EFEKTIFITAS PEMBERIAN BURPEE INTERVAL TRAINING (BIT) DIBANDINGKAN DENGAN LATIHAN AEROBIK INTENSITAS RINGAN TERHADAP PENURUNAN KOMPOSISI TUBUH PADA MAHASISWA FISIOTERAPI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA DENGAN KATEGORI IMT OVERWEIGHT.

(1)

EFEKTIFITAS PEMBERIAN BURPEE INTERVAL TRAINING (BIT)

DIBANDINGKAN DENGAN LATIHAN AEROBIK INTENSITAS RINGAN

TERHADAP PENURUNAN KOMPOSISI TUBUH PADA MAHASISWA

FISIOTERAPI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

DENGAN KATEGORI IMT OVERWEIGHT

011

Komang Dhyanayuda P.

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA


(2)

ii

DIBANDINGKAN DENGAN LATIHAN AEROBIK INTENSITAS RINGAN

TERHADAP PENURUNAN KOMPOSISI TUBUH PADA MAHASISWA

FISIOTERAPI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

DENGAN KATEGORI IMT OVERWEIGHT

Laporan Penelitian ini diajukan sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA FISIOTERAPI

011

Oleh :

Komang Dhyanayuda P.

1202305008

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA


(3)

ii

RNYATAAN PERSETUJUAN

Nama : Komang Dhyanayuda P.

NIM : 1202305008

Judul Skripsi : “Efektifitas Pemberian Burpee Interval Training (BIT) Dibandingkan dengan Latihan Aerobik Intensitas Ringan terhadap Penurunan Komposisi Tubuh pada Mahasiswa Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan Kategori IMT Overweight”

Skripsi ini telah disetujui dan diperiksa oleh Dosen Pembimbing Skripsi untuk diajukan ke Sidang Skripsi.

Denpasar, 14 Juni 2016 Komisi Pembimbing

Pembimbing I,

(Ni Luh Nopi Andayani, SSt.FT, M.Fis)

Pembimbing II

(dr. I Putu Adiartha Griadhi, M.Fis) NIP. 19761125 200501 1 002


(4)

v

PANITIA SIDANG SKRIPSI


(5)

(6)

vii

EFEKTIFITAS PEMBERIAN BURPEE INTERVAL TRAINING (BIT) DIBANDINGKAN DENGAN LATIHAN AEROBIK INTENSITAS RINGAN

TERHADAP PENURUNAN KOMPOSISI TUBUH PADA MAHASISWA FISIOTERAPI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

DENGAN KATEGORI IMT OVERWEIGHT

ABSTRAK

Perubahan komposisi tubuh disebabkan oleh rendahnya aktivitas fisik dan tingginya pola makan yang menyebabkan penumpukan energi dalam bentuk lemak. Peningkatan berat badan, IMT, persentase lemak, dan penurunan BMR yang disertai dengan rendahnya aktivitas fisik akan menyebabkan perubahan komposisi tubuh. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas pemberian burpee interval training dibandingkan dengan latihan aerobik intensitas ringan terhadap penurunan komposisi tubuh.

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan Randomized Pre Test and Post Test with Control Group Design. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah simple random sampling. Sampel penelitian berjumlah 14 orang yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok I yang diberikan pelatihan burpee interval training dan kelompok II yang diberikan pelatihan latihan aerobik dengan intensitas ringan. Masing-masing kelompok terdiri dari 7 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan mengukur perubahan komposisi tubuh menggunakan timbangan dan bioelectrical impedance analysis sebelum dan setelah pelatihan pada setiap kelompok. Uji normalitas dan homogenitas data diuji dengan menggunakan Saphiro-Wilk Test dan Levene’s Test.

Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan berat badan, IMT, persentase lemak, dan peningkatan BMR pada kelompok I masing-masing sebesar 1,68; 0,62; 3,157; dan 118,71. Pada kelompok II terjadi penurunan berat badan, IMT, persentase lemak, dan peningkatan BMR masing-masing sebesar 0,3; 0,077; 0,471; dan 26,57. Hasil uji paired sample t-test dan Wilcoxon match pair test pada berat badan, persentase lemak, IMT, dan BMR didapatkan perbedaan yang signifikan dengan masing-masing nilai p=0,001; 0,003; 0,018; dan 0,018 (p<0,05) pada kelompok I dan nilai p=0,619; 0,462; 0,611; dan 0,235 (p>0,05) pada kelompok II. Uji beda selisih dengan independent t-test menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok I dan kelompok II dimana untuk IMT, persentase lemak, dan BMR masing-masing nilai p=0,027; 0,011; dan 0,001 (p<0,05).

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian burpee interval training lebih efektif dalam menurunkan komposisi tubuh daripada latihan aerobik dengan intensitas ringan pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan kategori IMT overweight.


(7)

viii

EFFECTIVENESS OF BURPEE INTERVAL TRAINING (BIT) COMPARED WITH AEROBIC EXERCISE WITH LOW INTENSITY ON DECREASING BODY COMPOSITION IN UDAYANA FACULTY OF MEDICINE

STUDENT WITH OVERWEIGHT BMI CATEGORY

ABSTRACT

Alteration of body composition is caused by low physical activity and uncontrolled dietary habit that causes a buildup of energy in the form of fat. Increased of weigh, BMI, fat percentage and decreased BMR accompanied by low physical activity will cause a changes of body composition. The purpose of this study was to determine the provision of effectiveness Burpee interval training to improve body composition compared with the aerobic exercise with low intensity.

This study is an experimental research using randomized designs Pre Test and Post Test with Control Group Design. The sampling technique in this research is simple random sampling. These samples included 14 people who were divided into 2 groups. The first group was given training Burpee interval training and the second group was given a low-intensity aerobic exercise. Each group consisted of 7 people. The data collection was done by measuring body composition using weigher and bioelectrical impedance analysis before and after the training in each group. Normality and homogeneity test data is tested using the Shapiro-Wilk test and Levene's Test.

The results showed an decrease in weigh, BMI, fat percentage, and increase BMR of 1,68; 0,62; 3,157; and 118,71 in group I, and 0,3; 0,077; 0,471; and 26,57 in group II. Results of paired samples t-test and Wilcoxon match pair test found are significant difference in decrease in weigh, BMI, fat percentage, and increase BMR with p = 0,001; 0,003; 0,018; and 0,018 (p<0,05) in group I and the value of p=0,619; 0,462; 0,611; dan 0,235 (p>0,05) in group II. Different test difference with independent t-test showed a significant difference between group I and group II where p=0,027; 0,011; dan 0,001 (p<0,05).

Based on these results we can conclude that Burpee training interval training is better in improving body composition than the aerobic exercise with low intensity in Udayana University Faculty of Medicine students with overweight BMI category.

Keywords: Body composition, BMI, Physical Activity, Dietary Habit, VO2maks, Overweight


(8)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Efektifitas Pemberian Burpee Interval Training (BIT) Dibandingkan dengan Latihan Aerobik Intensitas Ringan terhadap Penurunan Komposisi Tubuh pada Mahasiswa Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan Kategori IMT Overweight”.

Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana Fisioterapi. Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terkait dalam penulisan skripsi ini, yaitu kepada:

1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT, (K), M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

2. Prof. Dr. dr. I Nyoman Adiputra, PFK, MOH selaku Ketua Program Studi Fisioterapi Universitas Udayana.

3. Ibu Ni Luh Nopi Andayani, SSt.FT, M.Fis selaku pembimbing sekaligus pengajar yang telah banyak memberikan petunjuk dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

4. dr. I Putu Adiartha Griadhi, M.Fis selaku pembimbing II sekaligus pengajar yang telah banyak memberikan petunjuk dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.


(9)

vi

5. Bapak, Ibu, adik dan seluruh keluarga besar yang selalu mendoakan dan memberi dukungan serta motivasi tanpa hentinya agar penulis berjuang dan berusaha menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya hingga terselesaikannya skripsi ini. Terimakasih banyak atas cinta tulus tanpa syarat yang selalu kalian berikan untuk saya.

6. Reza Dharana, Jery Yasa, dan Febrina Ambara Dewi yang selalu menemani, membantu serta mendukung saya dalam pembuatan skripsi ini

7. Seluruh teman - teman AXOPLASMIC, Fisioterapi FK Unud 2012 yang selalu membantu dan memberikan semangat dalam berbagai cara baik itu melalui tawa, canda, ataupun nasihat-nasihat yang memacu semangat. Terimakasih banyak sudah mengingatkan satu sama lainnya untuk sama-sama berjuang. Thank you guys!

8. Para Sahabat yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terimakasih banyak sudah selalu berbagi cerita-cerita motivasi dan memberikan semangat walaupun kita terbatas ruang dan waktu.

9. Dosen - dosen pengajar dan staf Program Studi Fisioterapi yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

10.Seluruh kerabat dan sejawat yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan.

Denpasar, Mei 2016 Penulis


(10)

vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

BAB I PENDAHULUAN. ... 1

1.1Latar Belakang Masalah... 1

1.2Rumusan Masalah ... 4

1.3Tujuan Penelitian ... 5

1.3.1 Tujuan Umum ... 5

1.3.2 Tujuan Khusus ... 5

1.4Manfaat Penelitian ... 6

1.4.1 Teoritis ... 6

1.4.2 Praktis ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 7

2.1Metabolisme Lipid ... 7

2.2Deposit Lipid ... 13

2.2.1 Jaringan Adiposa Putih ... 14

2.2.2 Jaringan Adiposa Cokelat ... 16

2.2.3 Lipid Hati ... 18

2.3Sintesis Lipid ... 19

2.3.1 Pembentukan Adenosin Trifosfat dari Trigliserida... 21

2.3.2 Sintesis Trigliserida dari Karbohidrat ... 23


(11)

vii

2.4Komposisi Tubuh ... 23

2.4.1 IMT ... 25

2.4.2 Persentase Lemak Tubuh ... 29

2.4.3 BMR ... 30

2.4.4 Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) ... 32

2.5Peningkatan Lemak Tubuh terhadap Patogenesis Penyakit ... 35

2.6Faktor Penyebab Penumpukan Lemak Berlebih ... 38

2.7Teknik Pengukuran Komposisi Tubuh ... 42

2.7.1 Skinfold Thickness atau Skinfold Calliper... 43

2.7.2 Lingkar Perut (Waist Circumference) ... 43

2.7.3 Teknik Dua Komponen Model ... 44

2.7.4 Multikomponen Model ... 48

2.8Burpee Interval Training ... 48

2.8.1 Definisi Burpee Interval Training ... 48

2.8.2 Fungsi Burpee Interval Training ... 53

2.8.3 Bentuk Latihan Burpee Interval Training ... 54

2.9Latihan Aerobik Intensitas Rendah ... 55

2.9.1 Definisi Latihan Aerobik Intensitas Rendah ... 55

2.9.2 Fungsi Latihan Aerobik Intensitas Rendah ... 57

2.9.3 Bentuk Latihan Aerobik Intensitas Rendah ... 58

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, HIPOTESIS ... 59

3.1Kerangka Berpikir ... 59

3.2Kerangka Konsep ... 62

3.3Hipotesis ... 63

BAB IV METODE PENELITIAN ... 64

4.1Rancangan Penelitian ... 64

4.2Tempat dan Waktu ... 65

4.2.1 Tempat penelitian ... 65


(12)

viii

4.3Populasi dan Sampel ... 65

4.3.1 Populasi ... 65

4.3.2 Sampel ... 65

4.3.3 Besar Sampel ... 66

4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel... 68

4.4Variabel Penelitian ... 68

4.5Definisi Operasional Variabel ... 69

4.6Instrumen Penelitian ... 71

4.7Prosedur Penelitian ... 71

4.7.1 Prosedur Pendahuluan ... 71

4.7.2 Prosedur Pelaksanaan ... 73

4.8Alur Penelitian ... 80

4.9Teknik Analisis Data... 81

BAB V HASIL PENELITIAN ... 85

5.1Data Karakteristik Sampel ... 85

5.2Uji Analisis pada Perubahan Berat Badan ... 86

5.2.1 Uji Normalitas dan Homogenitas ... 86

5.2.2 Uji Beda Rerata Berat Badan Sebelum Diberikan Latihan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 88

5.2.3 Uji Hipotesis Penurunan Berat Badan dengan Paired Sample t-test ... 88

5.2.4 Uji Beda Rerata Penurunan Berat Badan Setelah Diberikan Latihan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 90

