POLA KOMUNIKASI ORANG TUA DENGAN ANAK PEROKOK AKTIF DI SURABAYA (Studi Deskriptif Kualitatif pada Pola Komunikasi Orang Tua dengan Anak Perokok Aktif di Surabaya).
POLA KOMUNIKASI ORANGTUA DENGAN ANAK
PEROKOK AKTIF DI SURABAYA
(Studi Deskriptif Kualitatif Terhadap Pola Komunikasi Orangtua dengan Anak Perokok Aktif di Surabaya)
SKRIPSI
Diajukan sebagai memenuhi persyaratan untuk memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP UPN : “Veteran” Jawa Timur
Oleh :
SHERLY CITRA LOGARITMA
0643010329
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
(2)
POLA KOMUNIKASI ORANGTUA DENGAN ANAK
PEROKOK AKTIF DI SURABAYA
(Studi Deskriptif Kualitatif Terhadap Pola Komunikasi Orangtua dengan Anak Perokok Aktif di Surabaya)
Disusun Oleh :
SHERLY CITRA LOGARITMA 0643010329
Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi
Menyetujui, Pembimbing Utama
Drs. Saifuddin Zuhri, Msi NPT. 3 7006 94 00351
Mengetahui, DEKAN
Dra.Hj. Suparwati, Msi NIP. 19955071811983022001
(3)
POLA KOMUNIKASI ORANG TUA DENGAN ANAK
PEROKOK AKTIF DI SURABAYA
(Studi Deskriptif Kualitatif Terhadap Pola Komunikasi Orangtua dengan Anak Perokok Aktif di Surabaya)
DISUSUN OLEH :
SHERLY CITRA LOGARITMA
0643010329
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 02 September 2010
Pembimbing Utama Tim Penguji :
Ketua 1. Drs. Saifuddin Zuhri, Msi
NPT. 3 7006 94 00351 Juwito, S.sos, Msi NPT. 3 6704 95 00361
Sekretaris
2.
Drs. Saifuddin Zuhri, Msi NPT. 3 7006 94 00351 Anggota
3.
Ir. H. Didiek Tranggono, Msi NPT. 19581225 19900 1001 Mengetahui,
DEKAN
(4)
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Pola
Komunikasi Orangtua dengan Anak Perokok Aktif di Kalangan Remaja di
Surabaya.”
Dalam penyusunan proposal skripsi ini penulis tidak hanya berupaya sendiri,
tetapi penulis juga memperoleh bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan
segala hormat dan kerendahan hati disampaikan terima kasih kepada :
1. Allah SWT, karena karunia kesehatan baik secara fisik dan mental yang
diberikanNya.
2. Papa dan mama penyusun yang memberikan dorongan semangat baik secara
moriil dan materiil.
3. Prof. Dr. Ir. Teguh Soedarto selaku rektor Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Surabaya.
4. Dra. Ec. Hj. Suparwati, Msi selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik UPN “Veteran” Surabaya.
5. Bapak Juwito, S.sos, Msi selaku Ketua program Studi Ilmu Komunikasi.
6. Bapak Drs. Syaifuddin Zuhri, Msi, selaku pembimbing yang memberikan
bimbingan dengan penuh kesabaran, motivasi dan memberikan segala
kemudahan dalam penyusunan skripsi ini.
7. Bapak Drs. Kusnarto, MSi, selaku dosen wali yang bersedia direpoti untuk
(5)
8. Terima kasih buat sahabatku Vigie, Dian, Rahma, Ririn, Woro, Anita, Winda
yang membantu setiap penyusun ada kesulitan dalam menyusun skripsi.
9. Terima kasih juga untuk Gatra, Syifa (komeng), Febi (basyir), Wahyudi
(doyok), Eka (chiko), Kiwil, Fandy, Mey, semua teman KKN gel.I 2010
kelompok 20 Desa Sumber Agung Probolinggo yang selalu mendukung saat
penyusun mengerjakan skrispsi ini dan lain– lainnya yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu.
10. Terakhir, untuk Bagus yang selalu setia menemani dan mendukung segala
urusan demi menyelesaikan skripsi ini.
11. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu- satu oleh penulis.
Peneliti menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan dan banyak sekali kekurangan dalam penyusunan. Maka, peneliti
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kebaikan
penyusunan skripsi. Akhir kata semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi
semua pembaca, khususnya teman – teman jurusan Ilmu Komunikasi.
Surabaya, 23 Agustus 2010
(6)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...i
HALAMAN PERSETUHUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI... ii
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI ...iii
KATA PENGANTAR...iv
DAFTAR ISI...vi
DAFTAR LAMPIRAN ...ix
ABSTRAK ... x
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang Masalah... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 11
1.3 Tujuan Masalah... 11
1.4 Kegunaan Penelitian ... 11
BAB II LANDASAN TEORI ... 12
2.1 Komunikasi Interpersonal ... 12
2.2 Pengertian Pola Komunikasi ... 13
2.3 Pengertian Orang Tua ... 14
2.4 Pengertian Keluarga ... 14
2.4.1 Fungsi Keluarga ... 15
2.4.2 Kualitas Komunikasi Interpersonal Dalam Keluarga ... 17
(7)
2.4.4 Pola Komunikasi Dalam Keluarga... 23
2.5 Pengertian Remaja ... 26
2.5.1 Perilaku Remaja ... 29
2.6 Pengertian Rokok ... 30
2.6.1 Perilaku Merokok... 31
2.7 Kerangka Berpikir... 36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 38
3.1 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel... 38
3.1.1 Pola Komunikasi Keluarga ... 42
3.2 Subyek dan Informan Penelitian ... 44
3.2.1 Subyek Penelitian... 44
3.2.2 Informan Penelitian... 44
3.3 Pembatasan Masalah ... 47
3.4 Lokasi Penenlitian... 48
3.5 Teknik Penarikan Sampel ... 48
3.6 Teknik Pengumpulan Data... 49
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 50
4.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian dan Penyajian Data ... 50
4.1.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian ... 50
4.1.2 Penyajian Data ... 51
4.1.3 Identitas Responden ... 51
(8)
A. Pola Komunikasi Authoritarian (otoriter) ... 53
B. Pola Komunikasi Permissive (membebaskan) ... 57
C. Pola Komunikasi Authoritative (demokratis)... 61
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 67
5.1 Kesimpulan ... 67
5.2 Saran... 69
DAFTAR PUSTAKA ... 71
(9)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Interview Guide (Bagi Anak Remaja) ... 73
Lampiran 2 Interview Guide (Bagi Anak Orangtua) ... 74
Lampiran 3 Authoritarian (otoriter) ... 75
Lampiran 4 Permissive (membebaskan) ... 79
(10)
ABSTRAKSI
SHERLY CITRA LOGARITMA. POLA KOMUNIKASI ORANG TUA DENGAN ANAK PEROKOK AKTIF DI SURABAYA (Studi Deskriptif Kualitatif pada Pola Komunikasi Orang Tua dengan Anak Perokok Aktif di Surabaya)
Komunikasi antara orangtua dengan anak harus dibangun secara harmonis untuk menanamkan pendidikan yang baik pada anak. Buruknya kualitas komunikasi orangtua dengan anak berdampak buruk bagi keutuhan dan keharmonisan keluarga. Seperti contoh, faktor penyebab anak kecanduan rokok sehingga mengakibatkan menjadi perokok aktif yang merupakan akibat dari buruknya komunikasi interpersonal yang terjalin dalam keluarga.
Perkembangan emosi anak dipengaruhi oleh perubahan pola interaksi dan pola komunikasi dalam keluarga. Adapun macam- macam pola komunikasi orangtua pada anak, yaitu: Authoritarian (otoriter) pola komunikasi ini sikap orangtua untuk menerima sangat rendah, namun kontrolnya sangat dominant sehingga sering terjadi hukuman secara fisik, cenderung emosional dan bersikap menolak. Permissive (membebaskan) sikap pola komunikasi orangtua untuk menerima tinggi namun kontrolnya rendah, memberikan kebebasan pada anak untuk menyatakan keinginannya. Authoritative (demokratis) sikap orangtua untuk menerima dan kontrolnya tinggi. orangtua memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan buruk. Sedangkan anak bersikap bersahabat, memiliki rasa percaya diri, mampu mengendalikan diri (self control) bersikap sopan, memiliki tujuan atau arah hidup yang jelas dan berorientasi terhadap prestasi.
Sikap penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan jenis data kualitatif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang sistematis melukiskan fakta ataupun karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat. Teknik yang akan digunakan untuk mengumpulkan sumber data utama adalah wawancara mendalam (in- dept interview) yang menghasilkan data berupa kata- kata dan tindakan.
Berdasarkan analisa data dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat dikemukakan bahwa terdapat 3 jenis pola komunikasi pada orangtua dengan anak perokok aktif, yaitu Authoritarian, Permissive, dan Authoritative. Namun secara garis besar hasil penelitian ini adalah menunjukkan bahwa dua orangtua dengan anak perokok menganut pola komuniksi authoritarian, sedangkan satu keluarga lainnya menganut pola komunikasi permissive dan satu keluarga sisanya menganut pola komunikasi authoritative.
Pola komunikasi yang harus digunakan orangtua pada anak perokok di kalangan remaja adalah pola komunikasi authoritative atau pola komunikasi demokratis. Sehingga komunikasi interpersonal antara orangtua dengan anak perokok dapat terjalin dengan baik sebagai komunikator maupun sebagai komunikan. Orangtua harusnya mampu memelihara hubungan yang harmonis antar anggota keluarga. Hubungan yang harmonis penuh pengertian, dan kasih
(11)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Komunikasi adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia, sejak pertama menusia itu dilahirkan manusia sudah melakukan proses
komunikasi. Manusia adalah makhluk sosial, artinya makhluk itu hidup dengan
manusia lainnya yang satu sama lain saling membutuhkan, untuk melangsungkan
kehidupannya manusia berhubungan dengan manusia lainnya. Hubungan antar
manusia akan tercipta melalui komunikasi, baik komunikasi verbal (bahasa)
maupun nonverbal (simbol, gambar, atau media komunikasi lainnya).
Kata komunikasi atau communication dalam bahasa inggris berasal dari kata
communis yang berarti “sama”, comunico, communication, atau communicare yang berarti “membuat sama” (to make common).
Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson mengemukakan bahwa komunikasi
mempunyai dua fungsi umum. Pertama, untuk kelangsungan hidup diri sendiri
yang meliputi: keselamatan fisik, meningkatkan kesadaran pribadi. Kedua, untuk
kelangsungan hidup masyarakat, tepatnya untuk memperbaiki hubungan sosial
dan mengembangkan keberadaan suatu masyarakat. (Mulyana, 2002:41-42)
Dalam lingkungan keluarga, komunikasi antar anggota keluarga juga
merupakan suatu hal yang sangat penting, khususnya antara orang tua dengan
(12)
keluarga akan berdampak buruk bagi keutuhan dan keharmonisan dalam keluarga
itu sendiri. Seperti contoh bahwa faktor penyebab penyimpangan perilaku remaja
adalah akibat dari buruknya komunikasi interpersonal dalam keluarga, sehingga
remaja tersebut jadi salah pergaulan.
