PERSEPSI MASYARAKAT TIONGHOA TERHADAP PROGRAM KELUARGA BERENCANA DI KAWASAN PECINAN KOTA BANDUNG TAHUN 1970-1998.

(1)

PERSEPSI MASYARAKAT TIONGHOA TERHADAP PROGRAM KELUARGA BERENCANA DI KAWASAN PECINAN KOTA BANDUNG

TAHUN 1970-1998

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Departemen Pendidikan Sejarah

Oleh,

Moch Wildan Ramadan 1001841

DEPARTEMEN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG 2015


(2)

PERSEPSI MASYARAKAT TIONGHOA TERHADAP PROGRAM KELUARGA BERENCANA DI KAWASAN PECINAN KOTA BANDUNG

TAHUN 1970-1998

Oleh,

Moch Wildan Ramadan

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Ilmu Pendidikan Sosial

© Moch Wildan Ramadan 2015 Universitas Pendidikan Indonesia

Agustus 2015

Hak Cipta dilindungi undang-undang

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainya tanpa ijin dari penulis


(3)

(4)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Etnis Tionghoa merupakan salah satu etnis yang tersebar di seluruh dunia. Ini berarti etnis Tionghoa ada di setiap negara. Jutaan orang Tionghoa menyebar mulai dari kawasan Asia Tenggara (Filipina, Vietnam, Thailand, Burma, Kamboja, Malaysia, Singapura, Indonesia) hingga Mauritius, Afrika Selatan, Eropa, Amerika Utara, Amerika Selatan, Kepulauan Pasifik (Forum Kajian Rakyat, 2004, hlm. 1). Kontak pertama etnis Tionghoa dengan penduduk asli negara-negara di Asia Tenggara diperkirakan terjadi pada abad ke-13 SM mulai dari Tongkin dan Aman ke Kamboja, Siam, Semenanjung Malaysia, Sumatera, dan Jawa (Hidajat, 1977, hlm. 3). Proses tersebut berlangsung selama berabad-abad dan puncak penyebarannya terjadi pada abad ke-19 dan 20 mencakupi wilayah yang sangat luas (Forum Kajian Rakyat, 2004, hlm. 1).

Indonesia merupakan salah satu negara tempat persebaran etnis Tionghoa. Sebagian besar etnis Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa, kemudian

Sumatera dan Kalimantan (Skinner, G. W., 1963 dalam

http://neumann.43i.org/sarlito/chinese_fam.html). Jumlah etnis Tionghoa di Indonesia mengalami kenaikan dari waktu ke waktu. Pada permulaan abad ke-19, jumlah penduduk etnis Tionghoa di Batavia lebih dari 100.000 orang, dari populasi penduduk pulau Jawa kurang lebih 5.000.000 orang (Scott Merrillees dalam Setiono, 2003: 18). Pada permulaan abad ke-20, penduduk etnis Tionghoa di Indonesia berkembang menjadi 1.233.856 orang, kurang lebih setengah dari jumlah tersebut tinggal di pulau Jawa. Kemudian berdasarkan penelitian Victor Purcell pada tahun 1951, jumlah etnis Tionghoa di Indonesia kurang lebih 2.100.000 dengan pertambahan 2,5% setiap tahun (Hidajat, 1977, hlm. 8).

Pada tahun 1961, jumlah etnis Tionghoa yang menetap di Jawa dan Madura adalah 1.230.000 jiwa 2% dari total populasi 63.059.000 jiwa (Skinner, G. W., 1963 dalam http://neumann.43i.org/sarlito/chinese_fam.html). Pada tahun 2004, etnis Tionghoa di Indonesia diperkirakan mencapai 10 juta orang (Forum Kajian Rakyat,


(5)

2004, hlm. 15). Dengan kata lain pertumbuhan yang fantastis seperti itu etnis Tionghoa di Indonesia bila digabungkan di satu tempat yang sama, maka hampir setengah populasi penduduk Indonesia. Hanya karena mereka cenderung menyebar populasinya diseluruh bagian Indonesia, mereka cenderung menjadi kelompok minoritas. Tidak menutup kemungkinan dimasa yang akan datang konsep mayoritas-minoritas antara etnis Tionghoa dan non-Tionghoa akan terbalik (Suryadinata, 1999, hlm. 188).

Program keluarga berencana di Indonesia dimulai sekitar tahun 1957. Pada tahun tersebut didirikan Perkumpulan Keluarga Berencana (PKB). Program KB masuk ke Indonesia melalui jalur urusan kesehatan (bukan urusan kependudukan). Program KB masih dianggap belum terlalu penting. Kegiatan penyuluhan dan pelayanan masih terbatas dilakukan karena masih ada pelarangan tentang penyebaran metode dan alat kontrasepsi (Ahmadi & Kaelany, 1982, hlm 195).

Darahim (2010, hlm. 21-25) mengungkapkan bahwa begitu memasuki Orde Baru, program KB mulai menjadi perhatian pemerintah. Saat itu Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) sebagai organisasi yang mengelola dan concern terhadap program keluarga berencana mulai diakui sebagai badan hukum oleh departemen kehakiman. Pemerintahan Orde Baru yang menitik beratkan pada pembangunan ekonomi, mulai menyadari bahwa program KB sangat berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi. Kemudian pada tahun 1970 resmilah program KB menjadi program pemerintah dengan didirikan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 8 tahun 1970 sebagai sebuah lembaga Non Departemen yang mempunyai tanggung jawab pada bidang pengendalian penduduk di Indonesia. Peresmian tersebut ditandai dengan pencanangan hari Keluarga Nasional pada tanggal 29 Juni 1970. Sejak itu pemerintah mulai memperkuat dan memperluas program KB ke seluruh Indonesia.

Merencanakan dan mengatur keluarga adalah soal kemanusiaan yang sekarang ini sedang diusahakan pelaksanaannya oleh pemerintah dan rakyat Indonesia. Jika pembangunan itu adalah pembangunan manusia, maka kelahiran manusia pun harus diatur. Di samping itu pertumbuhan penduduk yang tidak disertai dengan pertumbuhan yang cukup dalam produksi nasional dapat juga menimbulkan berbagai masalah yang berkaitaan dengan kurangnya fasilitas pendidikan, kurangnya penyediaan makanan, pelayanan kesehatan, kesempatan kerja, dan sebagainya. Usaha perencanaan keluarga


(6)

3

harus dilakukan sedemikian rupa supaya tidak bertentangan dengan hukum yang berjalan dinegeri ini, juga tidak bertentangan dengan ajaran agama yang merupakan sumber rasa susila dan rasa peri kemanusiaan. Ini semua harus diatur oleh pemerintah dan harus didukung pula oleh segenap rakyat (Lestari, dkk. , 2007, hlm. 1).

Akan tetapi di Indonesia masyarakat Tionghoa merupakan masyarakat yang sudah menjadi rahasia umum mereka kurang berpartisipasi dalam melaksanakan program keluarga berencana sesuai dengan anjuran pemerintah. Menurut Suliyati (Tanpa tahun: 12) bahwa :

Partisipasi wanita Tionghoa dalam program KB dipandang penting karena budaya mereka menganggap bahwa anak yang banyak akan mendatangkan banyak rejeki. Pandangan ini sudah tidak sesuai dengan program pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah. Untuk menunjang program tersebut wanita Tionghoa yang sudah mengikuti program keluarga berencana terutama wanita Tionghoa yang berpendidikan dan berpikiran maju. Walaupun demikian masih banyak wanita Tionghoa yang belum menyadari pentingnya program KB bagi pembangunan Indonesia.

Sedangkan pengaturan kelahiran itu harus diadakan, agar supaya kenaikan produksi tidak dikalahkan oleh kenaikan kelahiran anak. Hal yang ditakutkan pun terjadi pada masa sekarang ini, dimana kelahiran anak mengalahkan kenaikan produksi terutama produksi pangan (Ahmadi & Kaelany, 1982, hlm. 104). Dengan demikian suksesnya suatu program pemerintah dalam hal ini program KB, tergantung dari aktif atau tidak aktifnya partisipasi masyarakat untuk mensukseskan program tersebut. Sehingga dalam posisi ini peran aktif masyarakat sangat penting artinya bagi tercapainya tujuan secara mantap.

Program KB dicanangkan dalam rangka usaha pemerintah untuk membangun manusia Indonesia yang berkualitas. Pada dasarnya pemerintah berkeinginan untuk membuat perubahan dari suatu kondisi tertentu ke keadaan lain yang lebih bernilai. Agar proses perubahan itu dapat menjangkau sasaran-sasaran perubahan keadaan yang lebih baik dan dapat digunakan sebagai pengendali masa depan, di dalam melaksanakan pembangunan itu perlu sekali memperhatikan segi manusianya. Karena dalam arti proses, pembangunan itu menyangkut makna bahwa manusia itu obyek pembangunan dan sekaligus subyek pembangunan. Sebagai subyek pembangunan manusia harus diperhitungkan, sebab dia punya nilai dan potensi yang luar biasa. Oleh karena itu proses pembangunan perlu sekali dalam mengajak subyek pembangunan tadi


(7)

untuk ikut berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan secara berkelanjutan (Pasaribu & Simanjuntak, 1986, hlm. 62).

Persepsi warga masyarakat terhadap program tertentu merupakan landasan atau dasar utama bagi timbulnya kesediaan untuk ikut terlibat dan berperan aktif dalam setiap kegiatan program tersebut. Makna positif atau negatif sebagai hasil persepsi seseorang terhadap program akan menjadi pendorong atau penghambat baginya untuk berperan dalam kegiatannya (Mubyarto, 1984, hlm. 70). Sikap terbuka untuk secara jujur menyatakan persepsi dan pandangannya tentang suatu program yang diselenggarakan pemerintah. Karena sering dilandasi oleh persepsi yang kurang positif, maka keterlibatan yang ada sering merupakan partisipasi semu. Keadaan yang demikian itu bila sering terjadi maka akan berakibat kurang lancarnya kegiatan sesuai dengan rencana sehingga menyulitkan usaha pencapaian tujuan program secara utuh dan mantap. Hambatan yang sering muncul ketika psrtisipasi masyarakat terhadap suatu program pemerintah kurang maksimal bisa secara internal berupa hambatan sosio-kultural, dan eksternal hambatan dari birokrasi pemerintah itu sendiri.

Lestari, dkk. (2007, hlm. 2) mengungkapkan bahwa hambatan internal, merupakan hambatan dari dalam masyarakat itu sendiri, yang merupakan keragu-raguan sebagian besar warga masyarakat untuk terlibat langsung dalam suatu program kegiatan. Hal ini disebabkan karena keadaan sosio-kultural mereka yang belum memungkinkan untuk secara aktif menyuarakan keinginan mereka. Sementara mereka lebih memilih diam. Hambatan ini masih bisa diperbaiki dengan cara memberikan masukan informasi-informasi baru yang positif dan bersifat membangun. Mereka harus dikenalkan dengan penemuan-penemuan dan perkembangan baru di daerah lain, yang nantinya akan membuka cakrawala berpikir mereka. Tetapi kadang-kadang mereka masih memiliki kesadaran yang rendah karena adanya beberapa keterbatasan. Sedangkan hambatan eksternal, yakni hambatan dari birokrasi pemerintah itu sendiri bisa berupa akses untuk mengikuti program tersebut masih sulit, keterbatasan pemerintah dalam menyediakan Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), atau bahkan dimana ketidakstabilan politik suatu negara (pemerintah) dapat mengombang-ambingkan kedudukan kelembagaan yang mengurusi masalah program keluarga berencana tersebut.