5.2.5 Uji Beda Selisih Penurunan Berat Badan Setelah Diberikan Latihan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 91

5.3Uji Analisis pada Perubahan IMT ... 92

5.3.1 Uji Normalitas dan Homogenitas ... 92

5.3.2 Uji Beda Rerata IMT Sebelum Diberikan Latihan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 93


(13)

ix

5.3.3 Uji Hipotesis Penurunan IMT dengan Wilcoxon Match Pair test... 93

5.3.4 Uji Beda Rerata Penurunan IMT Setelah Diberikan Latihan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 95

5.3.5 Uji Beda Selisih Penurunan IMT Setelah Diberikan Latihan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 96

5.4Uji Analisis pada Perubahan Persentase Lemak ... 97

5.4.1 Uji Normalitas dan Homogenitas ... 97

5.4.2 Uji Beda Rerata Persentase Lemak Sebelum Diberikan Latihan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 99

5.4.3 Uji Hipotesis Penurunan Persentase Lemak dengan Paired Sample t-test ... 99

5.4.4 Uji Beda Rerata Penurunan Persentase Lemak Setelah Diberikan Latihan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 101

5.4.5 Uji Beda Selisih Penurunan Persentase Lemak Setelah Diberikan Latihan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 102

5.5Uji Analisis pada Perubahan BMR ... 104

5.5.1 Uji Normalitas dan Homogenitas ... 104

5.5.2 Uji Beda Rerata BMR Sebelum Diberikan Latihan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 105

5.5.3 Uji Hipotesis Peningkatan dengan Wilcoxon Match Pair test ... 105

5.5.4 Uji Beda Rerata Peningkatan BMR Setelah Diberikan Latihan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 107

5.5.5 Uji Beda Selisih Peningkatan BMR Setelah Diberikan Latihan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 108

5.6Uji Korelasi Antar Variabel ... 109

5.7Analisa Cut-point Pola Makan terhadap Penelitian ... 110

5.7.1 Uji Normalitas dan Homogenitas ... 110

5.7.2 Uji Beda Rerata Pola Makan dan Aktivitas Fisik pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 112


(14)

x

5.7.3 Analisa Cut-point pada Pola Makan per Kelompok ... 113

5.7.4 Uji Beda Rerata Pola Makan Cut-point antar Kelompok... 114

5.7.5 Analisa Perubahan Komposisi Tubuh Setelah Penerapan Cut-point ... 114

5.7.6 Analisa Beda Perubahan Komposisi Tubuh Setelah Penerapan Cut-point ... 115

BAB VI PEMBAHASAN ... 116

6.1Karakteristik Sampel ... 116

6.2Distribusi dan Varians Sampel Penelitian ... 118

6.3Burpee Interval Training (BIT) efektif menurunkan komposisi tubuh pada mahasiswa Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan kategori IMT Overweight ... 118

6.4Latihan Aerobik Intensitas Ringan tidak efektif menurunkan komposisi tubuh pada mahasiswa Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan kategori IMT Overweight ... 123

6.5Adanya perbedaan efektifitas antara pelatihan Burpee Interval Training (BIT) dengan Latihan Aerobik Intensitas Ringan dalam menurunkan komposisi tubuh pada mahasiswa Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan kategori IMT Overweight ... 126

BAB VI PEMBAHASAN ... 132

7.1 Simpulan ... 132

7.2 Saran ... 132 Daftar Pustaka


(15)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1.Asam Stearat ... 8

Gambar 2.2. Jaringan Adiposa Putih... 15

Gambar 2.3. Jaringan Adiposa Coklat ... 17

Gambar 2.4. Komponen pengeluaran energi ... 31

Gambar 2.5. Posisi Awal Berdiri ... 49

Gambar 2.6. Squat Down ... 50

Gambar 2.7. Planck ... 51

Gambar 2.8. Fase Berjalan ... 56

Gambar 3.1. Kerangka Konsep ... 62

Gambar 4.1. Desain Penelitian ... 64

Gambar 4.2. Posisi Awal Berdiri ... 75

Gambar 4.3. Posisi Kedua Squat Down ... 75

Gambar 4.4. Posisi Ketiga Planck... 76

Gambar 4.5. Kembali ke Posisi Squat Down ... 76

Gambar 4.6. Diakhiri dengan Posisi Berdiri Kembali ... 77

Gambar 4.7. Alur Penelitian... 80

Gambar 5.1. Grafik Rerata Nilai Berat Badan Sebelum dan Sesudah Latihan ... 90

Gambar 5.2. Grafik Rerata Nilai IMT Sebelum dan Sesudah Latihan ... 95

Gambar 5.3. Grafik Rerata Nilai Persentase Lemak Sebelum dan Sesudah Latihan... 101


(16)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh menurut WHO ... 27

Tabel 2.2. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh menurut Kriteria Asia Pasifik ... 28

Tabel 2.3. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh menurut Depkes RI ... 29

Tabel 2.4. Klasifikasi Rata-rata Persentase Lemak Berdasar Kategori menurut American Council on Exercise ... 30

Tabel 5.1. Distribusi Data Sampel Berdasarkan Umur, IMT ... 85

Tabel 5.2. Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Nilai Perubahan Berat Badan Sebelum dan Sesudah Latihan ... 86

Tabel 5.3. Hasil Uji Beda Rerata Berat Badan Sebelum Latihan ... 87

Tabel 5.4. Hasil Uji Hipotesis Penurunan Berat Badan ... 88

Tabel 5.5. Hasil Uji Beda Berat Badan Setelah Latihan ... 90

Tabel 5.6. Hasil Uji Beda Selisih Penurunan Berat Badan Setelah Latihan ... 90

Tabel 5.7. Persentase Penurunan Berat Badan Sesudah Latihan ... 91

Tabel 5.8. Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Nilai Perubahan IMT Sebelum dan Sesudah Latihan ... 92

Tabel 5.9. Hasil Uji Beda Rerata IMT Sebelum Latihan ... 93

Tabel 5.10. Hasil Uji Hipotesis Penurunan IMT ... 94

Tabel 5.11. Hasil Uji Beda IMT Setelah Latihan ... 96

Tabel 5.12. Hasil Uji Beda Selisih Penurunan IMT Setelah Latihan ... 96


(17)

xiii

Tabel 5.14. Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Nilai Perubahan Persentase

Lemak Sebelum dan Sesudah Latihan ... 98

Tabel 5.15. Hasil Uji Beda Rerata Persentase Lemak Sebelum Latihan ... 99

Tabel 5.16. Hasil Uji Hipotesis Penurunan Persentase Lemak ... 100

Tabel 5.17. Hasil Uji Beda Persentase Lemak Setelah Latihan ... 102

Tabel 5.18. Hasil Uji Beda Selisih Penurunan Persentase Lemak Setelah Latihan ... 102

Tabel 5.19. Persentase Penurunan Persentase Lemak Sesudah Latihan ... 103

Tabel 5.20. Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Nilai Perubahan BMR Sebelum dan Sesudah Latihan ... 104

Tabel 5.21. Hasil Uji Beda Rerata BMR Sebelum Latihan ... 105

Tabel 5.22. Hasil Uji Hipotesis Peningkatan BMR ... 106

Tabel 5.23. Hasil Uji Beda Rerata BMR Setelah Latihan... 108

Tabel 5.24. Hasil Uji Beda Selisih Peningkatan BMR Setelah Latihan ... 108

Tabel 5.25. Persentase Peningkatan BMR Sesudah Latihan ... 109

Tabel 5.26. Korelasi Variabel Komposisi Tubuh... 110

Tabel 5.27. Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Pola Makan dan Aktivitas Fisik ... 111

Tabel 5.28. Hasil Uji Beda Rerata Pola Makan dan Aktivitas Fisik ... 112

Tabel 5.29. Karakteristik berdasar Pola Makan ... 113

Tabel 5.30. Hasil Uji Beda Rerata Pola Makan dengan Nilai Cut-Point ... 114

Tabel 5.31. Uji Rerata Penurunan Berat Badan dan Persentase Lemak di Bawah 55 ... 115


(18)

xiv

Tabel 5.32. Uji Rerata Penurunan IMT dan Peningkatan BMR di Bawah 55 ... 115 Tabel 5.33. Uji Beda Rerata Perubahan Komposisi Tubuh ... 116


(19)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana adalah para pemuda yang memasuki usia kategori dewasa dan memiliki karakteristik aktivitas yang cenderung sama sebagai pelajar. Jadwal perkuliahan yang padat disertai beragamnya aktivitas organisasi kemahasiswaan membuat para mahasiswa melupakan gaya hidup sehat yang berakibat perubahan pola bentuk tubuh. Penelitian pada tahun 2014 di FK Unud terhadap 127 responden mahasiswa semester lima didapatkan hasil yaitu yang mengalamioverweightsebesar 19 orang atau 15% dari total responden. Dan yang mengalami obesitas, baik obese kelas satu maupun dua, sebesar 21 orang atau 16,8%. (Pemayun, 2014).

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Global Nutrition Report untuk wilayah Indonesia pada tahun 2014, 10% dari total populasi mengalamioverweight serta sebesar 2% penduduk mengalami obesitas. Data prevalensi juga menunjukkan, wanita dewasa yangoverweight sebesar 25% dan obesitas sebesar 7%. Angka yang lebih kecil ditunjukkan pada populasi dewasa pria, dimana prevalensi untukoverweightsebesar 16% dan yang obesitas sebesar 3% dari total populasi (WHO,2014). Prevalensi obesitas penduduk laki-laki dewasa (>18 tahun) menunjukkan kecendrungan peningkatan. Pada tahun 2013 angka prevalensi sebesar 19,7 persen, lebih tinggi dari tahun 2007 (13,9%) dan tahun 2010 (7,8%).


(20)

Khususnya Provinsi Bali, angka prevalensi obesitas sebesar 19% dari total penduduk bali pada tahun 2013 (Kemenkes RI, 2014).

Meningkatnya indeks massa tubuh overweight dan obesitas terjadi oleh karena ketidakseimbangan antara energi yang dikonsumsi dengan energi yang dikeluarkan (Sulistyoningsih, 2011). Tingginya asupan makanan padat energi seperti lemak dan gula, serta rendahnya aktivitas fisik dikarenakan sifat sedentary / kurang beraktivitas dari berbagai jenis pekerjaan, perubahan model transportasi dan urbanisasi. (WHO, 2015). Di seluruh dunia, 2,8 juta penduduk meninggal setiap tahunnya sebagai akibat dari kondisi overweight, termasuk obesitas (Icks A, et al, 2009), dan diperkirakan 35,8 juta (2,3%) dari populasi total menderita DALYs (Disability Adjusted Life Year) yang disebabkan oleh overweight dan obesitas (WHO, 2009). Berat badan berlebih dan obesitas menyebabkan efek metabolik yang buruk pada tekanan darah, kolesterol, trigliserida dan resistensi insulin. Resiko dari penyakit jantung koroner, stroke iskemik dan diabetes mellitus tipe 2 meningkat secara bertahap sejalan dengan peningkatan nilai IMT (WHO, 2009). Peningkatan resiko terjadi secara bervariasi dikarenakan perbedaan demografi antar populasi dunia, dimana Indonesia termasuk dalam kawasan Asia-Pasifik yang memiliki rentang IMT overweight lebih rendah dari penerapan WHO global yaitu 23,0-24,9 kg/m2(WHO, 2000).

