Pengaruh Penggunaan Bungkil Biji Kapuk Terhadap Kualitas Dan Kandungan Asam Siklopropenat Susu Kambing Perah Peranakan Etawah.

(1)

TERHADAP KUALITAS DAN KANDUNGAN ASAM

SIKLOPROPENAT SUSU KAMBING PERAH

PERANAKAN ETAWAH

Karya Ilmiah

Oleh :

BUDI AYUNINGSIH

UNIVERSITAS PADJADJARAN

FAKULTAS PETERNAKAN

SUMEDANG

2007


(2)

i

Syukur Alhamdulillah penulis sampaikan kepada Illahi Robbi atas izinNya dapat membuat Karya Tulis Ilmiah yang berjudul Pengaruh Penggunaan Bungkil Biji Kapuk Terhadap Kualitas dan Kandungan Asam Siklopropenat Susu Kambing Perah Etawah. .

Pembuatan Karya Tulis Ilmiah ini adalah merupakan salah satu kegiatan rutin yang dilakukan penulis selaku staff pengajar Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran dalam mengisi Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Karya Tulis Ilmiah dapat terwujud berkat bantuan semua pihak, khusunya rekan-rekan sejawat di Laboatorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak Fakultas Peternakan UNPAD. Pada kesempatan yang baik ini penulis menyampaikan rasa terima kasih atas bantuan dan saran-sarannya. Mudah-mudahan Allah SWT mengganti dengan yang lebih baik.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu penulis akan merasa senang hati apabila ada kritik dan saran para pembaca. Mudah-mudahan tulisan ini ada guna dan manfaatnya. Amiin


(3)

ii DAFTAR ISI

BAB Halaman

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... ii

I. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Manfaat Penelitian... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA... 3

2.1 Bungkil Biji Kapuk... 5

2.2 Pemanfaatan Bungkil Biji Kapuk Sebagai Pakan Ternak ... 7

2.3 Kambing Perah Peranakan Etawah ... 9

2.4 Asam Lemak Siklopropenoat Dan Efek Biologisnya... 10

2.5 Komposisi Susu... 13

III. MATERI DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 16

3.2 Materi Penelitian ... 16

3.2.1 Ternak ... 16

3.2.2 Kandang ... 17

3.2.3 Ransum... 17

3.3 Metode Penelitian... 18

3.4 Cara Pengambilan Data ... 19

3.5 Analisis Data ... 23

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kadar Lemak Susu ... 25

4.2 Kadar Protein Susu ... 26

4.3 Kadar Laktosa Susu... 28


(4)

iii

4.5 Berat Jenis (BJ) Susu... 30 4.6 Kandungan Asam Lemak Siklopropenoat Susu... 31

V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 33 4.2 Saran ... 33 DAFTAR PUSTAKA


(5)

1.1 Latar Belakang

Kebutuhan masyarakat akan protein hewani akan senantiasa mengalami peningkatan dengan bertambahnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Meskipun pertumbuhan produksi ternak sudah cukup menggembirakan, namun secara makro masih belum terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, khususnya produksi daging dan susu dengan hasil olahannya, sehingga pemerintah masih mengimpor daging maupun susu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan protein hewani. Oleh karena itu pemerintah mencanangkan adanya diversifikasi protein hewani.

Ternak ruminansia kecil, termasuk kambing mempunyai prospek yang baik bagi peternak kecil, karena mudah dipelihara, kebutuhan modal serta resikonya lebih kecil dibandingkan ruminansia besar, serta lebih cepat berkembang biak dibandingkan ternak ruminansia besar seperti sapi dan kerbau. Peternakan kambing memegang peranan penting di desa-desa dalam usaha tani tradisional, baik sebagai penghasil susu, daging atau sebagai usaha sambilan.

Kemampuan ternak ruminansia kecil untuk menghasilkan susu terutama di pedesaan, selain untuk konsumsi keluarga dalam rangka meningkatkan sumber protein hewani, juga dalam skala kecil dapat dijadikan sebagai sumber tambahan penghasilan dari hasil penjualan susu.


