EFEKTIVITAS BIMBINGAN KELOMPK TEKNIK MODELING UNTUK MENINGKATKAN SELF EFFIACAY AKADEMIK SISWA : Studi Eksperimen Kuasi di Kelas X Sekolah Menengah Atas Laboratorium Unversitas Pendidikan Indonesia Bandung.
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN... ABSTRAK... LEMBAR PERNYATAAN... KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... i ii iii iv vii xi xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah... B. Rumusan Masalah... C. Tujuan Penelitian...
D. Manfaat Penelitian………....
E. Asumsi ……….
F. Metodologi Penelitian………...
1 9 10 11 12 13
BAB II BIMBINGAN KELOMPOK TEKNIK MODELING UNTUK
MENINGKATKAN SELF EFFICACY SISWA
A. Memahami Sel Efficacy dan Proses Pembentukannya……… 1. Pengertian Self Efficacy……….. 2. Dimensi Self Efficacy……….. 3. Proses Pembentukan Self Efficacy
B. Strategi Meningkatkan Self Efficacy……… C. Modeling Sebagai Teknik Bimbingan Kelompok Dalam Meningkatkan Self
Efficacy………..
D. Hipotesis Penelitian………..
14 14 15 16 28 27 35
BABIII METODE PENELITIAN
A. Pendekatan, Metode Dan Desain Penelitian...
B. Alur Penelitian ………
C. Lokasi Dan Subjek Penelitian………..……..
D. Variabel Penelitian ……….
E. Definisi Operasional………
F. Instrumen Self Efficacy……….
G. Uji Validitas Dan Reliabilitas Instrumen……….
H. Teknik Pengumpulan Data………...
I. Treatmen………...
J. Pemaparan Proses Treatmen……….
49 51 54 55 56 58 60 64 64
(2)
89
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran hasil pretes self efficacy akademik siswa... 1. Deskripsi Self efficacy Akademik Siswa (kelompok eksperimen jenis
coping model) ...
2. Deskripsi Self efficacy Akademik Siswa (kelompok eksperimen jenis
mastery model)....………..
3. Deskripsi Self efficacy Akademik Siswa (kelompok kontrol)…... B. Gambaran hasil postes self efficacy akademik siswa………
1. Deskripsi Self efficacy Akademik Siswa (kelompok eksperimen jenis coping model) ...
2. Deskripsi Self efficacy Akademik Siswa (kelompok eksperimen jenis
mastery model)....………...
3. Deskripsi Self efficacy Akademik Siswa (kelompok kontrol)…… C. Hasil uji perbedaan antara bimbingan kelompok teknik modeling jenis
coping model dan mastery model untuk meningkatkan self efficacy
siswa………..
1. Hasil Uji ANAVA………...………...
2. Hasil Uji Post Hoc……….….
D. Refleksi Efektivitas Hasil Penelitian………..…
92 92 93 95 96 96 98 99 101 101 103 107 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan... B. Rekomendasi... 116 117 117 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
(3)
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN... ABSTRAK... LEMBAR PERNYATAAN... KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... i ii iii iv vii xi xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah... B. Rumusan Masalah... C. Tujuan Penelitian...
D. Manfaat Penelitian………....
E. Asumsi ……….
F. Metodologi Penelitian………...
1 9 10 11 12 13
BAB II BIMBINGAN KELOMPOK TEKNIK MODELING UNTUK
MENINGKATKAN SELF EFFICACY SISWA
A. Memahami Sel Efficacy dan Proses Pembentukannya……… 1. Pengertian Self Efficacy……….. 2. Dimensi Self Efficacy……….. 3. Proses Pembentukan Self Efficacy
B. Strategi Meningkatkan Self Efficacy……… C. Modeling Sebagai Teknik Bimbingan Kelompok Dalam Meningkatkan Self
Efficacy………..
D. Hipotesis Penelitian………..
14 14 15 16 28 27 35
BABIII METODE PENELITIAN
A. Pendekatan, Metode Dan Desain Penelitian...
B. Alur Penelitian ………
C. Lokasi Dan Subjek Penelitian………..……..
D. Variabel Penelitian ……….
E. Definisi Operasional………
F. Instrumen Self Efficacy……….
G. Uji Validitas Dan Reliabilitas Instrumen……….
H. Teknik Pengumpulan Data………...
I. Treatmen………...
J. Pemaparan Proses Treatmen……….
49 51 54 55 56 58 60 64 64
(4)
89
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran hasil pretes self efficacy akademik siswa... 1. Deskripsi Self efficacy Akademik Siswa (kelompok eksperimen jenis
coping model) ...
2. Deskripsi Self efficacy Akademik Siswa (kelompok eksperimen jenis
mastery model)....………..
3. Deskripsi Self efficacy Akademik Siswa (kelompok kontrol)…... B. Gambaran hasil postes self efficacy akademik siswa………
1. Deskripsi Self efficacy Akademik Siswa (kelompok eksperimen jenis coping model) ...
2. Deskripsi Self efficacy Akademik Siswa (kelompok eksperimen jenis
mastery model)....………...
3. Deskripsi Self efficacy Akademik Siswa (kelompok kontrol)…… C. Hasil uji perbedaan antara bimbingan kelompok teknik modeling jenis
coping model dan mastery model untuk meningkatkan self efficacy
siswa………..
1. Hasil Uji ANAVA………...………...
2. Hasil Uji Post Hoc……….….
D. Refleksi Efektivitas Hasil Penelitian………..…
92 92 93 95 96 96 98 99 101 101 103 107 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan... B. Rekomendasi... 116 117 117 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
(5)
BAB II
MENINGKATKAN SELF EFFICACY MELALUI BIMBINGAN KELOMPOK TEKNIK MODELING
A. Memahami Self Efficacy dan Proses Pembentukannya 1. Pengertian Self Efficacy
Self efficacy merupakan konstruk yang diajukan Bandura berdasarkan teori sosial kognitif. Bandura (1997: 4) menyatakan bahwa self efficacy merupakan salah satu potensi yang ada pada faktor kognitif manusia, self efficacy ini berpengaruh besar terhadap perilaku manusia. Menurut Bandura (1997: 3), “Self efficacy refers to beliefs in one’s capability to organize and execute the courses of action required to produce given attainments”.
Jerusalem dan Schwarzer (Manara 2008: 30) mendefinisikan Self efficacy sebagai keyakinan seseorang untuk dapat melakukan tugas yang sulit atau mengatasi kesulitan dengan kemampuan yang dimilikinya. Konsep Self efficacy berhubungan dengan pendapat seseorang tentang kemampuannya untuk bertindak pada tugas dan situasi tertentu.
Berdasarkan pada beberapa pengertian di atas, maka hal yang ditekankan dalam self efficacy dapat dipandang sebagai keyakinan seseorang dan kemampuan melakukan serangkaian tindakan dalam situasi tertentu. Keyakinan seseorang dalam self efficacy tidak terkait dengan seberapa banyak kemampuan yang dimiliki seseorang, namun terkait dengan keyakinan apa yang dapat dilakukan dengan kemampuan yang dimiliki dalam berbagai kondisi.
(6)
2. Dimensi Self efficacy
Bandura membedakan keyakinan self efficacy ke dalam beberapa dimensi yaitu level, generality, dan strength(Bandura 1997: 42-50).
a) Demensi level.
Dimensi level mengacu kepada persepsi tugas yang dianggap sulit oleh individu, persepsi terhadap tugas yang sulit ini dipengaruhi oleh kompetensi yang dimiliki oleh individu tersebut. Misalnya keyakinan seorang siswa dapat mengerjakan soal ujian, keyakinan ini didasari oleh pemahamannya terhadap materi yang diujikan . Dalam pengembangan skala self efficacy, peneliti harus menggambarkan pemahaman peserta didik terhadap tugas -tugas pembelajaran yang dapat dicapai dengan sukses. b) Dimensi strength.
Dimensi strength terkait dengan kekuatan self efficacy seseorang ketika menghadapi tuntutan tugas atau suatu permasalahan. Self efficacy yang lemah dapat dengan mudah ditiadakan dengan pengalaman yang mencemaskan ketika menghadapi sebuah tugas. Sebaliknya orang yang memiliki keyakinan kuat akan tekun pada usahanya meskipun ada tantangan. Dimensi ini mencakup kepada derajat kemantapan individu terhadap keyakinannya, kemantapan terhadap keyakinan ini yang menentukan ketahanan dan keuletan individu. Dimensi ini biasanya berkenaan langsung
(7)
dengan dimensi level, yaitu semakin tinggi taraf kesulitan tugas, maka semakin lemah keyakinan yang dirasakan untuk menyelesaikannya.
c) Dimensi generality.
Dimensi generality mengacu kepada taraf keyakinan dan kemampuan siswa dalam mengeneralisasikan tugas dan pengalaman sebelumnya. Seseorang dapat menilai dirinya memiliki self efficacy pada banyak aktivitas atau pada aktivitas tertentu. Seseorang yang dapat menerapkan self efficacy dalam berbagai kondisi, maka semakin tinggi self efficacy yang dimilikinya.
3. Proses Pembentukan Self efficacy
Self efficacy berpengaruh terhadap tindakan manusia. Bandura (1997: 116) menjelaskan bahwa self efficacy mempunyai efek pada perilaku manusia melalui empat proses yaitu proses kognitif, proses motivasi, proses afeksi dan proses seleksi. “A substantial body of literature shows that efficacy beliefs regulate human functioning through four major processes. They include cognitive, motivational, affective and selective processes”.
a) Proses Kognitif (Cognitive Processes).
Bandura (1997:116) menjelaskan bahwa serangkaian tindakan yang dilakukan manusia awalnya dikonstruk dalam pikirannya. Pemikiran ini kemudian memberikan arahan bagi tindakan yang dilakukan manusia. Keyakinan seseorang akan self efficacy mempengaruhi bagaimana seseorang menafsirkan situasi lingkungan, antisipasi yang
(8)
akan diambil dan perencanaan yang akan dikonstruk. Seseorang yang menilai bahwa mereka sebagai seorang yang tidak mampu, maka akan menafsirkan situasi tersebut sebagai hal yang penuh resiko dan cendrung gagal dalam membuat perencanaan. Sedangkan individu yang memiliki self efficacy baik akan memiliki keyakinan bahwa ia dapat menguasai situasi dan memproduksi hasil positif.
b) Proses Motivasi (Motivational Processes).
Menurut Bandura (1997: 122) motivasi manusia dibangkitkan secara kognitif. Melalui kognitifnya, seseorang memotivasi dirinya dan mengarahkan tindakannya berdasarkan informasi yang dimiliki sebelumnya. Seseorang membentuk keyakinannya mengenai apa yang dapat dilakukan, dihindari, dan tujuan yang dapat dicapai. Keyakinan ini akan memotivasi individu untuk melakukan suatu hal.
c) Proses Afeksi (Affective Processes).