Komposisi tubuh terdiri dari massa lemak, dan massa bebas lemak. Rendahnya aktivitas fisik menyebabkan perubahan massa lemak dalam tubuh. Bila hal ini terus berlanjut terus-menerus akan menyebabkan peningkatan IMT (Pamela, 2011). Lemak tubuh disimpan dalam jaringan adiposa yang terdiri dari lemak


(21)

deposit. Jaringan lemak subkutan putih tersimpan hanya di bawah kulit, menyimpan sekitar 80-90% dari total lemak tubuh, sedangkan penumpukan lemak intrabdominal oleh jaringan adiposa viseral. Jaringan adiposa viseral sebesar 6-20% dari total lemak tubuh, dengan jumlah yang lebih tinggi pada pria daripada wanita (Ludescher B,et al., 2007; Haupt A,et al., 2010). Penumpukan lemak viseral yang berlebih secara medis lebih berbahaya dari lemak subkutan, dimana akan meningkatkan resiko untuk terserang penyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus tipe 2, kanker kolorektal, dan sleep apnea. Ini jelas berbahaya bagi sebagian pria yang memiliki lemak berlebih pada perutnya (Whitlock G,et al., 2007; Canoy D, et al., 2007; Després JP, 2007; Pischon T,et al., 2008).

Latihan aerobik merupakan jenis latihan aktivitas fisik (disebut juga sebagai ketahanan endurance atau aktivitas kardio) dengan penggunaan otot-otot besar tubuh yang bergerak secara berirama dalam jangka waktu yang berkelanjutan, contoh, jalan cepat, berlari, bersepeda, lompat tali dan berenang (Anonim, 2008). Sesuai dengan kriteria MHR, latihan aerobik dapat dibagi menjadi : latihan aerobik intensitas ringan (60-69% MHR), latihan aerobik intensitas sedang (70-79% MHR), dan latihan aerobik intensitas tinggi (80-89%) (ACSM, 2010; Sari, 2013). Durasi latihan aerobik memberikan dampak baik bila dilakukan selama 20-60 menit, pada intensitas rendah dilakukan paling sedikit selama 30 menit dan berlanjut. Latihan intensitas rendah 3-5 kali perminggu dapat menurunkan massa lemak subkutan dan lemak visceral, dengan intensitas tersebut mampu mengurangi persentase lemak tubuh sebesar 20,46% dibandingkan intensitas tinggi yang hanya 4,63% selama 6 minggu perlakuan (Sudibjo, 2012; Sari, 2013).


(22)

Burpee Interval Training (BIT)merupakan latihan kombinasi antaraSprint Interval Trainingdengan gerakkanBurpeeyang melibatkan serangkaian intensitas rendah ke tinggi dengan diselingi waktu istirahat (Heyward, Vivian H, 2006). Periode intensitas tinggi biasanya mendekati kondisi anaerobik, sedangkan periode pemulihan merupakan aktivitas aerobik (Kerr, Hamish, 2011). BIT bisa dilakukan hingga intensitas maksimal (>150% dari puncak VO2) dengan durasi 30 detik

disertai istirahat selama 4 menit dengan repetisis hingga 6 kali pengulangan, 3 kali seminggu selama 2-6 minggu (Gibala, et al., 2006; Burgosmaster, et al., 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Perry, et al., tahun 2008 menyebutkan bahwa interval training dalam satu sesi latihan, mampu membakar lemak sebanyak 36% dibandingkan dengan latihan kardiovaskuler yang hanya 13%. Kondisi ini berdampak pada penurunan masa lemak dan penurunan IMT secara signifikan.

Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan di atas maka peneliti tertarik

untuk mengetahui “Efektifitas Pemberian Burpee Interval Training (BIT) Dibandingkan dengan Latihan Aerobik Intensitas Ringan terhadap Penurunan Komposisi Tubuh pada Mahasiswa Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan Kategori IMTOverweight”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah yang disampaikan sebagai berikut:

1. Apakah pemberian Burpee Interval Training (BIT) efektif menurunkan komposisi tubuh pada mahasiswa Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan kategori IMToverweight?


(23)

2. Apakah pemberian Latihan Aerobik Intensitas Ringan efektif menurunkan komposisi tubuh pada mahasiswa Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan kategori IMToverweight?

3. Apakah ada perbedaan efektifitas pemberian Burpee Interval Training (BIT) dalam menurunkan komposisi tubuh dibandingkan dengan pemberian Latihan Aerobik Intensitas Ringan pada mahasiswa Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan kategori IMToverweight?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui efektivitas pemberian Burpee Interval Training (BIT) dan Latihan Aerobik Intensitas Ringan dalam menurunkan komposisi tubuh pada mahasiswa.

1.3.2 Tujuan Khusus

Sejalan dengan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Untuk membuktikan bahwa pemberianBurpee Interval Training(BIT) efektif menurunkan komposisi tubuh pada mahasiswa Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan kategori IMT overweight.

2. Untuk membuktikan bahwa pemberian Latihan Aerobik Intensitas Ringan efektif menurunkan komposisi tubuh pada mahasiswa Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan kategori IMToverweight.


(24)

3. Untuk mengetahui perbedaan efektifitas pemberian Burpee Interval Training(BIT) dibandingkan dengan Latihan Aerobik Intensitas Ringan dalam menurunkan komposisi tubuh pada mahasiswa Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan kategori IMT overweight.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Teoritis

1. Digunakan sebagai bahan acuan atau referensi bagi penelitian selanjutnya yang akan membahas hal yang sama.

2. Menambah khasanah ilmu dalam dunia pendidikan pada umumnya dan fisioterapi pada khususnya.

1.4.2 Praktis

1. Dapat dijadikan sebagai salah satu pilihan tindakan fisioterapi dalam menjaga dan menyeimbangkan perubahan struktur komposisi tubuh

2. Sebagai upaya promotif dan preventif kepada masyarakat untuk menjaga nilai komposisi tubuh yang ideal.


(25)

7

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Metabolisme Lipid

Beberapa senyawa kimia di dalam makanan dan tubuh diklarifikasikan sebagai lipid. Lipid ini meliputi : 1) lemak netral, yang dikenal sebagai trigliserida, 2) fosfolipid, 3) kolesterol, dan 4) beberapa lipid lain yang kurang penting. Secara kimia, sebagian lipid dasar dari trigliserida dan fosfolipid adalah asam lemak, yang hanya merupakan asam organik hidrokarbon rantai panjang. Rumus kimia asam lemak yang khas, yaitu asam palmitat, adalah CH3(CH2)14COOH (Campbell & Reece, 2010).

Sejauh ini yang paling banyak dalam diet adalah lemak netral atau trigliserida, yang setiap molekulnya tersusun dari sebuah inti gliserol dan rantai panjang tiga asam lemak. Tiga asam lemak yang paling sering terdapat dalam trigliserida di tubuh manusia adalah 1. Asam stearat yang mempunyai 18 rantai karbon dan sangat jenuh dengan atom hidrogen, 2. Asam oleat yang juga mempunyai 18 rantai karbon tetapi mempunyai satu ikatan ganda di bagian tengah rantai, dan 3. Asam palmitat yang mempunyai 16 atom karbon dan sangat jenuh (Guyton & Hall, 2007; Campbell & Reece, 2010).


(26)

Gambar 2.1 Asam Stearat Sumber : Guyton & Hall 2007

Lemak ini merupakan unsur utama dalam bahan makanan yang berasal dari hewan dan sangat sedikit ada dalam makanan berasal dari tumbuhan. Dalam diet lemak yang biasa juga mengandung sejumlah kecil fosfolipid, kolesterol, dan ester kolesterol. Fosfolipid dan ester kolesterol terdiri atas asam lemak dan oleh karena itu dapat dianggap sebagai lemak. Walaupun kolesterol tidak mengandung asam lemak, inti sterolnya disintesis dari gugus molekul asam lemak, ditambah lagi kolesterol merupakan turunan lemak, sehingga kolesterol memiliki banyak sifat fisik dan kimia dari zat lipid lainnya (Guyton & Hall, 2007; Campbell & Reece, 2010; Pearce, 2011).

Trigliserida dipakai dalam tubuh terutama untuk menyediakan energi bagi berbagai proses metabolik, suatu fungsi yang hampir sama dengan fungsi karbohidrat. Akan tetapi, beberapa lipid, terutama kolesterol, fosfolipid, dan sejumlah kecil trigliserida, dipakai untuk membentuk semua membran sel dan melakukan fungsi-fungsi sel yang lain (Guyton & Hall, 2007; Campbell & Reece, 2010).

Sejumlah kecil trigliserida dicernakan dalam lambung oleh lipase lingual yang disekresikan oleh kelenjar lingual di dalam mulut dan ditelan bersama dengan


(27)

saliva. Jumlah pencernaan pada lambung kurang dari 10 persen. Tahap pertama dalam pencernaan lemak adalah secara fisik memecahkan gumpalan lemak menjadi ukuran sangat kecil, sehingga enzim pencernaan yang larut air dapat bekerja pada permukaan gumpalan lemak. Proses ini disebut emulsifikasi lemak, dan dimulai melalui pergolakan di dalam lambung untuk mencampur lemak dengan produk pencernaan lemak (Guyton & Hall, 2007; Pearce, 2011).

Selanjutnya, kebanyakan proses emulsifikasi terjadi di dalam duodenum di bawah pengaruh empedu, sekresi dari hati yang tidak mengandung enzim pencernaan apapun. Akan tetapi, empedu mengandung sejumlah besar garam empedu juga fosfolipid lesitin, yang sangat penting untuk emulsifikasi lemak. Gugus-gugus polar (titik terjadinya ionisasi di dalam air) dari garam empedu dan molekul-molekul lesitin sangat larut air, sedangkan sebagian besar sisa gugus-gugus molekul keduanya sangat larut lemak. Oleh karena itu, gugus-gugus yang larut lemak dari sekret hati ini terlarut dalam lapisan permukaan gumpalan lemak, sedangkan gugus polarnya menonjol. Penonjolan gugus polar, selanjutnya, terlarut dalam cairan berair di sekitarnya, sehingga sangat menurunkan tegangan antar-permukaan lemak dan membuat lemak tersebut ikut terlarut (Guyton & Hall, 2007; Pearce, 2011).

Bila tegangan antar permukaan gumpalan cairan yang tidak tercampur ini rendah, cairan yang tidak bercampur ini, melalui pengadukan, dapat dipecah menjadi banyak partikel yang sangat halus secara jauh lebih mudah daripada bila tegangan antar permukaanya tinggi. Akibatnya, fungsi utama garam empedu dan lesitin (utamanya), dalam empedu adalah untuk membuat gelembung lemak siap


(28)

untuk dipecah oleh pengadukan dengan air di dalam usus halus. Setiap kali diameter gumpalan lemak secara signifikan diturunkan sebagai akibat pengadukan pada usus halus, daerah permukaan lemak total meningkat berlipat-lipat. Karena diameter rata-rata partikel lemak dalam usus setelah terjadinya emulsifikasi hanya kurang dari 1 mikrometer, ukuran ini menggambarkan peningkatan sebanyak 1000 kali lipat pada daerah permukaan lemak total yang disebabkan oleh proses emulsifikasi (Guyton & Hall, 2007).

Enzim lipase merupakan senyawa yang larut air dan dapat menyerang gumpalan lemak hanya pada permukaannya. Enzim lipase pankreas merupakan enzim paling penting untuk pencernaan trigliserida dan terdapat dalam jumlah sangat banyak di dalam getah pancreas. Enzim ini cukup dengan waktu 1 menit untuk mencernakan semua trigliserida yang dicapainya. Produk akhir dari pencernaan lemak ialah asam lemak bebas dan 2-monogliserida yang merupakan pemecahan dari trigliserida oleh getah pankreas (Guyton & Hall, 2007; Campbell & Reece, 2010; Pearce, 2011).

Hidrolisis trigliserida merupakan proses yang sangat reversibel, oleh karena itu, akumulasi monogliserida dan asam lemak bebas di sekitar lemak yang dicerna sangat cepat menghambat pencernaan lebih lanjut. Namun garam empedu memiliki peran tambahan yang penting dalam memindahkan monogliserida dan asam lemak bebas dari lingkungan pencernaan gelembung lemak hampir secepat pembentukan produk akhir pencernaan ini (Campbell & Reece, 2010; Pearce, 2011).

