Pemberian burpee interval training lebih meningkatkan kebugaran kardiorespirasi daripada latihan aerobik dengan intensitas ringan pada mahasiswa fakultas kedokteran universitas udayana dengan kategori IMT overweight.

(1)

SKRIPSI

PEMBERIAN BURPEE INTERVAL TRAINING LEBIH

MENINGKATKAN KEBUGARAN KARDIORESPIRASI DARIPADA

LATIHAN AEROBIK DENGAN INTENSITAS RINGAN PADA

MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

DENGAN KATEGORI IMT OVERWEIGHT

I GEDE PUTU AGUNG REZA DHARANA

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA


(2)

i

SKRIPSI

PEMBERIAN BURPEE INTERVAL TRAINING LEBIH

MENINGKATKAN KEBUGARAN KARDIORESPIRASI

DARIPADA LATIHAN AEROBIK DENGAN INTENSITAS

RINGAN PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA DENGAN KATEGORI IMT

OVERWEIGHT

Laporan Penelitian ini diajukan sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA FISIOTERAPI

OLEH:

I GEDE PUTU AGUNG REZA DHARANA 1202305048

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN

TINGGI

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2016


(3)

(4)

(5)

(6)

v

PEMBERIAN BURPEE INTERVAL TRAINING LEBIH MENINGKATKAN KEBUGARAN KARDIORESPIRASI DARIPADA LATIHAN AEROBIK

DENGAN INTENSITAS RINGAN PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA DENGAN KATEGORI IMT

OVERWEIGHT

ABSTRAK

Peningkatan IMT (Indeks Massa Tubuh) yang disertai dengan rendahnya aktivitas fisik akan menyebabkan penurunan kebugaran kardiorespirasi. Penelitian ini bertujuan mengetahui pemberian burpee interval training lebih baik dalam meningkatkan kebugaran kardiorespirasi daripada latihan aerobik dengan intensitas ringan pada mahasiswa dengan kategori IMT overweight. Penelitian ini bersifat eksperimental Randomized Pre-Post Test with Control Group Design melibatkan 14 orang sampel yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok 1 dengan burpee interval training dan kelompok 2 (kontrol) dengan aerobik intensitas ringan. Pengumpulan data dilakukan dengan mengukur kebugaran kardiorespirasi dengan cooper test (12 minutes run test) sebelum dan setelah pelatihan pada setiap kelompok. Uji normalitas dan homogenitas data diuji dengan menggunakan Saphiro-Wilk Test dan Levene’s Test. Uji hipotesis dengan paired sample t-test. Uji beda selisih peningkatan kebugaran kardiorespirasi pada kedua kelompok dengan Mann-Whitney.

Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan kebugaran kardiorespirasi pada kelompok I sebesar 7,93 (SB 1.19) ml/kg/min dan pada kelompok II terjadi peningkatan kebugaran kardiorespirasi sebesar 5,55 (SB 1.11) ml/kg/min. Hasil uji paired sample t-test didapatkan perbedaan yang bermakna dengan nilai p=0,000 (p<0,05) pada kelompok I dan nilai p=0,000 (p<0,05) pada kelompok II. Uji beda selisih dengan Mann-Whitney menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok I dan kelompok II dimana p=0,009 (p<0,05) dengan persentase 29% pada kelompok I dan 22% pada kelompok II.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa pelatihan burpee interval training lebih baik dalam meningkatkan kebugaran kardiorespirasi daripada latihan aerobik dengan intensitas ringan pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan kategori IMT overweight.

Kata kunci: burpee interval training, aerobik intensitas ringan, kebugaran kardiorespirasi.


(7)

vi

THE PROVISION OF BURPEE INTERVAL TRAINING MORE INCREASES THE CARDIORESPIRATORY FITNESS THAN THE LIGHT INTENSITY AEROBIC EXERCISES THE MEDICAL STUDENTS

OF UDAYANA UNIVERSITY WITH OVERWEIGHT BMI CATEGORY

ABSTRACT

Increased BMI (Body Mass Index) along with low physical activity will cause a decline in cardiorespiratory fitness. This study aimed at giving a better Burpee interval training to improve the cardiorespiratory fitness than the aerobic exercises with a light intensity in students with overweight BMI category. This study was a randomized experimental pre-posttest with control group design involving 14 samples that divided into 2 groups: group 1 with Burpee interval training and group 2 (control) with light intensity aerobic. The data collection was done by measuring cardiorespiratory fitness with cooper test (12 minutes run test) before and after the training in each group. The data normality and homogeneity test were tested using the Shapiro-Wilk test and Levene's Test. Hypothesis testing was conducted by paired sample t-test. The different test margin improvement of cardiorespiratory fitness in both groups was performed with Mann-Whitney.

The results showed an increase in cardiorespiratory fitness in group I of 7.93 (SB 1.19) ml / kg / min and in group II of increased cardiorespiratory fitness of 5.55 (SB 1.11) ml / kg / min. The results of paired samples t-test found a significant difference with p = 0.000 (p <0.05) in group I and the value of p = 0.000 (p <0.05) in group II. The different test margin with Mann-Whitney showed significant differences between group I and group II where p = 0.009 (p <0.05) with the percentage of 29% in group I and 22% in group II.

Based on the results of the research, it can be concluded that Burpee interval training is better in improving the cardiorespiratory fitness than the light intensity of aerobic exercise applied for the Udayana University Faculty of Medicine students with overweight BMI category.

Keywords: Burpee interval training, light intensity aerobic, cardiorespiratory fitness.


(8)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemberian Burpee Interval Training lebih meningkatkan kebugaran kardiorespirasi daripada latihan aerobik dengan intensitas ringan pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan kategori IMT overweight”.

Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana Fisioterapi. Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terkait dalam penulisan skripsi ini, yaitu kepada:

1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT, (K), M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

2. Prof. Dr. dr. I Nyoman Adiputra, PFK, MOH selaku Ketua Program Studi Fisioterapi Universitas Udayana.

3. Bapak Ari Wibawa, Sst.FT, M.Fis selaku pembimbing sekaligus pengajar yang telah banyak memberikan petunjuk dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

4. dr. I Dewa Ayu Inten Dwi P., S.ked, M.Biomed selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan petunjuk dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.


(9)

viii

5. Bapak, Ibu, adik dan seluruh keluarga besar yang selalu mendoakan dan memberi dukungan serta motivasi tanpa hentinya agar penulis berjuang dan berusaha menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya hingga terselesaikannya skripsi ini. Terimakasih banyak atas cinta tulus tanpa syarat yang selalu kalian berikan untuk saya.

6. Ni Putu Purnamawati yang selalu menemani, membantu serta mendukung saya dalam pembuatan skripsi ini.

7. Seluruh teman - teman AXOPLASMIC, Fisioterapi FK Unud 2012 yang selalu membantu dan memberikan semangat dalam berbagai cara baik itu melalui tawa, canda, ataupun nasihat-nasihat yang memacu semangat. Terimakasih banyak sudah mengingatkan satu sama lainnya untuk sama-sama berjuang. Thank you guys!

8. Para Sahabat yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terimakasih banyak sudah selalu berbagi cerita-cerita motivasi dan memberikan semangat walaupun kita terbatas ruang dan waktu.

9. Dosen - dosen pengajar dan staf Program Studi Fisioterapi yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

10.Seluruh kerabat dan sejawat yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan.

Denpasar, Mei 2016 Penulis


(10)

ix

DAFTAR ISI

COVER ... i

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

BAB I PENDAHULUAN. ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 6

1.3Tujuan Penelitian ... 7

1.4Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1Overweight ... 9

2.2Kebugaran Kardiorespirasi ... 11

2.2.1 Pengertian Kebugaran Kardiorespirasi ... 11

2.2.2 Volume Oksigen Maksimal (VO2maks) ... 13

2.2.3 Faktor yang mempengaruhi kebugaran kardiorespirasi ... 14

2.2.4 Cooper Test (12 Minutes Run Test) ... 15

2.3Sistem Kardiorespirasi ... 17

2.3.1 Sistem Sirkulasi ... 17

2.3.2 Anatomi Jantung ... 18

2.3.3 Fisiologi Jantung ... 20

2.3.4 Sistem Vaskular ... 21

2.3.5 Sistem Pulmonal (Respiratory System) ... 23


(11)

x

2.5Reaksi Fisiologis Sistem Kardiorespirasi terhadap Latihan ... 28

2.6Burpee Interval Training ... 30

2.7Latihan Aerobik Intensitas Ringan ... 32

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS ... 34

3.1Kerangka Berpikir ... 34

3.2Kerangka Konsep Penelitian ... 36

3.3Hipotesis ... 37

BAB IV METODE PENELITIAN ... 38

4.1Desain Penelitian ... 38

4.2Tempat dan Waktu Penelitian ... 39

4.3Populasi dan Sampel ... 39

4.3.1 Populasi ... 39

4.3.2 Sampel ... 40

4.3.3 Besar Sampel ... 41

4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel... 42

4.4Variabel Penelitian ... 42

4.5Definisi Operasional Variabel... 43

4.6Instrumen Penelitian ... 44

4.7Prosedur Penelitian ... 44

4.7.1 Prosedur Pendahuluan ... 44

4.7.2 Prosedur Pelaksanaan ... 45

4.8Alur Penelitian ... 50

4.9Teknik Analisis Data... 51

BAB V HASIL PENELITIAN... 53

5.1Data Karakteristik Sampel ... 54

5.2Uji Normalitas dan Homogenitas ... 54

5.3Uji Beda ... 56

5.3.1 Uji Beda sebelum diberikan latihan pada kelompok 1 dan 2 ... 56

5.3.2 Uji Beda sesudah diberikan latihan pada kelompok 1 dan 2 ... 57

5.4Uji Hipotesis... 57


(12)

xi

5.4.2 Uji Mann-Whitney Test ... 58

BAB VI PEMBAHASAN ... 60

6.1Karakteristik Sampel ... 60

6.2Distribusi dan Varians Sampel Penelitian ... 61

6.3Burpee Interval Training dapat meningkatkan kebugaran kardiorespirasi pada mahasiswa dengan kategori IMT Overweight ... 62

