Iis Suwartini S841108011

(1)

commit to user

i

KAJIAN FEMINISME DAN NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL MIMI

LAN MINTUNA KARYA REMY SYLADO

TESIS

Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Oleh Iis Suwartini

S841108011

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2013


(2)

commit to user

ii

KAJIAN FEMINISME DAN NILAI PENDIDIKAN

DALAM NOVEL

MIMI LAN MINTUNA

KARYA REMY SYLADO

Oleh: Iis Suwartini

S841108011

TESIS

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Magister

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA

INDONESIA PASCASARJANA UNIVERSITAS

SEBELAS MARET

2013


(3)

commit to user


(4)

commit to user


(5)

commit to user

v

PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

1. Tesis yang berjudul “KAJIAN FEMINISME DAN NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL MIMI LAN MINTUNA KARYA REMY SYLADO ” ini adalah karya penelitian saya sendiri dan bebas plagiat, tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik, serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis digunakan sebagai acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber acuan serta daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan perundang-undangan (Permendiknas No. 17 Tahun 2010).

2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain harus seizin dan menyertakan pembimbing sebagai author dan PPs UNS sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurang-kurangnya satu semester (enam bulan sejak pengesahan tesis) saya tidak melakukan publikasi dari sebagian atau keseluruhan tesis ini, maka Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia PPs-UNS berhak mempublikasikannya pada jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia PPs-UNS. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia mendapat sanksi akedemik yang berlaku.

Surakarta, Desember 2012 Yang membuat pernyataan


(6)

commit to user

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah Swt. Tanpa karunia-Nya, tidak mungkin tesis ini bisa terselesaikan. Terselesaikannya tesis ini juga tidak terlepas dari bantuan beberapa pihak. Karena itu, ucapan terimaka kasih disampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian;

2. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS., Direktur PPs UNS yang telah memberikan izin dan kemudahan dalam melakukan penelitian;

3. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd., Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia yang telah memberikan motivasi serta kemudahan sehingga penyusunan tesis ini dapat terselesaikan;

4. Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum., yang telah banyak memberikan arahan, saran, dalam menyelesaikan tesis ini;

5. Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd., yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, serta dorongan semangat sehingga tesis ini dapat terselesaikan; 6. Bpk dan Ibu dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia yang telah

menularkan ilmunya dan memudahkan dalam penyelesaian tesis ini;

Akhir kata, penulis berharap agar tesis ini dapat membawa manfaat bagi pembaca dan selanjutnya dapat menimbulkan minat untuk menulis buku dengan materi yang berbeda dan tentunya yang lebih baik.

Surakarta, 1 januari IiS Suwartini


(7)

commit to user

vii

IisSuwartini. S841108011. 2013. Kajian F eminisme Dan Nilai Pendidikan

Dalam Novel Mimi Lan Mintuna Karya Remy Sylado. TESIS.Pembimbing I:

Dr. NugraheniEkoWardani, M.Hum.,Pembimbing II: Prof. Dr. RetnoWinarni, M.Pd., Pembimbing II: Program StudiPendidikanBahasa Indonesia Program Pascasarjana, UniversitasSebelasMaret Surakarta.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menjelaskan: (1) emansipasi, (2) bentukketidakadilan gender, (3) faktor yang mempengaruhi eksistensi dan nilai-nilai pendidikan.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata. Data penelitian ini adalah novel Mimi Lan Mintuna karya Remy Sylado. Penelitian ini menggunakan pendekatan feminisme untuk mendeskripsikan emansipasi, bentuk ketidakadilan gender, dan eksistensi perempuan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik noninteraktif. Teknik pengumpulan data noninteraktif dengan melakukan pembacaan secara intensif dari novel dan melakukan pencatatan secara aktif dengan metode content analysis. Validitas data menggunakan trianggulasi data dan teknik analisis menggunakan model noninteraktif.

Kesimpulan dari hasil penelitian ini sebagai berikut: (1) emansipasi yang terdapat dalam novel Mimi Lan Mintuna meliputi: ketegaran, kebebasan, kemandirian, perjuangan, (2)bentuk ketidakadilan gender meliputi: (a) marginalisasi, merupakan proses pemiskinan yang terjadi di masyarakat eksploitasi dan gender, (b) subordinasi, merupakan sebuah anggapan bahwa kaum perempuan ditempatkan pada posisi yang tidak penting,(c)stereotipe, merupkan pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompokt ertentu, dan (d) kekerasan, merupakans uatu tindakan yang dapat mengakibatkan penderitaan bagi orang lain baik dalam bentukfisik, seksual, atau psikologis, (3) faktor yang mempengaruhi eksistensi wanita meliputi keluarga, budaya, dan pendidikan.

Kata kunci:Novel Mimi Lan Mintuna karya Remy Sylado, Kajian Feminisme, dan Nilai Pendidikan


(8)

commit to user

viii

IisSuwartini. S841108011. 2013. F eminism StudyandEducation Valuein Novel

Mimi Lan Mintuna Authored Remy Sylado. TESIS.Pembimbing I: Dr.

NugraheniEkoWardani, M.Hum.,Pembimbing II: Prof. Dr. RetnoWinarni, M.Pd., Pembimbing II: Program StudiPendidikanBahasa Indonesia Program Pascasarjana, UniversitasSebelasMaret Surakarta.

ABSTRACT

This research aims to describe and explain: (1) woman emancipation, (2) gender inequitability, (3) factor influencing woman existence and education values.

This research use qualitativemethod. Qualitativemethod is a research procedure yielding descriptiondata in the form of words. This Research data is novel of Mimi LanMintuna masterpiece of Remy Sylado. This Research use feminism approach to describe emancipation, gender inequitability, and womanexistence. Data collecting technique which used in this research is non-interactivetechnique. The non-interactivedata collecting technique applied here by read the novel intensively and record-keeping actively with content analysismethod. Data validation use data triangulation and analysis technique use model of non-interactive.

Conclusion from this research is: (1) emancipation represented in novel of Mimi LanMintuna including: obduracy, freedom, independence, struggle, (2) gender inequitabilityrepresented including: (a) marginalization, representedby process of emproverty that happened in society, exploitation and gender, (b) subordination, representedby description that woman placed in lower position, (c) stereotype, represented by labeling or denoting a certain group, and (d) violence, representedby action that result others grief in the form of physical, sexual, or psychological. (3) factor influencing woman existence such as family, culture, and education.

Keyword: Novel Mimi Lan Mintuna masterpiece of Remy Sylado, Feminism studies, and Educationvalues


(9)

commit to user

ix

MOTTO

Man jadda wa jadda

Orang yang bersungguh-sungguh

maka akan mendapatkannnya

Barangsiapa merintis jalan

mencari ilmu, maka Allah akan

memudahkannya jalan ke surga


(10)

commit to user

x

PERSEMBAHAN

Syukur Alhamdulillah

Tesis ini saya persembahkan untuk

Kedua orang tua saya, Bapak Sarman dan Ibu Wartini. Terima kasih atas doa, nasihat, kasih sayang, dukungan, motivasi, dan semua yang telah ayah ibu berikan selama ini.

Tesis ini saya bingkiskan untuk

1 Adik-adikku tersayang Indi, Anis, Imbar.

Terimakasih atas doa dan motivasinya. Semoga cita-cita kalian terwujud.

2 Hj. Lutfiah Baidowi selaku pengasuh Pondok

Pesantren Ali Maksum komplek Gedung Putih Krapyak Yogyakarta. Terimakasih telah mendidik saya dan memberikan kasih sayang serta Ilmu yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat.

3 Rekan-rekan dosen Universitas Ahmad

Dahlan, bersama kalian perjuangan terasa mudah.

4 Teman-teman tercinta: Pascasarjana UNS

angkatan 2011, para santri komplek Gedung Putih, terimaksih atas motivasi dan kebersamaan kalian dalam suka maupun duka.


(11)

commit to user

xi DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL . . . . . . i

PERSETUJUAN . . . ii

PENGESAHAN . . . iii

SURAT PERNYATAAN . . . iv

KATA PENGANTAR . . . v

ABSTRAK . . . vi

ABSTRACT . . . vii

MOTTO. . . ix

DAFTAR LAMPIRAN. . . xxx

BAB I PENDAHULUAN . . . 1

A. Latar Belakang Masalah . . . 1

B. Rumusan Masalah. . . 5

C. Tujuan Penelitian . . . 5

D. Manfaat Penelitian. . . 8

BAB II KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR . . . 8

A. Kajian Teori. . . 8

1. Hakikat Sastra . . . 8

a. Pengertian Sastra. . . 8

b. Jenis-jenis Sastra . . . 10

c. Novel. . . 11

2. Hakikat Feminisme. . . 12

a. Pengertian Feminisme. . . 12

b. Aliran Feminisme. . . 20

3. Bentuk ketidakadilan gender. . . 31

a. Marginalisasi . . . 39

b. Subordinasi. . . 40

c. Stereotipe. . . 40

d. Kekerasan. . . 41

4. Eksistensi dan faktor yang mempengaruhinya. . . 46

a. Keluarga . . . 47

b. Budaya . . . 48

5. Emansipasi. . . 50

6. Nilai-nilai pendidikan . . . 52

a. Pengertian Nilai Pendidikan . . . 52


(12)

commit to user

xii

B. Penelitian yang Relevan . . . 63

C. Kerangka Berpikir. . . 62

BAB III METODE PENELITIAN. . . 64

A. Tempat dan Waktu penelitian . . . 64

B. Pendekatan Penelitian . . . 65

C. Data dan Sumber Data . . . 65

D. Teknik Pengumpulan Data . . . 66

E. Validitas Data . . . 67

F. Teknik Analisis Data . . . 68

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN . . . 70

A. Hasil penelitian . . . 70

1. Bentuk Ketidakadilan Gender . . . 70

a. Marginalisasi . . . 70

b. Subordinasi . . . 74

c. Stereotipe . . . 76

d. Kekerasan . . . 79

3. Faktor yang Mempengaruhi Eksistensi Wanita . . . 89

a. Budaya . . . 90

b. Keluarga . . . 92

c. Pendidikan . . . . . . 93

4. Ide Emansipasi Wanita . . . 93

a. Ketegaran . . . 94

b. Kebebasan . . . 95

c. Kemandirian . . . 97

d. Perjuangan . . . 99

5. Nilai Pendidikan . . . .100

a. Nilai Religius . . . .101

b. Nilai Sosial . . . 103

c. Nilai Moral . . . .106

d. Nilai Estetika . . . .108

B. Pembahasan . . . 110

1. Bentuk Ketidakadilan Gender . . . 110

2. Faktor yang Mempengaruhi Eksistensi Wanita . . . 111

3. Emansipasi yang Diperjuangkan Tokoh Perempuan . . . 117

4. Nilai-nilai Pendidikan . . . 121

BAB V SIMPULAN DAN SARAN . . . .. 129

A. Simpulan . . . 129

B. Implikasi . . . 130


(13)

commit to user

xiii

DAFTAR PUSTAKA. . . . . . 134 LAMPIRAN . . . . . . . . . 138


(14)

commit to user BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kedudukan antara perempuan dan pria menjadi polemik, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dunia sastra. Sejak dahulu peran perempuan sudah menjadi problematika. Penempatan perempuan pada ranah domestik dan laki-laki pada ranah publik menjadi awal adanya ketidaksetaraan gender.

