (354-430), seorang bapak gereja. Ia mengatakan bahwa pelacuran itu ibarat "selokan yang menyalurkan air yang busuk dari kota demi menjaga kesehatan warga kotanya”. Istilah pelacur sering diperhalus dengan pekerja seks komersial, wanita tuna susila, istilah
(46)
lain yang juga mengacu kepada layanan seks komersial. Khusus laki-laki, digunakan istilah gigolo. Pelacur adalah profesi yang menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual pelanggan. Biasanya pelayanan ini dalam bentuk menyewakan tubuhnya
(http://id.wikipedia.org)
Pada opini tersebut tentu predikat yang melekat pada PSK sangat buruk. Namun bila dilihat dari sisi yang lain yaitu profesi psk merupakan suatu upaya, usaha yang dilakukan oleh kaum perempuan yang merasa dirinya sudah tidak ada alternative pekerjaan yang lain. Profesi demikian terpaksa ditempuh dengan tujuan memenuhi kebutuhan hidup.
Profesi sebagai PSK tersebut dilakukan atas dasar mencari penghasilan karena faktor untuk berjuang mempertahankan hidup ditengah sulitnya kaum perempuan mendapatkan pekerjaan yang layak, khususnya bagi mereka yang berpendidikan rendah yang berasal dari daerah pedalaman, apalagi yang dia andalkan selain kecantikan dan kemolekan tubuh yang indah yang dapat menggoda nafsu kaum laki-laki. Anak perempuan juga mendapatkan tuntutan yang sama dengan saudara laki-lakinya dan mereka kemudian harus menyesuaikan dengan tata kehidupan global dengan berbagai implikasinya, akhirnya mereka mencari pekerjaan yang paling mudah yakni menjual tubuhnya (Muniarti, 2004: 212-213).
Dalam melakukan hubungan seksual sebagian remaja tidak terlindungi dari pengaruh lingkungan, sehingga menjadikan anak tersebut menjadi seorang pekerja seks komersial. Namun tidak menutup
(47)
kemungkinan, wanita-wanita yang status ekonomi rendah yang menjadi seorang pelacur, alasan lainnya bisa karena faktor ditinggal pasangannya, korban pemerkosaan, broken home ataupun karena memang mencari kepuasan dan menyukai kebebasan dan keseronokan. Namun faktor yang kerap dijadikan alasan karena tidak adanya lapangan pekerjaan yang sesuai dengan mereka.
Menurut Ahmad dalam buku Gejala Sosial dalam Masyarakat Islam, mengkategorikan pelacur berdasarkan tempat dan caranya mencari pelanggan. Berdasarkan kriteria tersebut, pelacur dibagi menjadi beberapa kategorikan :
1. Pelacur Pasar : pelacur yang dianggap sebagai pelacur yang paling rendah didalam masyarakat.
2. Pelacur Jalanan : pelacur yang mencari pelanggannya dengan merayu-merayu dijalan, proses tawar-menawar pun terjadi ditempat itu juga dan transaksi terjadi di hotel dengan tariff rendah.
3. Pelacur Jalanan Modern : pelacur ini beraksi ditempat tertentu, seperti swalayan dan mal-mal biasanya terdiri dari gadis-gadis dan istri-istri yang ingin mendapatkan uang lebih.
4. Pelacur bermajikan : pelacur panggilan atau call girls. Mereka mempunyai majikan dan tidak semua orang tahu akan tempat mereka, dihubungi saat ada pelanggan saja.
5. Pelacur kelab malam : pelacur tempat tertentu dan pada dasarnya pekerjaannya sebagai pekerjaan sampingan.
(48)
6. Pelacur Bebas : merupakan jenis pelacur elit. Biasanya terdiri dari artis, gadis-gadis pejabat, peragawati dan biasanya anak-anak sekolah ataupun mahasiswa. Mereka biasanya mencari mangsa ditempat yang elit, coffee
house, restouran dan hotel eksklusif.
7. Pelacur kehormatan : mereka biasanya merupakan gadis-gadis yang disewa oleh firman-firman dan pejabat-pejabat perniagaan untuk melayani dan menemani tamu-tamu tertentu untuk tujuan khusus.
8. Pelacur paksa : merupakan wanita yang menjadi pelacur karena dipaksa, mungkin dipaksa suami, orang tua, kekasih atau menjadi korban trafficking.