6.4Latihan Aerobik dengan Intensitas Ringan dapat meningkatkan kebugaran kardiorespirasi pada mahasiswa dengan kategori IMT Overweight ... 63

6.5Burpee Interval Training lebih meningkatkan kebugaran kardiorespirasi daripada Latihan Aerobik dengan Intensitas Ringan pada mahasiswa dengan kategori IMT Overweight ... 65

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

7.1Simpulan ... 67

7.2Saran ... 67 DAFTAR PUSTAKA


(13)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Jantung ... 19

Gambar 3.1 Skema Kerangka Konsep Penelitian ... 36

Gambar 4.1 Desain Penelitian ... 38

Gambar 4.2 Standing Position ... 48

Gambar 4.3 Squat Down Position ... 48

Gambar 4.4 Plank Position ... 48


(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi IMT Menurut Kriteria Asia Pasifik ... 10

Tabel 2.2 Nilai Normatif VO2maks (ml/kg/min) Pada Pria ... 16

Tabel 5.1 Distribusi Data Sampel Berdasarkan Umur, IMT, Aktivitas Fisik ... 54

Tabel 5.2 Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas ... 55

Tabel 5.3 Hasil Uji Beda Independent t-test sebelum latihan ... 56

Tabel 5.4 Hasil Uji Beda Independent t-test sesudah latihan... 57

Tabel 5.5 Hasil Uji Paired Sample t-test ... 58

Tabel 5.4 Hasil Uji Mann-Whitney Test ... 59


(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kemajuan zaman serta arus globalisasi sangatlah mempengaruhi kehidupan setiap individu di Indonesia maupun di negara-negara lainnya baik ditinjau dari teknologi, gaya hidup dan lain sebagainya. Perkembangan teknologi yang begitu pesat memungkinkan manusia mengerjakan segala sesuatunya dengan praktis dan instan sehingga kebanyakan pekerjaan dapat dilakukan dengan mudah tanpa harus mengeluarkan tenaga yang besar. Keadaan yang serba praktis tentunya akan menyebabkan penurunan aktivitas fungsional sehingga seiring berjalannya waktu akan menimbulkan sedentary life style atau kurangnya aktivitas fisik yang dilakukan. Kurangnya aktivitas fisik dan tingginya asupan makanan padat energi seperti lemak dan gula, akan menyebabkan peningkatan indeks massa tubuh salah satunya overweight atau kelebihan berat badan.

Overweight merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama dimana kelebihan berat badan ini disebabkan oleh ketidakseimbangan antara energi yang dikonsumsi dengan energi yang dikeluarkan (Sulistyoningsih, 2011). Sekitar sepertiga dari seluruh orang dewasa dan 17% anak-anak di negara maju seperti Amerika Serikat mengalami overweight atau kelebihan berat badan. Di kawasan Asia Pasifik kejadian kelebihan berat badan meningkat tajam, sebagai contoh,


(16)

2

20,5% dari penduduk Korea Selatan tergolong overweight dan 1,5% tergolong obese. Di Thailand, 16% penduduknya mengalami overweight dan 4% mengalami obese. Di daerah perkotaan Cina, prevalensi overweight adalah 12% pada laki-laki dan 14,4% pada perempuan, sedang di daerah pedesaan prevalensi overweight pada laki-laki dan perempuan masing-masing adalah 5,3% dan 9,8% (Vichuda, et al., 2011). Secara nasional berdasarkan data dari RISKESDAS tahun 2013, prevalensi kelebihan berat badan pada penduduk dewasa (>18 tahun) cenderung mengalami peningkatan pada rentang tahun 2007-2013. Prevalensi penduduk laki-laki dewasa obesitas pada tahun 2013 sebanyak 19,7 persen, lebih tinggi dari tahun 2007 (13,9%) dan tahun 2010 (7,8%). Prevalensi obesitas perempuan dewasa sebesar 32,9%, naik 18,1% dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5% dari tahun 2010 (15,5%). Di provinsi Bali terdapat perbedaan prevalensi berdasarkan wilayah. Di wilayah pedesaan angka prevalensi overweight sebesar 11,2% dan 11,9% mengalami obesitas sedangkan di wilayah perkotaan sebesar 14,6% mengalami overweight dan 17,7% obesitas.

Remaja khususnya mahasiswa merupakan salah satu kalangan yang yang dapat mengalami overweight. Hal ini disebabkan karena telah terjadi perubahan pola makan seperti rendahnya konsumsi buah dan sayur, tingginya konsumsi garam dan meningkatnya konsumsi makanan yang tinggi lemak serta berkurangnya aktivitas olahraga pada sebagian masyarakat terutama di perkotaan (Sandjaja & Sudikno, 2006). Menurut Misnadiarly (2007) remaja yang mengalami overweight akan menimbulkan dampak fisik dan psikologis. Salah satu dampak fisik yang ditimbulkan ialah penurunan kebugaran fisik.


(17)

3

Ditinjau dari sudut ilmu faal kebugaran fisik dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: (1) Sistem respirasi sebagai organ penyedia oksigen (terbatasnya pergerakan dinding dada, berkurangnya daya kembang paru, terjadi peningkatan kerja pernafasan akibat dari penumpukan lemak pada otot-otot diafragma dan abdomen) (2) Sistem cardiovascular dengan isinya (darah, dalam hal ini hemoglobin) sebagai pengangkut oksigen, (3) sistem otot dalam menggunakan oksigen, (4) sistem metabolisme energi sebagai penyedia energi (5) status gizi (indeks masa tubuh), serta (6) tergantung pada umur, jenis kelamin, program aktivitas fisik dan latihan. Keenam faktor tersebut secara fisiologis dan biologis harus berfungsi normal dan ditingkatkan secara simultan (Sarwono, 2008). Kebugaran tubuh dipengaruhi oleh beberapa komponen dimana daya tahan kardiorespirasi merupakan komponen utama yang paling mempengaruhi. Daya tahan kardiorespirasi merupakan kemampuan untuk melakukan aktivitas terus-menerus dalam jangka waktu yang lama dan dalam keadaan aerobik (Nala, 2011). Salah satu cara untuk mengukur kebugaran kardiorespirasi ialah dengan Cooper Test (12 minutes run test).

Cooper Test (12 minutes run test) adalah tes yang sering digunakan untuk mengukur daya tahan kardiorespirasi berdasarkan VO2maks. Dalam mengukur VO2maks dengan menggunakan tes lari 12 menit, yaitu dengan cara berlari atau berjalan tanpa henti selama 12 menit. Tujuan dari tes lari 12 menit untuk mengukur kapasitas aerobik (VO2maks) dengan metode mengukur jarak tempuh yang dapat dicapai selama berlari atau berjalan 12 menit dengan tanpa henti. Cooper Test (12 minutes run test) memiliki tingkat validitas serta


(18)

4

reliabilitas mencapai 95% (r=0.95) berdasarkan penelitian Wilcox pada tahun 2011 tentang Validity and Reliability Analysis of Cooper’s 12-Minute Run and the Multistage Shuttle Run in Healthy Adults.

Dalam melakukan aktivitas sehari-hari tentunya harus didukung dengan kebugaran kardiorespirasi yang baik. Menurut American College of Sport Medicine, Burpee Interval Training dan latihan aerobik intensitas ringan merupakan salah satu bentuk latihan untuk meningkatkan kebugaran kardiorespirasi.

Burpee Interval Training merupakan jenis latihan interval yang melibatkan serangkaian otot tubuh dengan intensitas tinggi dengan diselingi waktu istirahat atau bantuan (Heyward, Vivian H, 2006). Burpee Interval Training merupakan bentuk adaptasi dari metode latihan Sprint Interval Training, dimana dengan memberikan variasi intensitas latihan pada otot jantung dapat meningkatkan sistem kerja kardiovaskuler, meningkatkan kapasitas aerobik dan memungkinkan seseorang untuk berolahraga lebih lama atau lebih intens. Burpee Interval Training dapat dilakukan hingga intensitas maksimal (>150% dari puncak VO2maks) dengan durasi 6 interval dengan total waktu latihan selama 3 menit. Satu interval terdiri dari 30 detik burpee ‘all out’ dan 4 menit istirahat. Latihan dilakukan sebanyak 3 kali seminggu selama 2-6 minggu (Gibala, et al., 2006; Burgosmaster, et al., 2008).

Latihan aerobik dengan intensitas ringan merupakan salah satu bentuk latihan yang sudah menjadi standar dalam meningkatkan kebugaran kardiorespirasi. Pemberian latihan aerobik yang dilakukan secara teratur dan


(19)

5

dengan durasi yang cukup akan memperbaiki kerja jantung, paru dan pembuluh darah dalam meningkatkan daya tahan kardiorespirasi. Hal tersebut diperkuat berdasarkan penelitian Palar pada tahun 2015, bahwa pemberian latihan aerobik secara teratur akan meningkatkan aliran darah dan mempercepat pembuangan zat-zat sisa metabolisme sehingga pemulihan berlangsung dengan cepat, dan seseorang tidak akan mengalami kelelahan setelah melaksanakan tugas, serta masih dapat melakukan aktivitas lainnya.