Kegiatan komunikasi yang dilakukan dapat terjadi dalam berbagai macam
situasi atau tingkatan, yaitu intrapribadi, antarpribadi, kelompok dan massa.
Sebagian besar kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh manusia berlangsung
dalam situasi atau tingkatan komunikasi antarpribadi. Tingkatan komunikasi
antarpribadi dapat ditemui dalam konteks kehidupan dua orang, keluarga,
kelompok maupun organisasi. Komunikasi antarpribadi mempunyai banyak
manfaat. Melalui komunikasi antarpribadi seseorang dapat menjalin hubungan
yang lebih bermakna atau menjalin persahabatan dan mendapatkan jodohnya.
Melalui komunikasi antarpribadi seorang individu dapat membantu
menyeleseikan persoalan yang sedang dialami oleh individu lain. Dan dengan
komunikasi antarpribadi seseorang dapat mengubah nilai- nilai dan sikap hidup
orang lain (Suyanto, Cahyana 1996:195).
Dalam komunikasi antarpribadi, komunikator relatif cukup mengenal
komunikan, dan sebaliknya. Pesan dikirim dan diterima secara simultan dan
spontan, relatif kurang terstruktur, demikian pula halnya dengan umpan balik
yang dapat diterima dengan segera. Dalam tatanan antarpribadi komunikasi
berlangsung secara sirkuler, peran komunikator dan komunikan terus
dipertukarkan karenanya dikatakan bahwa kedudukan komunikator dan
(13)
tertentu dapat juga terjadi monolog, hanya satu pihak yang mendominasi
percakapan. Efek komunikasi antarpribadi paling kuat di antara tataran
komunikasi lainnya. Dalam komunikasi antarpribadi, komunikator dapat
mempengaruhi langsung tingkah laku (efek konatif) dari komunikannya,
memanfaatkan pesan verbal dan non verbal serta merubah atau menyesuaikan
pesannya apabila didapat umpan balik negatif (Vardiansyah, 2004:30-31).
Bagaimana komunikasi dapat terjadi? “Komunikasi dimungkinkan oleh
adanya masyarakat, sedangkan masyarakat memiliki tumpuan pada komunikasi,”
demikian ungkapan Everett Kleinjans yang dikutip oleh Bapak Harmoko, Mantan
Menteri Penerangan R.I., dalam bukunya Komunikasi Sambung Rasa. Lembaga
yang terkecil dalam masyarakat adalah keluarga. Maka dengan prinsip yang sama,
kita dapat mengatakan bahwa keluarga memiliki tumpuannya pada komunikasi.
Namun betapa sering kita dapati berbagai problem komunikasi dalam keluarga
yang dapat menghalangi kebahagiaan keluarga tersebut (Kuntaraf, Kuntaraf,
1999:10).
Kedudukan dan fungsi suatu keluarga dalam kehidupan manusia bersifat
primer dan fundamental. Keluarga pada hakekatnya merupakan wadah
pembentukan masing- masing anggotanya, terutama anak- anak yang masih
berada dalam bimbingan tanggung jawab orang tuanya. Perkembangan anak pada
umumnya meliputi keadaan fisik, emosional sosial dan intelektual. Demikian pula
jika keluarga tidak dapat menciptakan suasana pendidikan, maka hal ini akan
(14)
Komunikasi dalam keluarga dapat berlangsung secara timbal balik dan silih
berganti, bisa dari orang tua ke anak atau dari anak ke orang tua ataupun anak ke
anak. Dalam komunikasi keluarga, tanggung jawab orang tua adalah mendidik
anak, maka komunikasi yang terjadi dalam keluarga bernilai pendidikan. Ada
sejumlah norma yang diwariskan orang tua pada anak, misalnya norma agama,
norma akhlak, norma sosial, norma etika dan estetika, dan juga norma moral
(Bahri, 2004:37).
Pola komunikasi antara orang tua dan anak masing- masing sulit
dipertemukan, misal oleh karena itu faktor waktu dan metode yang saling
bersebrangan (Gunarsa, 2001:36).
Komunikasi interpersonal dalam keluarga yang terjalin antara orang tua dan
anak merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan perkembangan
individu komunikasi yang diharapkan adalah komunikasi yang efektif, karena
menurut Effendy (2002:8) komunikasi yang efektif dapat menimbulkan
pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik dan
tindakan. Demikian juga dalam lingkungan keluarga diharapkan terbina
komunikasi yang efektif antara orang tua dan anaknya, sehingga akan terjadi
hubungan yang harmonis.
Terdapat dua faktor yang membentuk kepribadian anak, yaitu faktor internal
dan faktor eksternal. Internal berasal dari lingkungan keluarga sendiri, sedangkan
faktor eksternal berasal dari lingkungan luar rumah, yaitu masyarakat. Koeherensi
diantara keduanya tidak dapat dipisahkan secara absolut, karena bersifat alami
(15)
keluarganya dan terbebas sama sekali dari pengaruh lingkungan sekitarnya
(Hurlock, 1996:22).
Remaja adalah suatu kurun usia yang serba labil. Dan untuk kematangan
berpikir serta mempertimbangkan sesuatu masih campur aduk antara emosi
(perasaan) dan rasio (logika). Oleh karena itu, sesuatu yang sifatnya coba- coba
atau eksperimen sering muncul dan sebagian remaja memiliki rasa ingin tahu
terhadap hal- hal baru tanpa melihat apakah itu bersifat positif atau negatif. Jiwa
remaja adalah jiwa yang penuh gejolak (strum and drug). Lingkungan sosial
remaja yang ditandai dengan dengan perubahan sosial yang cepat (khususnya di
kota- kota besar dan daerah- daerah yang sudah terjangkau sarana- prasarana
komunikasi dan perhubungan) yang mengakibatkan kesimpang- siuran norma.
Kondisi internal dan eksternal yang sama- sama bergejolak inilah yang
menyebabkan masa remaja memang lebih rawan dari pada tahap- tahap lain dalam
perkembangan jiwa manusia (Sarwono, 2006:228).
Merokok merupakan salah satu kebiasaan yang dijumpai dalam masyarakat
dan merupakan masalah kesehatan yang serius. Sejarah panjang kebiasaan
merokok ternyata terus berlanjut, dewasa ini di seluruh dunia diperkirakan
terdapat 1,26 miliar perokok. Data WHO menyebutkan, di negara berkembang
jumlah perokoknya 800 juta orang, hampir tiga kali lipat negara maju. Setiap
tahun ada 4 juta orang yang meninggal akibat kebiasaan merokok dan tidak
kurang dari 700 juta anak-anak terpapar asap rokok dan menjadi perokok pasif.
(16)
kematian akibat merokok dan sekitar 770 juta anak yang menjadi perokok pasif
dalam setahunnya (Aditama, 2003).
Rokok dianggap cukup diminati banyak kalangan remaja. Hal ini dibuktikan
dalam berbagai iklan rokok baik dari media elektronik maupun media massa
lainnya yang selalu menginisialkan tokoh remaja sehingga membuat citra (brand
image) bahwa rokok diprioritaskan untuk kalangan anak muda. Adapun promo lain yang sering dilakukan yaitu mensponsori event- event musik ataupun olahraga
yang kerap diminati anak muda sehingga lebih mengenal dan mengerti terhadap
rokok.
Masa usia sekolah menengah adalah bertepatan dengan masa remaja. Masa
remaja dalam usia menengah dibagi dalam tiga masa, yaitu masa pra remaja
(remaja awal), masa remaja (remaja madya), dan remaja akhir. Menurut Konopka
dalam Yusuf (2001:184) usia pada remmaja awal adalah 12- 15 tahun, remaja
madya 15- 18 tahun, dan remaja akhir 19- 22 tahun.
Mereka merokok hanya untuk gaya- gayaan dan supaya terlihat mengikuti
tren serta terlihat glamour, selanjutnya tanpa disadari ketergantungan mulai
merasuki tubuh. Mereka yang merokok karena sudah merupakan kebutuhan,
bahkan lagi ingin terlihat trendy dan gaya tapi semata- mata karena sudah
kecanduan merokok.
Kebiasaan merokok dan generasi muda telah banyak dibicarakan oleh para
ahli dari berbagai dunia. Harapan para remaja agar dapat dianggap dewasa oleh
lingkungan sekitarnya melalui merokok perlu mendapat perhatian yang serius.
(17)
berkembang sesuai dengan harapan masyarakat, remaja perlu untuk memiliki nilai
yang tepat bagaimana mereka seharusnya berperilaku (Sarafino 1994). Bertitik
tolak dari teori yang dikemukakan Lawrence Green (1980) perilaku merokok pada
remaja khususnya siswa SMA dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan tentang
merokok, sikap tentang merokok, peraturan sekolah, pengaruh teman dan
pengaruh iklan.
Sebagai institusi pendidikan tepatnya tempat proses belajar mengajar,
lingkungan sekolah tampaknya belum sepenuhnya bebas dari asap rokok. Masih
ada guru dan karyawan lain yang merokok di sekolah.
Pengetahuan dan sikap tentang merokok merupakan faktor predisposisi yang
menjadi masalah utama dalam membentuk perilaku merokok pada pelajar SMA.
Peraturan sekolah merupakan faktor pendukung, sekolah memiliki aturan ketat
yang melarang siswanya merokok di lingkungan sekolah ataupun diluar
lingkungan sekolah. Pada observasi awal yang peneliti lakukan pada beberapa
SMA setiap sekolah telah menjalankan aturan ini dan para guru sering melakukan
razia pada siswa yang merokok.
Dari fakta tersebut dapat menjadi gambaran bahwa tempat kegiatan belajar
mengajar patut dijadikan kawasan tanpa rokok, dan untuk mencegah kebiasaan
merokok dikalangan pelajar, guru dan karyawan dinilai sangat penting. Tanpa
sinergi semuanya serta untuk menciptakan generasi penerus yang sehat dan
berkualitas akan sia-sia (www.kafegaul.com).
(18)
merupakan hasil dari proses pengaruh buruk sosial, di mana orang yang bukan
perokok ketika berhubungan dengan pencoba atau perokok aktif akhirnya dia akan
mencoba untuk merokok dengan sendirinya (www.digilib.unnes.ac.id).
Perilaku merokok pada seseorang karena memiliki saudara atau
teman-teman yang merokok, lebih sering bergaul dengan teman-teman dan mendapat tekanan
dari teman yang merokok (Sarafino, 1990 : 220).
Berbagai fakta mengungkapkan bahwa semakin banyak remaja merokok
maka semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga dan
demikian sebaliknya. Dari fakta tersebut ada dua kemungkinan yang terjadi,
pertama remaja tadi terpengaruh oleh teman-temannya atau bahkan teman-teman
remaja tersebut dipengaruhi oleh diri remaja tersebut yang akhirnya mereka
semua menjadi perokok. Di antara remaja perokok terdapat 87% mempunyai
sekurang-kurangnya satu atau lebih sahabat yang perokok (Husin dalam www.