Garam empedu, saat berada pada konsentrasi yang cukup tinggi di dalam air, mempunyai kecendrungan untuk membentuk misel, gumpalan berbentuk


(29)

silinder sferis kecil, berdiameter 3 sampai 6 nanometer, dan terdiri dari 20 sampai 40 molekul garam empedu. Misel-misel ini terbentuk karena setiap molekul garam empedu tersusun dari sebuah inti sterol yang sangat larut lemak, dan satu gugus polar yang sangat larut air. Inti sterol ini melingkupi lemak yang dicernakan, membentuk gumpalan lemak kecil di tengah misel yang telah terbentuk, dengan gugus-gugus polar garam empedu yang menonjol ke luar untuk menutupi permukaan misel. Karena bermuatan negatif, gugus polar ini memungkinkan seluruh gumpalan misel larut di dalam air cairan pencernaan dan tetap dalam bentuk larutan yang stabil sampai lemak tersebut diabsorbsi ke dalam darah (Guyton & Hall, 2007; Campbell & Reece, 2010).

Misel garam empedu juga bertindak sebagai medium transport untuk mengangkut monogliserida dan asam lemak bebas, keduanya relatif tidak larut tanpa misel tersebut, menujubrush ordersel-sel epitel usus. Di sana monogliserida dan asam lemak bebas diabsorbsi ke dalam darah, sedangkan garam empedu itu sendiri dilepaskan kembali ke dalam kismus untuk dipakai berulang-ulang dalam proses pengangkutan ini (Guyton & Hall, 2007).

Selain trigliserida, kolesterol dan fosfolipid juga mengalami proses hidrolisis. Kolesterol, dalam makanan sebagian besar berbentuk ester kolesterol, dan fosfolipid dihidrolisis oleh dua lipase yang berbeda dalam sekresi pankreas yang untuk membebaskan asam lemak, enzim hidrolase ester kolesterol untuk menghidrolisis ester kolesterol dan fosfolipase A2 untuk menghidrolisis fosfolipid. Dan tentu saja dalam pengangkutanya memerlukan peranan misel (Guyton & Hall, 2007).


(30)

Selanjutnya, asam lemak bebas dan monogliserid yang terlarut dalam misel, akan ditranspor ke permukaan mikrovilibrush ordersel usus halus dan kemudian menembus ke dalam ceruk di antara mikrovili yang bergolak dan bergerak. Di sini, keduanya akan segera berdifusi keluar misel dan masuk ke dalam sel epitel yang dapat terjadi karena lipid juga larut dalam membran sel epitel. Proses ini meninggalkan misel empedu tetap dalam kimus, yang selanjutnya akan melakukan fungsinya berkali-kali untuk membantu mengabsorbsi lebih banyak monogliserida dan asam lemak lagi (Guyton & Hall, 2007; Pearce, 2011).

Fungsi misel sangat penting untuk absorbsi lemak. Adanya misel empedu dalam jumlah yang sangat banyak, menyebabkan lebih kurang 97% lemak diabsorbsi, bila tidak ada misel empedu, normalnya hanya 40 sampai 50 persen lemak yang dapat diabsorbsi. Setelah memasuki sel epitel, asam lemak bebas dan monogliserida diambil oleh sel retikulum endoplasma halus, yang akan digunakan untuk membentuk trigliserida yang baru yang selanjutnya dilepaskan dalam bentuk kilomikron melalui bagian basal sel epitel, mengalir ke atas melalui duktus limfe torasikus dan menuju aliran darah (Guyton & Hall, 2007; Campbell & Reece, 2010).

Kemudian, sewaktu melalui sel epitel usus, monogliserida dan asam lemak disintesis kembali menjadi molekul trigliserida baru yang masuk ke dalam limfe dalam bentuk kilomikron. Kilomikron ini berdiameter 0,8 sampai 0,6 mikron. Sejumlah apoprotein B diabsorbsi ke permukaan luar kilomikron. Keadaan ini membuat sisa molekul protein menonjol ke dalam air di sekitarnya dan karena itu, akan meningkatkan stabilitas suspense kilomikron ke dalam cairan limfe dan


(31)

mencegah perlekatan kilomikron ke dinding pembuluh limfe (Guyton & Hall, 2007; Campbell & Reece, 2010).

Kurang lebih satu jam setelah makan makanan mengandung lemak, konsentrasi kilomikron dalam plasma dapat meningkat 1 sampai 2 persen dari total plasma, dan membuat warna plasma menjadi keruh. Namun, waktu paruh kilomikron kurang dari 1 jam sehingga plasma akan menjadi jernih kembali. Setelah dalam sirkulasi darah, kilomikron akan dipindahkan melalui kapiler jaringan adiposa dan hati. Kedua jaringan tersebut mengandung banyak enzim lipoprotein lipase. Enzim ini terutama aktif pada endotel kapiler tempat enzim menghidrolisis trigliserida dari kilomikron begitu trigliserida melekat pada dinding endotel, sehingga asam lemak dan gliserol dapat dilepaskan (Guyton & Hall, 2007; Campbell & Reece, 2010).

Asam lemak, yang sangat menyatu dengan membran sel, segera berdifusi ke dalam sel lemak jaringan adiposa dan ke dalam sel hati. Begitu berada di dalam sel-sel ini, asam lemak disintesis kembali menjadi trigliserida, dengan gliserol baru yang disuplai oleh proses metabolism sel penyimpan (Guyton & Hall, 2007).

2.2 Deposit Lipid

Sebagian besar lemak disimpan dalam dua jaringan tubuh utama, yaitu jaringan adiposa (biasa disebut sebagai deposit lemak atau jaringan lemak) dan hati (Guyton & Hall, 2007; Mescher, 2011).

Fungsi utama jaringan adiposa adalah menyimpan trigliserida sampai diperlukan untuk membentuk energi dalam tubuh. Fungsi tambahan adalah untuk menyediakan penyekat panas untuk tubuh (Guyton & Hall, 2007). Jaringan adiposa


(32)

merupakan jenis jaringan ikat khusus, yang terutama terdiri atas sel-sel lemak atau adiposit. Sel ini dapat tersebar sendiri-sendiri atau berupa kelompok di dalam jaringan ikat irregular atau longgar, sering dalam kelompok besar tempat sel-sel ini menjadi komponen utama jaringan adiposa. Karena terdapat di banyak area di tubuh, pada pria dengan berat badan normal, memiliki jaringan adiposa 15-20% dari berat badannya, sedangkan pada wanita dengan berat badan normal, mencapai 20-25% dari berat badannya (Mescher, 2011)

Setelah sekian lama dianggap sebagai massa inert simpanan energi sebagai lemak, adiposit kini dikenal sebagai regulator utama metabolisme energi tubuh. Jaringan adiposa merupakan gudang energi terbesar ( dalam bentuk trigliserida) di tubuh. Organ lain yang menimbun energi, terutama hati dan otot rangka, melakukannya dalam bentuk glikogen. Namun, pasokan glikogen memiliki keterbatasan dan sejumlah besar kalori harus dimobilisasi di antara waktu-waktu makan. Karena densitas trigliserida lebih rendah daripada glikogen dan memiliki nilai kalori yang lebih tinggi (9,3 kkal/g untuk trigliserida berbanding 4,1 kkal/g untuk karbohidrat), jaringan adiposa telah berkembang menjadi suatu jaringan penimbun yang sangat efisien. Jaringan adiposa juga mengisi ruang antara jaringan lain dan membantu menahan sejumlah organ di tempatnya (Mescher, 2011; Pearce, 2011). Terdapat dua jenis jaringan adiposa dengan lokasi, struktur, warna dan ciri patologi yang berbeda. Jaringan adiposa putih dan jaringan adiposa coklat.

2.2.1 Jaringan Adiposa Putih

Merupakan jenis tersering, terdiri atas sel-sel yang mengandung satu tetes (droplet) lemak kuning-keputihan yang berukuran besar di bagian tengah di


(33)

sitoplasmanya bila berkembang sempurna. Dikhususkan untuk penyimpanan energi dalam jangka panjang. Hampir semua jaringan adiposa pada orang dewasa terdapat dalam jenis jaringan ini dan ditemukan dalam banyak organ di seluruh tubuh. Jaringan adiposa putih adalah depot energi yang besar bagi organisme. Lipid yang tersimpan dalam sel adiposa terutama trigliserida, yaitu ester dari asam lemak dan gliserol. Trigliserida yang ditimbun sel-sel ini berasal dari lemak makanan yang dibawa ke adiposit dalam bentuk kilomikron, dalam bentuk trigliserida yang disintesis dalam hati dan dibawa ke sel-sel adiposa dalam bentuk VLDL (very low density lipoprotein), dan dihasilkan oleh sintesis asam lemak bebas dan gliserol setempat dari glukosa untuk membentuk trigliserida (Mescher, 2011).

Gambar 2.2 Jaringan Adiposa Putih Sumber : Mescher, 2011

Meskipun semua jaringan adiposa putih serupa secara histologis dan fisiologis, perbedaan ekspresi gen telah diamati antara deposit lemak putih viseral


(34)

(abdomen) dan deposit lemak putih subkutan. Perbedaan semacam itu penting untuk penentuan resiko medis obesitas; peningkatan jaringan adiposa viseral diyakini meningkatkan resiko diabetes dan penyakit kardiovaskular, sedangkan peningkatan lemak subkutan tidak demikian. Pelepasan produk lemak viseral secara langsung ke sirkulasi portal dan hati juga dapat memengaruhi kepentingan medis bentuk obesitas ini (Mescher, 2011).

Jaringan adiposa subkutan (putih) tersimpan hanya di bawah kulit, menyimpan sekitar 80-90% total lemak tubuh, terutama di daerah perut (sekitar pinggang), lengan atas (triceps),subscapularis, glutealdanfemoral(Ludescher B, et al., 2007; Haupt A, et al., 2010). Oleh karena itu, jaringan adiposa subkutan membantu membentuk permukaan tubuh (Mescher, 2011). Dan jaringan adiposa viseral pada daerah intraabdominal yang berada di antara dengan organ pencernaan dan menyimpan sekitar 6-20% total lemak tubuh (Ludescher B,et al., 2007; Haupt A,et al., 2010).

2.2.2 Jaringan Adiposa Cokelat

Terdiri atas sel-sel yang mengandung banyak tetes lipid di antara sejumlah besar mitokondria, yang membuat sel ini tampak gelap. Warna jaringan adiposa cokelat atau lemak cokelat timbul karena banyaknya mitokondria (yang mengandung sitokrom berwarna) yang tersebar dalam adiposit dan banyaknya kapiler darah pada jaringan ini. Adiposit lemak cokelat mengandung banyak inklusi lipid kecil sehingga disebut multilokular (Mescher, 2011).


(35)

Gambar 2.3 Jaringan Adiposa Coklat Sumber : Mescher, 2011

Fungsi utama sel adiposa multilokular adalah menghasilkan panas melalui thermogenesis tanpa menggigil. Pada manusia baru lahir yang terpapar lingkungan lebih dingin daripada rahim ibu, impuls saraf akan melepaskan norepinefrin ke dalam jaringan adiposa cokelat. Seperti pada lemak putih, neurotransmitter ini mengaktifkan lipase peka-hormon yang terdapat dalam sel adiposa, yang meningkatkan hidrolisis trigliserida menjadi asam lemak dan gliserol. Namun, tidak seperti lemak putih, asam lemak yang dibebaskan akan cepat dimetabolisme, yang menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen dan produksi panas, yang menaikkan suhu jaringan dan menghangatkan darah yang melaluinya (Mescher, 2011; Pearce, 2011).

Sejumlah besar lipase terdapat dalam jaringan adiposa. Beberapa dari enzim lipase ini mengatalisis deposit trigliserida sel dari kilomikron dan lipoprotein. Lipase yang lain, bila diaktifkan oleh hormon, menyebabkan pemecahan trigliserida sel lemak untuk melepaskan sel lemak bebas. Karena perubahan asam lemak yang cepat, trigliserida dalam sel lemak diperbaharui satu kali setiap 2


(36)

sampai 3 minggu, yang berarti bahwa lemak yang disimpan di dalam jaringan hari ini tidak sama dengan lemak yang disimpan bulan lalu, yang menunjukkan dinamika penyimpanan lemak (Guyton & Hall, 2007; Pearce, 2011).