2.9. Kerangka Berfikir
Komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi lintas budaya, atau dengan kata lain komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh dua orag atau lebih yang berbeda latar belakang budaya, baik perbedaan dalam ras, etnik, kebiasaan, maupun perbedaan sosial dan ekonomi. Komunikasi antarbudaya terjadi karena adanya perbedaan persepsi dan kebiasaan antara komunikator dengan komunikan. Karena ada perbedaan iklim budaya tersebut, maka pada umumnya komunikasi yang terjadi selalu difokuskan pada pesan – pesan yang menghubungkan individu atau kelompok dari situasi budaya yang berbeda.
Adanya perbedaan budaya, mampu menimbulkan konflik antara komunikator dengan komunikan karena makna ( meaning ) yang diperoleh mengalami ketidakpastian. Namun, ketidakpastian tersebut bisa dikurangi
(49)
apabila komunikator dengan komunikan mampu melakukan proses komunikasi yang efektif. Komunikasi yang efektif atau tidaknya suatu proses pertukaran antara masing – masing individu tersebut tidak hanya dipengaruhi faktor – faktor internal, tetapi juga faktor – faktor eksternal. Contohnya adalah hubungan komunikasi antara Da’i dengan PSK. Da’i yang dimaksut adalah dai yang dibentuk oleh MUI dalam Ikatan Da’i Area Lokalisasi yang fungsi dari para Da’i ini adalah untuk melakukan pembinaan terhadap para PSK di area lokalisasi yang sama dengan para Da’i itu berada. Sedangkan PSK seks adalah seseorang yang menjual jasanya untuk melakukan hubungan seksual untuk uang. Untuk mengurangi ketidakpastian serta konflik diantara Da’i dengan PSK bangunsari, maka komunikasi antara keduanya harus dilakukan setiap hari. Pola komunikasi yang terbentuk apakah produktif ataupun tergantung dari masing – masing individu yang berinteraksi.
Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui pola komunikasi yang dilakukan oleh Da’i dengan Pekerja Seks Komersial Bangunsari sehingga kebutuhan kedua belah pihak dapat terwujud dengan baik. Dimana pola komunikasi ini dipengaruhi oleh perbedaan latar belakang budaya, yaitu perbedaan kebiasaan.
(50)
39
3.1. Definisi Operasional Konsep
Pada penelitian ini penulis tidak membicarakan hubungan antara variabel
sehingga tidak ada pengukuran variabel bebas dan variabel terikat. Penelitian
ini difokuskan pada pola komunikasi antara Da’i Area Lokalisasi dengan
Pekerja Seks Komersial Bangunsari, sehingga tipe penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah tipe penelitian deskriptif dan menggunakan analiss
kualitatif.
Tipe penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat gambaran atau
deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat tentang fakta – fakta dan sifat –
sifat populasi atau objek tertentu. Priset sudah mempunyai konsep (biasanya
satu konsep) dan kerangka konseptual. Melalui kerangka konseptual (landasan
teori), priset melakukan operasionalisasi konsep yang akan menghasilkan
variabel beserta indikatornya. Priset ini untuk menggambarkan realitas yang
sedang terjadi tanpa menjelaskan hubungan variabel (Rachmat, 2006 : 69).
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang tidak menggunakan
statistik atau angka – angka tertentu. Hasil dari penelitian kualitatif ini tidak
dapat digeneralisasikan (membuat kesimpulan yang berlaku umum). Atau
(51)
sesuai dan keadaan dimana penelitian yang serupa diadakan (Kountur, 2003 :
29).
Menurut Rachmat dalam bukunya riset komunikasi (2006 : 59), secara
umum riset menggunakan metodologi kualitatif mempunyai ciri – ciri sebagai
berikut :
1. Intensif, partisipasi priset dalam waktu lama pada setting lapangan, priset
adalah instrument pokok riset.
2. Perekaman yang sangat hati – hati terhadap apa yang terjadi dengan catatan –
catatan dilapangan dan tipe – tipe dari bukti – bukti dokumenter.
3. Analisis data lapangan.
4. Melaporkan hasil, termasuk deskriptif detail, quotes ( kutipan – kutipan ) dan
komentar.
5. Tidak ada realitas tunggal, setiap peneliti mengkritisi realitas sebagai bagian
penelitiannya. Realitas dipandang sebagai dinamis dan produk konstruksi
sosial.