(8)

5

Kata “persepsi” seringkali digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, apa makna sebenarnya dari persepsi itu sendiri?. Menurut pengertian dari beberapa para ahli adalah sebagai berikut:

Persepsi adalah kemampuan seseorang untuk mengorganisir suatu pengamatan, kemampuan untuk membedakan, kemampuan untuk mengelompokan, dan kemampuan untuk memfokuskan. Oleh karena itu seseorang bisa saja memiliki persepsi yang berbeda, walaupun objeknya sama. Hal tersebut dimungkinkan karena adanya perbedaan dalam hal sistem nilai dan ciri kepribadian individu yang bersangkutan (Sarwono, 1983, hlm. 89). Sedangkan menurut Leavit (dalam Triska, 2007, hlm. 8) menambahkan bahwa persepsi memiliki pengertian dalam arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit persepsi yaitu penglihatan: bagaimana seseorang melihat sesuatu, dan dalam arti luas persepsi yaitu: pandangan atau pengertian, bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu menggunakan makna.

Dengan demikian, penulis coba simpulkan secara sederhana bahwa setiap individu dalam kehidupan sehari-hari akan menerima stimulus atau rangsang berupa informasi, peristiwa, objek, dan lainnya yang berasal dari lingkungan sekitar, stimulus atau rangsang tersebut akan diberi makna atau arti oleh individu, proses pemberian makna atau arti tersebut dinamakan persepsi.

Lestari, dkk. (2007, hlm. 3) juga berpendapat bahwa persepsi seseorang sangat tergantung pada banyak faktor yang membentuk pengalamannya dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini, kaitannya dengan program KB sebagai usaha pemerintah untuk mewujudkan masyarakat sejahtera. Partisipasi aktif warga masyarakat akan sangat ditentukan oleh persepsinya terhadap program keluarga berencana, baik latar belakang sosial ekonominya maupun budayanya yang khusus.

Penelitian ini akan mengambil daerah Pecinan di Kota Bandung yang terletak di Jalan Pecinan Lama sekitaran Pasar Baru, tepatnya di Kelurahan Braga, Kecamatan Sumur Bandung, wilayah pemerintahan Kota Bandung sebagai wilayah kajiannya. Sebagai suatu wilayah yang dapat dikatakan daerah Pecinan, dimana disana masih terlihat deretan toko milik warga Tionghoa yang ada di setiap kawasan Pecinan pada umumnya. Kemudian penulis juga mendapati banyak warga masyarakat etnis Tionghoa yang hidup berkelompok disana. Skober (2006, hlm. 6) juga ikut menambahakan bahwa di Bandung orang-orang Cina semula tinggal di Banceuy. Setelah jumlah orang Cina bertambah, kemudian disediakan tempat di kota bagian barat (sekarang disebut Pasar Baru) yang disebut “Pecinan”. Seperti yang terlihat dalam realitas masyarakat


(9)

Tionghoa sekarang ini, sebagian besar orang Tionghoa di Indonesia tinggal di kota-kota. Perkampungan etnis Tionghoa di kota-kota itu, termasuk dalam hal ini di Bandung, biasanya merupakan deretan rumah-rumah yang berhadapan di sepanjang jalan pusat pertokoan (Kustedja, 2012, hlm. 125).

Sampel dalam penelitian ini merupakan masyarakat urban dimana sudah dapat ditentukan tingkat pendidikan mereka sebetulnya tinggi, akan tetapi kesadaran mereka untuk ber-KB rendah. Kemudian untuk periode tahun, karena dalam penelitian sejarah harus dibatasi ruang dan waktu penulis menentukan tahun 1970-1998 sebagai acuan. Tahun 1970 sebagai tahun acuan peneliti karena sejak awal Orde Baru, pada tahun 1967 Presiden Soeharto menandatangani Deklarasi Kependudukan Dunia yang berisikan kesadaran betapa pentingnya menentukan atau merencanakan jumlah anak, dan menjarangkan kelahiran dalam keluarga sebagai hak asasi manusia. Pada tanggal 16 Agustus 1967 di depan sidang DPRGR, Presiden Soeharto pada pidatonya mengungkapkan “Oleh karena itu kita harus menaruh perhatian secara serius mengenai usaha-usaha pembatasan kelahiran, dengan konsepsi keluarga berencana yang dapat dibenarkan oleh moral agama dan moral Pancasila” (BKKBN, 2012 dalam http://riau.bkkbn.go.id/ViewProfil.aspx?ProfilID=31.html).

Sebagai tindak lanjut dari pidato presiden tersebut, pada tahun 1970 didirikan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan sebagai Kepala BKKBN adalah Dr. Suwardjo Suryaningrat melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 8 tahun 1970 sebagai sebuah lembaga non departemen yang mempunyai tanggung jawab pada bidang pengendalian penduduk di Indonesia. program KB ini merupakan salah satu program yang digadang-gadang dalam repelita I (Darahim, 2010, hlm. 22). Rencana Pembangunan Lima Tahun (repelita) merupakan perencanaan pembangunan lima tahun kedepan yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru di Indonesia. Penulis menjadikan implementasi program KB pada masa Repelita sebagai acuan penelitiannya, sedangkan 1998 merupakan tahun dimana berakhirnya pemerintahan Orde Baru itu sendiri.

Penulis merasa tertarik menyelidiki keengganan mereka untuk ber-KB sesuai yang dianjurkan pemerintah. Apa persepsi mereka tentang program KB?, apa faktor yang mempengaruhi persepsi mereka?, tentu bisa berbagai macam hal baik internal atau eksternal, sosial-kultural maupun dari birokrasi pemerintahnya.


(10)

7

Berdasarkan pemaparan yang sudah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk menggali lebih dalam temuannya mengenai persepsi masyarakat Tionghoa terhadap program KB di kawasan Pecinan Kota Bandung. Dimana masyarakat Tionghoa disana sudah dikategorikan menjadi masyarakat urban, yakni masyarakat berpendidikan dan memiliki ekonomi lebih mapan. Tetapi partisipasi mereka masih kurang terhadap program keluarga berencana yang telah diupayakan pemerintah dalam pembangunan kependudukan. Dengan demikian untuk mengetahui persepsi masyarakat Tionghoa di kawasan Pecinan Kota Bandung terhadap program keluarga berencana, maka penulis akan menuliskan temuannya kedalam sebuah skripsi dengan judul :

“Persepsi Masyarakat Tionghoa Terhadap Program Keluarga Berencana Di Kawasan Pecinan Kota Bandung Tahun 1970-1998”.

1.2 Rumusan dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terdapat beberapa permasalahan yang akan menjadi kajian penulis. Adapun rumusan masalah yang akan menjadi fokus utama penulisan adalah: Bagaimana Persepsi Masyarakat Tionghoa Terhadap Program Keluarga Berencana Di Kawasan Pecinan Kota Bandung Tahun 1970-1998?

Untuk mempermudah dan mengarahkan dalam pembahasan, maka kajian penelitian ini dibatasi dalam beberapa pertanyaan, diantaranya:

1.2.1 Bagaimana kehidupan sosial budaya masyarakat Tionghoa di kawasan Pecinan Kota Bandung tahun 1970-1998?

1.2.2 Bagaimana pelaksanaan kegiatan program keluarga berencana di kawasan Pecinan Kota Bandung tahun 1970-1998?

1.2.3 Bagaimana persepsi masyarakat Tionghoa terhadap program keluarga berencana dengan kondisi sosial, ekonomi, politik, serta budayanya di kawasan Pecinan Kota Bandung tahun 1970-1998?

1.2.4 Faktor apa yang mempengaruhi persepsi masyarakat Tionghoa terhadap program keluarga berencana di kawasan Pecinan Kota Bandung tahun 1970-1998?

1.3 Tujuan Penelitian


(11)

1.3.2.1Mendeskripsikan kehidupan masyarakat etnis Tionghoa di kawasan Pecinan Kota Bandung tahun 1970-1998.

1.3.2.2Menjelaskan pelaksanaan kegiatan program keluarga berencana di kawasan Pecinan Kota Bandung tahun 1970-1998.

1.3.2.3Menjelaskan persepsi masyarakat Tionghoa terhadap program keluarga berencana dengan kondisi sosial, ekonomi, politik, serta budayanya di kawasan Pecinan Kota Bandung tahun 1970-1998.

1.3.2.4Menjelaskan faktor apa yang mempengaruhi persepsi masyarakat Tionghoa terhadap program keluarga berencana di kawasan Pecinan Kota Bandung tahun 1970-1998.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.4.1 Hasil penelitian diharapkan memberikan masukan bagi pengembangan muatan mata pelajaran sejarah untuk sekolah menengah atas dalam kurikulum 2013, dengan Kompetensi Dasar “Mengevaluasi kehidupan politik dan ekonomi bangsa Indonesia pada masa Orde Baru”. Selain itu khususnya dapat menghidupkan kembali program “Pendidikan Kependudukan” dalam kurikulum 2013, yang mana sebelumnya “Pendidikan Kependudukan” diintegrasikan di Kurikulum 1975. Mengingat, menurut hemat penulis penting sekali memberikan pengetahuan kependudukan ini sejak dini pada generasi muda. 1.4.2 Hasil penelitian diharapkan dapat mendorong partisipasi aktif warga masyarakat

dalam kegiatan-kegiatan keluarga berencana.

1.4.3 Hasil penelitian diharapkan mampu memberikan masukan penting untuk pemerintah. Dapat memperluas pandangan dalam perencanaan sehingga dapat disusun rencana kegiatan yang lebih tepat dan sesuai dengan latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat sasaran program, khususnya dalam hal ini program keluarga berencana di Indonesia.

1.5 Struktur Organisasi Skripsi

Agar penulisan skripsi ini tersusun secara sistematis, maka penulisan skripsi ini disusun berdasarkan struktur oraganisasi sebagai berikut:


(12)

9

1.5.1 Bab I Pendahuluan

Bab ini akan menjelaskan menegani alasan penulis mengambil topik penelitiannya, yakni persepsi masyarakat Tionghoa terhadap program keluarga berencana di kawasan Pecinan Kota Bandung tahun 1970-1998. Susunan pemaparannya adalah latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi skripsi.

1.5.2 Bab II Kajian Pustaka dan Landasan Teoritis

Pada bab ini memaparkan konsep-konsep serta teori-teori yang digunakan dan dianggap relevan dengan penelitian. Kajian pustaka berfungsi untuk membantu peneliti dalam membandingkan dan memposisikan kedudukan masing-masing penelitian yang dikaji dan dikaitkan dengan masalah-masalah yang sedang diteliti. Proses kajian pustaka dilakukan terhadap sumber literatur berupa buku, jurnal, dan beberapa skripsi terdahulu yang dipilih disesuaikan dengan permasalahan penelitian. Penggunaan sumber-sumber tersebut bertujuan menjelaskan berbagai konsep serta teori yang berkaitan dengan penelitian. Konsep-konsep yang akan dijelaskan pada bab ini ialah sebagai berikut: Pertama, konsep persepsi. Kedua, konsep program keluarga berencana. Ketiga, konsep susunan keluarga dan aspek-aspek kehidupan keluarga Tionghoa.

1.5.3 Bab III Metode Penelitian

Bab ini mengkaji tentang langkah-langkah yang digunakan dalam penulisan berupa metode penulisan dan teknik penelitian yang menjadi titik tolak penulis dalam mencari sumber serta data-data, pengolahan data dan cara penulisan. Dalam bab ini pun, penulis berusaha memaparkan metode yang digunakan untuk merampungkan rumusan penelitian, metode penelitian ini harus mampu menjelaskan langkah-langkah serta tahapan-tahapan apa saja yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan. Semua prosedur serta tahapan-tahapan penelitian mulai dari persiapan hingga penelitian berakhir akan diuraikan secara rinci dalam bab ini. Hal ini dilakukan untuk memudahkan penulis dalam memberikan arahan pemecahan masalah yang akan dikaji. 1.5.4 Bab IV Persepsi Masyarakat Tionghoa Terhadap Program Keluarga Berencana

Di Kawasan Pecinan Kota Bandung Tahun 1970-1998

Pada bab ini, berisi mengenai pembahasan hasil penelitian berdasarkan keterangan-keterangan dari data-data temuan di lapangan. Data-data temuan tersebut


(13)

penulis paparkan secara deskriptif untuk memperjelas maksud yang terkandung dalam data-data temuan tersebut, khususnya baik bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Penulis berusaha mencoba mengkritisi data-data temuan di lapangan dengan membandingkannya kepada bahan atau sumber yang mendukung pada permasalahan yang penulis teliti. Selain itu juga dalam bab ini dipaparkan pula mengenai pandangan penulis terhadap permasalahan yang menjadi titik fokus dalam penelitian yang penulis lakukan.