2.2.3 Lipid Hati

Fungsi utama hati dalam metabolisme lipid adalah untuk memecahkan asam lemak menjadi senyawa kecil yang dapat dipakai untuk energi, menyintesis trigliserida, terutama dari karbohidrat tetapi juga dari protein dalam jumlah yang lebih sedikit, dan menyintesis lipid lain dari asam lemak, terutama kolesterol dan fosfolipid. Sejumlah besar trigliserida terdapat di hati selama stadium awal kelaparan, pada diabetes mellitus, dan pada beberapa keadaan lain ketika lemak dipakai untuk energi bukannya karbohidrat. Pada keadaan ini, sejumlah besar trigliserida dimobilisasi dari jaringan adiposa, yang ditranspor sebagai asam lemak dalam darah, dan ditimbun kembali sebagai trigliserida di hati, tempat dimulainya tahap awal dari sejumlah besar degradasi lemak. Dalam keadaan fisiologis normal, jumlah total trigliserida di hati sangat ditentukan oleh kecepatan penggunaan lipid sebagai sumber energi secara keseluruhan (Guyton & Hall, 2007; Pearce, 2011).

Sel hati, selain mengandung trigliserida, juga mengandung sejumlah besar fosfolipid dan kolesterol, yang secara kontinu disintesis oleh hati. Juga, sel hati lebih mampu mendesaturasi asam lemak daripada jaringan lain sehingga trigliserida hati secara normal lebih tidak jenuh daripada trigliserida dari jaringan adiposa. Kemampuan hati untuk mendesaturasi asam lemak secara fungsional penting untuk semua jaringan tubuh, sebab banyak elemen struktur dari seluruh sel mengandung


(37)

jumlah lemak tak jenuh yang cukup banyak, dan sumber utamanya adalah hati. Desaturasi ini dilakukan oleh suatu dehidrogenasi di sel hati (Guyton & Hall, 2007).

2.3 Sintesis Lipid

Bila lemak yang telah disimpan dalam jaringan adiposa hendak digunakan dalam tubuh untuk menghasilkan energi, pertama, lemak harus ditranspor dari jaringan adiposa ke jaringan lain. Lemak yang ditranspor terutama berbentuk asam lemak bebas. Keadaan ini dicapai dengan hidrolisis trigliserida kembali menjadi asam lemak dan gliserol. Transpor asam lemak bebas dalam darah dilakukan dalam bentuk gabungan dengan albumin (Guyton & Hall, 2007; Campbell & Reece, 2010).

Ada dua jenis rangsangan berperan penting dalam meningkatkan hidrolisis ini. Pertama, bila sediaan glukosa pada sel lemak tidak adekuat, salah satu hasil pemecahan glukosa,α-gliserofosfat, juga tidak tersedia dalam jumlah yang cukup. Karena zat ini dibutuhkan untuk mempertahankan gugus gliserol dari trigliserida yang baru disintesis, hidrolisis trigliserida akan terjadi. Kedua, sel lipase peka hormon dapat diaktifkan oleh beberapa hormon dari kelenjar endokrin, dan hormon ini juga meningkatkan hidrolisis trigliserida dengan cepat (Guyton & Hall, 2007; Powers & Howley, 2009).

Sewaktu meninggalkan sel lemak, asam lemak mengalami ionisasi kuat dalam plasma dan gugus ioniknya segera bergabung dengan molekul albumin protein plasma. Asam lemak yang berikatan dengan cara ini disebut asam lemak bebas atau asam lemak tidak teresterifikasi untuk membedakannya dari asam lemak


(38)

lain dalam plasma yang terdapat dalam bentuk : ester gliserol, kolesterol, dan zat lainnya (Guyton & Hall, 2007).

Konsentrasi asam lemak bebas dalam plasma pada keadaan istirahat kira-kira 15 mg/dl, yang seluruhnya hanya mencapai 0,45 gram asam lemak dalam seluruh sistem sirkulasi. Jumlah sekecil ini berperan penting dalam keseluruhan sistem transport asam lemak antara berbagai bagian. Ini dikarenakan, pertama, kecepatan penggantianya (turn over) sangatlah cepat, dimana separuh asam lemak plasma akan digantikan oleh asam lemak baru setiap 2 sampai 3 menit. Pada kecepatan ini, semua kebutuhan energi normal tubuh dapat disediakan oleh oksidasi asam lemak bebas yang ditranspor tanpa menggunakan karbohidrat atau protein sebagai sumber energi (Guyton & Hall, 2007).

Kedua, semua keadaan yang meningkatkan kecepatan pemakaian lemak untuk energi sel juga meningkatkan konsentrasi asam lemak bebas dalam darah, bahkan, konsentrasi ini terkadang meningkat sampai lima hingga delapan kali. Peningkatan yang besar ini terjadi pada kasus kelaparan dan diabetes utamanya, dikarenakan sedikitnya atau tidak sama sekali memproleh energi dari metabolisme karbohidrat (Guyton & Hall, 2007; Powers & Howley, 2009).

Pada keadaan normal, hanya sekitar 3 molekul asam lemak yang bergabung dengan setiap molekul albumin, namun sebanyak 30 molekul asam lemak dapat bergabung dengan satu molekul albumin bila kebutuhan transpor asam lemak sangat besar. Ini menunjukkan bervariasinya kecepatan transport lipid pada keadaan fisiologis yang berbeda-beda (Guyton & Hall, 2007).


(39)

2.3.1 Pembentukan Adenosin Trifosfat dari Trigliserida

Pemakaian lemak sebagai sumber energi sama pentingnya dengan pemakaian karbohidrat karena jumlah energi yang dibebaskan dari setiap gram karbohidrat setelah oksidasi menjadi karbon dioksida dan air adalah 4,1 kalori, dan yang dibebaskan dari lemak adalah 9,3 kalori, sedangkan, dari protein sebesar 4,35 kalori. Selain itu, banyak karbohidrat yang ditelan bersama makanan diubah menjadi trigliserida, kemudian disimpan, dan kemudian dipakai dalam bentuk asam lemak yang dilepaskan dari trigliserida sebagai sumber energi (Powers & Howley, 2009).

Untuk memproleh energi dari lemak netral, lemak pertama-tama dipecah menjadi gliserol dan asam lemak. Asam lemak kemudian dipecah oleh oksidasi beta mitokondria menjadi radikal asetil berkarbon 2 yang membentuk asetil-koenzim A (asetil-KoA). Asetil-KoA dapat memasuki siklus asam sitrat dan dioksidasi untuk membebaskan sejumlah energi yang sangat besar. Oksidasi beta dapat terjadi di semua sel tubuh, namun terutama terjadi dengan cepat dalam sel hati. Hati sendiri tidak dapat menggunakan semua asetil-KoA yang dibentuk, sebaliknya, asetil-KoA diubah menjadi asam asetoasetat, yaitu asam dengan kelarutan tinggi yang lewat dari sel hati masuk ke cairan ekstrasel dan kemudian ditranspor ke seluruh tubuh untuk diabsorbsi oleh jaringan lain. Jaringan ini kemudian mengubah kembali asam asetoasetat menjadi asetil-KoA dan kemudian mengoksidasinya dengan cara biasa (Guyton & Hall, 2007; Powers & Howley, 2009).

Jumlah ATP yang dihasilkan dari proses oksidasi asam lemak bila menggunakan 1 molekul asam stearat adalah 146 molekul ATP. Satu molekul asam


(40)

stearat dipecah untuk membentuk 9 molekul asetil-KoA dan dikeluarkan 32 atom hidrogen ekstra. Lalu, untuk 9 molekul asetil-KoA yang didegradasi oleh siklus asam sitrat, 8 atom hidrogen dikeluarkan per molekul asetil-KoA, sehingga membentuk tambahan 72 hidrogen. Jumlah tersebut menghasilkan total 104 atom hidrogen yang akhirnya dilepaskan oleh degradasi setiap molekul asam stearat. Dari jumlah ini, 34 dikeluarkan dari pemecahan asam lemak oleh flavoprotein dan 70 dikeluarkan oleh nikotinamid adenine dinukleotida (NAD+) sebagai NADH dan H+ (Guyton & Hall, 2007; Powers & Howley, 2009).

Kedua kelompok ini dioksidasi di mitokondria, namun, atom hidrogen tersebut memasuki sistem oksidasi pada tempat yang berbeda-beda, sehingga 1 molekul ATP disintesis untuk setiap hidrogen dari 34 hidrogen flavoprotein dan 1,5 molekul ATP disintesis untuk setiap hidrogen dari 70 hidrogen NADH dan H+. Hasilnya adalah 34 dan 105, atau total 139 molekul ATP dibentuk melalui oksidasi hidrogen yang berasal dari 1 molekul asam stearat. Sembilan molekul ATP lainnya dibentuk dalam siklus asam sitrat itu sendiri (tidak termasuk ATP yang dilepaskan oleh oksidasi hidrogen), satu untuk masing-masing dari 9 molekul asetil-KoA yang dimetabolisme. Jadi, 148 molekul ATP dibentuk selama oksidasi lengkap dari 1 molekul asam stearat. Tetapi, dua ikatan berenergi tinggi dipakai dalam kombinasi awal dari koenzim A dengan molekul asam stearat, membentuk hasil akhir 146 molekul ATP (Guyton & Hall, 2007; Powers & Howley, 2009; Campbell & Reece, 2010).


(41)

2.3.2 Sintesis Trigliserida dari Karbohidrat

Setiap kali karbohidrat yang memasuki tubuh lebih banyak dari yang dapat dipakai sebagai energi atau disimpan dalam bentuk glikogen, kelebihan karbohidrat tersebut dengan cepat diubah menjadi trigliserida dan kemudian disimpan dalam bentuk ini dalam jaringan adiposa. Pada manusia, kebanyakan sintesis trigliserida terjadi di hati, tetapi sejumlah kecil juga dibentuk di jaringan adiposa itu sendiri. trigliserida yang dibentuk di hati terutama ditranspor oleh lipoprotein berdensitas sangat rendah ke jaringan adiposa tempat zat tersebut disimpan (Guyton & Hall, 2007; Powers & Howley, 2009)

2.3.3 Sintesis Trigliserida dari Protein

Banyak asam amino dapat diubah menjadi asetil-KoA. Asetil-KoA kemudian dapat disintesis menjadi trigliserida. Oleh karena itu, bila seseorang mengonsumsi protein dan makanannya melebihi jumlah protein yang dapat digunakan jaringannya, sejumlah besar kelebihan ini akan disimpan sebagai lemak (Guyton & Hall, 2007; Powers & Howley, 2009).

2.4 Komposisi Tubuh

Kompartemen tubuh terdiri atas massa bebas lemak atau fat free mass (FFM) dan massa lemak ataufat mass(FM). FFM yang lazim disebut sebagailean body massmerupakan komponen yang terdiri dari air, protein, mineral, cairan intra dan ekstraseluler, otot, organ-organ vital, komponen protein dari sel adiposa dan tulang. Sedangkan FM merupakan berat lemak tubuh yang bisa diukur dalam satuan kilogram maupun dalam persentase (Asiah & Tjakradidjaja, 2013).


(42)

Sedangkan komposisi tubuh didefinisikan sebagai proporsi relatif dari jaringan lemak dan jaringan bebas lemak dalam tubuh. Pengukuran ini penting untuk menilai keadaan fisiologi tubuh individu dan menentukan korelasinya dengan kejadian penyakit yang mungkin akan timbul (ACSM, 2010). Pengukuran komposisi tubuh dapat dilakukan dengan mengukur keseluruhan lemak tubuh dikarenakan jaringan otot menempati sedikit ruang dalam tubuh dibandingkan dengan jaringan lemak, serta relasi dari peningkatan lemak tubuh terhadap komorbiditas penyakit (Anonim, 2014). Lemak dalam tubuh seperti yang sudah dibahas sebelumnya, disimpan dalam jaringan adiposa dan hati. Penyebaran lokasi penyimpanan lemak dibagi menjadi 2, yaitu, lemak subkutan dibawah kulit dan viseral yang berada disekitar organ pencernaan. Akumulasi lemak tubuh dilakukan dengan 2 cara, yaitu, hipertropi, dan hiperplasia dari sel lemak. Hipertropi disebabkan oleh membesarnya ukuran sel karena jumlah adiposit yang meningkat. Sedangkan hiperplasia merupakan pembentukan sel lemak yang baru. Proses ini terjadi secara alami dari lahir menuju dewasa (Vella & Kravitz, 2002). Umumnya, wanita memiliki persentase lemak tubuh yang lebih tinggi dari pria. Tempat penyimpanan lemak pada wanita lebih banyak pada area gluteal-femoral, sedangkan pria pada area viseral atau abdomen. Ini disebabkan oleh faktor hormonal yang menonjol antara keduanya, yaitu jumlah hormon estrogen yang lebih banyak dan cenderung fluktuatif pada wanita (Canoy D,et al., 2007).