Menurut American College of Sport Medicine, High Intensity Interval Training dalam waktu yang singkat sama baiknya dalam meningkatkan kebugaran kardiorespirasi dengan latihan aerobik dengan intensitas ringan dalam waktu yang lama. Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan Kraemer (2004) yang menyatakan bahwa latihan dengan intensitas tinggi dan durasi latihan pendek menimbulkan respon tubuh yang sama dengan latihan dengan intensitas yang rendah dengan durasi yang lama.

Burpee Interval Training dan Latihan aerobik dengan intensitas ringan sama – sama dapat meningkatkan kebugaran kardiorespirasi karena memiliki konsep yang sama melalui pembebanan pada sistem kardiorespirasi. Namun, Burpee Interval Training lebih meningkatkan kebugaran kardiorespirasi daripada latihan aerobik dengan intensitas ringan dikarenakan Burpee Interval Training memberikan pembebanan yang lebih optimal daripada latihan aerobik dengan intensitas ringan dimana lebih banyak otot yang terlibat pada gerakan Burpee Interval Training daripada latihan aerobik dengan intensitas ringan.


(20)

6

Melihat adanya permasalahan kebugaran kardiorespirasi pada individu dengan kategori overweight serta kurangnya data mengenai pengaruh Burpee Interval Training dan Latihan Aerobik Intensitas Ringan terhadap individu overweight, maka dilakukan sebuah penelitian mengenai pemberian Burpee Interval Training lebih meningkatkan kebugaran kardiorespirasi daripada aerobik intensitas ringan pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan kategori IMT overweight.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka peneliti membuat rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apakah Burpee Interval Training dapat meningkatkan kebugaran kardiorespirasi pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan kategori IMT overweight?

2. Apakah Latihan Aerobik Intensitas Ringan dapat meningkatkan kebugaran kardiorespirasi pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan kategori IMT overweight?

3. Apakah Burpee Interval Training lebih baik dalam meningkatkan kebugaran kardiorespirasi daripada pemberian Latihan Aerobik Intensitas Ringan pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan kategori IMT overweight?


(21)

7

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh pemberian Burpee Interval Training dan Latihan Aerobik terhadap kebugaran kardiorespirasi.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pemberian Burpee Interval Training dapat meningkatkan kebugaran kardiorespirasi pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan kategori IMT overweight.

2. Untuk mengetahui pemberian Latihan Aerobik Intensitas Ringan dapat meningkatkan kebugaran kardiorespirasi pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan kategori IMT overweight.

3. Untuk mengetahui pemberian Burpee Interval Training lebih meningkatkan kebugaran kardiorespirasi dibandingkan Latihan Aerobik Intensitas Ringan pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan kategori IMT overweight.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Akademik

a. Diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan pembaca (mahasiswa) tentang pengaruh pemberian Burpee Interval Training serta Latihan Aerobik Intensitas Ringan terhadap peningkatan


(22)

8

kebugaran kardiorespirasi pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan kategori IMT overweight.

b. Digunakan sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya yang akan membahas hal yang sama.

c. Menambah khasanah dalam ilmu pendidikan pada umumnya dan fisioterapi pada khususnya.

1.4.2. Manfaat Praktis

Sebagai alternatif pemberian latihan untuk meningkatkan kebugaran kardiorespirasi serta sebagai variasi baru bagi ilmu fisioterapi dalam meningkatkan kebugaran kardiorespirasi pada individu dengan kategori IMT overweight.


(23)

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Overweight

Overweight merupakan suatu kondisi dimana berat badan seseorang melebihi dari berat badan normal. Kondisi ini terjadi akibat dari ketidakseimbangan antara input dan output. Input berkaitan dengan asupan energi sedangkan output berkaitan dengan keluaran energi. Kebiasaan pola makan yang tinggi dan aktifitas fisik yang sedentary akan menyebabkan penambahan berat badan. Hal ini diakibatkan oleh ketidakseimbangan keluaran energi dengan asupan energi sehingga kelebihan energi yang terdapat didalam tubuh akan terakumulasi menjadi jaringan lemak (jaringan adiposa) sehingga apabila kebiasaan tersebut terus berlanjut maka akan terjadi penambahan berat badan secara perlahan. Seseorang dengan kategori overweight cenderung memiliki ciri-ciri yang mudah dikenali seperti wajah membulat, pipi tembam, dagu rangkap, leher relatif pendek, dada membusung dengan payudara yang membesar mengandung jaringan lemak, perut membuncit disertai dinding perut yang berlipat-lipat (Purnamawati, 2009).

Dalam menentukan kategori berat badan digunakan pengukuran berupa Indeks Massa Tubuh (IMT) dimana berat badan dengan satuan kilogram yang dibagi tinggi badan kuadrat dengan satuan meter seperti rumus berikut:

IMT = Berat Badan kg


(24)

10

Hasil penghitungan Indeks Massa Tubuh kemudian diklasifikasikan berdasarkan kriteria asia pasifik seperti pada tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1

Klasifikasi IMT Menurut Kriteria Asia Pasifik

Klasifikasi IMT (kg/m2)

Underweight <18,5

Normal 18,6 – 22,9

Overweight 23 – 24,9

Obesitas I 25 – 29,9

Obesitas II >30

Sumber: National Institute for Health, 2006

Penyebab overweight digolongkan menjadi dua faktor menurut penelitian Purnamawati pada tahun 2009 yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik yang mempunyai peranan kuat yang diketahui adalah parental fatness yaitu seseorang yang kelebihan berat badan biasanya disebabkan oleh oleh orang tua yang juga memiliki berat badan yang berlebih. Faktor lingkungan yang berperan sebagai penyebab terjadinya overweight yaitu nutrisional (perilaku makan), aktifitas fisik dan sosial ekonomi.

Keseimbangan energi dalam tubuh diatur oleh hipotalamus melalui 3 proses fisiologis yaitu pengendalian rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju keluaran energi, dan regulasi sekresi hormon. Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah. Leptin kemudian merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar menurunkan produksi neuro peptide sehingga terjadi penurunan nafsu makan. Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari


(25)

11

asupan energi maka jaringan adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada anorexigenic center di hipotalamus untuk meningkatkan produksi neuro peptide sehingga terjadi peningkatan nafsu makan. Pada sebagian besar penderita kelebihan berat badan terjadi resistensi leptin sehingga tingginya kadar leptin tidak menyebabkan penurunan nafsu makan. Kelebihan energi didalam tubuh akibat asupan energi secara terus-menerus menyebabkan penimbunan lapisan lemak sehingga menyebabkan overweight (Purnamawati, 2009)

2.2Kebugaran Kardiorespirasi

2.2.1 Pengertian Kebugaran Kardiorespirasi

Kebugaran kardiorespirasi adalah kemampuan paru-paru, jantung dan pembuluh darah untuk memberikan jumlah oksigen yang cukup ke seluruh jaringan tubuh untuk memenuhi tuntutan aktivitas fisik yang berkepanjangan (Hoeger, 2014).

Kardiorespirasi merupakan sistem kerja fungsi faal tubuh manusia yang meliputi sistem kardiovaskular dan respirasi dengan kemampuan untuk melakukan latihan dinamis menggunakan otot tubuh dengan intensitas sedang hingga tinggi pada jangka waktu yang cukup lama serta berhubungan dengan respon jantung, pembuluh darah serta paru untuk mengangkut oksigen ke otot selama melakukan olahraga (Hoeger, 2014).

Kebugaran kardiorespiasi menunjukkan lamanya seseorang dalam melakukan suatu aktivitas. Dalam laboratorium pengukuran yang paling objektif dilakukan dengan menghitung ambilan maksimal O2 (VO2maks) (Effendi, 1983).


(26)

12

Kebugaran kardiorespirasi yang baik sangat berpengaruh pada kebugaran fisik seseorang. Kebugaran fisik adalah kemampuan seseorang untuk melakukan tugasnya sehari-hari dengan gampang tanpa merasa lelah yang berlebihan, serta masih mempunyai sisa atau cadangan tenaga untuk menikmati waktu senggangnya dan untuk keperluan-keperluan mendadak (Sumosardjuno, 1996). Untuk dapat mengetahui kemampuan kardiorespirasi seseorang maka harus dapat diketahui konsumsi oksigen maksimal atau kapasitas VO2maks. Konsumsi oksigen maksimal atau kapasitas VO2maks adalah ambilan oksigen selama aktivitas maksimum (Janssen, 2002).

Menurut Pate dkk (1993) tenaga aerobik maksimal seringkali disebut penggunaan oksigen maksimal yang merupakan tempo tercepat di mana seseorang dapat menggunakan oksigen selama berolahraga. Kualitas daya tahan paru dan jantung dinyatakan dengan besarnya VO2maks atau jumlah oksigen maksimum yang dikonsumsi secara maksimal dalam satuan ml/kg.bb/menit (Irianto, 2000).

Dalam proses menentukan besarnya kemampuan kardiorespirasi diperlukan pengukuran oksigen yang digunakan maksimal (ambilan oksigen maksimal) atau VO2maks secara langsung untuk beraktivitas. Salah satu bentuk tes lapangan yang digunakan untuk mengetahui VO2maks adalah cooper test (12 minutes run test). Tes ini cukup sering digunakan untuk mengukur kebugaran kardiorespirasi dan penerapannya cukup sederhana (Nala, 2011) dimana indikator yang digunakan ialah ambilan oksigen maksimal saat melakukan suatu aktivitas atau VO2maks.


(27)

13

2.2.2 Volume Oksigen Maksimal (VO2maks)

VO2maks yaitu suatu ukuran kapasitas tubuh dalam menggunakan oksigen. VO2maks merupakan jumlah oksigen maksimal yang dikonsumsi permenit ketika seseorang telah mencapai usaha maksimal. VO2maks merupakan faktor utama untuk menentukan intensitas latihan atau kecepatan langkah yang dapat dilakukan secara terus-menerus. VO2maks dianyatakan dalam berat badan dalam milliliter oksigen yang dikonsumsi perkilogram permenit (mL/kg/min). VO2maks bergantung pada transportasi oksigen, kapasitas ikatan oksigen dalam darah, fungsi jantung, kapabilitas difusi oksigen dan oksidatif potensial di otot (Wiwin, 2008).