E-Psikologi. Com).
Perkembangan emosi anak dipengaruhi oleh perubahan pola interaksi dan
pola komunikasi dalam keluarga. Pola komunikasi orang tua terhadap anak sangat
bervariasi. Menurut Yusuf (2001: 51) adapun macam- macam pola komunikasi
orangtua pada anak, yaitu:
1. Authoritarian (cenderung bersikap bermusuhan)
Dalam pola komunikasi ini sikap orangtua untuk menerima sangat rendah,
namun kontrolnya sangat dominan sehingga sering terjadi hukuman secara
(19)
Sedangkan anak menjadi mudah tersinggung, penakut dan merasa tidak
bahagia, mudah terpengaruh dan tidak mempunyai arah masa depan yang jelas
serta tidak bersahabat.
2. Permissive (cenderung berperilaku bebas)
Dalam hal ini sikap orangtua untuk menerima tinggi namun kontrolnya
rendah, memberikan kebebasan pada anak untuk menyatakan keinginannya.
Sedangkan anak bersikap impulsive serta agresif, kurang memiliki rasa
percaya diri, suka mendominasi, tidak jelas arah hidupnya serta prestasinya
rendah.
3. Authoritative (cenderung terhindar dari kegelisahan dan kekacauan)
Dalam hal ini sikap orangtua untuk menerima dan kontrolnya tinggi.
Bersikap responsive terhadap kebutuhan anak, mendorong anak untuk
menyatakan pendapat atau pertanyaan, orangtua memberikan penjelasan
tentang dampak perbuatan yang baik dan buruk.
Sedangkan anak bersikap bersahabat, memiliki rasa percaya diri, mampu
mengendalikan diri (self control) bersikap sopan, memiliki rasa ingin tahu
yang tinggi dan memiliki tujuan atau arah hidup yang jelas dan berorientasi
terhadap prestasi.
Faktor ekonomi keluarga menyebabkan orang tua sibuk untuk mencari
nafkah demi memenuhi tuntutan kebutuhan dalam rumah tangga, sehingga orang
tua terhadap anak berkurang (Yusuf, 2001: 45). Sikap orang tua yang cenderung
(20)
masyarakat sehingga tidak ada orang tua yang bertindak melebihi batas atas diri
anaknya.
Tidak semua orang tua dapat memahami pilihan anak remajanya. Bagi
orangtua yang dapat memahami keinginan kemauan anaknya yang telah
menginjak remaja, maka biasanya orang tua sejak awal telah membekali
pendidikan, bimbingan dan arah yang baik agar anaknya berhati- hati dalam
pergaulan dengan kelompok teman sebayanya. Akan tetapi ternyata banyak
orangtua yang tidak memahami. Ketidakpahaman ini akan menyebabkan
kesalahperlakuan orangtua terhadap anaknya, misalnya terlalu protektif
(melindungi) dengan cara melarang bergaul dengan lawan jenisnya. Hal ini akan
berdampak buruk bagi anak, misalnya remaja mencari kesempatan untuk bergaul
atau berpacaran secara sembunyi- sembunyi tanpa diketahui oleh orang tuanya.
(Dariyo, 2002: 96)
Remaja dalam kelompok teman sebaya merupakan salah satu bentuk
kompensasi peredam konflik yang banyak dilakukan oleh remaja dalam
menghadapi masalah dengan orang tua maupun masalah- masalah kehidupan.
Kehidupan sosial dengan teman sebaya, pengaruh- pengaruh mereka bertambah
pula. Bila terdapat perbedaan antara standard moral dirumah dan standard
kelompok teman sebaya, anak- anak menerima standard sebaya dan menolak
standard keluarga. (Hurlock,1996: 213)
(21)
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka
perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pola komunikasi
orang tua dengan anak perokok aktif di Surabaya.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola komunikasi antara orang
tua dengan anak perokok aktif di Surabaya.
1.4 Kegunaan Penelitian Kegunaan Teoritis :
- Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan mampu memberikan
kontribusi berkaitan dengan pola komunikasi interpersonal dalam keluarga.
- Sebagai bahan bacaan dan wawasan bagi mahasiswa dalam hal pemahaman
perkembangan dan upaya pencegahan merokok.
- Bagi orangtua dapat memberikan gambaran pengaruh internal keluarga
terhadap perilaku merokok remaja sehingga orangtua dapat memberikan
upaya penanggulangan dan lebih memperhatikan perilaku khususnya
merokok.
(22)
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Komunikasi Interpersonal
Menurut DeVito (2007:5), definisi komunikasi interpersonal atau
komunikasi antarpribadi adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan antara
dua orang atau diantara sekelompok kecil orang- orang dengan beberapa efek dan
beberapa umpan balik seketika. Selain itu, komunikasi antar pribadi juga
didefinisikan sebagai yang terjadi diantara dua orang yang mempunyai hubungan
yang terlihat jelas diantara mereka, misalnya percakapan seorang ayah dengan
anak, sepasang suami istri, guru dengan murid dan lain sebagainya. Dalam
definisi ini setiap komponen harus dipandang dan dijelaskan sebagai bahan- bahan
yang terintegrasi dalam tindakan komunikasi antarpribadi.
Dalam komunikasi antarpribadi dapat dilihat adanya umpan balik seketika
karena proses komunikasinya dilakukan dengan bertatap muka, sehingga dalam
komunikasi antarpribadi ini juga harus diperhatikan mengenai umpan balik yang
terjadi, seperti yang telah dijelaskan oleh teori atribusi bahwa pihak yang memulai
komunikasi antarpribadi harus mempunyai kemampuan untuk memprediksi
perilaku atau umpan balik yang akan terjadi, karena kualitas dari komunikasi
dapat menimbulkan umpan balik yang positif atau juga dapat disebut dalam istilah
(23)
2.2 Pengertian Pola Komunikasi
Menurut Djamarah (2004:1), pola komunikasi diartikan sebagai bentuk atau
pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam proses pengiriman dan
penerimaan pesan dengan cara yang tepat, sehingga pesan yang dimaksud bisa
dipahami.
Tubbs dan Moss mengatakan bahwa pola komunikasi atau hubungan-
hubungan itu dapat dicirikan oleh: komplementaris atau simetri. Contohnya
perilaku dominan dari satu partisipan mendatangkan perilaku tunduk dan lainnya.
Dalam simetri, tingkatan sejauh mana orang berinteraksi atas dasar kesamaan.
Dominasi bertemu dengan dominasi atau kepatuhan dengan kepatuhan (Tubbs dan
Moss, 2006:26). Disisi kita mulai melihat bagaimana proses interaksi menciptakan
struktur sistem. Bagaimana orang merespon satu sama lain menentukan jenis
hubungan yang mereka miliki.
Dari pengertian diatas maka suatu pola komunikasi adalah bentuk pola
hubungan antara dua orang atau lebih dalam proses pengiriman dan penerimaan
pesan yang mengaikan dua komponen, yaitu gambaran atau rencana yang meliputi
langkah- langkah pada suatu aktivitas, dengan komponen- komponen yang
merupakan bagian penting atas terjadinya hubungan komunikasi antar individu
(24)
2.3 Pengertian Orang Tua
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia orang tua adalah Ayah dan Ibu kandung. Sedangkan menurut Wright (1991:12), orangtua dibagi menjadi tiga
macam, yaitu:
a. Orang tua Kandung
Orang tua kandung adalah Ayah dan Ibu yang mempunyai hubungan
darah secara biologis.
b. Orang tua Angkat
Pria dan wanita yang bukan kandung tapi dianggap sebagai orang tua
sendiri berdasarkan ketentuan hukum atau adat yang berlaku.
c. Orang tua Asuh
Orang yang membiayai hidup seseorang yang bukan anak kandungnya
atas dasar kemanusiaan.
Dari pengertian diatas maka orang tua adalah pria dan wanita yang
mempunyai hubungan ikatan, baik itu secara biologis maupun sosial dan mampu
mendidik, merawat, membiayai serta membimbing hidup orang lain yang
dianggap anak secara berkesinambungan.
2.4 Pengertian Keluarga
Menurut Sigelman dan Shaffer (dalam Yusuf, 2001: 36), bahwa keluarga
merupakan unit terkecil yang bersifat universal atas suatu sistem sosial yang
terbentuk dalam sistem sosial yang lebih besar. Ada dua macam keluarga, yaitu
(25)
adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak- anak yang belum dewasa
atau belum kawin. Sedangkan keluarga luas adalah satuan keluarga yang meliputi
lebih dari satu generasi dan satu lingkungan keluarga yang lebih luas dari pada
ayah, ibu, dan anak- anak.
2.4.1 Fungsi Keluarga
Yusuf (2001: 39) menyebutkan beberapa fungsi keluarga dari sudut pandang
sosiologis, fungsi keluarga dapat di klasifikasikan ke dalam fungsi- fungsi sebagai
berikut :
1. Fungsi Biologis
Keluarga dipandang sebagai pranata sosial yang memberikan legalitas,
kesempatan dan kemudahan bagi para anggotanya untuk memenuhi kebutuhan
dasar biologisnya. Kebutuhan itu meliputi: (a) pangan, sangan, papan (b)
hubungan seksual suami istri dan (c) reproduksi atau pengembangan keturunan.
2. Fungsi Ekonomis
Keluarga merupakan unit ekonomi dasar dalam sebagian besar masyarakat
primitif. Para anggota keluarga bekerjasama sebagai tim untuk menghasilkan
sesuatu.
3. Fungsi Pendidikan (edukatif)
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan dan utama bagi anak. Keluarga
berfungsi sebagai “transmitter budaya atau mediator” sosial budaya bagi anak.
(26)
pembimbingan atau pembahasan nilai- nilai agama, budaya, dan ketrampilan
tertentu yang bermanfaat bagi anak.
4. Fungsi Sosialisasi
Lingkungan keluarga berfungsi merupakan faktor penentu (determinant
factor) yang mempengaruhi kualitas generasi yang akan datang. Keluarga berfungsi sebagai miniatur masyarakat yang mensosialisasikan nilai- nilai atau
peran hidup dalam masyarakat yang harus dilaksanakan oleh anggotanya.
Keluarga merupakan lembaga yang mempengaruhi perkembangan kemampuan
anak untuk mentaati peraturan (disiplin), mau bekerjasama dengan orang lain,
bersikap toleransi, menghargai pendapat orang lain, mau bertanggung jawab dan
bersikap matang dalam kehidupan yang heterogen (etnis, ras, agama dan budaya).
5. Fungsi Perlindungan (protektif)
Keluarga berfungsi sebagai pelindung bagi para anggota keluarganya dari
gangguan ancaman atau kondisi yang menimbulkan ketidaknyamanan (fisik
psikologis) bagi para anggotanya.