Self efficacy mempengaruhi reaksi terhadap tekanan yang dialami ketika menghadapi suatu tugas. Seseorang yang percaya bahwa dirinya dapat mengatasi situasi akan merasa tenang dan tidak cemas. Sebaliknya orang yang tidak yakin akan kemampuannya dalam mengatasi situasi akan mengalami kecemasan. Bandura (1997:137) menjelaskan bahwa orang yang mempunyai efficacy dalam mengatasi masalah menggunakan strategi dan mendesain serangkaian kegiatan untuk merubah keadaan. Individu yang memiliki
(9)
self efficacy tinggi akan menganggap sesuatu bisa diatasi, sehingga mengurangi kecemasannya.
d) Proses Seleksi (Selection Processes).
Keyakinan terhadap self efficacy berperan dalam rangka menentukan tindakan dan lingkungan yang akan dipilih individu untuk menghadapi suatu tugas tertentu. Pilihan (selection) dipengaruhi oleh keyakinan seseorang akan kemampuannya (efficacy). Seseorang yang mempunyai self efficacy rendah akan memilih tindakan untuk menghindari atau menyerah pada suatu tugas yang melebihi kemampuannya, tetapi sebaliknya dia akan mengambil tindakan dan menghadapi suatu tugas apabila dia mempunyai keyakinan bahwa ia mampu untuk mengatasinya. Bandura (1997: 160) menyatakan semakin tinggi self efficacy seseorang, maka semakin menantang aktivitas yang akan dipilih orang tersebut.
B.Strategi Meningkatkan Self efficacy
Harpine (2008: 11) menyatakan bahwa “self efficacy dapat ditransformasikan dari self efficacy yang negatif menjadi self efficacy positif melalui pelatihan atau program yang terstruktur berdasarkan pengalaman tentang kesuksesan”. Bandura menyatakan ada empat cara untuk meningkatkan self efficacy. Empat cara ini telah dikembangkan oleh Harpine melalui program-program pelatihan bagi anak dan remaja. Empat cara untuk meningkatkan self efficacy tersebut adalah pengalaman yang telah dilalui (enactive mastery experience), pengalaman orang lain (vicarious experiences), persuasi sosi al
(10)
(sos ial pers uasi on), dan keadaan fisiol ogi s dan emosi (physiological and affective states).
Bandura (1997: 79) juga menyatakan bahwa:
Self efficacy dibangun dari empat sumber prinsip informasi, yaitu enactive mastery experience sebagai indikator dari kemampuan diri, vicarious experience yang akan menjadi transmisi kompetensi dan perbandingan dengan orang lain, verbal persuasion dan tipe yang berkiatan dengan social yang merupakan satu proses kemampuan khusus, Psycological and affective state dari orang yang menimbang terhadap kemampuan, dan kekuatannya.
Berikut penjelasan dari keempat sumber di atas.
1. Pengalaman yang telah Dilalui (Enactive Mastery Experience ). Enactive mastery experience merupakan informasi yang paling berpengaruh karena menyediakan bukti yang paling otentik berkenaan dengan kemampuan seseorang dalam melakukan sesuatu. Hasil yang dicapai oleh individu melalui pengalaman sebelumnya adalah sumber informasi yang penting karena langsung berhubungan dengan pengalaman pribadi seseorang. Kesuksesan dibangun dari keyakinan yang mantap berkenaan dengan efiksi diri seseorang. Pengalaman keberhasilan atau kesuksesan dalam mengerjakan sesuatu akan meningkatkan self efficacy seseorang, sedangkan kegagalan juga akan menguranginya. Seseorang yang yakin bahwa mereka memiliki hal yang diperlukan untuk sukses, maka mereka akan berani untuk melakukan sebuah tindakan.
2. Pengalaman Orang Lain (Vicarious Experience).
Vicariuos experience disebut juga dengan modeling (Luthan, 2001:47). Self efficacy juga dipengaruhi oleh pengalaman orang lain
(11)
dengan cara melihat apa yang telah dicapai oleh orang lain. Pada konteks ini terjadi proses modeling yang juga dapat menjadi hal efektif untuk meningkatkan efikasi seseorang. Seseorang bisa ragu ketika akan melakukan sesuatu meskipun mempunyai kemampuan untuk melakukannya. Namun pada saat ia melihat orang lain yang memiliki kemampuan sama dengannya berhasil melakukannya, maka pengalaman tersebut dapat meningkatkan self efficacy. Selain itu orang lain dapat menjadi ukuran terhadap kemampuan yang dimilikinya, sehingga seseorang perlu menilai kemampuannya dengan melihat hasil yang telah dicapai oleh orang lain. Sebagai contoh, seorang pelajar yang mendapat skor 115 dari hasil ujiannya tidak akan mempunyai landasan untuk menyatakan nilainya tinggi atau rendah tanpa membandingkan dengan nilai yang didapat oleh teman-temannya. Di sisi lain pengalaman dari orang lain juga dapat melemahkan keyakinan individu dalam melakukan sesuatu ketika melihat seseorang yang dipandang memiliki kemampuan sama atau lebih tinggi dari dia gagal dalam melakukan sesuatu.
3. Persuasi Sosial (Social Persuasion)
Social persuasion adalah penguatan yang didapatkan dari orang lain bahwa seseorang mempunyai kemampuan untuk meraih apa yang ingin dilakukannya. Seseorang yang menghadapi kesulitan dalam tugasnya akan memiliki self efficacy yang meningkat ketika ada seseorang yang meyakinkannya bahwa ia mampu menghadapi tuntutan tugas tersebut. Seseorang yang mendapatkan persuasi sosial bahwa mereka mempunyai
(12)
kem ampuan unt uk melakukan s es uatu kem ungkinan akan mengerahkan usaha yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang mendapatkan perkataan yang meragukan dirinya.
4. Keadaan Fisiologis dan Emosi (Physiological and Emotional States). Keadaan fisik yang tidak mendukung seperti stamina yang kurang, kelelahan, dan sakit merupakan faktor yang tidak mendukung ketika seseorang akan melakukan sesuatu. Kondisi seperti ini akan berpengaruh kepada kinerja seseorang dalam menyelesaikan tugas tertentu. Kondisi mood juga mempengaruhi pendapat seseorang terhadap self efficacynya. Self efficacy dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan kesehatan fisik, mengurangi tingkat stress dan kecendrungan emosi negatif.
Dalam konteks khusus belajar Schulze & Schulze (2007: 108) menyatakan beberapa strategi dalam meningkatkan self efficacy siswa.
1. Modeling
Modeling ini mengacu kepada proses menunjukkan dan menjelaskan dalam menguasai keterampilan baru untuk pemula. Modeling efektif dalam meningkatkan self efficacy karena dapat memberikan informasi yang jelas tentang bagaimana memperoleh keterampilan serta dapat meningkatkan harapan siswa bahwa ia bisa menguasai suatu keterampilan (Schunk, 1991: 30).
Teori Bandura (Hergenhan, 2010: 361) menyatakan bahwa model adalah apa saja yang menyampaikan informasi, seperti orang, film,
(13)
televisi, gambar, atau instruksi. Dengan demikian pembelajaran modeling merupakan pembelajaran yang dilakukan ketika seseorang mengamati dan meniru perilaku orang lain.
Ada dua jenis model yang dapat digunakan dalam situasi kelas untuk meningkatkan pengertian siswa tentang self efficacy yaitu mastery model dan coping model. Kedua model ini merupakan model yang baik untuk diamati dan digunakan dalam kelas ketika mendapat kesempatan. Mastery model dilakukan dengan cara menampilkan seseorang yang ahli pada satu tugas kepada peserta didik untuk dijadikan model. Model ini membantu siswa mengembangkan kemampuan untuk mengatasi masalah dan rintangan. Coping model dilakukan dengan cara menampilkan seseorang yang mungkin masih memiliki beberapa kesulitan dengan satu tugas tertentu, akan tetapi dapat menjadi contoh dan menunjukkan bahwa ia dapat menyelesaikan tugas dengan sukses kepada seseorang yang baru mendapatkan keterampilan (Schulze 2007: 108).
Menurut Bandura (1997: 99):
“Modeling formats may rely on masterly models, who perform calmly and faultlessly, or on coping models, who begin timorously but gradually overcome their difficulties by determined coping effort. Observers may benefit more from seeing models overcome their difficulties by tenacious effort than from observing only facile performances by adept model. Coping modeling can boost efficacy beliefs in several ways.
Peran teman sebaya dan guru sangat membantu dalam meningkatkan self efficacy melalui teknik modeling ini. Menurut Alderman (Schulze &Schulze 2007: 108) banyak peneliti yang menyakini
(14)
bahwa melakukan tugas-tugas dengan teman sebaya yang lebih mampu dapat menempuh penyelsaian tugas-tugas. Schmuck & Schmuck (Schulze & Schulze 2007: 108) menyatakan bahwa membentuk kelompok kecil dapat membantu satu sama lain untuk menyelesaikan tugas yang lebih kompleks serta strategi untuk meningkatkan self efficacy siswa.
Dalam hal ini guru perlu mendorong menciptakan suasana kerjasama dan menghormati di dalam kelas. Pada saat guru mendorong untuk kerjasama, teman sebaya dapat bertindak sebagai mentor dan coping sebagai cara yang efektif. Suasana kooperatif ini dapat dipromosikan melalui tugas kelompok dan kegiatan praktek yang mencerminkan prestasi individu dan perbaikan dari waktu ke waktu. Bimbingan kelompok terpusat ini dapat menjadi modeling yang membantu meningkatkan self efficacy siswa.
2. Feedback
Guru perlu memberikan feedback kepada tugas siswa dan artikulasinya secara jelas dan umpan balik yang konstruktif (Schraw, Dunkle, & Bendixen, 1995). Memberikan umpan balik yang jelas dan konstruktif terhadap siswa merupakan strategi yang paling tampak. (Schraw & Brooks, 2001). Guru dapat membuat instruksi yang lebih jelas dengan menunjukkan keahlian yang baik atau melalui pelajar/siswa lain yang lebih terampil.
(15)
3. Goal Setting
Goal setting dilakukan dengan cara menetapkan tujuan secara proksimal. Tujuan proksimal adalah tujuan dengan satu cara yang mudah dicapai tapi masih tetap menantang. Beberapa metode yang dapat digunakan dalam penggunaan goal setting adalah sebagai berikut. Pertama, mendiskusikan dengan siswa tentang pentingnya refleksi diri dan peran bermain dalam pembelajaran regulasi diri. Kedua, meningkatkan pengetahuan diri siswa atau mendokumentasikan strategi belajar yang telah dilaksanakan. Tujuan ini untuk memonitoring strategi pembelajaran siswa. Ketiga, menggunakan monitoring ceklist dalam memantau proses belajar yang membantu untuk mencapai tujuan.