Kapasitas aerobik menggambarkan besarnya kemampuan motorik dari proses aerobik seseorang. Semakin besar kapasitas VO2maks seseorang maka semakin besarpula kemampuan untuk melakukan beban kerja yang berat dan proses pemulihan kebugaran fisik lebih cepat. VO2maks yang besar berbanding lurus dengan kemampuan seseorang melakukan beban kerja yang berat dalam waktu yang relatif lama. Hal ini disebabkan oleh kapasitas anaerobik yang dimiliki seseorang sangat terbatas, sehingga sulit untuk bertahan saat melakukan beban kerja/latihan yang berat. Oleh sebab itu sistem aerobik yang bekerja hanya dengan pemakaian oksigen merupakan kunci penentu keberhasilan dalam olahraga ketahanan. VO2maks yang besar juga mempercepat pemulihan setelah beraktivitas. VO2maks yang tinggi memungkinkan untuk melakukan pengulangan gerakan yang berat dan lebih lama. Untuk dosis aktivitas fisik yang sama maka VO2maks yang lebih tinggi akan menghasilkan kadar asam laktat yang rendah sehingga mempercepat proses pemulihan (Wiwin, 2008).


(28)

14

2.2.3 Faktor yang mempengaruhi kebugaran kardiorespirasi

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi daya tahan kardiorespirasi menurut Susilowati (2007), yaitu:

1. Indeks Massa Tubuh

IMT merupakan hasil dari berat badan (kilogram) dibagi kuadrat dari tinggi badan (meter). IMT menggambarkan adiposa pada tubuh seseorang. Dengan pengukuran IMT diperoleh kategori sebagai berikut underweight, normal, overweight dan obesitas.

2. Umur

Umur mempengaruhi hampir semua komponen dalam kesegaran jasmani. Umur dapat mempengaruhi daya tahan kardiovaskular seseorang. Ketahanan kardiovaskular mencapai puncaknya pada usia 10-20 tahun dengan nilai indeks jantung normal kira-kira 4 L/menit/m2. Ketahanan kardiovaskular menurun secara perlahan seiring dengan bertambahnya usia, dan pada usia 80 tahun nilai normal indeks jantung hanya tinggal 50%. Ini dikarenakan penurunan kekuatan kontraksi jantung, massa otot jantung, kapasitan vital paru dan kapasitas oksidasi otot skeletal.

3. Jenis Kelamin

Daya tahan kardiovaskular antara pria dan wanita berbeda pada masa pubertas. Hal ini karena wanita memiliki jaringan lemak yang lebih banyak dibandingkan pria. Selain itu juga terdapat perbedaan kekuatan otot antara pria dan wanita yang disebabkan oleh perbedaan ukuran otot dan proporsinya dalam tubuh.


(29)

15

4. Aktivitas Fisik (kebiasaan olahraga)

Kebiasaan olahraga yang dilakukan oleh seseorang akan berpengaruh terhadap daya tahan kardiovaskular. Orang yang terlatih akan memiliki otot yang lebih kuat, lebih lentur, dan memiliki ketahanan kardiorespirasi yang lebih baik. Latihan yang bersifat aerobik yang dilakukan secara teratur akan meningkatkan daya tahan kardiovaskular dan mengurangi lemak tubuh. Aktivitas fisik yang baik dapat meningkatkan daya tahan kardiovaskular, yaitu penurunan denyut nadi, pernafasan semakin membaik, penurunan risiko penyakit jantung dan hipertensi.

2.2.4 Cooper Test (12 minutes run test)

Tingkat kebugaran kardiorespirasi dapat diukur berdasarkan konsumsi oksigen pada saat latihan atau volume dan kapasitas maksimum yang disebut juga dengan VO2maks. Kapasitas aerobik menunjukkan kapasitas maksimal oksigen yang dipergunakan oleh tubuh (VO2maks). Semakin banyak oksigen yang diasup atau diserap oleh tubuh menunjukkan semakin baik kinerja otot dalam bekerja sehingga zat sisa-sisa yang menyebabkan kelelahan jumlahnya akan semakin sedikit. VO2maks diukur dalam banyaknya oksigen dalam liter per menit (l/min) atau banyaknya oksigen dalam mililiter per berat badan dalam kilogram per menit (ml/kg/min).

Cooper Test (12 minutes run test) adalah tes yang sering digunakan karena tes ini sangat mudah dilakukan, dan tidak membutuhkan alat khusus. Dalam mengukur VO2maks dengan menggunakan tes lari 12 menit, yaitu dengan cara berlari atau berjalan tanpa henti selama 12 menit. Tujuan dari tes lari 12 menit untuk


(30)

16

mengukur kapasitas aerobik (VO2maks) dengan metode mengukur jarak tempuh yang dapat dicapai selama berlari atau berjalan 12 menit dengan tanpa henti.

Dari hasil pencatatan jarak tempuh, lalu dihitung kemampuan VO2maks masing-masing peserta, dengan menggunakan rumus cooper test:

Keterangan:

d12 : Jarak yang ditempuh VO2maks : Parameter Kardiorespirasi

Hasil yang diperoleh dari rumus diatas kemudian diklasifikasikan berdasarkan tabel Kebugaran Kardiorespirasi:

TABEL 2.2

Nilai Normatif VO2maks (ml/kg/min) Pada Pria

Age Very Poor Poor Fair Good Exellent Superior 13-19 <35.0 35.0-38.3 38.4-45.1 45.2-50.9 51.0-55.9 >55.9

20-29 <33.0 33.0-36.4 36.5-42.4 42.5-46.4 46.5-52.4 >52.4

30-39 <31.5 31.5-35.4 35.5-40.9 41.0-44.9 45.0-49.4 >49.4

40-49 <30.2 30.2-33.5 31.0-35.7 39.0-43.7 43.8-48.0 >48.0

50-59 <26.1 26.1-30.9 26.1-32.2 35.8-40.9 41.0-45.3 >45.3

60+ <20.5 20.5-26.0 26.1-32.2 32.3-36.4 35.5-44.2 >44.2 Sumber: Doust, 2006


(31)

17

2.3Sistem Kardiorespirasi 2.3.1 Sistem Sirkulasi

Sistem sirkulasi terdiri atas sirkulasi pulmonal dan sirkulasi sistemik serta sistem koronaria. Pada sirkulasi pulmonal, darah dari jantung (ventrikel kanan) melalui arteri pulmonalis masuk ke paru-paru kemudian dari paru-paru masuk ke vena pulmonalis dan masuk kembali ke jantung melalui atrium kiri (Luhulima, 2001).

Pada sirkulasi sistemik, darah melalui vena cava superior dan inferior masuk ke atrium kanan, kemudian ke ventrikel kanan melalui katup trikuspidalis (katup AV kanan) dan trunkus pulmonalis melalui katup semilunaris pulmonal. Kemudian darah dipompakan melalui arteri pulmonalis masuk ke dalam paru-paru (terjadi pertukaran gas), CO2 dikeluarkan ke saluran napas dan O2 didifusi ke darah yang terjadi di alveoli), kemudian kembali ke jantung melalui vena pulmonalis, masuk ke dalam atrium kiri. Darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri melalui katup bicuspidalis (katup mitralis). Darah dari ventrikel kiri dipompa keseluruh tubuh melalui aorta ascendens dengan katup semilunaris aorta dan diedarkan keseluruh tubuh melalui arteri yang berlanjut pada arteriol jaringan (ke sel). Kemudian darah balik (darah vena) kembali ke jantung melalui vena yaitu vena cava superior dan inferior (Luhulima, 2001).

Pada sirkulasi koronaria (sirkulasi jantung), arteri koroner berawal dari basis aorta asendens. Untuk menjamin pasokan darah ke jantung, arteri koroner memiliki banyak anastomosis. Hambatan pada sirkulasi koroner, apakah pada


(32)

18

spasme atau sumbatan, akan menimbulkan iskhemia miokardium dan bila tidak segera diatasi akan terjadi infark miokardium (Wiwin, 2008).

2.3.2 Anatomi Jantung

Jantung terdiri dari 4 bagian. Sisi kanan dan kiri jantung masing-masing tersusun atas dua bagian, atrium dan ventrikel. Dinding yang memisahkan bagian kanan dan kiri disebut septum. Ventrikel adalah bagian jantung yang menyemburkan darah ke arteri. Fungsi atrium adalah menampung darah yang datang dari vena dan bertindak sebagai tempat penimbunan sementara sebelum darah kemudian dikosongkan ke ventrikel. Perbedaan ketebalan dinding atrium dan ventrikel berhubungan dengan beban kerja yang diperlukan oleh tiap bagian. Dinding atrium lebih tipis dibandingkan dengan dinding ventrikel karena rendahnya tekanan yang ditimbulkan oleh atrium untuk menahan darah dan kemudian menyalurkannya ke ventrikel. Ventrikel kiri mempunyai beban kerja yang lebih berat diantara dua bagian bawahnya, maka tebalnya sekitar 2 ½ lebih tebal dibandingkan dengan dinding ventrikel kanan. Ventrikel kiri menyemburkan darah melawan tahanan sistemik yang tinggi, sementara ventrikel kanan melawan tekanan rendah pembuluh darah (Smeltzer & Bare, 2002).