1.5.5 Bab V Kesimpulan dan Saran

Bab terakhir ini berisi suatu simpulan dan saran dari permasalahan penelitian yang penulis bahas. Simpulan penelitian berupa analisis secara menyeluruh dari permasalahan-permasalahan penelitian, serta saran terhadap permasalahn penelitian yang penulis tunjukan pada pihak-pihak terkait dalam penelitian.


(14)

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab ini akan menguraikan mengenai metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam melakukan pengkajian permasalahan mengenai persepsi masyarakat Tionghoa terhadap program keluarga berencana di kawasan Pecinan Kota Bandung tahun 1970-1998. Metode yang digunakan oleh penulis adalah metode historis. Metode historis adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman peninggalan masa lampau (Gottschalk, 1975, hlm. 32). Metodologi sejarah merupakan suatu keseluruhan metode-metode, prosedur, konsep kerja, aturan-aturan dan teknik yang sistematis yang digunakan oleh para penulis sejarah atau sejarawan dalam mengungkapkan peristiwa sejarah.

Pada Metodologi Penelitian Sejarah ini terdapat langkah-langkah,di mana langkah – langkah tersebut menurut Ismaun (2005, hlm. 48-50) adalah sebagai berikut: 1. Heuristik, yaitu proses pengumpulan sumber-sumber sejarah yang berhubungan

dengan penelitian ini. Pada tahapan ini, penulis melakukan pencarian sumber-sumber sejarah baik yang berupa buku, dokumen, maupun atrikel. Realisasi dari tahap ini, penulis mengunjungi beberapa perpustakaan dan sumber lisan yang dianggap mempunyai sumber-sumber yang relevan dengan permasalahan yang akan dikaji.

2. Kritik atau analisis, yaitu menganalisis secara kritis sumber-sumber yang telah diperoleh dengan menyelidiki serta menilai apakah sumber-sumber yang telah terkumpul sesuai dengan masalah penelitian baik isi maupun bentuknya. Semua sumber dipilih melalui kritik eksternal dan internal sehingga diperoleh fakta-fakta yang sesuai dengan permasalahan penelitian. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah sumber-sumber yang telah diperoleh tersebut asli atau tiruan dan relevan atau tidak dengan permasalahan yang penulis kaji, sehingga dapat diperoleh fakta sejarah yang otentik.

3. Interpretasi, yaitu untuk menafsirkan keterangan-keterangan sumber secara logis dan rasional. Penafsiran atau interpretasi tidak lain dari pencarian pengertian yang lebih luas tentang sumber yang telah ditemukan. Tahapan


(15)

penafsiran ini dilakukan dengan cara mengolah beberapa fakta yang telah dikritisi dan merujuk kepada beberapa referensi. Dengan menggunakan pemahaman tersebut, maka penulis dapat terbantu dalam menjelaskan atau menginterpretasikan fakta sehingga menjadi suatu rangkaian yang utuh. Setelah melalui proses yang selektif maka fakta-fakta tersebut dijadikan pokok pikiran sebagai kerangka dasar penyusunan skripsi ini.

4. Historiografi atau penulisan sejarah, yaitu proses penyusunan hasil penelitian yang telah diperoleh sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Tahapan ini merupakan tahapan terakhir dari metode penelitian sejarah. Setelah sumber-sember ditemukan, dianalisis, ditafsirkan, kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan yang ilmiah sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah yang berlaku di Universitas Pendidikan Indonesia.

Teknik-teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut:

1. Studi kepustakaan. Sebagai langkah awal penulis mengumpulkan sumber-sumber yang sesuai dengan fokus kajian penelitian yang diperoleh dari berbagai sumber atau literatur. Setelah itu penulis menganalisis setiap sumber yang diperoleh dengan membandingkan antara sumber yang satu dengan sumber yang lain, sehingga diperolehlah data-data yang penulis anggap otentik, kemudian data-data tersebut penulis paparkan dalam bentuk karangan naratif yaitu skripsi.

2. Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara melakukan interview secara langsung. Teknik wawancara ini erat hubungannya dengan penggunaan sejarah lisan.

Metode historis ini digunakan dalam penyusunan skripsi ini didukung oleh penggunaan disiplin ilmu lain atau menggunakan pendekatan interdisipliner. Pendekatan ini ditandai dengan adanya hubungan yang saling metergantungakan antara ilmu sejarah dengan ilmu – ilmu sosial lainnya.

Dalam pedekatan interdisipliner ini penulis menggunakan konsep ilmu psikologi dan komunikasi yang digunakan dalam menelaah aspek – aspek peresepsi yang ada pada masyarakat etnis Tionghoa. Pendekatan interdisipliner lainnya yaitu


(16)

35

menggunakan konsep ilmu sosiologi dalam menelaah aspek – aspek kehidupan sosialnya, serta konsep ilmu antropologi dalam menelaah budaya yang hidup dalam masyarakat etnis Tionghoa kemudian berpengaruh terhadap implementasi program Keluarga Berencana di kawasan Pecinan Kota Bandung.

Setelah peneliti memaparkan mengenai karakteristik metode penelitian historis, peneliti akan menguraikan mengenai pelaksanaan penelitian yang dibagi menjadi tiga langkah. Langkah – langkah tersebut meliputi persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, dan laporan hasil penelitian.

3.1 Persiapan Penelitian

3.1.1 Pemilihan dan Pengajuan Tema Penelitian

Tahap ini merupakan langkah awal dalam memulai jalannya penelitian. Pengajuan tema dilakukan agar penelitian yang akan dilakukan dapat sesuai dengan jurusan Pendidikan Sejarah. Terlebih dahulu penulis telah mengajukan tema mengenai sejarah lokal dengan judul “Implementasi Program Keluarga Berencana Masa Orde Baru (1969-1998) Ditinjau Menggunakan Perspektif Kultural Dan Struktural Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Bandung” di dalam mata kuliah Seminar Karya Tulis Ilmiah yang pada saat itu dibimbing oleh Bapak Drs. H. Ayi Budi Santosa. Penulis mencoba agar judul dapat dilanjutkan sebagai judul skripsi namun dengan beberapa perbaikan karena tahun penelitian dirasa terlalu lama untuk mengukurnya sehingga penulis mencari data dan informasi yang lebih untuk penentuan jenjang waktu yang dipilih, sampai penulis mendapatkan jenjang waktu yang relevan sehingga jenjang waktu pada judul diganti dari tahun 1969- 1998 menjadi 1975-1992.

Penulis mengajukan tema mengenai sejarah lokal kepada Tim Pertimbangan dan Penulisan Skripsi (TPPS) yang diketuai oleh Bapak Drs. H. Ayi Budi Santosa, M.Si, dengan judul “Implementasi Program Keluarga Berencana Masa Orde Baru (1975-1992) Ditinjau Menggunakan Perspektif Kultural Dan Struktural Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Bandung” yang sebelumnya meminta masukan terlebih dahulu kepada dosen pembimbing akademik yaitu Bapak Dr. Nana Supriatna, M. Ed. Setelah judul tersebut disetujui, maka peneliti mulai menyusun rancangan penelitian dalam bentuk proposal skripsi.


(17)

Akan tetapi selama proses bimbingan bersama pembimbing I, yakni Drs. Suwirta, M. Hum berlangsung, terdapat perbaikan yang komperhensif dari judul dan tahun penelitian. Sehingga menjadi “Persepsi Masyarakat Tionghoa Terhadap Program Keluarga Berencana Di Kawasan Pecinan Kota Bandung Tahun 1970-1998”.

3.1.2 Penyusunan Rancangan Penelitian

Setelah melakukan studi literatur baik dari kepustakaan maupun wawancara peneliti mulai menyusun rancangan penelitian yang dituangkan ke dalam bentuk proposal skripsi. Proposal skripsi diserahkan kepada TPPS untuk ditinjau dan disetujui, melalui surat keputusan TPPS No 01/TPPS/JPS/PEM/2014 seminar proposal skripsi diselenggarakan pada hari Rabu, tanggal 19 November 2014 serta terlampir nama pembimbing I dan Pembimbing II.

Setelah proposal skripsi dipresentasikan, penulis mendapatkan kritikan dari dosen pembimbing I dan pembimbing II baik dari teknis penulisan proposal yang masih kurang sesuai dengan buku pedoman penulisan karya ilmiah Universitas Pendidikan Indonesia 2014, masih ada tulisan yang kurang sesuai dengan ejaan yang disempurnakan, redaksi judul yang kurang fokus, jenjang waktu penelitian yang masih kurang sesuai, rumusan masalah terlalu meluas dan kurang sesuai dengan tema dan juga masukan untuk fokus masalah skripsi yang nanti akan diteliti. Perbaikan proposal skripsi tersebut harus segera diperbaiki agar surat keputusan (SK) TPPS dapat segera dikeluarkan dan penulisan skripsi dapat segera dikerjakan.

3.1.3 Mengurus Perijinan

Surat perijinan dari pihak universitas merupakan suatu hal yang sangat penting untuk melakukan penelitian guna menjadi penelitian yang memiliki ijin resmi sehingga membantu mempermudah dalam mencari sumber – sumber penelitian. Perijinan tersebut dalam bentuk surat – surat baik surat pengantar maupun surat ijin oservasi. Dalam mengurus surat perijinan penulis mengajukan surat penelitian dari pihak universitas yang diwakili oleh Dekan FPIPS UPI. Surat – surat perijinan ini kemudian penulis berikan kepada:

1. Kepala Badan Pusat Statistik Kota Bandung 2. Kepala Dinas BKKBN Jawa Barat


(18)

37

3. Kepala Dinas BKKBN Kota Bandung

4. Kepala Badan Kesatuan Bangsa Dan Pemberdayaan Masyarakat Kota Bandung 5. Kepala Kecamatan Sumur Bandung

6. Kepala Kelurahan Braga

7. Kepala Dinas Arsip Daerah Kota Bandung

3.1.4 Proses Bimbingan

Penulis dibimbing oleh dua orang dosen yang terdiri dari Dosen Pembimbing I yaitu Drs, Suwirta, M.Hum dan Dosen Pembimbing II yaitu Farida Sarimaya, S. Pd, M. Si. Proses bimbingan dengan dosen pembimbing merupakan suatu proses yang sangat penting guna berkonsultasi dan memberikan pengarahan serta masukan dalam memcahkan permasalahan yang dihadapi peneliti dalam penulisan maupun penelitian. Setiap hasil bimbingan dicatat dalam lembar frekuensi bimbingan. Pada proses bimbingan pertama tanggal 18 November 2014 penulis mendapat masukan dari pembimbing II yakni mengenai judul yang harus diperbaiki, latar belakang masalah, dan rumusan masalah. Bimbingan kedua tanggal 27 November 2014 penulis mendapat masukan dari pembimbing I untuk mengganti judul dari “Implementasi Program Keluarga Berencana Masa Orde Baru (1975-1992) Ditinjau Menggunakan Perspektif Kultural Dan Struktural Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Bandung” menjadi “Persepsi Masyarakat Tionghoa Terhadap Program Keluarga Berencana Di Kawasan Pecinan Kota Bandung Tahun 1970-1998”, untuk tahun pembimbing menyarankan disesuaikan dengan repelita pertama sehingga judul dalam skripsi penulis ganti sesuai dengan masukan dari Pembimbing I, kemudian untuk rumusan masalah Pembimbing I menyarankan untuk lebih dipertajam lagi, mengikuti masukan dari pembimbing II, penulis menambahkan tambahan rumusan masalah supaya lebih fokus. Bimbingan ketiga tanggal 1 Maret 2015 penulis mendapat masukan dari pembimbing II bahwa dalam latar belakang penelitian harus dijelaskan mengenai pengertian persepsi. Bimbingan keempat tanggal 5 Maret 2015 penulis mendapat masukan dari pembimbing I rumusan masalah masih kurang tajam, harus segera diperbaiki lagi. Bimbingan kelima tanggal 17 Maret 2015 penulis mendapat masukan dari pembimbing I bahwa sumber rujukan harus jelas dan selalu dicantumkan. Bimbingan keenam tanggal 24 Maret 2015 penulis mendapat masukan dari pembimbing II mengenai kalimat efektif dan penggunaan tanda baca. Bimbingan ketujuh tanggal 1 April 2015 penulis mendapat