4. Reward
Memberikan penghargaan kepada siswa merupakan metode lain dalam meningkatkan self efficacy. Bentuk dari penghargaan ini dapat berupa siswa berbagi pengalaman atau pengetahuan dengan teman-teman sebagai bentuk apresiasi. Bentuk lain dari penghargaan adalah memberikan pujian atau tugas yang menyenangkan di kelas. Hadiah atau penghargaan yang terbaik digunakan secara kelompok, bukan secara individual. Menghargai siswa sebagai suatu kelompok akan membantu untuk memastikan suasana yang lebih kooperatif, dan yang penting adalah teman sebaya berperan sebagai model yang efektif.
(16)
5. Asessment self efficacy
Merupakan hal yang penting bagi guru atau pendidik untuk menilai self efficacy siswa diawal pembelajaran dengan memberikan instrumen mengenai self efficacy. Informasi ini akan memungkinkan guru untuk memberikan strategi pembelajaran yang tepat bagi para siswa.
Stipek (Santrock, 2010: 525) menyatakan beberapa strategi untuk meningkatkan self efficacy siswa:
1. Mengajarkan strategi spesifik, misalnya menyusun garis besar dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk fokus pada tugas mereka.
2. Membimbing murid dalam menentukan tujuan. Guru berperan untuk membantu siswa membuat tujuan jangka pendek, setelah mereka membuat tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek dapat membantu murid untuk menilai kemajuan mereka.
3. Mempertimbangkan mastery. Memberikan imbalan pada kinerja murid, imbalan yang mengisyaratkan penghargaan penguasaan terhadap materi. 4. Mengkombinasikan strategi training dengan tujuan. Schunk bersama
teamnya (Santrock, 2010: 252) menemukan bahwa kombinasi strategi training dan penentuan tujuan dapat memperkuat keahlian dan self efficacy siswa. Memberikan umpan balik kepada siswa tentang bagaimana strategi belajar mereka berhubungan dengan kinerja mereka .
5. Menyediakan dukungan bagi murid. Dukungan ini bisa berasal dari guru, orang tua dan teman sebaya.
(17)
6. Memastikan agar siswa tidak terlalu semangat atau terlalu cemas. Kecemasan dan rasa takut akan mempengaruhi terhadap rasa percaya diri mereka.
7. Memberi contoh positif dari orang dewasa dan teman (modeling). Karakteristik tertentu dari model dapat membantu siswa mengembangkan self efficacy. Modeling sangat efektif dalam meningkatkan self efficacy jika siswa melihat temannya yang sukses adalah teman yang kemampuannya sama dengan dirinya.
Penjelasan dari beberapa tokoh berkaitan dengan strategi meningkatkan self efficacy diatas merupakan strategi yang merujuk kepada teori Bandura tentang sumber self efficacy. Pada penelitian ini peneliti lebih menfokuskan kepada salah satu sumber self efficacy sebagai upaya untuk meningkatkan self efficacy. Salah satu sumber yang dikaji dalam penelitian ini adalah melalui vicarious experience yaitu melihat pengalaman orang lain (modeling).
Modeling merupakan salah satu cara yang juga efektif untuk meningkatkan self efficacy. Menurut Bandura (1997: 86) “banyak orang-orang yang tidak menyakini terhadap pengalaman keberhasilannya sebagai sumber informasi mengenai kemampuan yang dimilikinya. Sehingga modeling dapat menjadi teknik untuk menyadarkan perasaan self efficacy yang dimiliki oleh seseorang.”
Bandura membagi modeling kepada dua macam, yaitu mastery model dan coping model. Pembahasan sebelumnya telah dibahas mengenai dua jenis model ini. Mastery model dilakukan dengan cara menampilkan seseorang yang
(18)
ahli pada satu tugas kepada peserta didik untuk dijadikan model. Model ini membantu siswa mengembangkan kemampuan untuk mengatasi masalah dan rintangan. Coping model dilakukan dengan cara menampilkan seseorang yang mungkin masih memiliki beberapa kesulitan dengan satu tugas tertentu, akan tetapi dapat menjadi contoh dan menunjukkan bahwa ia dapat menyelesaikan tugas dengan sukses kepada seseorang yang baru mendapatkan keterampilan (Schulze 2007: 108).
Sebagaimana dalam kajian sebelumnya, hal yang perlu diperhatikan dalam menampilkan model adalah berkaitan dengan kesamaan antara model dan observer. Kesamaan yang dimiliki oleh model dan observer mempengaruhi terhadap efektivitas modeling yang dilakukan.
C. Modeling Sebagai Teknik Bimbingan Kelompok Dalam Meningkatkan Self efficacy
1. Proses Modeling
Pembelajaran modeling merupakan aplikasi dari teori pembelajaran observasional. Keyakinan bahwa manusia belajar dengan mengamati manusia lain telah ada sejak masa Plato dan Aristoteles di zaman Yunani kuno (Hergenhan, 2010: 356). Menurut mereka, pendidikan sampai tingkat tertentu adalah pemilihan model terbaik untuk disajikan kepada siswa sehingga kualitas model tersebut bisa diamati dan ditiru. Selama berabad-abad observational learning (belajar observasional) diterima begitu saja dan biasanya dipakai untuk
(19)
mempostulatkan tendensi natural manusia untuk meniru apa yang dilakukan orang lain.
Thorndike (Hergenhan, 2010: 357) merupakan orang yang pertama kali berusaha meneliti belajar observasional secara eksperimental pada tahun 1898 kepada kucing. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Thorndike kepada beberapa hewan, Thorndike menyimpulkan bahwa hasil penelitiannya tidak mendukung hipotesis bahwa hewan-hewan yang menjadi penelitiannya memiliki kemampuan belajar melakukan sesuatu setelah melihat kegiatan hewan lain. Pada tahun 1908 Watson mereplikasi riset Thorndike dengan monyet. Hasil eksperimennya juga tidak menemukan bukti adanya belajar observasional. Thorndike dan Watson menganggap bahwa belajar terjadi sebagai hasil dari interaksi seseorang dengan lingkungan dan bukan dari hasil pengamatan terhadap interaksi orang lain. Hasil penelitian Thorndike dan Watson melemahkan upaya riset lain terhadap belajar observasional.
Hingga kemudian, pada tahun 1941 muncul karya Miller dan Dollard tentang social Learning and imitation. Munculnya karya ini menumbuhkan kembali minat untuk mengkaji teori belajar observasional hingga akhirnya teori observasional menjadi teori yang kuat. Miller dan Dollard menyebut belajar observasional dengan imitative behavior (perilaku imitatif) yang merupakan kasus khusus dari pengkondisian instrumental. Miller dan Dollard membagi perilaku imitatif ke dalam tiga kategori sebagai berikut.
(20)
a) Same behavior (Perilaku Sama).
Perilaku sama terjadi ketika dua atau lebih individu merespon situasi yang sama dengan cara yang sama. Misalnya, banyak orang yang berhenti di lampu merah, atau bertepuk tangan saat suatu pertunjukan selesai. Melalui perilaku yang sama, semua individu yang terlibat di dalamnya telah belajar secara independen untuk merespon stimulus tertentu dengan cara tertentu, dan perilaku mereka muncul secara simultan saat stimulus terjadi di lingkungan tesebut.
b) Copying behavior (perilaku meniru).
Perilaku meniru adalah melakukan perilaku sesuai dengan perilaku orang lain. Misalnya pada saat instruktur memberi bimbingan dan tanggapan korektif terhadap siswa kelas seni pada saat menggambar.
c) Matched-dependent behavior (perilaku yang tergantung pada kesesuaian). Pada perilaku yang tergantung pada kesesuaian, seorang pengamat diperkuat untuk mengulang begitu saja tindakan dari seorang model. Periode selanjutnya pada tahun 1960-an topik tentang observasional kembali diteliti. Penelitian ini dilakukan oleh Bandura yang menentang tentang penjelasan belajar imitatif dan merumuskan teori sendiri yang berbeda dengan teori behavioristik sebelumnya. Bandura menganggap belajar observasi sebagai proses kognitif, yang melibatkan sejumlah atribut pemikiran manusia, seperti bahasa, moralitas, pemikiran, dan regulasi diri perilaku. Riset terbaru juga menunjukkan bahwa analisis Thorndike, Watson, Miller dan Dollard, serta Skinner adalah tidak lengkap. Studi terbaru menunjukkan bahwa beberapa
(21)
organisme bukan manusia bisa melakukan proses belajar yang kompleks dengan mengamati spesies yang lain dan mereka dapat melakukannya tanpa penguatan langsung (Hergehan, 2010: 259)
Pada kajian ini pembelajaran observasional lebih difokuskan kepada teori Bandura. Bandura membedakan istilah imitasi dan belajar observasional. Menurut Bandura, belajar observasional mungkin menggunakan imitasi atau mungkin juga tidak, sedangkan belajar observasional lebih kompleks daripada imitasi sederhana. Bandura menyatakan bahwa sesuatu yang dipelajari oleh individu merupakan informasi yang diproses secara kognitif dan individu bertindak berdasarkan informasi tersebut demi kebaikan diri (Hergenhan, 2010: 360).
Bandura melakukan eksperimen berkaitan dengan teori observasional (Santrock, 2010: 286). Pada eksperimen ini sejumlah anak taman kanak-kanak secara acak ditugaskan untuk melihat tiga film yang memperlihatkan seseorang memukuli boneka plastic seukuran orang dewasa yang dinamakan boneka bobo. Pada film pertama, penyerangnya diberi permen, minuman ringan, dan dipuji karena melakukan tindakan agresif. Film kedua, si penyerang ditegur dan ditampar karena bertindak agresif. Film ketiga, tidak ada konsekuensi atas tindakan si penyerang boneka. Kemudian, masing-masing anak dibiarkan sendiri berada di ruangan penuh mainan, termasuk boneka bobo. Perilaku anak diamati melalui cermin satu arah. Hasilnya, anak yang menonton film pertama lebih sering meniru tindakan model dan lebih agresif, sedangkan anak yang menonton
(22)
film kedua menjadi anak yang tidak agresif, dan anak yang menonton film ketiga tingkat agresivitasnya berada diantara posisi dua kelompok tersebut.
Studi ini menunjukkan bahwa perilaku anak dipengaruhi oleh pengalaman tidak langsung atau pengganti. Anak kelompok pertama mengamati vicarious reinforcement (penguatan pengganti atau tidak langsung), sedangkan anak kelompok kedua melihat vicarious punishment (hukuman pengganti). Bandura berpendapat bahwa belajar observasional terjadi sepanjang waktu, sedangkan model adalah segala hal yang menyampaikan informasi, seperti film, televisi, gambar dan instruksi (Hergenhan, 2010: 361).