Jantung terletak di dalam rongga mediastinum dari rongga dada (thoraks), diantara kedua paru. Selaput yang mengitari jantung disebut dengan perikardium, yang terdiri dari 2 lapisan, yaitu perikardium parietalis (lapisan luar yang melekat pada tulang dada dan selaput paru) dan perikardium visceralis (lapisan permukaan jantung itu sendiri atau yang sering disebut juga dengan epikardium). Diantara kedua lapisan selaput tersebut, terdapat cairan pelumas yang berfungsi mengurangi


(33)

19

gesekan yang timbul akibat gerak jantung saat memompa. Cairan ini disebut cairan perikardium (Wiwin, 2008).

Jaringan otot khusus yang menyusun dinding jantung dinamakan otot jantung. Secara mikroskopis, otot jantung mirip otot serat lurik (skelet), yang berada di bawah kontrol kesadaran. Namun secara fungsional, otot jantung ini menyerupai otot polos karena bersifat volunter. Serat otot jantung tersusun secara interkoneksi sehingga dapat berkontraksi dan relaksasi secara terkoordinasi. Pola urutan kontraksi dan relaksasi tiap-tiap serabut otot akan memastikan kelakuan ritmik otot jantung sebagai satu keseluruhan dan memungkinkannya berfungsi sebagai pompa (Smeltzer &Bare, 2002). Dinding jantung terdiri atas 3 lapisan otot jantung yaitu epicardium (lapisan otot paling luar), myocardium (lapisan otot tengah) dan endocardium (lapisan otot paling dalam) (Wiwin, 2008).


(34)

20

2.3.3 Fisiologi Jantung

Darah yang terdapat di dalam jantung dipompa keluar secara terus-menerus dan setelah melalui sistem vaskular, darah kembali ke jantung. Sistem vaskular yang dilalui dapat berupa sistem sirkulasi paru (pulmonary circulation) dan sistem sirkulasi umum (systemic circulation). Pembuluh darah pada kedua sistem tersebut terdiri dari: 1) pembuluh darah nadi (arteri) yang mengalirkan darah dari jantung ke jaringan sel-sel tubuh, 2) pembuluh darah balik (vena) yang mengalirkan darah dari jaringan sel-sel tubuh ke jantung (Masud, 1992).

Pada orang normal, darah yang masuk ke jantung melalui vena cava, kemudian dipompa ke sistem sirkulasi paru. Setelah mengalami oksigenasi di dalam jaringan sel-sel paru, kemudian darah kembali ke jantung melalui pembuluh darah balik (vena pulmonalis). Selanjutnya darah dipompa keluar dari jantung melalui bilik kiri ke sistem sirkulasi sistemik menuju ke seluruh jaringan sel-sel tubuh (Masud, 1992).

Pada keadaan normal, jumlah darah yang dapat dipompa oleh jantung sesuai dengan jumlah darah yang masuk kembali ke jantung, sebesar 5 liter per menitnya dan dapat meningkat pada olahraga yang berat sampai 25-35 liter permenit (Masud, 1992).

Sistem kardiovaskular mengalirkan darah ke seluruh bagian tubuh dan menyalurkan kembali ke jantung. Dengan jantung berkontraksi dan berelaksasi, maka jantung mampu mengalirkan darah di dalam sistem tersebut. Perubahan-perubahan hemodinamik di dalam sistem tersebut menyebabkan Perubahan-perubahan tekanan dan mengakibatkan terjadinya peristiwa aliran darah di dalamnya (Masud, 1992).


(35)

21

Perpaduan antara perubahan tekanan dan keadaan sistem kardiovaskular, memungkinkan terjadinya hemodinamik disepanjang sistem kardiovaskular. Dan darah dapat kembali ke jantung, karena adanya perbedaan tekanan antara jantung kiri dengan atrium kanan dengan tekanan atrium kanan mendekati nol, sedangkan tekanan kapiler di jaringan tetap lebih tinggi, sehingga memungkinkan darah dari jaringan sel tubuh melalui vena kembali ke jantung. Darah dipompa dari jantung kanan menuju jaringan paru untuk mengambil oksigen dan mengeluarkan karbondioksida, kemudian kembali ke jantung melalui atrium kiri. Darah yang telah mengalami oksigenasi selanjutnya dipompa jantung ke sistem sirkulasi sitemik melalui aorta. Kemudian aorta membagi aliran darah menuju cabang-cabang arteri dan subarteri yang terdapat di dalam jaringan sel dan organ yang arteriolnya kemudian bercabang membentuk anyaman kapiler. Dibagian ini terjadi pertukaran O2 dan CO2. Serta berdifusinya makanan, vitamin, mineral serta darah akan mengangkut kembali produk akhir metabolik dari jaringan-jaringan sel ke tempat pembuangan. Dari kapiler, darah menuju venula dan selanjutnya darah mengalir di dalam sistem vena menuju ke jantung. Aliran darah balik ini akan dipercepat kembali ke jantung oleh adanya aktivitas penghisap (suction) jantung dan pompa otot (Masud, 1992).

2.3.4 Sistem Vaskular

Pembuluh darah mengalirkan darah yang dipompakan jantung ke dalam sel. Sistem peredaran atau sistem vaskular terdiri dari arteri, arteriol, kapiler, venula dan vena.


(36)

22

1. Arteri

Arteri bersifat kuat dan lentur yang membawa darah dari jantung dan menanggung tekanan darah yang paling tinggi. Kelenturannya membantu mempertahankan tekanan darah diantara denyut jantung (Luhulima, 2001). 2. Arteriol

Arteriola adalah arteri yang lebih kecil dan memiliki dinding berotot yang menyesuaikan diameternya untuk meningkatkan atau menurunkan aliran darah ke daerah tertentu (Luhulima, 2001).

3. Kapiler

Kapiler merupakan pembuluh darah yang halus dan berdinding sangat tipis yang berfungsi sebagai jembatan diantara arteri yang membawah darah dari jantung dan vena yang membawah darah kembali ke jantung. Kapiler memungkinkan oksigen dan zat makanan berpindah dari darah ke dalam jaringan dan memungkinkan hasil metabolisme berpindah dari jaringan ke dalam darah, dari kapiler darah mengalir ke dalam venula (Luhulima, 2001). 4. Venula

Venula mengalirkan darah ke dalam vena kemudian kembali ke jantung (Luhulima, 2001).

5. Vena

Vena memiliki dinding yang tipis tetapi biasanya berdiameter lebih besar dari pada arteri sehingga vena mengangkut darah dalam volume yang sama tetapi dengan kecepatan yang lebih rendah dan tidak terlalu di bawah tekanan (Luhulima, 2001).


(37)

23

2.3.5 Sistem Pulmonal (Respiratory System)

Respiratory System terdiri dari jalan udara dan jaringan paru-paru yang dibagi menjadi upper tractus dan lower tractus. Upper respiratory tractus terdiri dari hidung, pharynx, larynx dan bagian atas trachea. Lower respiratory tractus terdiri dari bagian bawah trachea, bronchialis dan alveoli (Wiwin, 2008).

1. Mekanisme respirasi

Efek gerakan yang prinsipal dari thoraks adalah untuk mengubah kapasitas rongga thoracic sehingga memungkinkan udara ditarik ke dalam (inspirasi) atau dihembuskan (ekspirasi), dan dengan demikian akan menghasilkan ventilasi paru-paru. Kapasitas ini dapat meningkat dalam 3 dimensi yaitu kearah antero-posterior, lateral dan vertikal oleh adanya kontraksi otot respirasi yaitu diaphragma dan intercostalis. Jumlah gerakan bergantung pada ke dalaman respirasi (ventilasi) (Wiwin, 2008).

2. Inspirasi

Pada saat inspirasi terjadi kontraksi pada otot diafragma dan otot interkostalis. Gerakan dimulai oleh otot difragma dimana ketika otot ini berkontraksi maka terjadi gerakan pada kosta ke arah atas dank e arah luar. Hal tersebut disebabkan oleh terfiksirnya tendon pada suatu titik sehingga terjadi tarikan pada costa bagian bawah yang tertarik kea rah atas dan keluar. Pada saat inspirasi berlanjut maka akan diikuti oleh kontraksi dari otot intercostalis sehingga menimbulkan gerakan pada costa bawah dan costa bagian atas ke arah atas, kedepan dan keluar. Dengan demikian kapasitas rongga thoracic meningkat secara keseluruhan dalam 3 dimensi. Semenjak pleural parietal melekat pada


(38)

24

permukaan atas dari diafragma dan permukaan dalam dari thoraks maka tekanan negatif intrapleural menjadi lebih negatif, sehingga terjadi stretching pada jaringan elastik paru-paru dan meningkatkan volume space udara. Udara mengalir ke dalam karena tekanan didalam paru-paru adalah subatmosfir. Inspirasi yang lebih dalam akan menghasilkan perbedaan tekanan yang lebih besar sehingga dengan demikian volume udara yang masuk ke dalam paru-paru menjadi lebih besar (Wiwin, 2008).

3. Ekspirasi

Ekspirasi merupakan gerakan pasif yang dihasilkan oleh elastic recoil dari dinding dada dan jaringan paru-paru yang memaksa udara keluar dari paru-paru. Setelah itu, tekanan didalam paru-paru (tekanan alveolar) menjadi lebih besar daripada tekanan atmosfir, dan ketika kedua tekanan tersebut adalah sama maka ekspirasi akan terhenti. Pada ekspirasi yang kuat otot abdominal membantu pelepasan udara melalui peningkatan tekanan intra-abdominal (Wiwin, 2008).

2.4Hubungan Indeks Massa Tubuh Dengan Kebugaran Kardiorespirasi

Daya tahan kardiovaskular dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut diantaranya yaitu IMT dan aktivitas fisik. Dengan IMT dapat diketahui apakah berat badan seseorang termasuk kategori underweight, normal, overweight, atau obesitas sedangkan aktivitas fisik untuk mengetahui tingkatan aktivitas pada seseorang.