(19)

masukan dari pembimbing I untuk lanjut ke bab selanjutnya dengan beberapa masukan untuk bab selanjutnya mengenai konsep-konsep yang harus ditulis dan tidak perlu menggunakan teori karena hanya mencari persepsi. Bimbingan ke delapan tanggal 16 April 2015 penulis mendapat masukan dari pembimbing I bahwa penulisan landasan teori ditulis secara deskripsi, hanya konsep-konsep yang penting saja yang harus ditulis, tinjauan pustaka perlu ditambah dan dilengkapi kekurangan-kekurangan dari penelitian-penelitian terdahulu, kemudian untuk bab III perlu dicantumkan tanggal dan lama waktu dalam pencarian sumber. Tanggal 5 Mei 2015 bimbingan bersama pembimbing I dan disuruh melanjutkan ke bab IV. Tanggal 12 Mei 2015 bimbingan bersama pembimbing I mengenai bab IV hasil masih harus diperbaiki penulisan sumber tertulis. Kemudian tanggal 26 Mei 2015 bab IV dan V masih harus diperbaiki penjabaran masalah masih dirasa kurang. Bimbingan tanggal 1 Juni 2015 bersama pembimbing II mengenai bab IV perbaikan pada setiap poin sub bab diharuskan mencantumkan hasil wawancara. Bimbingan tanggal 3 Juni 2015 bersama pembimbing I perbaikan bab IV masih harus melakukan wawancara mengenai kehidupan sosial masyarakatnya. Tanggal 5 Juni 2015 bimbingan bersama pembimbing I mengenai bab IV. Kemudian tanggal 10 Juni 2015 bimbingan bersama pembimbing II tambahan deskripsi pada bagian klinik dan optimalisasi fungsinya bagi masyarakat Pecinan Kota Bandung. Tanggal 8 Juni 2015 bimbingan bersama pembimbing I mendapat persetujuan untuk melakukan sidang. Tanggal 24 Juni 2015 bimbingan bersam pembimbing II perbaikan dan penyempurnaan redaksi kalimat dari bab I sampai V. kemudian tanggal 1 Juli 2015 mendapat acc untuk layak sidang.

3.1.5 Menyiapkan Perlengkapan Penelitian

Perlengkapan penelitian penting untuk mendukung proses penelitian agar dapat dijadikan bukti atas hasil penelitian yang telah dilakukan. Dalam persiapan perlengkapan penelitian harus dipersiapkan secara maksimal agar mendapatkan hasil yang baik, adapun perlengkapan yang diperlukan diantaranya:

1. Surat ijin penelitian dari Dekan FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia. 2. Instrumen Wawancara

Instrumen wawancara merupakan urutan pertanyaan yang akan diajukan kepada narasumber agar mendapatkan informasi yang jelas dan terstruktur.


(20)

39

3. Tape Recorder

Tape Recorder merupakan media yang dibutuhkan untuk merekam suara percakapan narasumber pada saat pelaksanaan wawancara.

4. Kamera Foto

Kamera foto digunakan untuk mengambil gambar – gambar narasumber atau wilayah Kawasan Pecinan di Kota Bandung. Dengan adanya foto diharapkan akan memperjelas dan menguatkan keabsahan peneilitan yang dilakukan sehingga menjadi bukti bagi peneliti bahwa peneliti telah melakukan pengumpulan data.

3.2 Pelaksanaan Penelitian

Pada bagian pelaksanaan penelitian ini merupakan suatu kegiatan yang utama dalam melakukan penelitian yang dilakukan. Tahapan – tahapan penelitian yang dilakukan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Adapun penjelasan mengenai tahapan – tahapan tersebut akan diuraikan dibawah ini.

3.2.1 Heuristik (Pengumpulan Sumber)

Heuristik merupakan kegiatan dalam mengumpulkan sumber – sumber yang relevan dengan masalah yang akan diteliti. Menurut Ismaun (2005, hlm. 35) sumber sejarah ialah bahan – bahan yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Kegiatan heuristik ini yang dimaksudkan untuk mencari dan menemukan sumber sejarah baik primer maupun sekunder. Penulis melakukan pencarian sumber primer dan sekunder untuk mendapatkan data. Agar lebih jelas penulis memaparkannya dibawah ini:

3.2.1.1Pengumpulan Sumber Tertulis

Pada tahap ini penulis berusaha mencari sumber – sumber tertulis yang berkaitan dengan masalah penelitian seperti buku, artikel , dokumen maupun skripsi atau penelitian terdahulu. Pada proses ini penulis mengujungi berbagai perpustakaan, dalam pencarian sumber tertulis penulis mengunjungi Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), perpustakaan Universitas Padjajaran di Dipati Ukur,


(21)

Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNPAD di Jatinangor, dan perpustakaan Daerah Kota Bandung.

Hampir dalam seminggu penulis satu sampai tiga kali selalu mengunjungi perpustaakan UPI untuk mengerjakan skripsinya disana. Tanggal 1 November 2014 penulis pergi mengunjungi perpustakaan UPI selama 4 jam penulis menghabiskan waktu disana. Penulis menemukan buku – buku yang berkaitan dengan penerapan dan implementasi Program KB di Daerah Pedesaan, kemudian buku Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia. Tanggal 11 Februari 2015 penulis menghabiskan waktunya disana selama 5 jam untuk revisi penelitiannya, dan menemukan buku Kependudukan di Indonesia dan Berbagai Aspeknya, kemudian buku Psikologi Persepsi. Tanggal 5 Maret 2015 yang penulis menghabiskan waktunya disana selama 4 jam untuk revisi, kemudian menemukan buku Pemikiran Politik etnis Tionghoa Di Indonesia 1900-2002, buku Pengantar Psikologi Umum, buku Kebudayaan Orang Tionghoa Di Indonesia, dan jurnal – jurnal yang berhubungan dengan penelitian.

Perpustakaan lain yang dikunjungi oleh penulis ialah perpustakaan UNPAD yang terletak di Dipati Ukur. Tanggal 1 Januari 2015 penulis menghabiskan waktunya selama 4 jam di perpustakaan UNPAD untuk mencari sumber-sumber yang berkaitan dan mendapatkan beberapa buku seperti Tionghoa Dalam Pusaran Politik yang ditulis oleh Beni G. Setiono, buku Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia, buku Pengantar Masalah Penduduk, dan Psikologi Sosial. Tanggal 14 Januari 2015 penulis menghabiskan waktu diperpustakaan UNPAD selama 3 jam dan menemukuan buku Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya, buku Negara Dan etnis Tionghoa; Kasus Indonesia, buku etnis Tionghoa Dan Pembangunan Bangsa, dan jurnal Jejak Komunitas Tionghoa dan Perkembangan Kota Bandung ditulis oleh Sugiri Kustedja.

Perpustakaan lain yang dikunjungi oleh penulis ialah perpustakaan FISIP UNPAD Jatinangor. Di perpustakaan UNPAD Jatinangor 30 Januari 2015 penulis ditemani sahabatnya yang menjadi mahasiswa UNPAD menghabiskan waktunya disana selama 4 jam mendapatkan buku yang ditulis oleh Departemen Republik Indonesia dengan judul Memantapkan Program Keluarga Berencana Pedesaan Sebagai Landasan Pelaksanaan Repelita III, buku Sosiologi Pembangungan Pasaribu, buku I.L. & Simanjuntak, dan buku Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Fertilitas Di Indonesia. Tanggal 4 Maret 2015 penulis kembali mencari data dan menghabiskan


(22)

41

waktu selama 2 jam, kemudian menemukan buku Analisis Presepsi, buku Prilaku Konsumsi dan buku Preferensi Terhadap Pandangan Tradisional.

Penulis juga mengunjungi perpustakaan daerah Kota Bandung. Tanggal 11 Maret 2015 penulis menghabiskan waktunya disana selama 3 jam. Di perpustakaan daerah Kota Bandung tersebut penulis menemukan journal yang ditulis oleh Punto Nugroho yang berjudul Kembali ke Semarak KB Mengapa Tidak?, buku Materi KIE UPPKA-KB yang ditulis oleh BKKBN, buku Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Fertilitas Di Sumatera Utara, dan buku Pusat Pendidikan dan Latihan Tenaga Kesehatan. Tanggal 20 April 2015 penulis bermaksud mencari sumber lagi keperpustakaan daerah Kota Bandung, dan menemukan Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontasepsi, buku Aneka Cara KB, buku Manajemen Kebidanan, dan buku Masalah kependudukan Dan Pelaksanaan Keluarga Berencana Di Indonesia.

Selain mendapatkan sumber dari perpustakaan – perpustakaan penulis juga mengunjungi beberapa instansi – instansi pemerintah yang terkait dengan bahasan, seperti Dinas BKKBN Provinsi Jawa Barat, penulis tanggal 1 November 2015 pergi mengunjungi Dinas BKKBN Provinsi Jawa Barat untuk kemudian meminta rekomendasi ke BKKBN Daerah Kota Bandung, disana penulis menghabiskan waktu selama 2 jam berbincang menanyakan data awal, kemudian keesokan harinya tanggal 2 November 2015 pergi ke BKKBN Daerah Kota Bandung untuk kemudian menanyakan data awal dan meminta kontak person Unit Tenaga Pelaksana (UTP) untuk mencari responden yang sesuai. Tanggal 4 November 2014, penulis pergi mengunjungi Badan Pusat Statistik Kota Bandung guna menemukan data awal untuk menunjang penelitiannya. Disana 30 menit penulis menghabiskan waktunya untuk mencari data komposisi penduduk Kota bandung dilihat per etnisnya. Kemudian tanggal 29 Januari 2015 penulis dengan ditemani rekan seperjuangannya yang sama sedang menempuh skripsi mengunjungi Dinas Arsip Daerah Kota Bandung, disana penulis menghabiskan waktunya sekitar 2 jam untuk menemukan data mengenai kebijakan program Keluarga Berencana. Tanggal 21 April 2015 penulis mengunjungi Kantor Badan Kesatuan Bangsa Dan Pemberdayaan Masyarakat Kota Bandung, disana penulis menghabiskan 1 jam untuk membuat surat pengantar agar bisa melakukan penelitian di Kelurahan Braga. Tanggal 22 April 2015 penulis mengunjungi Kantor Kelurahan Braga, Bandung. Kemudian menyarahkan surat pengantar penelitian. Alhamdulillah setelah itu penulis


(23)

disambut baik oleh pihak Kelurahan dan penulis dengan bebas dapat meminta data yang penulis butuhkan dari Kelurahan. Setelah menghabiskan sekitar 2 jam berbincang-bincang dengan pihak Kelurahan, penulis diberikan beberapa nama dan alamat RW yang ada di Kelurahan Braga. Setelah itu penulis mendatangi nama-nama yang diberikan tadi satu-persatu. Penulis juga mengunjungi toko dan pameran buku seperti Gramedia dan pergi ke Palasari mengingat setelah beberapa kali bimbingan, penulis disarankan beberapa buku untuk dicari oleh Pembimbing sebagai sumber rujukan lainnya.