Zaman dahulu masyarakat tradisional menganggap bahwa seorang gadis sudahlah cukup jika dia mempunyai keterampilan menulis, membaca, dan menghitung (Djajanegara, 2000:6). Anggapan tersebut menggambarkan bahwa perempuan tidak diperkenankan melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan terbatas menjadikan perempuan hanya terorientasi pada ranah domestik. Hal ini memungkinkan adanya peluang kekuasaan kaum pria, sehingga menghambat perkembangan dan eksistensi perempuan.

Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki maupun kaum perempuan (Fakih, 2008: 12).

Berbagai tuntutan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan menjadi hal yang penting diperjuangkan. Tuntutan tersebut merupakan bagian dari wujud emansipasi. Emansipasi merupakan perwujudan kaum feminis untuk menuntut kesetaraan gender terutama dalam ranah publik.


(15)

commit to user

Fakih (2008: 12) menjelaskan bentuk-bentuk ketidakadilan gender itu meliputi marginalisasi, subordinasi, pembentukan stereotipe melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi nilai peran gender.

Pemberian posisi perempuan pada tempat yang lebih rendah tersebut ada karena patriarki (pemerintahan ayah) sebuah sistem yang memungkinkan laki-laki dapat mendominasi perempuan pada semua hubungan sosial (Ruthfen dalam Sofia, 2009: 12).

Gagasan patriarki menyarankan dominasi universal tanpa asal usul dan dominasi kesejajaran. Dominasi ini merupakan suatu proses kompleks terdiri atas berbagai unsur yang harus dihubungkan. Unsur-unsur itu meliputi organisasi ekonomi rumah tangga dan ideologi kekeluargaan yang menyertainya, pembagian kerja dalam sistem ekonomi, sistem pendidikan dan pemerintahan, dan kodrat identitas jenis kelamin dan hubungan diantara reproduksi seksualitas dan biologis (Selden dalam Sofia, 2009:12).

Berbagai permasalahan yang timbul dalam diri perempuan membuat sulit mendefinisikan dirinya sendiri. Sudah semestinya perempuan menyadari akan eksistensinnya. Eksistensi perempuan diwujudkan untuk mendapatkan pengakuan tentang keberadaan perempuan di masyarakat.

Pada dasarnya perempuan penuh dengan berbagai pilihan. Pengambilan keputusan dalam segala hal, hendaknya tanpa adanya interverensi dari pihak lain. Selama ini laki-laki mendominasi dalam berbagai bidang kehidupan. Hal tersebut menyebabkan perempuan sulit menentukan nasibnya sendiri. Eksistensi perempuan selama ini dipengaruhi oleh faktor budaya, keluarga,


(16)

commit to user

dan pendidikan. Budaya patriarkhi yang berkembang di masyarakat sangat mempengaruhi keberadaan perempuan dalam lingkup keluarga, masyarakat dan dunia kerja.

Sistem norma yang berlaku di masyarakat sangat membatasi peran perempuan pada ranah publik. Oleh karena itu, perempuan perlu mewujudkan eksistansinya dengan melakukan perlawanan terhadap sistem norma yang merugikan perempuan.

Realitas permasalahan yang dialami perempuan mendorong munculnya sebuah gerakan feminisme. Gerakan feminisme bertujuan memperjuangkan persamaan derajat antara kaum laki-laki dan perempuan, serta memperjuangkan kebebasan perempuan untuk menentukan nasibnya sendiri. Melalui gerakan ini, sesungguhnya kaum perempuan berpeluang besar untuk mengembangkan diri dan terbuka untuk berupaya melawan perlakuan yang diskriminasi (Djajanegara, 2000: 4-9).

Gerakan feminisme mendapat sambutan banyak pihak, terutama kaum perempuan. Adanya gerakan feminisme di berbagai belahan dunia merupakan wujud perjuangan perempuan untuk mewujudkan kesetran gender.

Masalah gender dan feminisme mendorong munculnya emansipasi perempuan yang terus berkembang. Emansipasi perempuan bisa berarti keinginan kaum perempuan untuk melepaskan diri dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah dan dari pengekangan hukum yang menghambat kemajuan. Sebagai wujudnya adalah tuntutan agar perempuan diberi kebebasan untuk memajukan dirinya, tuntutan agar laki-laki menghargai perempuan, tuntutan pembagian kerja yang adil dalam rumah tangga dan sebagainya (Moeliono dalam Sugihastuti, 2005: 237).


(17)

commit to user

Emansipasi perempuan pada hakikatnya merupakan perjuangan untuk memperoleh pembebasan dari semua bentuk penindasan, pengekangan, perbedaan ras, tradisi, yang kurang menguntungkan, serta perjuangan untuk mendapatkan hak-hak dalam segala bidang kehidupan.

Fenomena seperti itu tidak hanya terjadi dalam dunia saja tetapi juga terjadi dalam karya sastra seperti novel dan cerpen. Penggambaran tokoh perempuan sering ditempatkan pada posisi yang kalah tanpa memperhatikan tokoh perempuan sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial.

Karya sastra sebagai dunia imajinatif dapat dijadikan media tumbuhya subordinasi perempuan (Sugihastuti, 2005:32). Belakangan ini kelemahan sosok perempuan justru menjadi objek kajian dalam karya sastra, mulai dari bentuk penindasan yang terjadi pada perempuan, permasalahan gender hingga masalah seksualitas pada perempuan yang digambarkan secara vulgar. Ilustrasi mengenai sosok perempuan di atas seolah mencerminkan citra perempuan yang kian mempesona untuk selalu di eksploitasi.

Anwar (2009: 63) berpendapat dunia sastra mengawali permasalahan emansipasi perempuan, hal ini ditandai dengan novel-novel yang terbit pada tahun 1920-an. Contoh novel-novel tersebut antara lain: Azab dan Sengsara (1921), Siti Nurbaya (1922), Salah Asuhan (1928) Layar Terkembang (1937) dan Belenggu (1940). Hadirnya novel yang diterbitkan Balai Pustaka telah mengangkat berbagai permasalahan perempuan antara lain: kawin paksa, kesadaran perempuan akan eksistensinya dan upaya mengakhiri diskriminasi perempuan.


(18)

commit to user

Kritik sastra feminis melibatkan perempuan, khususnya kaum feminis sebagai pembaca. Pusat perhatian pembaca adalah penggambaran perempuan serta stereotipee perempuan dalam suatu karya sastra.

Karya sastra yang menghadirkan isu ketidaksetaraan gender layak untuk dikaji secara mendalam. Anggapan masyarakat terhadap gender perlu mendapat arahan agar dapat meminimalisir ketidakadilan gender. Peran pembaca sastra memiliki andil yang cukup besar dalam merealisasikan ide penulis dalam kehidupan.

Dalam dunia pendidikan novel dibahas panjang lebar mengenai unsur intrinsik maupun unsur ekstrinsik. Namun, yang paling penting dalam materi novel di sekolah adalah nilai-nilai yang dapat dipetik yaitu nilai pendidikan.

Nilai-nilai pendidikan dalam novel merupakan muatan ilmu pengetahuan yang dapat dijadikan pemelajaran dalam kehidupan. Pemelajaran memiliki peran sebagai sarana penyampai informasi, novel pun memiliki peran tersebut. Pemelajaran berperan sebagai pembentuk sikap dan kepribadian, novel berperan sebagai pembentuk jiwa, sifat, kebiasaan dan lain-lain. Ketika sebuah novel memiliki nilai mendasar bagi hidup manusia, saat itulah novel tidak hanya menjadi hiburan tetapi kebutuhan untuk menyelaraskan kehidupan.

Nilai pendidikan dalam karya sastra menurut Waluyo (1992:28) menjelaskan bahwa nilai dalam sastra adalah kebaikan yang ada dalam makna karya sastra seseorang. Karya sastra mengandung nilai-nilai yang bermanfaat bagi pembaca dalam kehidupannya. Muatan nilai dalam karya sastra pada


(19)

commit to user

umumnya adalah nilai religius, nilai moral, nilai sosial dan nilai estetika atau keindahan.

Novel Mimi Lan Mintuna merupakan novel karya Remy Sylado yang diterbitkan pada tahun 2007. Novel tersebut merupakan salah satu novel yang mengangkat permasalahan gender. Konflik yang dimunculkan sangat menarik sehingga tidak monoton. Tidak hanya permasalahan dalam rumah tangga novel ini mengangkat trafficking. Kehadiran novel ini memberikan informasi kepada pembaca bahaya trafficking yang kerap terjadi di Indonesia.

Tokoh perempuan dalam novel tersebut mengalami ketidakadilan gender dan berusaha memperjuangkan hak-hak mereka. Ketidakadilan gender yang dialami berupa marginalisasi, subordinasi, kekerasan, stereotipee dan beban kerja (burden).

Novel Mimi Lan Mintuna banyak mengandung nilai-nilai pendidikan. Budaya jawa yang diangkat dalam novel tersebut memberikan dampak positif dan negatif. Budaya jawa yang menganut sistem patriarki dalam novel tersebut menjadi salah satu pemicu terjadinya ketidakadilan gender. Meskipun budaya jawa memberikan dampak negatif, novel tersebut juga menggambarkan dampak positif dari nilai-nilai luhur budaya jawa. Falsafah hidup yang diemban masyarakat jawa untuk sehidup semati seperti mimi dan mintuna, memberikan gambaran masyarakat jawa menjunjung tinggi kesetiaan.