Berdasarkan penelitian Mexitalia et al., 2012 menyebutkan bahwa didapatkan hubungan yang bermakna antara kesegaran kardiorespirasi dengan IMT, dimana semakin tinggi IMT maka tingkat kesegaran kardiorespirasi semakin


(39)

25

rendah. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian pada anak laki-laki Jepang yang hasilnya semakin tinggi IMT seseorang semakin rendah kesegaran kardiorespirasinya. Massa lemak diyakini sebagai sebab rendahnya kesegaran kardiorespirasi tersebut (Miyatakeet al., 2001).

Kelebihan berat badan menyebabkan sejumlah gangguan metabolisme serta beberapa jenis gangguan pernapasan. Perubahan yang terjadi pada pernafasan meliputi mekanika pernapasan, tahanan aliran udara, pola pernapasan, pertukaran gas (Wulandari, 2005). Komplikasi kardiorespirasi yang dijumpai pada overweight dipengaruhi oleh jumlah dan distribusi lemak tubuh. Perubahan mekanika respirasi atau kemampuan regangan paru menyebabkan terjadinya penurunan compliance yang disebabkan oleh bertambahnya volume darah pulmonal dan kolapsnya saluran-saluran napas terminal. Kelebihan berat badan memberikan beban tambahan pada thoraks dan abdomen dengan akibat peregangan yang berlebihan pada dinding thoraks. Otot-otot pernapasan harus bekerja lebih keras untuk menghasilkan tekanan negatif yang lebih tinggi pada rongga pleura agar memungkinkan aliran udara masuk saat inspirasi. Leite et al. (2009) mengemukakan bahwa insulin memainkan peranan yang penting dalam meregulasi fungsi transporter anion di mitokondria selama terjadinya siklus Kreb. Jika mitokondria terganggu maka konsumsi glukosa dan oksigen akan terganggu dan hal ini akan berdampak pada kemampuan seseorang untuk memiliki tingkat kebugaran yang baik dan sebagai konsekuensi nilai VO2maks orang tersebut akan rendah.


(40)

26

Sebagian besar penderita kelebihan berat badan mengalami peningkatan PaCO2 dan terjadi perubahan pola pernapasan. Perubahan mekanika dinding thoraks atau gangguan fungsi otot-otot pernapasan menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk mengoreksi PaCO2 selama manuver hiperventilasi volunter. Secara umum, penderita kelebihan berat badan memiliki gangguan respon pernapasan terhadap perubahan CO2 dan hipoksia yang lebih berat dibandingkan orang normal (Wulandari, 2005). Kelebihan berat badan juga dapat meningkatkan beban pada otot – otot pernafasan. Sebagai usaha mengkompensasi peningkatan beban pada otot-otot pernafasan, penderita kelebihan berat badan mengalami peningkatan respiratory drive yang mengakibatkan peningkatan ventilasi semenit. Frekuensi pernapasan meningkat sekitar 25% - 40% dibandingkan orang normal, sedangkan volume tidal tetap normal, baik saat istirahat maupun melakukan aktifitas fisik (Wulandari, 2005). Penderita kelebihan berat badan juga mengalami perubahan penurunan waktu ekspirasi sebagai akibat perubahan compliance sistem pernapasan.

Meningkatnya beban kerja pernapasan pada penderita kelebihan berat badan karena peningkatan oxygen cost, penurunan kemampuan regangan jaringan paru (compliance), peningkatan tahanan sistem pernapasan dan peningkatan nilai ambang beban inspirasi akibat massa jaringan lemak yang berlebihan. Penderita kelebihan berat badan mengalami peningkatan beban kerja pernapasan sebesar 60% dibandingkan orang normal (Wulandari, 2005).

Selain gangguan pada pernafasan, kebanyakan penderita kelebihan berat badan mengalami hambatan melakukan aktifitas fisik. Beberapa mekanisme yang


(41)

27

berperan pada berkurangnya toleransi aktifitas fisik seperti peningkatan laju metabolisme saat istirahat dan saat aktifitas, beban metabolisme yang tinggi untuk menggerakkan tubuh, rendahnya cadangan ventilasi dan kardiovaskuler, rendahnya nilai ambang anaerobik, sesak napas dan deconditioning. Penderita obesitas mengkonsumsi oksigen 25% lebih banyak dibandingkan non-obese. Banyaknya energi yang dibutuhkan untuk menggerakkan massa tubuh merupakan salah satu penyebab meningkatnya beban metabolisme untuk menghasilkan kerja ringan hingga sedang. Perubahan mekanika dinding thoraks dan abdomen ikut berperan pada peningkatan beban kerja ventilasi. Hal ini akan memicu makin meningkatnya denyut jantung dan frekuensi pernapasan pada saat puncak aktifitas fisik walaupun yang dikerjakannya hanya sub-maksimal (Windiastoni, 2014)

Gangguan sistem kardiorespirasi tersebut tentunya akan berpengaruh pada kebugaran fisik dimana kebugaran kardiorespirasi merupakan komponen utama dalam kebugaran fisik (Nala, 2011). Walaupun kebugaran fisik ditentukan oleh faktor genetik (25% - 40%), latihan fisik yang regular merupakan penentu baik atau tidaknya kebugaran fisik seseorang (Church et al., 2005).

Berdasarkan penelitian Ross dan Janiszewski (2008), pada individu yang mengalami kelebihan berat badan sebaiknya disarankan untuk melakukan olahraga yang menurunkan berat badan karena akan memberikan efek yang besar dalam menurunkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler. Olahraga aerobik selama satu jam akan menurunkan tekanan darah serta mempengaruhi komposisi tubuh serta meningkatkan efisiensi metabolisme pada otot.


(42)

28

2.5Reaksi Fisiologis Sistem Kardiorespirasi Terhadap Latihan

Pemakaian oksigen (O2) dan pembentukan karbondioksida (CO2) dapat meningkat hingga 20 kali lipat pada saat tubuh sedang melakukan latihan fisik. Pada saat latihan fisik pada orang yang sehat. Reaksi fisiologis yang terjadi setelah latihan dilakukan secara teratur memberikan respon fisiologis, yaitu:

1. Pengaruh latihan terhadap frekuensi denyut jantung

Saat berlatih frekuensi denyut jantung akan mengalami peningkatan. Peningkatan frekuensi denyut jantung akan sesuai dengan intensitas latihan yang dilakukan. Semakin tinggi intensitas latihan (misal berlari, latihan sepeda dan berenang semakin cepat) maka denyut jantung akan terasa semakin cepat. Jika intensitas latihan dinaikkan maka frekuensi denyut jantung juga akan naik, tetapi jika intensitas terus dinaikkan pada suatu saat hubungannya tidak linier lagi (berbentuk garis lurus) melainkan akan ketinggalan (Rilantono, 2012). 2. Pengaruh latihan terhadap volume darah dan curah jantung

Jika pada saat istirahat volume darah sedenyut yang keluar dari jantung (stroke volume=SV) sekitar 70 cc pada saat berlatih dapat meningkat sampai 90 cc per denyut. Bagi orang terlatih volume sedenyut saat istirahat sekitar 90-120 cc pada saat berlatih dapat mencapai 150-170 cc. Besarnya curah jantung adalah frekuensi denyut jantung (banyaknya denyutan selama satu menit) dikalikan volume darah sedenyut yang keluar dari jantung. Bagi orang yang terlatih, kenaikan curah jantung akan jauh lebih tinggi. Hal tersebut bertujuan untuk membuang CO2 yang dihasilkan ketika latihan (Rilantono, 2012).


(43)

29

Meningkatnya hormon epinefrin saat latihan akan menyebabkan semakin kuatnya kontraksi otot jantung. Meskipun demikian tekanan sistol tidak langsung meningkat drastis karena pengaruh epinefrin pada pembuluh darah dapat menyebabkan pelebaran (dilatasi). Pelebaran pembuluh darah akan sangat tergantung pada kondisinya. Jika pembuluh darah sudah mengalami pengerasan maka pembuluh darah akan menjadi kaku, tidak elastis, sehingga pelebaran akan terbatas. Dengan demikian kenaikan tekanan darah saat latihan akan dapat terjadi. Peningkatan pelebaran pembuluh darah saat latihan juga disebabkan karena meningkatnya suhu tubuh. Banyaknya keringat yang keluar akan menyebabkan plasma darah keluar, volume darah menurun, sehingga tekanan darah tidak naik berlebihan (Yulianto, 2010).

4. Pengaruh latihan terhadap darah

Pada saat latihan akan banyak sel-sel darah yang pecah baik sel darah merah, sel darah putih maupun sel pembekuan darah. Ketika terjadi gerakan mendarat maka akan terjadi benturan kaki dengan lantai menyebabkan banyaknya butir darah yang pecah. Demikian juga benturan-benturan yang lain misalnya dengan bola juga akan dapat menyebabkan pecahnya sel-sel darah. Jika latihan dilaksanakan terus-menerus tidak ada hari untuk pemulihan maka sel-sel darah akan semakin berkurang. Sebagai akibatnya adalah semakin menurunnya kadar Hb, dan imunitas atau daya tahan terhadap penyakit infeksi menurun. Oleh karena itu dalam melaksanakan latihan setiap minggu perlu adanya satu hari istirahat dengan tidur yang cukup (Yulianto, 2010).


(44)

30

5. Pengaruh latihan terhadap distribusi darah

Pada saat berlatih darah akan banyak mengalir ke otot-otot yang terlibat dalam gerak. Darah akan berfungsi untuk mencukupi kebutuhan latihan baik dalam pemenuhan nutrisi untuk kebutuhan energi maupun mengangkut sisa metabolisme. Semakin tinggi intensitas latihan, darah yang mengalir ke otot akan semakin banyak (Yulianto, 2010).

