ANALISIS MINIMALISASI BIAYA TARGET CONTROLLED INHALATIONAL ANESTHESIA (TCIA) SEVOFLURAN DAN TARGET CONTROLLED INFUSION (TCI) PROPOFOL PADA PASIEN OPERASI BEDAH MAYOR ONKOLOGI DI RSUP SANGLAH DENPASAR.

(1)

TESIS

ANALISIS MINIMALISASI BIAYA

TARGET

CONTROLLED INHALATIONAL ANESTHESIA

(TCIA)

SEVOFLURAN DAN

TARGET CONTROLLED

INFUSION

(TCI) PROPOFOL PADA PASIEN

OPERASI BEDAH MAYOR ONKOLOGI

DI RSUP SANGLAH DENPASAR

GEDE SEMARAWIMA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

i

CONTROLLED INHALATIONAL ANESTHESIA

(TCIA)

SEVOFLURAN DAN

TARGET CONTROLLED

INFUSION

(TCI) PROPOFOL PADA PASIEN

OPERASI BEDAH MAYOR ONKOLOGI

DI RSUP SANGLAH DENPASAR

GEDE SEMARAWIMA NIM 1114108203

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

ii

ANALISIS MINIMALISASI BIAYA

TARGET

CONTROLLED INHALATIONAL ANESTHESIA

(TCIA)

SEVOFLURAN DAN

TARGET CONTROLLED

INFUSION

(TCI) PROPOFOL PADA PASIEN

OPERASI BEDAH MAYOR ONKOLOGI

DI RSUP SANGLAH DENPASAR

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana

GEDE SEMARAWIMA NIM 1114108203

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL 20 APRIL 2016

Pembimbing I,

Prof. Dr. dr. Made Wiryana, Sp.An, KIC, KAO NIP. 19540504 198103 1 004

Pembimbing II,

dr. I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa, Sp.An, KAR NIP. 19761003 201012 1 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK NIP. 19580521 198503 1 002

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP. 19590215 198510 2 001


(5)

iv

Tesis ini Telah Diuji Pada Tanggal 19 April 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No: 1600/UN14.4/HK/2016 Tanggal 15 April 2016

Ketua : Prof. Dr. dr. Made Wiryana, Sp.An, KIC, KAO

Anggota : 1. dr. I Gusti Putu Sukrana Sidemen, Sp.An, KAR

2. Dr. dr. I Putu Pramana Suarjaya, Sp.An, M.Kes, KMN, KNA 3. dr. I Made Gede Widnyana, Sp.An, M.Kes, KAR


(6)

(7)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas asung kerta wara nugraha-Nya maka tesis ini dapat diselesaikan.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. dr. Made Wiryana, SpAn, KIC, KAO dan dr. I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa, Sp.An, KAR selaku pembimbing tesis, dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid selaku pembimbing statistik, atas bimbingan, dukungan, tuntunan dan saran dengan penuh kesabaran dan perhatian dalam penyusunan tesis ini.

Kepada dr. I Made Subagiartha, Sp.An, KAKV, SH selaku pembimbing akademis, penulis mengucapkan terimakasih atas bimbingan, dukungan semangat, pengajaran, pencerahan rohani, dan masukan saran selama menjalani proses pendidikan.

Ucapan terimaksih penulis sampaikan atas kesempatan, bimbingan, dukungan, fasilitas dalam mengikuti dan menyelesaikan pendidikan ini kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD, KEMD selaku Rektor Universitas Udayana (Unud); Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Unud; dr. I Nyoman Semadi, Sp.B. Sp.BTKV selaku Ketua Tim Koordinasi Pelaksanaan Program Pendidikan Dokter Spesialis I FK Unud; dr. Anak Ayu Istri Saraswati, M.Kes selaku Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar; Prof. Dr. dr. Anak Agung Raka Sudewi, Sp.S (K) selaku Direktur Program Pascasarjana Unud; Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna


(8)

vii

Pinatih, M.Sc, Sp.GK selaku Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Unud; dr. I Ketut Sinardja, Sp.An, KIC selaku Kepala Bagian/SMF Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar; dr. Ida Bagus Gde Sujana, Sp.An, M.Si selaku Sekretaris Bagian/SMF Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar; Prof. Dr. dr. Made Wiryana, Sp.An, KIC, KAO selaku Ketua Program Studi Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud; dr. I Made Gede Widnyana, Sp.An, KAR, M.Kes selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud.

Kepada seluruh Guru: dr. I Wayan Sukra, Sp.An, KIC; dr. I Made Subagiartha, Sp.An, KAKV, SH; dr. I Gusti Putu Sukrana Sidemen, Sp.An, KAR; Dr. dr. I Wayan Suranadi, SpAn, KIC; dr. I Gede Budiarta, Sp.An, KMN; Dr. dr. I Putu Pramana Suarjaya, Sp.An, KMN, KNA, M.Kes; dr. I Putu Agus Surya Panji, Sp.An, KIC; dr. I Wayan Aryabiantara, Sp.An, KIC; dr. Dewa Ayu Mas Shintya Dewi, Sp.An; dr. I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa, Sp.An, KAR; dr. I Gusti Agung Gede Utara Hartawan, Sp.An, MARS; dr. Pontisomaya Parami, Sp.An, MARS; dr. I Putu Kurniyanta, Sp.An; dr. Kadek Agus Heryana Putra, Sp.An; dr. Cynthia Dewi Sinardja, Sp.An, MARS; dr. I Made Agus Kresna Sucandra, Sp.An; dr. Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan, Sp.An, M.Kes; dr. Tjahya Aryasa E. M., Sp.An; penulis mengucapkan terimakasih yang tulus dan penghargaan atas bimbingan, tuntunan selama mengikuti pendidikan dan menyelesaikan tesis ini.

Terimakasih kepada Pemerintah Kabupaten Ende atas penugasan belajar dan dukungan finansial berupa dana belajar selama penulis menjalani pendidikan sehingga meringankan beban penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.


(9)

viii

Kepada seluruh teman sejawat residen anestesi FK Unud, terutama rekan seperjuangan dr. Anak Agung Gde Putra Semara Jaya, dr. Peregrinus Prajogi, dr. Happy Rosyalynda, dr. Marilaeta Cindryani, dr. Elisma Nainggolan, dan dr. Andi Kusuma Wijaya, penulis mengucapkan terimakasih atas dukungan dan kebersamaan yang telah kita jalani.

Kepada Ibu Ni Ketut Santi Diliani, SH dan seluruh staf karyawan di Bagian/SMF dan Program Studi Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar, penulis mengucapkan terima kasih atas semua bantuannya selama menjalani program pendidikan dokter spesialias ini, kepada segenap penata anestesi, paramedis dan semua karyawan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu selama proses pendidikan ini.

Kepada Bapak Nengah Senila dan Ibu Ni Luh Mika selaku orang tua yang telah merawat dan membesarkan penulis dengan kasih sayang yang tanpa pamrih serta penuh kesabaran memberikan dukungan semangat dan doa supaya penulis dapat menjalani dan menyelesaikan studi ini dengan baik. Kepada istri tercinta Ni Luh Sri Abdi Utami, SKM dan anak-anak terkasih Gede Lionanda Nugraha Wima, Ni Kadek Anindya Putri Wima, Komang Krishnanda Prasaja Wima, yang telah dengan sabar memberikan semangat dan dorongan sehingga penulis bisa menyelesaikan proses pendidikan ini. Kepada saudara penulis Made Suyantayoga, SE dan Cok Istri Oktia Dewi, terimakasih atas dukunganya selama ini. Kepada Bapak Wayan Budi, SH dan Ibu Ni Putu Yuniati, S.Pd selaku mertua yang telah memberikan semangat, dorongan, dukungan spiritual maupun finansial dan doa supaya penulis dapat menjalani dan menyelesaikan tepat waktu.


(10)

ix

Serta terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pasien yang menjadi

“sumber ilmu” selama penulis menjalani proses pendidikan ini.

Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan berkat dan rahmat-Nya kepada semua pihak yang tertulis di atas maupun yang tidak tertulis, yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis selama proses pendidikan dan penyusunan tesis ini.

Denpasar, Maret 2016 dr. Gede Semarawima


(11)

x

ABSTRAK

ANALISIS MINIMALISASI BIAYA TARGET CONTROLLED INHALATIONAL ANESTHESIA (TCIA) SEVOFLURAN DAN TARGET CONTROLLED INFUSION (TCI) PROPOFOL PADA PASIEN OPERASI

BEDAH MAYOR ONKOLOGI DI RSUP SANGLAH DENPASAR

Analisis minimalisasi biaya merupakan kajian farmakoekonomi yang digunakan untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang telah dibuktikan memiliki efek yang sama, serupa atau setara. Dengan terbatasnya anggaran biaya untuk jaminan kesehatan dalam penerapan Sistem Jaminan Sosial Nasional pada tahun 2015, maka aspek pengendalian mutu sekaligus biaya obat menjadi salah satu hal penting yang mendapatkan perhatian. Sehingga penerapan hasil kajian farmakoekonomi dalam pemilihan dan penggunaan obat secara efektif dan efisien sangat dibutuhkan. Tujuan penelitian ini mengetahui analisis minimalisasi biaya TCIA sevofluran dan TCI propofol pada pasien yang menjalani operasi bedah mayor onkologi di RSUP Sanglah.

Enam puluh pasien ASA I-II yang akan menjalani operasi bedah mayor onkologi dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok A menggunakan anestesi umum TCIA sevofluran dan kelompok B menggunakan anestesi umum TCI propofol dengan monitor bispektral indek untuk memantau kedalaman anestesi. Uji statistik menggunakan uji Shapiro-Wilk, uji Lavene, uji Mann-Whitney U dan uji t tidak berpasangan (dengan derajat kemaknaan < 0,05). Analisis data menggunakan program Statistical Package for Social Sciences for Windows (SPSS Inc. Chicago, Illionis, USA), versi 20.

Pada penelitian ini didapatkan rasio penggunaan obat persatuan waktu kelompok A 0,12 (±0,03) ml per menit dan kelompok B 7,25 (±0,98) mg per menit. Biaya obat anestesi umum pada kelompok A Rp. 598,43 (IQR 112,47) per menit. Pada kelompok B Rp. 703,27 (IQR 156,73) per menit (p > 0,05).

Disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna dari analisis minimalisi biaya obat anestesi umum pada operasi bedah mayor onkologi menggunakan TCIA sevofluran dan TCI propofol.


(12)

xi

ABSTRACT

COST MINIMIZATION ANALYSIS OF TARGET CONTROLLED INHALATION ANESTHESIA (TCIA) SEVOFLURANE AND TARGET

CONTROLLED INFUSION (TCI) PROPOFOL MAJOR SURGERY ONCOLOGY PATIENTS at SANGLAH HOSPITAL

Cost minimization analysis is a pharmaco-economic study used to compare two or more health interventions that have been shown to have the same effect, similar or equivalent. With limited health insurance budget from the National Social Security System implementation in 2015, the quality control and drugs cost are two important things that need to be focused. The application of pharmaco-economic study results in the selection and use of drugs more effectively and efficiently. The purpose of this study is to determine cost minimization analysis TCIA general anesthetic sevoflurane and propofol TCI in patients underwent major surgical oncology at Sanglah Hospital.

Sixty ASA I-II patients underwent major oncologic surgery were divided into two groups. Group A was using general anesthetic sevoflurane TCIA and group B using a general anesthetic propofol TCI with bispectral index monitor to monitor the depth of anesthesia. Statistical test using the Shapiro-Wilk test, Lavene test, Mann-Whitney U test and unpaired t-test (with significance level < 0.05). The data analysis used the Statistical Package for Social Sciences for Windows (SPSS Inc., Chicago, Illinois, USA) version 20.