Bandura (1997: 89) menyebutkan empat proses yang mempengaruhi belajar observasional, yaitu proses attensional, proses retensional, proses pembentukan perilaku, proses motivasional.
a) Proses Attensional
Sebelum sesuatu dapat dipelajari dari model, maka model tersebut harus diperhatikan. Proses perhatian ini terjadi dikarenakan beberapa sebab. Pertama, kapasitas sensoris seseorang akan mempengaruhi attentional process. Kedua, dipengaruhi oleh penguatan masa lalu. Misalnya, jika aktivitas yang lalu dipelajari lewat observasi terbukti berguna untuk mendapatkan suatu penguatan, maka perilaku yang sama akan diperhatikan pada situasi modeling berikutnya. Ketiga, dipengaruhi pleh karakteristik model. Riset menunjukkan bahwa model akan sering diperhatikan jika mereka sama dengan pengamat, orang yang dihormati atau memiliki status tinggi,
(23)
memiliki kemampuan lebih, dianggap kuat dan antraktif (Bandura,1997; Hergenhan, 2010; Santrock,2010).
b) Proses Retensional
Agar informasi yang diperoleh dari observasi bisa berguna, informasi tersebut harus diingat atau disimpan. Bandura menyatakan bahwa ada proses retensional yang menyimpan informasi secara simbolis melalui dua cara, yaitu secara imajinatif dan secara verbal. Simbol-simbol yang disimpan secara imajinatif adalah gambaran tentang hal-hal yang dialami model, yang dapat diambil dan dilaksanakan sesudah belajar observasional terjadi. Simbolisasi kedua adalah secara verbal. Menurut Bandura proses ini lebih penting. Proses simbolisasi verbal ini terjadi secara kognitif. Simbol verbal terjadi secara fleksibel. Kerumitan dan kepelikan perilaku bisa ditangkap dengan baik dalam wadah kata-kata. Setelah informasi disimpan secara kognitif, ia dapat diambil kembali, diulangi, dan diperkuat beberapa waktu sesudah belajar observasional terjadi. Menurut Bandura, peningkatan kapasitas simbolisasi ini yang memampukan manusia untuk mempelajari banyak perilaku melalui observasi. Simbol-simbol yang disimpan ini memungkinkan terjadinya deyaled modeling (modeling yang ditunda), yaitu kemampuan untuk menggunakan informasi lama setelah informasi itu diamati (Bandura,1997; Hergenhan, 2010; Santrock,2010).
c) Proses Pembentukan Perilaku
Proses pembentukan perilaku menentukan sejauh mana hal-hal yang telah dipelajari akan diterjemahkan ke dalam tindakan. Seseorang mungkin
(24)
mempelajari sesuatu secara kognitif namun tidak mampu menerjemahkan informasi tersebut ke dalam perilaku karena ada keterbatasan. Misalnya perangkat yang dibutuhkan untuk merespon tertentu tidak tersedia. Bandura berpendapat bahwa jika seseorang dilengkapi dengan semua aparatus fisik untuk memberikan respon yang tepat, dibutuhkan satu periode rehearsal (latihan repetisi) kognitif sebelum perilaku pengamat menyamai perilaku model. Bandura menyatakan simbol yang didapat dari modeling akan bertindak sebagai template (cetakan) sebagai pembanding tindakan. Selama proses pelatihan, individu mengamati perilaku mereka sendiri dan membandingkan dengan representasi kognitif dari pengalaman model. Setiap diskrepansi antara perilaku seseorang dengan perilaku model akan menimbulkan tindakan korektif. Proses ini terus berlangsung sampai ada kesesuaian yang sudah memuaskan antara perilaku pengamat dan model (Bandura,1997; Hergenhan, 2010; Santrock,2010).
d) Proses Motivasional
Teori Bandura menyatakan penguatan memiliki dua fungsi. Pertama, menciptakan ekspektasi dalam diri pengamat bahwa jika mereka bertindak seperti model yang dilihatnya diperkuat oleh aktivitas tertentu, maka mereka diperkuat juga. Kedua, ia bertindak sebagai intensif untuk menerjemahkan belajar kepada kinerja. Kedua fungsi penguatan ini adalah fungsi informasional. Fungsi lainnya motivational processes menyediakan motif untuk menggunakan apa-apa yang telah dipelajari. Informasi yang diperoleh melalui observasi dapat digunakan dalam berbagai macam situasi jika
(25)
individu tersebut membutuhkan (Bandura,1997; Hergenhan,2010; Santrock,2010).
Berikut ringkasan berbagai proses yang dianggap mempengaruhi belajar observasional (modeling) oleh Bandura.
Gambar 2.1
Empat proses yang mempengaruhi belajar observasional
(Diadaptasi dari Self efficacy, The exercise of control,h.89. Bandura,1997)
Menurut Hergenhan (2010: 276) modeling memberi beberapa efek bagi pengamat, yaitu.
1. Acquisition (akuisi), yakni munculnya respon baru karena menyaksikan seorang model diperkuat setelah melakukan tindakan tertentu.
2. Inhibition, yakni tidak adanya respon ketika melihat model yang dihukum karena memberikan respon tersebut.
3. Disinhibition, yakni mereduksi rasa takut karena mengamati tindakan model dalam aktivitas yang ditakuti.
Proses Attensional:
Kejadian model Kemenonjolan Valensi Afektif Kompleksitas Prevalensi Nilai fungsi Atribut Pengamat Kemampuan perseptual Set perseptual Kemampuan kognitif Level kemunculan Preferensi yang didapat
Proses Retensi Pengkodean simbolik Organisasi kognitif Rehearsal kognitif Rehearsal pelaksanaan Atribut pengamat Keterampilan kognitif Struktur kognitif Proses Produksi Representasi kognitif Observasi pelaksanaan
Informasi umpan balik Penyesuaian konsepsi Atribut pengamat Kemampuan fisik Sub-keahlian komponen Proses Motivasional Intensiv eksternal Sensoris Kelihatan nyata Sosial Kontrol Berbagai macam insentif Insentif diri Kelihatan nyata Evaluasi diri Atribut pengamat Preverensi insentif Bias komparatif sosial Standart internal Kejadian
model
(26)
4. Facilitation, yakni memicu/memperkuat respon pengamat yang sudah belajar dan tidak mengalami hambatan dalam memberi respon tersebut. 5. Menstimulasi kreativitas, yakni dengan cara menunjukkan kepada pengamat
beberapa model yang menyebabkan pengamat mengadopsi kombinasi berbagai karakteristik atau gaya.
6. Tindakan moral, yakni modeling juga dapat digunakan untuk mempengaruhi penilaian moral dan respon emosional pengamat.
2. Modeling Dalam Meningkatkan Self efficacy
Kajian sebelumnya telah dibahas mengenai strategi meningkatkan self efficacy, salah satu strategi untuk meningkatkan self efficacy adalah dengan modeling. Bandura (1997: 86) menyebutkan bahwa sumber self efficacy adalah dengan Vicarious experience atau modeling. Modeling adalah individu belajar melalui observasi dan model relevan yang diperkuat. Keempat proses yang mempengaruhi belajar observasional pada penjelasan sebelumnya, merupakan kerangka proses untuk meningkatkan self efficacy melalui vicarious experience.
Teknik modeling dianggap sebagai strategi yang efektif untuk meningkatkan self efficacy melalui kelompok. Alderman menyatakan bahwa teman sebaya dan guru atau pembimbing membantu meningkatkan self efficacy melalui modeling (Schulze & Schulze 2007: 108). Lebih lanjut, Alderman menyatakan banyak peneliti yang menyakini bahwa melakukan tugas-tugas bersama teman sebaya yang lebih mampu dapat menempuh penyelesaian tugas-tugas (Schulze &Schulze 2007: 108).
(27)
Pada penelitian ini peneliti menggunakan teknik modeling dengan jenis mastery model dan coping model. Dijelaskan oleh Schulze & Schulze (2007: 108) bahwa jenis model yang dapat digunakan dalam situasi kelas untuk meningkatkan pengertian siswa tentang self efficacy adalah dengan mastery model dan coping model. Bandura (1997: 99) menyebutkan bahwa mastery model dan coping model dapat dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan self efficacy. Pengamat dapat belajar dari sikap yang ditunjukkan oleh model. Disarankan yang menjadi model adalah seseorang yang sukses (mastery model) atau seseorang yang secara bertahap mampu mengatasi kesulitan yang dihadapi (coping model).
Kedua model ini merupakan model yang baik untuk diamati dan digunakan dalam kelas. Pada jenis mastery model peneliti menampilkan seseorang yang telah berhasil melaksanakan tugas belajar / pendidikan dengan sukses kepada siswa untuk dijadikan model, sedangkan pada coping model yang menjadi model adalah teman sebaya baik yang berada dalam kelas maupun di luar kelas yang lebih berhasil dalam melakukan tugas belajar. Teman sebaya yang berada di luar kelas akan ditampilkan melalui profil dalam bentuk bacaan. Pada proses ini peran pembimbing adalah perlu mendorong untuk menciptakan suasana yang kooperatif dan saling menghormati didalam kelas.
Santrock (2010: 392) berpendapat bahwa guru atau pembimbing dan teman sebaya dapat memberi kontribusi bersama untuk pembelajaran siswa. Pada proses ini peran guru dan teman sebaya dapat berupaya menjadi model bagi siswa yang lain. Menurut Santrock ada empat alat untuk melakukan metode ini, yaitu scafolding, pelatihan kognitif, tutoring, dan pembelajaran kooperatif. Di
(28)
antara keempat teknik ini, pembelajaran kooperatif merupakan metode modeling yang dilakukan secara kelompok. Pembelajaran kooperatif terjadi ketika murid bekerjasama dalam kelompok kecil untuk saling membantu pada saat belajar.
Penelitian Slavin menemukan bahwa pembelajaran kooperatif dapat menjadi strategi yang efektif untuk meningkatkan prsetasi, terutama jika dua syarat terpenuhi yaitu, memberikan penghargaan kepada kelompok dan meminta pertanggung jawaban setiap individu dari anggota kelompok.
Pertama, Tujuan memberikan penghargaan adalah agar anggota kelompok dapat memahami bahwa membantu orang lain adalah demi kepentingan diri mereka juga (Santrock, 2010: 397). Hal ini sejalan dengan pernyataan Schulze & Schulze (2007: 109) yang menyatakan bahwa penghargaan terbaik diberikan kepada kelompok, bukan secara individual. Menghargai siswa sebagai satu kelompok akan membantu menciptakan suasana yang lebih kooperatif, dan teman sebaya dapat berperan sebagai model yang efektif. Melalui kelompok akan terjadi dinamika dan proses transformasi pengalaman bersama orang lain. Pengalaman orang lain dapat menjadi sumber untuk mengembangkan self efficacy individu yang mempunyai efek pada sikap individu selanjutnya melalui proses kognitif, motivasi dan seleksi.
Kedua, individu dimintai pertanggungjawaban. Dalam hal ini perlu menggunakan evaluasi kontribusi individual, seperti dengan tes individual. Jika dua hal ini terpenuhi, maka pembelajaran kooperatif akan meningkatkan prestasi di grade yang berbeda-beda dan meningkatkan prestasi di bidang keterampilan dasar seperti pemecahan masalah.