6. Pengaruh latihan terhadap pernafasan

Pada saat berlatih, pernafasan menjadi lebih dalam. Hal tersebut menyebabkan peningkatan tekanan udara dalam paru, sehingga difusi (pertukaran gas) antara O2 dan CO2 juga akan meningkat yang disertai dengan peningkatan frekuensi pernafasan yang menyebabkan ventilasi (udara yang masuk selama satu menit) juga akan meningkat. Semakin tinggi intensitas latihan, frekuensi pernafasan juga akan semakin tinggi, sehingga ventilasi juga akan semakin tinggi (Alsagaff dan Mukty, 2002).

7. Pengaruh latihan terhadap lemak

Meningkatnya kerja jantung dengan lebih keras menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen yang berarti metabolisme tubuh juga menigkat sehingga makin banyak lemak yang dipakai untuk pembakaran (Kafiz, 2014).

2.6Burpee Interval Training

Burpee Interval Training (BIT) merupakan suatu bentuk latihan kombinasi dari Basic Burpee atau Squat Thrust dengan Sprint Interval Training (SIT). Burpee sendiri diciptakan oleh Royal H. Burpee, seorang fisiologis dari New York City pada tahun 1939. Tujuan awal diciptakan Burpee adalah untuk menilai kebugaran


(45)

31

individu (Tamarkin, 2014). Menurut kamus Oxford sendiri, burpee didefinisikan sebagai latihan fisik yang terdiri dari squat thrust yang berawal dan berakhir pada posisi berdiri. Latihan ini terdiri dari 4 (empat) hitungan gerakkan dasar yang melibatkan hampir seluruh otot tubuh dan dilakukan dengan sangat cepat (Tamarkin, 2014).

Burpee Interval Training termasuk jenis latihan interval dimana melibatkan serangkaian intensitas rendah ke tinggi dengan diselingi waktu istirahat atau bantuan (Heyward, Vivian H, 2006). Periode intensitas tinggi biasanya mendekati kondisi anaerobik, sedangkan periode pemulihan merupakan aktivitas intensitas rendah (Kerr, Hamish, 2011).

Konsep yang digunakan pada Burpee Interval Training adalah latihan intenval intensitas tinggi berdasar pada Sprint Interval Training (SIT) dan termasuk dalam High-Intensity Interval Training (HIIT). Yang dimaksud dengan interval intensitas tinggi adalah latihan yang ditandai dengan percepatan berulang dengan upaya intensitas yang relatif, diselingi oleh periode istirahat sebagai pemulihan. Bentuk yang paling sering digunakan adalah interval training Wingate Test, dimana menerapkan 30 detik “total” pengerahan tenaga dan kecepatan gerakan semaksimal mungkin dan diselingi 4 sampai 5 menit istirahat sebanyak 6 interval latihan. Satu interval terdiri dari 30 detik gerakan burpee ditambah dengan waktu istirahat sebanyak 4 sampai 5 menit. Perminggunya dilakukan tiga sesi latihan dengan total waktu keseluruhan untuk satu latihan adalah ± 3 menit. Penambahan jeda waktu istirahat membantu pembuangan sisa metabolisme dari otot akibat dari latihan dilakukan. Model latihan tersebut akan membantu tubuh meningkatkan volume


(46)

32

konsumsi oksigen. Hal tersebut dikarenakan, pada saat latihan maupun pada fase istirahat setelah latihan konsumsi oksigen tubuh akan jauh meningkat akibat gerakan yang dilakukan pada saat latihan sehingga hal tersebut akan meningkatkan kapasitas maksimum dari tubuh dalam mengkonsumsi oksigen (Kolt, 2007).

Menurut American College of Sports Medicine menyatakan bahwa lebih banyak oksigen yang digunakan pada saat melakukan latihan interval dengan intensitas tinggi dari pada latihan non interval. Terjadi peningkatan kecepatan metabolic rate setelah melakukan latihan karena tubuh membakar lemak dan kalori dengan cepat. Burpee Interval Training meningkatkan kerja jantung dengan lebih keras sehingga konsumsi oksigen pun meningkat yang berarti metabolisme tubuh juga menigkat sehingga semakin banyak lemak yang dipakai untuk pembakaran. Selain metabolisme pada saat kita melakukan latihan yang meningkat, metabolisme pada saat kita beristirahat pun meningkat, hal ini dikenal dengan istilah Resting Metabolic Rate (RMR) atau tingkatan metabolisme pada saat kita beristirahat selama 24 jam setelah melakukan latihan (Kafiz, 2014).

2.7Latihan Aerobik Intensitas Ringan

Latihan aerobik dengan intensitas ringan merupakan salah satu bentuk latihan yang sudah menjadi standar dalam meningkatkan kebugaran fisik dimana latihan ini lebih menggunakan energi yang berasal dari pembakaran dengan oksigen. Pemberian latihan aerobik yang dilakukan secara teratur dan dengan durasi yang cukup akan memperbaiki kerja jantung dan paru dalam meningkatkan daya tahan kardiorespirasi. Hal tersebut diperkuat berdasarkan penelitian Palar pada tahun 2015, bahwa pemberian latihan aerobik secara teratur akan meningkatkan


(47)

33

aliran darah dan mempercepat pembuangan zat-zat sisa metabolisme sehingga pemulihan berlangsung dengan cepat, dan seseorang tidak akan mengalami kelelahan setelah melaksanakan tugas, serta masih dapat melakukan aktivitas lainnya.

Latihan aerobik dengan intensitas ringan memiliki beberapa model latihan, salah satunya dengan berjalan kaki. Jalan aerobik atau disebut juga jalan sehat adalah jalan kaki yang dilakukan dengan tujuan meningkatkan dan mempertahankan denyut jantung pada zona pelatihan 60-69% MHR selama 30 menit tanpa henti selama 3-4 kali dalam seminggu. Sama seperti olahraga pada umumnya, fase latihan aerobik ringan dengan jalan juga melalui fase-fase yang hampir mirip, yaitu, diawali dengan fase pemanasan, yang bertujuan mempersiapkan tubuh untuk menghadapi latihan yang lebih intensif kemudian dilanjutkan dengan fase latihan inti berupa peningkatan fungsional seluruh organ tubuh untuk mencapai target heart rate dengan durasi 15-30 menit. Diakhiri dengan fase pendinginan dengan tujuan mencegah penimbunan asam laktat pada otot, menurunkan kerja jantung dan nadi sehingga kondisi tubuh kembali ke keadaan semula (Nala, 2011).


(1)

2.5Reaksi Fisiologis Sistem Kardiorespirasi Terhadap Latihan

Pemakaian oksigen (O2) dan pembentukan karbondioksida (CO2) dapat meningkat hingga 20 kali lipat pada saat tubuh sedang melakukan latihan fisik. Pada saat latihan fisik pada orang yang sehat. Reaksi fisiologis yang terjadi setelah latihan dilakukan secara teratur memberikan respon fisiologis, yaitu:

1. Pengaruh latihan terhadap frekuensi denyut jantung

Saat berlatih frekuensi denyut jantung akan mengalami peningkatan. Peningkatan frekuensi denyut jantung akan sesuai dengan intensitas latihan yang dilakukan. Semakin tinggi intensitas latihan (misal berlari, latihan sepeda dan berenang semakin cepat) maka denyut jantung akan terasa semakin cepat. Jika intensitas latihan dinaikkan maka frekuensi denyut jantung juga akan naik, tetapi jika intensitas terus dinaikkan pada suatu saat hubungannya tidak linier lagi (berbentuk garis lurus) melainkan akan ketinggalan (Rilantono, 2012). 2. Pengaruh latihan terhadap volume darah dan curah jantung

Jika pada saat istirahat volume darah sedenyut yang keluar dari jantung (stroke volume=SV) sekitar 70 cc pada saat berlatih dapat meningkat sampai 90 cc per denyut. Bagi orang terlatih volume sedenyut saat istirahat sekitar 90-120 cc pada saat berlatih dapat mencapai 150-170 cc. Besarnya curah jantung adalah frekuensi denyut jantung (banyaknya denyutan selama satu menit) dikalikan volume darah sedenyut yang keluar dari jantung. Bagi orang yang terlatih, kenaikan curah jantung akan jauh lebih tinggi. Hal tersebut bertujuan untuk membuang CO2 yang dihasilkan ketika latihan (Rilantono, 2012).


(2)

Meningkatnya hormon epinefrin saat latihan akan menyebabkan semakin kuatnya kontraksi otot jantung. Meskipun demikian tekanan sistol tidak langsung meningkat drastis karena pengaruh epinefrin pada pembuluh darah dapat menyebabkan pelebaran (dilatasi). Pelebaran pembuluh darah akan sangat tergantung pada kondisinya. Jika pembuluh darah sudah mengalami pengerasan maka pembuluh darah akan menjadi kaku, tidak elastis, sehingga pelebaran akan terbatas. Dengan demikian kenaikan tekanan darah saat latihan akan dapat terjadi. Peningkatan pelebaran pembuluh darah saat latihan juga disebabkan karena meningkatnya suhu tubuh. Banyaknya keringat yang keluar akan menyebabkan plasma darah keluar, volume darah menurun, sehingga tekanan darah tidak naik berlebihan (Yulianto, 2010).