6. Fungsi Rekreatif
Keluarga harus diciptakan sebagai lingkungan yang memberikan
kenyamanan, keceriaan, kehangatan dan penuh semangat bagi para anggotanya.
Maka dari itu, keluarga harus ditata sedemikian rupa seperti menyangkut aspek
dekorasi interior rumah, komunikasi yang tidak kaku, makan bersama,
(27)
7. Fungsi Agama (religius)
Keluarga berfungsi sebagai penanaman nilai- nilai agama kepada anak agar
mereka memiliki pedoman hidup yang benar. Keluarga berkewajiban mengajar,
membimbing atau membiasakan anggotanya untuk mempelajari dan
mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. Para anggota keluarga yang memiliki
keyakinan yang kuat terhadap Tuhan akan memiliki mental yang sehat, yakni
mereka akan terhindar dari beban psikologis dan mampu menyesuaikan dirinya
secara harmonis dengan orang lain, serta berpartisipasi aktif dalam memberikan
kontribusi secara konstruktif terhadap kemajuan serta kesejahteraan masyarakat.
2.4.2 Kualitas Komunikasi Interpersonal Dalam Keluarga
Dalam komunikasi dikenal dengan istilah Interpersonal Communication
atau komunikasi interpersonal adalah suatu proses pengiriman dan penerimaan
pesan antara dua orang atau sekelompok kecil dengan beberapa efek dan umpan
balik seketika. Komunikasi ini dianggap efektif dalam hal upaya mengubah sikap,
pendapat atau perilaku seseorang karena sifatnya dialogis, berlangsung secara
tatap muka (face to face) dan menunjukkan suatu interaksi sehingga terjadi kontak
pribadi atau personal contact (Effendy, 2002:8). Dengan demikian mereka yang
terlibat dalam komunikasi ini masing- masing menjadi pembicara dan pendengar.
Nampaknya adanya upaya untuk terjadinya pengertian bersama dan empati.
Terjadi rasa saling menghormati berdasarkan anggapan bahwa masing- masing
(28)
Dalam proses komunikasi interpersonal, ketika pesan disampaikan, umpan
balikpun terjadi saat itu juga (immediate feedback) sehingga komunikator tahu
bagaimana reaksi komunikan terhadap pesan yang disampaikannya (Effendy,
2003:15).
Umpan balik itu sendiri memainkan peran dalam proses komunikasi, sebab
ia menentukan berlanjutnya komunikasi atau berhentinya komunikasi yang
dilancarkan oleh komunikator. Selain itu umpan balik dapat memberikan
komunikasi bahan informasi bahwa sumbangan- sumbangan pesan mereka yang
disampaikan menarik atau tidak bagi komunikan (Effendy,2003:14). Umpan balik
dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif. Umpan balik dikatakan
bersifat positif ketika respon dari komunikan menyenangkan komunikator,
sehingga komunikasi berjalan dengan lancar. Sebaliknya umpan balik dikatakan
negatif ketika respon komunikan tidak menyenangkan komunikator enggan untuk
melanjutkan komunikasi tersebut.
Selain pengelompokan diatas, umpan balik dapat pula dinyatakan secara
verbal maupun non verbal seperti halnya dengan penyampaian pesan umpan balik.
Bentuk khusus dari komunikasi interpersonal ini adalah komunikasi diadik
(dyadic communication) yaitu komunikasi antara dua orang yang keduanya saling
berhubungan dan komunikasi ini bertujuan untuk belajar, mengadakan relasi,
mempengaruhi dan membantu antar individu (DeVito,1989). Oleh karena itu
komunikasi merupakan hal yang paling penting dalam kehidupan manusia.
Demikian pula dalam keluarga, perlu dibina dan dikembangkan perkembangan
(29)
Menurut Irwanto (dalam Yatim dan Irwanto,1991:79) keluarga memberikan
dan menggeneralisasikan nilai, norma, pengetahuan, sikap dan harapan terhadap
anak- anak. Dengan komunikasi yang efektif, maka beberapa hal tersebut dapat
diterima dan dipahami dengan baik oleh remaja. Hal tersebut senada dengan
pernyataan Tubbs dan Moss (dalam Rahmat, 2002: 12) yaitu bahwa komunikasi
yang efektif akan menimbulkan pengertian dan hubungan yang makin baik
diantara kedua belah pihak.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dibahas komunikasi paling
tidak bersifat dialog bukan monolog. Menurut Kudera (dalam Kartono,1994:153)
komunikasi yang monolog tidak memunculkan tantangan dalam diri anak untuk
mengembangkan pikiran, kemampuan bertanggung jawab dan anak tidak disertai
pendapat bila ada masalah dalam keluarga.
2.4.3 Aspek- Aspek Kualitas Komunikasi Interpersonal Dalam Keluarga Komunikasi yang efektif perlu dibangun dan dikembangkan dalam keluarga. Beberapa faktor penting untuk menentukan jelas tidaknya informasi yang
dikomunikasikan didalam keluarga sehingga dapat mengarahkan komunikasi yang
efektif, yaitu :
1. Konsistensi
Informasi yang disampaikan secara konsisten akan dapat dipercaya dan
relatif lebih jelas dibanding dengan informasi yang selalu berubah.
(30)
2. Ketegasan (Assertiveness)
Ketegasan tidak berarti otoriter. Ketegasan membantu meyakinkan remaja
atau anggota keluarga lain bahwa komunikator benar- benar meyakini nilai
atau sikapnya. Bila perilaku orangtua ingin ditiru oleh anak, maka ketegasan
akan memberikan jaminan bahwa mengharapkan anak- anak berperilaku
seperti yang diharapkan (Irwanto dalam Yatim dan Irwanto,1991: 85- 86).
3. Percaya (Trust)
Faktor percaya adalah yang paling penting karena percaya menentukan
efektifitas komunikasi, meningkatkan komunikasi interpersonal karena
membuka saluran komunikasi, memperjelas pengiriman dan penerimaan
informasi, serta memperluas peluang komunikasi untuk mencapai maksudnya,
hilangnya keyakinan pada orang lain akan menghambat perkembangan
hubungan interpersonal yang akrab (Rahmat,2002: 130).
Ada tiga faktor yang berhubungan dengan sikap percaya (Rahmat,2002: 131-
133), yaitu :
a. Menerima
Menerima adalah kemampuan berhubungan dengan orang lain tanpa
menilai dan tanpa berusaha mengendalikan, sikap yang melihat orang lain
sebagai manusia, sebagai individu yang patut dihargai, tetapi tidak berarti
menyetujui semua perilaku orang lain atau rela menanggung akibat- akibat
(31)
b. Empati
Empati dianggap sebagai memahami orang lain dan membayangkan diri
pada kejadian yang menimpa orang lain, melihat seperti orang lain lihat,
merasakan seperti orang lain rasakan.
c. Kejujuran
Manusia tidak menaruh kepercayaan orang yang tidak jujur atau sering
menyembunyikan pikiran dan pendapatnya. Kejujuran dapat menyebabkan
perilaku seseorang dapat diduga. Ini mendorong untuk percaya antara satu
dengan yang lain.
4. Sikap Sportif
Sikap sportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif dalam
komunikasi. Sikap defensif akan menyebabkan komunikasi interpersonal akan
gagal, karena lebih banyak melindungi diri dari ancaman yang ditanggapinya
dalam situasi komunikan dari pada pesan orang lain (Rahmat,2002:133).
Perilaku yang menimbulkan iklim defensif dan sportif, antara lain:
a. Deskripsi
Deskripsi artinya penyampaian perasaan atau persepsi tanpa menilai.
Hubungan antara orang tua dengan anak bersifat horisontal dan sama.
b. Orientasi Masalah
Orientasi masalah artinya mengkomunikasikan untuk bekerjasama mencari
pemecahan masalah dengan tidak mendikte pemecahan, melainkan mengajak
(32)
c. Spontanitas
Spontanitas artinya sikap jujur dan dianggap tidak meliputi motif yang
terpendam.
d. Persamaan
Persamaan adalah sikap memperlakukan orang lain secara horisontal dan
demokratis. Artinya tidak mempertegas perbedaan, tidak menggurui tapi
berbincang pada tingkat yang sama dan mengkomunikasikan penghargaan
serta rasa hormat pada perbedaan dan keyakinan.
e. Provosionalisme
Provosionalisme adalah kesediaan untuk meninjau kembali pendapat
seseorang (Rahmat,2002: 134- 135).
5. Sikap Terbuka
Sikap terbuka mendorong terbukanya saling pengertian, saling
menghargai, saling mengembangkan kualitas hubungan interpersonal
(Rahmat,2002:136).
6. Bersikap Positif
Bersikap secara positif mencakup adanya perhatian atau pandangan positif
terhadap diri seseorang, perasaan positif untuk berkomunikasi dan
“menyerang” seseorang yang diajak berinteraksi. Perilaku “menyerang” dapat
dilakukan secara verbal seperti kata- kata “aku suka kamu” atau “kamu
nakal”. Sedangkan perilaku “menyerang” yang bersifat nonverbal berupa
senyuman, pelukan bahkan pukulan. Perilaku “menyerang” dapat bersifat
(33)
perilaku yang diharapkan dan dihargai. “Menyerang” negatif bersifat
menentang atau menghukum seperti mengeluarkan perbuatan kasar yang dapat
menyakiti seseorang baik fisik maupun psikologis (DeVito,1989). Pentingnya
“menyerang” dinyatakan oleh Kristina (dalam Kartono,1994:153) bahwa
“menyerang” positif perlu diberikan kepada anak jika memang pantas
menerimanya. “Menyerang” secara negatif juga diperlukan asal dalam batas
yang wajar seperti menegur atau memarahi anak bila memang perlu dan
orangtua tetap memberikan penjelasan alas an bersikap demikian.
2.4.4 Pola Komunikasi Dalam Keluarga
Menurut Yusuf (2001:51) terdapat tiga pola komunikasi hubungan
orangtua dan anak, yaitu :
a. Authoritarian (cenderung bersifat bermusuhan)
Dalam pola hubungan ini sikap acceptance (penerimaan) rendah, namun
kontrolnya tinggi, suka menghukum secara fisik, bersikap mengkomando
(mengharuskan atau memerintah anak untuk melakukan sesuatu tanpa
kompromi), bersikap kaku (keras), cenderung emosional dan bersikap
menolak.
b. Permissive (cenderung berperilaku bebas)
Dalam hal ini sikap acceptance (penerimaan) orang tua tinggi, namun
kontrolnya rendah, memberi kebebasan kepada anak untuk menyatakan
(34)
kurang memiliki rasa percaya diri, suka mendominasi, tidak jelas arah
hidupnya, prestasinya rendah.
c. Authoritative (cenderung terhindar dari kegelisahan dan kekacauan)
Dalam hal ini sikap acceptance (penerimaan) dan kontrolnya tinggi, sikap
responsif terhadap kebutuhan anak mendorong untuk menyatakan pendapat
atau pertanyaan, memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik
dan yang buruk. Sedangkan anak bersifat sahabat, memiliki rasa percaya diri
mampu mengendalikan diri (self control), bersikap sopan dan bekerjasama,
memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, mempunyai tujuan atau arah hidup yang
jelas dan berorientasi terhadap prestasi.