In this study, the rate of drug used per unit time in group A was 0.12 (± 0.03) ml per minute and the group B was7.25 (±0.98) mg per minute. Total cost of general anesthetics in group A was Rp. 598.43 (IQR 112.47) per minute. In group B was Rp. 703.27 (IQR 156.73) per minute (p > 0.05).

It was concluded that there was no significant difference from the analysis of drug cost minimization general anesthesia in major oncologic surgery using TCIA sevoflurane and propofol TCI.


(13)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v

UCAPAN TERIMAKASIH ... vi

ABSTRAK ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xxiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... …. 1

1.2 Rumusan Masalah ... ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... ... 5


(14)

xiii BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Farmakoekonomi... 10

2.1.1 Analisis Minimalisasi Biaya ... 12

2.2 Anestesi Inhalasi ... 13

2.3 Target Controlled Inhalational Anesthesia (TCIA) ... 18

2.3.1 Mekanisme Dari TCIA. ... ... 23

2.3.2 Anestesi Dengan Fresh Gas Flow Yang Rendah ... 26

2.3.3 Farmakoekonomi TCIA ... 28

2.4 Anestesia Intravena ... 33

2.4.1 Mekanisme Kerja Propofol. ... ... 37

2.4.2 Strutur Bangun dan Karakteristik Propofol... 37

2.4.3 Farmakokinetik Propofol ... 38

2.4.4 Farmakodinamik Propofol ... 40

2.4.5 Efek Samping Propofol ... 44

2.4.6 Kontra Indikasi Propofol ... 46

2.4.7 Propofol Related Infusion Syndrome (PRIS) ... 46

2.5 Target Controlled Infusion (TCI) Propofol ... 48

2.5.1 Model Marsh. ... ... 54

2.5.2 Model Schnider ... 55

2.5.3 Target Konsentrasi Plasma Dan Konsentrasi Effect Site Propofol Target Controlled Infusion ... 56

2.5.4 Farmakoekonomi Target Controlled Infusion Propofol ... 57


(15)

xiv

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir ... 66

3.2 Kerangka Konsep ... 68

3.3 Hipotesis Penelitian ... 68

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian ... 69

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 70

4.3 Penentuan Sumber Data ... 70

4.3.1 Populasi Sampel ... 70

4.3.2 Sampel Penelitian ... 70

4.3.3 Kriteria Eligibilitas ... 71

4.3.4 Tehnik Pengambilan Sampel ... 72

4.3.5 Perhitungan Besar Sampel ... 72

4.4 Variabel Penelitian ... 73

4.5 Definisi Operasional Variabel ... 74

4.6 Instrumen Penelitian ... 77

4.7 Prosedur Penelitian ... 77

4.7.1 Persiapan Penelitian ... 77

4.7.2 Penapisan Pasien ... 78

4.7.3 Pelaksanaan Penelitian ... 78

4.8 Cara Kerja ... 78

4.9 Analisis Data ... 85


(16)

xv BAB V HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik Sampel Penelitian ... 87

5.2 Perbandingan Lama Operasi, Anestesi, Total Penggunaan Obat ... 89

5.3 Perbandingan Stabilitas Hemodinamik ... 90

5.4 Perbandingan Waktu Pulih Sadar... 95

5.5 Analisis Minimalisasi Biaya TCIA Menggunakan Sevofluran dan Biaya TCI Menggunakan Propofol ... 97

BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Sampel Penelitian ... 101

6.2 Perbandingan Lama Operasi, Anestesi, Total Penggunaan Obat ... 102

6.3 Perbandingan Stabilitas Hemodinamik ... 104

6.4 Perbandingan Waktu Pulih Sadar... 108

6.5 Analisis Minimalisasi Biaya TCIA Menggunakan Sevofluran dan Biaya TCI Menggunakan Propofol ... 109

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ... 113

7.1 Saran ... 113

DAFTAR PUSTAKA ... 115


(17)

i

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Daftar Harga Obat dan Harga per-satuan per-Desember 2015 (sumber : Instalasi Farmasi RSUP Sanglah Denpasar) ... 59 Tabel 5.1 Karakteristik Sampel Penelitian Berdasarkan Kelompok

Perlakuan ... 89 Tabel 5.2 Perbandingan Lama Operasi, Lama Amestesi dan Total

Penggunaan Obat Berdasarkan Kelompok Perlakuan ... 90 Tabel 5.3.1 Perbandingan Tekanan Arteri Rerata Basal, Pascainduksi dan

Pascaintubasi Berdasarkan Kelompok Perlakuan ... 91 Tabel 5.3.2 Perbandingan Laju Nadi Basal, Pascainduksi dan

Pascaintubasi Berdasarkan Kelompok Perlakuan ... 93 Tabel 5.3.3 Perbandingan Kejadian Hipotensi Pascainduksi Berdasarkan

Kelompok Perlakuan ... 95 Tabel 5.4 Perbandingan Waktu Pulih Sadar Berdasarkan Kelompok

Perlakuan ... 95 Tabel 5.5 Perbandingan Biaya TCIA Sevofluran dan TCI Propofol ... 98


(18)

xvii

DAFTAR GAMBAR

2.1 (a) Skema Diagram dari Sistem Sirkuit Pernafasan Anestesi Tradisional (b) Skema Diagram Sirkuit Pernafasan Anestesi dengan End Tidal Control. (Dikutif dari GE Healthcare

2014)... 22

2.2 Foto Mesin Anestesi Drager Zeus® Infinity® Empowered... 24

2.3 Foto Mesin Anestesi AISYS Carestation.. ... 24

2.4 Foto Mesin Anestesi Drager Primus® .. ... 25

2.5 Foto Layar Monitor End Tidal Control pada Mesin Anestesi Drager Primus (Dikutif dari Drager Werk AG & Co. KGaA, 2015)…... 25

2.6 Three Compartment Model (Dikutif dari Naidoo, 2011) ... 54

2.7 Skema Three Compartment Pharmacokinetic Model (Dikutip dari Naidoo, 2011) ... 54

2.8 Foto Mesin TCI Perfusor Space dari B. Braun yang dimiliki Bagian/SMF Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar ... 55

2.9 Kompleksitas Gambaran Gelombang EEG, Gambaran Gelombang Dianalisa Menggunakan Tipe Gelombang Amplitude (microvolts) dan Frekuensi (cycles/second-Hz) (Dikutip dari Billard dkk, 2001)... ... 61


(19)

xviii

2.10 Pola Umum dari Perubahan EEG yang Diobservasi Selama Peningkatan Dosis dari Anestesi dengan Peningkatan Efek Anestesi, Frekuensi EEG Menunjukkan Penurunan Menghasilkan Pola Transisi Frekuensi Bergantung Kelas: Beta, Alfa, Theta, Delta

(Dikutif dari Billard dkk, 2001) ... ... 62

2.11 Panduan Skala BIS Indek Bispektral Indek adalah Skala dari 100 (Terjaga, Respon Terhadap Suara Normal) sampai 0 (Menunjukkan Keadaan Isoelektrik, Garis Flat EEG) (Dikutip dari Billard dkk, 2001) ... 64

3.1 Bagan Kerangka Konsep ... 68

4.1 Bagan Rancangan Penelitian ... 69

4.2 Bagan Alur Penelitian ... 82

4.3 Bagan Alur Penelitian Kelompok TCIA Sevofluran ... 83

4.4 Bagan Alur Penelitian Kelompok TCI Propofol ... 84

5.1 Perbandingan Tekanan Arteri Rerata Basal, Pascainduksi, dan Pascaintubasi Berdasarkan Kelompok Perlakuan ... 92

5.2 Perbandingan Laju Nadi Basal, Pascainduksi, dan Pascaintubasi Berdasarkan Kelompok Perlakuan ... 94

5.3 Perbandingan Waktu Pulih Sadar ... 96


(20)

xix

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG Α : Alfa

AMiB : Analisis minimalisasi biaya AEB : Analisis efektivitas biaya AUB : Analisis utilitas biaya AMB : Analisis manfaat biaya

ASA : American Society of Anesthesiology BA : Bioavaibilitas

BB : Berat badan BE : Bioekuivalen BIS : Bispectral index

CACI : Computer assisted continuous infusion CATIA : Computer assisted total intravenous system Ce : Effect site concentration

Cp : Concentration in plasma DEPKES : Departemen Kesehatan dL : Desiliter

ECMO : Extra corporeal membrane oxygenation EEG : Electroencephalogram

ET : End tidal

FDA : Food and Drug Administration FGF : Fresh gas flow


(21)

xx

gr : Gram

HET : Harga eceran tertinggi IBS : Instalasi bedah sentral im : Intramuscular

IMT : Indek massa tubuh iv : Intravena

Kg : Kilogram

kg/m2 : Kilogram per meter persegi kgBB : Kilogram berat badan KTP : Kartu tanda penduduk L : Liter

NMDA : N-methyl-D-aspartate N2O : Nitrous oxide

NSAID : Non steroid anti inflammatory drug MAC : Minimum alveolar concentration MAP : Mean arterial pressure

MCI : Manually controlled infusion mcg : Microgram

mg : Miligram mL : Milliliter

mmHg : Millimeter air raksa MW : Molecul weight MV : Minute volume


(22)

xxi

O2 : Oksigen

ODC : One day care

OGB : Obat generik berlogo

PaCO2 : Tekanan parsial karbon dioksida arteri

PIC : Patient interface cable

PONV : Post operative nausea vomiting PRIS : Propofol related infusion syndrome QALYs : Quality adjusted life years

RL : Ringer lactate

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat SD : Standar deviasi

SIM : Surat ijin mengemudi

SJSN : Sistem Jaminan Sosial Nasional SSP : Susunan saraf pusat

SVR : Sistemic vascular resistence TAR : Tekanan arteri rerata

TB : Tinggi badan

TCA : Target controlled anesthesia TCI : Target controlled infusion

TCIA : Target controlled inhalational anesthesia TEE : Tranesophageal echocardiography TD : Tekanan darah


(23)

xxii 0

C : Derajat celcius µ : Miu

% : Persen

› : lebih dari

‹ : kurang dari $ : Dollar Amerika


(24)

xxiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Keterangan Kelaikan Etik ... 120 Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian ... 121 Lampiran 3. Penjelasan dan Infromasi ... 122 Lampiran 4. Persetujuan Berpartisipasi dalam Penelitian Klinis ... 125 Lampiran 5. Lembar Penelitian ... 126 Lampiran 6. Lembar Hasil Evaluasi ... 131 Lampiran 7. Data Hasil Penelitian ... 135 Lampiran 8. Analisis Statistik ... 139


(25)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada era reformasi kesehatan, kemampuan untuk menunjukkan angka ekonomis dari suatu teknologi yang baru adalah penting. Reformasi pelayanan kesehatan memberikan tekanan lebih bagi dokter ahli anestesi untuk menentukan dampak biaya dari strategi anestesia, obat baru, dan teknologi baru. Biaya dari anestesia terdiri dari biaya langsung dan tidak langsung. Langkah awal perhitungan biaya yang tepat adalah dengan menghitung semua biaya langsung untuk teknik anestesi yang digunakan.