4. Pengaruh latihan terhadap darah

Pada saat latihan akan banyak sel-sel darah yang pecah baik sel darah merah, sel darah putih maupun sel pembekuan darah. Ketika terjadi gerakan mendarat maka akan terjadi benturan kaki dengan lantai menyebabkan banyaknya butir darah yang pecah. Demikian juga benturan-benturan yang lain misalnya dengan bola juga akan dapat menyebabkan pecahnya sel-sel darah. Jika latihan dilaksanakan terus-menerus tidak ada hari untuk pemulihan maka sel-sel darah akan semakin berkurang. Sebagai akibatnya adalah semakin menurunnya kadar Hb, dan imunitas atau daya tahan terhadap penyakit infeksi menurun. Oleh karena itu dalam melaksanakan latihan setiap minggu perlu adanya satu hari istirahat dengan tidur yang cukup (Yulianto, 2010).


(3)

5. Pengaruh latihan terhadap distribusi darah

Pada saat berlatih darah akan banyak mengalir ke otot-otot yang terlibat dalam gerak. Darah akan berfungsi untuk mencukupi kebutuhan latihan baik dalam pemenuhan nutrisi untuk kebutuhan energi maupun mengangkut sisa metabolisme. Semakin tinggi intensitas latihan, darah yang mengalir ke otot akan semakin banyak (Yulianto, 2010).

6. Pengaruh latihan terhadap pernafasan

Pada saat berlatih, pernafasan menjadi lebih dalam. Hal tersebut menyebabkan peningkatan tekanan udara dalam paru, sehingga difusi (pertukaran gas) antara O2 dan CO2 juga akan meningkat yang disertai dengan peningkatan frekuensi pernafasan yang menyebabkan ventilasi (udara yang masuk selama satu menit) juga akan meningkat. Semakin tinggi intensitas latihan, frekuensi pernafasan juga akan semakin tinggi, sehingga ventilasi juga akan semakin tinggi (Alsagaff dan Mukty, 2002).

7. Pengaruh latihan terhadap lemak

Meningkatnya kerja jantung dengan lebih keras menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen yang berarti metabolisme tubuh juga menigkat sehingga makin banyak lemak yang dipakai untuk pembakaran (Kafiz, 2014).

2.6Burpee Interval Training

Burpee Interval Training (BIT) merupakan suatu bentuk latihan kombinasi dari Basic Burpee atau Squat Thrust dengan Sprint Interval Training (SIT). Burpee sendiri diciptakan oleh Royal H. Burpee, seorang fisiologis dari New York City pada tahun 1939. Tujuan awal diciptakan Burpee adalah untuk menilai kebugaran


(4)

individu (Tamarkin, 2014). Menurut kamus Oxford sendiri, burpee didefinisikan sebagai latihan fisik yang terdiri dari squat thrust yang berawal dan berakhir pada posisi berdiri. Latihan ini terdiri dari 4 (empat) hitungan gerakkan dasar yang melibatkan hampir seluruh otot tubuh dan dilakukan dengan sangat cepat (Tamarkin, 2014).

Burpee Interval Training termasuk jenis latihan interval dimana melibatkan serangkaian intensitas rendah ke tinggi dengan diselingi waktu istirahat atau bantuan (Heyward, Vivian H, 2006). Periode intensitas tinggi biasanya mendekati kondisi anaerobik, sedangkan periode pemulihan merupakan aktivitas intensitas rendah (Kerr, Hamish, 2011).

Konsep yang digunakan pada Burpee Interval Training adalah latihan intenval intensitas tinggi berdasar pada Sprint Interval Training (SIT) dan termasuk dalam High-Intensity Interval Training (HIIT). Yang dimaksud dengan interval intensitas tinggi adalah latihan yang ditandai dengan percepatan berulang dengan upaya intensitas yang relatif, diselingi oleh periode istirahat sebagai pemulihan. Bentuk yang paling sering digunakan adalah interval training Wingate Test, dimana menerapkan 30 detik “total” pengerahan tenaga dan kecepatan gerakan semaksimal mungkin dan diselingi 4 sampai 5 menit istirahat sebanyak 6 interval latihan. Satu interval terdiri dari 30 detik gerakan burpee ditambah dengan waktu istirahat sebanyak 4 sampai 5 menit. Perminggunya dilakukan tiga sesi latihan dengan total waktu keseluruhan untuk satu latihan adalah ± 3 menit. Penambahan jeda waktu istirahat membantu pembuangan sisa metabolisme dari otot akibat dari latihan dilakukan. Model latihan tersebut akan membantu tubuh meningkatkan volume


(5)

konsumsi oksigen. Hal tersebut dikarenakan, pada saat latihan maupun pada fase istirahat setelah latihan konsumsi oksigen tubuh akan jauh meningkat akibat gerakan yang dilakukan pada saat latihan sehingga hal tersebut akan meningkatkan kapasitas maksimum dari tubuh dalam mengkonsumsi oksigen (Kolt, 2007).

Menurut American College of Sports Medicine menyatakan bahwa lebih banyak oksigen yang digunakan pada saat melakukan latihan interval dengan intensitas tinggi dari pada latihan non interval. Terjadi peningkatan kecepatan

metabolic rate setelah melakukan latihan karena tubuh membakar lemak dan kalori dengan cepat. Burpee Interval Training meningkatkan kerja jantung dengan lebih keras sehingga konsumsi oksigen pun meningkat yang berarti metabolisme tubuh juga menigkat sehingga semakin banyak lemak yang dipakai untuk pembakaran. Selain metabolisme pada saat kita melakukan latihan yang meningkat, metabolisme pada saat kita beristirahat pun meningkat, hal ini dikenal dengan istilah Resting Metabolic Rate (RMR) atau tingkatan metabolisme pada saat kita beristirahat selama 24 jam setelah melakukan latihan (Kafiz, 2014).

2.7Latihan Aerobik Intensitas Ringan

Latihan aerobik dengan intensitas ringan merupakan salah satu bentuk latihan yang sudah menjadi standar dalam meningkatkan kebugaran fisik dimana latihan ini lebih menggunakan energi yang berasal dari pembakaran dengan oksigen. Pemberian latihan aerobik yang dilakukan secara teratur dan dengan durasi yang cukup akan memperbaiki kerja jantung dan paru dalam meningkatkan daya tahan kardiorespirasi. Hal tersebut diperkuat berdasarkan penelitian Palar pada tahun 2015, bahwa pemberian latihan aerobik secara teratur akan meningkatkan


(6)

aliran darah dan mempercepat pembuangan zat-zat sisa metabolisme sehingga pemulihan berlangsung dengan cepat, dan seseorang tidak akan mengalami kelelahan setelah melaksanakan tugas, serta masih dapat melakukan aktivitas lainnya.

Latihan aerobik dengan intensitas ringan memiliki beberapa model latihan, salah satunya dengan berjalan kaki. Jalan aerobik atau disebut juga jalan sehat adalah jalan kaki yang dilakukan dengan tujuan meningkatkan dan mempertahankan denyut jantung pada zona pelatihan 60-69% MHR selama 30 menit tanpa henti selama 3-4 kali dalam seminggu. Sama seperti olahraga pada umumnya, fase latihan aerobik ringan dengan jalan juga melalui fase-fase yang hampir mirip, yaitu, diawali dengan fase pemanasan, yang bertujuan mempersiapkan tubuh untuk menghadapi latihan yang lebih intensif kemudian dilanjutkan dengan fase latihan inti berupa peningkatan fungsional seluruh organ tubuh untuk mencapai target heart rate dengan durasi 15-30 menit. Diakhiri dengan fase pendinginan dengan tujuan mencegah penimbunan asam laktat pada otot, menurunkan kerja jantung dan nadi sehingga kondisi tubuh kembali ke keadaan semula (Nala, 2011).


Dokumen yang terkait

Intervensi air putih dan High Intensity Interval Training (HIIT) terhadap perubahan Indeks Massa Tubuh (IMT) dan indeks kebugaran kardiovaskular remaja overweight

2 14 80

NILAI VO2MAX MAHASISWA KOBE JEPANG LEBIH TINGGI DARIPADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

0 3 56

PENGARUH LATIHAN FISIK AEROBIK INTENSITAS RINGAN DAN AEROBIK INTENSITAS SEDANG TERHADAP PERUBAHAN KADAR HDL - LDL KOLESTEROL.

0 2 49

EFEKTIFITAS PEMBERIAN BURPEE INTERVAL TRAINING (BIT) DIBANDINGKAN DENGAN LATIHAN AEROBIK INTENSITAS RINGAN TERHADAP PENURUNAN KOMPOSISI TUBUH PADA MAHASISWA FISIOTERAPI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA DENGAN KATEGORI IMT OVERWEIGHT.

1 10 76

INTERVENSI DYNAMIC REVERSALS LEBIH BAIK DARIPADA RHYTHMIC STABILIZATION DALAM MENINGKATKAN FLEKSIBILITAS OTOT UPPER TRAPEZIUS PADA PEGAWAI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA.

0 0 14

HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH (IMT) DENGAN KESEIMBANGAN STATIS PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA.

0 0 16

Pemberian latihan aerobik meningkatkan kapasitas kardiorespirasi mahasiswa perokok aktif di Denpasar.

0 0 12

PEMBERIAN SENAM AEROBIK INTENSITAS RINGAN LEBIH MENURUNKAN PERSENTASE LEMAK SUBKUTAN DIBANDINGKAN INTENSITAS SEDANG PADA MAHASISWI FISIOTERAPI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA.

0 1 10

IMT mahasiswa Gizi Kelas A tidak lebih kecil daripada IMT mahasiswa Gizi Kelas B

0 0 7

PERBEDAAN PENGARUH LATIHAN FITNES DENGAN SENAM AEROBIK INTENSITAS SEDANG TERHADAP PENURUNAN LEMAK PERUT PADA MAHASISWA FISIOTERAPI UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - PERBEDAAN PENGARUH LATIHAN FITNES DENGAN SENAM AEROBIK INTENSITAS SEDANG

0 2 23