SINTESIS DAN KARAKTERISASI SENYAWA KOMPLEKS BESI(III) DENGAN LIGAN 1,10-FENANTROLIN DAN ANION TRIFLUOROMETANASULFONAT.

(1)

SINTESIS DAN KARAKTERISASI SENYAWA KOMPLEKS BESI(III) DENGAN LIGAN 1,10-FENANTROLIN DAN ANION

TRIFLUOROMETANASULFONAT

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta

untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Sains Kimia

Oleh: Andi Kusyanto NIM 12307144040

PROGRAM STUDI KIMIA JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

MOTTO

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah Dan hanya kepada engkaulah kami mohon pertolongan.”

(QS. Al Fatihah : 5) “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.

Dan sesungguhnya yang demikian itu berat, Kecuali bagi orang-orang yang khusuk.”


(6)

PERSEMBAHAN

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Karya ini saya persembahkan untuk: Sang Pencipta alam beserta isinya ALLAH SWT Orang tuaku tercinta, Bapak Suradal & Ibu Sri Mulyani Kakakku, Yudi Kuswanto Partner skripsiku yang paling baik, Maulidia Fa’izzah

Teman- teman Pamungkas Sorogenen Sahabat-sahabatku, RKS Kingdom dan Kawanan Wanita Bahagia

Teman-teman Kimia Swadana ‘12 Almamaterku Universitas Negeri Yogyakarta


(7)

SINTESIS DAN KARAKTERISASI SENYAWA KOMPLEKS BESI(III) DENGAN LIGAN 1,10-FENANTROLIN DAN

ANION TRIFLUOROMETANASULFONAT

SYNTHESIS AND CHARACTERIZATION OF IRON(III) COMPLEX WITH 1,10-PHENANTHROLINE LIGAND

AND TRIFLUOROMETHANESULFONATE ANION Andi Kusyanto dan Kristian H. Sugiyarto

Jurusan Pendidikan Kimia, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta e-mail: sugiyarto@uny.ac.id

ABSTRAK:

Penelitian senyawa kompleks Fe(III) dengan ligan 1,10-fenantrolin dan anion triflat bertujuan untuk mengetahui metode sintesis, formula dan berbagai karakteristik senyawa kompleks yang terbentuk.

Instrumen yang digunakan adalah spektrofotometer serapan atom (SSA), konduktometer, spektrofotometer UV-Vis larutan dan padatan, timbangan Gouy, spektrofotometer FTIR dan X-Ray Diffraction (XRD). Senyawa kompleks

tris-fenantrolinbesi(III) triflat disintesis dari prekusor FeCl3.6H2O dalam pelarut

akuades, kemudian ditambahkan ligan 1,10-fenantrolin yang dilarutkan dalam pelarut etanol dengan perbandingan mol logam dan mol ligan 1 : 3. Kedalam pencampuran larutan tersebut, ditambahkan anion triflat berlebih yang dilarutkan dalam pelarut akuades.

Hasil pengukuran AAS menunjukan kadar besi sebesar 4,913%. Pengukuran daya hantar listrik menggunakan konduktometer menunjukkan perbandingan muatan kation : anion adalah 3 : 1. Dengan demikian kompleks yang mungkin adalah [Fe(phen)3](CF3SO3)3.5H2O. Pada pengukuran momen

magnetik senyawa kompleks menunjukkan nilai µeff 2,1-2,3 BM, jadi bersifat paramagnetik sesuai dengan satu elektron nir pasangan dengan kontribusi orbital. Spektra IR menunjukkan serapan khas atom N pada 1,10-fenantrolin dan adanya ion CF3SO3-. Spektra UV-Vis kompleks menunjukkan tiga puncak pita serapan pada bilangan gelombang 19011,4 cm-1

, 25252,5 cm-1

, dan 30030,03 cm -1. Analisis data XRD menunjukkan bahwa kompleks [Fe(phen)

3](CF3SO3)3.5H2O

mempunyai sistem kristal monoklinik dengan space grup C 2/c dan nilai a =

10,781 Å, b = 24,53 Å, c = 13,286 Å, Z = 4, β = 103,130, V = 3422 Å.

Kata kunci: sintesis senyawa kompleks, kompleks tris-fenantrolinbesi(III), besi(III), 1,10-fenentrolin, triflat


(8)

SYNTHESIS AND CHARACTERIZATION OF IRON(III) COMPLEX WITH 1,10-PHENANTHROLINE LIGAND

AND TRIFLUOROMETHANESULFONATE ANION By :

Andi Kusyanto

Number of Student: 12307144040 Supervisor: Prof. Kristian H. Sugiyarto, Ph.D

ABSTRACT

The research of iron(III) complexes with 1,10-phenanthroline and triflate was purposed to know the method of synthesis, formula and characteristics of complex compound which was formed.

The result of the complex compound was characterized by Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS), conductometer, Spectrophotometer UV-Vis, Magnetic Susceptibility Balance (MSB), spectrophotometer FTIR and X-Ray Diffraction (XRD). Tris(1,10-phenanthroline)iron(III) triflate complex has been synthesized from the precursor FeCl3.6H2O in aquadest. The 1,10-phenanthroline ligand

dissolved in ethanol was added with ratio mol equivalent of the metal and ligand (1:3). The result of solution was added by exceed triflate salt in aquadest.

AAS measurement content of iron 4.913 %. Measurement analysis of conductivity shown the charge ratio of cation/anion, 3:1. Thus the possibility formula of the complex was [Fe(phen)3](CF3SO3)3.5H2O. In the measurement

magnetic moment of this complex, indicate its value µeff 2,1-2,3 BM, so is paramagnetic corresponding to one unpaired electron with contribution orbitals to the magnetic. The Infrared spectrum showed absorption bands of 1,10-phenanthroline ligand and triflate anion. The UV-Vis spectrum showed three absorption band concentrated at wave number 19011,4 cm-1, 25252,5 cm-1, dan 30030,03 cm-1. The result of X-Ray Diffraction analysis suggests that [Fe(phen)3](CF3SO3)3.5H2O complex has monoclinic crystal with space group was

C 2/c and value of a = 10,781 Å, b = 24,53 Å, c = 13,286 Å, Z = 4, β = 103,130, V

= 3422 Å.

Keyword : Synthesis of complex, tris-(1,10-phenanthroline)iron(III), iron(III), 1,10-phenanthroline, triflate.


(9)

KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT Tuhan semesta alam atas limpahan rahmat, karunia, dan hidayah-Nya. Sholawat dan salam selalu tercurahkan kepada nabi besar Muhammad SAW yang dirindukan syafaatnya di yaumul qiyamat nanti. Alhamdulillah atas berkat rahmat Allah SWT sehingga laporan tugas akhir ini mampu penulis selesaikan.

Penelitian kimia berjudul “Sintesis dan Karakterisasi Senyawa Kompleks Besi(III) dengan Ligan 1,10-Fenantrolin dan Anion Trifluorometanasulfonat” telah dapat diselesaikan dengan baik sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana sains yang telah ditetapkan oleh Jurusan Pendidikan Kimia di Universitas Negeri Yogyakarta. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Hartono selaku Dekan FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin dalam penulisan tugas akhir ini.

2. Bapak Drs. Jaslin Ikhsan, M.App.Sc., Ph.D selaku Ketua dan Koordinator Tugas Akhir Skripsi Program Studi Kimia, Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kelancaran pelayanan dan urusan akademik.

3. Bapak Eddy Sulistyowati Apt, MS selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah memberikan dorongan dalam penulisan tugas akhir ini.


(10)

4. Bapak Prof. Kristian H. Sugiyarto, Ph.D selaku dosen pembimbing utama yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan saran.

5. Prof. A.K. Prodjosantosa, Ph.D selaku penguji utama, atas pertanyaan, kritik, dan saran yang diberikan.

6. M. Pranjoto Utomo, M.Si selaku penguji pendamping, atas pertanyaan, kritik, dan saran yang diberikan.

7. Dr. Cahyorini Kusumawardani selaku sekretaris penguji, atas pertanyaan, kritik, dan saran yang diberikan.

8. Seluruh Dosen, Staf, dan Laboran Jurusan Pendidikan Kiimia FMIPA UNY yang telah banyak membatu selama perkuliahan dan penelitian.

9. Ibu, Ayah, kakak dan seluruh keluargaku yang selalu mendoakan, mendukung, memotivasi dan segala kasih sayangnya selama ini.

10.Amri, Mamay, Rafi, Santo, Dhani, Joko, Moris, Rantau, Anggi, Wahyu, Agus sahabat RKS Kingdom dan Kawanan Wanita Bahagia yang selalu memberi dukungan, semangat, dan doa.

11.Teman-teman Kimia Swadana 2012 yang selalu memberi motivasi dan doa. 12.Maulidia Faizzah, mitra kerja selama penelitian yang sudah memberikan

bantuan tenaga dan motivasi.

13.Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan secara moral maupun material dalam penyelesaian Tugas Akhir Skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebut satu per satu.


(11)

Semoga semua bantuan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis, Inshaa Allah mendapat balasan dari Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa laporan tugas akhir ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan perbaikan pendidikan di masa yang akan datang. Aamiin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Yogyakarta, 19 September 2016 Penulis


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 4

C. Pembatasan Masalah ... 4

D. Rumusan Masalah ... 5

E. Tujuan Penelitian ... 5

F. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori ... 7

1. Logam Transisi ……… 7

2. Besi ... 8

3. Ligan ………... 9

4. Anion Trifluorometanasulfonat …... 10

5. Senyawa Kompleks ………... 11


(13)

a. Teori Ikatan Valensi………... b. Teori Medan Kristal………... c. Teori Orbital Molekular ………...

12 14 19

B. Karakterisasi Senyawa Kompleks ... 20

1. Magnetic Susceptibility Balance (MSB) …... 2. Spektrofotometer UV-Vis ………... 3. Spektrofotometer FTIR …………... 20 23 24 4. Spektroskopi Serapan Atom ………...…… 25

5. Konduktometer ……….………... 26

6. X-Ray Diffraction …….………. 27

C. Penelitian yang Relevan …...……… 28

D. Kerangka Berpikir ……… 29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Subjek dan Objek Penelitian ... 1. Subjek Penelitian ……… 2. Objek Penelitian ………. 31 31 31 B. Alat dan Bahan Penelitian ... 1. Alat Penelitian ……… 2. Bahan-Bahan Penelitian ………. 31 31 32 C. Prosedur Penelitian ... 1. Sintesis Senyawa Kompleks ………... 2. Karakterisasi Senyawa Kompleks ……….. a. AAS ……….. b. Spektrofotometer FTIR ………. c. Konduktometer ………...……….. d. MSB………...………. e. XRD ……….. f. Spektrofotometer UV-Vis (Larutan) ………... g. Spektrofotometer UV-Vis (Padat) ………...………… 33 33 33 33 34 34 34 35 35 35 D. Teknik Analisis Data ... 36


(14)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Sintesis Senyawa Kompleks Besi(III) dengan Ligan

1,10-Fenantrolin dan Anion Trifluorometanasulfonat ... 38

B. Penentuan Formula Senyawa Kompleks ... 41

1. Pengukuran Kadar Besi ... 41

2. Konduktivitas ... 41

C. Karakterisasi Senyawa Kompleks ... 44

1. Sifat Magnetik ……… 2. Spektrum Elektronik Larutan ………. 3. Spektrum Elektronik Padatan ………. 4. Spektrum Inframerah ………...………... 5. Analisis Difraktogram Senyawa Kompleks ………... 44 45 47 48 53 D. Perkiraan Struktur Kompleks ………... 54

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 55

B. Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Orbital Hibridisasi beberapa Konfigurasi Geometri …... 14