(6)

Ternak kambing perah bila dibandingkan dengan ruminansia besar seperti sapi perah dengan berat badan 10 kali lebih besar dibandingkan kambing, maka ternak kambing perah secara relatif mempunyai kemampuan yang tinggi dalam memproduksi susu. Dengan pengembangan kambing perah selain dapat menanggulangi kebutuhan protein hewani, juga akan mengurangi impor susu sapi. Produksi dan kualitas susu yang dihasilkan ternak sangat dipengaruhi oleh faktor genetik serta faktor makanan. Makanan dibutuhkan untuk pertumbuhan, untuk mempertahankan hidup dan untuk menghasilkan produksi. Untuk mencapai maksud tersebut maka makanan yang diberikan harus sempurna dan mencukupi kebutuhan ternak.

Makanan pokok ternak kambing seperti juga ternak ruminansia lainnya adalah hijauan rumput maupun daun-daunan. Pada umumnya hijauan tersebut nilai gizinya rendah, sehingga jika hanya diandalkan pemberian hijauan saja kemungkinan produksi yang maksimum tidak akan tercapai. Oleh karena itu perlu ditambahkan makanan penguat atau konsentrat.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan biaya konsentrat maupun ransum secara keseluruhan adalah dengan menggunakan bahan pakan yang relatif murah, mudah didapat, kontinuitasnya dan kualitasnya baik dan penggunaannya tidak bersaing dengan manusia ataupun ternak lain. Sehubungan dengan ini bahan pakan yang patut dipertimbangkan adalah limbah industri penghasil minyak biji kapuk, yaitu bungkil biji kapuk. Bungkil biji kapuk mengandung protein yang cukup tinggi, harganya murah dan potensinya cukup


(7)

besar, serta penggunaannya tidak bersaing dengan manusia ataupun ternak lain. Bungkil biji kapuk mengandung serat kasar yang tinggi sehingga jarang digunakan sebagai pakan ternak non ruminan-sia. Jika bungkil biji kapuk tersebut digunakan sebagai pakan ternak ruminansia hambatannya adalah palatabilitasnya rendah dan terdapatnya senyawa beracun asam lemak siklo propenoat. Kandungan zat racun dari bungkil biji kapuk sangat tergantung dari cara pengolahan biji kapuk menjadi minyak. Asam siklopropenoat dapat berakumulasi dalam jaringan lemak ternak dan akan terbawa sebagai makanan manusia. Akan tetapi Cook, et al. (1976) menyatakan bahwa asam siklopropenoat mengalami hidrogenasi di dalam rumen seperti halnya asam-asam lemak tak jenuh lainnya.

Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian penggunaan berbagai tingkat bungkil biji kapuk dalam ransum untuk meli-hat sampai dimana pengaruhnya terhadap produk ternaknya.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat optimasi penggunaan bungkil biji kapuk dalam ransum sekaligus mengkaji nilai nutrisi dan efek biologis bungkil biji kapuk pada susu kambing perah.

1.3 Hipotesis

Penggunaan bungkil biji kapuk dalam ransum tidak berberpengaruh negatif terhadap produksi dan komposisi susu kambing perah.


(8)

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah diharapkan didapat suatu informasi baru yang dapat dijadikan bahan pertimbangan jika bungkil biji kapuk diberikan pada ternak perah. Selain itu untuk memanfaatkan limbah industri bungkil biji kapuk sebagai pakan ternak.


(9)

2.1 Bungkil Biji Kapuk

Pohon kapuk (Ceiba petandra) termasuk famili Bombaceae mudah tumbuh di daerah tropis dan tumbuh dengan baik pada ketinggian 100 - 800 m di atas permukaan laut, tahan terhadap kekurangan air, sehingga dapat ditanam di tegalan, pematang sawah atau tepi jalan (Setiadi, 1983).

Pohon kapuk dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 7 -30 meter, dengan bentuk batang yang silindris dan bercabang secara horizontal dengan daun yang jarang. Buah kapuk berbentuk lonjong dengan kulit keras dan berwarna hijau jika masih muda dan coklat jika telah tua. Bentuk bijinya bulat, kecil-kecil berwarna hitam dibungkus oleh selapis serat berwarna putih yang merupakan dinding buah kapuk. Pohon kapuk dapat berproduksi terus menerus sampai umurnya mencapai 50 - 60 tahun (Ochse,et al. , 1961).