(20)

commit to user

Bertolak dari fenomena di atas, pengarang berusaha menuangkan ide dalam karya sastranya sebagai upaya untuk meminimalisir ketidaksetaraan gender. Ide penulis tersebut, senada dengan pemikiran para aliran feminis.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah bentuk ketidakadilan gender dalam novel Mimi Lan Mintuna karya Remy Sylado?

2. Bagaimanakah faktor yang mempengaruhi eksistensi perempuan dalam novel Mimi Lan Mintuna karya Remy Sylado?

3. Bagaimanakah bentuk emansipasi dalam novel Mimi Lan Mintuna karya Remy Sylado?

4. Bagaimanakah nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Mimi Lan Mintuna karya Remy Sylado?

C. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan dan menjelaskan bentuk ketidakadilan gender dalam novel Mimi Lan Mintuna karya Remy Sylado?

2. Mendeskripsikan dan menjelaskan faktor yang mempengaruhi eksistensi perempuan dalam novel Mimi Lan Mintuna karya Remy Sylado?

3. Mendeskripsikan dan menjelaskan bentuk emansipasi dalam novel Mimi Lan Mintuna karya Remy Sylado?

4. Mendeskripsikan dan menjelaskan nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Mimi Lan Mintuna karya Remy Sylado?


(21)

commit to user D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya khasanah pengetahuan dalam apresiasi ilmu sastra kepada mahasiswa pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia tentang novel Mimi Lan Mintuna karya Remy Sylado pendekatan feminisme.

2. Manfaat Praktis.

a. Bagi dosen dan guru

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan kontribusi materi pengetahuan dalam mengajarkan apresiasi sastra. b. Bagi pembaca

Memberikan motivasi untuk melakukan penelitian pada novel Mimi Lan Mintuna dengan pendekatan dan teknik yang berbeda serta menambah wawasan, tentang pemahaman dan kesadarannya akan emansipasi perempuan dan bahaya trafficking.

c. Bagi kalangan penulis

Novel tersebut diharapkan dapat menginspirasi penulis untuk mengangkat isu feminisme dalam karyanya, sehingga dapat dijadikan media untuk menyadarkan pembaca untuk memahami kesetaraan gender


(22)

commit to user BAB II

KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Teori

1. Hakikat Sastra

a. Pengertian Sastra

Karya sastra pada hakikatnya adalah sebuah ekspresi individual. Oleh karena itu, sangat wajar jika beberapa ahli menyatakan bahwa sastra sulit didefinisikan. Ada beberapa aspek yang mempengaruhi hal tersebut yaitu sebagai berikut.

Pertama, sastra merupakan ekspresi pribadi sehingga tidak mungkin kita dapat menggeneralisasi seluruh pribadi dalam konteks penciptaan karya sastra. Sebagai pribadi, sastrawan tetap bertolak sebagai sastrawan yang otonom sehingga memungkinkan dirinya tidak terpengaruh oleh paradigma estetika sastra secara universal.

Kedua, sastra bersifat unik. 1) Justifikasi terhadap karya sastra dan bukan sastra masih overlaping, apalagi dipandang dari sudut yang berlainan; 2) Sastra tidak diarahkan pada situasi pemakai atau pembaca sastra; 3) Orientasinya pada karya sastra barat; serta 4) Bertitik pangkal pada kenisbian historis.

Ketiga, estetika karya satrawan dibangun dari keselarasan diri sastrawannya bukan karena yang lain, sehingga memungkinkan


(23)

commit to user

sebuah karya sastra itu seragam dan tanpa adanya pertentangan paradigma estetika sastra.

Sastra berasal dari bahasa sansekerta, yakni dari kata sas yang berarti mengarahkan, memberi petunjuk atau instruksi, sedang tra berarti alat atau sarana (Teeuw dalam Winarni, 2009:1).

Pendefinisian sastra menurut Zainuddin Fananie (2000:6) berpendapat bahwa sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik yang didasarkan pada aspek kebahasaan maupun aspek makna.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat sastra adalah sebuah ekspresi personal, ada proses penghayatan, memerlukan daya kreasi, dan bermedikan bahasa. Berdasarkan hal tersebut sastra dapat dipahami sebagai proses kegiatan kreatif manusia yang bermediakan bahasa yang mengungkapkan pengalaman, cita, rasa, dan karsa dalam kehidupannya. Karya sastra sebagai karya kreatif terbagi dalam berbagai jenis yaitu puisi, prosa, dan drama. Masing-masing jenis sastra mempunyai karakteristik sendiri-sendiri.

b. Jenis-jenis Sastra

Karya sastra sebagai karya kreatif terbagi dalam berbagai jenis yaitu puisi, fiksi, dan drama. Masing-masing jenis karya sastra memiliki ciri-ciri yang khas. Meskipun memiliki perbedaan, seluruh


(24)

commit to user

jenis karya sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat sehingga mengandung nilai-nilai pendidikan.

1) Puisi

Menurut Waluyo (2010: 3) puisi adalah karya sastra yang paling tua dan mamiliki ciri-ciri khas kekuatan bahasa. Altenbernd (dalam Pradopo 2005:5) puisi merupakan pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran dalam bahasa berirama. Lain halnya dengan Samuel Taylor Coleridge (dalam Pradopo 2005: 6) mengemukakan puisi merupakan kata-kata yang terindah dalam susunan terindah.

Puisi merupakan ekspresi pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu yang penting, yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan. Puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang berkesan (Pradopo,2005: 7).

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Selain itu puisi merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan.


(25)

commit to user 2) Fiksi

Pengertian fiksi menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010: 2) cerita khayalan yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan. Altenbernd (dalam Nurgiyantoro, 2010: 2) menjelaskan bahwa suatu cerita yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran.

Fiksi umumnya ditandai dengan unsur plot, karakter, sudut pandang, konflik, dan sebagainya. Fiksi terbagi menjadi dua cerpan dan novel. Cerpen menurut Nurgiyantoro (2010: 10) suatu cerita yang bersal dari imajinasi pengarang dan pelukisan tokoh, latar dan seting dibatasi sehingga cerpen lebih pendek daripada novel.

Adapun pengertian novel berasal dari bahasa itali novella (yang dalam bahasa jerman novelle). Secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai cerita panjang dalam bentuk prosa (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2010: 9). Lain halnya dengan Lukas (dalam Anwar 2009: 49) novel adalah kreasi realitas yang bertumpu pada konvensionalitas dunia objektif dan interioritas dunia subjektif pada sisi lainnya. Nurgiyantoro (2010:2) novel merupakan hasil kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan.


(26)

commit to user

Kemunculan novel dan kemunculan perempuan pada status sastra profesional saling terkait. Sejak awal, perempuan diasosiasikan dengan novel sentimental baik sebagai pembaca maupun sebagai penulis. (Moeres dalam Humm, 2009: 312).

Novel sebagai salah satu media dalam perjuangan ideologi ditingkat kebudayaan dapat dijadikan sebuah dasar signifikan untuk memahami feminisme (Anwar, 2009: 48). Melalui novel penulis dapat menuangkan idenya berdasarkan realitas. Para penulis mulai menyuarakan ide feminis dan menuntut adanya kesetaraan gender.

Realitas di masyarakat menjadi dasar untuk menilai kualitas karya sastra yang dicerminkannya. Konteks tersebut menegaskan adanya hubungan penciptaan novel dengan perubahan dalam dunia objektif dan sudut pandang subjektif pengarang terhadap dunianya (Fokkema dalam Anwar, 2009: 49).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa novel adalah karya imajinasi yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang yang bertumpu pada realitas kehidupan yang dialami penulisnya. Novel dapat dijadikan salah satu media untuk memahami konsep feminisme melalui ide yang dituangkan para penulisnya.


(27)

commit to user 3) Drama

Drama berasal dari bahasa Yunani ‘dramoi’ yang atinya berbuat, berlaku, bertindak atau beraksi. Drama berarti perbuatan atau tindakan (action). Menurut buku praktis bahasa Indonesia (2008: 159) drama jenis sastra dalam bentuk puisi atau prosa yang bertujuan menggambarkan kehidupan lewat dialog para tokoh.

Drama sebagai ragam yang ketiga sesungguhnya merupakan bagian dari prosa. Hal ini berlaku apabila drama dipandang sebagai teks sastra. Namun demikian, drama tidak hanya berhenti sebagai naskah tetapi harus dipentaskan. Tentunya ada beberapa kesamaan ciri antara drama dan prosa, tetapi ciri khusus drama yang tidak dimiliki oleh prosa pada umumnya yaitu akting, tata artistik, penyutradaraan dan sejenisnya.

2. Hakikat Feminisme a. Pengertian Feminisme

Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (woman), berarti perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial Selden (dalam Ratna, 2010: 184). Secara leksikal feminisme adalah gerakan kaum perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara


(28)

commit to user

kaum perempuan dan laki-laki Moeliono, dkk (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2005: 61). Menurut Goefe (dalam Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan 2010: 93) feminisme adalah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial.

Menurut pendapat Humm (2007: 160) feminisme merupakan gerakan terorganisir untuk mencapai hak asasi perempuan dan sebuah ideologi transformasi sosial yang bertujuan untuk menciptakan dunia bagi perempuan melalui persamaan sosial.

Berkembangnya feminisme menjadikan perempuan kian berani menyuarakan haknya. Mereka menuntut adanya kesetaraan gender dalam segala bidang kehidupan. Terwujudnya kesetaraan gender akan meminimalisisr ketidakadilan yang kerap menimpa kaum perempuan.

Feminisme bukan merupakan upaya pemberontakan terhadap laki-laki, upaya melawan pranata sosial seperti institusi rumah tangga dan perkawianan, upaya perempuan untuk mengingkari kodratnya, tetapi upaya untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi perempuan (Fakih, 2008: 78-79).

Pada dasarnya feminisme merupakan gerakan kaum perempuan untuk memperoleh kebebasan dalam menentukan nasibnya. Adanya tuntutan persamaan gender untuk melepaskan diri dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah merupakan langkah awal yang dilakukan kaum feminis.


(29)

commit to user

Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki. Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini mencakup berbagai cara. Salah satu caranya adalah memperoleh hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki laki-laki (Djajanegara, 2000: 4).

Gerakan feminisme mempunyai relefansi yang sangat erat dengan tulisan-tulisan karya sastra khususnya novel. Menurut pendapat Beauvior (dalam Anwar, 2009: 50) menjelaskan bahwa melalui sastra, pengarang melakukan serangkaian refleksi atas mitos tentang perempuan. Dalam sastra, pria menciptakan imaji tentang perempuan dan memposisikan perempuan sebagai mitos-mitos kompensasi bagi pria. Jackson dan Jones (2009: 338) berpendapat bahwa fokus utama feminisme dalam karya sastra tahun 1980-an mengenai bahasa.