Begitu pentingnya faktor komunikasi dalam keluarga ini sehingga Wright
(1991:93) mengatakan bahwa salah satu cara yang terpenting untuk membantu
anak- anak menjadi orang dewasa yang berarti adalah dengan belajar
berkomunikasi kepada mereka yang positif. Pertumbuhan dan perkembangan
seorang anak dipengaruhi oleh urutan kelahiran dalam keluarga, struktur
syaraf dan lain sebagainya tetapi komunikasi dan hubungan orang tua dan
anggota keluarga menjadi peran penting dalam pemebentukan kepribadian dan
tingkah laku anak.
Pendapat ini diperkuat oleh Ahmadi (1999:248) mengatakan bahwa
suasana rumah yang hangat dan adanya perhatian, pengakuan, pengertian,
penghargaan, kasih sayang dan saling percaya, akan melahirkan anak- anak
(35)
Suatu proses komunikasi dapat berjalan dengan baik jika antara
komunikator dan komunikan ada rasa percaya, terbuka dan sportif untuk
saling menerima satu sama lain (Rahmat, 2002:129). Adapun sikap yang dapat
mendukung kelancaran komunikasi dengan anak-anak adalah :
a. Mau mendengarkan sehingga anak- anak lebih berani membagi perasaan
sesering mungkin sampai pasa perasaan dan permasalahan yang mendalam
dan mendasar.
b. Menggunakan empati untuk pandangan- pandangan yang berbeda dengan
menunjukkan perhatian melalui isyarat- isyarat verbal dan nonverbal saat
komunikasi berlangsung.
c. Memberikan kebebasan dan dorongan sepenuhnya pada anak untuk
mengutarakan pikiran atau perasaanya dan kebebasan untuk menunjukkan
reaksi atau tingkah laku tertentu sehingga anak dapat menanggapi positif
tanpa adanya unsur keterpaksaan.
Menurut Hastuto (dalam 1994:154) akibat dari pola komunikasi ini adalah :
a. Pikiran anak berkembang karena anak dapat mengungkapkan isi hatinya atau
pikirannya dan dapat memberikan usul- usul serta berpendapat berdasarkan
penalarannya.
b. Orang tua atau anggota keluarga lainnya akan mengetahui dan mengikuti
(36)
2.5 Pengertian Remaja
Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat
penting, diawali matangnya organ fisik (seksual) sehingga mampu bereproduksi.
Adolescentia berasal dari istilah Latin, adolescentia yang berarti masa muda yang terjadi antara 17- 30 tahun. Yulia dan Singgih D. Gunarsa, akhirnya
menyimpulkan bahwa proses perkembangan psikis remaja dimulai antara 12- 22
tahun. Jadi, remaja (adolescence) adalah masa transisi/ peralihan dari masa kanak-
kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik,
psikis, dan psikososial.
Beberapa tokoh psikologi memberikan beberapa definisi tentang remaja,
antara lain (Yusuf,2001:185-186):
1. G. Stenley Hall mengartikan remaja sebagai masa yang berada dalam dua
situasi antara kegoncangan, penderitaan, asmara dan pemberontakan dengan
otoritas orang dewasa. Selain itu pengalaman sosial selama remaja dapat
mengarahkannya untuk menginternalisasi sifat- sifat yang diwariskan oleh
generasi sebelumnya.
2. Roger Barker memberikan penekanan orientasi remaja kepada masalah sosial
psikologis. Hal ini dikarenakan bahwa remaja merupakan periode
pertumbuhan fisik yang sangat cepat dan peningkatan dalam koordinasi, maka
remaja merupakan masa transisi antara masa anak dan masa remaja oleh
karena pertumbuhan fisik berkaitan erat dengan perolehan sifat- sifat yang
diterima anak, maka pertumbuhan fisik seseorang menentukan pengalaman
(37)
3. George Levinger berpendapat bahwa remaja mulai mengenal minatnya
terhadap lawan jenisnya, yang biasanya terjadi saat kontak dengan kelompok.
Dalam interaksi dengan kelompok remaja mulai tertarik pada kelompoknya.
Perasaan tertarik atau sifat positif terhadap teman dalam kelompoknya
merupakan dasar bagi perkembangan pribadi yang akrab diantara anggota
kelompok tersebut. Untuk mencapai hubungan yang akrab, maka ada tiga fase
antara lain :
a. Kesadaran untuk berhubungan (uniterally sware)
Kesadaran ini hanya terbatas pada informasi dan impresi (kesan umum)
tentang hal ini berdasarkan penampilan fisik, seperti: wajah, postur tubuh,
dan cara berpakaian.
b. Kontak Permulaan (surface contact)
Pada tahap ini hubungan diantara anggota kelompok frekuensinya rendah
begitu sering dan diantara mereka sudah terjalin komunikasi meskipun
belum intensif.
c. Saling berhubungan
Pada tahap ini terjadi tahap interdependensi diantara dua orang yang
berlainan jenis. Hubungan diantara mereka menjadi akrab melalui saling
tukar pengetahuan, pengalaman, perasaan dan membantu satu sama lain.
Masa remaja dapat ditinjau sejak dimulai seseorang menunjukkan tanda-
tanda pubertas dan berlanjut sehingga dicapainya kematangan seksual, hingga
(38)
Ciri- ciri remaja menurut (Sarwono, 2002:15) :
1. Masa remaja sebagai periode yang penting karena akibatnya yang langsung
terhadap sikap dan perilaku. Semua adalah karena perkembangan fisik yang
cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat,
terutama pada awal masa remaja.
2. Masa remaja sebagai periode peralihan, artinya apa yang telah terjadi
sebelmnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan
yang akan datang.
3. Masa remaja sebagai masa identitas. Identitas diri yang dicari remaja berupa
usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa perannya dalam masyarakat.
4. Masa remaja sebagai periode pertumbuhan, artinya tingkat perubahan dalam
sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik.
5. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa. Dengan semakin mendekatnya
usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan
belasan tahun dan untuk memberikan kesan, bahwa mereka sudah hampir
dewasa.
Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama remaja sejajar dengan
tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi
dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat. Kalau
perubahan fisik menurun maka perubahan sikap dan perilaku menurun juga. Ada
empat perubahan :
1. Meningginya emosi, yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan
(39)
2. Perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial
untuk dipesankan, menimbulkan masalah baru..
3. Dengan berubahnya minat dan pola perilaku, maka nila- nilai juga berubah.
Sebagian besar remaja ambivalen terhadap setip perubahan.
2.5.1 Perilaku Remaja
Remaja sebagai individu yang telah mengalami perkembangan kognitif,
maka cenderung akan merubah perilakunya menuju kematangan pola berfikir.
Pada masa ini remaja cenderung memunculkan tokoh- tokoh panutan dan idola.
Sebagaimana dinyatakan oleh Agoes Dariyo (2004: 68-69),
Mereka umumnya, mengidentifikasi diri pada seorang tokoh yang dianggap idola, maka mereka berupaya bagaimana dirinya mampu menyerupai dengan idolanya. Umumnya tokoh idola yang diidentifikasi merupakan orang- orang terkenal, pandai dan ahli dibidangnya.
Dari kecenderungan untuk meniru idola maka remaja cenderung membentuk
komunitas berdasarkan minat dan kesamaan dengan remaja lain. Sedangkan
faktor- faktor pendorong remaja untuk memiliki tokoh idola adalah sebagai
berikut (Dariyo, 2004:70-71) :
1. Masa remaja sebagai transisi
2. Remaja ingin mengidentifikasi karakteristik tersebut dalam pribadinya
3. Sebagai pelarian dari kehidupan kondisi keluarga (orang tua)
Sedangkan jika ditinjau dari pola perilaku pemikiran, maka aspek pemikiran
(40)
1. Remaja cenderung dan dituntut untuk bersikap mandiri dalam tindakannya
di masyarakat.
2. Remaja cenderung kritis.
3. Remaja sering mengajukan argumentasi (argumentativeness).
4. Remaja bersikap ragu- ragu dalam bertindak (indivieness).
5. Remaja sering bersikap munafik (hypocrisy).
6. Remaja memiliki kesadaran diri (self counciousness).
7. Remaja menganggap dirinya kebal terhadap segala sesuatu (assumption of
invulnerability).
2.6 Pengertian Rokok
Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana
Rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan.
(www.indonesia.go.id/produk_uu/produk2003/pp19’03.htm)
Selanjutnya Irianto (1996:25) menyebutkan bahwa rokok mengandung 400 senyawa kimia, diantaranya terdapat tiga racun yang paling berbahaya yaitu:
Nikotin, Tar dan Karbon Monoksida.
1.Nikotin
Nikotin merupakan racun yang mempunyai sionida dalam kecepatan kerja, dan
dapat diserap pada semua organ tubuh termasuk kulit. Nikotin ini juga yang
(41)
mengurangi nafsu makan dan meningkatkan tekanan darah serta kenaikan
denyut jantung.
2.Tar
Merupakan bentuk dari berbagai campuran bahan kimia dan gas yang
membentuk cairan dan berubah menjadi massa lengket berwarna kecoklatan.
(Soedoko, 1993:19) Bahan tersebut tergolong korsinogen dan dapat
menyebabkan perokok sukar untuk bernafas.
3.Karbon Monoksida (CO)
Karbon monoksida adalah gas beracun yang tidak berwarna dan tidak berasa
dan gejala keracunannya yaitu: sakit kepala, koma, depresi, dan shock.
Pada saat asap tembakau dihisap karbon monoksida dan nikotin mengalir ke
dalam aliran darah cara yang sama seperti oksigen dan segera dialirkan ke seluruh
tubuh. Unsur- unsur asap tembakau yang tidak dihisap membentuk tar, yang akan
berkumpul didalam alur udara, paru- paru dan gigi.
2.6.1 Perilaku Merokok
Notoatmojo (1993) menjelaskan perilaku manusia merupakan hasil dari berbagai pengalaman dan interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud
dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan kongkrit. Perilaku baru bias terjadi
apabila ada rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu
pula. Oleh karena itu, dapat dijelaskan perilaku adalah merupakan respon individu
(42)
Lawrence green dalam Notoatmojo (1993) menyebutkan bahwa perilaku
terbentuk dari tiga faktor:
a) Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi antara lain: pengetahuan (tentang rokok dan bahayanya,
penyakit- penyakit akibat rokok, jenis- jenis rokok, dan batasan perokok
pasif), sikap terhadap orang yang merokok, kepercayaan (berhubungan
dengan agama dan pandangan tentang rokok), dan keyakinan akan
kebenaran informasi yang ada.
b) Faktor Pemungkin
Adanya peluang merokok lebih besar karena mudahnya orang untuk
mendapatkan rokok.
c) Faktor Pendorong
Sikap dan perilaku guru, orang tua, teman dan model yang ada di televisi
terhadap rokok dapat menjadi factor pendorong orang untuk merokok.