Dari setiap buah kapuk yang masak berisi sekitar 35 % serat, 15% teras dengan kulit buah dan 50% biji kapuk yang beratnya antara 25 - 40 gram. Setiap pohon kapuk dapat menghasilkan antara 4000 - 5000 buah per tahun; dengan demikian pohon kapuk dewasa dapat menghasilkan sekitar 150 kg biji kapuk per tahun (Sihombing, 1974).

Biji kapuk adalah merupakan hasil ikutan yang penting karena dua pertiga bagian berat buah kapuk adalah merupakan biji. Dari biji kapuk akan dihasilkan


(10)

minyak sebanyak 22 sampai 25% yang berwarna kekuning-kuningan dan hampir tidak ada rasanya. Sisanya berupa bungkil biji kapuk dapat digunakan untuk makanan ternak (Ochse,et al., 1961).

Menurut Sihombing (1974), kandungan minyak pada biji kapuk adalah 25 - 40%, mengandung asam oleat sekitar 50%, asam linoleat 30% dan 16% asam palmitat.

Minyak biji kapuk mengandung asam siklopropenoat 10— 13%, yang bersifat racun bagi ternak. Asam siklopropenoat ini juga terkandung pada minyak biji kapas sebanyak kurang dari 1% (Alien, 1966 yang dikutip oleh Sihombing, 1974) . Pada bungkil biji kapuk komersil menurut Zahirma (1986) mengandung senyawa asam siklopropenoat yaitu asam sterkulat sebanyak 60 ppm. Sedangkan ada bungkil biji kapuk yang sudah dihilangkan minyaknya tidak ditemukan adanya kandungan asam sterkulat. Kandungan asam sterkulat pada minyak biji kapuk adalah 1400 ppm.

Kandungan protein kasar bungkil biji kapuk adalah cukup tinggi. Menurut Lubis (1963) kadar protein kasar bungkil biji kapuk adalah 27,4 %, sedangkan menurut Sihombing dan Simamora (1979) adalah 27,60 %. Menurut Parakkasi (1983) yaitu berkisar antara 26,99 - 28,66 %. Untuk lebih jelasnya kandungan zat-zat makanan bungkil biji kapuk dapat dilihat pada Tabel 1.


(11)

Tabel 1. Hasil Analisa Proksimat Bungkil Biji Kapuk (Ceiba petandra)(100 % BK)

Komponen (%) 1 2 3

Bahan kering 83.90 83.90 88.60 Protein kasar 32.6 29.6 32.28 Lemak kasar 6.7 7.58 9.7 Serat kasar 30.2 30.0 13.72

BETN 22.2 25.3 36.34

Abu 8.3 7.54 7.91

Sumber : 1. Lubis (1963) 2. Sutardi (1981)

3. Kadirvel et. al. (1984)

2.2 Pemanfaatan Bungkil Biji Kapuk Sebagai Pakan Ternak

Penggunaan bungkil biji kapuk sebagai pakan ternak non ruminansia telah banyak dicobakan. Pada ransum unggas, bungkil biji kapuk bisa diberikan sampai 9 % (Siregar dan Sabrani, 1970). Sedangkan Zahirina (1986) berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa pemberian bungkil biji kapuk dalam ransum sebanyak 20% ternyata menyebabkan turunnya produksi telur, dan raenurut Suherman (1973) semakin mening-kat bungkil biji kapuk dalam ransum anak ayam sampai dengan 8% meningkat pula angka kematiannya. Selain itu juga menurunkan konsumsi ransum dan bobot badan.

Kadirvel,et al. (1984) menyatakan bahwa ransum yang mengandung 10% bungkil biji kapuk atau ransum yang mengandung 2% minyak biji kapuk keduanya mengandung racun yang tinggi dan bila diberikan pada ayam dapat mengakibatkan penurunan bobot badan.

Bungkil biji kapuk telah pula dicobakan sebagai pakan ternak babi. Menurut Sihombing (1979), bungkil biji kapuk dapat diberikan sampai taraf 20%


(12)

pada babi fase penggemukan asal disertai penambahan mineral Fe empat kali lipat dari yang umumnya dipakai dalam ransum babi.