Nyoman Kutha Ratna (2004: 192) mengatakan apabila dikaitkan dengan gerakan emansipasi, sastra feminis bertujuan untuk membongkar, mendekonstruksi system penilaian terhadap karya sastra yang pada umumnya selalu ditinjau melalui pemahaman laki-laki, dengan konsekuensi logis perempuan selalu sebagai kaum yang lemah. Sebaliknya, laki-laki sebagai kaum yang lebih kuat.

Menurut Showalter (dalam Jackson dan Jones, 2009: 342) berpijak pada perkembangan sastra feminis pada tahun 1980-an para kritikus feminis perlu memberikan perhatian pada perbedaan gender


(30)

commit to user

dan seksual dalam teks-teks yang ditulis baik oleh laki-laki maupun perempuan.

Menurut pendapat Endaswara (2008: 146) sasaran penting dalam analisis feminis ada beberapa hal, diantaranya: (1) mengungkap karya-karya penulis perempuan masa lalu dan masa kini; (2) mengungkap berbagai tekanan pada tokoh perempuan masa lalu dan masa kini; (3) mengungkap ideologi pengarang perempuan dan pria, bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam kehidupan nyata; (4) megkaji aspek ginokritik, memahami proses kreatif kaum feminis; dan (5) mengungkap aspek psikoanalisa feminis, mengapa perempuan lebih suka hal yang halus, emosional, penuh kasih sayang.

Showalter (dalam Jackson dan Jones, 2009: 336) membagi kritik sastra feminis menjadi dua kategori yang berbeda: pertama berfokus kepada pembaca perempuan. Sedangkan yang kedua berfokus kepada penulis perempuan.

Para kritikus feminis prancis mengadopsi istilah ecriture feminine (tulisan feminim) untuk menjelaskan gaya feminim yang tersedia baik bagi laki-laki maupun perempuan (Jackson dan Jones, 2009: 339). Ecriture feminine tidak harus berasal dari penulis perempuan, penulis laki-laki pun mempunyai hak yang sama dalam menuangkan ide feminisnya. Hal tersebut didukung oleh pendapat Anwar (2009: 6) seorang pria bisa menjadi feminis dalam arti mendukung posisi perempuan.


(31)

commit to user

Selanjutnya muncullah istilah reading as a women, membaca sebagai perempuan, yang dicetuskan oleh Culler, maksudnya adalah membaca dengan kesadaran membongkar praduga dan ideology kekuasaan laki-laki yang patriarkhat. (Sugihastuti dan Suharto, 2005:19)

Culler’s answer is brief and relatively problematic: “ to read asa a woman is to avoid reading as a man, to identify the specific defenses and distortions, he does provide some fundamental guidelines for such a reading. Accordingly, to read as a woman requires that one approach a work from a feminist vantage and therefore, not regard the work from the purview of patriarchy. Consequently, as a woman, one must query readings which suggest the only major figure in the novel, and alternately analyze the motivations of principal female characters who are thoroughly developed within the work. (leek, 2001: 2)

Menurut Culler membaca sebagai perempuan adalah menghindari membaca seperti laki-laki. Culler menyediakan beberapa panduan fundamental seperti sebuah pemahaman. Berdasarkan hal itu, untuk membaca sebagai perempuan membutuhkan sebuah pemahaman. Berdasarkan hal tersebut, untuk membaca sebagai perempuan membutuhkan sebuah pendekatan penelitian dari kaum feminis. Kaum perempuan perlu membaca dan mempelajari sikap dan perilaku tokoh perempuan dalam sebuah novel yang dapat memberikan motivasi bagi kemajuan perempuan.

Menurut pendapat Yoder (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2005: 5) membaca sebagai perempuan yaitu memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang


(32)

commit to user

banyak berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan. Laki-laki dan perempuan dapat membuat tulisan feminim serta menafsirkan karya sastra sebagai perempuan.

Ecriture feminine (tulisan feminim) tidak berpengaruh terhadap jenis kelamin penulis, begitu juga dengan reading as a woman (membaca sebagai perempuan).

Menurut Jafferson dan Robey (dalam Anwar, 2009: 7) terdapat empat bentuk definisi konseptual yang terkait dengan permasalahan perempuan, yaitu female, feminitas, feminim dan feminisme. Female berbagai bentuk pengalaman dan situasi perempuan. Feminitas merupakan suatu bentuk konstruksi kultural terhadap karakteristik perempuan. Feminim adalah konstruksi sosial yang mengacu pada seksualitas dan bentuk prilaku yang ditentukan oleh norma sosial dan kultural. Feminisme lebih terikat dengan posisi politik perempuan. Kemunculan awal paradigma feminisme ditandai dengan munculnya subjek gerakan feminisme di era 1960-1970-an. Gerakan feminisme dipelopori oleh Virgina Woolf yang fokus gerakannya terarah pada pengalaman-pengalaman perempuan di bawah naungan patriarkhi. Gerakan feminisme ditandai dengan lahirnya gelombang pertama feminism yang menitik beratkan perjuangan untuk mendapatkan kesetaraan hak-hak perempuan dalam politik atau hak pilih.

Lahirnya feminisme merupakan reaksi ketidakadilan terhadap perempuan dalam masyarakat, baik ranah domesik maupun ranah


(33)

commit to user

publik. Reaksi terhadap ketidakadilan tersebut, juga terjadi di berbagai negara. Menurut Djajanegara (2000: 1) lahirnya feminisme di Amerika didasari oleh tiga hal penting diantaranya:

Pertama, berkaitan dengan aspek politik. Misalnya, deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat tahun 1776 hanya menyebutkan bahwa semua laki-laki diciptakan sama. Sementara itu, konsep ini bagi kalangan perempuan dinilai sebagai suatu bentuk diskriminasi karena tidak menyebutkan dan mengakui posisi mereka.

Kedua, aspek agama yang mendasari tumbuhnya gerakan feminisme di Amerika. Agama protestan maupun katolik menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki. Kaum lelaki yahudi kuno ketika bersembahyang, yaitu selalu mengucapkan terima kasih kepada Tuhan karena mereka tidak dilahirkan sebagai perempuan.

Ketiga, hingga memasuki abad ke-20 perempuan belum sepenuhnya diberikan kesempatan untuk berkiprah di sektor publik secara proporsional. Para feminis berusaha agar diberi kesempatan bekerja di sektor publik sehingga memperkecil ketergantungan terhadap laki-laki.

Ketiga aspek tersebut menjadi landasan gerakan feminisme di Amerika dalam melancarkan kegiatan-kegiatannya. Dari ketiga aspek tersebut, dapat disimpulkan bahwa perjuangan para feminis


(34)

commit to user

Amerika tidak untuk mengungguli kaum laki-laki tetapi untuk menuntut kesetaraan gender dalam ranah publik.

Feminisme menjadi gerakan politik yang terorganisasi dengan baik pada tahun 60an dengan membangun teori bahwa dominasi laki-laki dan subordinasi perempuan bukan fenomena yang bersifat biologis tetapi merupakan konstruksi sosial. Laki-laki yang membangun standar dan nilai yang berlaku di masyarakat baik dalam ranah domestik maupun ranah publik. Oleh karena itu, dominasi laki-laki terhadap perempuan dapat di hilangkan dengan peran serta seluruh lapisan masyarakat.

“The emergence of the feminist movement is considered one of the most important developments in the history of literary criticism. Feminism, in their earlier theories, were preoccupied with the images of women characters and how these images are represented in literature ”(Deif: 2003).

Gerakan feminisme menjadi dasar dari sejarah kritik sastra. Beberapa karya sastra banyak yang mengangkat permasalahan perempuan menjadi tema utama baik dalam novel maupun cerpen.

Karya sastra yang bernuansa feminis dengan sendirinya akan bergerak pada emansipasi, kegiatan akhir dari perjuangan feminis adalah persamaan derajat, yang hendak mendudukan perempuan tidak sebagai objek. (Endaswara, 2008: 146)


(35)

commit to user

Berdasarkan uraian di atas, feminisme merupakan perjuangan kaum perempuan untuk memperoleh kesetaraan gender dan berupaya mewujudkan eksistensi di segala bidang kehidupan untuk meminimalisir ketidakadilan gender yang kerap dialami perempuan. b. Aliran Feminisme

Feminist thingking is really rethingking, an examination of the way certain assumptions about women and the female character enter into the fundamental assumption that organize all our thingking. Such radical skepticism is an ideal intellectual stance that can generate genuinely new understandings; that is, reconsideration of the relation between the whole set of such as- sociated dichotomics; heart and head, nature and history. But is also creates unusual difficulties (Jehlen, 1981: 1).

Pemikiran feminis adalah benar-benar sebuah pemikiran ulang, mengenai asumsi tentang perempuan dan karakter perempuan yang masuk kedalam asumsi fundamental dan terorganisasi dalam pemikiran kita. Beberapa skeptis radikal adalah sebuah posisi intelektual yang berbeda yang bisa membuat pemahaman baru secara autentik, yaitu berdasar pada hubungan antara perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu, kita dapat berpikir ulang bahwa diantara semua bentuk dikotomi asosiasi, alam dan sejarah dapat menimbulkan kesulitan yang tidak biasa.

Perempuan dalam pandangan feminisme mempunyai aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam gerakan untuk menuntut haknya sebagai manusia secara penuh (Kridalaksana dalam Adib, 2009: 13).


(36)

commit to user

Apabila dikaitkan dengan gerakan emansipasi, sastra feminis bertujuan untuk membongkar, mendekonstruksi syistem penilaian terhadap karya sastra yang pada umumnya selalu ditinjau melalui pemahaman laki-laki, dengan konsekuensi logis perempuan selalu sebagai kaum yang lemah. Sebaliknya, laki-laki sebagai kaum yang lebih kuat (Ratna, 2010: 192).

Sastra feminis menghadirkan sosok perempuan tangguh yang memperjuangkan kesetaraan gender. Perempuan tidak lagi digambarkan sebagai sosok yang lemah. Tokoh-tokoh dalam sastra feminis menggambarkan perjuangan emansipasi yang sangat relevan dengan kehidupan.