Farmakoekonomi adalah ilmu yang mengukur biaya dan hasil yang diperoleh dihubungkan dengan penggunaan obat dalam perawatan kesehatan. Farmakoekonomi juga didefinisikan sebagai deskripsi dan analisis dari biaya terapi dalam suatu sistem pelayanan kesehatan. Lebih spesifik lagi adalah sebuah penelitian tentang proses identifikasi, mengukur dan membandingkan biaya, resiko dan keuntungan dari suatu program, pelayanan dan terapi. Salah satu evaluasi farmakoekonomi adalah analisis minimalisasi biaya yang merupakan metode kajian farmakoekonomi paling sederhana, analisis minimalisasi biaya hanya dapat digunakan untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan, termasuk obat, yang memberikan hasil yang sama, serupa, atau setara atau dapat diasumsikan setara. Karena hasil pengobatan dari intervensi


(26)

diasumsikan sama, yang perlu dibandingkan hanya satu sisi, yaitu biaya (Walley dkk, 1991; Gattani dkk, 2009; Areda dkk, 2011).

Secara umum di Indonesia ilmu farmakoekonomi sudah mulai digunakan juga untuk pengambilan keputusan penggunaan obat. Dalam penerapan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada tahun 2015, termasuk untuk jaminan kesehatan, dengan terbatasnya anggaran yang tersedia, maka aspek pengendalian mutu dan penggunaan obat secara efektif dan efisien sangat dibutuhkan, bukan hanya oleh pemerintah, namun juga bagi industri, pendidikan, dan lain-lain.

Studi farmakoekonomi di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah belum banyak dilakukan. Biaya obat anestesi yang besar selalu menjadi permasalahan di bidang manajemen. Seperti kita ketahui bersama bahwa pelayanan anestesi umum inhalasi maupun intravena merupakan standar baku yang dikerjakan di Instalasi Bedah Sentral (IBS) RSUP Sanglah. Seiring kemajuan farmakologi dan teknologi maka terdapat berbagai perkembangan tehnik anestesi serta alat monitor kedalaman anestesi yang dapat membantu ahli anestesi dalam menentukan pemakaian obat dan dosis yang sesuai bagi pasien. Pengembangan dari sistem komputerisasi dan tersedianya obat anestesi yang bersifat short acting seperti propofol dan sufentanyl, menjadikan target controlled infusion (TCI) adalah suatu metode yang semakin sering digunakan untuk kepentingan anestesi intravena total (Absalom dkk, 2007). Seiring dengan perkembangan mesin anestesi yang semakin canggih, tehnik anestesi inhalasi juga mengalami kemajuan, target controlled inhalational anesthesia (TCIA) atau yang disebut juga end tidal (ET) control adalah penghantar sistem anestesi yang


(27)

3

tersedia di mesin anestesi yang baru. Ini adalah modalitas sistem penghantar gas anestesi, di mana mesin otomatis menyesuaikan konsentrasi agen anestesi untuk mencapai tingkat target yang diinginkan yang ditetapkan oleh penggunanya. Masalah tingginya biaya dan polusi lingkungan sering dikaitkan dengan anestesi umum, low flow anesthesia adalah salah satu tehnik atau upaya untuk mengurangi permasalahan tersebut (Potdar dkk, 2014). Di RSUP Sanglah generasi mesin anestesi yang bisa menerapkan tehnik TCIA dan low flow anesthesia sudah tersedia yaitu mesin anestesi merek Drager Primus. Demikian juga teknologi monitor kedalamam anestesi juga semakin berkembang, Bispektral Indek (BIS) merupakan salah satu alat monitor kedalaman anestesi yang telah mendapatkan persetujuan penggunaanya secara klinis oleh Food and Drug Administration (FDA) Amerika sejak Oktober 1996 (Johansen dkk, 2000). Wong J dkk, meneliti pada 68 operasi ortopedi berumur lebih dari 60 tahun dengan anestesi umum sevofluran, monitor BIS memfasilitasi penurunan 30% penggunaan sevofluran dan penurunan 26% dari waktu pulih (Absalon dkk, 2002). Tentu saja hal ini membuat biaya penggunaan obat anestesi yang makin ekonomis.

Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah penelitian analisis minimalisasi biaya anestesi umum propofol TCI dan anestesi inhalasi pada operasi bedah onkologi di IBS RSUP Sanglah, secara signifikan berbeda bermakna didapatkan beban biaya yang lebih murah pada anestesi umum menggunakan TCI propofol dibandingkan dengan anestesi inhalasi isofluran (Adi dkk, 2014). Demikian juga pada penelitian sebelumnya yaitu perbandingan biaya intraoperatif tehnik anestesi umum TCI propofol dengan anestesi inhalasi sevofluran, didapatkan perbedaan


(28)

bermakna pada biaya anestesi periode intraoperatif baik dari total biaya, biaya per-pasien maupun biaya per-menit anestesi, dimana tehnik TCI propofol lebih ekonomis dibandingkan tehnik anestesi inhalasi sevofluran. Kejadian hipotensi, waktu pulih sadar, dan kejadian mual muntah paska operasi pada kelompok TCI propofol juga didapatkan rendah dibandingkan dengan kelompok inhalasi sevofluran, dimana faktor-faktor di atas memiliki peranan pula dalam menentukan biaya anestesi intraoperatif (Iswahyudi dkk, 2013). Penelitian tentang analisis minimalisasi biaya low fresh gas flow balanced anesthesia dengan TCI pada operasi laparaskopi kolesistektomi didapatkan biaya yang lebih murah di grup low fresh gas flow balanced anesthesia dengan inhalasi sevoflurane dibandingkan dengan grup TCI propofol (Stevanovic dkk, 2008)

Berdasarkan uraian diatas, maka kami terdorong untuk melakukan penelitian mengenai analisis minimalisasi biaya anestesi umum TCIA manual controlled dengan sevofluran dan TCI dengan propofol di RSUP Sanglah tahun 2016.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan seperti telah disebutkan diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

Tehnik anestesi umum manakah dengan biaya obat anestesi lebih rendah, apakah target controlled inhalational anesthesia dengan sevofluran atau target controlled infusion dengan propofol pada pasien yang menjalani operasi bedah mayor onkologi di RSUP sanglah?


(29)

5

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis minimalisasi biaya obat anestesi umum target controlled inhalational anesthesia sevofluran dengan target controlled infusion propofol pada pasien yang menjalani operasi bedah mayor onkologi di RSUP Sanglah.

1.3.1 Tujuan khusus

Untuk membandingkan biaya obat anestesi umum pada pasien ASA I dan ASA II yang menjalani operasi bedah mayor onkologi dengan tehnik anestesi umum target controlled inhalational anesthesia sevofluran dengan target controlled infusion propofol.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat akademis

1. Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam dunia kedokteran khususnya anestesi dalam penerapan teknik anestesi umum pada operasi bedah onkologi mayor untuk menekan biaya anestesi, menjaga kestabilan hemodinamik dan mempersingkat waktu pulih sadar.

1.4.2 Manfaat praktis

1. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai dasar pemilihan tehnik anestesi umum untuk menekan biaya obat anestesi dan untuk lebih lanjut dapat digeneralisir pemakainya pada jenis operasi lainya.


(30)

2. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan bagi para pengambil kebijakan, baik ditingkat nasional, provinsi dan kabupaten maupun di rumah sakit dalam mengembangkan sistem pelayanan kesehatan berdasarkan kajian farmakoekonomi, dalam rangka pemilihan dan penggunaan obat yang efektif dan efesien khususnya dibidang pelayanan anestesi.


(31)

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Rumah sakit sebagai organisasi publik diharapkan mampu memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu kepada masyarakat. Namun disisi lain rumah sakit secara umum dihadapkan pada masalah pembiayaan, dalam arti alokasi anggaran yang tidak memadai sedangkan pendapatan dari penerimaan masih rendah dan tidak boleh digunakan secara langsung.Kondisi ini akan memberikan dampak serius bagi pelayanan kesehatan di rumah sakit karena sebagai organisasi yang beroperasi setiap hari, likuiditas keuangan merupakan hal utama dan dibutuhkan untuk menjalankan kegiatan operasionalnya (Yudianto dkk, 2009).

Sektor kesehatan memasuki abad ke-21 ditandai dengan globalisasi seperti meningkatnya jumlah penduduk, kemajuan ilmu dan teknologi dibidang kesehatan dan meningkatnya permintaan terhadap pelayanan kesehatan. Hal ini mengakibatkan biaya pelayanan kesehatan dari hari ke hari semakin tinggi. Disisi


(32)

lain terjadinya inflasi menyebabkan semakin tingginya biaya obat-obatan, biaya komponen medik dan non medik pelayanan kesehatan yang canggih seperti air conditioner (AC), karpet, telepon, televisi dan lain-lainnya. Anestesi sebagai salah satu komponen layanan kesehatan di rumah sakit juga tidak lepas berperanan dalam menentukan pembiayaan rumah sakit atau biaya yang harus dibayarkan pasien yang menerima jasa layanan anestesi. Berdasarkan hal tersebut, penting kiranya untuk seorang dokter ahli anestesi mengembangakan teknik-teknik terbaru berdasarkan perkembangan teknologi dan ketersediaan alat serta bahan. Idealnya, seorang dokter ahli anestesi selain menguasai teknologi mutakhir di bidangnya, juga memiliki kemampuan untuk menunjukkan angka ekonomis dari suatu teknologi yang baru tersebut. Anestesiologi pada awalnya hanyalah merupakan disiplin ilmu yang merupakan suatu divisi kecil dari bagian bedah, yang bertugas membantu kelancaran operasi dengan memfasilitasi pembiusan. Memfasilitasi pembiusan diharapkan dapat meniadakan rasa nyeri dari penderita sehingga memudahkan sejawat operator pemegang pisau untuk bekerja. Anestesiologi kemudian menjadi salah satu ilmu yang berkembang sangat pesat di dunia kedokteran. Untuk memberikan anestesia pada mulanya hanya digunakan alat sederhana berupa sungkup dietil eter yang dipresentasikan pertama kali oleh dokter gigi William Thomas GreenMorton (1819-1868) pada tahun 1846.William Thomas Green Morton bekerjasama dengan dokter ahli bedah kenamaan pada waktu itu yang bernama dr. John Collins Warren di Massachusets General Hospital dan berhasil melakukan pembedahan tumor rahang tanpa memperlihatkan gejala kesakitan. Peristiwa ini menjadi tonggak sejarah anestesi


(33)

9

dunia. Meskipun pada tahun 1849 dipublikasikan bahwa anestesia ether ternyata telah digunakan lebih dini, yakni pada tahun 1842 oleh Crawford Long (1815-1878). Oleh karena itu di dunia anestesia modern, sejarah perkembangan ether tidak terpisahkan dari dua nama tersebut, yakni Morton dan Long (Butterworth dkk, 2012). Sejalan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang fisika dan kimia, mulai diciptakan suatu mesin yang dapat membantu tindakan anestesia, yaitu mesin anestesi untuk fasilitasi teknik anestesi inhalasi. Mesin anestesi mengalami rangkaian metamorfosa dan pengembangan dari kelengkapannya. Sejalan dengan penemuan-penemuan alat dan obat anestesi yang baru, tehnik anestesi juga ikut mengalami perkembangan yang sangat pesat. Seiring dengan itu, tehnik anestesi regional mengalami perkembangan dan mulai mendapatkan tempat tersendiri, namun anestesi umum masih merupakan tehnik anestesi yang paling banyak dikerjakan dalam praktek klinis sehari-hari. Anestesi umum bertujuan memberikan efek analgesia, menghilangkan kecemasan, amnesia, hilangnya kesadaran, penekanan terhadap respon kardiovaskular, motorik serta hormonal terhadap stimulasi pembedahan. Obat anestesi intravena yang ideal haruslah menyediakan semua komponen tadi tanpa menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan terhadap sistem kardiovaskular. Obat anestesi intravena diharapkan menginduksi hilangnya kesadaran dengan cepat, stabilnya keadaan hemodinamik dan juga cepat dalam pemulihannya dengan tetap mempertahankan fungsi sistem saraf pusat seperti sebelum pembiusan.