Bungkil biji kapuk merupakan bahan pakan yang kurang disukai oleh ternak ruminansia, namun demikian konsumsinya tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan bungkil kedelai atau bungkil kelapa. Hal ini kemungkinan disebabkan karena bungkil biji kapuk tidak bisa berperan sebagai pe-rangsang bau yang baik karena baunya tidak tajam. Selain itu rasanya yang hampir tidak terasa, disamping bentuk fisiknya agak keras dibandingkan dedak, bungkil kelapa dan bungkil kedelai. Oleh karena itu untuk pemberiannya pada ternak ruminansia sebaiknya dikombinasikan dengan bahan lain yang lebih merangsang bau dan rasanya (Ariani, 1981).

Berdasarkan hasil penelitian Hidajati dan Siregar (1989) bungkil biji kapuk dapat digunakan hingga taraf 20% pada konsentrat sapi perah dara tanpa mempengaruhi pertam-bahan bobot badan harian, konsumsi ransum dan daya cerna. Sedangkan Martawidjaja dan Rangkuti (1989), berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa pemberian bungkil biji kapuk pada domba muda sebanyak 100 gr/ekor/hari nyata me-ningkatkan berat badan, konsumsi ransum dan daya cerna.


(13)

2.3 Kambing Perah Peranakan Etawah

Kambing Peranakan Etawah (PE) adalah hasil persilangan kambing Etawah yang dikenal sebagai kambing Jamnapari, dengan kambing kacang (kambing lokal). Di Pulau Jawa khususnya, kambing PE dikenal sebagai kambing Jawarandu. Ciri-ciri dan kemampuan produksinya berada diantara sifat-sifat karakteristik kambing Etawah dan kambing kacang. Kapasitas produksi susu kambing PE betina tergantung pada tinggi atau rendahnya persentase darah Etawah yang dimilikinya. Umumnya berkisar antara 1 - 1,5 liter perhari (Djanah, 1984; Sumoprastowo, 1989). Produksi susu kambing Jamnapari (di Indonesia dikenal sebagai Etawah) menurut Devendra dan Mc.Leroy (1982) adalah cukup tinggi yaitu 1-3 kg dengan kadar lemak 5.2%. Sedangkan menurut Triwulanningsih (1986) rataan produksi susu kambing PE sekitar 498 - 692 ml/ekor/hari dengan produksi tertinggi dicapai 868 ml.

Ternak kambing PE merupakan persilangan kambing perah Jamnapari dan kambing kacang penghasil daging, dapat mempunyai dua fungsi yaitu sebagai penghasil daging maupun susu. Oleh karena itu kambing Etawah dan PE ini mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai penghasil susu di pedesaan. Kambing jenis ini sudah umum diternakkan sebagai penghasil susu (Isbandi dan Santosa, 1984).

Di Indonesia kambing PE sudah umum dipelihara di pedesaan terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur. Menurut Isbandi dan Santosa (1984) di Kaligesing Purworejo mulai tahun 1980 telah dibina dan dilestarikan kambing perah oleh


(14)

Dinas Peternakan Jawa Tengah, pada pembibitan ternak untuk mem-produksi bibit kambing perah.

Menurut Sunarlim dkk.(1992) susu kambing maupun susu domba mempunyai cita rasa yang sama dengan susu sapi, teru-tama bila ditambahkan gula sebanyak 5% dan 0.5% coklat bubuk. Susu kambing secara organoleptik cukup disukai sama seperti pada susu sapi.

2.4 Asam Lemak Siklopropenoat Dan Efek Biologisnya

Asam lemak siklopropenoat adalah asam lemak yang mempunyai gugus siklis yaitu gugus siklopropena. Dikenal dua senyawa dimana tergantung jumlah karbonnya yaitu asam malvalat dan asam sterkulat. Asam sterkulat adalah asam

8 -(2-oktil - 1 - siklopropenil) oktanoat dan asam malvalat adalah asam 7 - (2- oktil- 1- siklopropenil) heptanoat (Phelps, et al., 1964). Rumus bangun

asam-asam tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. berikut ini. CH2

CH3(CH2)7 C === C (CH2)7 COOH Asam Sterkulat

CH2

CH3 (CH2)7 C === C (CH2)6 COOH Asam Malvalat


(15)

Asam lemak siklopropenoat ini pada umumnya menyebabkan berbagai efek negatif yang merugikan baik secara ekonomis maupun produksi, terutama bila semakin meningkat dosis pemberian bahan pakan yang mengandung asam siklopropenoat. (Phelps, et al. , 1964).