Pembagian teori feminisme terbagi menjadi delapan bagian yang meliputi feminisme radikal, feminisme marxis dan sosialis, feminisme liberal, feminisme psikoanalsis, feminisme postmoderen, feminisme multikultural dan global, serta feminisme ekofeminisme (Arivia dalam Adib, 2009:13).

1) Feminisme Radikal

Jagar (dalam Fakih, 2008: 85) mengemukakan bahwa feminisme radikal menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki, seperti hubungan seksual adalah bentuk dasar penindasan terhadap kaum perempuan. Menurut pendapat Eisenstein (dalam Fakih, 2008: 85) patriarkhi adalah dasar ideologi penindasan yang merupakan sistem hierarki


(37)

commit to user

seksual dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior dan privilege ekonomi.

Feminis radikal meyakini bahwa sistem seks dan gender adalah penyebab fundamental dari opresi terhadap perempuan (Tong, 2010: 69). Kaum feminis radikal menganggap sistem seks dan gender merupakan penyebab ketidakadilan dalam segala bidang kehidupan.

Penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki, seperti hubungan seksual adalah bentuk penindasan terhadap kaum perempuan. Bagi penganut feminisme radikal, patriarki adalah dasar dari ideologi penindasan yang merupakan sistem hierarki sosial. Oleh karena itu, kaum feminis radikal berupaya menghilangkan sistem seks dan gender yang cenderung merugikan kaum perempuan.

Guna menghilangkan penguasaan oleh laki-laki, perempuan dan laki-laki perlu menyadari bahwa mereka tidak ditakdirkan untuk menjadi aktif maupun pasif. Perbedaan gender terutama status peran dan seks harus dihilangkan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa feminisme radikal merupakan suatu gerakan yang berjuang membebaskan diri dari penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki akibat sistem seks dan gender yang


(38)

commit to user

merugikan perempuan, serta meyakini budaya patriarkhi sebagai dasar ideologi penindasan.

2) Feminisme marxis

Feminisme marxis adalah feminisme sosialis yang menganggap analisis patriarki perlu dikawinkan dengan analisis kelas. Ragam feminis ini juga menganggap bahwa ketidakadilan bukan akibat dari perbedaan biolgis, melainkan karena penilaian anggapan terhadap perbedaan itu Ruthfen (dalam Adib, 2009:14).

Kelompok feminis marxis menolak keyakinan feminis radikal yang menyatakan biologi sebagi dasar pembedaan gender Bagi mereka penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari sistem eksploitatif yang bersifat struktural. Oleh karena itu, mereka tidak menganggap patriarkhi ataupun kaum laki-laki sebagai permasalahan, akan tetapi sistem kapitalisme yang sesungguhnya merupakan penyebab permasalahan (Fakih, 2008: 86-88).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa feminis marxis merupakan suatu gerakan yang berupaya menghilangkan kelas-kelas dalam masyarakat guna membangun struktur sosial yang memungkinkan kedua gender untuk merealisasikan potensi secara penuh.


(39)

commit to user 3) Feminis liberal

Feminis liberal adalah feminis yang memandang adanya korelasi positif antara partisipasi dalam produksi dan status perempuan (Fakih dalam Adib, 2009:14). Menurut pendapat Arifia (dalam Sofia, 2009: 14) feminisme liberal memandang manusia dilahirkan sama dan mempunyai hak yang sama meskipun mengakui adanya perbedaan tugas antara laki-laki dan perempuan.

Bagi feminisme liberal manusia adalah otonom dan dipimpin oleh akal (reason). Dengan akal manusia mampu memahami prinsip-prinsip moralitas dan kebebasan individu. Prinsip-prinsip ini juga menjamin hak individu (Arifia dalam Adib, 2009:14).

Asumsi dasar feminisme liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Dalam pemikiran feminis liberal tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perbedannya hanya pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan. Feminisme Liberal meyakini bahwa setiap manusia mempunyai hak yang sama dalam segala bidang kehidupan. Berdasarkan pendapat Mill (dalam Tong, 2010: 30) perempuan harus memiliki hak pilih agar dapat setara dengan laki laki.


(40)

commit to user

Feminisme liberal berkeinginan untuk membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif yaitu, dari peran-peran yang di gunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekali, bagi perempuan, baik di dalam akademi, forum, maupun pasar (Tong, 2010: 48-49).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa feminisme liberal merupakan suatu gerakan untuk membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif dan menuntut hak yang sama antara laki-laki dan perempuan. 4) Feminis sosialis

Menurut Fakih (2008: 90) Feminis sosialis mulai dikenal tahun 1970-an. Feminis sosialis mengkritik asumsi umum, hubungan antara partisipasi perempuan dalam ekonomi memang perlu, tetapi tidak selalu akan menaikan status perempuan.

Feminisme sosialis ialah feminis yang menganggap bahwa penindasan perempuan terjadi di kelas mana pun, bahkan revolusi sosialis ternyata tidak serta merta menaikan posisi perempuan (Jagar dalam Fakih, 2008: 90).

Menurut Eisenstein (dalam Fakih, 2008: 90) feminis sosialis berpandangan bahwa ketidakadilan bukan akibat perbedaan biologis tetapi lebih karena penilaian dan anggapan serta manifestasi ketidakadilan gender yang merupakan konstruksi


(41)

commit to user

sosial. Tidak jauh berbeda dengan beberapa pendapat di atas Humm (2007: 230) berpendapat bahwa feminis sosialis ialah feminis yang menggambarkan pengetahuan sebagai konstruksi praktis yang dibentuk oleh konteks awal sosialnya.

Berdasarkan uraian di atas feminis sosialis ialah feminis yang memandang ketidaksetaraan gender terjadi dalam segala bidang kehidupan yang dipengaruhi penilaian dan anggapan masyarakat.

5) Feminisme psikoanalsis

Feminis psikoanalisis merupakan feminisme yang menekankan penindasan perempuan pada psyche dan cara berpikir perempuan dengan menggunakan isu-isu drama psikoseksual Oedipus dan kompleksitas kastrasi Freud (Sofia, 2009: 14).

Berdasarkan uraian di atas feminisme psikoanalsis merupakan feminisme yang menganggap bahwa pengekangan terhadap cara berpikir perempuan merupakan bentuk penindasan.

6) Feminisme postmoderen

Feminisme postmoderen beranggapan bahwa the othernes tersebut tidak hanya dari kondisi inferioritas dan ketertindasan, melainkan juga cara berada, berpikir, berbicara, keterbukaan, pluralitas, diversitas, dan perbedaan. Dengan menekankan pada


(42)

commit to user

kajian kultural, feminisme multikultural dan global meyakini bahwa selain dengan patriarki penindasan dapat dijelaskan melalui ras, etnistas, kolonialisme, serta dikotomi “dunia pertama” dan “dunia ketiga” Arivia (dalam Adib, 2009:14). 7) Ekofeminisme

Menurut Megawangi (dalam Adib, 2009:15) ekofeminisme merupakan aliran feminis yang melihat individu secara komprehensif, yaitu sebagian makhluk yang terikat dan berirentaksi dengan lingkungannnya.

Ekofeminisme berupaya memberikan kesadaran pada para perempuan bahwa kualitas pengasuhan, pemeliharaan, dan cinta adalah fitrah perempuan dan ia berhak untuk mengaktualisiikannya di mana pun ia berada.

8) Feminisme Muslim

Pada abad kedua puluh muncullah feminisme muslim. Feminisme muslim berusaha mengakaji ulang penafsiran terhadap beberapa ayat-ayat Al-Quran yang dipandang kurang tepat dalam menafsirkannya. Beberapa ayat Al-Quran ditafsirkan berdasarkan kepentingan suatu jenis kelamin sehingga berakibat pada ketidaksetraan gender.

Menurut pendapat Ilyas (dalam Adib, 2009: 16) feminis muslim merupakan konsep penciptaan perempuan, konsep


(43)

commit to user

kepemimpinan rumah tangga, dan konsep kesaksian serta hak waris perempuan yang memperhatikan konteks ketika suatu ayat al-quran di tulis, komposisi tata bahasa suatu ayat serta menafsirkan keseluruhan ayat.

Penafsiran Al-Quran tidak hanya ditafsirkan secara bahasa namun perlu mengkaji konteks ketika ayat tersebut diturunkan. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari kesalahan penafsiran sehingga relefan pada saat ini. Penafsiran terhadap ayat Al-Quran pun secara keselurun, agar Al-quran memiliki makna secara utuh dan tidak ambigu.

Feminis muslim merupakan feminis yang berusaha membongkar historisitas akar permasalahan yang menyebabkan ketidakadilan dan berpendapat bahwa penafsiran ulang terhadap ayat-ayat Al-Quran diperlukan dalam rangka menjaga relevansinya dengan kehidupan manusia Baroroh (dalam Adib,2009:16).

Menurut pendapat Adib (2009: 16) feminisme muslim mempersoalkan ajaran islam dan peran gender dalam hubungannya dengan keluarga dan masyarakat.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas feminisme muslim merupakan feminis yang menuntut kesetaraan gender dalam ranah publik dan domestik dengan cara menafsirkan Al-Quran tidak hanya berdasarkan bahasa tetapi melalui konteks ketika suatu ayat al-quran di tulis dan menafsirkan keseluruhan ayat.


(44)

commit to user

Berdasarkan uraian di atas, penelitian pada novel Mimi Lan Mintuna termasuk dalam konsep aliran feminis sosial. Hal ini didasarkan bahwa novel Mimi Lan Mintuna menggambarkan ketidakadilan gender yang dipengaruhi anggapan masyarakat yang menganggap perempuan berada di bawah kekuasaan kaum laki-laki.

Ketidakadilan gender dalam novel Mimi Lan Mintuna menjadi penyebab munculnya konflik. Budaya patriarki menjadikan laki-laki mempengaruhi kehidupan perempuan. Perempuan tidak diperkenankan berada di ranah publik dan menjadi korban kekerasan.

3. Bentuk Ketidakadilan Gender

Kehadiran gerakan feminisme dengan isu sentral kesetaraan gender telah menjadi persoalan kontemporer dan terus menimbulkan kontroversi (Carles Kurzman, 1998: 101). Hal ini nampak, bahwa isu kesetaraan gender sampai saat ini terus mengemuka bersamaan dengan berbagai asumsi banyaknya problema ketidakadilan yang dihadapi oleh kaum perempuan.

Kaum feminis menganggap bahwa indikator ketidakadilan tersebut bisa disaksikan dalam berbagai bentuk tindakan diskriminatif yang dialami kaum perempuan. Dan indikator tersebut dijadikan landasan untuk mengangkat isu tersebut di berbagai kehidupan dan dijadikan program sosial yang didesain secara akademik serta disosialisasikan secara politis (Zarkasyi, 2010: 3).