(34)

2.1 Farmakoekonomi

Farmakoekonomi merupakan salah satu cabang dalam bidang farmakologi yang mempelajari mengenai pembiayaan pelayanan kesehatan, dimana pembiayaan dalam hal ini mencakup bagaimana mendapatkan terapi yang efektif, bagaimana dapat menghemat pembiayaan, dan bagaimana dapat meningkatkan kualitas hidup. Farmakoekonomi adalah suatu metoda baru untuk mendapatkan pengobatan dengan biaya yang lebih efisien dan serendah mungkin tetapi efektif dalam merawat penderita untuk mendapatkan hasil klinik yang baik (cost effective with best clinical outcome) (Walley dkk, 1991; Gattani dkk, 2009; Areda dkk, 2011). Kajian farmakoekonomi dikenal empat metode analisis. Empat metode analisis ini tidak hanya mempertimbangkan efektivitas, keamanan, dan kualitas obat yang dibandingkan, tetapi juga aspek ekonominya. Karena aspek ekonomi atau unit moneter menjadi prinsip dasar kajian farmakoekonomi, hasil kajian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan masukan untuk menetapkan penggunaan yang paling efisien dari sumber daya kesehatan yang terbatas jumlahnya. Metode analisis dalam kajian farmakoekonomi meliputi :

- Analisis minimalisasi biaya (AMiB) dengan karakteristik analisis efek dua intervensi sama (atau setara), valuasi/biaya dalam rupiah

- Analisis efektifitas biaya (AEB) dengan karakteristik analisis efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil pengobatan diukur dalam unit alamiah/indikator kesehatan, valuasi/biaya dalam rupiah


(35)

11

- Analisis utilitas biaya (AUB) dengan karakteristik analisis efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil pengobatan dalam quality-adjusted life years, valuasi/biaya dalam rupiah.

- Analisis mamfaat biaya (AMB) dengan karakteristik analisis efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil pengobatan dinyatakan dalam rupiah, valuasi/biaya dalam rupiah (McGregor, 2003)

Metode analisis minimalisasi biaya adalah analisis farmakoekonomi yang paling sederhana. Analisis minimalisasi biaya digunakan untuk membandingkan dua intervensi kesehatan yang telah dibuktikan memiliki efek yang sama, serupa, atau setara. Jika dua terapi atau dua (jenis, merek) obat setara secara klinis, yang perlu dibandingkan hanya biaya untuk melakukan intervensi. Sesuai prinsip efisiensi ekonomi, jenis atau merek obat yang menjanjikan nilai terbaik adalah yang membutuhkan biaya paling kecil per periode terapi yang harus dikeluarkan untuk mencapai efek yang diharapkan. Untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang memberikan besaran efek berbeda, dapat digunakan analisis efektivitas biaya. Analisis efektivitas biaya tidak mengukur hasil pengobatan dalam unit moneter, melainkan didefinisikan dan diukur dalam unit alamiah, baik yang secara langsung menunjukkan efek suatu terapi atau obat (misalnya, penurunan kadarLDL darah dalam mg/dL, penurunan tekanan darah diastolik dalam mm Hg)maupun hasil selanjutnya dari efek terapi tersebut (misalnya, jumlah kematian atau serangan jantung yang dapat dicegah, radang tukak lambung yang tersembuhkan). Metode lain yang juga banyak digunakan adalah AUB. Seperti AEB, biaya pada AUB juga diukur dalam unit moneter


(36)

(jumlah rupiah yang harus dikeluarkan), tetapi hasil pengobatan dinyatakan dalam unit utilitas, secara teoritis AUB dapatdigunakan untuk membandingkan dua area pengobatan yang berbeda. Analisis manfaat biaya digunakan untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang memiliki tujuan berbeda atau dua program yang memberikan hasil pengobatan dengan unit berbeda. Pembandingan intervensi kesehatan dengan tujuan dan/atau unit hasil pengobatan berbeda ini dimungkinkan karena, pada metode AMB, manfaat (benefit) diukur sebagai manfaat ekonomi yang terkait (associated economic benefit) dan dinyatakan dengan unit yang sama, yaitu unit moneter. Namun demikian, karena alasan etika serta sulitnya mengkuantifikasi nilai kesehatan dan hidup manusia, AMB sering menuai kontroversi. Sebab itu, AMB juga agak jarang digunakan dalam kajian farmakoekonomi, bahkan dalam kajian ekonomi kesehatan yang lebih luas pun masih jarang sekali dilakukan. Pada penelitian ini akan memfokuskan bahasan pada medote yang sederhana yaitu analisis minimalisasi biaya (Walley dkk, 1991).

2.1.1 Analisis Minimalisasi Biaya (AMiB)

Merupakan metode kajian farmakoekonomi paling sederhana, AMiB hanya dapat digunakan untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan, termasuk obat, yang memberikan hasil yang sama,serupa, atau setara atau dapat diasumsikan setara. Karena hasil pengobatan dari intervensi (diasumsikan) sama, yang perlu dibandingkan hanya satu sisi, yaitu biaya. Dengan demikian, langkah terpenting yang harus dilakukan sebelum menggunakan AMiB


(37)

13

adalah menentukan kesetaraan (equivalence) dari intervensi (misalnya obat) yang akan dikaji. Tetapi, karena jarang ditemukan dua terapi, termasuk obat, yang setara atau dapat dengan mudah dibuktikan setara, penggunaan AMiB agak terbatas, misalnya untuk:

1. Membandingkan obat generik berlogo (OGB) dengan obat generik bermerek dengan bahan kimia obat sejenis dan telah dibuktikan kesetaraannya melalui uji bioavailabilitas bioekuivalen (BA/BE). Jikatidak ada hasil uji BA/BE yang membuktikan kesetaraan hasil pengobatan, AMiB tidak layak untuk digunakan.

2. Membandingkan obat standar dengan obat baru yang memiliki efek setara. Dalam hal ini, peneliti akan membandingkan agen inhalasi sevofluran yang standar digunakan dengan TCI propofol.

Setiap perspektif analisis memiliki banyak jenis biaya yang harus dimasukkan. Untuk menggunakan metode AMiB secara baik tetap diperlukan keahlian dan ketelitian (Walley dkk, 1991; Gattani dkk, 2009; Areda dkk, 2011).

2.2 Anestesi Inhalasi

Tehnik anestesi inhalasi adalah tehnik yang paling sering digunakan untuk memberi pelayanan anestesi umum di RSUP Sanglah sebelum kemudian muncul berbagai macam obat anestesi intravena yang menawarkan alternatif dan juga keuntungan tersendiri. Obat-obat inhalasi juga merupakan obat yang digunakan pertama dalam anestesi sebelum dihasilkannya jarum hypodermic. Nitrous oxide (N2O), obat anestesi inhalasi pertama, disintesa pada tahun 1772 dan masih


(38)

digunakan hingga sekarang. Dalam perkembangannya, ditemukan kemudian gas berhalogenasi yang dipercaya lebih aman, lebih stabil, dan lebih poten anestesinya. Tenaga anestesi pada akhir tahun 1800-an menggunakan N2O, diethyl

ether, dan chloroform untuk memfasilitasi pembedahan. Untuk memenuhi kebutuhan gas anestesi yang dapat bekerja cepat, diciptakan gas anestesi dengan kelarutan yang rendah: isofluran (1981), desfluran (1992), dan sevofluran (1995). Tenaga anestesi profesional mempunyai kontrol yang lebih baik terhadap teknik anestesi mereka dengan menggunakan gas dengan kelarutan yang lebih rendah. Dua yang lebih baru, sevofluran dan desfluran, mempunyai keuntungan lebih banyak termasuk induksi yang lebih cepatjika dibandingkan dengan gas anestesi yang lebih lama, meskipun ditengarai lebih mahal. Menentukan biaya gas anestesi penting bagi suatu institusi karena akan berpengaruh besar pada harga pelayanan kesehatan dengan menggunakan obat secara efektif (Meyer, 2010). Teknik anestesi inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi. Ambilan dan distribusi gas atau uap anestetik inhalasi ditentukan oleh ambilan oleh paru, difusi gas dari paru ke darah, distribusi olehdarah ke organ target. Pembuangan gas anestesi sebagian besar melalui paru-paru. Sebagian lagi dimetabolisme oleh hepar dan ginjal dengan sistem oksidasi sitokrom P450. Jumlah agen anestesi yang dikeluarkan dari tubuh melalui metabolisme lebih kecil dibanding jumlah yang dikeluarkan melalui cara ekspirasi (Butterworth dkk, 2013;Stoelting dkk, 2006).


(39)

15

Mekanisme kerja obat anestesi inhalasi sangat rumit dan masih merupakan misteri dalam farmakologi modern. Pemberian anestetik inhalasi melalui pernafasan menuju organ sasaran yang jauh merupakan suatu hal yang unik dalam dunia anestesiologi (Latief dkk, 2002).Anestesi inhalasi bekerja pada berbagai level sistem saraf pusat. Mengacaukan transmisi sinaptik normal dengan mempengaruhi pelepasan neurotransmitter dari ujung saraf presinaptik (menekan eksitatori atau meningkatkan transmisi inhibitori), atau mengganggu re-uptake neurotransmitter, atau dengan mengubah ikatan neurotransmitter pada reseptor post sinaptik. Keduanya, baik itu efek pre dan postsinaptik dapat terjadi. Interaksi langsung dengan membran plasma neuronal lebih sering terjadi,tetapi selain itu kerja tidak langsung melalui second messenger juga memungkinkan. Adanya hubungan yang kuat antara kelarutan dalam lemak dan potensi anestesi menunjukkan agen anestesi inhalasi memiliki kerja pada sisi hidrofobik juga. Postulat hipotesis reseptor protein mengatakan bahwa susunan saraf pusat berperan terhadap kerjanya agen anestesi inhalasi. Bagaimanapun, masih belumjelas apakah agen inhalasi mengganggu aliran ion melalui saluran membran dengan cara kerja tidak langsungnya pada membran lipid melalui perantara seccond messenger. Atau secara langsung dan spesifik mengikat saluran protein. Teori lain menjabarkan mengenai aktivasi dari Gamma Aminobutyric Acid (GABA) reseptor oleh gen anestesi inhalasi. Agen volatile mengaktifkan GABA channel dan menghiperpolarisasikan membran sel. Sebagai tambahan, agen ini

juga menghambat calcium channel yang pada akhirnya mencegah pelepasan neurotransmitter (Butterworth dkk, 2013; Stoelting dkk, 2006).