(29)
Secara teori pembelajaran modeling, terutama jika dilakukan dalam setting kelompok terjadi interaksi antara personal (P), lingkungan (E), dan perilaku (B) yang tidak bisa dipisahkan. Posisi ini disebut dengan triadic reciprocal determinism (Bandura, 1997: 6). Salah satu deduksi dari konsep ini adalah perilaku mempengaruhi individu dan lingkungan, lingkungan atau orang mempengaruhi perilaku.
Gambar 2.2
Triadic reciprocal determinism
(Sumber: Self efficacy, The exercise of control,h.6. Bandura,1997)
Teknik Modeling akan sangat efektif jika model yang digunakan memiliki kehormatan, kompetensi, status tinggi, dan kekuasaan. Guru dapat menjadi model melalui perencanaan yang cermat terhadap materi yang akan disajikan.
Harpine (2008: 26) menyatakan bahwa salah satu cara untuk mengaplikasikan teori Bandura untuk menyukseskan program efficacy adalah dapat dilihat dari intervensi yang berpusat pada kelompok. Pernyataan yang dinyatakan oleh Harpine ini didasarkan pada pengalamannya selama sembilan tahun berkecimpung dalam program pengembangan diri anak dan remaja melalui intervensi yang berpusat pada kelompok.
B
(30)
Bimbingan dan konseling sekolah memiliki peran penting dalam memberikan layanan kepada siswa untuk pengembangan diri. Studi yang dilakukan oleh Kartadinata (2011: 85) menunjukkan bahwa bimbingan dan konseling di sekolah dirasakan bermanfaat oleh peserta didik dalam pengembangan diri, walaupun pola pikir dan perilaku yang dikembangkan belum terwujud dalam perilaku aktual yang mapan.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Amerika yang menunjukkan bahwa layanan konseling yang berkualitas tinggi memiliki efek jangka panjang pada kesejahteraan siswa serta dapat mencegah siswa dari kekerasan dan obat-obatan. Layanan konseling sekolah yang berkualitas dapat meningkatkan prestasi akademik siswa, memberikan efek positif pada nilai siswa, meningkatkan kemampuan guru untuk mengelola kelas secara efektif dan dapat membantu untuk mengatasi kebutuhan kesehatan mental siswa (McQuillan, 2008: 9)
Berdasarkan pemaparan mengenai pentingnya bimbingan dan konseling di sekolah tersebut. Penting bagi guru BK untuk menyusun program pengembangan akademik, karir, dan perkembangan pribadi/sosial. Self efficacy merupakan salah satu aspek perkembangan siswa yang perlu dikembangkan untuk mencapai perkembangan akademik, karir, dan pribadi-sosial secara optimal. Schunk (Santrock, 2010: 523) menyatakan:
Self efficacy mempengaruhi aktivitas siswa. Siswa yang memiliki self efficacy rendah memungkinkan untuk menghindari banyak tugas belajar, khususnya yang menantang dan sulit. Sebaliknya siswa yang memiliki self efficacy tinggi bersedia untuk mengerjakan tugas-tugas yang menantang dan sulit. Mereka lebih mungkin untuk tekun berusaha menguasai tugas-tugas pembelajaran.
(31)
Berdasarkan pemaparan di atas, bimbingan kelompok melalui teknik modeling diharapkan dapat menjadi salah satu program bimbingan dalam meningkatan self efficacy siswa, sehingga sehingga siswa lebih siap berpartisipasi, bekerja lebih giat, dan bertahan lebih lama ketika menghadapi kesulitan dalam pembelajaran.
3. Proses Teknik Modeling Dalam Meningkatkan Self efficacy
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan modeling melalui pendekatan bimbingan kelompok. Prosedur bimbingan kelompok teknik modeling pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan prosedur bimbingan kelompok pada umumnya. Rusmana (2009: 86) menyatakan bahwa tidak ada langkah-langkah baku yang dapat diterapkan dalam melaksanakan bimbingan kelompok. Sweeney & Homeyer (Rusmana, 2009: 86) berpendapat bahwa langkah-langkah bimbingan kelompok sangat ditentukan oleh orientasi teori yang menjadi dasar penerapan model.
Menurut Gladding (Rusmana, 2009: 86) ada empat langkah utama yang harus ditempuh dalam melaksanakan konseling kelompok, yakni (1) langkah awal (beginning a group), (2) langkah transisi (the transition stage in a group),(3) langkah kerja (the working stage in a group), (4) langkah terminasi (termination of a group). Langkah-langkah ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Tuckman (Rusmana, 2009: 86), yaitu forming, storming, norming, performing, dan adjouring. Proses bimbingan kelompok dengan teknik modeling pada penelitian ini menggunakan langkah-langkah yang disarankan oleh Gladding.
(32)
Berikut penjelasan mengenai langkah-langkah bimbingan kelompok menurut Gladding.
a. Tahap Awal (Beginning a Group)
Fokus utama dari langkah ini adalah terbentuknya kelompok. Ha yang perlu dipertimbangkan dalam pembentukan kelompok ini, adalah: (a) tahap-tahap pembentukan kelompok, (b) tugas-tugas pembentukan kelompok, (c) potensi masalah pembentukan kelompok, (d) prosedur pembentukan kelompok.
a) Tahap-tahap pembentukan kelompok.
Keberhasilan dalam melakukan pembentukan kelompok akan menentukan efektivitas kegiatan kelompok. Menurut Gladding (Rusmana, 2010: 87) beberapa hal yang perlu dilakukan dalam melaksanakan proses pembentukan kelompok, yaitu.
Pertama, mengembangkan alasan pembentukan kelompok. Alasan yang jelas dan terarah merupakan kunci yang paling penting dalam merencanakan pembentukan suatu kelompok. Penentuan alasan dilakukan agar konselor memiliki landasan yang kuat dalam melaksanakan kegiatan kelompok.
Kedua, menentukan format teori. Membentuk suatu kelompok perlu adanya batasan dan kekuatan yang dijadikan rujukan. Rujukan tersebut adalah kerangka teori yang digunakan oleh konselor.
Ketiga, menentukan kerangka kerja. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan berkaitan dengan tipe, ekspektasi, batas waktu, fungsi, dan peran pemimpin.
(33)
Keempat, melakukan publikasi kelompok. Dalam melakukan publikasi kelompok hal yang perlu disampaikan adalah berkaitan dengan jenis layanan, rasional, tujuan, sasaran, pimpinan kelompok, dan topic yang akan dibahas.
Kelima, melakukan persiapan latihan. Pada langkah ini dapat melakukan latihan awal.
Keenam, melakukan seleksi anggota dan pendampingan kelompok. Tujuannya agar kegiatan ini dilaksanakan pada sasaran yang tepat.
b) Tugas-tugas pembentukan kelompok.
Pada tahap pembentukan kelompok, tugas pertama adalah melakukan kesepakatan mengenai permasalahan yang akan dibahas. Tugas kedua, menetapkan tujuan dan melakukan kontrak. Tugas kedua ini dapat membantu anggota kelompok untuk memahami secara jelas tujuan yang akan dicapai, dan lamanya kegiatan. Tugas ketiga, adalah menetapkan batasan-batasan bersama, yang kemudian menjadi pedoman bagi anggota kelompok.
c) Potensi masalah pembentukan kelompok
Selama pelaksanakan akan menjumpai beberapa masalah yang mungkin menghambat kegiatan bimbingan. Permasalahan yang mungkin akan terjadi ini dapat diantisipasi sebelumnya.
(34)
d) Prosedur pembentukan kelompok
Tujuan merumuskan prosedur yang tepat dalam pelaksanaan kegiatan dapat mengantisipasi terjadinya masalah-masalah yang mungkin akan terjadi.
b.Tahap Transisi (Transition Stage)
Tahap transisi merupakan periode kedua pasca pembentukan kelompok dan merupakan tahap awal sebelum memasuki tahap kerja. Tahap transisi ini kira-kira memakan 5-20% dari keseluruhan proses kegiatan. Masa transisi ini ditandai dengan adanya tahapan forming dan norming.
Tahap storming atau tahap kacau balau merupakan masa terjadinya konflik dalam kelompok. Konflik dalam kelompok terjadi karena adaya kekhawatiran anggota kelompok dalam memasuki proses kegiatan. Kekhawatiran ini muncul karena anggota kelompok mempunyai keengganan untuk bergerak dari ketegangan primer (kekakuan saat berada dalam situasi yang asing) menuju ketegangan sekunder (konflik dalam kelompok).
Gladding ((Rusmana, 2009: 91) menyatakan upaya untuk mengatasi tahap storming adalah melalui:
a) Peningkatan hubungan anggota kelompok
Upaya untuk meningkatkan hubungan anggota kelompok konselor perlu mengembangkan kepemimpinan dan menunjukkan kekuasaan yang terbuka dan asertif. Kepemimpinan yang dapat dilakukan bersifat informational, influensial, dan otoritatif. Kepemimpinan informational dikembangkan oleh konselor kelompok pada saat anggota kelompok cukup kooperatif dalam
(35)
melakukan perubahan. Kepemimpinan influensial dikembangkan melalui pendekatan persuasi dan manipulasi. Kepemimpinan otoritatif dilakukan ketika anggota kelompok tidak bisa dikendalikan.
b) Resistensi
Resistensi didefinisikan sebagai perilaku kelompok untuk menghindari daerah yang tidak nyaman dan situasi konflik. Bentuk resistensi ada dua jenis yaitu tidak langsung dan langsung. Bentuk resistensi tidak langsung diantaranya: 1) intelektualisasi, 2) pertanyaan, 3) memberikan nasehat, 4) menghalangi orang lain, 5) ketergantungan.
c) Task Processing
Metode yang dapat digunakan untuk membantu anggota kelompok mengatasi kekacauan adalah: 1) mengatasi perasaan mereka dalam periode kakacauan melalui proses leveling, yaitu anggota dimotivasi untuk berinteraksi secara terbuka dan bebas. 2) menyadarkan anggota bahwa kekacauan dalam kelompok adalah hal yang wajar. 3) meminta unpan balik anggota mengenai kondisi mereka saat ini dan apa yang mereka pikir perlu dilakukan.
c. Tahap Kerja (performing stage)
Perhatian utama dalam tahap kerja adalah produktivitas kinerja. Masing-masing anggota kelompok terfokus pada peningkatan kualitas kinerja untuk mencapai tujuan individu dan kelompok. Ada tiga cara untuk mencapai produktivitas yang tinggi, diantaranya: a) Saling memuji keunggulan masing-masing anggota kelompok, b) Role playing. Pada proses role playing anggota
(36)
kelompok dapat berkesempatan untuk mengekspresikan indentitas selain dirinya. c) Home work. Setiap anggota kelompok diberi tugas yang berkaitan dengan tema bimbingan yang diikuti. d) Incorporation. Incorporation dilakukan diakhir kegiatan melalui evaluasi kegiatan. Melalui cara ini anggota kelompok akan merasakan dan mengetahui keinginan yang ingin dicapai dan cara untuk mencapainya.