Perbedaan ini juga menyebabkan perbedaan bentuk tubuh yang berbeda antara pria dan wanita. Bila adipositas tubuh terus meningkat, tubuh wanita akan cenderung berbentuk pola gynoid atau buah pir (pear-shaped body type),


(43)

disebabkan pembesaran dari regio hip dan paha. Pada pria, akan terjadi pembentukan pola android atau buah apel (apple-shaped body type) (Regitz-Zagrosek,et al., 2006).

Pengukuran komposisi tubuh yang berkaitan langsung dengan adipositas dan paling banyak digunakan adalah dengan persentase lemak tubuh dan IMT, serta pengukuran Basal Metabolic Rate (BMR) sebagai kompartemen penunjang terhadap perubahan aktivitas fisik dan pola makan (Guyton & Hall, 2007).

2.4.1 IMT

a. Definisi IMT

Indeks massa tubuh atau body mass index merupakan alat ukur antropometri yang paling sering digunakan dengan membandingkan antara berat badan (kg) dan tinggi badan (m) kuadrat (Guyton & Hall, 2007). IMT tidak mengukur lemak tubuh secara langsung, namun adanya korelasi dengan pengukuran secara langsung lemak tubuh seperti underwater weighingdandual energy x-ray absorbtiometry (Grummer-Strawn, 2009). IMT adalah cara termudah untuk memperkirakan obesitas serta berkolerasi tinggi dengan lemak tubuh dan untuk mengidentifikasi pasien obesitas dengan risiko mendapat komplikasi medis (Pudjiadi et al., 2010). Keunggulan menggunakan teknik IMT yaitu bisa menggambarkan keadaan lemak tubuh yang berlebihan, paling sederhana, dapat digunakan pada skala populasi besar dan hanya membutuhkan 2 variabel, berat badan dan tinggi badan, namun memiliki kelemahan tidak dapat digunakan pada individu


(44)

dengan IMT tinggi karena besar massa otot (Guyton & Hall, 2007; Paramurthi, 2014). Rumus perhitungan IMT sebagai berikut :

Berat Badan (Kg)

IMT = ---Tinggi Badan (m) x ---Tinggi Badan (m)

b. Klasifikasi IMT

1) MenurutWorld Health Organization (WHO)

IMT diintrepetasikan menggunakan kategori status berat badan standar yang sama untuk semua umur bagi pria dan wanita dewasa yang berusia 18 tahun ke atas (juga bisa dimulai dari usia 20 tahun ke atas) (CDC, 2009). Secara umum, skor nilai IMT diatas 25 kg/m2 didefinisikan sebagai kategori obesitas dan dibawah 18,5 kg/m2 didefinisikan sebagai underweightoleh WHO.


(45)

Tabel 2.1Klasifikasi Indeks Massa Tubuh menurut WHO

Klasifikasi IMT (kg/m2)

Principal cut-off points Additional cut-off points

Severe thinness <16,00 <16,00

Moderate thinness 16,00–16,99 16,00–16,99

Mild thinness 17,00–18,49 17,00–18,49

Underweight <18,50 <18,50

Normal range 18,50–24,99 18,50–22,99

23,00–24,99

Overweight ≥ 25,00 ≥ 25,00

Pre-obese 25,00–29,99 25,00–27,49

27,50–29,99

Obese ≥ 30,00 ≥ 30,00

Obese class I 30,00–34,99 30,00–32,49

32,50–34,99

Obese class II 35,00–39,99 35,00–37,49

37,50–39,99

Obese class III ≥ 40,00 ≥ 40,00

Sumber: adaptasi dari WHO, 1995, WHO, 2000 dan WHO 2004. 2) Menurut Kriteria Asia Pasifik

Kriteria Asia Pasifik digunakan untuk orang-orang yang berada di daerah Asia, karena IMT orang Asia lebih kecil 2-3 kg/m2 dibandingkan dengan orang Afrika, Eropa, Amerika ataupun Australia (Ekky, 2013). Dijelaskan lebih lanjut dalam buku Sugondo (2006), dijelaskan bahwa meta-analisis beberapa kelompok etnik sungguh berbeda. Dengan konsentrasi lemak tubuh, usia, dan gender yang sama menunjukkan bahwa


(46)

etnik Amerika kulit hitam memiliki nilai IMT lebih tinggi dari etnik Polinesia, dan etnik Polinesia memiliki nilai IMT lebih tinggi dari etnik Kaukasia. Sedangkan untuk Indonesia memiliki nilai IMT berbeda 3,2 kg/m2 dibandingkan etnik Kaukasia. Kriteria Asia Pasifik diperuntukkan untuk orang-orang yang berdomisili di daerah Asia, karena Index Massa Tubuh orang Asia lebih kecil sekitar 2-3 kg/m2 dibanding orang Afrika, orang Eropa, orang Amerika, ataupun orang Australia (Sugondo, 2006).

Tabel 2.2Klasifikasi Indeks Massa Tubuh menurut Kriteria Asia Pasifik

Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) (kg/m2)

Kurang dari normal < 18,5

Kisaran normal 18,5–22,9

Berat badan lebih ≥ 23

Beresiko 23–24,9

Obese I 25–29,9

Obese II ≥ 30

Sumber : Sugondo. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Ed. IV Jilid III 3) Menurut Departemen Kesehatan RI

Menurut Depkes RI, kategori dewasa yang digunakan ialah diatas 18 tahun dan kriteria IMT berdasarkan Depkes RI sama dengan kriteria Asia Pasifik dikarenakan kesamaan demografis penduduk dan berdasar pula penelitian yang telah dirangkum oleh Center for Obesity Research and Education pada tahun 2007.


(47)

Tabel 2.3Klasifikasi Indeks Massa Tubuh menurut Depkes RI

Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) (kg/m2)

Kurang dari normal < 18,5

Kisaran normal 18,5–22,9

Berat badan lebih ≥ 23

Beresiko 23–24,9

Obese I 25–29,9

Obese II ≥ 30

Sumber :Center for Obesity Research and Education, 2007.

2.4.2 Persentase Lemak Tubuh

Kelemahan IMT yang tidak dapat digunakan pada individu dengan massa otot besar, disolusikan dengan menggunakan pengukuran persentase lemak tubuh ( body fat percentage/ BF%) yang lebih baik dalam mendefinisikan kelebihan lemak total hingga mencapai kondisi obesitas (Guyton & Hall, 2007). Lemak tubuh terdiri dari lemak tubuh esensial dan lemak tubuh cadangan. Lemak tubuh esensial digunakan untuk menjaga kehidupan dan fungsi reproduksi. Persentase lemak esensial pada wanita lebih banyak daripada pria, dikarenakan proses kehamilan dan fungsional hormon. Pada pria, persentase lemak esensial sebanyak 3-5%, sedangkan pada wanita 8-12%. Jumlah lemak esensial yang menurun akan berdampak pada kondisi kesehatan fisik dan psikologik (Muth, 2009).

Persentase lemak tubuh dihitung dari massa lemak dibagi total massa dikalikan 100 untuk seluruh tubuh, regionandroiddangynoid. Saat ini, tidak ada kategori persentase lemak tubuh yang menjelaskan penyimpanan jaringan adiposa


(48)

yang sehat maupun berlebihan. Nilai persentase lemak tubuh sebesar 25 persen atau lebih sudah dikatakan sebagai obesitas pada pria dan sebesar 35 persen atau lebih pada wanita. Dengan demikian, titik potong ini digunakan sebagai ukuran obesitas pada penelitian saat ini (Guyton & Hall, 2007; Romero, et al., 2008; Peltz,et al., 2010). Persentase lemak tubuh dapat digunakan untuk mengukur tingkat kebugaran, dikarenakan merupakan satu-satunya pengukuran tubuh yang langsung menghitung proporsi relatif komposisi tubuh tanpa melihat besaran tinggi atau berat badan. (Muth, 2009). Pengukuran persentase lemak tubuh dapat menggunakan alat bio electrical impedance(BIA) yang akan dibahas subab selanjutnya.

Tabel 2.4

Klasifikasi Rata-rata Persentase Lemak Berdasar Kategori menurutAmerican Council on Exercise

Deskripsi Wanita Pria

Essensial Fat 10-13% 2-5%

Athlete 14-20% 6-13%

Fitness 21-24% 14-17%

Average 25-31% 18-24%

Obese 32%+ 25%+

Sumber :American Council on Exercise, 2009.

2.4.3 BMR

Tingkat energi minimum yang diperlukan untuk bertahan hidup saat keadaan tubuh sedang beristirahat dinamakan kecepatan metabolik basal ataubasal metabolic rate (BMR). BMR mencakup sekitar 50-70% dari energi harian yang dipakai pada individu tidak aktif (sedentary) (Guyton & Hall, 2007; Powers & Howley, 2009).


(49)

Gambar 2.4 Komponen Pengeluaran Energi Sumber : Guyton & Hall, 2007

Karena tingkat aktivitas fisik sangat bervariasi di antara individu yang berbeda, pengukuran BMR dapat berfungsi sebagai perangkat yang berguna dalam membandingkan kecepatan metabolisme seseorang dengan orang lain (Guyton & Hall, 2007; Powers & Howley, 2009). Metode yang biasa digunakan untuk menentukan BMR adalah dengan mengukur kecepatan penggunaan oksigen selama waktu yang ditentukan di bawah kondisi-kondisi berikut :

a. Seseorang tidak boleh makan paling sedikit 12 jam terakhir.

b. Kecepatan metabolisme basal ditentukan setelah tidur penuh semalaman c. Tidak melakukan pekerjaan berat selama setidaknya 1 jam sebelum

pengujian

d. Semua faktor fisik dan psikis yang menimbulkan rangsangan harus dihilangkan.


(50)

f. Selama pengujian, tidak diijinkan melakukan aktivitas fisik apapun (Guyton & Hall, 2007)

Nilai BMR normalnya berkisar antara 65 sampai 70 kalori per jam pada laki-laki kebanyakan yang berat badannya 70 kilogram. Walaupun kebanyakan BMR terpakai dalam aktivitas esensial sistem saraf pusat, jantung, ginjal, dan organ lainnya, variasi dalam BMR di antara individu yang berbeda terutama terkait pada perbedaan jumlah otot rangka dan ukuran tubuh (Guyton & Hall, 2007; Powers & Howley, 2009).

Otot rangka, bahkan dalam keadaan istirahat, mencakup 20 sampai 30 persen dari BMR. Karenanya, BMR biasanya dikoreksi untuk perbedaan yang berasal dari ukuran tubuh dengan menyatakannya dalam Kalori per jam per meter persegi luas permukaan tubuh, yang dihitung dari tinggi dan berat badan (Guyton & Hall, 2007; Powers & Howley, 2009).

Sebagian besar penurunan BMR akibat penambahan usia terkait juga dengan penambahan jaringan adiposa yang menggantikan massa otot yang hilang, yang mempunyai kecepatan metabolisme lebih rendah. Berbanding lurus dengan perbandingan kelamin dimana wanita kecepatan metabolisme lebih rendah dibandingkan dengan pria dikarenakan massa otot yang lebih rendah dan jumlah jaringan adiposa yang lebih tinggi (Guyton & Hall, 2007).