(45)

commit to user

Sementara di sisi lain, isu tersebut masih menyimpan banyak problema, baik dari sisi konsep dan ideologi yang mendasarinya sampai pada apliksinya dalam kehidupan sosial.

Istilah “gender” berasal dari bahasa Inggris, yang artinya “jenis kelamin”. Gender merupakan suatu konsep cultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakterisitik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Lain halnya dengan Sugihastuti dan Itsna (2010: 95) Gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Senada dengan pemikiran tersebut Handayani dan Sugiarti (2008: 5) menjelaskan bahwa gender dapat diartikan sebagai konsep sosial yang membedakan peran antara laki-laki dan perempuan.

Umar pun berpendapat sama bahwa gender merupakan suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa.

Serupa dengan beberapa pendapat di atas Fakih (2008: 71) menjelaskan bahwa gender merupakan perbedaan perilaku (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ketentuan Tuhan


(46)

commit to user

melainkan diciptakan oleh manusia (laki-laki dan perempuan) melalui proses sosial dan kultural yang panjang.

Untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari cirri-ciri fisik biologis (Riant Nugroho, 2008:2-3).

Sementara itu, seks secara umum digunakan untuk mengindentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi, yang meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakter biologis lainnya.

Maka, sebagaimana definisi di atas, dan menurut apa yang diyakini para feminis, bahwa tidak ada keragaman dan perbedaan esensial antara pria dan perempuan.

Bila gender dimaknai sebagai hasil kontruksi social yang tidak ada kaitan dengan biologis, maka makna kesetaraan adalah suatu kondisi di mana antara laki-laki dan perempuan sama. Maka dari difinisi ini muncul pertanyaan, apakah laki-laki dan perempuan memang harus sama sehingga segalanya harus setara? Bagaimana dengan perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan yang sering membawa kondisi ketidaksetaraan (Megawangi, 1998: 20). Ada dua kelompok besar dalam diskursus feminisme mengenai konsepkesetaraan gender, dan keduanya saling bertolak belakang. Pertama, adalah sekelompok feminis yang mengatakan bahwa konsep gender adalah konstruksi social, sehingga perbedaan jenis kelamin tidak perlu mengakibatkan perbedaan peran dan perilaku gender dalam tataran


(47)

commit to user

social. Karenanya, segala jenis pekerjaan yang berbau gender, misalnya perempuan cocok untuk melakukan pekerjaan pengasuhan, dan pria sebagai pencarinafkah keluarga, harus dihilangkan dalam kehidupan social. Kalau tidak, akan sulitmenghilangkan kondisi ketidaksetaraan. Kedua, adalah sekelompok feminis lain yang menganggap perbedaan jenis kelamin akan selalu berdampak terhadap konstruksi konsep gender dalam kehidupan social, sehingga akan selalu ada jenis-jenis pekerjaan berstereotipe gender.

Perbedaan keduanya didasari oleh landasan teori dan ideology berbeda. Kelompok pertama mengartikan kesetaraan tidak dibolehkan adanya perbedaan perlakuan berdasarkan gender. Berbeda halnya dengan para feminis kelompok kedua, mereka menganggap bahwa kesetaraan gender perlu memperhatikan kondisi biologis seseorang.

Kesetaraan gender dimaknai dengan memberikan perlakuan sama kepada setiap manusia yang mempunyai kebutuhan berbeda, melainkan dengan memberikan perhatian sama kepada seluruh manusia agar kebutuhannya yang sesuai dengan masing-masing individu data terpenuhi.

Fokus utama dari konsep kesetaraan kontekstual adalah memberikan perhatian dan kehormatan yang sama kepada setiap manusia, sedang perlakuan yang diberikan adalah disesuaikan dengan kebutuhan dan konteks masing-masing individu.


(48)

commit to user

Rae (dalam Megawangi, 1998: 56) berpendapat bahwa : “ Equality is the simplest and most abstract of notions,yet the practices of the world are irremediably concrete and complex. How, imaginably,could the former govern the later” .14 (Kesetaraan adalah pernyataan yang paling simple dan abstrak, tetapi dalam praktiknya sulit dan kompleks untuk menjadi kenyataaan, dapatkah teori mengatur praktik?)

Fakih (2008: 11) menjelaskan prasangka gender ditimbulkan oleh anggapan yang salah kaprah terhadap jenis kelamin dan gender. Dewasa ini terjadi pemahaman yang tidak pada tempatnya di masyarakat mengenai gender. Gender pada dasarnya merupakan konstruksi sosial justru dianggap sebagai kodrat yang berarti ketentuan biologis atau ketentuan tuhan.

Riant Nugroho (2008: 2-3) menjelaskan, untuk memahami konsep gender maka harus dapat membedakan antara kata gender dan seks (jenis kelamin). Pengertian seks (jenis kelamin) merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis, yang melekat pada jenis kelamin tertentu.

Pendapat yang senada disampaikan Mansour Fakih (2008: 8) menjelaskan bahwa untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dan seks. Pengertian jenis kelamin merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu, yang secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat.


(49)

commit to user

Menurut Handayani dan Sugiarti (2008: 10) faktor yang menyebabkan ketidakseimbangan atau ketidakadilan gender adalah akibat adanya gender yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya.

Sejak dulu banyak mitos-mitos yang menjadi penyebab ketidakadilan gender seperti keperawanan, perempuan ideal dan laki-laki rasional sementara perempuan irasional. Kebanyakan mitos-mitos yang muncul di masyarakat akan menguntungkan kaum lelaki. Hal tersebut dikarenakan hukum patriarki yang berlaku di masyarakat. Patriarki menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak di dalam keluarga dan ini berlanjut dalam semua lingkup kehidupan.

Sementara itu, seks secara umum digunakan untuk mengindentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi, yang meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakter biologis lainnya. (Umar, 2001: 35) Maka, sebagaimana uraian di atas kaum feminis menganggap bahwa tidak ada keragaman dan perbedaan esensial antara pria dan perempuan

Seperti yang disebutkan di atas, bahwa untuk mewujudkan kesetaraan gender, para feminis sampai sekarang masih percaya bahwa perbedaan peran berdasarkan gender adalah karena produk budaya, bukan karena adanya perbedaan biologis atau perbedaan nature atau genetis. Oleh karenanya, mereka menuntut diperlakukan sama seperti laki-laki.


(50)

commit to user

Pada kenyataannya, faham kesetaraan ini tetap saja menyimpan berbagai problema yang rumit dan pelik. Sampai saat ini belum ada consensus mengenai apa yang disebut kesetaraan antara pria dan perempuan. Ada yang mengatakan bahwa kesetaraan ini adalah persamaan dalam hak dan kewajiban, yang tentunya masih belum jelas dalam hak dan kewajiban macam apa. Ada pula yang mengartikannya dengan konsep mitra kesejajaran antara pria dan perempuan yang juga masih belum jelas artinya. Sering juga diartikan bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan pria dalam aktualisasi diri, namun harus sesuai dengan kodratnya masisng-masing.

Pernyataan ini juga dapat menimbulkan pertanyaan tentang kodrat itu sendiri; apakah perbedaan kodrat tidak mengimplikasikan perbedaan perilaku dan peran antara pria dan perempuan? Namun secara umum para feminis menginginkan kesetaraan gender yang sama rata antara pria dan perempuan ditunjukkan dengan seringnya dipakai beberapa indikator statistik tentang perbandingan antara tingkat yang telah dicapai oleh kaum perempuan dalam berbagai bidang kehidupan relatif terhada pria. Sebagai contoh, dalam kehidupan individual, tidak bisa dinafikan bahwa masing-masing individu memiliki kemampuan atau kapasitas, aspirasi, kebutuhan, kecenderungan, harapan dan cita-cita yang jelas berbeda satu sama lain. Lebih-lebih antara laki-laki dan perempuan.

Dalam kaitan social, khususnya masalah bekerja. Menurut beberapa feminis, tenaga kerja harus disebut pekerja, tanpa perlu melihat jenis


(51)

commit to user

kelamin, karena kedua jenis kelamin adalah sama-sama “pekerja”. Hal ini berarti setiap peraturan yang memuat hak dan kewajiban berlaku baik bagi pekerja pria atau perempuan. Tapi mereka justru yang mempersempit sendiri, yaitu hak gaji dan jenjang karier, harus diperlakukan sama. Tapi dipihak lain, ada para aktivis perempuan yang menuntut bahwa pekerja perempuan perlu diberikan perlakuan berbeda dengan pria, semisal pemberian cuti hamil, cuti haid, jam kerja malam, dan sebagainya. Hal ini adalah ironis, karena ini berarti pria dan perempuan adalah makhluk berbeda, sehingga ada dampak sosialnya, yaitu pria dan perempuanpun diberikan perlakuan berbeda.

Para feminis sebenarnya mengakui bahwa kendala utama bagi perempuan untuk data berkiprah secara setara dengan pria, adalah karena “hanya perempuan saja yang dapat hamil” . Kesetaraan gender hanya dapat berlaku pada perempuan muda yang belum menikah (ini pun hanya sementara saja), atau perempuan yang tidak mempunyai anak atau perempuan yang benarbenar-benar menarik diri dari kehidupan keluarga dan mengabdikan 100 persen hidupnya untuk pengembangan karir. Namun berapa persen perempuan yang masuk dalam kategori ini?

Para perempuan yang semula memutuskan hidupnya untuk berkarier (bukan bekerja untuk menyambung hidup), memang dapat mencapai psosisi yang tidak kalah dengan rekan prianya, bahkan dapat mengunggulinya. Namun kondisi ini berakhir ketika para perempuan tersebut telah mencapai usia di atas tiga puluh lima tahun, yaitu usia di


(52)

commit to user

mana perempuan telah berpikir dalam –dalam tentang makna keperempuannnya. Banyak dari mereka yang akhirnya ingin mempunyai anak dan membina kehidupan keluarga.

Itulah beberapa contoh problema kesetaraan yang memang tidak mungkin bisa diterapkan seratus persen seperti laki-laki. Problema ini diakibatkan terlepasnya mereka dari nilai-nilai agama, nilai-nilai kemanusiaan. Mereka menurut konstruksi ini memang berangkat dari Barat yang liberal. Sementara kesetaraan menurut Islam adalah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Apapun istilah yang dimunculkan, apakah kesetaraan, kesejajaran ataupun keserasian. Yang jelas perempuan dan laki-laki itu memang berbeda. Perbedaan tersebutpun berimplikasi kepada perbedaan peran dan fungsi, tugas dan tanggungjawab.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial, budaya dan agama sehingga melahirkan peran sosial dan budaya.