Tabel 2. Faktor Koreksi Diamagnetik untuk Beberapa Kation, Anion,

Atom Netral dan Molekul ... 21 Tabel 3. Data Preprasi Sampel [Fe(phen)x]3+(CF3SO3)y.nH2O... 40

Tabel 4. Penentuan Formula Senyawa Kompleks terhadap Kadar

Teoritis ……… 41

Tabel 5. Daya Hantar Listrik Larutan Pembanding dan Larutan Sampel

Kompeks dalam Akuades... 42 Tabel 6. Hasil Pengukuran Nilai Momen Magnetik (μeff) Senyawa

Kompleks... 44 Tabel 7. Harga Koefisien Ekstingsi Kompleks (ε)

[Fe(phen)3](CF3SO3)3.5H2O………... 46

Tabel 8. Puncak Serapan Kompleks [Fe(phen)3](CF3SO3)3.5H2O dengan

Metode Padatan... 48 Tabel 9. Data Serapan FTIR [Fe(phen)3](CF3SO3)3·5H2O... 50

Tabel 10. Data Analisis Kompleks [Fe(phen)3(CF3SO3)3.5H2O terhadap


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Konfigurasi Elektron Fe dan Fe3+... 8

Gambar 2. Struktur 1,10-Fenantrolin... 10 Gambar 3. Struktur senyawa [Fe(phen)3](NO3)3.H2O... 12

Gambar 4. Konfigurasi Elektronik Besi(III) dan Hibridisasi [Fe(CN)6]3+ .. 13

Gambar 5. Lima Orbital d dan Susunannya dalam Ruang ... 15

Gambar 6. Posisi Ligan Oktaheral dalam Koordinat Cartesius dengan

Atom Logam di Pusat Koordinat dalam Medan Kubus ………. 15 Gambar 7. Diagram Pemisahan Orbital d dalam Medan Oktahedral ... 16

Gambar 8. Posisi ligan Tetrahedral dalam Koordinat Cartesius dengan

Atom Logam di Pusat Koordinat dalam Medan Kubus ... 18 Gambar 9. Diagram Alir Cara Sintesis dan Karakterisasi Senyawa

Kompleks ……… 36

Gambar 10. Larutan FeCl3.6H2O a). Sebelum Penambahan Ligan 1,10 –

Fenantrolin dan b). Sesudah Penambahan Ligan 1,10 –

Fenantrolin... 39 Gambar 11. Padatan Kompleks [Fe(phen)x](CF3SO3)y. nH2O ... 40

Gambar 12. Spektrum Elektronik UV-Vis Larutan Kompleks

[Fe(phen)3](CF3SO3)3.5H2O... 46

Gambar 13. Spektrum Elektronik UV-Vis Padatan Kompleks

[Fe(phen)3](CF3SO3)3.5H2O... 47

Gambar 14. Spektrum Inframerah Senyawa Kompleks

[Fe(phen)3](CF3SO3)3.5H2O...

Gambar 15. Difraktogram Senyawa Kompleks

[Fe(phen)3](CF3SO3)3.5H2O ………...………

49 51 Gambar 16.Difraktogram Hasil Analisis Senyawa Kompleks


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Skema Prosedur Kerja ... 61 Lampiran 2. Reaksi dan Perhitungan Senyawa Kompleks ... 62 Lampiran 3. Perhitungan Rendemen Hasil Sintesis Senyawa Kompleks... 64 Lampiran 4. Hasil Pengukuran Konduktivitas Senyawa Kompleks ……… 65

Lampiran 5. Data AAS ……… 69

Lampiran 6. Perhitungan Persentase Besi(III) dalam Berbagai Formulasi

Senyawa Kompleks ………. 70

Lampiran 7. Hasil Pengukuran Momen Magnetik Senyawa Kompleks

[Fe(phen)3](CF3SO3)3.5H2O ………... 72

Lampiran 8. Perhitungsn Nilai K Koefisien Ekstingsi Besi(III) dalam

Berbagai Formulasi Senyawa Komplek... 74 Lampiran 9. Data Spektrum UV-Vis Padatan ……… 75 Lampiran 10. Data Spektrum FTIR ………... 76 Lampiran 11. Difraktogram XRD Kompleks [Fe(phen)3](CF3SO3)3.5H2O. 78

Lampiran 12.Difraktogram Hasil Program Rietica Senyawa Kompleks [Fe(phen)3](CF3SO3)3.5H2O …,,,,,,,,…………..…….…... 79


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penelitian tentang senyawa kompleks baik di bidang sintesis maupun identifikasi sifat-sifatnya menarik untuk dibicarakan karena warna-warna yang terjadi pada pembentukan senyawa kompleks. Senyawa kompleks sering juga disebut senyawa koordinasi adalah senyawa yang dibentuk oleh atom atau ion pusat dengan beberapa gugus molekul atau gugusan ion melalui ikatan kovalen koordinasi. Gugus molekul atau ion yang terikat pada ion pusat ini disebut gugus pengeliling atau ligan sedangkan jumlah/banyaknya ikatan koordinasi antara atom pusat dengan atom donor (dari ligan) dinyatakan dengan bilangan koordinasi (Sugiarto dan Retno, 2008).

Selain karena warna-warna menarik yang terjadi pada pembentukan senyawa kompleks, senyawa kompleks banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang kehidupan manusia, seperti dalam bidang kesehatan, farmasi, industri, dan katalis. Penelitian tentang senyawa kompleks terus berkembang pesat sejalan dengan perkembangan IPTEK, sebagai salah satu contoh adalah kompleks besi. Kompleks besi dengan berbagai ligan telah diketahui kegunaanya. Senyawa kompleks besi(III)-EDTA dapat diaplikasikan sebagai garam untuk fortifikasi besi (Torres et al., 1979). Kompleks besi(III)-EDTA juga diketahui mampu digunakan sebagai

katalis heterogen pada reaksi sintesis vitamin E dengan materi pendukung MgF2


(19)

askorbat digunakan untuk mencegah dan mengatasi anemia defisensi besi (Budiasih, Prodjosantosa, dan Septiyantinur., 2011). Senyawa kompleks besi(III)-trifluoroasetat merupakan katalis dan baik digunakan pada reaksi diasetilasi aldehid dan tioasetilasi senyawa karbonil (Adibi, Samimi, dan Iranpoor., 2008).

Suatu senyawa kompleks akan terbentuk bila terjadi ikatan kovalen koordinasi antara suatu atom atau ion logam dengan beberapa molekul netral atau ion donor elektron. Atom atau ion logam berfungsi sebagai ion pusat sedangkan molekul netral atau ion donor elektron berfungsi sebagai gugus pengeliling atau yang lebih dikenal dengan ligan (Day dan Selbi, 1985).

Senyawa kompleks banyak ditemui bersifat paramagnetik yaitu tertarik oleh medan magnet, selain itu banyak pula yang bersifat diamagnetik yaitu tertolak oleh medan magnet. Sifat paramagnetik suatu senyawa disebabkan oleh adanya elektron tak-berpasangan (unpaired electron) dalam konfigurasi elektronik spesies yang

bersangkutan (Sugiarto dan Retno, 2012). Sifat-sifat senyawa kompleks misalnya sifat magnetik dan warna senyawa telah banyak dipelajari dan diteliti melalui suatu tahapan-tahapan reaksi (mekanisme reaksi) dengan menggunakan ion-ion logam serta ligan yang berbeda-beda.

Besi termasuk golongan logam transisi yang mempunyai konfigurasi elektronik [Ar] 3d6 4s2 yang mempunyai tingkat oksidasi utama (+II) dan (+III),

kompleks besi(III) pada umumnya lebih stabil daripada kompleks besi(II) (Lee,1991). Besi(III) ditinjau dari muatan kompleksnya dapat membentuk kompleks yang bervariasi yaitu kationik, netral dan anionik. (Greenwood & Earnshow, 1984).


(20)

1,10-Fenantrolin (phen) merupakan ligan kuat yang menyediakan agen kelat untuk membentuk cincin tertutup dengan berbagai ion logam. Kemampuan pengompleks ligan 1,10-fenantrolin telah banyak digunakan untuk mengembangkan senyawa kompleks (Marquerite, Bruno, dan Bernard., 1998).

Asam trifluorometanasulfonat atau sering disebut triflat (HCF3SO3)

merupakan asam yang sangat kuat yang dapat digunakan sebagai katalis untuk sintesis senyawa organik. Larutan ionik triflat tahan terhadap hidrolisis. Larutan ionik triflat telah banyak digunakan sebagai media reaksi karena sifatnya yang stabil dan titik didihnya yang tinggi (167-170oC) serta viskositasnya cukup rendah

(Nikolai et al., 2012).

Preparasi suatu senyawa kompleks secara umum akan melibatkan reaksi antara suatu garam, molekul atau ion-ion. Proses pembentukan kristal secara sederhana dapat dilakukan dengan pengendapan secara perlahan menggunakan teknik pendinginan (Basolo & Johnson, 1986). Pada penelitian ini dilakukan sintesis senyawa kompleks besi(III) dengan ligan fenantrolin. Adapun anion yang digunakan adalah anion CF3SO3- atau triflurometansulfonat dan juga dikenal

dengan triflat. Setelah berhasil disintesis, senyawa kompleks ini dikarakterisasi menggunakan berbagai instrumen yakni MSB (Magnetic Susceptibility Balance), spektrofotometer inframerah (FTIR), spektrofotometer UV-Vis (Ultraviolet-Visible), AAS (Atomic Absorpbtion Spectroscopy), konduktometer, dan XRD ( X-ray Diffraction) untuk mengetahui sifat-sifatnya.


(21)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat diidentifikasi permasalahan-permasalahan sebagai berikut.

1. Prekusor besi(III) yang digunakan dalam sintesis senyawa kompleks.

2. Pelarut yang digunakan untuk melarutkan logam, ligan ,dan anion dalam sintesis senyawa kompleks.

3. Metode pendesakan yang digunakan dalam sintesis senyawa kompleks. 4. Karakterisasi senyawa kompleks hasil sintesis.

C. Pembatasan Masalah

Batasan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Prekusor besi(III) yang digunakan untuk sintesis senyawa kompleks adalah FeCl3.6H2O dan ligan 1,10-fenantrolin.

2. Pelarut yang digunakan dalam sintesis senyawa kompleks ini adalah etanol untuk pelarut ligan 1,10-fenantrolin, serta akuades untuk pelarut prekusor FeCl3.6H2O dan anion trifluorometanasulfonat.

3. Metode yang digunakan dalam sintesis senyawa kompleks adalah metode reaksi pendesakan langsung.

4. Karakterisasi senyawa kompleks hasil sintesis berdasarkan data dari sifat konduktivitas, SSA, sifat magnetik, spektrum FTIR, spektrum elektronik dan difraktogram XRD.


(22)

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah tersebut dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut.

1. Bagaimana metode pendesakan sintesis senyawa kompleks besi(III) dengan ligan 1,10-fenantrolin dan anion CF3SO3- ?

2. Bagaimana formula senyawa kompleks besi(III) dengan ligan 1,10-fenantrolin dan anion CF3SO3-?

3. Bagaimana karakteristik sifat magnetik, spektrum elektronik, spektrum FTIR, dan XRD senyawa kompleks hasil sintesis?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut.

1. Mengetahui metode pendesakan sintesis senyawa kompleks besi(III) dengan ligan 1,10-fenantrolin dan anion CF3SO3¯ .

2. Mengetahui formula senyawa kompleks besi(III) dengan ligan 1,10-fenantrolin dan anion CF3SO3¯ .

3. Mengetahui karakteristik sifat magnetik, spektrum elektronik, spektrum FTIR, dan XRD senyawa kompleks hasil sintesis.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Dapat mensintesis senyawa kompleks besi(III) dengan ligan 1,10-fenantrolin dan anion trifluorometanasufonat.