3.2.1.2Pengumpulan Sumber Lisan

Pengumpulan sumber lisan merupakan pengumpulan informasi yang didapatkan dari narasumber atau orang guna penulisan skripsi ini. Proses pencarian narasumber yang dilakukan peneliti ialah dengan mendatangi Dinas BKKBN Provinsi Jawa Barat. Tanggal 1 November 2014 penulis mengunjungi Dinas BKKBN Provinsi Jawa Barat, kemuadian selama 2 jam berbincang dengan petugas disana seputas program keluarga berencana, dan adakah keterlibatan etnis Tionghoa di dalamnya. Selain melakukan pencarian informasi, penulis dibuatkan surat rekomendasi atau disposisi ke BKKBN daerah Kota Bandung. Tanggal 1 Januari 2015 saya mencoba menemui responden, yang saya dapatkan dari Ibu Rindang Ekawati yakni Bapak Iih Suryana. Beliau kelahiran Bandung 13 Maret 1955. Beliau adalah Unit Pelaksana KB-PLKB tahun 1990 di Kecamatan Sumur Bandung. Saya mewawancarai beliau sekitar 2 Jam. Beliau adalah orang yang membawahi PLKB-PLKB di Kecamatan Sumur Bandung yang giat mensosialisasikan program KB di tahun 1990. Beliau saya wawancarai dari segi peran beliau sebagai responden yang paham kondisi pelaksanaan program KB pada masa Orde Baru.

Pada tanggal 22 April 2015, penulis mewawancarai Bapak Ali Jambas ketua R.W. 01 Kelurahan Braga di tahun 1986. Beliau lahir di Bandung tanggal 23 April 1951. Alamat di Gang Iyas No. 24. Pensiunan pegawai Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat. Beliau adalah tokoh masyarakat disana yang memang lahir dan tinggal disana hingga sekarang. Penulis hampir 2 jam mewawancarai dan bertukar pendapat mengenai etnis Tionghoa di lingkungannya, masalah pentingnya KB, dll.


(24)

43

Kemudian tanggal 04 Juni 2015, penulis mewawancarai Ibu Marga E. wanita Tionghoa peranakan kelahiram Bandung 13 Maret 1960. Ia adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Kelurahan Braga. Beliau adalah perempuan Tionghoa yang menggunakan KB Mandiri di tahun 1995 dan memiliki dua orang anak. Saya mewawancarai beliau di rumahnya selama 2 jam. Saya mewawancarai belau selain ingin tau persepsi dari wanita Tionghoa sendiri mengenai KB, juga menanyakan mengenai buadaya-budaya Tionghoa yang masih ada di lingkungan etnis Tionghoa di Kelurahan Braga.

Pada tanggal 15 September 2015, penulis mewawancarai Ibu Inggrit Suherman yang merupakan wanita Tionghoa peranakan kelahiran Bandung 26 Juli 1943. Penulis mewawancarai beliau hampir 2 jam lamanya. Beliau adalah seorang ibu rumah tangga yang turut bekerja membantu suaminya berjualan di toko. Beliau tidak menggunakan KB, dari pengakuan beliau alasan dirinya tidak menggunakan alat kontrasepsi adalah karena sudah merasa cukup efektif dengan menggunakan tata cara tradisional yakni sistem kalender dalam tata cara menjarangkan kehamilan. Beliau menegaskan dirinya tidak mengikuti KB tetapi terbukti hanya memiliki dua anak.

Pada tanggal 28 September 2015, penulis mewawancarai Ibu Susilawati yang merupakan wanita Tionghoa peranakan kelahiran Bandung 15 Oktober 1950. Penulis mewawancarai beliau selama 2 jam lamanya. Beliau adalah ibu rumah tangga dengan empat orang anak yang tinggal di lingkungan Kelurahan Braga. Beliau tidak menggunakan alat kontrasepsi, tetapi cara KB praktis seperti sistem kalender menjadi pilihannya tanpa harus mengambil resiko-resiko kesalahan dalam tata cara penggunaan alat kontrasepsi.

Pada saat pengumpulan sumber lisan, penulis menggunakan teknik wawancara dengan mendatangi satu persatu narasumber karena narasumber memiliki kesibukan masing – masing. Wawancara dilakukan ke dalam dua jenis yaitu wawancara yang berstruktur dan wawancara tak berstruktur. Menurut Kuntowijoyo (1994, hlm. 38) wawancara berstruktur yaitu suatu tanya jawab yang semua pertanyaan telah dirumuskan sebelumnya dnegan cermat atau biasanya secara tertulis. Sedangkan wawancara tak berstruktur adalah wawancara yang tidak mempunyai persiapan sebelumnya dari suatu daftar pertanyaan dnegan susunan kata – kata dan tidak berurutan tapi tetap harus dipatuhi peneliti.


(25)

Sebelum melakukan teknik wawancara, penulis telah mempersiapkan beberapa pertanyaan yang telah disusun dalam sebuah daftar pertanyaan. Pertanyan – pertanyaan yang diajukan telah diatur dan diarahkan sehingga narasumber tidak kebingungan dalam menjawab pertanyaan. Apabila pertanyaan kurang jelas maka penulis mengajukan kembali pertanyaan yang masih terdapat didalam daftar pertanyaan.

Teknik wawancara ini berguna bagi penulis dalam mencari data dari para penduduk sekitar Pecinan Kota Bandung, terutama para narasumber yang sudah memiliki usia, mengingat peristiwa yang peneliti kaji adalah peristiwa dimasa lampau dan harus membuka kembali ingatan yang sudah lama tersimpan, sehingga dengan peneliti sudah menyiapkan pertanyaan terlebih dahului peneliti akan lebih mudah merangsangnya. Sebelum melakukan teknik wawancara penulis menentukan waktu dan tempat untuk melakukan wawancara dengan beberapa narasumber.

3.2.2 Kritik Sumber

Setelah penulis mengumpulkan sumber atau yang disebut heuristik, penulis melakukan tahapan kritik sumber baik sumber dari buku, tesis, jurnal, internet, maupun sumber tertulis lainnya yang relevan dengan bahasan yang dikaji. Kritik sumber ini dilakukan untuk memilih sumber – sumber informasi yang didapatkan sesuai atau tidak dengan masalah penelitian baik isi maupun bentuknya. Semua sumber dipilih melalui kritik eksternal dan internal sehingga didapatkan fakta – fakta yang sesuai dan dapat diperoleh fakta sejarah yang otentik. Dalam kritik sumber ini terdapat kritik eksternal dan kritik internal yang akan dijelaskan dibawah ini.

Kritik eksternal merupakan kritik yang dilakukan oleh penulis untuk menilai keaslian sumber dari bagian luar. Menurut Sjamsuddin (2007, hlm. 134) kritik eksternal harus menegakkan fakta dari kesaksian bahwa kesaksian benar-benar diberikan oleh orang yang bersangkutan pada waktu itu (authenticity), telah bertahan tanpa ada perubahan (uncorupted), tanpa ada suatu tambahan-tambahan atau penghilangan-penghilangan yang substansial (integrity).

Kritik eksternal ini sangatlah dibutuhkan dalam metode sejarah sperti dalam penulisan karya ilmiah ini agar kredibilitasnya dapat dipertanggung jawabkan. Hal itu juga berguna untuk memperhatikan sumber – sumber yang telah didapatkan dari aspek


(26)

45

luarnya sebelum kepada isi seperti dokumen statistik atau dokumen data wilayah dan sebagainya.

Kritik internal berbeda dengan kritik eksternal, di mana kritik internal ini memiliki tujuan untuk menilai keabsahan isi dari sumber - sumber yang telah dikumpulkan oleh penulis didalam tahapan heuristik sehingga mendapatkan isi sumber yang relevan dengan penelitian dan dapat dipertanggung jawabkan. Menurut Sjamsuddin (2007, hlm. 143) kritik internal menekankan aspek “dalam”, yaitu isi dari sumber kesaksian (testimoni).

Didalam kritik internal ini penulis membaca dokumen – dokumen yang telah didapatkan kemudian menganalisis isi dari dokumen tersebut kemudian membandingkan isi dokumen satu dengan yang lain. Pada kritik internal ini penulis membaca data yang didapat dari sumber buku, jurnal, serta wawancara kemudian mencocokan dengan data yang telah didapatkan tersebut.

Seperti misalnya tahapan kritik sumber yang dilakukan oleh penulis terhadap narasuber Bapak Iih Suryana kelahiran Bandung 13 Maret 1955. Beliau adalah petugas PLKB pada tahun 1990 di Kecamatan Sumur Bandung. Kredibilitas dari kesaksian dan informasi yang beliau berikan mengenai sistem kerja dari program keluarga berencana pada saat itu dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan keabsahan isi dari substansi kesaksian dan informasi yang beliau berikan dapat digunakan dan berkontribusi memberikan gambaran proses, prosedur, serta kebijakan program keluarga berencana pada saat Orde Baru di Kecamatan Sumur Bandung, sesuai dengan pekerjaan dan bidang yang dikuasai beliau.

Kemudian Bapak Ali Jambas kelahiran Bandung 23 April 1951. Beliau merupakan ketua RW 01 Kelurahan Braga di tahun 1986. Beliau lahir dan besar disana, sehingga kredibilitas dari kesaksian dan informasi yang beliau berikan mengenai gambaran kehidupan serta partisipasi masyarakat Tionghoa di Kelurahan Braga dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan keabsahan isi dari substansi kesaksian dan informasi yang beliau berikan dapat digunakan dan berkontribusi memberikan gambaran kehidupan serta partisipasi masyarakat Tionghoa terhadap program keluarga berencana. Dimana beliau merupakan tokoh masyarakat disana, yang memahami kondisi dan situasi yang terjadi dilingkungannya.


(27)

Selanjutnya dari etnis Tionghoa sendiri ada Ibu Inggrit Suherman kelahiran Bandung 26 Juli 1943. Beliau merupakan wanita Tionghoa peranakan yang tinggal di Kelurahan Braga. Kredibilitas dan kesaksian beliau dapat dipertanggungjawabkan karena beliau mengalami kesaksian sebagai wanita Tionghoa yang hidup di tahun 70-an. Kemudian Ibu Susilawati kelahiran Bandung 15 Oktober 1950. Wanita Tionghoa peranakan yang tinggal di Kelurahan Braga, yang akan memberikan kesaksian sebagai wanita Tionghoa yang hidup di tahun 80-an. Serta Ibu Marga kelahiran Bandung 13 Maret 1960. Wanita Tionghoa peranakan yang tinggal di Kelurahan Braga, yang akan memberikan kesaksian sebagai wanita Tionghoa yang hidup di tahun 90-an.

Untuk sumber buku yang digunakan penulis menggunakan buku dari Hidajat. Buku tersebut diterbitkan tahun 1977 oleh penerbit Tarsito yang berjudul Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia. Kredibilitas dari buku ini dapat dipertanggungjawabkan, karena tahun diterbitkan buku ini yang sesuai dengan masa dan waktu yang dibutuhkan oleh penelitian ini. Sedangkan keabsahan isi dari substansi isi dan informasi yang buku ini berikan dapat digunakan dan berkontribusi memberikan gambaran kehidupan masyarakat Tionghoa yang ada di Bandung secara mendetil, baik dari sejarah, sikap hidup, kebudayaan mereka, hingga permasalahan-permasalahan kehidupan mereka di Indonesia sebagai etnis pendatang.