6. Subjektif dan berada hanya dalam referensi peneliti. Priset sebagai sarana
penggalian intrpretasi data.
7. Realitas adalah olistik dan tidak dapat dipilah – pilah.
8. Priset memproduksi penjelasan unik tentang situasi yang terjadi dan individu–
(52)
9. Lebih pada kedalaman ( Depth ) daripada keluasan ( breadth )
. 10. Prosedur riset : empiris – rasional dan tidak berstruktur.
11. Hubungan antara teori, konsep dan data – data
Pendekatan kualitatif dengan pertimbangan lebih mudah apabila
berhadapan dengan kenyataan ganda, menyajikan secara langsung hakekat
hubungan antara penelitian dengan informan, lebih peka dan dapat lebih
menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap
pola pola nilai yang dihadapi. Metode kualitatif yang digunakan adalah
pendekatan fenomonologis, artinya peristiwa dan kaitan – kaitannya orang –
orang biasa dalam situasi – situasi tertentu dengan menekankan pada aspek
subyektif dari perilaku orang, dan pendekatan interaksi simbolik yang berasumsi
bahwa pengalaman manusia ditengahi oleh penafsiran, dimana menjadi
paradigma konseptual melebihi dorongan dari dalam, sifat – sifat pribadi,
motivasi yang tidak disadari, kebetulan, status sosial ekonomi, kewajiban
peranan, resep budaya, mekanisme pengawasan masyarakat atau lingkungan fisik
lainnya.
Untuk meneliti pola komunikasi dan perubahan gejala sosial yang ada,
peneliti menggunakan pendekatan fenomonologis, dimana berusaha “
mengungkap “ proses interpretasi dan melihat segala aspek “ subjek “ dari
perilaku manusia dengan cara masuk ke dunia konseptual orang – orang yang
diteliti sehingga dapat dimengerti apa dan bagaimana suatu pengertian
(53)
bukan berarti bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang – orang yang
diteliti. ( Moelong, 2002 : 4 – 13 ).
Pada penelitian ini, peneliti akan berperan sebagai partisipan dalam dunia
sosial. Kedudukan peneliti sebagai instrument penelitian harus mencakup segi
responsive, dapat menyesuaikan diri, menekankan keutuhan, mendasarkan diri
atas pengetahuan, memproses data secepatnya dan memanfaatkan kesempatan
untuk mengklasifikan dan mengikhtisarkan serta memanfaatkan kesempatan
mencari respon yang tidak lazim. ( Moelong, 2002 : 121 ).
Yang dimaksud pola komunikasi dalam penelitian ini adalah bentuk
hubungan dalam proses pengiriman dan penerimaan pesan antara Da’i Area
Lokalisasi dengan Pekerja Seks Komersial dalam lingkungan masyarakat
Bangunsari. Dalam usaha untuk memudahkan proses komunikasi yang dimaksud
dalam penelitian, maka diperlukan adanya konsep – konsep yang berfungsi
sebagai gambaran awal, antara lain :
1. Pola Keseimbangan
Pada pola komunikasi keseimbangan ini masing – masing individu
membagi sama dalam komunikasi. Komunikasi yang terjalin sangat terbuka,
jujur, langsung dan bebas. Tidak ada pemimpin maupun pengikut, melainkan
(54)
2. Pola Keseimbangan Terbalik
Dalam pola keseimbangan terbalik, masing – masing mempunyai orientasi
di atas daerah atau wewenang yang berbeda masing – masing.
3. Pola Pemisah Tidak Seimbang
Dalam hubungan terpisah yang tak seimbang, satu orang mendominasi.
Maka dari itu, satu orang ini secara teratur mengendalikan hubungan dan
hampir tidak pernah meminta pendapat antara kedua belah pihak. Sedangkan
anggota yang dikendalikan membiarkannnya untuk memenangkan argumentasi
ataupun membuat keputusan.
4. Pola Monopoli
Dalam pola monopoli ini, kedua belah pihak sama – sama dirinya sebagai
penguasa. Keduanya lebih suka memberi nasihat daripada berkomunikasi untuk
saling bertukar pendapat.