(23)

2. Memperoleh struktur dan karakteristik senyawa kompleks besi(III) trifluorometanasulfonat dengan ligan 1,10-fenantrolin.


(24)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Deskripsi Teori 1. Logam Transisi

Ciri logam transisi adalah memiliki subkulit d yang tidak terisi penuh atau

mudah menghasilkan ion-ion dengan subkulit d yang tidak terisi penuh. Ciri ini

menyebabkan beberapa sifat khas, meliputi warna yang unik, pembentukan senyawa paramagnetik, aktivitas katalitik, dan kecenderungan untuk membentuk ion kompleks. Jika dilihat periode dari kiri ke kanan, nomor atom meningkat, elektron bertambah di kulit luar, muatan ini meningkat karena bertambahnya proton (Chang, 2005).

Logam-logam transisi mempunyai struktur kemas rapat (closest pack), artinya

setiap atom mengalami persinggungan yang maksimal dengan atom-atom lain yaitu sebanyak dua belas atom tetangganya. Akibat dari struktur kemas rapat dan kecilnya ukuran atomik adalah bahwa logam-logam transisi membentuk ikatan logam yang kuat antara atom-atomnya sehingga logam-logam ini dapat ditempa dan kuat. Ion-ion logam transisi lebih kecil ukurannya dibandingkan dengan ion-ion logam kelompok s dalam periode yang sama. Hal ini menghasilkan rasio muatan

per jari-jari yang lebih besar bagi logam-logam transisi sebagai berikut (Sugiyarto dan Retno, 2012).

a. Oksida-oksida dan hidroksida logam-logam transisi (M2+ , M3+) kurang


(25)

b. Garam-garam logam transisi kurang bersifat ionik dan juga kurang stabil terhadap pemanasan.

c. Garam-garam dan ion-ion logam transisi dalam air lebih mudah terhidrat dan juga lebih mudah terhidrolisis menghasilkan sifat agak asam.

d. Ion-ion logam transisi lebih mudah tereduksi

2. Besi

Besi (Fe) dalam sistem periodik unsur termasuk logam transisi golongan VIIIB dengan nomor atom 26, berat relatif 55,847 g/mol, konfigurasi elektron [Ar] 3d6

4s2, titik didih 2735 oC, titik leleh 1535 oC, densitas 7,783 g/cm3, elektronegatifitas

1,7, energi ionisasi 768 kJ/mol,, bewarna keperakan dan dapat ditempa (Patnaik, 2003).

Besi merupakan salah satu ion logam transisi trivalensi deret pertama yang cukup labil, sehingga dapat membentuk berbagai macam streokimia pada senyawa kompleksnya. Senyawa kompleks Fe(III) umumnya membentuk struktur oktahedral dengan bilangan koordinasi enam. Namun struktur lain seperti tetrahedral dengan bilangan koordinasi empat dan segiempat piramida dengan bilangan koordinasi lima juga dapat terjadi (Cotton dan Wilkinson, 1989). Konfigurasi Fe dan Fe3+ ditunjukkan pada Gambar 1.

Fe : [

18Ar] ↑↓ ↑ ↑ ↑ ↑ ↑↓ ... ... ... ... ...

3d6 4s2 4p 4d

Fe3+ : [

18Ar] ↑ ↑ ↑ ↑ ↑ ... ... ... ... ... ...

3d5 4s 4p 4d


(26)

3. Ligan

Ligan adalah suatu ion atau molekul yang memiliki sepasang elektron atau lebih yang dapat disumbangkan. Ligan merupakan basa Lewis yang dapat terkoordinasi pada ion logam atau sebagai asam Lewis membentuk senyawa kompleks. Ligan dapat berupa anion atau molekul netral (Saragih, 2011). Sebagian besar ligan adalah zat netral atau anionik tetapi kation, seperti kation tropilium juga dikenal. Ligan netral, seperti amonia, NH3, atau karbon monoksida, CO, dalam

keadaan bebas pun merupakan molekul yang stabil, sementara ligan anionik, seperti Cl- atau C

5H5-, distabilkan hanya jika dikoordinasikan ke atom logam pusat..

Jumlah atom yang diikat pada atom pusat disebut dengan bilangan koordinasi (Saito, 1996).

Urutan relatif kekuatan ligan adalah I- < Br- < S2- < SCN- < Cl- < NO

3- < F- < OH- < O

x2- < H2O < NCS- < NH3 < en < bipy < phen < NO2- < CN- < CO. Urutan ligan-ligan berdasarkan kekuatannya disebut deret spektrokimia (spectrochemical series) atau deret Fajans-Tsuchida (Effendy, 2007). Ligan dengan satu atom donor

elektron disebut ligan monodentat, dan yang memiliki lebih dari satu atom donor elektron disebut ligan polidentat, juga disebut ligan khelat (Saito, 1996). Fenantrolin adalah ligan chelat karena dapat membentuk senyawa kompleks

dengan struktur lingkar (Considine dan Considine, 1994) dan merupakan ligan khelat yang sangat kuat untuk macam-macam ion logam (Marquerite, Bruno, dan Bernard., 1998). Ligan 1,10-fenantrolin dapat membentuk kompleks dengan berbagai atom logam dalam tingkat oksidasi formal yang rendah (Cotton dan Wilkinson, 1989). Struktur ligan 1,10-fenantrolin dapat dilihat pada Gambar 2.


(27)

N

N

Gambar 2. Struktur 1,10-Fenantrolin

Karakteristik ligan 1,10-fenantrolin berfase kristal berwarna putih, mempunyai titik leleh antara 98oC 100oC, berat molekul 198,23 g/mol dan sering dijumpai

dalam bentuk monohidratnya, dengan rumus molekul C12H8N2.H2O. Ligan

1,10-fenantrolin larut dalam benzena, alkohol, aseton dan kloroform (Ueno, Imamura, dan Cheng., 1992).

4. Anion Trifluorometanasulfonat

Anion merupakan senyawa ion yang mempunyai muatan negatif atau bisa disebut dengan ion negatif. Berdasarkan jumlah atom unsur penyusunnya anion dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu anion monoatomik dan anion poliatomik. Anion monoatomik adalah anion yang terbentuk dari satu unsur saja, misalnya anion Cl-, Br-, F- dan lain-lain. Anion poliatomik adalah anion yang terbentuk dari

beberapa unsur atau atom, misalnya anion BF4-, SO42-, CF3SO3- dan lain-lain

Anion trifluorometanasulfonat (CF3SO3-), dalam kimia anorganik merupakan

anion koordinasi lemah yang tidak memiliki sifat redoks berbahaya daripada perklorat dan lebih tahan terhadap hidrolisis daripada BF4-. Spektra vibrasi anion

poliatomik, termasuk anion triflourometanasulfonat (triflat), telah digunakan untuk identifikasi mode koordinasi anion pada kompleks logam transisi, untuk


(28)

menyelidiki interaksi kation-anion dalam elektrolit dan untuk menentukan sejauh mana disosiasi asam yang sesuai (Jhonston dan Duward, 1993).

5. Senyawa Kompleks

Senyawa kompleks merupakan senyawa yang tersusun dari suatu ion logam pusat dengan satu atau lebih ligan yang menyumbangkan pasangan elektron bebasnya kepada ion logam pusat. Donasi pasangan elektron ligan kepada ion logam pusat menghasilkan ikatan kovalen koordinasi sehingga senyawa kovalen juga disebut senyawa koordinasi (Cotton dan Wilkinson, 1989).

Senyawa kompleks banyak ditemui bersifat paramagnetik yaitu tertarik oleh medan magnet, selain itu banyak pula yang bersifat diamagnetik yaitu tertolak oleh medan magnet. Sifat paramagnetik suatu senyawa disebabkan oleh adanya elektron tak-berpasangan (unpaired electron) dalam konfigurasi elektronik spesies yang

bersangkutan (Sugiarto dan Retno, 2012).

Sintesis senyawa kompleks dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai cara antara lain dengan pencampuran larutan pada berbagai perbandingan mol logam : mol ligan dalam berbagai pelarut tanpa pemanasan atau pencampuran larutan disertai pemanasan pada berbagai temperatur (Sariyanto, 2010).

Senyawa kompleks telah banyak dipelajari dan diteliti melalui suatu tahapan-tahapan reaksi (mekanisme reaksi) dengan menggunakan ion-ion logam serta ligan yang berbeda-beda. Ligan memiliki kemampuan sebagai donor pasangan elektron sehingga dapat dibedakan atas ligan monodentat, bidentat, tridentat dan polidentat. Senyawa logam transisi deret pertama dalam bilangan oksidasi tinggi adalah


(29)

oksidator kuat dan oleh karena itu mudah direduksi (Saito, 1996). Reaksi Substitusi ligan kompleks dapat dituliskan sebagai berikut.

LnMX + Y  LnMY + X

Kompleks Fe(III) dengan menggunakan ligan 1,10-fenantrolin dan anion NO3

-membentuk struktur senyawa [Fe(phen)3](NO3)3.H2O dan menghasilkan geometri

oktahedral seperti pada Gambar 3(Odoko dan Okabe, 2004).

Gambar 3. Struktur Senyawa [Fe(phen)3](NO3)3.H2O

6. Teori Ikatan Dalam Senyawa Kompleks

Teori ikatan dalam senyawa kompleks ada 3 yaitu teori ikatan valensi, teori medan kristal, dan teori orbital molekular.

a. Teori Ikatan Valensi

Berdasarkan teori ini, pembentukan senyawa kompleks melibatkan reaksi antara asam Lewis (atom pusat) dengan basa-basa Lewis (ligan-ligan) melalui ikatan kovalen koordinasi (Effendy, 2007). Menurut Pauling, ikatan kovalen terjadi karena adanya tumpang tindih antara orbital kosong logam


(30)

dengan orbital ligan yang berupa molekul atau ion yang mempunyai pasangan elektron bebas (Day dan Selbin, 1985). Dalam ikatannya dengan ligan-ligan, atom pusat menggunakan orbital-orbital hibrida yang diperoleh dari proses hibridisasi, yaitu proses pembentukan orbital-orbital hibrida dengan tingkat energi yang sama melalui kombinasi linear orbital-orbital atom dengan tingkat energi yang berbeda (Effendy, 2007).

Konfigurasi elektron besi adalah [Ar] 3d6 4s2, sedangkan konfigurasi

elektron besi(III) adalah [Ar] 3d5. Model hibridisasi kompleks besi(III)

dengan ligan CN- yang bersifat spin rendah ditunjukkan oleh Gambar 4.

Fe3+ : [

18Ar] ↑ ↑ ↑ ↑ ↑ ... ... ... ... ... ...

3d5 4s 4p 4d

[Fe(CN)6]3-: [18Ar] ↑↓↑↓↑ ↑↓↑↓↑↓↑↓↑↓↑↓

3d5 d2sp3

Gambar 4. Konfigurasi Elektronik Besi(III) dan Hibridisasi [Fe(CN)6]3-

Hibridisasi dapat diperkirakan dari bentuk geometri molekul atau senyawa hasil eksperimen. Geometri hasil hibridisasi beberapa orbital lain ditunjukkan oleh Tabel 1 (Sharpe, 1992). Teori ikatan valensi ini dapat menjelaskan struktur dan kemagnetan banyak senyawa kompleks, namun memiliki kelemahan yaitu tidak dapat menerangkan warna kompleks yang dihasilkan dan momen magnet yang berbeda pada temperatur yang bervariasi (Lee, 1994).