3.2.3 Interpretasi (Penafsiran Sumber)

Interpretasi merupakan penafsiran terhadap sumber – sumber yang telah melewati tahapan kritik internal dan eksternal sehingga tercipta penafsiran yang relevan dengan permasalahan yang dikaji oleh penulis. Menurut Gottschalk (1986, hlm. 23-24) “penafsiran sejarah itu mempunyai tiga aspek penting, yaitu analitis-kritis, historis-substantif, dan sosial-budaya”. Aspek analitis-kritis menganalisis struktur internal, pola-pola hubungan antara fakta yang satu dengan fakta lainnya, dan gerak dinamika dalam sejarah. Historis-substantif menyajikan suatu uraian dengan dukungan fakta yang cukup sebagai ilustrasi suatu perkembangan. Sedangkan yang terakhir aspek sosial-budaya lebih memperhatikan menifestasi insani dalam interaksi dan hubungan sosial-budaya.

Sedangkan menurut Kuntowijoyo dalam Abdurahman (2007, hlm. 73) bahwa dalam interpretasi ada dua metode yang digunakan oleh seorang peneliti sejarah, yaitu


(28)

47

‘analisis dan sintesis. Analisis berarti menguraikan, sedangkan sintesis berarti menyatukan, keduanya dipandang sebagai metode utama di dalam interpretasi’.

Penulis menggunakan pendekatan interdisipliner dalam melakukan interpretasi. Pendekatan ini menggunakan bantuan dari berbagai disiplin ilmu yang serumpun, yaitu ilmu-ilmu sosial. Penggunaan ilmu bantu ini dimaksudkan untuk mempertajam hasil analisis. Dalam pendekatan interdisipliner ini penulis menggunakan ilmu bantu, berupa ilmu sosiologi yang digunakan untuk menkaji kehidupan sosial, proses Identifikasi masyarakat Tionghoa dan lain sebagainya dan ilmu bantu antropologi yang digunakan untuk menkaji kebudayaan yang berpengaruh pada masyarakat Tiongoa, pendekatan psikologi dan komunikasi memahami presepsi. Pendekatan tersebut guna membahas secara mendalam dalam skripsi ini sehingga dapat diungkapkan secara mendalam mengenai persepsi masyarakat etnis Tionghoa di kawasan Pecinan Kota Bandung.

3.2.4 Historiografi

Tahapan terakhir di dalam metode sejarah adalah historiografi.Tahapan ini merupakan langkah dalam penelitian sejarah yang di dalamnya memuat tulisan sistematis yang mengungkapkan hasil penelitian di mana sebelumnya telah melewati tahapan – tahapan metode penelitian sejarah sebelum historiografi. Seperti yang diungkapkan oleh Ismaun, (2005, hlm. 28) Historiografi adalah “pelukisan sejarah, gambaran sejarah tentang peristiwa yang terjadi pada waktu yang lalu” .

Pada langkah ini penulis akan menuangkan hasil penelitiannya ke dalam sebuah tulisan yang disusun secara sistematis dan memperhatikan hal-hal yang dianggap perlu sehingga penulisan karya tulis ilmiah akan teruji dengan baik sehingga dapat mempertanggungjawabkan kredibilitasnya selain itu dalam penulisan penelitian sejarah ini penulis tidak terlepas dari sistematika penulisan skripsi di Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2013. Seperti yang dinungkapkan oleh Sjamsuddin (2007, hlm. 156) mengatakan bahwa “historiografi adalah penulisan yang utuh berupa suatu sintesis hasil penelitian atau penemuan sejarah”. Bukan hanya keterampilan teknis penggunaan kutipan dan catatan, akan tetapi dengan penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisisnya juga.

Dalam penulisan sejarahnya peneliti akan mengungkapkan isi penelitianya dengan gaya bahasa yang baik dengan memperhatikan pedoman penggunaan bahasa


(29)

Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan ejaan yang disempurnakan, dalam penyajian peristiwa sejarah terkait dengan Persepsi Masyarakat Tionghoa Terhadap Program Keluarga Berencana Di Kawasan Pecinan Kota Bandung Tahun 1970-1998. Selain itu penulis juga menuangkan tulisannya disesuaikan dengan bukti – bukti yang ada yang didukung dengan landasan berfikir yang sesuai sehingga didapatkan penulisan sejarah yang baik dan sesuai dengan kaidah keilmuan.

3.3 Laporan Penelitian

Berdasarkan ketentuan penulisan karya ilmiah di lingkungan UPI, maka sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

3.3.1 Bab I Pendahuluan

Pada bab ini, penulis berusaha untuk memaparkan dan menjelaskan mengenai latar belakang masalah yang menjadi alasan penulis untuk melakukan penelitian dan penulisan mengenai “Persepsi masyarakat Tionghoa terhadap program Keluarga Berencana di kawasan Pecinan Kota Bandung tahun 1970-1998”, rumusan masalah yang menjadi beberapa permasalahan untuk mendapatkan data-data temuan di lapangan, pembatasan masalah guna memfokuskan kajian penelitian sesuai dengan permasalahan utama, tujuan penelitian dari penelitian yang dilakukan, metode dan struktur organisasi skripsi.

3.3.2 Bab II Tinjauan Pustaka

Pada bab tinjauan pustaka ini berisi tentang kajian pustaka yang digunakan dalam melakukan penelitian ini dan sebagai acuan untuk berfikir dalam menganalisa permasalahan yang telah dirumuskan, maka penulis menggunakan beberapa literatur, yakni berupa sumber - sumber yang berhubungan dengan penulisan skripsi yang berjudul “Persepsi Masyarakat Tionghoa Terhadap Program Keluarga Berencana Di Kawasan Pecinan Kota Bandung Tahun 1970-1998”. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari kajian tinjauan pustaka, yang didasarkan dari beberapa sumber sejarah dan dari disiplin ilmu sosial, diantaranya yaitu psikologi, komunikasi, sosiologi, dan antropologi. Penulis akan mengkaji beberapa hal yakni, konsep persepsi, konsep program keluarga berencana, Ketiga konsep susunan keluarga dan aspek-aspek kehidupan keluarga Tionghoa, dan Keempat penelitian terdahulu yang berkaitan


(30)

49

dengan penelitian skripsi ini. Penggunaan tinjauan pustaka ini diperlukan agar penulisan dalam skripsi ini tidak hanya bersifat naratif, melainkan berdasarkan analisis yang akan memperjelas suatu peristiwa historis untuk peningkatan mutu historiografi.

3.3.3 Bab III Metode Penelitian

Pada bab ini diuraikan mengenai kegiatan-kegiatan dan cara-cara yang dilakukan dalam penelitian skripsi. Metode yang digunakan adalah metode penelitian sejarah. Langkah-langkah penelitiannya meliputi heuristik atau proses pengumpulan sumber, kritik terhadap sumber yang telah dikumpulkan, interpretasi sumber, hingga ke tahap penulisan atau historiografi. Setiap langkah-langkah tersebut nantinya akan dijelaskan lebih rinci lagi. Metode yang digunakan adalah metode historis dan teknik yang digunakan adalah studi literatur.

3.3.4 Bab IV Pembahasan

Bab ini merupakan pembahasan dari penelitian sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada rumusan dan pembatasan masalah. Di dalam Bab ini penulis akan memaparkan dan menganalisis bagaimana persepsi masyarakat Tionghoa terhadap program keluarga berencana di kawasan Pecinan Kota Bandung tahun 1970-1998, di dalamnya akan mengungkapkan deskripsi umum daerah penelitian, latar belakang sosial budaya daerah penelitian, persepsi masyarakat Tionghoa terhadap program Keluarga Berencana di kawasan Pecinan Kota Bandung 1970-1998.

3.3.5 Bab IV Kesimpulan

Bab kesimpulan ini merupakan kesimpulan penulis mengenai pembahasan yang telah dipaparkan dari keseluruhan bab yang menggambarkan persepsi masyarakat Tionghoa terhadap program keluarga berencana di kawasan Pecinan Kota Bandung tahun 1970-1998. Selain itu juga terdapat atribut lainnya dari mulai kata pengantar hingga riwayat hidup penulis, semua itu dijadikan ke dalam laporan utuh yang sebelumnya telah melewati tahapan koreksi dan konsultasi dari Pembimbing I dan Pembimbing II.


(31)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachim, I. (1973). Pengantar Masalah Penduduk. Bandung: Alumni

Ahmadi, A. & Kaelany. (1982). Kependudukan di Indonesia dan Berbagai Aspeknya. Jakarta: Mutiara Permata Widya.

Brehm, S.S. & Kassin S. M. (1993). Sosial Psychologi. Boston: Houghton. Budiarti, L. (2005). Psikologi Persepsi. Bandung: ITB.

Darahim, A. (2010). Kependudukan dan Peran Pendidikan Kependudukan Dalam Mendukung Program KB Nasional. Jakarta: Ketua Umum Paguyuban Juang Kencana (PJK) Pusat.

Depdikbud. (2004). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Faradina, T. (2007). Gambaran Persepsi Supir Bajaj Daerah Pangkalan Blok M terhadap Keselamatn Berkendara di Jalan Raya tahun 2007. (Skripsi). Tidak Diterbitkan, Program Sarjana, Universitas Indonesia, Jakarta.

Forum Kajian Rakyat. (2004). Megawati dan Etnis Tionghoa. Jakarta: FKR.

Gottschalk, L. (1975). Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto. Jakarta: Universitas Indonesia.

Hendrata, L. (1973). Aneka Cara KB. Jakarta: BKKBN, Biro penerangan dan Motivasi. Hermana, H.G. (2014). Kerusuhan Anti Etnis Tionghoa Di Jatiwangi Februari 1998.

(Skripsi). Tidak Diterbitkan, Program Sarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Hidajat. (1977). Masyarakat dan Kebudayaan Cina di Indonesia. Bandung: Tarsito. Ismaun. (2005). Pengantar Ilmu Sejarah Sebagai Ilmu dan Wahana Pendidikan.

Bandung: Historia Utama Press.

Koentjaraningrat. (1979). Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Koentjaraningrat. (1990). Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: Universitas Indonesia

(UI-Press).


(32)

99

Kustedja, S. (2012). Jejak Komunitas Tionghoa dan Perkembangan Kota Bandung. Jurnal Sosioteknologi, 26, hlm. 105 – 128.

Lampang, N. (2014). Identifikasi Persepsi Masyarakat Tentang Pengaruh Slum Area Terhadap Kawasan Heritage Kota Bandung (Studi Kasus Kelurahan Braga). (Skripsi). Tidak Diterbitkan, Program Sarjana, UNIKOM, Bandung.

Lestari, P. dkk. (2007). Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Program Keluarga Berencana (Penelitian Di Desa Panggungharjo Kecamatan Sewekon Kabupaten Bantul). Laporan Penelitian Dosen Muda. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Liliweri, A. (2003). Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: LKiS

Manuaba, I.B.G. (1989). Ilmu kebidanan dan Penyakit Kandungan dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Kehidupan. Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar. Denpasar: Universitas Udayana.

Mochtar, R. (1993). Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC.

Mubyarto. (1984). Strategi Pembangunan Pedesaan. Yogyakarta: P3PK-UGM.

Mulyana, D. (2000). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya Noerjanah, A. (2004). Komunitas Tionghoa Di Surabaya (1910-1946). Semarang:

Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah (Mesiass)

Pasaribu, I.L. & Simanjuntak. (1986). Sosiologi Pembangunan: Bandung: Tarsito. Rahardjo, J. dkk. (1980). Wanita Kota Jakarta Kehidupan Keluarga dan Keluarga

Berencana. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Ritonga, H.A. (2010). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Fertilitas Di Sumatera Utara. Sumatra Utara: (tidak dipublikasikan).

Saifuddin, A.B. (2003). Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontasepsi. Jakarta: Bina Pustaka.

Samarwan, U. (2000). Analisis Presepsi, Prilaku Konsumsi dan Preferensi Terhadap Pandangan Tradisional. Bandung: LIPI

Sarwono, S.W. (1976). Pengantar Umum Psikologi. Jakarta : PT. Bulan Bintang. Sendjaja, S.D. (1999), Pengantar Komunikasi. Jakarta: Departemen Pendidikan


(33)

Setiono, B.G. (2003). Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa. Sjamsuddin, H. (2007). Metodologi Sejarah. Jakarta: Penerbit Ombak.