Pemberian ransum yang mengandung asam siklopropenoat dapat menyebabkan terjadinya “pink whitel” pada telur ayam yaitu berubahnya warna pada putih telur menjadi merah jambu atau pink , meningkatnya pH kuning telur, meningkatnya kadar air kuning telur terutama selama penyimpanan, yang disebab-kan meningkatnya permeabilitas membran viteline. Asam siklopropenoat juga dapat menyebabkan meningkatnya zat besi dan kandungan NPN pada putih telur, menyebabkan meningkatnya kandungan asam lemak jenuh dan titik cair kuning telur, yang ditandai dengan meningkatnya viskositas kuning telur. (Phelps, et al.,

1964).

Selain itu ransum yang mengandung asam siklopropenoat dapat pula menurunkan produksi telur dan bahkan dengan meningkatnya dosis asam sterkulat dalam ransum sampai 250 mg/ekor/hari menyebabkan ayam istirahat bertelur setelah dua hari pemberian ransum dan akan berhenti total setelah 7 hari. Meningkatnya dosis asam siklopropenoat juga akan menyebabkan kematian embrio pada ayam (Phelps, et al. , 1964) .

Pada mamalia asam siklopropenoat dapat menyebabkan terlambatnya dewasa kelamin sehingga mengakibatkan siklus estrus lebih lama. Sapi yang mendapat bungkil biji kapas akan menghasilkan susu dengan lemak susu yang


(16)

mempunyai titik cair tinggi, berubah bentuk menjadi kental. Apabila susu ini dijadikan mentega, diperlukan waktu "churning" yang lebih lama. Sedangkan jika sapi yang mendapat hijauan tinggi ditambah 6% minyak biji kapas akan menghasilkan lemak susu yang tinggi kandungan asam stearatnya (Phelps, et al« , 1964) .

Asam siklopropenoat ini menyebabkan perubahan metabolisme lemak didalam tubuh ternak, dimana menyebabkan perubahan komposisi asam lemak yaitu lemak yang mengandung asam stearat akan bertambah sedang lemak yang mengandung asam oleat akan berkurang. Hal ini pada ternak babi akan menyebabkan lemak tubuhnya akan mempunyai titik cair yang lebih tinggi. Sedangkan pada sapi laktasi akan menyebabkan lemak susunya mempunyai titik cair yang tinggi, dan rendah kadar iodine serta kadar asam lemak terbangnya (Phelps, et al., 1965) .

Asam lemak siklopropenoat dapat dinonaktifkan sehingga dapat mengurangi bahkan menghilangkan sifat toksiknya. Antara lain yaitu dengan hidrogenasi, pemanasan dengan polimerisasi, halogenasi, pengasaman dan substitusi atom hidrogen secara kimia pada cincin siklopropena (Phelps, et al., 1965).

Uji kualitatif asam siklopropenoat yang paling mudah adalah dengan pereaksi Halphen. Uji ini bersifat spesifik, tetapi tidak dapat untuk membedakan kedua asam siklopropenoat yaitu asam malvalat dan asam sterkulat (Zahirma, 1986) .


(17)

2.5 Komposisi Susu

Susu terdiri atas tiga komponen utama yaitu kasein (protein), laktosa dan lemak. Bahan padat susu terdiri atas bahan padat dengan lemak dan bahan padat tanpa lemak.

Komponen susu disintesa dari prekursor-prekursor yang terdapat dalam plasma darah yang kemudian diambil oleh kelenjar mammae untuk dikeluarkan sebagai susu. Untuk mensintesa susu, sel kelenjar mammae memerlukan adanya glukosa, asam asetat, asam hidroksi butirat, asam amino esensial dan non esensial serta asam-asam lemak trigliserida. Lemak susu disintesa dari gliserol dan asam lemak yang disintesa de novo di sel kelenjar mammae atau langsung diambil dari lemak darah (Morand-Fehr,et al., 1982).