(40)

Sevofluran adalah fluorinated methyl isopropyl ether. Koefisien partisi darah gas sevofluran adalah 0,69 yang secara teoritis memungkinkan obat ini menginduksi dalam waktu singkat dan terjadi pemulihan yang cepat pula setelah obatnya dihentikan. Dibandingkan dengan isofluran, pemulihan dengan sevofluran bisa lebih cepat 3 sampai 4 menit. Minimum alveolar concentration (MAC) pada suku kamar 37ºC, pada tekanan 760 mmHg, usia 30-35 tahun adalah 1,8-2,0% (Aranake dkk, 2005; Eger dkk, 1965; Eger, 2002). Minimum alveolar concentration sevoflurane akan menurun sesuai dengan bertambahnya umur, pemberian N2O, opioid, barbiturat, benzodiazepine, alkohol, temperatur, obat

yang mempengaruhi konsentrasi katekolamin sentral dan perifer (misalnya: reserpin, alpha metyl dopa). Minimum alveolar concentration sevoflurane adalah 2,5% untuk pasien yang berumur 6 bulan sampai 12 tahun dan 3,2-3,3% untuk dibawah umur 6 bulan (Eger, 2002). Sevofluran memiliki bau yang manis dan tidak iritatif terhadap saluran nafas bahkan dikatakan dapat menyebabkan bronkodilatasi sehingga merupakan salah satu obat volatil yang dapat digunakan untuk induksi inhalasi. Sekitar 3% sampai 5% obat ini mengalami biodegradasi, metabolitnya berupa fluorida anorganik dan hexafluoroisopropanol. Secara kimiawi, sevofluran tidak dimetabolisme menjadi acyl halide reaktif seperti pada halotan. Substansi tersebut yang bersifat hepatotoksik dan tidak dihasilkan oleh sevofluran sehingga sevofluran dikatakan tidak memiliki efek hepatotoksik. Namun reaksi antara sevofluran dengan absorber karbon dioksida akan menghasilkan fluoromethyl-2,2-difluoro-1-(trifluoromethyl) vinyl-ether atau yang juga dikenal sebagai compound A. Compound A ini bersifat nefrotoksik bila dalam


(41)

17

dosis besar yang diberikan pada binatang percobaan dimana terjadi kerusakan tubulus proximal ginjal. Namun dikatakan bahwa compound A yang terjadi dalam dosis normal sevofluran yang kita berikan pada pasien jauh lebih rendah dari dosis yang menyebabkan nefrotoksik walaupun aliran gas segar yang diberikan hanya 1 liter per menit. Efek sevofluran pada sistem kardiovaskular adalah depresi ringan terhadap kontraktilitas myokard. Resistensi vaskular sistemik serta tekanan darah arterial menurun sedikit namun tidak sehebat pada isofluran atau desfluran. Tidak ada bukti bahwa sevofluran menyebabkan coronary steal syndrome. Pada sistem pernafasan, sevofluran menyebabkan depresi sistem respirasi dan menyebabkan bronkodilatasi (Chernin, 2004; Inomata dkk, 1999). Pada sistem saraf pusat, sevofluran menyebabkan peningkatan cerebral blood flow dan tekanan intrakranial pada keadaan normokarbia. Sevofluran konsentrasi tinggi (> 1,5 MAC) akan mengganggu autoregulasi otak sehingga bila hal ini terjadi bersamaan dengan perdarahan maka otak akan gagal melakukan autoregulasi dan perfusi ke otak akan turun. Pada sistem muskuloskeletal, sevofluran memiliki efek relaksasi yang baik sehingga dapat diandalkan sebagai relaksan otot pada bayi yang diinduksi inhalasi dengan sevofluran. Sevofluran sedikit menurunkan aliran darah ke ginjal dan metabolitnya yang terbentuk dalam jumlah besar dapat bersifat nefrotoksik. Sevofluran menyebabkan penurunan aliran darah portal namun meningkatkan aliran darah ke arteri hepatika sehingga secara umum tidak terlalu mempengaruhi aliran darah ke hepar serta oksigenasinya.(Fang dkk, 1996; Eger, 2002; Eger, 2010).


(42)

2.3 Target Controlled Inhalational Anesthesia (TCIA)

Target controlled inhalational anesthesia yang juga disebut end tidal control adalah sebuah sistem pemberian anestesi yang terdapat pada mesin anestesi generasi yang baru seperti mesin anestesi Drager Zeus (Dräger Zeus® Infinity® Empowered Anesthesia Workstation), mesin anestesi AISYS Carestation (WiproGE healtcare Pvt, Ltd 881), mesin anestesi Drager Primus® (Sinclair dkk, 2014; Hinz dkk, 2012). Target controlled inhalational anesthesia merupakan modalitas sistem pemberian anestesi dimana mesin menyesuaikan secara otomatis kadar agen anestesi untuk mencapai target level yang diinginkan oleh pengguna. Beberapa mesin mulai dikeluarkan dengan teknologi sirkuit pernafasan semi tertutup ataupun tertutup secara otomatis untuk mengontrol kadar end tidal (ET) dari agen anestesi volatil, oksigen dan nitrous oxide (N2O). Penggunaan agen

anestesi inhalasi pada sirkuit semi tertutup ataupun tertutup membuat agen volatil anestesi bisa dihirup kembali. Hal ini membuat perbedaan pada agen anestesi volatil yang diberikan dan yang di inspirasi tergantung pada fresh gas flow (FGF). Sehingga FGF yang tinggi dibutuhkan pada permulaan anestesi agar bisa mendapatkan kontrol yang cepat terhadap kadar ET anestesi. Kondisi tersebut membuat aliran gas yang lebih besar dan meningkatkan biaya serta polusi lingkungan. Fresh gas flow yang rendah dapat digunakan ketika kadar konsentrasi ET anestesi yang stabil untuk periode waktu tertentu. Tehnik yang memamfaatkan aliran FGF yang kurang dari ventilasi alveolar dapat diklasifikasikan sebagai low flow anesthesia didefinisikan sebagai tehnik dimana setidaknya 50% gas ekspirasi dikembalikan lagi ke paru-paru setelah karbondioksida mengalami penyerapan.


(43)

19

Low flow anesthesia adalah suatu tehnik yang benar-benar sangat berarti dalam penghantaran aliran gas kurang dari 2 liter per menit yang digunakan untuk memberikan agen anestesi kepada pasien (Potdar dkk, 2014; Baum, 1994). Kontrol gas anestesi secara otomatis untuk mewujudkan keamanan pasien yang lebih baik dan pengoperasian yang lebih sederhana. Penggunan kontrol anestesi yang tepat melalui dosis agen anestesi yang tepat adalah sangat penting untuk keamanan pasien. Dengan mesin anestesi generasi terbaru yang telah menerapkan sistem target controlled anesthesia (TCA) memungkinkan dapat secara akurat mengontrol otomatis penggunaan oksigen, gas pembawa, anestesi volatil, dan juga kontrol manual dosis fresh gas. (Singaravelu dkk, 2012; Olympio, 2015). Sistem TCA ini memungkinkan dokter anestesi dapat menentukan target nilai. Fungsi TCA memastikan bahwa target nilai ini tercapai dan dapat dipertahankan dengan baik. Kontrol secara otomatis akan dapat memberikan secara tepat jumlah gas anestesi yang diberikan, dan tidak hanya membuat induksi dan pemulihan anestesi yang cepat namun juga dapat memberikan kedalaman anestesi yang stabil. Target controlled anesthesia dapat membantu menentukan target efek dari anesthesi yang diberikan dengan lebih akurat, hal ini berarti menjadi mungkin sebelum induksi dapat diatur konsentrasi ET agen anestesi sehingga menjadi sangat dekat dengan efek yang diinginkan. Jumlah gas anestesidalam dosis yang tepat pada sistem mesin generasi terbaru menurunkan konsumsi gas dan agen anestesi yang kemudian akan menurunkan biaya anestesi. Pada mode operasi sistem tertutup gas yang dikonsumsi hanya sebanyak yang digunakan oleh pasien. Penggunaan gas menjadi lebih sedikit dgn low flow atau minimal flow anestesia dan dengan


(44)

aplikasi pemberian anestesi yang semuanya secara otomatis. Agen anestesi yang digunakan secara langsung diaplikasikan pada sirkuit pernafasan, hal ini berarti waktu yang dibutuhkan untuk anestesi menjadi lebih optimal, tidak tergantung pada suplai fresh gas (Singaravelu dkk, 2012; Tay, 2013; Weich dkk, 1991).

Pertimbangan ekonomis dan lingkungan menjadi dasar pada pengembangan sirkuit semi tertutup untuk pemberian anestesi volatil yang mana sebagian besar campuran volatil anestesi akan dihirup kembali sehingga terjadi perbedaan antara konsentrasi gas yang diberikan dan dinspirasi tergantung padaFGF. Terkadang dalam beberapa kasus FGF yang tinggi dibutuhkan untuk memperoleh kontrol kadar ET anestesi yang cepat (biaya dan polusi lingkungan menjadi lebih tinggi) dan pada kasus kasus lain FGF yang rendah dapat diberikan ketika konsentrasi ET stabil utk periode waktu tertentu. Pemberian gas dan sistem vaporizer dapat dikontrol baik secara manual untuk anestesi low flow (500-1000 ml/menit) atau minimal flow (250-500 ml/menit) ataupun yang disebut mode autokontrol dimana FGF komposisinya secara otomatis disesuaikan dgn kebutuhan pasien baik oksigen maupun agen volatil. Dokter anestesi pada awalnya menentukan target konsentrasi ET dan kemudian secara manual menyesuaikan target ini berdasarkan kebutuhan pasien. Konsentrasi inspirasi dan ekspirasi diukur oleh teknologi inframerah side stream dan sensor oksigen paramagnetik. Aliraran gas dikembalikan kedalam sistem sehingga sistem sepenuhnya menjadi tertutup. Sebagai tambahan campuran fresh gas dikontrol secara otomatis untuk menjaga konsentrasi oksigen pada target level dan dapat dipertahankan tekanan yang konstan pada akhir ekspirasi. Jika tekanan ini


(45)

21

menurun, FGF secara otomatis akan ditingkatkan sebaliknya jika tekanan naik FGF akan diturunkan. Sehingga pada kondisi yang stabil hanya sedikit atau tidak ada gas yang terbuang, inilah yang merupakan ciri sistem tertutup. Sebagai konsekuensi dari sistem tertutup ini dengan konsentrasi oksigen yang stabil oksigen yang mengalir ke dalam sistem dapat dianggap sebagai oksigen yang dikonsumsi oleh pasien. Anestesi volatil diberikan dengan cara injeksi sehingga untuk meningkatkan konsentrasi anestesi volatil tanpa meningkatkan FGF. Jumlah yang diberikan dikalibrasi untuk mencapai konsentrasi ET yang diinginkan dalam waktu kurang dari tiga menit tanpa overshooot, berdasarkan farmakokinetik yang meliputi fungsional residual kapasitas yang dihitung berdasarkan berat badan dan tinggi badan pasien (Ponsonnard dkk, 2014; Patil dkk, 2013; Baxter 1997). Untuk keamanan konsentrasi agen volatil dalam sirkuit dibatasi agar level inspirasi menjadi tidak lebih tinggi dari pada yang diperoleh dengan vaporiser tradisional. Sistem keamanan menggunakan sensor sidestream yang berdiri sendiri untuk mengukur volatil agen dan konsentrasi oksigen yg diinspirasi. Target controlled anesthesia diharapkan dapat:

1. Meminimalisasi waktu yang dibutuhkan untuk mencapai ET anestesi yg diinginkan.

2. Mengurangi overshoot dan fluktuasi 3. Mengurangi konsumsi gas dan penguapan

4. Mengurangi jumlah pengaturan yang diperlukan (semua ini mirip dengan pengaturan agen intra vena dengan TCI)


(46)

Target controlled anesthesia dapat mencapai keseimbangan sama cepat dengan pemberian secara manual (konvensional) dengan FGF yang tinggi tetapi sistem ini tanpa menimbulkan overshoot, dan secara signifikan akan mengurangi konsumsi volatil agen. (Lortat-Jacob dkk, 2009; Lockwood dkk, 2001; Loke dkk, 1993).