(Notoatmojo, 1993:16).
Sedangkan menurut para ahli dari WHO, perilaku seseorang dipengaruhi
beberapa faktor, yakni:
a. Tought and Feeling (pemikiran dan perasaan)
Pemikiran dan perasaan ini meliputi pengetahuan, sikap, persepsi,
kepercayaan- kepercayaan dan penilaian terhadap suatu obyek.
b. Personal References (orang penting sebagai referensi)
Orang penting ini sering disebut dengan kelompok referensi (references
(43)
Orang penting ini sering kali membentuk opini dari pengikutnya dan dapat
menjadi contoh bagi seseorang dalam melakukan suatu tindakan tertentu.
c. Resourcess (sumber- sumber)
Sumber- sumber ini meliputi dana, fasilitas, waktu, tenaga, dan sebagainya.
Adanya sumber daya ini biasanya berpengaruh secara positif atau negatif
terhadap tindakan seseorang.
d. Cultur Budaya
Budaya suatu masyarakat sering kali secara patuh akan diikuti oleh anggota
masyarakat tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa menurut WHO, perilaku kesehatan seseorang atau
masyarakat ditentukan atau fungsi dari pemikiran dan perasaan, adanya orang lain
yang dijadikan referensi dan sumber- sumber daya atau fasilitas yang dapat
mendukung perilaku dan kebudayaan masyarakat (Sulistyowati Muji, 2001:8).
Perilaku merokok adalah sesuatu yang fenomenal, meskipun sudah diketahui
dampak negatif yang disebabkan oleh rokok, tapi jumlah perokok bukannya
menurun malah semakin bertambah. Hasil riset Lembaga Menanggulangi Masalah
Merokok melaporkan bahwa anak-anak di Indonesia sudah ada yang merokok
pada usia 9 tahun. Selain itu data dipertegas oleh data WHO yang menyatakan
30% perokok di dunia adalah para remaja.
Menurut Erickson (dalam Gatchel) bahwa remaja mulai merokok karena
berkaitan dengan adanya krisis aspek psikososial yang dialami pada masa
(44)
merupakan simbol dari kematangan, kekuatan, kepemimpinan, dan daya tarik
terhadap lawan jenis.
Pada awalnya saat pertama kali merokok, gejala- gejala yang mungkin
terjadi adalah batuk-batuk, lidah terasa getir, perut terasa mual, dan kepala pusing.
Namun, para remaja mengabaikannya, sehingga berlanjut menjadi kebiasaan, dan
akhirnya ketergantungan. Setelah fase ketergantungan, remaja tidak lagi merasa
batuk, lidah terasa getir, perut mual, dan pusing , akan tetapi yang mereka rasakan
adalah sebuah kenikmatan yang memberikan kepuasan pada psikologis. Hal ini
disebabkan adanya nikotin yang bersifat adiktif, sehingga jika dihentikan secara
tiba-tiba akan menimbulkan stres.
Jenis-jenis perokok :
1. Pemula / iseng
adalah mereka yang masih sekedar mencoba-coba atau karena merasa tidak
enak melihat teman-temannya merokok, sehingga ikut-ikutan. Biasanya kelompok
ini adalah ABG. Perilaku merokok hanya untuk menambah atau meningkatkan
kenikmatan yang sudah didapat.
2. Nyambi / musiman
adalah kelompok yang merokok pada waktu-waktu tertentu saja. Hal ini
disebabkan karena faktor pribadi yang sulit mendapat jalan keluar. Perilaku
merokok ini hanya dilakukan sekedarnya untuk menyenangkan perasaan.
3. Menengah
adalah kelanjutan dari pemula, ingin berhenti nanggung karena belajarnya
(45)
orang menggunakan rokok untuk mengurangi perasaan negatif, misalnya bila
marah, cemas ataupun gelisah, rokok dianggap sebagai penyelamat.
4. Berat
mempunyai anggapan tiada hari tanpa merokok. Perilaku merokok ini sudah
menjadi kebiasaan karena mereka menggunakan rokok sama sekali bukan karena
untuk mengendalikan perasaan mereka, tetapi karena benar-benar sudah kebiasaan
rutin. Pada tipe orang seperti ini merokok merupakan suatu perilaku yang bersifat
otomatis.
Dalam sepuluh tahun terakhir, konsumsi rokok di Indonesia mengalami
peningkatan sebesar 44,1% dan jumlah perokok mencapai 70% penduduk
Indonesia (Fatmawati, 2006). Kebiasaan merokok dan generasi muda telah banyak
dibicarakan oleh para ahli dari berbagai dunia. Harapan para remaja agar dapat
dianggap dewasa oleh lingkungan sekitarnya melalui merokok perlu mendapat
perhatian yang serius. Remaja merupakan generasi penerus bangsa yang memiliki
potensi untuk berkembang sesuai dengan harapan masyarakat, remaja perlu untuk
memiliki nilai yang tepat bagaimana mereka seharusnya berperilaku (Sarafino
1994). Bertitik tolak dari teori yang dikemukakan Lawrence Green (1980)
perilaku merokok pada remaja khususnya siswa SMA dipengaruhi oleh tingkat
pengetahuan tentang merokok, sikap tentang merokok, peraturan sekolah,
(46)
2.7 Kerangka Berpikir
Fenomena merokok di kalangan remaja saat ini merupakan dampak dari
ketidakharmonisan dalam keluarga, pada intinya penyebab ketidakharmonisan
dalam keluarga adalah lemahnya komunikasi interpersonal dalam keluarga
sehingga merusak kekokohan konsentrasi serta keutuhan keluarga tersebut.
Keluarga adalah unit sosial terkecil yang berfungsi untuk membentuk
pribadi serta menanamkan nilai- nilai dan moral- moral yang berlaku pada
masyarakat umum terhadap anak. Selain itu, keluarga juga berfungsi sebagai
penanaman nilai- nilai agama kepada anak agar mereka memiliki pedoman hidup
yang benar.
Fungsi utama keluarga yaitu sosialisasi menempatkan keluarga sebagai
benteng utama penjaga budaya suatu komunitas atau kelompok. Keluarga menjadi
simpul utama untuk mengajarkan nilai dan norma pada anak. Dalam hal ini peran
orangtua sebagai pihak yang seharusnya melindungi anak ternyata tidak berjaalan
dengan semestinya.
Lemahnya komunikasi interpersonal dalam keluarga tidak hanya disebabkan
oleh sikap orangtua terhadap anak, selain faktor dari orangtua remaja juga
mempengaruhi hubungan komunikasi antara orangtua dengan anak. Remaja
merupakan masa “Storm and Drag” yaitu sebagai periode yang berada ditandai
dengan rasa pemberontakan otoritas orangtua.
Merokok merupakan suatu perilaku yang kompleks karena merupakan hasil
interaksi dari aspek kognitif, lingkungan sosial, kondisi psikologis dan fisiologis.
(47)
bahaya yang didapat dari merokok. Dari aspek sosial, para perokok mengatakan
bahwa mereka terpengaruh orang-orang lain di sekitarnya. Secara psikologis, perilaku
merokok dilakukan untuk mengurangi ketegangan dan melupakan sejenak masalah
yang dihadapi. Nikotin yang terkandung di dalam rokok dapat bereaksi terhadap
jaringan otak sehingga mampu mengubah perasaan, selera, alertness yang dapat
membuat orang merasa senang (Husin dalam Suara Pembaharuan, Rabu 22 Mei
2002).
Peneliti berusaha memberikan informasi ini secara umum bagi remaja untuk
mencapai seluruh aspek psikologis dapat dilakukan dengan tidak merokok melainkan
dengan hal lain seperti berprestasi. Tetapi perlu diperhatikan pada kepercayan diri dan
pengaruh teman. Untuk meningkatkan kepercayaan diri yang dapat diperoleh melalui
prestasi dalam bidang lain yang lebih baik seperti dalam bidang olah raga dan lebih
mengendalikan diri saat berkumpul dengan teman yang merokok, jika perlu “Say no
to Smoking” serta memiliki ketegasan untuk tidak merokok. Bagi pihak sekolah dapat
memberikan pengetahuan dan pembinaan tentang perilaku merokok serta dampak dari
merokok, sehingga remaja dapat memikirkan kembali jika ingin berparilaku merokok.
Peneliti juga berusaha melihat bagaimana pola komunikasi orangtua dengan
anak perokok di Surabaya, sehingga dapat mengakibatkan permasalahan dalam
(48)
(49)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Pada penelitian ini peneliti tidak membicarakan hubungan antara variabel
sehingga tidak ada pengukuran variabel x dan y. Penelitian ini fokus pada pola
komunikasi orangtua dengan anak, yang anaknya menjadi perokok aktif sehingga
tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian deskriptif dan menggunakan
analisis kualitatif.
Tipe penelitian deskriptif bertujuan membuat gambaran atau deskripsi secara
sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta- fakta dan sifat- sifat populasi atau
objek tertentu. Peneliti sudah memiliki konsep dan kerangka konseptual. Melalui
kerangka konseptual (landasan teori), peneliti melakukan operasionalisasi konsep
yang akan menghasilkan variabel beserta indikatornya. (Rachmat, 2006:69)
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif yaitu suatu pendekatan yang tidak menggunakan statistik atau angka-
angka tertentu. Hasil dari penelitian kualitatif ini tidak dapat digeneralisasikan
(membuat kesimpulan yang bersifat umum) atau bersifat universal, jadi hanya
berlaku pada situasi dan keadaan yang sesuai dengan situasi dan keadaan dimana
penelitian serupa dilakukan. (Kountur, 2003: 29)
(50)
1. Intensif, partisipasi periset dalam waktu lama pada setting lapangan,
periset adalah instrumen pokok penelitian.
2. Perekaman yang sangat hati- hati terhadap apa yang terjadi dengan
catatan- catatan di lapangan dan tipe- tipe lain dari bukti- bukti
dokumenter.
3. Analisis data lapangan.
4. Melaporkan hasil termasuk deskripsi detail, quotes (kutipan- kutipan) dan
komentar.
5. Tidak ada realitas yang tunggal, setiap peneliti mengkreasi realitas sebagai
bagian dari proses penelitiannya. Realitas dipandang sebagai dinamis dan
produk konstruksi sosial.
6. Subjektif dan beranda hanya referensi peneliti. Periset sebagai sarana
penggalian interpretasi data.
7. Realitas adalah holistik dan tidak dapat dipilah- pilah.
8. Periset memproduksi penjelasan unik tentang situasi yang terjadi dan
individu- individunya.
9. Lebih pada kedalaman (depth) daripada keluasan (breadth).
10. Prosedur riset: empiris- rasional dan tidak berstruktur.
11. Hubungan antara teori- teori, konsep, dan data- data memunculkan atau
membentuk suatu teori baru.