Prekursor untuk pembentukan protein susu adalah asam amino esensial dan non esensial yang berasal dari darah serta asam amino non esensial yang disintesa dalam kelenjar mammae yang berasal dari glukosa dan asetat serta asam amino yang lain. Sedang prekursor pembentukan laktosa susu adalah glukosa yang merupakan prekursor utama dimana hampir 85 % laktosa susu adalah dibentuk dari glukosa darah (Morand-Fehr, et al., 1982).

Komposisi susu kambing bervariasi, dipengaruhi oleh bangsa (jenis), produksi susu, tingkat laktasi, kualitas dan kuantitas makanannya (Jaoven, 1981), tempat, musim, manajemen, kejadian birahi dan kesehatan (French, 1980).

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kadar lemak susu kambing bervariasi dari 2,73% - 16% dan terbanyak diantara 3,1% - 7,0% (Morand - Fehr


(18)

dan Sauvant, 1980; Jenness, 1980).

Komposisi susu kambing menurut Prakash dan Jenness (1968) dan Jenness (1980) yang dikutip oleh Morand-Fehr, et al., (1982) sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Perbedaan komposisi ini, umumnya disebabkan oleh kandungan lemak susu (2-8%), seperti halnya pada susu sapi. Adanya perbedaan komponen susu, khususnya kadar lemak, tergantung tingkat produksi susu. Variasi atau perbedaan komposisi susu adalah lebih besar diantara jenis kambing itu sendiri yang terlihat dari perbedaan kemampuan produksi susunya, dibandingkan antara sapi dan kambing-kambing yang mempunyai kapasitas produksi sangat tinggi.

Asam-asam lemak susu dengan atom karbon kurang dari 16 disintesa di dalam kelenjar susu, sedangkan yang lebih dari 16 berasal dari darah. Pada umumnya asam-asam lemak susu berasal dari asam asetat dam asam betahidroksibutirat. Asam asetat ini merupakan bahan utama untuk sintesa asam-asam lemak susu yang mempunyai atom karbon mencapai 16. Penurunan kadar lemak susu banyak dikarenakan turunnya lemak darah dan sedikit karena turunnya asam asstat (Emery, 1969).

Protein susu menurut Jenness (1980) terdiri dari betalaktoglobulin, alfa-laktalbumin, beta- kasein, k kasein dan alfa-s2 kasein.

Kadar protein susu kambing berdasarkan pelbagai penelitian bervariasi diantaranya 1% - 17,8% dan kebanyakan terdapat diantara 2% - 6% (Jenness, 1980; Batthacharya, 1980; Morand- Fehr dan Sauvant. 1980) .


(19)

Kadar laktosa susu kambing relatif sama dengan kadar laktosa susu sapi yaitu 4,3% banding 4,8% (Prakash dan Jenness, 1968; Larson ,1978; Morand- Fehr dan Sauvant,1980). Kandungan fosfor dan kalsium pada susu kambing nyata lebih tinggi dibandingkan pada susu sapi, sedangkan kobalt dan molibdenum lebih rendah (Morand- Fehr dan Sauvant, 1980).

Susu kambing berwarna putih karena tidak mengandung atau sedikit sekali mengandung pigmen karotin. Susu kambing sedikit mengandung vit B6 , Vit B12 dan asam folat (Morand-Fehr dan Sauvant, 1980).

Butir-butir lemak susu kambing lebih kecil dan halus dibandingkan susu sapi, sehingga lebih cepat dan mudah dicerna oleh enzim di dalam saluran pencernaan manusia dibandingkan lemak susu sapi (French, 1980).

Karakteristik yang penting dari susu kambing adalah kaseinnya, dimana dalam pencernaan membentuk gumpalan yang tidak keras dan lebih mudah pecah dibandingkan dengan kasein susu sapi, sehingga enzim proteolitik pencernaan mudah merasuk dan mencerna lebih cepat (French,1980).