Gambar 2.1

(a) Skema Diagram dari Sistem Sirkuit Pernafasan Anestesi Tradisional (b) Skema Diagram Sirkuit Pernafasan Anestesi dengan End Tidal Control.


(47)

23

2.3.1 Mekanisme Dari Target Controlled Inhalational Anesthesia

Target controlled inhalational anesthesia adalah sebuah mekanisme dalam sistem pernafasan, dimana nilai gas yang diinginkan ditentukan secara komputerisasi, untuk mencapai target pemberian gas. Sirkuit pernafasan anestesi di dalam mesin ini meliputi pencampur gas yang mengatur jumlah oksigen dan udara atau N2O yang diberikan kepada pasien tergantung pada pengaturanya.

Selector valve akan terbuka sesuai dengan mode yang dipilih. Sensor secara terus menerus akan memantau proses pencampuaran gas. Gas yang tercampur keluar dari pencampur dan mengalir ke vaporiser elektronik, dimana proses penguapan agen terjadi menggunakan aliran by pass konvensional dan prinsip penguapan bebas. Dari sini gas akan mengalir melalui katup inflow dan outflow. Meskipun begitu pengiriman agen yang sesungguhnya di kontrol oleh vaporiser elektronik. Alat ini mengatur aliran by pass dan juga mengontrol katup inflow dan out flow untuk mencapai aliran keluaran gas yang diinginkan. Multipel sensor dalam jalur perjalanan gas secara konstan memantau aliran dan tekanan untuk memastikan konsentrasi gas yang diinginkan dalam FGF, bahkan pada FGF yang minimal. Konsumsi dari berbagai gas inhalasi secara otomatis dihitung oleh perangkat lunak komputer di dalam mesin. (Lortat-Jacob dkk, 2009; Nugroho dkk, 2012; Cooman dkk, 2009).

Mesin anestesi yang bisa menerapkan sistem TCIA secara manual controlled di RSUP Sanglah Denpasar adalah mesin anestesi Drager Primus. Maka pada penelitian ini akan menggunakan mesin tersebut di atas. Demi keseragaman dalam pemberian intervensi terhadap subyek penelitian maka dalam


(48)

penelitian ini hanya akan menggunakan TCIA sevofluran. Obat ini dipilih demi kemudahan secara teknis karena obat ini tersedia di RSUP Sanglah.

Gambar 2.2

Foto Mesin Anestesi Dräger Zeus® Infinity® Empowered

Gambar 2.3


(49)

25

Gambar 2.4

Foto Mesin Anestesi Dräger Primus®

Gambar 2.5

Foto Layar Monitor End Tidal Control pada Mesin Anestesi Drager Primus (Dikutif dari Drägerwerk AG & Co. KGaA, 2015).


(50)

2.3.2 Anestesi Dengan Fresh Gas Glow Yang rendah

Anestetik inhalasi dengan kelarutan dalam darah dan jaringan yang rendah, akan memfasilitasi kesetimbangan dengan cepat antara konsentrasi di dalam alveolus dan konsentrasi di otak, membuatnya cocok untuk teknik anestesi aliran rendah. Sebagian besar mesin anestesi modern telah dilengkapi dengan sistem circle rebreathing yang menurunkan kecepatan FGF. Manfaat teknik rebreathing lebih nyata jika kecepatan FGF diturunkan hingga kurang dari setengah minute ventilation (MV) (MV = udara yang keluar masuk paru dalam 1 menit) pasien, biasanya < 3 L/menit. Teknik FGF rendah mempengaruhi kinetik gas pada sistem sirkuit khususnya jika FGF < 1 L/menit, sehingga diperlukan pemantauan konsentrasi gas inspirasi dan ekspirasi (Odin, 2005; Baum, 1997). Pemantauan gas komprehensif tidak hanya menjamin keamanan pasien, tetapi juga memfasilitasi pemberian gas yang tepat untuk pasien. Anestesi aliran rendah dapat didefinisikan sebagai suatu teknik yang menyesuaikan FGF dengan kebutuhan oksigen pasien(sekitar 200 ml/menit) dan untuk anestetik volatil, tetapi dengan aliran yang sama melepaskan komponen tidak diinginkan seperti nitrogen (atau methane) ke sistem scavenging gas anestesi. Anestesi aliran rendah menggunakan FGF kurang dari setengah MV pasien, biasanya < 3 L/menit. Foldes, 1954 menurunkan FGF menjadi 1 L/menit. Teknik anestesi aliran rendah tidak hanya memberikan pertimbangan ekonomis dan manfaat ekologi, tetapi juga meningkatkan kualitas perawatan pasien. Sebanyak 80% gas anestetik dibuang saat digunakan FGF 5 L/menit. Beberapa studi juga membuktikan bahwa penggunaan teknik anestesi aliran rendah dan minimal dapat secara dramatis


(51)

27

menurunkan biaya tahunan anestetik volatil. Penurunan FGF dari 3 L/menit menjadi 1 L/menit menghasilkan penghematan sekitar 50% konsumsi total anestetik volatil. Anestesi aliran tinggi juga menyebabkan polusi lingkungan. Sebagai contoh, N2O diperkirakan bertanggung jawab terhadap10% efek rumah

kaca. Halothan, enfluran, dan isofluran mengandung chlorine, yang diyakini mempunyai potensi merusak lapisan ozon. Sedangkan desfluran dan sevofluran tidak mengandung chlorine dan tampaknya tidak mempunyai efek gas rumah kaca (Nunn, 2008; Baum, 2001; Coetzee dkk, 2002). Penurunan FGF menyebabkan pelepasan anestetik yang lebih sedikit ke lingkungan dan menyebabkan lebih sedikit polusi atmosfer. Gas yang dihantarkan dengan FGF tinggi biasanya kering dan dingin, sedangkan penurunan FGF membuat gas yang di-resirkulasi hangat dan lembab. Lebih banyak gas yang disirkulasi melalui CO2 absorber, lebih

banyak panas dan kelembaban yang dihasilkan melalui proses absorpsi CO2.

Menghirup gas yang hangat dan lembab selama anestesi bermanfaat untuk pasien karena beberapa alasan:

- Gas yang hangat dapat mempertahankan suhu tubuh. Di beberapa negara atau di praktek pediatrik, di mana alat pertukaran panas dan kelembaban tidak digunakan secara rutin, konservasi panas dan kelembaban dalam sistem pernapasan dibantu dengan penggunaan FGF rendah.

- Pencegahan kehilangan panas selama anestesi mencegah kejadian menggigil pascaoperasi.


(52)

- Humidifikasi gas pernapasan akan menurunkan kehilangan air dari jalan napasdan mencegah pengeringan jalan napas dan bronkus selama intubasi endotrakeal (Nunn, 2008; Bratwall dkk, 2012; Baum, 1995).

2.3.3 Farmakoekonomi Target Controlled Inhalational Anesthesia

Analisis terhadap penggunaan sumber daya dan biaya yang efektif telah menjadi prioritas dalam mengelola suatu layanan kesehatan. Ini menyediakan tantangan untuk penyedia layanan anestesi yang menginginkan memberikan layanan berkualitas yang aman tapi ekonomis. Dalam anestesi, penggunaan volatil/gas anestesi menyumbang hingga 20-25% dari biaya total anestesi secara keseluruhan. Biaya penggunaan gas anestesi bervariasi pada setiap institusi dan lokasi. Tantangan terbesar untuk farmasi rumah sakit adalah menganggarkan biaya obat. Merancang anggaran untuk obat intravena jauh lebih mudah daripada gas anestesi karena ada hubungan langsung antara jumlah obat yang diterima dan dimasukkan. Menghitung biaya obat gas anestesi dibuat berdasar metode penyampaian. Gas anestesi dibeli dalam bentuk cair dan dimasukkan melalui vaporizer, membuatnya menjadi sulit untuk mengukur secara langsung berapa gas anestesi yang telah digunakan per kasus tanpa bantuan vapor analyzer. Konsentrasi penyampaian yang bervariasi dan teknik penyampaian dapat meningkatkan atau menurukan konsumsi total gas anestesi dan secara signifikan merubah biaya akuisisi (Daya, 2008; Golembiewsky, 2010).Tujuh metode analisis biaya ditemukan dalam literatur untuk tenaga anestesi profesional dalam menentukan biaya gas anestesi, yaitu: (1) Pengukuran berat, (2) Perbandingan


(53)

29

Minimum alveolar concentration, (3) Model empat kompartemen, (4) Persamaan volume persen, (5)Pengukuran volume,(6) Formula Dion, dan (7) Formula Loke. Sudah ditentukan bahwa formula Dion merupakan metode yang lebih diandalkan untuk tenaga anestesi profesional untuk menentukan biaya gas anestesi. Menghitung jumlah gas yang digunakan menggunakan formula Dion dapat mempermudah dalam melakukan kalkulasi biaya. Untuk menentukan total biaya gas anestesi, adalah penting untuk menentukan persen konsentrasi, jumlah FGF, densitas, dan berat molekul dari gas tersebut. Eger menyatakan bahwa meskipun biaya per-satuan/unit cost sevofluran lebih mahal daripada desfluran, di mana dibutuhkan kira-kira tiga kali jumlah desfluran untuk menciptakan kedalaman anestesi seperti pada sevofluran pada flow rate yang sama. Hal ini disebabkan karena perbedan dalam hal potensiasi, di mana untuk mencapai satu MAC dibutuhkan kurang lebih 2% sevofluran dan 6% desfluran. Minimum alveolar concentration didefinisikan sebagai konsentrasi minimum alveolar dari gas anestesi inhalasi yang menghasilkan immobilisasi dari 50% populasi yang dilakukan insisi surgikal (Eger, 2010). Frank Aroh mengklaim bahwa meski sevofluran lebih mahal per mL, namun MAC desfluran yang tiga kali lebih tinggi dibanding MAC sevofluran, membuat sevofluran gas yang lebih murah untuk digunakan. Aroh menyimpulkan hal di atas berdasarkan kalkulasinya hanya dengan dua variabel, MAC dan unit biaya. Aroh mengklaim bahwa Montefiore Medical Center dapat menghemat $100,000 selama satu tahun dengan meningkatkan pengunaan sevoflurandan menurunkan pengunaan desfluran (Traynor, 2009).Tidak ada metode untuk menghitung biaya atau pengunaan gas


(54)

anestesi yang disinggung dan tidak ada analisis biaya yang dibuat. Lockwood dan White pada tahun 2001 memasukkan sistem kompartemen empat model dari Weiskopf dan Eger untuk menciptakan model komputer guna membandingkan langsung biaya isofluran, desfluran, dansevofluran pada sistem terbuka dan tertutup. Model komputer empat kompartemen memperhitungkan kelarutan, penyerapan, dan penghapusan gas anestesi dalam tubuh. Biaya dari gas volatil anestesi dapat ditentukan dengan menggunakan harga pasar, potensi, jumlah uap yang dihasilkan, dan aliran FGF. (Odin dkk, 2005). Peter Dion (1992) menyatakan formula untuk langsung mengukur biaya gas anestesi menggabungkan hukum gas ideal hukum. Biaya agen anestesi dapat dihitung dari konsentrasi (%) gas yang telah dikirimkan, FGF (L/ menit) , durasi pengiriman anestesi inhalasi (menit), berat molekul (molecul weight/ MW dalam gram) , biaya per ml (dalam dolar), faktor 2412 untuk memperhitungkan volume molar gas pada 21° C (24,12 L), dan kepadatan (D dalam gr/mL).