(31)

Tabel 1. Orbita Hibridisasi beberapa Konfigurasi Geometri (Sharpe, 1992). Bilangan

Koordinasi

Konfigurasi orbital

Bentuk geometri Ion kompleks

2 -sp Linier [Ag(NH3)2]+

3 sp2 Trigonal [HgI

3]

-4 sp3 Tetrahedral Ni(CO)

4

dsp2 Square planar [Ni(CN)

4]

2-5 sp3d Trigonal Bipiramida [CuCl

5]

3-d2sp2 Square pyramid [Ni(CN)5]

3-6 d2sp3, sp3d2 Oktahedral [Co(NH

3)6]3+

b. Teori Medan Kristal

Menurut teori ini, interaksi antara logam atau atom pusat dan ligan dalam kompleks adalah murni elektrostatik. Logam transisi sebagai atom pusat diasumsikan sebagai ion positif yang dikelilingi oleh ligan yang bermuatan negatif atau molekul netral yang mempunyai pasangan elektron bebas (Lee, 1994). Interaksi ini menimbulkan medan kristal dan menyebabkan naiknya tingkat energi semua orbital yang dimiliki oleh atom pusat, serta menyebabkan pemecahan orbital-orbital d dari atom pusat, tetapi tidak

menyebabkan pemecahan orbital-orbital p (Effendy, 2007).

Teori ini digunakan untuk menggambarkan adanya split atau pemecahan pada energi orbital d atom logam. Selain itu teori ini juga menggambarkan

tingkat energi elektronik yang menentukan spektrum ultraviolet dan visible (Miessler & Tarr, 1991). Orbital d ada lima macam yaitu dxy, dyz, dxz, � 2 2


(32)

Gambar 5. Lima Orbital d dan Susunannya dalam Ruang (Huheey dan

Keither,1993).

Orbital d (dxy, dyz, dxz, � 2 2dan � 2) logam bebasnya mempunyai

tingkat energi yang sama (degenerat) Gambar 5, akan tetapi ketika terbentuk kompeks mengalami pembelahan karena adanya medan ligan (Lee, 1994). Dalam senyawa kompleks, pasangan elektron atom-atom donor ligan diarahkan kepada atom pusat untuk membentuk ikatan kovalen koordinasi. Dengan demikian, ligan memberikan medan ligan diseputar atom pusat sehingga menghasilkan interaksi tolakan dengan elekron-elektron dx terluar

dari atom ini (Sugiyarto dan Retno, 2012).

1. Pemecahan Orbital d Kompleks Oktahedral

Satu ion sebagai pusat oktahedral dikelilingi oleh enam ligan yang terletak pada sumbu x, y, dan z yang ditunjukkan pada Gambar 6.

z

y

x


(33)

Orbital d akan mengalami kenaikan energi karena tolakan dari ligan.

Orbital 2 2dan � 2 yang berada pada sumbu oktahedral mengalami

tolakan lebih besar daripada orbital dxy, dyz, dxz, yang berada diantara

sumbu oktahedral. Hal ini mengakibatkan pemecahan (splitting) orbital d, dimana orbital � 2 2dan � 2 (orbital eg) mengalami kenaikan energi

sedangkan orbital dxy, dyz, dxz,(orbital t2g) mengalami penurunan energi

(Huheey et al., 1993). Perbedaan tingkat energi antara dua kelompok

orbital tersebut dinyatakan 10 Dq atau Δo yang juga menunjukkan

kekuatan medan kristal ditunjukkan pada Gambar 7.

ion logam dalam medan oktahedral

energi rata-rata ion logam dalam medan spherical

e

g

t

2g -0,4 o Δ

+0,6 o Δ

Δ

o

tingkat energi rata-rata

Gambar 7. Diagram Pemisahan Orbital d dalam Medan Oktahedral

(Lee, 1994).

Perbedaan energi antara orbital t2g dan eg adalah 10 Dq atau Δo.

Orbital eg mempunyai energi +0,6 Δo diatas tingkat energi rata-rata,

sedangkan orbital t2g mempunyai energi -0,4 Δo di bawah tingkat energi

rata-rata (Lee, 1994).Total energi stabilisasi medan kristal adalah: CFSE (Oktaheral) = -0,4 nt2g + 0,6 neg


(34)

dimana nt2g dan neg adalah jumlah elektron yang menempati masing-masing orbital t2g dan eg (Satake et al., 2001).

Pada kompleks Fe(III) pembelahan orbital d sangat bergantung pada kekuatan ligan yang terkoordinasi pada Fe(III). Apabila ligan yang digunakan adalah ligan lemah maka ligan akan menghasilkan pemecahan orbital d yang tidak terlalu besar. Jika keadaan ini terjadi, maka elektron-elektron berada dalam keadaan spin tinggi. Keadaan ini, menghasilkan peningkatan kestabilan total nol. Namun bila ligan yang digunakan adalah ligan kuat maka orbital d akan mengalami pembelahan yang cukup besar dan menyebabkan energinya mengalami peningkatan kestabilan total 20 Dq. Jika keadaan ini terjadi maka

elektron-elektron berada dalam keadaan spin rendah (Sukardjo, 1992).

2. Pemecahan Orbital d Kompleks Tetrahedral

Bila keempat ligan mendekati ion pusat secara tetrahedral, maka arah pendekatan ligan-ligan tersebut tidak searah, baik dengan kelompok orbital t2 maupun dengan orbital e. Arah pendekatan ligan

menuju ion pusat lebih dekat kepada orbital t2(dxy, dyz, dxz) dibanding

dengan orbital e (� 2 2dan � 2). Medan listrik yang terjadi pada

pembentukan kompleks tetrahedral menyebabkan pemecahan orbital pada ion pusat menjadi kelompok orbital t2(dxy, dyz, dxz) dengan energi

yang lebih tinggi dan kelompok orbital edengan tingkat energi yang


(35)

8, pada kompleks tetrahedral indeks g hilang karena tidak memiliki

pusat simetris.

z

y

x

Gambar 8. Posisi Ligan Tetrahedral dalam Koordinat Cartesius dengan Atom Logam di Pusat Koordinat dalam Medan Kubus (Saito, 1996).

Orbital t2 memiliki energi +2/5 Δt dan orbitale memiliki energi

-3/5 Δo dengan pemecahan ligan dinyatakan sebagai Δo. Karena jumlah ligannya hanya 4/6 = 2/3 dibandingkan jumlah ligan dalam kompleks oktahedral, dan tumpang tindih ligannya menjadi lebih kecil maka pemecahan ligan Δt sekitarseparuh Δo (Saito, 1996).

Pada umumnya elektron-elektron dengan konfigurasi elektronik dx

mulanya akan mengisi orbital dengan energi terendah. Tetapi, dalam medan ligan, kelima orbital d yang tak terdegenerat ada dua

kemungkinan penataan elektron. Pada medan ligan kuat elektron hanya akan berpasangan apabila rata-rata energi pemasangan elektron P (per

unit 10Dq) lebih kecil dibandingkan dengan energi pemecahan medan

ligannya (10Dq), sebaliknya pada medan ligan lemah elektron akan


(36)

paralel karena rata-rata energi pemasangan elektron P lebih besar

daripada energi pemecahan medan ligannya. Medan ligan Δt selalu ditemui spin tinggi karena keempat ligan tidak ada yang mengarah langsung pada orbital d atom pusat (Sugiyarto dan Retno, 2012).

c. Teori Orbital Molekular

Teori orbital molekular didasarkan pada asumsi bahwa pada pembentukan senyawa kompleks terjadi interaksi kombinasi linear antara orbital-orbital dari atom pusat dengan orbital-orbital dari ligan membentuk orbital molekular. Interaksi antara atom pusat dengan ligan-ligan merupakan gabungan dari interaksi elektrostatis (ionik) dan interaksi kovalen (Effendy, 2007).

Adanya senyawa kompleks stabil dimana atom logam dan ligannya tidak bermuatan memberikan bukti adanya sifat kovalen pada pembentukan kompleks. Sifat ikatan kovalen pada kompleks dapat dijelaskan dengan teori orbital molekular. Seperti halnya pembentukan orbital molekular pada molekul-molekul sederhana, pada kompleks juga terbentuk orbital molekular bonding dan orbital molekular anti bonding (Sharpe, 1991).

Pada kompleks oktahedral yang digunakan untuk membentuk orbital molekular adalah enam orbital logam (sebagai s, px, py, pz, � 2 2dan � 2) dan

enam orbital ligan (Sharpe, 1992). Orbital-orbital yang mempunyai energi sama atau hampir sama dapat mengadakan tumpang tindih membentuk orbital molekular bonding dan orbital molekular antibonding. Tiga orbital d logam t2g

(dxy, dxz, dyz) merupakan orbital nonbonding, yang tidak terlibat dalam


(37)

dan orbital molekular antibonding t1u*. Orbital � 2 2dan � 2 membentuk

orbital molekular bonding e1gdan orbital molekular antibonding e1g*. Orbital

s membentuk orbital molekular bonding a1gdan orbital molekular antibonding

a1g* (Huheey et al., 1993).

Pada kompleks tetrahedral orbital 2 2dan � 2 merupakan orbital

nonbonding yang tidak terlibat pada pembentukan ikatan. Empat orbital ligan

yang simetrinya sama dengan orbital logam akan bertumpang tindih. Setiap tumpang tindih orbital dapat membentuk orbital molekular bonding dan orbital

molekular nonbonding (Huheey et al., 1993).

B. Karakterisasi Senyawa Kompleks

Pada hasil sintesis senyawa kompleks penelitian ini dilakukan beberapa karakterisasi menggunakan instrumen Magnetic Susceptibility Balance(MSB),

Spektrofotometer UV-Vis, Spektrofotometer FTIR, Spektroskopi Serapan Atom (SSA), Konduktometer, dan X-ray difraction (XRD).

1. Magnetic Susceptibility Balance (MSB)

Sifat magnetik kompleks dibedakan menjadi dua yaitu sifat paramagnetik dan diamagnetik. Kompleks dengan medan ligan lemah menghasilkan pemisahan orbital d (Δ) yang tidak terlalu besar, sehingga setelah elektron

memenuhi orbital d energi rendah elektron berikutnya akan mengisi orbital d

energi tinggi, dan elektron cenderung tidak berpasangan. Keadaan ini dinamakan spin tinggi. Kompleks dengan medan ligan kuat menghasilkan


(38)

pemecahan orbital d yang cukup besar, sehingga elektron cenderung

berpasangan. Keadaan ini dinamakan spin rendah yang menimbulkan sifat magnetik (Lee, 1994).

Adanya elektron yang tidak berpasangan akan menyebabkan sifat paramagnetik pada senyawa kompleks. Spin elektron dari orbital d tersebut

menimbulkan momen magnet permanen yang bergerak searah dengan medan magnet luar dan menghasilkan nilai kerentanan magnet (Jolly, 1991).

Pada pengukuran dengan neraca kerentanan magnetik, diperoleh harga kerentanan magnetik per gram (Xg), hubungannya dengan kerentanan magnetik

molar (XM) ditunjukkan oleh persamaan (1) (Szafran, Pie, dan Singh., 1991).

Harga XM dikoreksi terhadap faktor diamagnetik (XL) dari ion logam dan ligan,

sehingga diperoleh harga kerentanan magnetik terkoreksi (XA), yang

ditunjukkan oleh persamaan (2).

XM = Xg x Berat Molekul (dalam g mol-1)...(1)

XA = XM - ΣXL ...(2)

Tabel 2. Faktor Koreksi Diamagnetik untuk Beberapa Kation, Anion, Atom Netral dan Molekul (10-6 cgs) (Huheey et al., 1993).

No. Kation/anion/atom netral/molekul Faktor koreksi (10-6

cgs)

1. Ni2+ -13,00

2. Fe3+ -13,00

3. Cl- -23,40

4. NO3- -18,90

5. C -6,00

6. H -2,93

7. N (dalam lingkar lima atau enam) -4,61

8. N (amida) -2,11

9. O (aldehid atau keton) -1,73


(39)

Hubungan antara μeff dengan kerentanan magnetik terkoreksi (XA)

ditunjukkan oleh persamaan (3) (Szafran, Pie, dan Singh., 1991).