3.2. Subyek dan obyek Penelitian
1. Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah informan yang merupakan Pekerja Seks
(55)
2. Obyek Penelitian
Informan lain yang juga akan menjadi obyek dalam penelitian ini adalah
Da’i Area Lokalisasi Bangunsari, yang melakukan komunikasi intensif dengan
Pekerja Seks Komersial Bangunsari. Dan menghasilkan narasi – narasi kualitatif
dalam wawancara mendalam ( indepth interview ).
Informan penelitian ini tidak ditentukan jumlahnya. Hal ini disebabkan
karena dalam penelitian kualitatif tidak mempersoalkan berapa besar jumlah
informan, melainkan yang terpenting adalah seberapa jauh penjelasan informan
yang diperoleh dalam menjawab permasalahan. ( Sumady Suryabrata, 1998 : 60 ).
Namun demikian peneliti beruasaha akan mencari sebanyak mungkin
informasi yang berkaitan dengan tujuan penelitian dari beberapa sumber. Peneliti
akan mencari variasi informasi sebanyak – banyaknya dari sumber informasi
dengan menggunakan teknik sampling wawancara mendalam ( indepth intervie ),
yaitu orang – orang yang dianggap mengetahui, memahami permasalahan yang
terjadi sesuai dengan substansi penelitian sehingga dapat menghasilkan kata –
kata dan tindakan, memungkinkan narasumber untuk mendefisikan dirinya sendiri
dan lingkungannya dengan istilah – istilah mereka sendiri.
Berikut ini merupakan syarat untuk menjadi seorang informan dalam
penelitian ini, antara lain adalah Da’i Area Lokalisasi Bangunsari serta Pekerja
(56)
3.3. Unit Analisis Penelitian
Dalam penelitian ini menekankan pada pola komunikasi Da’i
dengan Pekerja Seks Komersial Bangunsari yang dilatarbelakangi oleh
perbedaan kebiasan dan budaya. Pekerja Seks Komersial yang dimaksudkan
dalam penelitian ini adalah Pekerja Seks Komersial Bangunsari yang mau
berhenti dari pekerjaannya setelah mendapatkan penyuluhan dari Da’i Area
Lokalisasi. Dalam penelitian ini menekankan pada faktor yang
mempengaruhi pola komunikasi Da’i dengan Pekerja Seks Komersial
Bangunsari. Hal ini dapat diamati dari proses komunikasi dalam kehidupan
sehari – hari para Da’i yang berkaitan langsung dengan Pekerja Seks
Komersial Bangunsari. Dan menghasilkan narasi – narasi kualitatif dalam
wawancara mendalam.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Wawancar Mendalam ( indepth interview )
Pengumpulan data dengan melakukan Tanya jawab dengan
informan dan bertatap muka anara penanya dan penjawab, dengan
menggunakan alat yang dinamakan dengan interview guide ( panduan
wawancara ). Wawancara mendalam dimaksudkan untuk memburu makna
yang tersembunyi dibalik “ table hidup “ kenyataan yang tertangkap dan
diobservasi sehingga sesuatu fenomena sosial menjadi bisa dipahami. Dengan
wawancara mendalam, bisa digali apa yang tersembunyi di sanubari, apakah
(57)
Berikut yang akan disajikan teknis wawancara yang akan dilakukan
peneliti :
1. Peniliti menyiapkan daftar pertanyaan ( interview guide ).
2. Peneliti akan melakukan wawancara kepada informan.
3. Waktu dan tempat wawancara akan ditentukan setelah ada kesepakatan
peneliti dengan informan.
4. Peneliti sebagai pewawancara.
5. Wawancara akan dilakukan secara tatap muka atau langsung dengan
informan.
6. Wawancara dilakukan hanya melibatkan satu pewawancara dan satu
informan, informan yang lain akan diwawancara pada pada waktu dan
tempat yang lain.
7. Dimungkinkan jika tempat wawancara pada seorang informan juga sama
dengan wawancara terhadap seorang informan yang lain, namun
dipastikan tidak dalam waktu yang sama.
8. Pendokumentasian data akan dilakukan dengan menggunakan tape
recorder, buku catatan, dan bolpoin.