Skober, T.R. (2006). Orang Cina Di Bandung, 1930-1960 Merajut Geliat Siasat Minoritas Cina. Konferensi Nasional Sejarah VIII. Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.

Soewarso, T. dkk. (1995). Persepsi Tentang Etos Kerja Kaitannya Dengan Nilai Budaya Masyarakat. Semarang: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Sugihartono. (1996). Prilaku Seksual Remaja Pada Siswa SMU Di Kota Madya

Yogyakarta. Laporan Penelitian Fakultas Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.

Suliyati, T. (Tanpa tahun). Studi Gender pada Masyarakat Tionghoa Di Daerah Pecinan Semarang. (Skripsi). Tidak Diterbitkan, Program Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang.

Supardan, D. (2009). Pengantar Ilmu Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.

Suryadinata, L. (1984). Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Grafiti Perss.

Suryadinata, L. (1988). Kebudayaan Minorotas Tionghoa Di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.

Suryadinata, L. (1999). Etnis Tionghoa Dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: Pustaka LP3ES.

Thoha, M. (Tanpa tahun). Birokrasi Pembangunan Desa Partisipasi Rakyat. Makalah Lepas.

Tubbs, S.L. & Moss, S. (1980). Human communication. New York: Random House. Vasanty, P. (2004). Kebudayaan Orang Tionghoa Di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Walgito B. (1980). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi

Wiknjosastro. dkk. (1977) Family Planing In Rural West Java. Jakarta: Universitas Indonesia.

WAWANCARA

Wawancara tanggal 1 Januari 2015, Iih Suryana (Unit Pelaksana KB-PLKB tahun 1990 di Kecamatan Sumur Bandung).


(34)

101

Wawancara tanggal 22 April 2015, Ali Jambas, (ketua R.W. 01 Kelurahan Braga di tahun 1986).

Wawancara tanggal 04 Juni 2015, Marga (wanita Tionghoa di Kelurahan Baraga dan seorang ibu rumah tangga pengguna KB Mandiri di tahun 1995).

Wawancara tanggal 15 September 2015, Inggrit Suherman (wanita Tionghoa di Kelurahan Braga, seorang wirausaha dan ibu rumah tangga).

Wawancara tanggal 28 September 2015, Susilawati (wanita Tionghoa di Kelurahan Braga dan seorang ibu rumah tangga).

INTERNET

BKKBN. (2012). Sejarah BKKBN. [Online]. Tersedia di:

http://riau.bkkbn.go.id/ViewProfil.aspx?ProfilID=31.html. Diakses 18 Maret 2015.

Skinner, G.W. (1963). The Chinese Minority. [Online]. Tersedia di: http://neumann.43i.org/sarlito/chinese_fam.html. Diakses 24 November 2014.


(35)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan kesimpulan terhadap semua hasil penelitian yang telah diperoleh setelah melakukan pengkajian, sekaligus memberikan analisis terhadap permasalahan yang dibahas. Dalam kesimpulan ini penulis akan memaparkan beberapa pokok pemikiran penting yang merupakan inti jawaban dari permasalahan yang telah dikaji, simpulan tersebut adalah sebagai berikut :

5.1 Simpulan

Di daerah Pecinan Kota Bandung yang terletak di Jalan Pecinan Lama, Kelurahan Braga, Kecamatan Sumur Bandung, Kota Bandung. Terdapat kelompok masyarakat etnis Tionghoa yang tinggal berkelompok disana membentuk sebuah komunitas kawasan Pecinan. Pecinan di Kota Bandung merupakan peninggalan dari masa Kolonial Hindia Belanda. Pada masa Kolonial Hindia Belanda masyarakat etnis Tionghoa yang merupakan masyarakat pendatang telah di eksklusifkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda menempatkan etnis Tionghoa diatas pribumi. Sehingga proses identifikasi etnis pendatang itu cenderung berjalan lambat terhadap pribumi.

Hingga Indonesia merdeka, kecurigaan diantara keduanya masih tetap mengakar. Di dalam masa pembangunan ini, patutlah kita memikirkan untuk mengerahkan segala potensi yang ada pada bangsa Indonesia. Di dalam menghadapi suku-suku bangsa dan golongan minoritas yang banyak terdapat di Indonesia ini, pemerintah Indonesia perlu memperhatikan potensi-potensi yang ada pada suku-suku bangsa atau golongan-golongan Tionghoa di Indonesia. Masalah yang pertama-tama dihadapi adalah masalah integrasi dari golongan itu. Hal ini penting untuk menjalin kerjasama yang harmonis antara golongan ini dengan orang Indonesia lainnya.

Di Indonesia, proses integrasi antara suku-suku bangsa memang sudah dimulai, tetapi masih terlampau lambat, antara lain karena kurang pengetahuan dan toleransi terhadap kebudayaan dari suku-bangsa atau golongan lain yang dihadapi dan karena perasaan superioritet pada individu-individu dari satu golongan terhadap golongan yang


(36)

92

lain. Bila sifat itu terus dipelihara maka akan sangat berbahaya untuk kelangsungan persatuan bangsa.

Karena sikapnya yang superioritet demikian masyarakat Tionghoa yang ada di kawasan Pecinan Kota Bandung kurang terbuka dengan lingkungan sekitarnya. Sikap partisipasi mereka terhadap program-program pemerintah yang ada dilingkungannya kurang di tanggapi secara serius. Dalam hal ini, khususnya program keluarga berencana yang gencar diusahakan pemerintah saat itu. Pemerintah Presiden Soeharto tahun 1967 mencanangkan bahwa perlu adanya program pemecahan laju pertumbuhan penduduk melalui program KB nasional. Keputusan itu sekaligus tindak lanjut dari kesepakatan internasional dalam Deklarasi Kependudukan PBB (1967) New York.

Keluarga berencana dalam arti membatasi kelahiran perlu dilaksanakan di daerah yang padat penduduknya, sedangkan bagi daerah yang masih luas tanahnya, KB berarti merencanakan kelahiran demi kesehatan ibu dan anak serta kesejahteraan keluarga. Dan KB juga merupakan salah satu jalan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Pemerintah merasa program keluarga berencana ini sangat erat kaitanya dengan sarat pembangunan ekonomi. Akan tetapi yang terjadi adalah golongan etnis Tionghoa ini lebih peduli terhadap bisnis dan usahanya saja. Sikap eksklusif mereka telah membatasi proses integrasi bangsa didalamnya, khususnya antara Tionghoa dan pribumi. Semakin lama mereka untuk terbuka terhadap yang lain, maka kecurigaan diantara keduanya semakin menguat pula.

Kedudukan politik mereka juga di Indonesia kurang strategis. Sejarah Indonesia menggambarkan bahwa masyarakat etnis Tionghoa ini lebih mengutamakan bisnis daripada kepentingan politik, kecuali kepentingan politik itu menyangkut usaha dan bisnisnya. Mereka mendukung siapapun peminpinnya selama kepentingan-kepentingan ekonomi dan usahanya tidak terusik. Sikap tersebut didasari pula karena rasa nasionalisme mereka terhadap pemerintahan Indonesia yang lemah. Mereka masih ada kecenderungan menganggap bahwa mereka masih bagian dari negeri leluhurnya. Mereka menganggap dirinya di bumi Indonesia hanya sebagai kelompok pendatang, dan hanya sementara. Kelompok yang masih berfikiran seperti itu adalah para golongan Tionghoa totok yang umumnya fanatisme terhadap negeri leluhurnya masih kuat.

Adapun diantara mereka yang sikap politiknya sebagian telah berpihak terhadap pemerintah Indonesia adalah golongan Tionghoa peranakan yang umumnya lahir di


(37)

Indonesia. Tionghoa yang ada di Indonesia terbagi menjadi dua yakni Tionghoa totok yang terdiri dari orang Tionghoa yang secara budaya masih Tionghoa. Tionghoa peranakan yang terdiri dari orang Tionghoa yang sudah terasimilasi sebagian kedalam masyarakat Indonesia.

Diantara Tionghoa peranakan inilah di kawasan Pecinan Kota Bandung tidak seluruhnya persepsi mereka menolak sistem KB. Ternyata Tionghoa peranakan ini menyadari manfaat-manfaat dari program KB tersebut. Hanya saja sifat eksklusif yang tadi diungkapkan masih membuat mereka bersifat tertutup. Mereka menggunakan KB Mandiri dengan dukungan ekonomi yang telah mapan dari usahanya. Mereka pergi ke dokter-dokter spesialis swasta dan umumnya sendiri-sendiri tanpa melalui petugas PLKB di lingkungannya. Hal demikian diakibatkan karena mereka belum percaya seluruhnya terhadap petugas PLKB di lapangan. Hal tersebut menandakan bahwa apresiasi sikap partisipasi mereka terhadap program pemerintah masih lemah. Dengan demikian perbaikan-perbaikan di dalam memberikan rasa yakin terhadap program KB ini perlu ditingkatkan lebih baik lagi. Selain dari upaya pemerintah dalam memberikan stimulus persepsi yang menjanjikan melalui berbagai macam media komunikasi, juga harus dibarengi dengan perbaikan-perbaikan di dalam memberikan pelatihan-pelatihan kemampuan dan profesionalitas para PLKB di lapangan.

Adapun faktor pendorong yang mempengaruhi partisipasi mereka terhadap program keluarga berencana adalah masa subur dan usia saat menikah; tingkat pendidikan yang maju; profesi wanita; dan semakin meningkatnya tuntutan kebutuhan. Sedangkan faktor yang bersifat menghambat terhadap program keluarga berencana adalah masih kuatnya tradisi lama; sikap politik menambah jumlah golongan; dan kelainan dalam penggunaan KB.

Masa subur dan usia saat menikah ikut menentukan keputusan dari para wanita Tionghoa untuk menggunakan alat kontrasepsi. Mengingat wanita memiliki batasan masa subur yakni usia 15 hingga 40 tahun. Dengan mempertimbangkan kemungkinan memiliki anak lagi di dalam masa tuanya hal tersebut bukanlah hal yang bisa ditangani dengan mudah. Oleh karena itu, mereka memilih untuk menggunakan alat kontrasepsi dalam menbatasi kehamilannya. Selain itu tingkat pendidikan yang mereka miliki juga ikut berpengaruh terhadap pengambilan keputusan untuk menggunakan KB. Golongan yang berpendidikan dari golongan etnis Tionghoa ini menyadari pentingnya KB untuk


(1)

lain. Bila sifat itu terus dipelihara maka akan sangat berbahaya untuk kelangsungan persatuan bangsa.

Karena sikapnya yang superioritet demikian masyarakat Tionghoa yang ada di kawasan Pecinan Kota Bandung kurang terbuka dengan lingkungan sekitarnya. Sikap partisipasi mereka terhadap program-program pemerintah yang ada dilingkungannya kurang di tanggapi secara serius. Dalam hal ini, khususnya program keluarga berencana yang gencar diusahakan pemerintah saat itu. Pemerintah Presiden Soeharto tahun 1967 mencanangkan bahwa perlu adanya program pemecahan laju pertumbuhan penduduk melalui program KB nasional. Keputusan itu sekaligus tindak lanjut dari kesepakatan internasional dalam Deklarasi Kependudukan PBB (1967) New York.

Keluarga berencana dalam arti membatasi kelahiran perlu dilaksanakan di daerah yang padat penduduknya, sedangkan bagi daerah yang masih luas tanahnya, KB berarti merencanakan kelahiran demi kesehatan ibu dan anak serta kesejahteraan keluarga. Dan KB juga merupakan salah satu jalan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Pemerintah merasa program keluarga berencana ini sangat erat kaitanya dengan sarat pembangunan ekonomi. Akan tetapi yang terjadi adalah golongan etnis Tionghoa ini lebih peduli terhadap bisnis dan usahanya saja. Sikap eksklusif mereka telah membatasi proses integrasi bangsa didalamnya, khususnya antara Tionghoa dan pribumi. Semakin lama mereka untuk terbuka terhadap yang lain, maka kecurigaan diantara keduanya semakin menguat pula.