μeff = 2,828 (XA x T)1/2 BM (Bohr Magneton) ...(3)

Keterangan :

μeff = momen magnet (BM)

T = suhu (K)

Momen magnet logam transisi merupakan paduan dari momen spin dan orbital, akan tetapi pada kebanyakan senyawa kompleks kontribusi orbital hampir dapat diabaikan sehingga momen magnet dapat dihitung berdasarkan momen magnet spin saja; rumus momen magnet yang ditimbulkan oleh spin (spin-only) ditunjukkan pada persamaan (4).

μs = 2[s(s+1)]1/2 BM (Bohr Magneton) ...(4)

Keterangan :

μs = momen magnet yang ditimbulkan oleh spin elektron

s = total spin elektron = ½ x jumlah elektron tidak berpasangan

Hubungan nilai momen magnet suatu senyawa dengan banyaknya elektron yang tidak berpasangan dinyatakan dalam persamaan (5) (Jolly, 1991).

μs = [n(n+2)]1/2BM (Bohr Magneton) ………...……….(5)

Keterangan :

μs = momen magnetik yang ditimbulkan oleh spin elektron

n = jumlah elektron yang tidak berpasangan

Ion Fe3+ mempunyai konfigurasi elektron d5 sehingga bersifat


(40)

dengan lima elektron yang tidak berpasangan adalah 5,92 BM sedang pada eksperimen berkisar pada 5,7 – 6,0 BM. Kompleks besi(III) spin rendah mempunyai momen magnetik sebesar 2,0 – 2,5 BM, angka ini lebih besar dibanding dengan hanya melibatkan spin elektron saja yaitu 1,73 BM (Huheey

et al., 1993).

2. Spektrofotometer UV-Vis

Spektrum elektronik ion logam transisi dan kompleks diamati pada daerah sinar tampak dan ultraviolet (UV-Vis). Spektrum akan timbul ada saat elektron berpromosi dari tingkat energi yang lebih rendah menuju tingkat energi di atasnya (Lee, 1994).

Pada umumnya senyawa kompleks logam transisi memiliki warna yang khas. Hal ini menunjukkan adanya absorpsi di daerah sinar tampak, dimana elektron akan dieksitasi oleh cahaya tampak dari tingkat energi orbital molekular kompleks berisi elektron ke tingkat energi yang kosong/belum terisi penuh. Energi yang diserap senyawa kompleks adalah khas antara senyawa satu dengan senyawa lainnya mengikuti persamaan (6) :

ΔE = h = hc/ ………..(6) Keterangan :

ΔE = energi (Joule)

h = tetapan Planck (6,626.10-34 Js)

= bilangan gelombang (m-1)

c = kecepatan cahaya (3.108 ms-1)


(41)

Warna senyawa kompleks dapat dideteksi dengan mengukur panjang gelombang yang diserap oleh senyawa kompleks menggunakan spektrofotometer UV-Vis (Yenita, 2012). Puncak-puncak serapan pada spektrum disebabkan oleh adanya berbagai transisi elektronik yang terjadi, yaitu transisi d-d atau transisi medan ligan yang panjang gelombang

absorpsinya bergantung sekali pada pembelahan medan ligan dan transfer muatan. Hal ini terjadi apabila satu dari dua orbital memiliki karakter utama logam dan orbital lain memiliki karakter ligan. Transisi transfer muatan diklasifikasikan atas transfer muatan logam ke ligan (metal (M) to ligand (L) charge-transfers (MLCT) dan Transfer Muatan dari Ligan ke Logam (LMCT)

(Saito, 1996).

Pada umumnya berbagai warna khas senyawa kompleks disebabkan oleh adanya transisi d-d yang mempunyai pita serapan di daerah tampak. Pada

transisi d-d elektron tereksitasi dari suatu orbital d ke orbital d yang lain,

misalnya dari orbital t2g ke orbital eg. Karena pemisahan energi d-d yang relatif

kecil maka intensitas transisi ini relatif rendah (Yenita, 2012).

3. Spektrofotometer FTIR

Spektroskopi inframerah merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk membedakan konfigurasi maupun konformasi molekul organik dan juga molekul kompleks yang mengandung ligan senyawa organik (Foulds, 1978). Serapan yang terjadi di daerah 3500-200 cm-1 terutama disebabkan oleh vibrasi


(42)

struktur dan ikatan dari penafsiran spektrum inframerah yaitu vibrasi logam-ligan terjadi antara 400-200 cm-1. Dari spektrum inframerah akan diperoleh

informasi tentang pergeseran frekuensi getaran yang diakibatkan oleh kompleksasi ligan, dan ada tidaknya pita-pita inframerah tertentu sering digunakan untuk mengetahui informasi struktural suatu senyawa (Day & Selbin, 1985).

Spektrum inframerah senyawa kompleks sudah banyak dipelajari. Banyak peneliti menganalisis puncak-puncak tertentu pada spektrum inframerah yang diduga berasal dari ikatan koordinasi ion pusat dengan ligan. Beberapa referensi menyatakan bahwa puncak 400-200 cm-1 berasal dari ikatan

koordinasi baik murni maupun tergabung dengan puncak ligan. Puncak serapan dari ikatan koordinasi ini mempunyai hubungan dengan kekuatan ikatan koordinasi sehingga diduga besar mempunyai hubungan dengan kestabilan termodinamika senyawa kompleks.

4. Spektroskopi Serapan Atom

AAS (Atomic Absorption Spectroscopy) atau sepektroskopi serapan atom

merupakan sebuah metode yang digunakan untuk megukur kadar atau unsur-unsur logam dalam suatu larutan yang akan diuji. Metode ini mempunyai prinsip kerja dengan penyerapan energi sinar oleh atom-atom netral dalam keadaan gas. Sebenarnya prinsip kerja AAS secara garis besar hampir sama dengan spetrofotometer UV-VIS, hanya saja dibedakan atas cara pengerjaan, cuplikan, peralatan dan bentuk spektrum atom. Untuk analisis kualitatif, AAS


(43)

mengukur kadar total suatu logam dalam satu cuplikan, tidak tergantung bentuk molekul logam dalam cuplikan (Susila, Suyanta, dan Siti., 2009). Hasil perhitungan dari karakterisasi menggunakan AAS akan memberikan kadar total dari unsur logam atau semi logam dari sampel yang kita teliti dan tidak tergantung dari bentuk molekul logam tersebut dalam sampel jumlah radiasi yang diserap tergantung pada jumlah atom-atom bebas yang terlihat dan kemampuan atom itu untuk menyerap radiasi. Perhitugan dalam karakterisasi dengan AAS adalah berdasarkan hukum Lambert-Beer yaitu:

A = ε.b.C ………...………. (7) Keterangan :

A = Absorbansi C = konsentrasi

b = tebal kuvet ε = koefisien absorpsi molar

5. Konduktometer

Konduktometri digunakan untuk mengetahui kemampuan senyawa kompleks dalam menghantarkan listrik. Konduktivitas senyawa kompleks diukur dengan menggunakan konduktometer yaitu dengan cara menetapkan hambatan suatu kolom cairan. Pengukuran konduktivitas listrik berbentuk konduktivitas sel yang terdiri atas sepasang elektroda dimana luas permukaannya telah ditetapkan dengan teliti. Daya hantar listrik larutan elektrolit dapat dinyatakan sebagai daya hantar listrik molar dan didefinisikan sebagai daya hantar yang ditimbulkan oleh mol zat sesuai dengan persamaan (8) (Atkins, 1990):

Ʌm = �


(44)

Keterangan :

Ʌm = daya hantar ekivalen (S.mol-1.cm2)

K= daya hantar listrik spesifik terkoreksi (μS.cm-1)

C = Konsentrasi elektrolit (mol.L-1)

Daya hantar molar suatu larutan bergantung pada konsentrasi, jumlah ion dan muatan ion dari senyawa elektrolit. Jumlah muatan atau jumlah ion dari spesies yang terbentuk ketika larutan kompleks dilarutkan dapat diketahui dengan membandingkan daya hantar molar kompleks tersebut dengan senyawa ionik sederhana yang telah diketahui jumlah dan perbandingan muatan ionnya (Lee, 1994).

Pengukuran konduktivitas listrik suatu larutan garam kompleks merupakan salah satu metode penting dalam mempelajari pasangan ion atau kumpulan ion. Pengukuran konduktivitas juga digunakan untuk memperkirakan energi bebas hidrasi beberapa larutan elektrolit dan mempelajari sifat alami interaksi antara zat yang terlarut dengan pelarut (El-Hammany et al., 2010).

6. X-Ray Diffraction (XRD)

X-ray diffraction (XRD) merupakan suatu teknik pengujian yang

digunakan untuk menentukan struktur kristal, parameter kisi dan volume kisi. Bila seberkas sinar-X mengenai suatu bahan kristalin, berkas ini akan didifraksi oleh bidang atom dalam kristal tersebut. Berkas sudut difraksi (θ) tergantung pada panjang gelombang ( ) berkas sinar-X dan jarak (d) antar bidang


(45)

Sudut antara berkas sinar yang didifraksikan dengan sinar ditransmisikan itu besarnya selalu 2θ ν 2θ inilah yang terukur oleh alat eksperimen difraksi sinar-X dan dikenal sebagai sudut difraksi. Pola difraksi sinar-X yang terjadi akan mengikuti hukum Bragg dengan persamaan (9) :

2d sinθ = n ……….……….. (λ)

Difraksi akan terjadi apabila hukum Bragg tersebut terpenuhi. Difraktometer yang dijalankan pada suatu rentang sudut tertentu akan menghasilkan sederet puncak-puncak intensitas difraksi. Setiap puncak intensitas difraksi untuk setiap sudut difraksi, mewakili bidang-bidang kisi kristal yang mendifraksikan sinar-X (Subagja, 2011). Pada metode Le Bail, intensitas dari berbagai macam pemantulan sinar dihitung dengan menggunakan suatu model acuan struktur yang sesuai. Dalam metode Le Bail dilakukan pergeseran nilai-nilai parameter kisi sehingga dihasilkan kemiripan struktur yang maksimal antara hasil difraksi sinar-X yang dihasilkan dengan acuan yang digunakan (Rusli, 2011).

C. Penelitian yang Relevan

Penelitian sintesis kompleks besi(III) dalam ligan 1,10-fenantrolin dan berbagai anion telah banyak dilakukan sebelumnya. Penelitian tentang sintesis dan karakterisasi senyawa kompleks yang akan dilakukan memiliki kerelevann dengan penelitian sebelumnya.

Odoko dan Okabe (2004) telah berhasil mensintesis senyawa kompleks [Fe(phen)3](NO3)3.3H2O. Senyawa kompleks ini kemudian dikarakterisasi


(46)

menggunakan XRD kristal tunggal sehingga dapat diketahui bahwa kompleks dengan logam pusat Fe(III) ini memiliki geometri oktahedral, dimana atom pusat Fe dikoordinasikan oleh enam N atom dari tiga ligan fenantrolin. Struktur kristal senyawa kompleks ini adalah monoklinik, C2/c dengan nilai a=10.769 (8)Å , b=24.58 (2)Å , c=13.274 (12) Å dan β = 103.00 (3) ͦ .

Prasad Kulkani et al, (1988) juga telah berhasil mensintesis senyawa kompleks

[Fe(phen)]Cl3.H2O yang juga dikarakterisasi menggunakan instrument XRD kristal

tunggal sehingga dapat diketahui space group dari kompleks ini yaitu P1. Dengan

nilai a=10.224 (4)Å , b=10.603 (3)Å , c=6.628 (2) Å, α= 10.070 (2) ͦ , β = 10.817

(2) ͦ , = λ.206 (2).