Menurut Fakih ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan meliputi: marginalisasi, subordinasi, stereotipe dan kekerasan .

a. Marginalisasi

Fakih (2008: 14) berpendapat bahwa marginalisasi merupakan sebuah proses pemiskinan yang terjadi di masyarakat dan negara


(53)

commit to user

yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh berbagai kejadian, misalnya penggusuran, bencana alam atau eksploitasi dan gender.

Marginalisasi terhadap perempuan dapat terjadi di dalam rumah tangga yakni dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. Marginalisasi tersebut dapat juga diperkuat oleh sistem adat istiadat yang ada maupun dari tafsir keagamaan.

Berdasarkan uraian di atas marginalisasi merupakan proses pemiskinan yang menimpa laki-laki dan perempuan yang dapat diakibatkan oleh berbagai kejadian dan gender.

b. Subordinasi

Pandangan gender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi tidak penting. Anggapan itulah yang menjadi titik awal ketidakadilan dalam pemahaman gender dan menguatkan subordinasi (Fakih, 2008:15).

Berdasarkan uraian di atas subordinasi merupakan sebuah anggapan bahwa kaum perempuan di tempatkan pada posisi yang tidak penting, atau dengan kata lain pengelasduaan kaum perempuan atas laki-laki dalam segala bidang kehidupan.


(54)

commit to user c. Stereotipe

Streotipe merupakan pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu Fakih (2008: 16). Munculnya stereotipe mengakibatkan adanya penindasan atau ketidakadilan terutama dialami oleh kaum perempuan. Stereotipe dapat mengakibatkan berubahnya status sosial dan eksploitasi secara fisik.

Salah satu jenis stereotipe bersumber dari pandangan gender. Ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu pada umumnya perempuan bersumber pada penandaan (stereotipe). Hal tersebut disebabkan peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kultur dan kebiasaan masyarakat yang dikembangkan karena stereotipe tersebut.

Berdasarkan dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa stereotipe merupakan pelabelan atau penandaan negatif terhadap seseorang maupun suatu kelompok tertentu yang dapat menimbulkan ketidakadilan dan merugikannya.

d. Kekerasan

Menurut Saraswati (dalam Sugihastuti dan Itsna, 2010: 171) kekerasan merupakan suatu bentuk tindakan yang dilakaukan terhadap pihak lain, yang pelakunya perseorangan atau lebih dan dapat megakibatkan penderitaan bagi pihak lain. Fakih (2008: 17) menerangkan bahwa kekerasan merupakan serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang.


(55)

commit to user

Kekerasan terhadap perempuan adalah tindakan seorang laki-laki atau sejumlah laki-laki dengan mengerahkan kekuatan tertentu sehingga menimbulkan kerugian atau penderitaan secara fisik, seksual, atau psikologis pada seorang perempuan atau sekelompok perempuan, termasuk tindakan bersifat memaksa, mengancam, dan berbuat sewenang-wenang, baik yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan pribadi di ruang domestik dan publik La Pona dkk (dalam Sugihastuti dan Itsna, 2010: 172).

Adapun kekerasan yang disusun dalam konferensi ke-4 tentang perempuan di beijing tahun 1995 sebagai berikut.

Any act gender-based violence that result in, or is likely to result in, physical, seksual or Psychological harm or suffering to women, including threats of such acts, coersion or arbitrary deprivation of liberty, whether occuring in public or private life. Setiap aksi kekerasan yang didasarkan pada gender yang berakibat atau mengakibatkan kerusakan fisik, seksual atau psikologis atau penderitaan perempuan, termasuk ancaman-ancaman dari aksi-aksi semacam itu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan dengan sewenan – wenang yang terjadi baik dalam kehidupan publik maupun kehidupan pribadi Via Djanah (dalam Sofia, 2009: 42). Secara struktural, kekerasan terhadap perempuan merupakan manifestasi penundukan yang berbasis kelas yang menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih inferior dibandingkan dengan laki-laki (Espritu dalam Sugihastuti dan Itsna, 2010: 177).


(56)

commit to user

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kekerasan merupakan tindak kejahatan yang dapat mengakibatkan penderitaan bagi korbannya baik dari segi fisik, emosional maupun ekonomi.

Menurut Sugihastuti dan Itsna kekerasan terbagi kedalam beberapa bentuk diantaranya.

1) Kekerasan Domestik

Kekerasan domestik merupakan tindakan kekerasan terhadap perempuan dalam lingkup rumah tangga (Sugihastuti dan Itsna, 2010: 178). Dalam konteks inferioritas perempuan, ruang domestik merupakan wilayah pertama yang mengesankan perempuan diidentikan dengan fungsi sosialnya sebagai pekerja rumah tangga. Artinya perempuan bertanggung jawab terhadap hal-hal yang termasuk urusan rumah tangga.

Ruang publik didominasi oleh laki-laki karena fungsi-fungsi seperti pencarian sumber daya ekonomi dilakukan oleh mereka. Hal tersebut mengakibatkan laki-laki berkuasa dalam keluarga karena merasa memiliki tugas yang lebih berat dibandingkan dengan perempuan. Dampak dari hal ini salah satunya, ialah perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan. Definisi perlakuan tidak adil terhadap perempuan dapat bermacam-macam salah satunya kekerasan domestik.


(57)

commit to user

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahawa kekerasan domestik merupakan tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dan pelaku kekerasan memiliki hubungan kekerabatan dengan korbannya.

2) Kekerasan Emosional

Kekerasan emosional adalah kekerasan yang melibatkan secara langsung kondisi psikologis perempuan yang menjadi korbannya (Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, 2010: 178).

Kekerasan emosional tidak meninggalkan bekas sebagimana kekerasan fisik, tetapi berkaitan dengan harga diri perempuan. Pelanggaran komitmen, penyelewengan, teror mental dan teror pembunuhan, serta pengucapan kata-kata yang tidak menyenangkan (Sofia, 2009: 42).

Berdasarkan uraian di atas kekerasan emosional merupakan tindak kekerasan yang merugikan kondisi psikologis seseorang dan dapat menimbulakan trauma bagi korbannya.

3) Kekerasan Fisik

Menurut La Pona (dalam Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, 2010: 179) kekerasan fisik adalah segala macam tindakan yang mengakibatkan penderitaan fisik pada korbannya. Sementara Meiyenti (dalam Sugihastuti dan Itsna, 2010: 179) berpendapat bahwa kekerasan fisik merupakan tindakan yang


(58)

commit to user

melibatkan penggunaan alat atau tubuh untuk melukai korbannya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kekerasan fisik merupakan tindak kekerasan yang mengakibatkan penderitaan fisik dengan menggunakan alat atau anggota tubuh untuk melukai korbannya.

4) Kekerasan seksual

Menurut Tong (1984: 66) kekerasan seksual sebagai tindakan yang disertai dengan ancaman kepada pihak lain untuk melakukan hubungan seksual. Meiyenti (dalam Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, 2010: 173) berpendapat bahwa kekerasan seksual meliputi pemaksaan dalam melakukan hubungan seksual, pemaksaan selera seksual sendiri, dan tidak memperhatikan pihak istri.

Kekerasan seksual merupakan serangan seksual yang berakhir pada hubungan seksual secara paksa yang meliputi ancaman perkosaan disertai kekerasan dan pembunuhan (Atmasasmita dalam Sugihastuti dan Itsna hadi Saptiawan, 2010: 174).

Berdasarkan uaraian di atas kekerasan seksual merupakan tindak kekerasan yang dilakukan dengan mengancam dan memaksa korbannya untuk melakukan hubungan seksual.


(59)

commit to user 4. Faktor yang Mempengaruhi Eksistensi

Keberadaan perempuan di masyarakat seringkali hanya menjadi objek, sehingga kurang mendapatkan tempat dalam ranah publik. Kurangnya perhatian terhadap eksistensi perempuan menjadikan mereka berusaha memperjuangkan kesetaraan gender.

Eksistensi dalam bahasa Inggris berasal dari kata, exist artinya berada. Eksistensi merupakan “cara berada manusia” (Kierkegaard, dalam Delfagaauw terjemahan Soedjono Soemargono, 1988: 139). Kata berada di sini berarti manusia mempunyai kesadaran untuk merealisasikan dirinya dengan bebas.

Manusia bereksistensi berarti bahwa ia mewujudkan diri sendiri di dalam kenyataan yang sudah ditentukan. Delfagaauw (dalam terjemahan Soedjono Soemargono, 1988: 142). Manusia membuat rencana yang bebas berdasarkan kekuatannya sendiri maupun situasi yang aktual.

Menelaah tentang sebuah eksistensi manusia berarti mempermasalahkan keberadaan manusia itu sendiri. Manusia tidak bisa terlepas dari masyarakat lingkungan sekitarnya, karena manusia merupakan makhluk individu sekaligus makhluk sosial.

Wacana feminis senantiasa terkait dengan persoalan sistem sosial dan budaya politik yang berlaku dalam suatu negara. Persoalan feminis merupakan refleksi realitas eksistensi perempuan dalam realitas sosial, kultural, dan politik (Stimpson, dalam Anwar, 2009: 1).


(60)

commit to user

Eksistensi manusia dibentuk oeh kapasitas nalar yang dimilikinya. Potensi nalar tersebut sekaligus juga sebagai pembeda antara manusia dengan makhluk hidup lainnya. Dengan kapasitas nalar ini manusia senantiasa menyadari keberadaannya serta mempertanyakan makna keberadaannya itu. Dengan potensi itu pula manusia dapat membuat pilihan-pilihan yang bermanfaat bagi kelangsungan hidupnya sebagai makhluk Tuhan. Hanya dalam situasi seperti itu perempuan dan laki-laki data mengembangkan diri (Tong, 2010:18).

Berdasarkan uraian di atas eksistensi perempuan merupakan keberadaan perempuan dalam merealisasikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat dan berhak menentukan pilihan hidupnya sendiri.

Untuk mewujudkan eksistensi perlu adanya kekuatan pada diri perempuan untuk merealisasikan dirinya. Weedon (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2005: 6) berpendapat bahwa kekuatan kehidupan antara laki-laki dan perempuan di masyarakat mencakup semua struktur kehidupan, keluarga, pendidikan, dan kebudayaan.