Di antara teknik yang dapat digunakan dalam bimbingan kelompok adalah melalui modeling (Rusmana, 2010: 97). Teknik modeling digunakan untuk mengajarkan perilaku yang kompleks pada anggota kelompok dalam periode waktu yang singkat dengan cara menyalin (copying) atau mencontoh (imitating). Efektivitas modeling ini bergantung kepada waktu, reinforcement,dan banyaknya umpan balik positif yang diterima. Borgers dan Koengs (Rusmana, 2010: 97) Model yang ditiru bisa pemimpin dan anggota kelompok.
d. Tahap Terminasi (Termination Stage)
Tahap terminasi adalah tahap anggota kelompok berusaha untuk memahami lebih dalam tentang kegiatan yang berlangsung. Tahap terminasi dibagi menjadi tujuh bagian yaitu, 1) preparing for termination, 2) effects of termination on individual, 3) premature termination 4) termination of group sessions, 5)termination of group, 6) problems in terminations, 7) follow-up session (Rusmana, 2010: 98).
1) Preparing for Termination
Secara umum tahap terminasi ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu: pada akhir masing-masing sesi dan pada akhir pertemuan kelompok. Keduanya
(37)
melalui beberapa proses terminasi, yaitu (1) orientasi, (2) hasil/kesimpulan, (3) diskusi yang terpusat pada tujuan, (4) tindak lanjut. Sesi ini sangat penting karena terukurnya sesi kelompok berhasil atau tidak bergantung kepada pada sesi ini.
2) Effect of Termination on Individual
Menurut Gladding langkah terbaik untuk mengakhiri sesi konseling kelompok adalah dengan merefleksikan pengalaman masing-masing anggota kelompok dan mengimplikasikannya dalam aktivitas penutup dalam sesi kelompok.
3)Prematur Termination
Ada dua tipe prematur termination, yaitu (a) berakhirnya sesi bimbingan atau konseling sebelum waktunya yang dimungkinkan terjadi disebabkan karena pemimpin atau anggota kelompok. (b) keluarnya anggota kelompok sebelum sesi bimbingan atau konseling kelompok berakhir.
4) Termination of Group Sessions
Mengakhiri sebuah sesi dapat diakhiri dengan cara-cara berikut.
a) Member Summarization, yaitu anggota kelompok diminta untuk merangkum hasil dari pertemuan aktivitas kelompok.
b) Leader Summarization, yaitu pemimpin kelompok merangkum dan mengomentari setiap anggota kelompok yang hadir dalam sesi kelompok.
c) Rounds, adalah bentuk lain dari member summarization, pada cara ini yang merangkum adalah secara berkelompok.
(38)
d) Dyads, yaitu kelompok dibagi menjadi sub kelompok yang terdiri dari dua orang, kemudian masing-masing dari anggota kelompok mengomentari hasil dari sesi bimbingan kelompok.
e) Written Reaction, yaitu cara ini masing-masing anggota kelompok diminta untuk menuliskan kritik, saran, dan hasil yang diperoleh dari sesi konseling kelompok.
f) Rating sheets, dilakukan dengan cara anggota kelompok diminta untuk menuliskan apa yang paling berkesan saat aktivitas kelompok.
g) Homework, cara yang paling lumrah dilakukan yaitu dengan cara memberikan pekerjaan rumah yang akan dikumpulkan pada sesi berikutnya.
5)Termination of a Group
Pembubaran pada kelompok dipengaruhi oleh perpaduan kondisi emosi dan perampungan tugas-tugas kelompok. Peran pemimpin kelompok adalah mengkondisikan kondisi anggota kelompok agar menjadi dinamis. Pada pembubaran kelompok, menurut Jacob (Rusmana, 2009: 100) setidaknya ada tujuh kemampuan yang selayaknya dikuasai oleh masing-masing anggota kelompok sebelum melaksanakan tahap pembubaran, yaitu (1)mengulang dan meringkas pengalaman kelompok, (2) menetapkan perubahan dan perkembangan yang dikuasai anggota, (3) menyelesaikan permasalahan, (4) membuat keputusan-keputusan yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, (5) menyediakan wadah
(39)
penyaluran minat dan bakat, (6) menangani pencapaian selamat tinggal, dan (7) merencanakan pertemuan tindak lanjut.
6) Follow-up Session
Pertemuan tindak lanjut merupakan suatu prosedur komunikasi untuk mengumpulkan kembali anggota kelompok setelah mereka menerapkan berbagai hal yang didapatkan dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa cara dalam menindaklanjuti pertemuan kelompok adalah sebagai berikut. Pertama, mengatur jadwal berbincang dengan anggota kelompok, pembicaraannya berkenaan dengan kesepakatan waktu pertemuan berikutnya, tujuan pertemuan, dan kondisi anggota kelompok saat ini. Kedua, menindaklanjuti satu pertemuan dengan melakukan reuni kelompok setelah tiga bulan atau enam bulan dari waktu pembubaran. Ketiga, membuat evaluasi yang mencakup: (a) hubungan dengan kepemimpinan kelompok, (b) fasilitas yang digunakan selama konseling/ bimbingan kelompok, c) pencapaian tujuan kelompok.
D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun, hipotesis dalam penelitian ini adalah bimbingan kelompok teknik modeling efektif meningkatkan self efficacy akademik siswa SMA Laboratorium Universitas Pendidikan Bandung. Berikut sub hipotesis.
a. Tingkat self efficacy setelah treatmen lebih tinggi dibanding hasil pretes b. Bimbingan kelompok teknik modeling jenis mastery model lebih efektif
(40)
(41)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan, Metode dan Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Menurut Creswell (2010:131), penelitian kuantittaif merupakan metode untuk menguji teori-teori tertentu dengan cara meneliti hubungan antar variabel. Penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Bimbingan kelompok teknik modeling dan variabel terikatnya adalah self efficacy akademik. Variabel terikat (self efficacy akademik) pada penelitian ini diukur dengan instrumen penelitian berupa self report, sehingga data yang terdiri dari angka-angka dapat dianalisis berdasarkan prosedur-prosedur statistik.
Berdasarkan metode yang digunakan, penelitian ini merupakan penelitian eksperimen kuasi. Eksperimen kuasi merupakan desain eksperimen yang tidak melakukan randomisasi dalam pengambilan sampel (Seniati & Yulianto, 2005:37). Liche et al. (2005:37) menyatakan bahwa penelitian dianggap eksperimen kuasi apabila tidak dilakukan randomisasi dalam meneliti hubungan sebab akibat. Alasan penelitian ini menggunakan eksperimen kuasi adalah pengambilan sampel tidak dapat dilakukan secara ramdom. Hal ini dikarenakan kondisi dan waktu pemberian
(42)
treatmen yang tidak memungkinkan dilakukan secara eksperimen murni sehingga peneliti memilih jenis eksperimen kuasi.
Desain penelitian ini menggunakan Nonrandomized pretest-posttest kontrol group design. Creswell (2010:249) menyebutkan desain eksperimen kuasi ini dengan istilah nonequivalent pre test and post test kontrol group design. Kelompok eksperimen merupakan kelompok yang telah dipilih untuk diberi perlakuan dengan layanan bimbingan kelompok. Kelompok eksperimen ini diambil dari kelas X yang telah diuji sebelumnya untuk memperoleh kelas yang sama dengan kelompok kontrol. Kelompok kontrol diupayakan sebagai kelompok yang memiliki tipe sama dengan kelompok eksperimen. Kelompok kontrol dalam penelitian ini tidak mendapatkan perlakuan. Menurut Creswell (2010:249) kelompok kontrol, selain dapat diberikan treatmen alternatif, juga dapat dirancang tanpa melakukan treatmen. Peneliti melakukan pretest sebelum memberikan treatmen kepada kedua kelompok ini dan kembali melakukan test setelah treatmen (posttest) kepada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Pada penelitian ini peneliti mengambil dua kelompok eksperimen dan satu kelompok kontrol, sehingga jumlah keseluruhan kelompok adalah tiga kelompok. Dua kelompok eksperimen terdiri dari satu kelompok eksperimen yang diberi treatmen bimbingan kelompok teknik modeling jenis mastery model dan satu kelompok eksperimen yang diberi treatmen bimbingan kelompok teknik modeling
(43)
jenis coping model. Satu kelompok berikutnya menjadi kelompok kontrol dengan tanpa treatmen. Berikut model desain penelitian ini:
Tabel 3.1 Desain Penelitian
Kelompok Pretes Perlakuan
/treatmen
posttest Eksperimen (Mastery
Model)
O1 X1 O2
Eksperimen (Coping Model)
O3 X2 O4
Kontrol O5 -- O6
Keterangan:
X1 : bimbingan kelompok teknik modeling jenis mastery model
X2 : bimbingan kelompok teknik modeling jenis coping model
O : Pretes – posttes
B. Alur Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu melakukan studi pendahuluan untuk mengetahui gambaran akademik siswa. Studi pendahuluan dilakukan melalui wawancara dengan guru BK dan dengan mahasiswa peserta PPL jurusan BK yang sedang praktek di sekolah. Selanjutnya peneliti melakukan perumusan masalah dan kajian teoritik, kemudian melakukan proses penyusunan laporan bab I dan bab II, yang diikuti dengan penyusunan instrumen. Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap penyusunan instrumen yaitu: penyusunan definisi operasional, penyusunan kisi-kisi, pembuatan pernyataan, judgment instrumen dan uji coba. Pelaksanaan uji coba dilakukan dengan cara uji coba terpakai, yaitu sekaligus melakukan pretes. Penyusunan instrumen ini juga termasuk
(44)
pada proses penyusunan laporan pada bab III. Selanjutnya peneliti melakukan treatmen berdasarkan hasil pretes yang telah dilakukan, setelah melakukan treatmen langkah selanjutnya adalah memberikan postes, yang kemudian dianalisis. Hasil analisis ini kemudian dijabarkan dalam bab IV dan kesimpulan di bab V. Alur penelitian ditunjukkan pada bagan di bawah ini:
(45)
Tabel 3.2 Alur Penelitian
an Studi Pendahuluan
Perumusan Masalah
Kajian Teoritik Penyusunan
Instrumen Proses Penyusunan
Laporan
BAB II BAB I
1. Penyusunan Definisi Operasional
2. Penyusunan Kisi-kisi 3. Pembuatan Pernyataan 4. Jugdment Instrumen 5. Uji Coba
Desain Penelitian
nn
BAB III
Treatmen
Pre Test
Post test Analisis
BAB IV
(46)
C. Lokasi dan Subjek Penelitian 1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMA Laboratorium UPI. Visi sekolah SMA Laboratorium UPI adalah Sekolah Menengah Atas yang memiliki keunggulan akademik, social, dan religi sebagai wahana bagi pengembangan pendidikan dengan lulusan yang mempunyai daya saing tinggi dan berahlak mulia. Misi sekolah adalah sebagai berikut.
1. Menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, kreatif dan edukatif. 2. Menghasilkan lulusan berdaya saing tinggi
3. Membangun siswa yang terampil, sopan cerdas dan berahklak mulia 4. Membina peserta didik untuk menguasai keterampilan hidup yang diperlukan.
2. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah siswa SMA Laboratorium UPI Bandung dengan jumlah keseluruhan 630 siswa. Sampel dalam penelitian ini adalah kelompok eksperimen yang diambil dari kelas X. Proses pengambilan dilakukan dengan memberikan instrumen self repot self efficacy akademik kepada seluruh kelas X. Berdasarkan hasil instrumen tersebut peneliti mengambil dua kelas yang memiliki rata-rata self efficacy hampir sama dan lebih rendah dibanding kelas yang lain.
(47)
Kemudian memilih satu kelas untuk menjadi kelompok kontrol yang memiliki ciri sama dengan kelompok eksperimen.
Berdasarkan hasil analisis data dengan melihat mean yang hampir sama dari semua kelas X, peneliti mengambil kelas XC dan kelas XE sebagai kelompok eksperimen dan kelas XB sebagai kelompok kontrol. Berikut hasil analisis data dari semua kelas:
Tabel 3.3
Hasil analisis data semua kelas Kelas Mean Standar Deviasi Range
A 434.12 70.012 283.00
B 407.00 67.00 319.00
C 401.29 62.021 328.00
D 418.70 61.23 227.00
E 386.00 79.08 366.00
F 436.63 83.98 317.00
D. Variabel Penelitian
Variabel penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah bimbingan kelompok teknik modeling yang dilakukan secara eksperimen kuasi dengan memberikan treatmen untuk mengetahui apakah ada peningkatan terhadap variabel terikat. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah tentang self efficacy akademik yang diukur secara instrumen self report self efficacy akademik. Instrumen diberikan sebelum dan sesudah treatmen diberikan. Hal ini bertujuan mengetahui efektivitas bimbingan kelompok teknik modeling dalam meningkatkan self efficacy akademik.
(48)
E. Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional dari variabel-variabel yang ada pada penelitian ini yaitu sebagai berikut.
Bimbingan Kelompok Teknik Modeling.
Kegiatan bimbingan yang dilakukan secara kelompok melalui teknik modeling sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan self efficacy akademik siswa. Jenis model yang digunakan adalah mastery model dan coping model. Pada jenis mastery model pemimpin kelompok menampilkan sosok yang berhasil dalam menyelesaikan tugas belajar secara sukses. Penampilan model dilakukan dengan cara yang berbeda pada setiap pertemuan. Pertama, melalui booklet tentang seorang anak miskin yang berjuang untuk bisa sekolah hingga akhirnya bisa sekolah di luar negeri, booklet ini dibaca oleh anggota kelompok. Kedua, menghadirkan tokoh model yang buta di kelas dengan menceritakan tentang perjalanan pendidikannya serta tips-tips sukses dalam akademik. Ketiga, tayangan video seorang cacat yang berprestasi. Keempat, memberikan tugas kepada anggota kelompok untuk mencari tokoh sukses dalam pendidikan.
Bimbingan kelompok teknik modeling pada jenis coping model pemimpin kelompok menampilkan teman sebaya yang berhasil menyelesaikan tugas sekolah dengan baik, teman sebaya yang menjadi model berasal dari teman kelas dan teman di luar kelas. Penampilan model dilakukan dengan cara yang berbeda pada setiap pertemuan. Pertama, melalui booklet tentang seorang anak miskin yang berjuang
(49)
untuk bisa sekolah hingga akhirnya bisa sekolah sambil berwiraswasta membuat telur asin, booklet ini dibaca oleh anggota kelompok. Kedua, menghadirkan tokoh model yang buta di kelas dengan menceritakan tentang perjalanan pendidikan, prestasi yang diraih dalam akademik dan atlet, serta tips-tips sukses belajar. Ketiga, tayangan video keberhasilan seorang anak meraih prestasi. Keempat, permainan bercerita kepada teman kelompok tentang pengalaman sukses menyelesaikan tugas sekolah, kemudian menilai sikap positif pada saat menghadapi tugas-tugas sekolah yang dimiliki oleh teman dan diri sendiri.
Self Efficacy Akademik:
Keyakinan terhadap kemampuan mengatur dan melaksanakan aktivitas belajar yang diperlukan sebagai siswa untuk menyelesaikan tugas belajar sampai berhasil, sebagaimana yang dinyatakan oleh yang bersangkutan dalam respon tertulis terhadap pernyataan tentang perilaku tersebut yang mencakup pernyataan dalam bentuk persepsi (“saya merasa mampu”) dan kognisi (“saya mampu”). Keyakinan terhadap kemampuan mencakup tiga dimensi yaitu dimensi level (taraf keyakinan dan kemampuan dalam menentukan tingkat kesulitan tugas belajar yang dihadapi sebagai siswa), dimensi strength (taraf keyakinan siswa terhadap kemampuannnya dalam mengatasi kesulitan melaksanakan tugas belajar) dan dimensi generality (taraf keyakinan dan kemampuan siswa dalam mengeneralisasikan tugas belajar dan pengalaman sebelumnya).
(50)
F. Instrumen Self Efficacy
Instrumen self efficacy akademik dikembangkan dari teori self efficacy dari Bandura. Instrumen ini terdiri dari tiga dimensi yaitu dimensi level, generality dan strength. Dimensi-dimensi ini diturunkan kedalam indikator/faktor yang terdiri dari delapan indikator/ faktor dengan perincian tiga factor pada dimensi level, dua factor pada dimensi strength dan tiga factor pada dimensi generality. Berikut kisi-kisi instrumen self efficacy yang dikembangkan dan hasil revisi final:
Tabel 3.4 Kisi-kisi instrumen
Dimensi Aspek Indikator/Faktor Sebaran item Item
Gugur Item Terpakai Self Efficacy Level (Taraf keyakinan dan kemampuan dalam menentukan tingkat kesulitan tugas atau masalah yang dihadapi sebagai siswa)
1. Optimis dalam melaksanakan tugas belajar
1, 4, 3, 5, 14, 15, 23, 24, 25,
27
1, 4, 23 3, 5, 14, 15, 24, 25,
27 2. Minat terhadap tugas
belajar
2, 6, 7, 16,17, 26, 40, 41, 44
6 2, 7, 16,17, 26, 40, 41, 44 3. Perencanaan terhadap
tindakan untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah
8, 9, 10, 28, 29, 30, 42, 43,
45
9 8, 10, 28, 29, 30, 42,
43, 45
4. Merasa yakin dapat menyelesaikan tugas-tugas sekolah dengan baik
11, 12, 13,18, 19, 31, 32,33, 46, 47, 48
12, 31, 33
11, 13,18, 19, 32, 46,
47, 48 Strength (Taraf keyakinan siswa terhadap kemampuannnya dalam mengatasi kesulitan melaksanakan tugas-tugas) 1. Meningkatkan upaya/usaha sebaik-baiknya 20,21,22, 34, 35, 36, 49,50
36 20,21,22, 34, 35,
49,50
2. Ketahanan diri dalam melaksanakan tugas/ usaha dengan baik
37,38,39,57, 58, 68,69,73, 74 37, 57 , 58 38,39, 68,69,73, 74
(51)
Dimensi Aspek Indikator/Faktor Sebaran item Item Gugur Item Terpakai Self Efficacy Generality (Taraf keyakinan dan kemampuan siswa dalam mengeneralisasikan tugas dan pengalaman sebelumnya)
1. Menyikapi situasi dan kondisi yang beragam dg cara yang baik dan positif
51,52,65,66, 67,70,71,12,7
7
12, 77 51,52,65, 66, 67,70,71,
2. Berpedoman pada pengalaman hidup sebelumnya sebagai suatu langkah untuk mencapai keberhasilan
53,54,61,62, 63, 75,76,78
75, 76 53,54,61,6 2, 63,78
3. Meyakini terhadap kemampuan diri untuk menghadapi tugas yang variatif
55,56,59,60, 64,79,80,81
64 55,56,59,6 0,79,80,81
Jumlah 81 17 64
Kisi-kisi instrumen tersebut tidak mencakup item-item unfavorable. Hal ini dilakukan berdasarkan panduan Bandura (2006 : 308-309) dalam mengkonstruksi skala self efficacy. Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan skala self efficacy.
1. Penyusunan skala tidak menggunakan pernyataan unfavorable.
2. Pernyataan yang disusun harus dapat merepresentasikan konstruk yang ingin diukur. Pada pernyataan yang disusun harus menghindari item yang menggunakan kata “akan melakukan”, tetapi lebih baik menggunakan kata “dapat melakukan”. Pernyataan seperti ini lebih sesuai dengan konstruk self efficacy, yaitu penilaian terhadap kemampuan diri (Bandura, 1997:45).
(52)
3. Item pernyataan yang disusun disesuaikan dengan area spesifik atau tugas-tuas spesifik dari responden. Dalam hal ini area spesifik dalam instrumen adalah yang berkaitan dengan tugas pembelajaran siswa di sekolah.
4. Format respon self report self efficacy menggunakan 11 respon sikap dengan interval 0-10, dimulai dari 0 (tidak sanggup), 5 (cukup mampu melakukannya), hingga keyakinan penuh 10 (sangat mampu). Format respon 0-10 dianggap prediktor yang lebih baik (Bandura, 2006:312). Berikut format respon self report self efficacy dalam penelitian ini:
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak sanggup melakukan
Cukup mampu melakukanya
Sangat mampu melakukann ya
G. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Sebelum instrumen digunakan untuk pengumpulan data, hal pokok yang perlu dilakukan adalah prosedur analisis dan seleksi item, sekaligus untuk menguji validitas dan reliabilitas. Azwar (2004:55) menyatakan bahwa prosedur seleksi item yang sederhana terdiri dari dua tahap, yaitu tahap analisis secara kualitatif dan analisis secara kuantittaif.
Tahap pertama, analisis kualitatif. Pada tahap ini melihat kesesuaian item dengan kisi-kisi yang telah disusun sebelumnya. Evaluasi dan seleksi item dilakukan oleh tiga orang expert judgment, dua orang berasal dari dosen PPB Universitas
(53)
masalah atribut yang akan diukur, dan satu orang lagi merupakan psikolog pendidikan sekaligus dosen di STAIN Pontianak. Berdasarkan hasil diskusi bersama judge diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Revisi susunan urutan dimensi. Sebelumnya urutan dimensi ditulis level, generality, strengh diubah menjadi level, strength, generality. Alasan perubahan ini karena menurut jugde dimensi level dan strength sangat berkaitan erat pada self efficacy individu. Jika dimensi level pada individu tinggi maka dimensi strength juga tinggi.
2. Revisi tentang penyusunan indikator. Pertama, judge menyarankan judul indikator pada kisi-kisi diberi garis miring faktor (indikator/faktor). Kedua, penambahan item indikator/faktor, yaitu pada dimensi level ditambah dengan indikator “minat terhadap tugas” dan revisi indikator pada dimensi generality, yaitu “menyikapi situasi dan kondisi yang beragam dengan cara yang baik dan positif” dan “berpedoman pada pengalaman hidup sebelumnya sebagai suatu langkah untuk mencapai keberhasilan”.