D. Kerangka Berpikir

Sintesis senyawa kompleks besi(III) dengan ligan khelat dan berbagai anion telah banyak dilakukan. Senyawa kompleks terbentuk jika terjadi ikatan kovalen koordinasi, ligan sebagai donor elektron dengan ion logam sebagai aseptor elektron. Pada penelitian ini ligan fenantrolin direaksikan dengan besi(III) dan anion

potassium trifloromethanesulfonate agar terbentuk senyawa kompleks yang

kemudian dikarakterisasi untuk mengetahui struktur dan berbagai sifatnya.

Ligan 1,10-fenantrolin merupakan ligan bidentat dengan dua atom donor N yang terikat pada cincin aromatis. Atom donor tersebut memiliki pasangan elektron bebas. Melalui atom-atom donor tersebut, suatu ligan mengadakan ikatan kovalen koordinasi dengan atom pusat pada senyawa kompleks. Cicin aromatis yang dimiliki ligan dapat meningkatkan kestabilan senyawa kompleks yang dibentuk.


(47)

Kestabilan dapat tercapai karena cincin aromatis memiliki orbital-orbital п yang mampu menerima elektron dari ion pusat.

Identifikasi spektrum elektronik dapat dikaitkan dengan energi pembelahan d

(10 Dq) yaitu terjadinya transisi elektronik dari keadaan dasar (ground state) ke keadaan tereksitasi (excited state). Identifikasi spektrum inframerah memberikan informasi adanya vibrasi antara atom pusat dengan ligan dan atom-atom dalam ligan. Identifikasi konduktivitas dapat memberikan informasi mengenai besarnya daya hantar listrik dan membuktikan bahwa senyawa tersebut bersifat ionik. Untuk mengetahui momen magnetik senyawa kompleks digunakan MSB (Magnetic Susceptibility Balance). Karakterisasi dengan AAS berfungsi untuk mengetahui

kadar unsur-unsur senyawa kompleks yang selanjutnya digunakan dalam meramalkan formulasi senyawa kompleks hasil sintesis. Karakterisasi X-ray diffraction (XRD) dapat digunakan untuk menentukan struktur kristal, parameter kisi dan volume kisi senyawa kompleks Fe(III).


(48)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Subjek dan Objek Penelitian 1. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah senyawa kompleks [Fe(phen)x](CF3SO3)y.nH2O.

2. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah formula senyawa kompleks, spektrum inframerah, daya hantar listrik, sifat magnetik, struktur kristal, dan spektrum elektronik.

B. Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat penelitian

Alat-alat yang digunakan:

a. Spektrofotometer FTIR Shimadzu Prestige 21 (400 – 4000 cm-1)

b. Spektrofotometer UV-Vis Pharmaspec UV 1700 (200-800 nm) c. Spektrofotometer UV-Vis Shimadzu 2400 PC Series (300-1100 nm) d. Konduktometer HI 8733

e. Magnetic Susceptibility Balance 10169

f. X-ray diffraction spectrometer Rigaku Miniflex Benchtop 2θ (2-900)

g. Spektrofotometer serapan atom Shimadzu AA-6650 h. Magnetic strirrer with hot plate


(49)

j. Pipet tetes k. Kaca masir l. Desikator m. Labu Ukur n. Neraca analitik o. Spatula

p. Kaca arloji q. Erlenmeyer

r. Gelas ukur s. Beaker glass

t. Corong

2. Bahan-Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. FeCl3.6H2O (p.a, Sigma Aldrich)

b. 1,10-Fenantrolin (p.a, Merck) c. KCF3SO3 (p.a, Sigma Aldrich)

d. Etanol e. Aquades f. KCl g. NH4Cl

h. AlCl3


(50)

C. Prosedur Penelitian

1. Sintesis Senyawa Kompleks Fe(III) dengan Ligan Fenantrolin dan Anion

Triflate

Sebanyak 0,274 gram FeCl3.6H2O dilarutkan ke dalam 10 ml akuades dalam

erlenmeyer, kemudian ditambahkan 1,10-fenantrolin sebanyak 0,541 gram yang telah dilarutkan dalam 10 ml etanol. Campuran tersebut kemudian diaduk hingga homogen selama 30 menit dengan ditutup menggunakan aluminium foil. Setelah

homogen, ke dalam campuran tersebut ditambahkan KCF3SO3berlebih sebanyak 1,129 gram yang telah dilarutkan dalam 10 ml akuades. Campuran tersebut lalu diuapkan serta diaduk dengan magnetic stirrer selama ± 3 jam hingga terbentuk

endapan pada pengurangan volum larutan sekitar separuh dari volume semula. Larutan didiamkan selama 24 jam dengan ditutup aluminium foil, kemudian

endapan disaring dengan corong buchner dan dicuci dengan akuades dingin. Selanjutnya endapan dikeringkan dalam desikator. Percobaan dilakukan dengan perulangan sebanyak 3 sampel dengan prosedur yang sama. Padatan kering hasil sintesis kemudian dikarakterisasi.

2. Karakterisasi Senyawa Kompleks a. AAS (Atomic Absorption Spectroscopy)

Kadar logam besi(III) dalam senyawa kompleks diukur menggunakan instrumen AAS. Kadar besi(III) hasil pengukuran kemudian digunakan untuk menentukan formulasi dari senyawa kompleks. Penentuan formulasi senyawa kompleks dilakukan dengan cara membandingkan dengan kadar besi(III) secara


(51)

teoritis dari berbagai bentuk formulasi senyawa kompleks yang kemungkinan dapat terbentuk.

b. Spektrofotometer FTIR

Pengukuran spektrum inframerah dilakukan menggunakan instrumen Spektrofotometer FTIR. Sampel di scaning pada daerah panjang gelombang

300-4000 cm-1 dengan Spektrofotometer FTIR Shimadzu Prestige 21.

c. Konduktometer

Pengukuran konduktivitas dilakukan dengan instrumen Konduktometer. Pengukuran daya hantar ekivalen dilakukan dengan menggunakan larutan standar KCl 1 M pada suhu 25o C. Sebanyak 0,012 gram senyawa kompleks dilarutkan

dalam 10 akuades dan diencerkan hingga konsentrasi 0,001 M, kemudian diukur daya hantar molarnya beserta larutan senyawa pembanding. Dari hasil pengukuran konduktivitas larutan kompleks dibandingkan dengan larutan pembanding yang telah diketahui jumlah ion dan muatan ionnya dapat diketahui jumlah perbandingan ion kompleks ketika dilarutkan dalam akuades.

d. Magnetic Susceptibility Balance (MSB)

Momen magnetik sampel diukur dengan menggunakan timbangan magnetik model Gouy atau Magnetic Susceptibility Balance Auto Sherwood Scientific 10169

(MSB). Sampel senyawa kompleks padat dimasukkan ke dalam tabung Guoy 15 mm, sehingga diperoleh harga kerentanan magnetik per gram (χg). Harga (χg)


(52)

kemudian diubah menjadi kerentanan magnetik molar (χM) dan dikoreksi dengan

factor diamagnetik (χL) sehingga didapatkan nilai kerentanan magnetic terkoreksi

(χA). Nilai momen magnetik efektifnya dihitung melalui harga (χA).

e. X-Ray Diffraction (XRD)

0,2 gram sampel ditempatkan dengan merata dan termanpatkan secara baik di tempat sampel kemudian diletakkan pada sampel holder dalam alat difraktometer

sinar-X. Sampel disinari dengan sinar-X. Selama penyinaran sampel dirotasi dengan kecepatan 60 rpm. Data difraksi sinar-X sampel diambil pada rentang sudut difraksi 20- 90 0 dengan interval 0,04°/step dan waktu tiap step kira-kira 4 detik.

Difraktogram yang diperoleh berupa grafik intensitas versus sudut difraksi (2θ).

f. Spektrofotometer UV-Vis (Larutan)

Perekaman spektrum elektronik larutan menggunakan instrumen Spektrofotometer UV-Vis Shimadzu 2400 PC Series pada panjang gelombang 300-1100 nm. Serbuk kering senyawa kompleks sebanyak 0,012 gram dilarutkan dalam 10 ml etanol serta digunakan larutan pembanding dari prekusor FeCl3.6H2O

sebanyak 0,027 gram dalam etanol 10 ml, dan kemudian direkam spektrum elektronik dari masing-masing larutan kompleks.

g. Spektrofotometer UV-Vis (Padat)

Perekaman spektrum elektronik padat menggunakan instrumen Spektrofotometer UV-Vis Pharmaspec UV 1700 pada panjang gelombang 200-800


(53)

nm. Pengukuran spektrum elektronik ini menggunakan metode lapis tipis menggunakan kaca persegi berukuran 2x2 cm. Serbuk senyawa kompleks kemudian direkatkan dengan pelarut etanol, dan direkam spektrum elektroniknya.

D. Teknik Analisis Data

Data hasil dari penelitian ini diolah secara deskripsi non statistik. Terbentuknya kompleks besi(III) dengan ligan fenantrolin dan anion CF3SO3¯mampu ditandai jika terjadi perubahan warna dari zat yang terbentuk. Formulasi senyawa kompleks diperkirakan dari hasil analisis AAS yaitu kadar Fe dan hasil eksperimen yang kemudian dibandingkan dengan yang presentasenya mendekati perhitungan secara teoritis. Hasil pengukuran daya hantar listrik menunjukkan jumlah ion dari senyawa kompleks hasil sintesis. Sifat magnetik senyawa kompleks diketahui dengan mengukur nilai momen magnet dengan menggunakan instrumen MSB. Adanya gugus fungsi dalam senyawa kompleks akan teramati dari hasil spektrum FTIR, dan struktur senyawa kompleks yang terbentuk dapat ditentukan dari hasil pengukuran menggunakan XRD, dari difragtogram dengan metode Le Bail untuk program Rietica.


(54)

E. Diagram Alir

Berikut adalah diagram alir cara sintesis dan karakterisasi senyawa kompleks [Fe(phen)3(CF3SO3)3.5H2O

Gambar 9. Diagram Alir Cara Sintesis dan Karakterisasi Senyawa Kompleks 0,274 g (1 mmol)

FeCl3.6H2O dalam 10

mL akuades

0,541 g (3 mmol) C12H8N2 dalam 10 mL

etanol

1,29 g (6 mmol) KCF3SO3 dalam 10 mL

akuades

Spektrofotometer UV-Vis larutan

Spektrofotometer UV-Vis padat

Spektrofotometer FTIR

XRD

AAS MSB Konduktometer

Endapan senyawa kompleks Didiamkan selama 18 jam

Disaring

Dicuci dengan akuades dingin

Dikeringkan

Dikarakterisasi

Diaduk disertai pemansasan selama 2,5 jam

Diaduk hingga homogen tanpa pemanasan selama 30 menit


(55)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Sintesis Senyawa Kompleks Besi(III) dengan Ligan 1,10-Fenantrolin dan Anion Trifluorometanasulfonat

Pada penelitian ini senyawa kompleks yang digunakan adalah besi(III) triklorida heksahidrat yang berbentuk kristal berwarna orange yang mempunyai kelarutan yang tinggi dalam air, sehingga dalam air cenderung membentuk kation kompleks berkoordinasi enam yakni [Fe(H2O)6]3+. Ligan 1,10-fenantrolin

merupakan senyawa organik berbentuk serbuk berwarna putih yang larut dalam pelarut organik. Etanol dipilih selain dapat melarutkan ligan 1,10-fenantrolin juga karena mudah bercampur dengan akuades yang digunakan sebagai pelarut prekusor FeCl3.6H2O. Anion trifloromethanesulfonate atau triflate (CF3SO3-) yang

digunakan pada penelitian ini yaitu garam potassium triflate (KCF3SO3) berupa

serbuk berwarna putih dan dapat larut dalam akuades sehingga digunakan akuades sebagai pelarutnya.