Rumus dari Formula Dion adalah sebagai berikut :

BIAYA ( $ ) = [ (Konsentrasi) (FGF) (Durasi) (MW) (Biaya / mL) ] [ (2412) (D) ]

Formula Dion menggunakan hukum gas ideal untuk mengkonversi ml gas anestesi menjadi mlcairan gas anestesi, yang kemudian digunakan untuk menentukan biaya menggunakan harga per ml. Untuk merubah volume menjadi ml cairan gas anestesi, densitas dan berat molekul digunakan untuk megkonversi gas anestesi menjadi mol, dan mol kemudian dirubah menjadi ml cairan gas anestesi menggunakan faktor konversi 2412. Menurut ekuasi hukum gas


(55)

31

universal, satu mol dari gas ideal pada tekanan satu atmosfir pada suhu 21o C akan menjadi 24,12 liter cairan. Formula Dion tidak mengambil jumlah distribusi dan uptake secara spesifik tapi lebih kepada jumlah gas anestesi inhalasi. Jumlah vapor yang digunakan menetukan biaya,membuat formula Dion metode yang dapat dipercaya untuk perhitungan biaya dan menunjukkan sevofluran sebagai gas anestesi yang paling ekonomis dibandingkan desfluran. Loke dan Shearer mempertanyakan penggunaan rumus Dion di agents volatil baru mereka menggunakan rumus asli Dion dan memasukkan hukum gas ideal langsung menjadi rumus daripada menggunakan faktor konversi 2.412 untuk 24.12 Liter, yang menggambarkan volume molar gas pada satu atmosfer di 21º C. Loke lalu memformulasikan untuk menggantikan konstanta 2412 dengan suhu atmosfer dalam pascal, hukum gas ideal konstan 8.314, dan temperatur di Kelvin. Loke dan Shearer juga memasukan biaya gas pembawa nitrous oxide dan oksigen dan dibandingkan halotan, enfluran, dan isofluran (Loke dkk, 1993). Saat publikasi tersebut, desfluran dan sevofluran belum tersedia di Australia.

FORMULA DION

Biaya per MAC jam ( $ ) = [ (MAC) (FGF) (60 menit) (MW) (Biaya / mL) ] [ (2412(D)) ]

FORMULA LOKE

Biaya per MAC jam ( $ ) = [ (MAC) ( FGF ) (60 menit) (MW) (Biaya / mL) ] [ (Tekanan/(RT)(D) ]

Menentukan biaya gas anestesi adalah tugas yang sulit untuk dibuat bahkan lebih menantang dengan berbagai metode yang tersedia untuk menentukan biaya. Dari tujuh metode dalam literatur, enam ditemukan menjadi tidak praktis atau tidak akurat. Mengukur beratnya vaporizer adalah mustahil untuk dilakukan


(56)

dalam situasi ruang operasi yang sibuk . Metode komputerisasi data log dan metode empat kompartemen juga tidak mengungkapkan perhitungan biaya sehingga sulit untuk menentukan akurasi. Sebuah perbandingan sederhana MAC tidak menjadi faktor variabel penting seperti FGF dan perbedaan sifat gas anestesi. Menggunakan perhitungan volume persen tidak akurat karena didasarkan pada konsentrasi yang dipanggil dan bukan konsentrasi yang sebenarnya ditentukan dengan rumus gas analyzer. Formula Loke, versi modifikasi dari formula Dion, tidak terlalu bermakna karena pada kenyataannya perbandingan biaya akan terjadi di fasilitas yang sama dengan tekanan atmosfer dan suhu sama. Formula Dion mudah direproduksi, akurat, dan merupakan metode yang paling direferensikan untuk menghitung biaya dalam literatur. Weinberg dkk menyatakan Formula Dion sebagai alat farmakoekonomi sederhana yang dapat digunakan oleh setiap dokter ahli anestesi (Weinberg dkk, 2010). Mayoritas literatur mendukung sevofluran sebagai gas anestesi dengan biaya yang paling efektif dengan menggunakan laju aliran yang sama. Namun kesimpulan bahwa satu obat lebih atau kurang efektif daripada yang lain jarang dapat diterjemahkan dari satu daerah ke daerah lain karena variabilitas dalam biaya pembelian obat dan ketersediaan formulasi generik sevofluran. Oleh karena itu, di beberapa institusi, sevofluran mungkin lebih murah daripada desfluran, namun di institusi lain mungkin berlaku sebaliknya. Sesuai dengan formula Dion, seorang ahli anestesi mampu menurunkan biaya gas anestesi dengan menggunakan FGF rendah. Namun dengan lahirnya mesin anestesi generasi terbaru, menghitung kebutuhan obat anestesi volatil di akhir proses anestesi sudah


(57)

33

semakin mudah (Crozier, 1999). Pada mesin anestesi Drager Primus jumlah (ml) obat anestesi volatil yang digunakan dapat dilihat dengan menekan tombol logbook pada layar monitor mesin setelah berakhirnya proses anestesi dikerjakan, maka akan keluar jumlah obat anestesi yang dipakai selama proses anestesi berlangsung. Demikian juga jumlah (dalam satuan liter) oksigen dan compressed air dan N2O yang terpakai selama proses anestesi dapat diketahui dengan mudah

hanya dengan menekan tombol logbook dilayar monitor setelah proses anestesi berakhir. Sediaan agen volatil sevofluran yang terdapat di IBS RSUP Sanglah Denpasar beserta harga yang dibebankan kepada pasien (harga jual dari instalasi farmasi RSUP Sanglah) saat ini adalah : Sevofluran SOJOURN produksi Minrad inc. 250 ml/botol dengan harga Rp. 1.465.000,- (HET Rp. 3.813.350,-). Jika dibagi volume per botol sebanyak 250 ml maka didapatkan harga per-ml volume Sevofluran Sojourn sebesar Rp. 5.860,-/ml.

2.4 Anestesi Intravena

Tujuan dari anestesi umum adalah analgesia, menghilangkan kecemasan, amnesia, hilangnya kesadaran, penekanan terhadap respon kardiovaskular, motorik serta hormonal terhadap stimulasi pembedahan.Obat anestesi intravena yang ideal haruslah menyediakan semua komponen tadi tanpa menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan terhadap sistem kardiovaskular. Obat anestesi intravena diharapkan menginduksi hilangnya kesadaran dengan cepat dan juga cepat dalam pemulihannya dengan tetap mempertahankan fungsi sistem saraf


(58)

pusat seperti sebelum pembiusan. Karena tidak ada obat tunggal yang sempurna maka pada praktiknya, obat anestesi sering diberikan berupa kombinasi.

Propofol adalah obat anestesi intravena yang paling sering digunakan. Propofol pertama kali ditemukan tahun 1970 dan diperkenalkan di pasaran sejak tahun 1977 sebagai obat induksi anestesi, semakin populer dan semakin luas penggunaannya di seluruh dunia mulai tahun 1986. Propofol adalah 2,6-diisopropylphenol yang diberikan secara intravena dalam konsentrasi 1% dalam minyak kedelai 10%. Propofol dalam dosis 1,5-2,5 mg/kgbb diberikan intravena akan menyebabkan kehilangan kesadaran dalam waktu 30 detik. Proses pemulihannya juga cepat dibandingkan dengan obat anestesi yang lain. Pasien cepat kembali sadar setelah pembiusan dengan propofol dan efek residual yang minimal merupakan keuntungan propofol. Propofol tidak larut dalam air dan pada awalnya disediakan dengan Cremophor EL, namun karena banyaknya reaksi anafilaktoid yang ditimbulkan, sediaannya diubah menjadi bentuk emulsi. Namun penyuntikan propofol di vena perifer akan menyebabkan rasa nyeri sehingga sebelum obat ini disuntikkan dapat diberikan lidokain 1% intravena. Kejadian mual muntah paska operasi sangat jarang karena propofol memiliki efek anti muntah. Efek yang menguntungkan lainnya adalah efek antipruritik, antikonvulsan dan mengurangi konstriksi bronkus. Propofol dalam dosis 1,5-2,5 mg/kgbb diberikan intravena akan menyebabkan kehilangan kesadaran dalam waktu 30 detik. Proses pemulihannya juga cepat dibandingkan dengan obat anestesi yang lain. Pasien cepat kembali sadar setelah pembiusan dengan propofol dan efek residual yang minimal merupakan keuntungan propofol. Secara subyektif


(59)

35

pasien merasa lebih baik dan lebih segar paska anestesi dengan propofol dibandingkan obat anetesi induksi lainnya. Karena keunggulan sifat inilah propofol dipergunakan sebagai obat induksi dan pemeliharaan anestesi, sehingga penggunaannya begitu luas di seluruh dunia. Propofol adalah modulator selektif reseptor γ-aminobutyric acid (GABA). GABA merupakan neurotransmitter inhibitor utama di sistem saraf pusat. Saat reseptor GABA diaktifkan, terjadi peningkatan konduksi klorida transmembran sehingga terjadi hiperpolarisasi membrane sel postsinap dan inhibisi fungsi neuron postsinap. Interaksi antara propofol dengan reseptor GABA menurunkan kecepatan disosiasi neurotransmiter inhibisi (GABA) dari reseptornya sehingga memperpanjang efek GABA. Propofol digunakan sebagai obat induksi, untuk pemeliharaan anestesia maupun sebagai sedasi. Selain efek utamanya tersebut propofol juga memiliki efek lain sebagai antiemetik, antipruritik, antikonvulsan dan mengurangi konstriksi bronkus. Insiden mual muntah pasca operasi berkurang bila propofol digunakan tanpa memandang tehnik anestesi serta obatlain yang digunakan (Borgeat dkk, 1994). Dosis subhipnotik (10 sampai 15 mg) intravena dapat digunakan pasca anestesia sebagai anti mual muntah. Diduga kuat propofol memiliki aktivitas antiemetik melalui modulasi jaras subkortikal dan menekan langsung di pusat muntah. Propofol memiliki efek antioksi dan yang mirip dengan vitamin E (Daskalopoulos dkk, 2001, Peters dkk, 2001). Seperti vitamin E, propofol memiliki grup phenolic hydroxyl yang menangkap radikal bebas dan mencegah peroksidasi lipid. Potensi propofol sebagai proteksi otak mungkin berhubungan dengan aktivitas antioksidan dari struktur cincin phenol. Propofol bereaksi dengan radikal lipid peroxyl


(60)

sehingga menghambat peroksidasi lipid dengan membentuk radikal yang cukup stabil propofol phenoxyl. Selain itu Propofol juga menangkap peroxynitrite yang merupakan metabolit reaktif yang paling kuat dalam menginisiasi peroksidasi lipid. Karena aktivitasnya ini propofol diketahui menekan fagositosis.Uji coba klinis pertama terhadap propofol membuktikan bahwa obat ini adalah obat induksi dengan sifat onset kerjanya cepat dengan durasi kerja cepat dan waktu pemulihannya singkat dan stabil, dengan efek samping yang relatif kecil. Selama tiga puluh tahun telah banyak studi yang mempelajari obat ini termasuk tentang farmakokinetiknya bila diberikan dengan cara yang berbeda. Cara pertama adalah injeksi tunggal dan yang kedua adalah injeksi kontinyu. Propofol diyakini memiliki karakteristik yang sesuai dengan model tiga kompartemen. Propofol dapat digunakan sebagai obat induksi yang kemudian lanjut sebagai pemeliharaan pembiusan. Propofol juga digunakan sebagai obat untuk sedasi di ruang operasi maupun di tempat lainnya. Propofol juga dikenal dapat menekan kejadian mual muntah pasca operasi. Mual muntah pasca operasi dipengaruhi tiga hal yaitu pasien, operasi dan pembiusannya. Tindakan serta obat anestesi dapat memberikan kontribusi terhadap terjadinya mual muntah pasca operasi. Tindakan laringoskopi intubasi, inflasi lambung saat ventilasi sungkup muka, menggerakkan kepala pasien segera setelah bangun, obat opioid serta obat volatil merupakan faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya mual muntah pasca operasi (Triem, 2009; Butterworth dkk, 2013; Bertram, 2004).