Berkaitan dengan penelitian ini, peneliti akan melakukan sebuah studi
deskriptif untuk menggambarkan pola komunikasi yang diterapkan oleh keluarga
(51)
Pendekatan kualitatif dipilih dengan pertimbangan lebih mudah apabila
berhadapan dengan kenyataan ganda, menyajikan secara langsung hakekat
hubungan antara peneliti dengan informan, lebih peka dan lebih dapat
menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap
pola- pola nilai yang dihadapi, meskipun mempunyai bahaya bias peneliti. Metode
kualitatif yang digunakan adalah pendekatan fenomenologis, yaitu peristiwa dan
kaitan- kaitannya dengan orang- orang biasa dalam situasi tertentu dengan
menekankan pada aspek subyektif dari perilaku orang. Pendekatan interaksi
simbolik, yang berasumsi bahwa pengalaman manusia ditengahi oleh penafsiran
dimana menjadi paradigma konseptual melebihi dorongan dari dalam, sifat- sifat
pribadi, motivasi yang tidak disadari, kebetulan, status sosial ekonomi, kewajiban
peranan, kebudayaan, mekanisme pengawasan masyarakat atau lingkungan fisik
lainnya.
Dalam meneliti pola komunikasi dan perubahan gejala sosial yang ada
peneliti menggunakan pendekatan fenomenologis. Peneliti berupaya mengungkap
proses interpretasi dan melihat segala sesuatu dari sudut pandang orang yang
diteliti. Peneliti berusaha mendalami aspek “subyek” dari perilaku manusia
dengan cara masuk ke dunia konseptual orang- orang yang diteliti sehingga dapat
dimengerti apa dan bagaimana suatu pengertian dikembangkan pada peneliti
mengetahui arti sesuatu bagi orang- orang yang diteliti. (Moeleong,1996:4-13)
Dalam penelitian ini kedudukan peneliti sebagai instrumen penelitian dan
(52)
secepatnya dan memanfaatkan kesempatan untuk mengklarifikasi,
mengikhtisarkan serta memanfaatkan kesempatan mencari respon yang tidak
lazim. (Moeleong, 2002:121)
Penelitian kualitatif mempunyai karakteristik pokok yang lebih
mementingkan makna dan konteks, dimana proses penelitiannya lebih bersifat
siklus dari pada linier. Dengan demikian pengumpulan data dan analisa
berlangsung secara simultan, lebih mementingkan ke dalam dibanding keluasan
penelitian, sementara peneliti sendiri merupakan instrumen kunci. Penelitian
kulitatif merupakan penelitian yang menggunakan pengamatan berperan serta
(participant observation) yang didefinisikan mengadakan pengamatan dan mendengarkan secara cermat sampai pada yang sekecil- kecilnya sekalipun
dengan wawancara mendalam atau in- dept interview. (Bondan dalam Moeleong,
2002:117)
Pendekatan kualitatif sifatnya fenomenologis untuk memahami arti peristiwa
dan kaitannya terhadap orang- orang biasa dalam situasi- situasi tertentu, realitas
sosial, memberikan tekanan terbuka tentang kehidupan sosial. Dalam konteks ini
studi deskriptif digunakan untuk mengidentifikasi pola komunikasi keluarga
khususnya orang tua dengan anaknya yang menginjak usia remaja dengan
ketergantungan terhadap rokok. Peneliti menggunakan lokasi di Surabaya.
(Moeleong,2002:9)
Sikap penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
(53)
sistematis melukiskan fakta ataupun karakteristik populasi tertentu atau bidang
tertentu secara faktual dan cermat.
3.1.1 Pola Komunikasi Keluarga
Dalam hal ini pola komunikasi dalam keluarga dapat dioperasionalkan
dengan bentuk atau pola hubungan interpersonal antara orang tua dan anak dalam
proses pengiriman dan penerimaan pesan baik secara verbal maupun nonverbal.
Yang dimaksud dengan keluarga dalam penelitian ini adalah keluarga yang
tergolong dalam kategori nuclear family yaitu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu,
dan anak. (Yusuf, 2001:36)
Yang dimaksud dengan pola komunikasi dalam penelitian ini adalah bentuk
hubungan dalam proses pengiriman dan penerimaan pesan antara orang tua
dengan anak remajanya. Pola komunikasi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Authoritarian (otoriter), Permissive (cenderung berperilaku bebas),
Authoritative (demokratis) (Yusuf, 2001:51). Adapun indikator dari ketiga pola komunikasi tersebut dijelaskan sebagai berikut :
1. Pola komunikasi Authoritarian (otoriter)
a. Acceptence atau penerimaannya rendah. Operasionalnya adalah tidak
mendengarkan atau tidak memperdulikan pendapat atau aspirasi dari anak.
b. Kontrol terhadap hubungannya tinggi. Operasionalnya adalah anak harus
mendengarkan dan mematuhi kehendak orang tuanya secara absolut.
(54)
d. Cenderung emosional. Operasionalnya adalah perilaku di dalam
menghukum secara fisik.
2. Pola komunikasi Permissive (cenderung berperilaku bebas)
a. Acceptence atau penerimaannya tinggi. Operasionalnya adalah memberikan
kebebasan penuh terhadap anak untuk menyatakan dorongan serta
keinginannya.
b. Kontrol terhadap hubungannya rendah. Operasionalnya adalah mau
mendengarkan pernyataan yang diungkapkan anak akan tetapi orang tua
membabaskan anak dalam mengambil segala keputusan.
c. Tidak memiliki perhatian dalam hubungan operasionalnya adalah dengan
membiarkan apapun yang terjadi pada anak, jika anak berbuat baik tidak
memberikan reward sedangkan jika anak berbuat tidak memberikan
hukuman atau teguran.
3. Pola Komunikasi Authoritative (demokratis)
a. Acceptance atau penerimaannya tingggi namun control terhadap
hubungannya juga tinggi. Operasionalnya adalah orang tua memberikan
kesempatan kepada anaknya untuk memberikan pendapat dan koreksi
terhadap kehendaknya sehingga komunikasi dua arah lebih fleksibel.
b. Responsif terhadap kebutuhan anak. Operasionalnya adalah dengan
memperhatikan segala permasalahan dan keluhan- keluhan yang
disampaikan oleh anak serta mendiskusikan untuk mencari pemecahannya.
c. Memberikan pengertian. Operasionalnya adalah dengan memberikan
(55)
dapat membedakan serta mampu mengambil keputusan sendiri sesuai
dengan apa yang diharapkan oleh orang tua.
3.2 Subyek dan Informan Penelitian 3.2.1 Subyek Penelitian
Subyek penelitian adalah anak perokok aktif yang kegiatan sehari-
harinya masih berstatus pelajar SMA di Surabaya dan orang tua kandung
dari anak perokok tersebut.
3.2.2 Informan Penelitian
Informan penelitian tidak ditentukan berapa jumlahnya, tetapi dipilih
beberapa yang diangggap mengetahui, memahami permasalahan yang
terjadi sesuai sustansi penelitian ini. Hal ini disebabkan karena dalam
penelitian kualitatif tidak mempersoalkan jumlah informan, melainkan
yang terpenting adalah seberapa jauh penjelasan informan yang diperoleh
dalam menjawab permasalahan.
INFORMAN 1
Informan kesatu adalah Dimas Azhari, 16 tahun. Anak kedua dari dua
bersaudara ini masih duduk dibangku sekolah menengah kejuruan (SMK)
Surabaya berasal dari keluarga sederhana, ayahnya (Pak Hisyam) bekerja sebagai
pegawai di kantor swasta sedangkan ibunya sebagai pegawai negeri sipil. Dimas
(56)
mencoba- coba untuk merokok sejak kelas 3 SMP sampai akhirnya diketahui oleh
orangtuanya sehingga mendapatkan hukuman dari ayahnya. Akibat dari
perbuatannya Dimas dihukum ayahnya dengan menggunduli rambutnya berharap
supaya tidak akan mengulanginya kembali. Meskipun sudah mendapat hukuman
Dimas tetap saja meneruskan merokok karena ketagihan dan sulit untuk tidak
merokok.
INFORMAN 2
Informan kedua adalah Fajar Triputra, 17 tahun. Warga Gunung Anyar Jaya
Tengah ini merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara yang masih duduk di
bangku XI IPS mulai mengenal rokok sejak SMP. Anak dari pasangan Agus dan
Widya menurutnya merokok dapat menghilangkan stress saat pulang sekolah
ataupun merasa bosan dirumah. Fajar mengaku pernah untuk tidak merokok
ketika berkumpul temannya yang tidak merokok dengan alasan sungkan. Ditanya
mengenai reaksi dari orangtuanya hanya ayahnya saja yang mengetahui jika Fajar
merokok, sedangkan ibunya belum mengetahui hingga saat ini. Pelajar yang
mempunyai hobi sepak bola ini dapat menghabiskan 8 sampai 12 batang rokok
apabila rasa bosan ketika dia berada dirumah, karena Fajar merasa seringkali
kurang mendapatkan perhatian dari orangtuanya. Maka dari itu, Fajar lebih
(57)
INFORMAN 3
Informan ketiga adalah Achmad Hammad, 17 tahun. Anak kedua dari tiga
bersaudara ini masih mengenyam pendidikan kelas XI SMA Negeri di Surabaya.
Achmad berasal dari keluarga sederhana, almarhum ayahnya (Pak Mulyana)
bekerja sebagai wiraswasta sedangkan ibunya sebagai ibu rumah tangga.
Kakaknya masih kuliah semester 2 di salah satu Perguruan Tinggi Surabaya
sedangkan adiknya masih duduk dibangku Sekolah Dasar. Achmad mengaku
dirinya tertarik untuk merokok karena mengikuti teman dan merasa gengsi apabila
tidak ikutan merokok. Menurut ibunya dalam kesehariannya memang jarang
sekali berada dirumah karena Achmad tergolong anak yang mudah bergaul
dengan siapapun. Biasanya dalam sehari pelajar yang hobi bermain futsal ini
dapat menghabiskan rokok hingga satu pack disaat nongkrong bersama teman-
temannya. Hal ini yang membuat Achmad sulit untuk tidak merokok dalam
kesehariannya.
INFORMAN 4
Informan keempat adalah Angga Saputra, 17 tahun. Dalam kesehariannya
Angga jarang sekali dirumah dan lebih banyak menghabiskan waktu luangnya
bersama teman- temannya. Pelajar ini mengetahui rokok dari iklan yang saat itu
sekolahnya sedang mengadakan acara pentas seni. Awalnya Angga penasaran
seperti apa rokok tersebut maka dari itu dia mencobanya bersama temannya
(58)
pendidikan dibangku SMA Negeri di Surabaya ini mengaku bahwa sepulang
sekolah biasanya tidak langsung pulang ke rumah melainkan berkumpul dahulu
bersama temannya hanya untuk bercanda sambil menghisap rokok. Anak kedua
dari dua bersaudara ini dapat menghisap lebih dari 6 batang rokok tiap harinya
yang dibeli dari uang sakunya sendiri. Menurutnya semenjak mengenal rokok,
menjadi lebih tenang dalam menghadapi masalah apapun seperti ketika setelah
dimarahi orangtuanya.