2.4.4 Bioelectrical Impedance Analysis(BIA)

BIA adalah suatu metode pengukuran komposisi tubuh dengan menerapkan konsep konduksi listrik tubuh. Mesin BIA akan menciptakan arus yang melewati seluruh tubuh melalui pemasangan elektroda pada tangan dan atau kaki. Fungsi


(51)

dasarnya untuk mengukur “apa” yang menyebabkan tubuh resisten dan reaktif

terhadap arus tersebut. Semakin besar jumlah air dan cairan dalam tubuh, semakin mudah arus melintas dari tangan hingga kaki. Bila semakin sedikit, maka semakin sulit arus untuk menjalar. Konduktivitas pada darah dan urin tinggi, pada otot sedang, dan pada tulang, lemak dan udara, rendah (TNC-CDAAR, 2003).

BIA menggabungkan berbagai model teori. Model yang paling sederhana, yang melibatkan tangan-kaki atau pengukuran kaki-kaki pada frekuensi 50 KHz. Publikasi dari data BIA pada populasi sangat spesifik namun buruk pada individu yang sehat, dengan tingkat kesalahan lemak individual ± 8%. Data pediatri yang telah dipublikasikan digunakan untuk menunjukkan kondisi penyakit seperti obesitas, kista fibrosis, dan HIV. Namun, akurasi pada individu tetap buruk dan hasil pengukuran dapat dikacaukan oleh status klinis (Wells & Fewtrell, 2006).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa BIA memiliki penilaian yang baik untuk mengukurlean atau massa lemak pada manusia. Bila dibandingkan dengan IMT, antropometri, dan metodeskin fold, BIA menunjukkan hasil terpercaya untuk mengukur adipositas pada jaringan tubuh (Khalil,et al., 2014)

BIA menyediakan penempatan elektroda yang konsisten, dan karenanya cocok untuk menilai perubahan jangka pendek pada TBW individual. Mengingat bahwa pertumbuhan relatif konsisten selama jangka waktu yang singkat, pengukuran dengan BIA memiliki indikasi yang dapat menunjukkan arah perubahan FFM, tapi tidak cukup akurat untuk mengukur nilai besarannya (Wells & Fewtrell, 2006).


(52)

Prosedur pengukuran dengan menggunakan BIA adalah sebagai berikut (TNC-CDAAR, 2003) :

a. Dimulai dengan menunjukkan alat BIA dan menjelaskan secara jelas dan detail penggunaannya kepada subjek

b. Tempat pengukuran harus nyaman dan bebas dari berbagai alat yang menghasilkan panas dari listrik

c. Cek kalibrasi dan baterai alat

d. Subjek tidak melakukan latihan olahraga atau sauna selama 8 jam sebelum pengukuran

e. Subjek tidak meminum alkohol 12 jam sebelum pengukuran

f. Subjek tidak dalam kondisi diaphroretic (berkeringat) atau menahan kencing.

g. Pastikan kenyamanan subjek dan tidak ada pergerakan yang dilakukan subjek selama waktu pengukuran

h. Lepaskan perhiasan atau benda logam pada area telapak tangan

i. Bersihkan elektroda dengan alkohol swab, terutama bila kulit subjek berkeringat atau menggunakan pelembab.

j. Hidupkan alat dan ubah nilai pada panel layar ke nilai 0

k. Subjek dipersilahkan untuk memegang kedua elektroda dengan kedua tangannya.

l. Setelah beberapa detik, nilai pengukuran akan muncul dan lalu catat nilai tersebut.


(53)

2.5 Peningkatan Lemak Tubuh terhadap Patogenesis Penyakit

Overweighthingga mencapai obesitas dapat didefinisikan sebagai kelebihan lemak tubuh. Hal ini sebabkan oleh pemasukan jumlah makanan yang lebih besar daripada pemakaiannya oleh tubuh sebagai energi. Makanan berlebihan, baik lemak, karbohidrat, maupun protein, kemudian disimpan hampir seluruhnya sebagai lemak di jaringan adiposa, untuk dipakai kemudian sebagai energi. Oleh karena itu, kelebihan adipositas disebabkan masukkan energi yang melebihi pengeluaran energi. Untuk setiap kelebihan energi sebanyak 9,3 kalori yang masuk ke tubuh, kira-kira 1 gram lemak akan disimpan. Sebelumnya diyakini bahwa jumlah adiposit dapat bertambah hanya selama masa balita dan kanak-kanak dan bahwa kelebihan masukan energi pada anak dapat menimbulkan obesitas hiperplastik, yang ditandai dengan peningkatan jumlah adiposit dan hanya terjadi sedikit peningkatan ukuran adiposit (Kumar,et al., 2007; Guyton & Hall, 2007).

Sebaliknya, obesitas pada orang dewasa diyakini timbul sebagai akibat peningkatan ukuran adiposit, yang menimbulkan obesitas hipertrofik. Akan tetapi, beberapa penelitian terkini menunjukkan bahwa adiposit yang baru dapat berkembang dari fibroblas yang mirip dengan preadiposit di segala usia, dan perkembangan obesitas pada orang dewasa juga terjadi akibat penambahan jumlah adiposit dan peningkatan ukurannya. Seseorang dengan obesitas yang ekstrem dapat memiliki adiposit sebanyak empat kali normal, dan setiap adiposit memiliki lipid dua kali lebih banyak dari orang yang kurus. Begitu seseorang menjadiobese dan berat badannya stabil, masukan energi sekali lagi akan seimbang dengan pengeluaran energi. Agar seseorang dapat mengurangi berat badannya, masukan


(54)

energi harus lebih kecil dari pengeluaran energi (Kumar, et al., 2007; Guyton & Hall, 2007).

Peningkatan lemak tubuh hingga mencapai kondisi obesitas mampu meningkatkan resiko terjadinya suatu penyakit. Secara umum, baik pada pria maupun wanita, meningkatnya lemak tubuh hingga mencapai obesitas akan meningkatkan resiko terjadinya hipertensi, hiperlipidemia, aterosklerosis, jantung koroner, diabetes tipe 2, hingga kematian prematur (ACSM, 2010).

Dijelaskan lebih khusus bahwa efek merugikan obesitas berkaitan tidak saja dengan berat badan total, tetapi juga distribusi simpanan lemak. Obesitas sentral atau viseral, yang lemaknya menumpuk di badan dan rongga abdomen (mesenterium dan sekitar viseral) memiliki risiko yang jauh lebih tinggi untuk beberapa penyakit dibandingkan dengan kelebihan lemak pada jaringan subkutan (Kumar,et al.,2007).

Obesitas sentral meningkatkan risiko sejumlah penyakit, termasuk diabetes, hipertensi, hipertrigliseridemia, kolesterol HDL yang rendah, dan kemungkinan juga penyakit arteri koronaria. Mekanisme yang mendasari hubungan ini rumit dan tidak langsung berkaitan. Contohnya, obesitas berkaitan dengan resistensi insulin dan hiperinsulinemia, suatu gambaran penting pada diabetes tipe 2, dan penurunan dari berat badan menyebabkan timbulnya perbaikan dari patologi ini. Akibat dari kelebihan insulin, akan berdampak pada terjadinya retensi natrium, ekspansi volume darah, pembentukan norepinefrin secara berlebihan, dan proliferasi otot polos yang merupakan tanda utama hipertensi. Disimpulkan bahwa risiko


(55)

mengalami hipertensi di antara orang yang semula normotensive meningkat sebanding dengan berat badan (Kumar,et al., 2007).

Lalu, dari hipertrigliseridemia dan kolesterol HDL rendah berkorelasi dengan peningkatan risiko penyakit arteri koronaria pada orang yang sangat gemuk. Hubungan antara obesitas dan penyakit jantung tidaklah secara langsung, melainkan merupakan proses yang panjang dan rumit, dengan contoh dari obesitas hingga munculnya diabetes, hipertensi dan arteri koronaria yang langsung berhubungan dengan penyakit jantung (Kumar,et al., 2007).

Orang dengan kelebihan lemak tubuh juga mengalami kolelitiasis (batu empedu) daripada orang normal. Faktor penyebabnya dikarenakan jumlah kolesterol tubuh yang tinggi, meningkatkan perputaran kolesterol, dan percepatan ekskresi kolesterol melalui empedu yang akhirnya memudahkan terbentuknya batu empedu kaya kolesterol (Kumar,et al., 2007).

Orang yang sangat gemuk juga mengalami sindrom hipoventilasi (pickwickian syndrome) yaitu suatu konstelasi kelainan pernapasan yang menyebabkan mudahnya jatuh tertidur atau hipersomnolensi. Hipersomnolensi terjadi pada siang dan malam hari, disertai dengan episode apnea saat tidur, polisitemia, dan akhirnya gagal jantung kanan (Kumar,et al2007).

Kelebihan lemak tubuh juga meningkatkan penyakit degeneratif sendi yaitu osteoarthritis.Risiko penyakit ini akan semakin meningkat bila terjadi pada usia lanjut yang mengalami gangguan kelebihan berat badan. Selain karena disebabkan oleh efek kumulatif dari wear and tear pada sendi, osteoarthritisjuga diperparah


(56)

oleh peningkatan beban berat tubuh yang menyebabkan semakin meningkatnya trauma seiring berjalannya waktu (Kumar,et al2007).

Obesitas dan kanker juga memiliki kaitan, terutama kanker endometrium dan payudara. Pada kanker endometrium, dijelaskan bahwa obesitas meningkatkan kadar estrogen, dan dari kadar estrogen yang tinggi meningkatkan risiko terjadinya kanker endometrium. Sedangkan pada kanker payudara, studi observasi menunjukkan adanya peningkatan risiko terjadinya kanker pada wanita pascamenopause dan dengan obesitas sentral (Kumar,et al., 2007).

2.6 Faktor Penyebab Penumpukan Lemak Berlebih

Penyebab overweight hingga menjadi obese sangat kompleks. Meskipun gen berperan penting dalam menentukan asupan makanan dan metabolisme energi, gaya hidup dan faktor lingkungan dapat berperan penting pada banyak orang dengan berat badan berlebih. Peningkatan prevalensi obesitas yang cepat dalam kurun waktu 20 sampai 30 tahun terakhir, memperkuat pentingnya peran faktor lingkungan dan gaya hidup (Kumar, et al., 2007; Guyton & Hall, 2007). Faktor penyebabnya adalah sebagai berikut :

a. Gaya Hidup

Penyebab utama terjadinya berat badan berlebih adalah gaya hidup tidak aktif dimana aktivitas fisik dan latihan fisik yang teratur dapat meningkatkan massa otot dan mengurangi massa lemak tubuh, sedangkan sebaliknya, aktivitas yang tidak adekuat dapat menyebabkan pengurangan massa otot dan peningkatan adipositas. Sekitar 25 hingga 30 persen energi yang digunakan setiap hari oleh rata-rata orang ditujukan untuk aktivitas


(57)

otot, dan pada seorang pekerja kasar / buruh, sebanyak 60-70 persen digunakan untuk tujuan tersebut. Pada orang dengan obesitas, peningkatan aktivitas fisik biasanya akan meningkatkan pengeluaran energi melebihi asupan makanan, yang berakibat penurunan berat badan yang bermakna. Bahkan sebuah episode aktivitas berat dapat meningkatkan pengeluaran energi basal selama beberapa jam setelah aktivitas fisik tersebut dihentikan. Karena aktivitas otot adalah cara terpenting untuk mengeluarkan energi dari tubuh, peningkatan aktivitas fisik sering kali menjadi cara yang efektif untuk mengurangi simpanan lemak (Kumar, et al., 2007; Guyton & Hall, 2007).

b. Prilaku Makan

Prilaku makan seperti faktor mulut juga ikut andil dalam menyebabkan kejadian penumpukan lemak berlebih, yang berkaitan dengan prilaku mengunyah, salivasi, menelan, dan mengecap, akan mengukur makanan sewaktu makanan tersebut memasuki mulut, dan bila makanan dalam jumlah tertentu sudah masuk , pusat makan di hipotalamus akan dihambat. Efek inhibisi ini tidak terlalu kuat dan hanya berlangsung singkat selama 20 sampai 40 menit. Prilaku makan juga ditentukan oleh suhu lingkungan yang telah diteliti pada hewan termasuk mamalia manusia. Bila suhu lingkungan yang terpapar adalah udara dingin, maka akan terjadi kecenderung peningkatan prilaku makan, sebaliknya bila terpapar udara panas, cenderung untuk mengurangi asupan kalorinya. Ini terjadi akibat adanya interaksi antara sistem pengaturan suhu dan sistem pengaturan


(1)

e. Posisi darisquat downkembali menuju berdiri

Perubahan menuju berdiri hampir sama seperti pada gerakkan awal, namun, ada tambahan bantuan dari otot gastrocnemius untuk membantu menegakkan tungkai. Selain itu, tetap terjadi kontraksi konsentrik dariquadriceps, gluteus maximus, danhamstring yang menyebabkan ekstensihipdanknee. Grup otot corejuga berkontraksi untuk menstabilkanspine (Neumann,et al., 2002).