(61)

37

2.4.1 Mekanisme Kerja Propofol

Propofol adalah modulator selektif reseptor GABA yang merupakan neurotransmiter inhibitor utama di sistem saraf pusat. Saat reseptor GABA diaktifkan akan terjadi peningkatan konduksi klorida transmembran sehingga terjadi hiperpolarisasi membran sel sinap dan inhibisi fungsi neuron post-sinap. Interaksi antara propofol dengan reseptor GABA menurunkan kecepatan disosiasi neurotransmiter inhibisi (GABA) dari reseptornya sehingga memperpanjang efek GABA (Butterworth dkk, 2013)

2.4.2 Struktur Bangun dan Karakteristik Propofol

Propofol adalah bagian dari grup alkylphenol yang memiliki kemampuan hipnotik pada binatang coba. Propofol (2,6-diisophropyl-phenol) terdiri dari cincin phenol dengan dua gugus isoprophyl. Karakteristik potensi, kecepatan induksi dan waktu pemulihan sangat dipengaruhi oleh panjangnya rantai alkilphenol ini. Propofol tidak larut dalam air tetapi merupakan suatu emulsi minyak dan air. Alkilphenol menjadi minyak dalam temperatur kamar dan tidak larut dalam larutan air, namun propofol sangat larut lemak. Formulasi yang ada sekarang mengandung 1% propofol, 10% soy bean oil (minyak kedelai), 2,25% glycerol (gliserol), dan 1,2% egg fosfatide (fosfatida telur murni) atau lecitin telur (kuning telur). Pasien yang mempunyai riwayat alergi terhadap telur belum tentu akan alergi terhadap propofol karena kebanyakan reaksi alergi telur disebabkan oleh bagian putih telur, sedangkan lecitin telur berasal dari ekstraksi kuning telur. Keburukan propofol yang dirasakan oleh pasien adalah nyeri yang


(62)

timbul saat penyuntikan oleh karena formula yang beredar memiliki keasaman pH sekitar 7. Formula propofol di atas sangat mudah menjadi media tumbuh bakteri, sehingga tehnik seril sangat diperlukan dalam penggunaan propofol dan sebaiknya tidak melebihi 6 jam dari saat pertama kali membuka ampul obat. Saat ini propofol sudah mengandung 0,005% disodium edetate atau 0,025% sodium metabisulfite untuk mengurangi pertumbuhan mikroorganisme walaupun hal ini belumlah memenuhi standar pharmacopie Amerika Serikat. Semua formula yang tersedia secara komersial stabil pada suhu kamar dan tidak sensitif terhadap cahaya. Jika diperlukan dalam konsentrasi yang lebih rendah dalam larutan, sebaiknya dilarutkan dalam dextrose 5% air (D5W) secara teori larutan ini akan

mengakibatkan sedikit perubahan pada farmakokinetik, pemecahan emulsi, degradasi spontan propofol dan kemungkian perubahan efek farmakologi (Butterworth dkk, 2013).

2.4.3 Farmakokinetik Propofol a. Absorpsi

Sediaan propofol di pasaran sebagai induksi anestesi hanya untuk penggunaan intravena saja dan memberikan efek sedasi sedang sampai berat.

b. Distribusi

Tingginya tingkat kelarutan propofol dalam lemak menyebabkan onset kerja cepat. Waktu yang diperlukan dari saat pertama kali diberikan bolus sampai pasien terbangun (waktu paruh) sangat singkat yaitu 2-8 menit.


(1)

2.5 Bispektral Indek (BIS)

Selama evolusi praktek anestesi modern, penilaian kedalaman anestesi pada pasien telah mengalami perubahan bertahap dan perbaikan. Pengamatan kedalaman anestesi sebelumnya dari tanda-tanda klinis seperti respon pupil, pola pernapasan, kualitas denyut nadi ditambah dengan pengukuran langsung dari titikakhir fisiologis termasuk tekanan darah, denyut jantung, laju pernapasan dan volume pernapasan. Dengan perkembangan pulse oximetry dan kapnografi, penilaian yang tepat dari manajemen ventilasi mampu ditegakkan. Penggunaan

end-tidal dan stimulasi saraf perifer memberikan kemampuan dokter anestesi

untuk mengukur konsentrasi agen farmakologis dan efek masing-masing obat. Saat ini, fungsi jantung dapat dievaluasi dengan menggunakan teknologi canggih yaitu kateter arteri pulmonalis dan transesophageal echocardiography (TEE) untuk metode baru tekanan darah secara kontinyu dan pemantauan curah jantung (Rena dkk, 2000; Sandhu dkk, 2009).

Penentuan efek langsung dari obat anestesi pada sistem saraf pusat tetapmenjadi suatu tantangan meskipun perkembangan yang luar biasa dalam penilaian sistem kardiovaskular selama anestesi. Penyelidikan klinis yang cermat menunjukkan bahwa respon hemodinamik tidak selalu memberikan representasi akurat dari respon sistem saraf pusat untuk agen anestesi dan karena itu tidak dapat diandalkan sebagai indikator status otak. Sebaliknya, teknologi yang memungkinkan pemantauan neurofisiologis independen dari sistem saraf pusat akan menyediakan ukuran langsung status otak selama anestesi dan sedasi, yang memungkinkan dokter untuk menyempurnakan manajemen perioperatif dan


(2)

mencapai hasil terbaik untuk setiap pasien. Pemantauan yang akurat target efek terhadap otak, dalam kombinasi dengan penilaian tanda klinis dan pemantauan tradisional, akan memberikan pendekatan yang lebih lengkap untuk menyesuaikan dosis obat anestesi dan agen analgesik (Honan dkk, 2002).

Bispektral indek menawarkan anestesi profesional dengan metode langsung dan akurat untuk memonitor status otak terus menerus sepanjang perjalanan pemberian anestesi atau obat penenang. Secara khusus, BIS indek menyediakan pengukuran efek hipnotik anestesi. Inti dari teknologi pemantauan otak adalah surface dari electroencephalogram (EEG). Sinyal fisiologis yang kompleks ini adalah bentuk gelombang yang mewakili semua jumlah aktivitas otak yang dihasilkan oleh korteks serebral (Billard V dkk, 2001). Gelombang normal EEG terdapat dua karakteristik yaitu amplitudo kecil (20-200 microvolts) dan frekuensi variabel (0- 50 Hz) (Honan, 2002; Johansen, 2004)

Gambar 2.9

Kompleksitas Gambaran Gelombang EEG, Gambaran Gelombang Dianalisa Menggunakan Tipe Gelombang Amplitude (microvolts) dan


(3)

Perubahan EEG dalam merespon efek dari anestesi dan obat penenang/agen hipnotik telah diketahui selama puluhan tahun. Walaupun masing- masing obat dapat menginduksi beberapa efek unik pada EEG, pola keseluruhan perubahan sangat mirip untuk banyak agen ini (Billard V, dkk., 2001). Seperti yang terlihat pada Gambar 2.10, selama anestesi umum, perubahan EEG khas meliputi: peningkatan rata-rata amplitudo (kekuatan) dan penurunan frekuensi rata-rata.

Gambar 2.10

Pola Umum dari Perubahan EEG yang Diobservasi Selama Peningkatan Dosis dari Anestesi dengan Peningkatan Efek Anestesi, Frekuensi EEG Menunjukkan

Penurunan Menghasilkan Pola Transisi Frekuensi Bergantung Kelas: Beta  Alfa  Theta  Delta (Dikutip dari Billard dkk, 2001)

Perubahan sebagian dari EEG kortikal mencerminkan perubahan yang timbul dari hubungan harmonis dan fase antara generator saraf kortikal dan subkortikal. Hubungan ini diubah selama hipnosis, memproduksi pola karakteristik di EEG.


(4)

Analisis Bispektral dan hasilnya, misalnya bicoherence dan bispectrum adalah metodologi proses sinyal canggih yang menilai hubungan antara komponen sinyal dan menangkap sinkronisasi dalam sinyal seperti EEG. Dengan mengukur korelasi antara semua frekuensi dalam sinyal, analisis bispektral (bersama-sama dengan power spectral dan analisis EEG kortikal) menghasilkan keterangan tambahan EEG mengenai aktivitas otak selama hipnosis (Renna, 2000). Salah satu tujuan utama dalam pengembangan teknologi pemantauan status otak adalah untuk mengidentifikasi fitur EEG atau "deskripsi" bispektral atau sebaliknya yang sangat berhubungan dengan sedasi/hipnosis yangdisebabkan oleh agen anestesi yang paling umum digunakan. Selama pengembangan BIS indek, fitur ini diidentifikasi dengan menganalisis database EEG lebih dari 5.000 subjek yang menerima satu atau lebihdari agen hipnotis yang sering digunakan dan telah dievaluasi dengan penilaian sedasi simultan (Galante, 2015). Fitur utama EEG yang diidentifikasi dari analisis database ditandai dengan spektrum yang penuh perubahan selama induksi anestesi yaitu termasuk:

 Tingkat beta atau frekuensi tinggi (14-30 Hz) teraktivasi  Jumlah sinkronisasi frekuensi rendah

 Adanya periode nearly suppressed dalam EEG

 Adanya periode fully suppressed (yaitu isoelektrik, "garis datar") dalam EEG.

Bispektralindek adalah skala angka antara 0 dan 100 berkorelasi dengan titikakhir klinis yang penting selama pemberian obat anestesi (Gambar 2.11). Nilai BIS mendekati 100 menunjukkan keadaan "terjaga" dari keadaan klinis ,


(5)

sementara 0 menunjukkan efek maksimal EEG (yaitu, EEG isoelektrik) (Sigl, J. C., dkk,1994). Nilai BIS indek di bawah 70 kemungkinan recall eksplisit menurun secaradrastis. Pada nilai BIS Indek kurang dari 60, pasien memiliki probabilitas kesadaran yang sangat rendah (Bower dkk, 2000; Avidan dkk, 2008).

Gambar 2.11

Panduan skala BIS Indek. Bispektral Indek adalah Skala dari 100 (Terjaga,Respon Terhadap Suara Normal) sampai 0 (Menunjukkan Keadaan Isoelektrik,Garis Flat

EEG) (Dikutip dari Billard dkk, 2001)

Nilai BIS indek lebih rendah dari 40 menandakan efek anestesi berlebih pada EEG. Pada nilai-nilai BIS rendah, tingkat penekanan EEG adalah penentu utama dari nilai BIS. Uji klinis prospektif telah menunjukkan bahwa mempertahankan nilai-nilai BIS indek dikisaran 40-60 memastikan efek hipnotis yang memadai


(6)

selama anestesi umum sementara meningkatkan proses pemulihan. Selama pemberian sedasi, nilai BIS indek > 70 dapat diamati selama kecukupan tingkat sedasi adekuat tetapi memiliki probabilitas yang lebih besar akan kesadaran dan potensi memori (Avidan dkk, 2008).