Selain itu juga menggunakan literature yaitu teknik pengumpulan data
dengan mencari data pndukung dengan mengolah buku – buku dan sumber
(58)
3.5. Teknik Analisis Data
Setelah seluruh data diperoleh dengan cara teknik indepth
interview, peneliti akan menganalisis data tersebut dengan analisis kualitatif yaitu dengan menganalisis pola komunikasi Da’i dengan Pekerja Seks
Komersial Bangunsari dalam bentuk uraian atau penjelasan deskriptif,
sehingga analisis ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, serta tidak
(59)
4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian
Penelitian dalam hal ini adalah Pola Komunikasi Da’i dengan PSK
Bangunsari Surabaya. Da’i yang menjadi informan dalam penelitian ini
adalah Da’i yang tinggal di Bangunsari dengan jabatan yang berbeda dan
tergabung dalam Ikatan Da’i Area Lokalisasi.
Pemahaman masyarakat terdahulu mengenai Da’i hanyalah
seseorang yang memberi ceramah atau dakwah di masjid – masjid. Hal
ini berbeda dengan keadan Da’i pada saat ini. Da’i yang ada pada saat ini
tidak hanya berdakwah di masjid saja melainkan juga berdakwah diluar
masjid. Realitas ini didapatkan dari minimnya pembinaan mental dan
spiritual terhadap PSK, maka muncul gagasan untuk membentuk wadah
yang menghimpun para Da'i dan komponen terkait dalam sebuah
organisasi IDIAL dengan tujuan agar pola pendekatan dan pola
pembinaan terhadap PSK dan Mucikari lebih sistematis.
Ikatan Da’i Area Lokalisasi atau singkatannya IDIAL merupakan
lembaga yang ada dibawah payung MUI Jatim dan legalitasnya berdasar
SK MUI Jatim untuk periode 5 tahun. Sedangkan IDIAL sendiri adalah
(60)
Pekerjaan melacur atau nyundal sudah dikenal di masyarakat sejak
berabad lampau ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar
mereka dari masa kemasa. Sundal selain meresahkan juga mematikan,
karena merekalah yang ditengarai menyebarkan penyakit AIDS akibat
perilaku sex bebas tanpa pengaman bernama kondom.
Pelacur adalah profesi yang menjual jasa untuk memuaskan
kebutuhan seksual pelanggan. Biasanya pelayanan ini dalam bentuk
menyewakan tubuhnya. Di kalangan masyarakat Indonesia, pelacuran
dipandang negatif, dan mereka yang menyewakan atau menjual tubuhnya
sering dianggap sebagai sampah masyarakat. Ada pula pihak yang
menganggap pelacuran sebagai sesuatu yang buruk, malah jahat, namun
toh dibutuhkan (evil necessity). Pandangan ini didasarkan pada anggapan
bahwa kehadiran pelacuran bisa menyalurkan nafsu seksual pihak yang
membutuhkannya (biasanya kaum laki-laki); tanpa penyaluran itu,
dikhawatirkan para pelanggannya justru akan menyerang dan
memperkosa kaum perempuan baik-baik.
Augustinus dari Hippo (354-430), seorang bapak gereja. Ia
mengatakan bahwa pelacuran itu ibarat "selokan yang menyalurkan air
(61)
menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual pelanggan. Biasanya
pelayanan ini dalam bentuk menyewakan tubuhnya
(http://id.wikipedia.org)
Pada opini tersebut tentu predikat yang melekat pada PSK sangat
buruk. Namun bila dilihat dari sisi yang lain yaitu profesi psk merupakan
suatu upaya, usaha yang dilakukan oleh kaum perempuan yang merasa
dirinya sudah tidak ada alternative pekerjaan yang lain. Profesi demikian
terpaksa ditempuh dengan tujuan memenuhi kebutuhan hidup.
Profesi sebagai PSK tersebut dilakukan atas dasar mencari
penghasilan karena faktor untuk berjuang mempertahankan hidup
ditengah sulitnya kaum perempuan mendapatkan pekerjaan yang layak,
khususnya bagi mereka yang berpendidikan rendah yang berasal dari
daerah pedalaman, apalagi yang dia andalkan selain kecantikan dan
kemolekan tubuh yang indah yang dapat menggoda nafsu kaum laki-laki.
Anak perempuan juga mendapatkan tuntutan yang sama dengan saudara
laki-lakinya dan mereka kemudian harus menyesuaikan dengan tata
kehidupan global dengan berbagai implikasinya, akhirnya mereka
mencari pekerjaan yang paling mudah yakni menjual tubuhnya (Muniarti,
(62)
kemungkinan, wanita-wanita yang status ekonomi rendah yang menjadi
seorang pelacur, alasan lainnya bisa karena faktor ditinggal pasangannya,
korban pemerkosaan, broken home ataupun karena memang mencari
kepuasan dan menyukai kebebasan dan keseronokan. Namun faktor yang
kerap dijadikan alasan karena tidak adanya lapangan pekerjaan yang
sesuai dengan mereka.