3. Spesifikasi self efficacy. Judge menyarankan self efficacy yang akan diukur lebih baik spesifik. Peneliti menspesifikkan kepada aspek akademik siswa, sehingga penyusunan pernyataan diarahkan pada tugas-tugas pembelajaran yang juga mengacu pada tujuan bimbingan dan konseling bidang akademik yang disusun oleh ABKIN, hal ini bertujuan karena variabel bebas pada penelitian ini merupakan bimbingan kelompok yang bernuansa ke-BK-an.
(1)
Latifatul Masraroh, 2012
Efektivitas Bimbingan Kelompok Teknik Modeling Untuk Meningkatkan Self Effcacy Akademik Siswa (Studi Eksperimen Kuasi di Kelas X Sekolah Menengah Atas Labotarium Universita Penidikan Indonesia Bandung)
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang efektivitas bimbingan kelompok teknik modeling untuk meningkatkan self efficacy akademik siswa dapat dirumuskan kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut:
A. Kesimpulan
1. Hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa rata-rata self efficacy akademik siswa SMA Laboratorium Universitas Pendidikan Indonesia berada pada ketegori tinggi dengan rata-rata skor 401 pada kelompok coping model dan rata-rata skor 386 pada kelompok mastery model. Berdasarkan hasil ini, siswa yang memiliki tingkat self efficacy akademik tinggi dapat menjadi model bagi siswa yang memiliki self efficacy akademik rendah melalui coping model.
2. Perbandingan antara rata-rata sebelum dan sesudah treatmen dilakukan menunjukkan adanya peningkatan. Hasil sesudah treatmen menunjukkan bahwa ada peningkatan jumlah siswa yang mencapai skor kategori tinggi dan ada penurunan jumlah siswa yang mencapai skor kategori sedang, serta tidak ada siswa yang berada pada kategori rendah.
3. Hasil analisis menunjukkan bimbingan kelompok teknik modeling jenis mastery model lebih efektif dibanding teknik modeling jenis coping model
(2)
Latifatul Masraroh, 2012
Efektivitas Bimbingan Kelompok Teknik Modeling Untuk Meningkatkan Self Effcacy Akademik Siswa (Studi Eksperimen Kuasi di Kelas X Sekolah Menengah Atas Labotarium Universita Penidikan Indonesia Bandung)
dalam meningkatkan self efficacy akademik siswa SMA Laboratorium Universitas Pendidikan Indonesia. Faktor efektivitas ini disebabkan oleh penguasaan skill yang dimiliki oleh model, strategi penyampaian yang diberikan, dan bukti konkret keberhasilan yang ditunjukkan oleh model. B.Rekomendasi
Rekomendasi pada laporan ini adalah berdasarkan hasil penelitian tentang bimbingan kelompok teknik modeling untuk meningkatkan self efficacy akademik siswa, ditujukan kepada guru BK, pengembangan keilmuan Bimbingan dan Konseling, dan kepada peneliti selanjutnya.
1. Bagi guru BK SMA Laboratorium Universitas Pendidikan Indonesia dan guru BK secara umum.
Kegiatan bimbingan kelompok teknik modeling dapat dijadikan sebagai layanan dasar di bidang akademik dan bidang karir. Layanan dasar di bidang akademik melalui modeling dapat membantu siswa menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran dengan baik yang diperoleh melalui model. Teknik modeling jenis mastery model juga dapat diberikan pada layanan karir, model dapat membantu siswa memperoleh gambaran dan informasi berkaitan dengan pilihan dan perencanaan karir. Strategi penampilan model dapat melalui berbagai cara, di antaranya mendatangkan alumni sekolah yang telah sukses sebagai inspirasi bagi para siswa, melalui bacaan, tayangan video ataupun dapat dimodifikasi sesuai dengan tujuan yang dirumuskan. Pengembangan self efficacy melalui teknik modeling maupun teknik yang lain
(3)
Latifatul Masraroh, 2012
Efektivitas Bimbingan Kelompok Teknik Modeling Untuk Meningkatkan Self Effcacy Akademik Siswa (Studi Eksperimen Kuasi di Kelas X Sekolah Menengah Atas Labotarium Universita Penidikan Indonesia Bandung)
sangat disarankan, karena self efficacy merupakan dasar dan bekal agar siswa dapat melampui tugas-tugas pembelajaran dengan baik. Selain itu guru BK dalam melakukan bimbingan dapat berkolaborasi dengan guru mata pelajaran untuk membangun self efficacy dan motivasi dalam mempelajari mata pelajaran yang bersangkutan, mengingat berdasarkan hasil studi pendahuluan beberapa siswa memiliki minat yang berbeda-beda terhadap mata pelajaran yang dipelajari.
2. Bagi Peneliti selanjutnya
Selama melakukan penelitian ini, peneliti menilai terdapat keterbatasan penelitian, diataranya yang berkaitan dengan waktu pelaksanaan penelitian, kompetensi konselor dan karakteristik model yang sesuai dengan tujuan penelitian, dan pengolahan data. Berdasarkan keterbatasan tersebut, maka rekomendasi untuk peneliti selanjutnya adalah berkaitan dengan pertimbangan secara matang mengenai tempat penelitian, waktu pelaksanaan, jenis model yang sesuai dengan tujuan penelitian, dan pengolahan data dalam melihat keterkaitan antara setiap dimensi self efficacy. Penelitian ini juga dapat dikembangkan secara lebih luas dan lebih beragam, tidak hanya terbatas pada bidang akademik.
(4)
Latifatul Masraroh, 2012
Efektivitas Bimbingan Kelompok Teknik Modeling Untuk Meningkatkan Self Effcacy Akademik Siswa (Studi Eksperimen Kuasi di Kelas X Sekolah Menengah Atas
Labotarium Universita Penidikan Indonesia Bandung)
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2006), Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta
Azwar, S. (1996). Efikasi Diri Dan Prestasi Belajar Statistik Pada Mahasiswa. Jurnal Psikologi no.1, 33-40. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada
Azwar, S. (2007). Penyusunan Skala Psikologi.Yogyakarta : Pustaka Pelajar Azwar, S. (2007). Validitas dan Reliabilitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Bandura, A. (1997). Self-Efficacy, The Exercise of Control. New York : W.H.
Freeman and Company
Bandura, A. (2008). Self Efficacy in Changing Sosieties. New York : WH. Freeman an Company
Baskin WT dkk (2010). Efficacy of Counseling and Psychotherapy in Schools: A Meta-Analytic Review of Treatment Outcome Studies. New York : SAGE Publication
Bion WR. dkk (2004). Experiences in Group. New York : Pavist Publication Breg R C dkk (2007) Group Counseling. New York : SAGE
Corey MS & Corey G (2006). Prosess And Practice Groups. United State : Corey Library
Creswell, JW. (2009). Reseach desain (Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches). California : SAGE Publications
Fox J (2008) The Esensial Moreno. London : Westport
Gall, M.D dan Borg, W.R (2002). Educational research An Introduction. United States of America: Pearson Education
Harpine, C E. (2008). Group Interventions in Schools. America : Springer
Hergenhan, B.R & Olson, M.H. (2010). Theories of Learning (Teori Belajar). Jakarta : Kencana Perdana Media Group
Kartadinata, S. (2011). “Kerangka Kerja Bimbingan dan Konseling dalam Pendidikan: Pendekatan Ekologis Sebagai Suatu Alternatif, dalam
(5)
Latifatul Masraroh, 2012
Efektivitas Bimbingan Kelompok Teknik Modeling Untuk Meningkatkan Self Effcacy Akademik Siswa (Studi Eksperimen Kuasi di Kelas X Sekolah Menengah Atas
Labotarium Universita Penidikan Indonesia Bandung)
Suherman, et al. (Eds) Pendidikan Dalam Persepektif Bimbingan dan Konseling. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia Press
Lakim Abd ( 2009) Penggunaan Konseling Kelompok Dalam mengatasi Masalah Siswa di Sekolah. Didakta Jurnal Kependidikan Vol 4 no.2 November 2009 Latipun. (2008). Psikologi Eksperimen. Malang : UMM Press
Manara U (2008). Hubungan Antara Self Efficacy dan Resilience Pada Mahasiswa Psikologi UIN Malang. Skripsi pada strata 1 Fakultas Psikologi UIN Maliki Malang: tidak diterbitkan
Nazir, M. (2005). Metode Penelitian. Jakarta:Ghalia Indonesia.
Nurihsan, J. (2011). “Membangun Peradaban Bangsa Indonesia Melalui Pendidikan dan Bimbingan Komprehensif yang Bermutu, dalam Suherman, et al. (Eds) Pendidikan Dalam Persepektif Bimbingan dan Konseling. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia Press
Nurmalitasari, N. (2010). Stress Pada Mahasiswa SMAN 3 Semarang Ditinjau dari Efikasi Diri Akademik dan Kelas. Skripsi Strata 1 pada Fakultas Psikologi Universitas Dipeneogoro Semarang: Tidak diterbitkan.
Ohlsen M (1977). Group Counseling. New York : Rinehart and Winston
Patricia S & Antonina G. (2000). Sociodrama Who’s in your Shoes?. London : Westport
Pervin, L., A. & Jhon, O.P. (2001). Personality Theory and Research. New York : Jhon Viley & Sons Inc
Rusmana Nandang (2009). Bimbingan Dan Konseling Kelompok di Sekolah. Bandung : Rizqy
Santrock, JW. (1995). Life Span Development Part I. Dallas : University of Texas Santrock, JW. (1995). Life Span Development Part II. Dallas : University of
Texas
Santrock, JW. (2007). Educational Psychologi. Dallas : University of Texas Schulze, P & Schulze J. (2007). Believing is Achieving : The Implications Of
Self-Efficacy Research For Family and Consumer Sciences Education. Journal Vol.1 (2007). University Of Akron
(6)
Latifatul Masraroh, 2012
Efektivitas Bimbingan Kelompok Teknik Modeling Untuk Meningkatkan Self Effcacy Akademik Siswa (Studi Eksperimen Kuasi di Kelas X Sekolah Menengah Atas
Labotarium Universita Penidikan Indonesia Bandung)
Sugiono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R & D). Bandung : Alfabeta
Tobby Hall dkk (2007). Efficacy of a C1-C2 Self-sustained Natural Apophyseal Glide (SNAG) in the Management of Cervicogenic Headache. Journal Oertopaedik Vol 37 (Maret 2007)
Zayiroh. (2007). Keefektifan Layanan Bimbingan Kelompo Dalam Meningkatkan Perilaku Komunikasi Antar Pribadi Siswa. Skripsi Strata 1 Pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang :tidak diterbitkan
Widhiarso W. (2011). Aplikasi Analisis Kovarian dalam Psikologi Eksperimen. Tidak diterbitkan. Fakultas Psikologi UGM,Yogyakarta