Preparasi senyawa kompleks diawali dengan melarutkan besi(III) triklorida heksahidrat dengan pelarut akuades kemudian ditambahan ligan 1,10-fenantrolin yang telah dilarutkan dalam etanol, selanjutnya dilakukan pengadukan hingga homogen. Tahap pencampuran dilakukan pada suhu kamar. Pada penelitian ini menggunakan pelarut etanol yang memiliki sifat polar sebagai pelarut ligan. Ketika ke dalam ion kompleks [Fe(H2O)6]3+ ditambahkan ligan 1,10-fenantrolin yang telah

dilarutkan dalam pelarut etanol maka akan terjadi pendesakan ligan H2O pada

kompleks [Fe(H2O)6]3+ oleh ligan 1,10-fenantrolin sehingga terbentuk kation


(56)

[Fe(H2O)6]3+(aq) + 3 phen(aq) [Fe(phen)n]3+(aq) + H2O(l)

Pendesakan ini terjadi dalam temperatur ruang dan berlangsung ditandai dengan reaksi eksoterm serta perubahan warna menjadi coklat kehitaman, yang dapat diamati pada Gambar 10. Pendesakan ini terjadi karena ligan 1,10-fenantrolin memungkinkan terjadi pembentukan kompleks kelat dengan atom pusat besi(III) sehingga kompleks lebih stabil.

Gambar 10. Larutan FeCl3.6H2O a). Sebelum Penambahan Ligan 1,10 –

Fenantrolin dan b). Sesudah Penambahan Ligan 1,10 –Fenantrolin. Tahap preparasi senyawa kompleks selanjutnya adalah dengan menambahkan anion dari serbuk potasium trifluorometanasulfonat (KCF3SO3)

berwarna putih. Anion trifluorometanasulfonat (CF3SO3-) atau dikenal triflat

mudah larut dalam pelarut akuades. Penambahan anion triflat berlebih ke dalam kation kompleks [Fe(phen)n]3+ akan terjadi perubahan pada larutan kompleks

menjadi lebih pekat dan sedikit membentuk endapan kompleks berwarna coklat. Selanjutnya larutan diuapkan sekitar 2 jam untuk mengurangi jumlah pelarut dalam


(57)

dapat terkumpul. Endapan kompleks kemudian disaring dengan corong buchner dan dicuci dengan akuades dingin beberapa kali untuk menghilangkan garam KCl yang kemungkinkan ikut terbentuk saat reaksi kompleks terjadi. Endapan kompleks yang telah dicuci selanjutnya dikeringkan dalam desikator pada suhu kamar untuk mengurangi kadar air dalam padatan. Endapan kompleks hasil sintesis yang telah kering dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Padatan Kompleks [Fe(phen)x](CF3SO3)y. nH2O

Sintesis senyawa kompleks dilakukan dengan perulangan sebanyak tiga kali. Hasil sintesis senyawa kompleks dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Data Preparasi Sampel [Fe(phen)x]3+ (CF3SO3-)y. nH2O.

Sampel Berat Hasil Randemen Warna Bentuk

Sampel 1 0,564 54,075% Coklat Serbuk kasar

Sampel 2 0,548 52,540% Coklat Serbuk kasar

Sampel 3 0,588 56,375% Coklat Serbuk kasar

Reaksi yang terjadi pada sintesis kompleks besi(III) dengan ligan 1,10-fenantrolin dan anion trifluorometanasulfonat diperkirakan sebagai berikut:


(58)

B. Penentuan Formula Senyawa Kompleks 1. Pengukuran Kadar Besi

Pengukuran kadar besi dalam kompleks [Fe(phen)x](CF3SO3)y.nH2O

dilakukan dengan AAS (Atomic Absorption Spectroscopy). Penentuan formula

senyawa kompleks dilakukan dengan membandingkan kadar besi secara teoritis terhadap kadar besi senyawa kompleks hasil sintesis pada sampel 2. Pengukuran kadar besi dalam sampel diperoleh sebesar 4,9131 %. Dari nilai kadar besi secara pengukuran dibandingkan kadar besi dari perhitungan teoritis yang mendekati maka dapat diketahui formula senyawa kompleks yakni [Fe(phen)3](CF3SO3)3.5H2O.

Dengan demikian diperkirakan dalam struktur senyawa kompleks yang dihasilkan terdapat 3 ligan 1,10-fenantrolin terikat dengan atom pusat Fe seperti yang terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Penentuan Formula Senyawa Kompleks terhadap Kadar Teoritis.

No. Formula

Berat molekul Senyawa kompleks Kadar % Fe teoritis Kadar % Fe dalam sampel 1. [Fe(phen)3](CF3SO3)3 1043,69 5,351

4,913 2. [Fe(phen)3](CF3SO3)3.2H2O 1079,73 5,172

3. [Fe(phen)3](CF3SO3)3.4H2O 1115,77 5,005

4. [Fe(phen)3](CF3SO3)3.5H2O 1133,79 4,926

5. [Fe(phen)3](CF3SO3)3.6H2O 1151,81 4,848

2. Konduktivitas

Daya hantar listrik larutan standar KCl 1M dan akuades diukur untuk standarisasi alat (konduktometer). Pengukuran daya hantar listrik senyawa kompleks Fe(III) dilakukan dengan melarutkan sebanyak 0,011 gram padatan


(59)

0,001 M. Larutan kompleks Fe(III) diukur dengan pengulangan sebanyak 3 kali. Selain itu diukur juga nilai konduktivitas larutan NH4Cl 0,1 M, CaCl2 0,1 M dan

AlCl3 0,1 M yang telah diketahui jumlah dan muatan ionnya sebagai pembanding.

Hasil pengukuran konduktivitas ditunjukkan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Daya Hantar Listrik Larutan Pembanding dan Larutan Sampel Kompleks dalam Akuades. Senyawa kompleks Perbandingan jumlah muatan (Kation : Anion) Daya hantar ekivalen (Ω-1Cm2mol-1)

Jumlah ion per molekul

NH4Cl 1 : 1 65,20 2

CaCl2 2 : 1 122,14 3

AlCl3 3 : 1 195,51 4

FeCl3 3 : 1 177,7 4

[Fe(phen)3](CF3SO3)3.5H2O 3 : 1 216,6 4

Tabel 5 menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah ion yang dihasilkan dari senyawa standar dalam larutan maka daya hantar ekivalennya semakin besar. Daya hantar ekivalen kompleks dalam akuades sebesar 216,6 Ω-1 Cm2 mol-1. Kemudian

dengan membandingkan daya hantar ekivalen larutan senyawa kompleks dengan larutan senyawa standar dapat ditentukan jumlah ion dan jumlah muatan larutan senyawa kompleks hasil sintesis untuk tiap molekulnya. Nilai ini mendekati daya hantar ekivalen dari senyawa AlCl3 yang mempunyai jumlah ion 4. Dengan

demikian senyawa kompleks [Fe(phen)3](CF3SO3)3.5H2O dalam pelarut air terion

dengan perbandingan muatan kation dan anion adalah 3 : 1. Senyawa kompleks ini dalam pelarut air akan terion dengan persamaan reaksi sebagai berikut.

[ Fe(phen)3](CF3SO3)3·5H2O(s) [Fe(phen)3]3+ (aq) + 3 CF3SO3- (aq) + 5H2O(l) Hal ini menunjukkan bahwa ketiga molekul CF3SO3- tidak terkoordinasi pada


(60)

1,10-fenantrolin terikat pada atom pusat Fe3+ sebagai ligan. Bentuk geometri

senyawa kompleks ini dimungkinkan oktahedral karena logam Fe3+ dapat

diperkirakan berikatan dengan 6 atom N dari 3 ligan 1,10-fenantrolin.

Hasil penelitian terdahulu senyawa kompleks Fe(III) dengan berbagai ligan menunjukkan beberapa hasil yang berbeda-beda. Hasil penelitian dengan kompleks Fe(III)-pirazinamida menunjukkan hasil yang bersesuaian dengan senyawa kompleks [Fe(phen)3](CF3SO3)3·5H2O , yang memiliki nilai daya hantar listrik

ekivalen sebesar 382,44 ± 4,13 S.cm2mol-1. Senyawa lain seperti KCl,

Co(NO3)2.H2O, dan CrCl3.6H2O digunakan sebagai pembanding mempunyai harga

daya hantar ekivalen masing-masing 100,83 ± 0,17 S.cm2mol-1 ; 138,23 ± 0,05

S.cm2mol-1 dan 259,73 ± 0,47 S.cm2mol-1. Hal tersebut mengindikasikan bahwa

kompleks tersebut adalah kompleks ionik dengan perbandingan muatan kation:anion sebesar 3:1 (Rus Maysyaroh, 2009).

Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh senyawa kompleks [Fe(III)-(8-hidroksikuinolin)3].2H2O yang memiliki harga daya hantar ekivalen sebesar 0

S.cm2mol-1. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kompleks tersebut bersifat non

elektrolit, yang berarti tidak ada anion bebas dalam kompleks dan ligan 8-hidroksikuinolin terkoordinasi langsung pada atom pusat dalam bentuk anion (Sugiarto, 2006).


(61)

C. Karakterisasi Senyawa Kompleks 1. Sifat Magnetik

Pengukuran momen magnetik menggunakan timbangan Gouy dilakukan pada ketiga sampel senyawa kompleks. Ketiga sampel kompleks yang diuji dianggap memiliki formula yang sama. Nilai momen magnetik efektif (μeff) dapat

ditunjukkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil Pengukuran Nilai Momen Magnetik Efektif (μeff) Senyawa

Kompleks pada suhu ruang. Senyawa Kompleks

[Fe(phen)3](CF3SO3)3 χg x 10

-6 (cgs) μ

eff

Sampel 1 1,437 2,273 BM

Sampel 2 1,311 2,203 BM

Sampel 3 1,155 2,105 BM

Berdasarkan data pada Tabel 6, didapatkan harga momen magnetik efektif senyawa kompleks [Fe(phen)3(CF3SO3)3.5H2Oyaitu sebesar 2,1 – 2,3 BM. Hal

tersebut menunjukkan bahwa senyawa kompleks [Fe(phen)3(CF3SO3)3.5H2O

bersifat paramagnetik dengan 1 elektron tidak berpasangan pada konfigurasi

elektronik ion pusat. Adanya satu elektron tak berpasangan pada ion pusat kompleks ini karena hanya terdapat 5 elektron pada orbital 3d sehingga

menghasilkan konfigurasi elektronik dengan satu elektron tidak berpasangan. Ion kompleks [Fe(phen)3]3+ ini dimungkinkan mengadopsi hibridisasi d2sp3

dengan bentuk geometri oktahedral. Menurut Sugiyarto (2012), harga momen magnetik efektif (μeff) Fe(III) dengan struktur oktahedral dengan keadaan spin

rendah (low spin) umumnya berada pada daerah 1,8-2,5 BM.