4.2. Identitas Informan
Dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai informan adalah :
1. Dua orang Da’i. Pemilihan Da’i pada penelitian ini adalah Da’I yang
tinggal di Bangunsari dan tergabung dalam Ikatan Da’i Area Lokalisasi.
Da’i yang pertama adalah Drs. H. M. Khoiron, yang berusia 52
tahun dan bertempat tinggal di jl. Alun – Alun Bangunsari 7A, Surabaya.
Dalam Ikatan Da’i Area Lokalisasi ia menjabat sebagai wakil ketua. Da’i
yang bergerak di Bidang Religi, dengan melakukan pendekatan
menggunakan siraman rohani.
Selain Religi, di Bangunsari juga terdapat Da’i yang melakukan
pendekatan lain yakni dengan cara memberikan keterampilan. Da’i yang
(63)
2. Dua orang PSK. Pemilhan PSK dalam penelitian ini adalah PSK
Bangunsari yang telah berhenti dari pekerjaannya, namun tetap tinggal di
kawasan Bangunsari.
Pertama adalah Ibu Lis, berusia 34 tahun, pendidikan terakhirnya
adalah SD dan berasal dari Lampung. Ia adalah mantan PSK yang telah
berhenti dari pekerjaannya dan sekarang tinggal di Bangunsari gang III.
Kedua adalah Ibu Yanti, berusia 37 tahun, pendidikan terakhirnya
adalah SMP dan berasal dari Surabaya. Ia adalah mantan PSK yang telah
berhenti dari pekerjaannya dan sekarang tinggal di jl. Rembang
Bangunsari.
4.3. Penyajian Data
Penelitian ini berlangsung selama kurang lebih 3 bulan di
Bangunsari, Surabaya. Dalam proses tersebut, peneliti melakukan
wawancara mendalam sebagaimana yang peneliti jelaskan sebelumnya,
bahwa subjek penelitian yang dijadikan informan tidak dapat dibatasi
atau ditentukan karena analisis yang digunakan adalah kualitatif. Dalam
penelitian ini, peneliti berusaha menggambarkan bagaimana pola
komunikasi Da’i dengan PSK Bangunsari terkait dengan keberhasilan
(64)
Wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi sebanyak –
banyaknya dari para informan. Informasi yang diperoleh tersebut
kemudian akan disajikan secara deskriptif dan dianalisis secara kualitatif,
sehingga akan didapatkan gambaran, jawaban, serta kesimpulan dari
pokok permasalahan yang diangkat.
4.4. Analisis Data
4.4.1.1. Komunikasi secara terbuka yang dilakukan Da’i kepada PSK agar memahami
karakter lawan bicara.
1. Komunikasi Da’i dengan PSK
Komunikasi antara Da’i dengan PSK merupakan cara awal Da’i
dalam berinteraksi dengan PSK. Dari hasil wawancara mendalam yang
peneliti lakukan, informan mengakui adanya interaksi yang terjalin antara
Da’i dengan PSK. Berikut adalah kutipan wawancara peneliti dengan para
informan :
INFORMAN I (17 Mei 2012, Pukul 15.50 )
“Untuk berkomunikasi, ada dua cara. Yang pertama yang formal dengan cara pengajian, dari pengajian itu ada semacam interaksi. Interaksi dengan PSKnya yang kedua Kalau yang non formal, berinteraksi diluar acara formal.”
(65)
sesama tanpa membedakan status sosial.
INFORMAN II (30 Mei 2012, Pukul 18.18)
“Komunikasi yang dilakukan ya... berinteraksi dengan mereka dan melakukan pengajian.”
Dari kutipan wawancara dengan kedua da’i, yaitu abah koiron dan
bapak gatot, bahwa ada komunikasi yang berlangsung antara Da’i dengan
PSK bersifat terbuka.