Lemak susu kambing banyak mengandung antara lain C6, C8, C10 dan C12 dibandingkan lemak susu sapi karena tingkat polimerisasi dari pembentukan asam asetat dari pakan untuk aktifitas mikroba rumen bervariasi pada spesies yang berbeda (French, 1980)


(20)

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kandang Percobaan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, yaitu mulai tanggal 22 Juli 1993 sampai dengan 16 September 1993, dimana 2 minggu pertama merupakan masa persiapan, 2 minggu kedua merupakan masa adaptasi dan 4 minggu terakhir merupakan masa pengamatan/pengumpulan data.

Analisa bahan dan ransum percobaan dilakukan di Labora-torium Makanan Ternak Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, sedangkan analisa kualitas susu dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

3.2 Materi Penelitian 3.2.1 Ternak

Ternak yang digunakan dalara penelitian ini adalah 16 ekor kambing betina Peranakan Etawah laktasi pertama dan bulan laktasi 3-5 bulan. Bobot badan rata-rata 31.41 ± 3.18 kg. Kambing dibagi atas empat kelompok berdasarkan produksi susu yaitu <130, 130-180, 181-230 dan >230 g/hari, sehingga masing-masing kelompok terdiri dari empat ekor kambing.


(21)

3.2.2 Kandang

Kandang yang dipakai pada penelitian ini terbuat dari kayu, berbentuk panggung dengan tinggi panggung 0.5 meter di atas tanah. Kandang dibagi dalam petak-petak berukuran 1.60 x 0.8 meter. Setiap petak kandang dilengkapi dengan tempat makanan dan minum.

3.2.3 Ransum.

Ransum yang diberikan terdiri dari hijauan dalam bentuk segar dan konsentrat dengan perbandingan 60 : 40. Hijauan yang digunakan yaitu rumput gajah dan daun lamtoro dengan perbandingan 40 : 20. Ransum percobaan disusun berdasarkan standar National Research Council (NRC, 1981). Terdapat empat macam ransum perlakuan yang mengandung berbagai taraf bungkil biji kapuk. Adapun keempat ransum perlakuan tersebut adalah sebagai berikut :

R1 :Hijauan + konsentrat dengan 0 % bungkil biji kapuk R2 :Hijauan + konsentrat dengan 10 % bungkil biji kapuk R3 :Hijauan + konsentrat dengan 20 % bungkil biji kapuk R4 :Hijauan + konsentrat dengan 30 % bungkil biji kapuk

Komposisi dan kandungan zat makanan masing-masing konsentrat percobaan seperti tertera pada Tabel 2.


(22)

3.3 Metode Penelitian

Enam belas ekor kambing Peranakan Etawah laktasi yang telah dikelompokkan menjadi empat kelompok, dibagi secara acak ke dalam empat perlakuan ransum sehingga masing-masing perlakuan terdiri dari empat ulangan yang mewakili setiap kelompoknya.

Tabel 2 Komposisi Bahan Makanan dan Kandungan Zat-Zat Makanan Konsentrat Percobaan (100%BK)

Perlakukan Bahan Makanan

R1 R2 R3 R4

Bungkil biji kapuk 0 10 20 30

Dedak kasar 40 40 40 40

Bungkil kedelai 16.06 14.26 10.84 7.65

Bungkil kelapa 40.19 31.99 25.41 18.60

NaCL 1.25 1.25 1.25 1.25

Batu kapur 2.5 2.5 2.5 2.5

Jumlah 100 100 100 100

Kandungan zat-zat makanan (%)

Bahan kering 89.93 89.54 89.19 88.85

Protein kasar 21.19 21.76 21.84 21.99

Serat kasar 12.57 13.97 15.54 17.08

Abu 7.94 8.20 8.44 8.69

Lemak kasar 19.32 17.39 16.47 15.21

BETN 38.98 38.68 37.71 37.03

Calcium 1.31 1.34 1.37 1.40

Phospor 1.15 1.19 1.22 1.26

GE (cal/gr) 4723.40 4717.89 4726.57 4733.43

TDN* 72.15 71.57 71.01 70.27

Keterangan :BETN = Bahan Ekstrak Tiada Nitrogen TDN*= Total Digestible Nutrient Dugaan

Pemberian hijauan dilakukan 3 kali sehari yaitu pada jam 08.00 pagi, 12.00 siang dan 16.00 sore. Sedangkan konsentrat diberikan dua kali sehari yaitu pada jam 07.00 pagi dan 15.00 siang. Hijauan diberikan dalam bentuk segar dan konsentrat diberikan dalam bentuk kering. Ransum diberikan dalam jumlah yang


(23)

telah ditentukan sesuai dengan kebutuhan ternak dan air minum diberikan adlibitum.