Dalam penelitian ini informan yang digunakan terdiri dari empat informan,
yaitu orang tua anak yang perokok tersebut. Selain itu penelitian ini juga bisa
menjadi acuan untuk masyarakat khususnya orang tua yang memiliki anak yang
merokok ini, sehingga kondisi komunikasi interpersonal dalam keluarga menjadi
efektif dan juga si anak tidak sampai kecanduan rokok.
Peneliti berusaha akan menjaring sebanyak mungkin informasi yang
berkaitan dengan tujuan penelitian dari beberapa sumber. Sebanyak- banyaknya
informasi akan dicari dengan menggunakan wawancara mendalam sehingga dapat
menghasilkan data berupa narasi atau kata- kata, tindakan yang memungkinkan
narasumber mendefinisikan dirinya sendiri dan lingkungannya dengan istilah-
istilah mereka sendiri.
3.3 Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini akan lebih ditekankan pada pola komunikasi yang
terdiri dari permissive (membebaskan), authoritarian (otoriter) dan authoritative
(59)
Proses komunikasi dalam keluarga antara orang tua dan remaja perokok
aktif di Surabaya akan menentukan bagaimana hubungan antar keduanya.
Keterbukaan diri pada orang tua mengenai hal- hal pribadi membuat orang tua
dapat mengendalikan anak pada masa depannya.
3.4 Lokasi Penelitian
Kegiatan penelitian ini akan diadakan di Surabaya. Peneliti memilih kota
Surabaya karena remaja yang masih mengenakan seragam putih abu- abu di
Surabaya saat ini cukup besar yang mengkonsumsi rokok. Daerah Surabaya
mempunyai komposisi penduduk yang heterogen dan diasumsikan sebagai daerah
yang memiliki perkembangan yang tinggi. Selain itu Surabaya merupakan kota
metropolis dan kota terbesar kedua setelah Jakarta dilihat dari padatnya penduduk
dan berbagai permasalahan yang terjadi.
3.5 Teknik Penarikan Sampel
Dalam penelitian kualitatif sangat erat kaitannya dengan faktor- faktor
eksternal, jadi maksud sampling dalam hal ini ialah untuk menjaring sebanyak
mungkin informasi dari berbagai macam sumber dan bangunannya (construction)
dengan tujuan bukanlah memusatkan diri pada adanya perbedaan- perbedaan yang
nantinya akan dikembangkan atau digeneralisasikan. Maksud yang kedua dari
sampling adalah menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan
(60)
acak, tetapi sampel bertujuan (Purposive Sampling). Di dalam teknik purposive
ini ditandai dengan ciri- ciri antara lain :
1. Rancangan sampel yang muncul, sampel tidak dapat ditentukan atau ditarik
terlebih dahulu.
2. Pemilihan sampel secara berurutan; tujuan memperoleh variasi sebanyak-
banyaknya hanya dapat dicapai apabila pemilihan satuan sampel dilakukan
jika satuan sebelumnya sudah dijaring dan dianalisis. Setiap satuan berikutnya
dapat dipilih untuk memperluas informasi yang telah diperoleh terlebih dahulu
sehingga dapat dipertentangkan atau di sisi lain adanya kesenjangan informasi
yang ditemui. Dari mana atau dari siapa ia memulai tidak menjadi persoalan,
tetapi bila hal sudah berjalan, maka pemilihan berikutnya bergantung pada apa
keperluan peneliti.
Unit analisis data dalam penelitian ini adalah informasi yang berupa narasi-
narasi kualitatif yang dihasilkan dalam wawancara mendalam (indepth interview)
yang berkaitan dengan pola komunikasi keluarga pada orang tua dengan anak
remaja perokok aktif di Surabaya. (Moeleong,2002:105-166)
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang akan digunakan untuk mengumpulkan sumber data utama
adalah wawancara mendalam (in- dept interview) yang menghasilkan data berupa
kata- kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan
lain- lain. Teknik ini dinilai sesuai karena hal tersebut memungkinkan pihak yang
(1)
menyebabkan anak menjadi agresif, kurang memiliki percaya diri, serta suka mendominasi dan tidak jelas arah hidupnya.
Dengan kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah serta kemungkinan akibat atau hasilnya. Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan pemikiran mereka sendiri. Oleh karena itu, dampak adanya pola komunikasi yang diterapkan menjadi tidak bersahabat akibat pola komunikasi yang diterapkan sehingga menyebabkan hubungan interpersonal tidak baik dan mengakibatkan kualitas komunikasi interpersonal juga tidak baik. Dalam keluarga remaja perokok ini juga menerapkan pola komunikasi Authoritarian (otoriter). Orangtua lebih sibuk memperhatikan pekerjaan daripada memberi perhatian pada anaknya karena kesibukan bekerja. Peranan orangtua disini kurang berperan hal ini tidak lain kesibukan bekerja sehingga membebaskan anaknya untuk mengambil keputusan sendiri dalam kehidupan anak tersebut. Oleh karena itu, kontrolnya rendah namun hal ini justru membuat anak kurang percaya diri karena orangtua lebih cenderung emosional dan bersikap menolak serta mudah tersinggung.
Pada anak usia remaja tersebut mulai ada tanda- tanda penyempurnaan perkembangan jiwa seperti moral maksudnya masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya- tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Oleh
(2)
karena itu, peranan orangtua penting dalam membimbing anaknya dan tidak dibebaskan begitu saja.
Selain itu, dalam keluarga remaja perokok juga menerapkan pola komunikasi Authoritative (demokratis) maka hubungan interpersonal antara orangtua dan anak dapat berkembang dengan baik. Yang mengakibatkan komunikasi antara orangtua dengan anaknya dapat lancar dan baik sehingga anaknya bersikap bersahabat dan mampu mengendalikan dirinya dalam dunia luar.
(3)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisa data dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat dikemukakan bahwa terdapat 3 jenis pola komunikasi pada orang tua dengan anak perokok aktif, yaitu Authoritarian, Permissive, dan Authoritative. Namun secara garis besar hasil penelitian ini adalah menunjukkan bahwa dua orang tua dengan anak perokok menganut pola komuniksi authoritarian, sedangkan satu keluarga lainnya menganut pola komunikasi permissive dan satu keluarga sisanya menganut pola komunikasi authoritative.
Pada dua informan yang menerapkan pola komunikasi permissive ini memiliki persamaan yaitu anak cenderung bersikap lebih aktif daripada orangtua. Kontrol yang diterapkan orangtua pada anak sangat rendah sehingga anak merasa kehilangan sosok yang menjadi contoh dan panutan dalam dirinya sehingga anak berusaha memahami dirinya dengan cara mencari perhatian pada orang lain. Anak akan melakukan pemberontakan jika keinginannya tiddak dipenuhi sedangkan orangtua hanya berusaha memenuhi kemauan anak tanpa memahami apa penyebab tindakan anak itu sendiri.
(4)
5.2 Saran
1. Peluang dilakukan penelitian lebih lanjut berdasarkan pola komunikasi orangtua dengan anak dalam keluarga. Sehinggga penelitian pola komunikasi orangtua dengan anak perokok aktif dapat berkembang sesuai dengan perkembangan masalah yang ada di masyarakat.
2. Orangtua dari anak perokok harus lebih intens dalam menerapkan komunikasi interpersonal dengan anak perokok sehingga orangtua dapat mengetahui kondisi dan perkembangan emosi serta kejiwaan anak. Agar orangtua dapat mengontrol anaknya melalui interaksi yang efektif.
3. Pola komunikasi yang harus digunakan orangtua pada anak perokok di kalangan remaja adalah pola komunikasi authoritative atau pola komunikasi demokratis. Sehingga komunikasi interpersonal antara orangtua dengan anak perokok dapat terjalin dengan baik sebagai komunikator maupun sebagai komunikan. Orangtua harusnya mampu memeliha hubungan yang harmonis antar anggota keluarga. Hubungan yang harmonis penuh pengertian, dan kasih sayang akan membuahkan perkembangan perilaku anak yang baik.
4. Dari hasil temuan dilapangan, selain fakta- fakta yang didapat dari informan peneliti juga menemukan bahwa orangtua remaja perokok dihadapkan pada masalah yaitu ketakutan terhadap perkembangan jaman yang semakin lama semakin kurang mendidik.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. 2000. Psikologi Komunikasi. Bandung. Penerbit: PT. Remaja Rosdakarya.
Bahri, Syaiful Djamarah. 2004. Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga (sebuah perspektif pendidikan Islam). Jakarta. Penerbit: PT. Rineka Cipta.
Dariyo, Agoes, Psi. 2004. Psikologi Perkembangan Anak. Bogor. Penerbit: Ghalia Indonesia.
Devito, Joseph. 2007. The International Communication Book. Eleventh Edition. New York. Pearson Education, Inc.
Effendy, Onong Uchjana MA. 2002. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung. Penerbit: PT. Remaja Rosdakarya.
Gunarsa, Singgih D, Dra. Ny. Gunarsa Singgih D. 2001. Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta. Penerbit: BPK Gunung Mulia.
Hurlock, EB. 2002. Psikologi Perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta. Penerbit: Erlangga.
Irianto, Venise. 1996. Zat- zat berbahaya dalam rokok.
Kartono, K. dan Gulo. 2004. Peranan Keluarga Memandu Anak. Jakarta Utara. Penerbit: CV. Rajawali.
Kountur, Ronny. 2003. Metode Penelitian untuk penulisan skripsi dan tesis. Jakarta. Penerbit: PPM.
Kriyanto, Rahmat. 2006. Tehnik Praktis Riset Komunikasi Pengantar Prof. Dr.H.M. Burhan Bungin, Ssos,Msi. Jakarta. Penerbit: Kencana Preneda Media Group.
Moeleong, J.L. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung. Penerbit: PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Dedy. 2003. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, cetakan kelima. Penerbit: PT. Remaja Rosdakarya.
(6)
Rakhmat, Jalaludin. 2002. Psikologi Komunikasi. Bandung. Penerbit: PT. Remaja Rosdakarya.
Sarwono, Sarlito. W. 2006. Psikologi Remaja. Bandung.Penerbit: PT. Remaja Rosdakarya.
Tubbs, Steward L. dan Moss, Sylvia. 2006 Human Communication. Pengantar: Dr. Dedy Mulyana, MA. Penerbit: Yayasan Andi.
Wright, H. W.1991. Menjadi Orang Tua yang bijaksana.Pnerjemah: Christine Sujana. Yogyakarta. Penerbit: Arcan.
Yatim, D.I dan Irwanto. 1991. Kepribadian, keluarga dan narkotika:Tinjauan sosial psikologis. Jakarta. Penerbit: Arcan.
Yusuf, Syamsu L.N, Mpd. 2001. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung. Penerbit: PT. Remaja Rosdakarya.
Website:
www.e-psikologi.com www.kafegaul.com www.digilib.unnes.ac.id www.search-ebooks.com www.indonesia.go.id