2. Pemahaman Karakter yang dilakukan oleh Da’i kepada PSK.
Pemahaan karakter adalah faktor yang mempengaruhi
komunikasi. Dari hasil wawancara mendalam yang peneliti lakukan,
informan mengakui perlu adanya pemahama karakter yang dilakukan Da’i
dengan PSK. Berikut adalah kutipan wawancara dengan para informan :
INFORMAN I (17 Mei 2012, Pukul 15.50 )
“Yang paling penting kita memahami siapa yang kita ajak komunikasi itu siapa ? memahami lawan bicara kita. Jadi itu yang kita pahami, kalau kita paham siapa yang kita ajak bicara. Apa yang kita bicarakan itu bisa masuk, kan kita menyadari mereka itu orang yang sudah merasa berdosa. Nah pada saat kita sudah paham, kan enak kita nyampaiinnya.”
Dari pernyataan di atas, maka dapat diketahui jika pemahaman
(66)
INFORMAN II (30 Mei 2012, Pukul 18.18)
“Iya, kalau kenal karkternya kan nggak terlalu susah, apalagi kita tau darimana mereka berasal”.
Dari kedua kutipan wawancara yang dilakukan dengan para Da’i
dapat diketahui jika dengan mengetahui karakter serta mengetahui latar
belakang PSK. Mampu mempermudah Da’i dalam berkomunikasi dengan
PSK.
4.4.1.2. Pendekatan Efektif yang dilakukan oleh Da’i kepada PSK yang menjadikan PSK berhenti dari pekerjaannya.
1. Pendekatan yang dilakukan Da’i kepada PSK
Pendekatan sangat dibutuhkan Da’i dalam berkomunikasi dengan PSK. Dari hasil wawancara yang mendalam yang dilakukan oleh peneliti, informan menyatakan jika memang ada pendekatan yang dilakukan oleh Da’i kepada PSK. Berikut adalah kutipan wawancara peneliti dengan informan :
INFORMAN I (17 Mei 2012, Pukul 15.50 )
“Lah kalau pendekatan disini, saya disini totalitas. saya dan keluarga membaur gitu aja sehingga merasa tidak ada jarak antara kita PSK.”
Pendekatan yang dilakukan informan pertama adalah pendekatan
dengan cara membaur. Dengan cara membaur itulah yang menjadikan
(67)
angel – angel susah, angel – angel gampang. Dari pendekatan itu kan ga’ langsung, kamu lereno. Kan ada yang dari faktor ekonomi, ditinggal bojone ke luar negeri. Nah itu kita ajak tiap hari jum’at itu.”
Dari kedua kutipan wawancara diatas, maka dapat diketahui jika selain melakukan pendekatan dengan cara membaur. Da’i juga melakukan pendekatan dengan cara pendekatan persuasive yang mengajak PSK untuk mengaji.
2. Cara Efektif yang dilakukan Da’i dalam melakukan pendekatan
kepda PSK
Didalam pendekatan ada cara efektif yang dilakukan oleh Da’i
dalam berinteraksi dengan PSK. Dengan wawancara mendalam yang
dilakukan peneliti, informan menyatakan adanya cara efektif yang
digunakan Da’i dalam berinteraksi dengan PSK. Berikut adalah
kutipan wawancara yang dilakukan peeliti dengan ara informan :
INFORMAN I (17 Mei 2012, Pukul 15.50 )
“iya, jadi yang pertama mereka kita giring pembicaraan itu arahnya kita tujuh ke pertobatan.”
“Iya, jadi awalnya ke pertobatan, kedua menuju kearah berubah maindset mereka supaya berubah profesi.”
“Yang ketiga terakhir sisa umur bisa digunakan untuk hidup sejahterah, lahir batin.”
Informan satu melakukan pendekatan kepada PSK dengan cara
merubah maindset PSK untuk meninggalkan profesinya melalui
(68)
“tiap malem kan diajak sholat disini. kalau dari dalam hati itu yang kita cari. Sebulan sekali. Diajak ngaji, diajak sholat. Ditutur ceramah agama.”
Dari kedua wawancara diatas, maka diketahui jika cara efektif
yang dilakukan Da’i dalam melakukan pendekatan dengan PSK adalah
dengan dua cara. Yaitu, pertama dengan bahasa verbal yang
disampaikan Da’i kepada PSK dan yang kedua dengan cara sholat.