Kedudukan politik mereka juga di Indonesia kurang strategis. Sejarah Indonesia menggambarkan bahwa masyarakat etnis Tionghoa ini lebih mengutamakan bisnis daripada kepentingan politik, kecuali kepentingan politik itu menyangkut usaha dan bisnisnya. Mereka mendukung siapapun peminpinnya selama kepentingan-kepentingan ekonomi dan usahanya tidak terusik. Sikap tersebut didasari pula karena rasa nasionalisme mereka terhadap pemerintahan Indonesia yang lemah. Mereka masih ada kecenderungan menganggap bahwa mereka masih bagian dari negeri leluhurnya. Mereka menganggap dirinya di bumi Indonesia hanya sebagai kelompok pendatang, dan hanya sementara. Kelompok yang masih berfikiran seperti itu adalah para golongan Tionghoa totok yang umumnya fanatisme terhadap negeri leluhurnya masih kuat.

Adapun diantara mereka yang sikap politiknya sebagian telah berpihak terhadap pemerintah Indonesia adalah golongan Tionghoa peranakan yang umumnya lahir di


(2)

Indonesia. Tionghoa yang ada di Indonesia terbagi menjadi dua yakni Tionghoa totok yang terdiri dari orang Tionghoa yang secara budaya masih Tionghoa. Tionghoa peranakan yang terdiri dari orang Tionghoa yang sudah terasimilasi sebagian kedalam masyarakat Indonesia.

Diantara Tionghoa peranakan inilah di kawasan Pecinan Kota Bandung tidak seluruhnya persepsi mereka menolak sistem KB. Ternyata Tionghoa peranakan ini menyadari manfaat-manfaat dari program KB tersebut. Hanya saja sifat eksklusif yang tadi diungkapkan masih membuat mereka bersifat tertutup. Mereka menggunakan KB Mandiri dengan dukungan ekonomi yang telah mapan dari usahanya. Mereka pergi ke dokter-dokter spesialis swasta dan umumnya sendiri-sendiri tanpa melalui petugas PLKB di lingkungannya. Hal demikian diakibatkan karena mereka belum percaya seluruhnya terhadap petugas PLKB di lapangan. Hal tersebut menandakan bahwa apresiasi sikap partisipasi mereka terhadap program pemerintah masih lemah. Dengan demikian perbaikan-perbaikan di dalam memberikan rasa yakin terhadap program KB ini perlu ditingkatkan lebih baik lagi. Selain dari upaya pemerintah dalam memberikan stimulus persepsi yang menjanjikan melalui berbagai macam media komunikasi, juga harus dibarengi dengan perbaikan-perbaikan di dalam memberikan pelatihan-pelatihan kemampuan dan profesionalitas para PLKB di lapangan.

Adapun faktor pendorong yang mempengaruhi partisipasi mereka terhadap program keluarga berencana adalah masa subur dan usia saat menikah; tingkat pendidikan yang maju; profesi wanita; dan semakin meningkatnya tuntutan kebutuhan. Sedangkan faktor yang bersifat menghambat terhadap program keluarga berencana adalah masih kuatnya tradisi lama; sikap politik menambah jumlah golongan; dan kelainan dalam penggunaan KB.

Masa subur dan usia saat menikah ikut menentukan keputusan dari para wanita Tionghoa untuk menggunakan alat kontrasepsi. Mengingat wanita memiliki batasan masa subur yakni usia 15 hingga 40 tahun. Dengan mempertimbangkan kemungkinan memiliki anak lagi di dalam masa tuanya hal tersebut bukanlah hal yang bisa ditangani dengan mudah. Oleh karena itu, mereka memilih untuk menggunakan alat kontrasepsi dalam menbatasi kehamilannya. Selain itu tingkat pendidikan yang mereka miliki juga ikut berpengaruh terhadap pengambilan keputusan untuk menggunakan KB. Golongan yang berpendidikan dari golongan etnis Tionghoa ini menyadari pentingnya KB untuk


(3)

kesejahteraan keluarga mereka. Mereka lebih bisa menentukan secara kritis akan masadepan kehidupan keluarganya. Selain penjarangan kehamilan dapat memsejahterakan keluarga dari segi materi, program KB juga ikut mensejahterakan kesehatan Ibu dan Anak. Pada golongan masyarakat Tionghoa yang telah mendapat pendidikan menengah dan tinggi, serta dengan dibarengi kemampuan ekonomi tinggi. Mereka cenderung akan lebih banyak berpartisipasi dalam pelaksanaan cara-cara keluarga berencana. Akan tetapi golongan masyarakat Tionghoa yang berpendidikan rendah dan tingkat kehidupannya kurang berhasil, relatif partisipasinya terhadap cara-cara pelaksanaan program keluarga berencana sedikit sekali.

Selain tingkat pendidikan, pekerjaan dari wanita Tionghoa itu sendiri juga mempengaruhi keputusan untuk membatasi jumlah anak dalam keluarganya. Nampaknya, wanita yang memiliki pekerjaan diluar rumah akan mempertimbangkan ulang untuk memiliki banyak anak. Hal tersebut diakibatkan karena akan mengganggu efektivitas waktu yang dia butuhkan untuk pekerjaannya. Selain itu biaya pengeluaran untuk mempunyai anak dan mendidiknya jelas akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Menjamin kebutuhan sehari-harinya, kebutuhan pendidikannya yang saat itu pendidikan Sekolah Dasar pun belum ada subsidi dari pemerintah, belum saat anak itu sakit, dan lain hal sebagainya. Maka atas dasar tekanan ekonomi inilah juga apabila memiliki banyak anak harus dipertimbangkan ulang.

Selain hal-hal diatas yang telah disebutkan, faktor penghambat dalam kehidupan sosial budaya juga ikut mempengaruhi keputusan-keputusan dalam melakuka praktek keluarga berencana. Diantaranya adalah masih kuatnya kehidupan tradisi lama. Pada umumnya semua golongan masyarakat Tionghoa baik yang telah mendapatkan pendidikan tinggi, menengah, apalagi pada tarap pendidikanya rendah. Faktor nilai-nilai pola kehidupan budaya lama, masih sangat memegang peranan penting. Hal tersebut menyebabkan partisipasi terhadap cara-cara KB belum didasarkan atas perhitungan yang objektif. Keadaan ini diperkuat dengan adanya struktur kehidupan kekeluargaan pola kehidupan tradisional kuno, dimana tugas dari seorang anak laki-laki harus mengurusi abu leluhur. Sehingga memiliki anak laki-laki menjadi suatu keharusan untuk dapat dikatakan berbakti kepada leluhur mereka. dimana orang tua para pendukaung kebudayaan lama, yang mereka hormati masih ikut juga mengatur


(4)

kehidupan keluarga anaknya. Salah satunya memberikan persepsi yang negatif terhadap program KB.

Perlu diingat pula mereka di Indonesia ini merupakan entis pendatang, kemudian saat awal masa Orde Baru pemerintahan Soeharto sangat sensitif kecurigaannya terhadap golongan Tionghoa ini. Hal tersebut diakibatkan banyak kecurigaan mereka lebih berpihak kepada negeri leluhurnya, yaitu Tiongkok (komunis). Sehingga partisipasi golongan Tionghoa ini dibatasi dalam hal politik. Kuat dugaan golongan minoritas ini lebih berupaya untuk menambah jumlah golongannya, sehingga kekuatan politiknya semakin tinggi untuk mengimbangi pribumi.

Pada awal masa perintisan implementasi program KB, masih maraknya ditemukan kelainan yang diakibatkan ketidakcocokan saat memilih alat kontasepsi seperti rambut rontok, tekanan darah menjadi tinggi, badan menjadi gemuk atau menjadi kurus kering, rusaknya kulit terutama pada muka hingga menyebabkan pendarahan. Hal demikian ikut mengakibatkan rasa takut dan ragu-ragu dalam mengambil keputusan menggunakan alat kontrasepsi. Oleh karena keadaanya yang masih demikian, maka sebaiknya penerangan cara-cara pelaksanaan KB dipergiat dan diperluas. Baik secara formal maupun melalui lembaga-lembaga informal yang banyak hubungannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian segala hambatan dan pertimbangan masyarakat yang bersifat negatif itu dapat berangsur-angsur dihindarkan. Demikian juga kesalahan penggunaan yang menimbulkan kelainan-kelainan pada akseptor juga dapat dihindarkan.

Fakta bahwa KB sampai saat ini bagi warga WNA Tionghoa tidak menjadi keharusan, dengan demikian harus ada upaya sistematis dan terarah agar masyarakat WNA Tionghoa yang ada di Pecinan Kota Bandung ikut juga melaksanakan KB. Diharapkan untuk kedepannya baik WNI maupun WNA Tionghoa akan merata melaksanakan KB dalam rangka ikut mengendalikan pertumbuhan penduduk, agar tidak terjadi ledakan penduduk di Indonesia.

5.2 Saran

1. Bagi Warga Etnis Tionghoa

Saran bagi warga etnis Tionghoa, khususnya yang ada di daerah Pecinan Kota Bandung hendaknya sebagai WNI bersedia untuk partisipasi dalam setiap program


(5)

pemerintah. Warga etnis Tionghoa harus mau membuka diri terhadap lingkungan. Sifat eksklusif yang melekat pada golongan etnis Tionghoa harus dihilangkan. Sebab pembauran sosial-budaya dengan meleburnya budaya para pendatang kedalam budaya bangsa Indonesia akan memperkuat kita sebagai bangsa yang majemuk. Selain itu warga etnis Tionghoa sendiri harus memiliki sifat dan sikap menghormati terhadap kultur budaya suatu bangsa, seperti dalam pepatah ”dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”.

2. BKKBN

Kegiatan program KB dewasa ini telah melemah, hendaknya pemerintah melalui BKKBN menghidupkan kembali kejayaan KB yang dulu pernah bersinar. Sekarang program KB sudah tidak terdengar lagi. Pemerintah mulai lengah dengan kemungkinan terburuk terjadi ledakan penduduk. Dengan laju pertumbuhan penduduk yang terus bertambah bukan tidak mungkin daya tampung negeri ini akan semakin habis.

Inovasi terhadap pelaksanaan program KB pada masyarakat Tionghoa juga harus ditingkatkan. Agar masyarakat Tionghoa merasa nyaman dalam mengikuti program-program yang diusahakan oleh pemerintah. Selain itu perlu adanya pembekalan PLKB mengenai pemahaman dalam sektor budaya tertentu yang khusus. Bila perlu PLKB yang bertugas adalah dari etnis Tionghoa itu sendiri. karena sektor yang paling penting adalah pekerja lapangannya yang menjadi ujung tombak dalam mengajak masyarakat turut aktif, serta kritis dalam program kependudukan ini.

3. Bagi Dunia Pendidikan

Hendaknya pengetahuan tentang “Pendidikan Kependudukan” yang dulu telah hilang dalam kurikulum pembelajaran dihidupkan kembali. Karena pada hakikatnya pengetahuan tentang pentingnya pengendalin penduduk harus di terapkan kepada masyarakat dari waktu sedini mungkin. Agara masyarakat pada umumnya memahami bahwa kematangan dalam membangun rumah tangga dan memutuskan untuk mempunyai anak harus di pertimbangkan dengan matang. Pemahaman sedini mungkin akan dapat membentuk masyarakat yang cerdas dan lebih dewasa dalam memasuki usia perkawinan.


(6)

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian membahas mengenai partisipasi masyarakat Tionghoa terhap program Keluarga Berencana masih belum banyak dibahas, topik penelitian ini masih banyak yang harus digali lebih dalam lagi, terutama menyangkut sektor sosial-kulturalnya. Hal demikian itu dapat dijadikan bahan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.