Berpijak pada pendapat di atas struktur kehidupan, keluarga, pendidikan dan kebudayaan sangat mempangaruhi eksistensi perempuan. a. Keluarga

Keluarga dapat mempengaruhi segala tindakan perempuan. Adanya pengakuan tentang domestikasi perempuan membuat peran perempuan kian menyempit. Menurut Ilyas (2006: 175) domestika perempuan adalah membatasi peran perempuan dalam sektor domestik semata.


(61)

commit to user

Peran domestik perempuan mempersempit ruang privat mereka dan menjadikan laki-laki dominan di ruang publik. Hal ini juga berdampak pada aktivitas perempuan di rumah, dalam kerangka kerja dan ruang tentunya. Bagi laki-laki, keuntungan ini berimbas pada banyaknya kegiatan di rumah yang bisa mereka kerjakan serta mobilitas dan akses longgar menuju ruang publik (Sugihastuti dan Itsa, 2010: 59).

Peran domestik juga membatasi alokasi waktu. Memberi makan, membersihkan, menyiapkan pakaian, dan tugas rumah tangga lain sangat memakan waktu (Sugihastuti dan itsna, 2010: 58)

Perempuan tetap lebih utama dan lebih baik hanya berperan di dalam rumah. Dengan demikian, peranan keluarga yang menuntut pada domestikasi perempuan tentu dapat menghambat peran perempuan dalam mewujudkan eksistensi menjadi perempuan mandiri demi kesetaraan gender antara pria dan perempuan di segala bidang.

b. Budaya

Manusia tidak bisa hidup tanpa masyarakat sekitarnya. Sebagai makhluk sosial manusia tentu akan patuh terhadap norma, adat dan budaya yang ada di sekitarnya demi mewujudkan ketentraman hidupnya. Norma, adat dan budaya yang terdapat di masyarakat tidak selamanya menjadi pijakan menguntungkan. Budaya dapat merugikan dan menguntungkan kelompok tertentu, Misalnya budaya patriarki yang masih berpengaruh besar dalam kehidupan masyarakat. Budaya Patriarki dapat merugikan kaum perempuan


(62)

commit to user

karena budaya tersebut menjadi faktor dominan penghalang eksistensi perempuan.

Patriarki menurut Bhasin (dalam Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, 2010: 93) merupakan sebuah sistem dominasi dan superioritas laki-laki , sistem kontrol terhadap perempuan dimana perempuan dikuasai.

Patriarki meletakan perempuan di bawah laki-laki atau memperlakukannya sebagai laki-laki yang inferior. Kekuatan tersebut digunakan secara langsung ataupun tidak langsung dalam kehidupan sipil dan rumah tangga untuk membatasi perempuan.

Perempuan tersubordinasi oleh faktor-faktor yang dikonstruksikan secara sosial. Banyak mitos dan kepercayaan yang menjadikan kedudukan perempuan berada lebih rendah dari pada lelaki. Hal tersebut dikarenakan perempuan dipandang dari segi seks bukan dari segi kemampuan, kesempatan sebagai manusia yang berakal, bernalar dan berperasaan.

Bhasin (dalam Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, 2010: 94) menguraikan bidang kehidupan perempuan yang berada dibawah kontrol patriarkhi meliputi: daya produktif atau tenaga kerja perempuan, reproduktif perempuan dan seksualitas perempuan. c. Pendidikan

Pendidikan sangatlah penting demi kemajuan bersama. Pendidikan bukan semata hanya ditujukan bagi kaum pria. Perlunya


(1)

commit to user

Nilai estetika yang terdapat dalam novel tersebut sangat relevan dengan kehidupan masa kini maupun masa yang akan datang. Pembaca dapat memahami permasalahan hidup dan memiliki orientasi baru terhadap masa depan. Oleh karena itu, novel perlu mengandung nilai estetika agar pembaca dapat berpikir dan berkarya lebih baik lagi.


(2)

commit to user

BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SASARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam novel Mimi Lan Mintuna Karya Remy Sylado, dapat ditarik simpulan sebagai berikut. 1. Emansipasi yang terdapat pada novel Mimi Lan Mintuna antara lain: (1)

kebebasan menentukan pilihan hidup (2) kemandirian pada diri perempuan, (3) ketegaran seorang perempuan, (4) dan keadilan bagi kaum perempuan.

2. Ketidakadilan gender kerap menimpa kaum perempuan, bentuk

ketidakadilan gender tersebut tercermin dalam novel Mimi Lan Mintuna diantaranya: (1) marginalisasi berupa diskriminasi perempuan di bidang pekerjaan, (2) subordinasi berupa kedudukan perempuan yang menempati posisi kedua dalam pekerjaan, (3) stereotipe berupa pelabelan negatif terhadap perempuan (4) kekerasan yang berupa: kekerasan seksual, kekerasan emosional dan kekerasan fisik.

3. Faktor yang mempengaruhi eksistensi tokoh perempuan dalam novel Mimi Lan Mintuna berasal dari keluarga budaya dan pendidikan masyarakat Jawa.

4. Nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Mimi Lan Mintuna


(3)

commit to user

B. Implikasi

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, dapat dibuat rumusan implikasi hasil penelitian. Novel merupakan gambaran kehidupan yang didalamnya terkandung nilai-niai pendidikan. Nilai -nilai pendidikan dalam novel Mimi Lan Mintuna dapat direalisasikan dalam kehidupan dan dapat dijadikan bahan ajar dalam dunia pendidikan. Novel

Mimi Lan Mintuna yang dikaji dengan menggunakan pendekatan

feminisme dapat dijadikan acuan dalam mengkaji karya sastra. Pemelajaran sastra ditujukan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam apresiasi karya sastra, yang meliputi kemampuan untuk menikmati, menghayati dan memahami karya sastra.

Pendekatan feminisme dalam novel Mimi Lan Mintuna dapat

diterapkan di lingkup Sekolah Menengah Atas (SMA) dan perguruan

tinggi (PT). Novel Mimi Lan Mintuna dapat digunakan untuk

mempelajari apresiasi sastra dikalangan pelajar maupun mahasiswa.

Novel Mimi Lan Mintuna memberikan pengetahuan pentingnya

kesetaraan gender dan menerapkan nilai-nilai pendidikan.

Pemelajaran novel digunakan sebagai wahana untuk mencapai berbagai macam tujuan dapat dicapai seperti: mencerdaskan siswa, membentuk kepribadian atau mengembangkan keterampilan tertentu. Untuk mencapai tujuan tersebut siswa perlu memiliki kemampuan memperoleh, memilih dan mengelola informasi yang diperolehnya. Kemampuan ini membutuhkan pemikiran kritis, sistematis, analogis,


(4)

commit to user

logis dan kreatif. Oleh karena itu pendekatan feminisme dalam karya sastra khususnya novel perlu dipelajari dalam rangka membentuk siswa yang kritis, aktif, inovatif dan berbudi pekerti luhur.

Pemelajaran telaah novel dapat mengembangkan aspek kognitif, afektif dan aspek kepribadian peseerta didik. Aspek kognitif perkembangannya melalui peningkatan pengetahuan, dan perluasan bahasa. Aspek kognitif yang dapat diperoleh dari pemelajaran sastra yaitu mampu mengatasi berbagai konflik yang terjadi sehingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Aspek afektif menyangkut peningkatan emotif dan perasaan untuk meningkatkan rasa solidaritas terhadap sesama. Aspek kepribadian yang dapat diperoleh dari kegiatan mengkaji novel adalah nilai pendidikan yang termuat di dalam novel yang ditelaah.

C. Saran

Berdasarkan hasil serta implikasi penelitian di atas, maka diajukan saran sebagai berikut.

1. Bagi pembaca

a. Kajian feminisme dalam novel Mimi Lan Mintuna karya Remy Sylado terdapat nilai-nilai feminis yang bermanfaat bagi pembaca oleh karena itu dapat dijadikan referensi bacaan yang bermutu. b. Novel Mimi Lan Mintuna menceritakan kisah korban trafficking

yang mengalami berbagai bentuk ketidakadilan gender. Novel tersebut memberikan amanat bagi pembaca untuk mewaspadai bahaya trafficking yang dapat terjadi di lingkungan sekitar.


(5)

commit to user

c. Ide emansipasi yang diungkapkan tokoh perempuan dalam novel Mimi Lan Mintuna yang berupa ketegaran, kebebasan, kesabaran, kemandirian dan perjuangan dalam menghadapi cobaan hidup dapat dijadikan motivasi untuk memperbaikai diri.

d. Novel Mimi Lan Mintuna memberikan amanat kepada pembaca untuk menjalani biduk rumah tangga seperti mimi dan mintuna. Binatang laut yang selalu hidup rukun dan sehidup semati.

2. Bagi pendidik

a. Nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Mimi Lan Mintuna

sangat baik untuk dijadikan bahan pemelajaran sastra. Novel

tersebut mengandung nilai-nilai pendidikan yang dapat

diaplikasikan dalam kehidupan.

b. Pendidik dianjurkan untuk memberikan arahan sejak dini mengenai kesetaraan gender agar tidak terjadi kesalahpahaman. Gerakan feminisme bukan untuk memerangi kaum laki-laki, namun merupakan perjuangan untuk menunjukan eksistensinya agar dapat menjadi patner bagi laki-laki.

3. Bagi peneliti sastra

a. Penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk mengkaji novel dengan menggunakan pendekatan feminisme.

b. Para peneliti apabila mengkaji novel Mimi Lan Mintuna

hendaknya menggunakan pendekatan lainnya, sehingga dapat menambah khazanah penelitian sastra.


(6)

commit to user

4. Bagi Siswa

a. Dalam memaknai kandungan isi novel, hendaknya siswa dapat mengambil nilai-nilai positif sehingga dapat mengamalkannya dalam kehidupan.

b. Bagi siswa perempuan, sikap dan prilaku tokoh perempuan yang mandiri dan tegar dalam menghadapi cobaan hidup dapat dijadikan motivasi untuk mewujudkan eksistensi.

c. Bagi siswa laki-laki penelitian ini memberikan gambaran

pentingnya kesetaraan gender dan menghargai hak-hak wanita untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis.

5. Bagi sekolah

Sekolah hendaknya mulai menggunakan media novel sebagai pe mbelajaran kesetaraan gender. Salah satunya menggunakan novel Mimi Lan Mintuna karya Remy Sylado. Hal tersebut merupakan upaya untuk meminimalisir ketidakadilan.