4.4.1.3. Keberhasilan Da’i yang menjadikan PSK berhenti dari pekerjaannya.
1. Keberhasilan Da’i untuk membuat PSK memiliki keputusan berhenti dari pekerjaanya.
Dakwah adalah salah satu faktor yang mendukung keberhasilan Da’i untuk membuat PSK berhenti dari pekerjaannya. Melalui interview mendalam yang dilakukan oleh peneliti, informan satu menyatakan jika ada dakwah yang digunakan untuk membuat PSK berhenti dari pekerjaannya. Berikut adalah wawancara peneliti dengan informan :
INFORMAN I (17 Mei 2012, Pukul 15.50 )
“Ya kan PSK, Mucikari. Mereka kan korban kehidupan, lah saya bersyukur selama ini sudah banyak para Da’i yang dakwah di masjid, langgar, pesantren. Tapi sebenarnya mereka yang lebih membutuhkan kita. Nah disini ada peluang dakwah yang tidak terlihat oleh orang lain, saya ibaratkan di sini mereka itu lahan yang kering. Selama ini Para Da’i secara umum menyirami sawah dan lahan yang sudah subur. Nah lahan kering itu ya ini yang berada di area lokalissai, itu yang membuat saya all out termotivasi terjun dakwah di area lokalisasi. Dan
(1)
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Bungin, Burhan, 2005. Metode Penelitian Kualitatif ( Pemahaman Filosofis dan Metodologis kea rah Penguasaan Model Aplikasi ). Jakarta : PT. Raja Grafindo
Devito, J.A, 2007. The Interpersonal Communication Book ( elevent edition). Pearson, International Edition – Pearson Edition, Inc.
Effendy, Onong Uchjana, 2000. Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung : Citra Aditya Bakti.
Kountur, Ronny, 2003. Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Jakarta : PPM.
Liliweri, Alo, 2002. Dasar – Dasar Komunikasi Antarbudaya. Bandung. : PT. Citra Aditya Bakti.
Moleong, Lexy J., 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Mulyana, Deddy, Rakhmat, Jallaludin, 2006. Komunikasi Antarbudaya. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy, 2001. Ilmu Komunikasi Suatu Pengatar. Bandung : PT. Remaja Rodaskarya
Rakhmat, Jallaludin, 2003. Psikologi Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Supratiknya, 1995. Komunikasi Antarpribadi. Yogyakarta : Kanisius.
(2)
http://www.beritajatim.com/detailnews.php/6/Politik_&_Pemerintahan/2012-02-04/125926
(http://id.wikipedia.org)
http://dioncecepsupriadi.blogspot.com/2006/06/kita-adalah-dai.html
(3)
70
(4)
Lampiran 2. Interview Guide
Pedoman wawancara dengan Da’i
I. Informasi Diri :
1. Nama :
2. Usia :
3. Alamat :
4. Jabatan :
II. Depth Interview kepada Da’i :
1. Sudah berapa lama anda menjadi Da’i ?
2. Jabatan anda dalam Ikatan Da’I Area Lokalisasi ?
3. Bagaimana cara anda sebagai Da’i dalam berkomunikasi dengan PSK ?
4.Bagaimana cara anda sebagai Da’i melakukan pendekatan kepada para PSK Bangunsari ?
5. Dalam melakukan penyuluhan ataupun proses pendekatan dengan para PSK, kendala apakah yang dirasa paling sulit ?
(5)
72
6. Dengan pendekatan – pendekatan yang dilakukan. Apakah cara yang paling efektif atau mudah untuk diterima oleh PSK ?
7. Selain dengan penyuluhan, adakah pendekatan – pendekatan khusus lainnya
yang dilakukan Da’I kepada PSK ?
8. Apa cara yang digunakan oleh para Da’i sampai pada akhirnya penyuluhan yang dilakukan berhasil ?
(6)
Pedoman wawancara dengan PSK
I. Informasi Diri :
1. Nama :
2. Usia :
3. Alamat :
4. Pendidikan akhir :
II. Depth Interview kepada PSK :
1. Mulai Kapan Ibu bekerja di Bangunsari ?
2. Apakah Keluarga anda mengetahui pekerjaan anda ?
3. Selama anda bekerja di Bangunsari, bagaimana komunikasi yang tercipta antara anda dengan para Da’i ?
4. Selain Penyuluhan, adakah cara lain yang diberikan para da’i kepada anda dan teman – teman anda yang lain ?
5. Apakah yang membuat anda mengambil keputusan untuk berhenti dari pekerjaan anda ?