Harga momen magnetik efektif sebesar 2,1 – 2,3 BM ini lebih besar daripada harga momen magnetik teoritis untuk ion Fe3+ dengan satu elektron tak berpasangan


(1)

85 CYCLE NUMBER= 20

+---+ | Phase: 1 | +---+

PHASE SCALE FACTOR = 0.100000E-01 0.000000 0.000000 OVERALL TEMP. FACTOR = 0.000000 0.000000 0.000000

CELL PARAMETERS = 10.780632 0.000237 0.006917 24.555017 -0.001375 0.017276 13.280340 0.000456 0.009374 90.000008 0.000000 0.000000 103.113426 0.003159 0.035670 90.000008 0.000000 0.000000

RECIPROCAL CELL = 0.095 0.041 0.077 90.000 76.887 90.000

CELL VOLUME = 3423.877441 4.058335 SCALE * VOLUME = 34.238773 0.040583 MOLECULAR WEIGHT = 0.000

DENSITY = 0.000

NOTE: CHECK Z VALUE or N's- DENSITY NOT PHYSICAL ABSOLUTE PHASE VALUES:

INC = NEUTRONS ON SAMPLE/CM^2 ( in cm^-2) MASS = MASS OF PHASE IN BEAM (in g)

ls/R = RATIO OF DETECTOR HEIGHT TO SAMPLE-DETECTOR Then:

INC*MASS*ls/R = 0.000000

+---+ | Histogram: 1 | +---+

SCALE FACTOR = 1.0000 0.00000 0.00000 ZEROPOINT = 0.01011 -0.00042 0.01341 BACKGROUND PARAMETER B 0 = 302.136 0.357444 2.48648

BACKGROUND PARAMETER B 5 = 1068.59 -4.47380 40.3782

PREFERRED ORIENTATION = 1.00000 0.00000 0.00000 ABSORPTION R = 0.00000 0.00000 0.00000 ASYMMETRY PARAMETERS = 0.02000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000

HALFWIDTH PARAMETERS U = 0.010000 0.000000 0.000000

V = -0.005000 0.000000 0.000000

W = 0.020000 0.000000 0.000000

ANISOTROPIC GAUSSIAN BROADENING = 0.000100 0.000000 0.000000

PEAK SHAPE PARAMETER Gam0 = 0.200000 0.000000 0.000000 PEAK SHAPE PARAMETER Gam1 = 0.000000 0.000000 0.000000 PEAK SHAPE PARAMETER Gam2 = 0.000000 0.000000 0.000000 EXTINCTION PARAMETER = 0.000000 0.000000 0.000000


(2)

86

+---+

| Hist | Rp | Rwp | Rp(-b) | Rwp(-b)| Rexp |Durbin Unwght| Durbin Wght | N-P |

+---+

| 1 | 5.34 | 11.10 | 10.98 | 18.62 | 7.38 |*********** | 0.605 | 1743 |

+---+

| SUMYDIF | SUMYOBS | SUMYCALC | SUMWYOBSSQ | GOF | CONDITION |

+---+

| 0.3274E+05| 0.6126E+06| 0.6204E+06| 0.3201E+06| 0.2262E+01| 0.1870E+16 |

+---+

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

CYCLE NUMBER= 30

+---+ | Phase: 1 | +---+

PHASE SCALE FACTOR = 0.100000E-01 0.000000 0.000000 OVERALL TEMP. FACTOR = 0.000000 0.000000 0.000000

CELL PARAMETERS = 10.781855 0.000003 0.007197 24.532246 -0.003416 0.017883 13.286595 0.000833 0.009812 90.000008 0.000000 0.000000 103.151947 0.004837 0.037206 90.000008 0.000000 0.000000

RECIPROCAL CELL = 0.095 0.041 0.077 90.000 76.848 90.000

CELL VOLUME = 3422.165039 4.222269 SCALE * VOLUME = 34.221649 0.042223 MOLECULAR WEIGHT = 0.000

DENSITY = 0.000

NOTE: CHECK Z VALUE or N's- DENSITY NOT PHYSICAL ABSOLUTE PHASE VALUES:

INC = NEUTRONS ON SAMPLE/CM^2 ( in cm^-2) MASS = MASS OF PHASE IN BEAM (in g)

ls/R = RATIO OF DETECTOR HEIGHT TO SAMPLE-DETECTOR Then:

INC*MASS*ls/R = 0.000000

+---+ | Histogram: 1 | +---+


(3)

87

SCALE FACTOR = 1.0000 0.00000 0.00000 ZEROPOINT = 0.00171 -0.00134 0.01386 BACKGROUND PARAMETER B 0 = 305.294 0.287384 2.47575

BACKGROUND PARAMETER B 5 = 1028.82 -3.65274 40.2039

PREFERRED ORIENTATION = 1.00000 0.00000 0.00000 ABSORPTION R = 0.00000 0.00000 0.00000 ASYMMETRY PARAMETERS = 0.02000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000

HALFWIDTH PARAMETERS U = 0.010000 0.000000 0.000000

V = -0.005000 0.000000 0.000000

W = 0.020000 0.000000 0.000000

ANISOTROPIC GAUSSIAN BROADENING = 0.000100 0.000000 0.000000

PEAK SHAPE PARAMETER Gam0 = 0.200000 0.000000 0.000000 PEAK SHAPE PARAMETER Gam1 = 0.000000 0.000000 0.000000 PEAK SHAPE PARAMETER Gam2 = 0.000000 0.000000 0.000000 EXTINCTION PARAMETER = 0.000000 0.000000 0.000000

+---+

| Hist | Rp | Rwp | Rp(-b) | Rwp(-b)| Rexp |Durbin Unwght| Durbin Wght | N-P |

+---+

| 1 | 5.37 | 11.05 | 16.43 | 18.64 | 7.38 |*********** | 0.609 | 1743 |

+---+

| SUMYDIF | SUMYOBS | SUMYCALC | SUMWYOBSSQ | GOF | CONDITION |

+---+

| 0.3289E+05| 0.6126E+06| 0.6201E+06| 0.3201E+06| 0.2243E+01| 0.1806E+16 |

+---+

CORRELATION MATRIX=

1 2 3 4 5 6 7 1 100 0 1 -86 -85 -76 -37 2 0 100 -90 1 1 1 0 3 1 -90 100 0 0 0 0 4 -86 1 0 100 68 67 33 5 -85 1 0 68 100 53 38 6 -76 1 0 67 53 100 39 7 -37 0 0 33 38 39 100 AVERAGE INTENSITY DIFFERENCE FOR PATTERN,


(4)

88 GIVEN FOR BLOCKS OF 20 OBSERVATIONS.

1 -53.4 2 17.1 3 -3.3 4 29.3 5 77.5 6 12.0 7 15.7 8 -25.5 9 -14.5 10 -33.9

11 -17.4 12 -2.1 13 21.5 14 6.5 15 -3.6 16 10.6 17 9.3 18 -4.3 19 -0.9 20 18.5

21 23.2 22 -2.4 23 -6.3 24 -3.7 25 -5.3 26 -1.9 27 -7.7 28 1.3 29 -3.9 30 -1.0

31 -2.5 32 -3.6 33 -3.0 34 -4.2 35 -6.6 36 -6.3 37 -3.3 38 -2.5 39 -5.3 40 -3.8

41 -4.5 42 -5.0 43 -2.7 44 -3.6 45 -5.7 46 -4.1 47 -4.2 48 -5.6 49 -10.8 50 -6.8

51 -7.6 52 -8.6 53 -6.3 54 -7.2 55 -6.4 56 -5.2 57 -5.7 58 -6.9 59 -11.7 60 -7.3

61 -6.2 62 -9.4 63 -6.6 64 -7.7 65 -5.4 66 -8.2 67 -8.9 68 -8.4 69 -11.6 70 -7.7

71 -7.9 72 -10.6 73 -9.9 74 -5.3 75 -12.1 76 -9.6 77 -10.2 78 -9.8 79 -10.8 80 -13.3

81 -7.7 82 -11.1 83 -12.0 84 -11.0 85 -9.9 86 -9.8 87 -12.3 88 -8.1

NO. CODE H K L HW SHAPE POSN ICALC COBS DIFF ESD

1 1 1 1 -1 0.140 0.200 10.215 0. 0. -0.0 0.0

2 2 1 1 -1 0.140 0.200 10.240 0. 0. -0.0 0.0

3 1 1 1 1 0.140 0.200 12.525 30. 30. -0.2 0.4

4 2 1 1 1 0.140 0.200 12.556 125. 125. 0.2 1.5

5 1 0 0 2 0.140 0.200 13.677 310. 313. 3.2 3.7

6 2 0 0 2 0.140 0.200 13.711 12. 11. -0.1 0.1

7 1 1 3 0 0.140 0.200 13.713 42. 41. -0.5 0.5

8 2 1 3 0 0.140 0.200 13.747 73. 73. -0.0 0.9

9 1 0 4 0 0.140 0.200 14.428 214. 213. -0.8 2.5

10 2 0 4 0 0.140 0.200 14.464 31. 31. -0.2 0.4

11 1 1 3 -1 0.140 0.200 14.447 62. 61. -0.4 0.7

12 2 1 3 -1 0.140 0.200 14.483 413. 412. -0.1 4.8

13 1 1 1 -2 0.140 0.200 14.793 11. 11. -0.1 0.2

14 2 1 1 -2 0.140 0.200 14.830 13. 12. -0.2 0.2

15 1 0 2 -2 0.140 0.200 15.472 25. 24. -0.1 0.4

16 1 0 2 2 0.140 0.200 15.472 25. 24. -0.1 0.4


(5)

89

17 2 0 2 -2 0.140 0.200 15.511 6. 6. -0.1 0.1

18 2 0 2 2 0.140 0.200 15.511 6. 6. -0.1 0.1

19 1 0 4 -1 0.140 0.200 15.977 0. 0. -0.0 0.0

20 1 0 4 1 0.140 0.200 15.977 0. 0. -0.0 0.0

21 2 0 4 -1 0.140 0.200 16.017 1. 1. -0.0 0.0

22 2 0 4 1 0.140 0.200 16.017 1. 1. -0.0 0.0

23 1 1 3 1 0.140 0.200 16.171 0. 0. -0.0 0.0

24 2 1 3 1 0.140 0.200 16.212 0. 0. -0.0 0.0

25 1 2 0 0 0.140 0.200 16.874 2. 2. -0.1 0.0

26 2 2 0 0 0.140 0.200 16.917 34. 33. -0.7 0.6

27 1 1 3 -2 0.139 0.200 17.994 2. 1. -0.1 0.0

28 2 1 3 -2 0.139 0.200 18.039 1. 1. -0.0 0.0

29 1 1 1 2 0.139 0.200 18.018 1. 1. -0.1 0.0

30 2 1 1 2 0.139 0.200 18.063 1. 1. -0.0 0.0

31 1 2 2 -1 0.139 0.200 18.210 14. 14. -0.4 0.3

32 2 2 2 -1 0.139 0.200 18.256 34. 33. -0.5 0.7

33 1 2 2 0 0.139 0.200 18.367 9. 9. -0.1 0.2

34 2 2 2 0 0.139 0.200 18.413 10. 10. -0.2 0.2

35 1 2 0 -2 0.139 0.200 19.182 6. 6. -0.3 0.1

36 2 2 0 -2 0.139 0.200 19.230 144. 142. -2.7 2.9

37 1 0 4 -2 0.139 0.200 19.931 94. 94. 0.2 1.8

38 2 0 4 -2 0.139 0.200 19.981 16. 16. -0.2 0.3

39 1 0 4 2 0.139 0.200 19.931 94. 94. 0.2 1.8

40 2 0 4 2 0.139 0.200 19.981 16. 16. -0.2 0.3

41 1 1 5 0 0.139 0.200 19.955 35. 35. -0.3 0.7

42 2 1 5 0 0.139 0.200 20.005 177. 177. 0.3 3.4

43 1 1 5 -1 0.139 0.200 20.472 184. 183. -1.4 3.8


(6)

90

44 2 1 5 -1 0.139 0.200 20.523 5. 5. -0.1 0.1

45 1 2 2 -2 0.139 0.200 20.512 10. 10. -0.2 0.2

46 2 2 2 -2 0.139 0.200 20.564 70. 69. -1.0 1.5

47 1 1 3 2 0.139 0.200 20.741 73. 73. -0.5 1.4

48 2 1 3 2 0.139 0.200 20.793 123. 123. 0.7 2.3

49 1 1 1 -3 0.139 0.200 20.710 67. 67. -0.8 1.3

50 2 1 1 -3 0.139 0.200 20.762 169. 169. -0.5 3.2