2.8.2 FungsiBurpee Interval Training

Perkembangan ilmu pengetahuan telah menyebabkan burpee tidak hanya dijadikan sebagai tes kebugaran saja, namun telah menjadi suatu latihan yang meningkatkan kekuatan otot, daya tahan, membakar kalori dan juga meningkatkan nilai EPOC (Healthline, 2015). EPOC atau excess post-exercise oxygen consumption merupakan nilai ukuran bertingkat terhadap asupan oksigen yang mengikuti beratnya aktivitas yang dimaksudkan untuk memenuhi defisit oksigen selama waktu tersebut (Scott & Kemp, 2005). Oksigen pada EPOC digunakan untuk memulihkan kondisi fisiologis tubuh pasca latihan, oleh karena itu, proses pembakaran kalori tetap terjadi sekalipun latihan telah usai dengan tujuan pemulihan (Saladin, 2012).

Pada dua minggu perlakuan, akan terjadi peningkatan kapasitas oksidasi otot yang diukur dengan aktivitas maksimal atau jumlah protein pada enzim di mitokondria seperti sitrat sintase dan oksidase sitokrom (Burgomaster,et al., 2005; ; 2007; 2008; Gibala, et al., 2006). Selama dua minggu juga terjadi perubahan faktor


(2)

resiko metabolik seperti peningkatanresting fat oxydation dan penurunan resting carbohydrate oxidation. Dan juga penurunan besar lingkar perut dan pinggul selama waktu dua minggu pada pria dengan overweight dan obesitas sedentary (Whyte, et al., 2010). Bila dilanjutkan hingga enam minggu perlakuan, menurut penelitian yang dilakukan oleh Fisher, menunjukkan ada penurunan komposisi tubuh yaitu penurunan berat badan, BMI, persentase lemak, kolesterol total, jumlah trigliserida, medium VLDL, hingga medium HDL (Fisher,et al., 2015). Penelitian lain juga mengemukakan bahwainterval trainingdengan usaha maksimal (>150% VO2peak) meningkatkan kapasitas oksidasi karbohidrat (jumlah besar pada piruvat dehidrogenase (PDH), glikogen, dan glukosa serta protein transport laktat GLUT 4 dan MCT 1 & 2), namun timbul juga peningkatan oksidasi lemak yang masih kontroversi (Burgomaster,et al., 2007; 2008).

2.8.3 Bentuk LatihanBurpee Interval Training

Konsep yang digunakan pada Burpee Interval Training adalah latihan intenval intensitas tinggi berdasar padaSprint Interval Training(SIT) dan termasuk dalam High-Intensity Interval Training (HIIT) (Mark, 2008). Yang dimasudkan dengan interval intensitas tinggi adalah latihan yang ditandai dengan percepatan berulang dengan upaya intensitas yang relatif, diselingi oleh periode istirahat atau latihan intensitas lebih rendah sebagai pemulihan. Bentuk yang paling sering digunakan adalah interval training Wingate Test, dimana menerapkan 30 detik “total” pengerahan tenaga dan kecepatan gerakkan, diselingi 4 sampai 5 menit istirahat. Satu waktu gerakkan total disertai istirahat disebut dengan 1 interval dan dalam satu sesi latihan dilakukan 4-6 interval. Perminggunya dilakukan tiga sesi


(3)

latihan dengan total waktu keseluruhan untuk satu latihan adalah ± 25 menit dengan beberapa tambahan waktu untuk pemanasan dan pendinginan yang disertakan dalam waktu istirahat (Gibala & McGee, 2008).

a. Intensitas : 4 -6 interval / 6 x (30 detik “all out”, 4 menit istirahat) b. Frekuensi : 3 x seminggu

c. Teknik : Burpee

2.9 Latihan Aerobik Intensitas Ringan

2.9.1 Definisi Latihan Aerobik Intensitas Ringan

Latihan aerobik adalah latihan yang menggunakan energi yang berasal dari pembakaran dengan oksigen. Contohnya, lari, jalan, senam dan bersepeda. . MenurutAmerican College of Sports Medicine(ACSM) intensitas latihan aerobik harus mencapai 60-90% dari MHR (Maximum Heart Rate). Untuk latihan aerobik intensitas ringan, harus mencapai MHR sebesar 60-69%.

Jalan aerobik atau disebut juga jalan sehat adalah jalan kaki yang dilakukan dengan tujuan meningkatkan dan mempertahankan denyut jantung pada zona pelatihan 60-69% MHR selama 30 menit tanpa henti selama 3-4 kali dalam seminggu. Proses berjalan itu merupakan gabungan dari beberapa gerakan dalam usaha tubuh untuk memindahkan titik berat dan keseimbangan tubuh agar dapat berpindah tempat (Triangto, 2005). Proses berjalan terdiri dari 2 fase utama yaitu stance phasedanswing phasedengan 8 gerakan dalam 1 siklus gerakan jalan.

a. Stance Phase

Dibagi lagi menjadi 5 subdivisi dengan diawali dengan heel contact yaitu saat tumit bersentuhan dengan tanah, lalu dilanjutkan denganfoot flatyaitu


(4)

saat permukaan plantar tarsal bersentuhan dengan tanah. Mid stance merupakan titik poin saat berat tubuh ditopang penuh oleh ekstremitas bawah. Lalu dilanjutkan denganheel off, yaitu saat tumit diangkat menjauhi tanah. Dan toe off, yaitu saat permukaan plantar tarsal diangkat menjauhi tanah (Neumann,et al., 2002).

b. Swing Phase

Dibagi menjadi 3 subdivisi, yaitu early swing, merupakan periode waktu antara toe off menujumid swing. Dilanjutkan denganmid swing, yaitu posisi pada mid stance dengan posisi yang berbeda antar pasangan ekstremitas bawah dimana satu kaki melakukan ayunan melewati kaki lainnya yang sedang dalam posisi tegak menopang. Dan diakhiri denganlate swing, yaitu periode dimana dari mid swing menuju saat telapak kaki bersentuhan dengan tanah (Neumann,et al., 2002).

Gambar 2.8 Fase Berjalan Sumber : Neumann,et al., 2002


(5)

Sama seperti olahraga pada umumnya, fase latihan aerobik ringan dengan jalan juga melalui fase-fase yang hampir mirip, yaitu, diawali dengan fase pemanasan, yang bertujuan mempersiapkan tubuh untuk menghadapi latihan yang lebih intensif. Dilanjutkan dengan fase latihan inti berupa peningkatan fungsional seluruh organ tubuh untuk mencapai target heart ratedengan durasi 15-30 menit. Diakhiri dengan fase pendinginan dengan tujuan mencegah penimbunan asam laktat pada otot, menurunkan kerja jantung dan nadi sehingga kondisi tubuh kembali ke keadaan semula (Nala, 2011).

2.9.2 Fungsi Latihan Aerobik Intensitas Ringan

Efek dari latihan ini tidak hanya pada kebugaran kardiorespirasi, namun juga pada sistem metabolisme dimana latihan aerobik bisa meningkatkan jumlah kapiler, menurunkan jumlah lemak dalam darah dan meningkatkan enzim pembakar lemak (Kurniawati, 2010). Latihan aerobik intensitas ringan sampai sedang selama 30 menit akan membakar 250 kalori dan jika dilakukan selama 20 menit atau lebih akan membakar lemak di dalam tubuh (Ratmawati, 2013).

Latihan aerobik yang dilakukan rutin seperti jalan kaki akan menimbulkan beberapa perubahan karena adanya stimulus pada otot. Pertama, perubahan pada jenis serat otot. Latihan aerobik intensitas ringan banyak menggunakan jenis otot slow twitch, sehingga terjadi perkembangan pada serat slow twitch. Kedua, pada latihan aerobik terjadi perubahan supplai kapiler dimana pada setiap ototnya menjadi lebih banyak 5-10% dan pada latihan dengan durasi yang lama dapat meningkat sampai 15%. Adanya peningkatan jumlah kapiler menyebabkan pertukaran gas, panas, sisa metabolisme dan nutrisi serta serat otot semakin besar.


(6)

Dan hasilnya, proses produksi energi pada kontraksi otot yang berulang-ulang tetap terjaga (Sugiharto, 2010).

Karbohidrat dan lemak merupakan sumber energi utama dari proses oksidasi metabolisme. Pada aerobik intensitas ringan, proses oksidasi lemak akan meningkat. Ini dikarenakan sumber utama energi pada aerobik intensitas ringan berasal dari lemak. Latihan pada intensitas ini, yang sesuai dengan lajumaximal fat oxidationdinamakan sebagai Fatmax.Latihan aerobik pada intensitas sesuai Fatmax

berpotensial untuk meningkatkan fat oxidation rate (Fox) dan sensitivitas insulin

pada orang obesitas maupun dengan gangguan metabolik sindrom (Dumortier, et al., 2003, Venables & Jeukendrup, 2008). Dan berdampak sangat signifikan pada perubahan komposisi tubuh serta kontrol glukosa (Maurie,et al., 2011).

2.9.3 Bentuk Latihan Aerobik Intensitas Ringan

Latihan aerobik intensitas ringan dilakukan dalam bentuk latihan jalan kaki sesuai dengan fase berjalan selama 30 menit dilakukan selama 3 kali per minggu selama 6 minggu lamanya. Latihan ini harus mencapai zona latihan MHR 60-69% (ACSM, 2010; 2011).

a. Intensitas : 60-69% MHR b. Waktu : 30 menit c. Frekuensi : 3 x seminggu d. Teknik : Berjalan


Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA BERAT BADAN BERDASARKAN KATEGORI NILAI INDEKS MASSA TUBUH (IMT) DENGAN ANSIETAS PADA MAHASISWI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER UMUR (20-25) TAHUN

0 6 16

PENGARUH LATIHAN FISIK AEROBIK INTENSITAS RINGAN DAN AEROBIK INTENSITAS SEDANG TERHADAP PERUBAHAN KADAR HDL - LDL KOLESTEROL.

0 2 49

Pemberian burpee interval training lebih meningkatkan kebugaran kardiorespirasi daripada latihan aerobik dengan intensitas ringan pada mahasiswa fakultas kedokteran universitas udayana dengan kategori IMT overweight.

0 3 47

SENAM JANTUNG SEHAT DAPAT MENURUNKAN PERSENTASE LEMAK TUBUH PADA MAHASISWI PROGRAM STUDI FISIOTERAPI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA.

1 2 51

HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH (IMT) DENGAN KESEIMBANGAN STATIS PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA.

0 0 16

PEMBERIAN SENAM AEROBIK INTENSITAS RINGAN LEBIH MENURUNKAN PERSENTASE LEMAK SUBKUTAN DIBANDINGKAN INTENSITAS SEDANG PADA MAHASISWI FISIOTERAPI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA.

0 1 10

HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP DAYA TAHAN KARDIOVASKULAR PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA.

0 0 14

Hubungan Indeks Massa Tubuh dan Aktivitas Fisik Terhadap Keseimbangan Dinamis Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

0 0 11

KORELASI ANTARA INDEKS MASSA TUBUH (IMT) DENGAN NILAI KAPASITAS VITAL PARU PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT TAHUN 2014 | Karya Tulis Ilmiah

0 0 30

PERBEDAAN PENGARUH LATIHAN FITNES DENGAN SENAM AEROBIK INTENSITAS SEDANG TERHADAP PENURUNAN LEMAK PERUT PADA MAHASISWA FISIOTERAPI UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - PERBEDAAN PENGARUH LATIHAN FITNES DENGAN SENAM AEROBIK INTENSITAS SEDANG

0 2 23