Peubah Yang Diukur 1. Berat Jenis (BJ) Susu 2. Komposisi Susu meliputi :

a. Kadar protein susu b. Kadar lemak susu

c. Kadar bahan kering tanpa lemak (BKTL) susu d. Kadar laktosa susu

3. Kandungan Asam Lemak Slklopropenoat Susu

3.4 Cara Pengambilan Data

Cara pengambilan data adalah sebagai berikut :

1. Berat Jenis (BJ) susu dihitung menggunakan Lactodensimeter yang telah ditera pada suhu 27.5 ° C (Sudono, 1984). Air susu setelah dihomogenkan dituang hati-hati ke dalam tabung untuk menghindari terbentuknya buih. Lactodensimeter Gerber dibenamkan, dibiarkan sampai timbul kembali dan ditunggu sampai diam. Permukaan susu menunjukkan skala yang terdapat pada Lactodensimeter.

2. Kadar Protein susu ditentukan dengan metode Titrasi Formol (Sudarwanto dan Lukman, 1993). Untuk menentukan kadar protein susu kambing dapat digunakan titrasi formol dengan faktor protein 1.95 (Ernawati, 1990).


(24)

Caranya adalah dengan mentitrasi campuran yang terdiri dari 25 ml susu + 1 ml larutan Kalium oksalat dan 0,25 ml phenolphtalin yang ditempatkan dalam galas beker dengan larutan NaOH sampai warnanya sama dengan warna standar (merah muda) yaitu warna dari campuran standar 25 ml susu + 1 ml larutan Kalium oksalat + 0.5 ml larutan Kobalt sulfat. Campuran tersebut dititrasi kembali sampai warnanya sama dengan warna standar setelah sebelumnya ditetesi dengan 2 -5 ml larutan formalin 40%. Titrasi formol dapat diketahui yaitu = jumlah NaOH yang terpakai pada titrasi yang kedua dari contoh dikurangi jumlah NaOH yang terpakai pada titrasi blanko. Titrasi blanko dibuat dengan mengganti contoh susu dengan aguades. Kadar Protein (%) = Titrasi Formol x 1.95 dimana 1.95 = faktor protein untuk susu kambing

3. Kadar lemak susu dihitung dengan metode Gerber (Sudarwanto dan Lukman, 1993). Ke dalam Butirometer dimasukkan 10 ml asam sulfat pekat (90 - 91%), kemudian ditambahkan 10.75 ml contoh susu dan 1 ml amilalkohol. Butirometer ditutup sampai rapat dan dikocok sampai bagian-bagian di dalamnya tercampur rata. Setelah terbentuk warna ungu tua sampai kecoklatan (terbentuk karamel), butiroraeter disentrifus pada 1.200 rpm selama 5 menit. Kemudian butirometer dimasukkan ke dalam penangas air dengan suhu 65 ° C selama 5 menit dengan bagian yang ada skalanya di atas. Dengan membaca skala yang tertera pada butirometer dimana batas antara lemak (cairan jernih) dengan campuran (ungu coklat)


(25)

tepat di angka 0, persentase kadar lemak dapat diketahui.

4. Kadar Bahan Kering Tanpa Lemak (BKTL) susu dihitung dengan persamaan Fleischmann (Sudarwanto dan Lukman,1993).

BK = (1.311 X L) + (2.738

BJ ) 1 BJ (

100

)

dimana L = kadar lemak susu {%) BJ = berat jenis susu pada 20 °C Sehingga BKTL = BK - L

5. Kadar Laktosa Susu ditentukan dengan metode volumetri (Sudarmadji dkk., 1984). Sebanyak 25 ml susu ditambah 5 ml regensia ZNSO4 dan 5 ml larutan NaOH 0.75 N dicampurkan dalam labu ukur 50 ml, yang kemudian diencerkan dengan aquades sampai tanda. Setelah terjadi pengendapan campuran tersebut disaring dan filtratnya dikumpulkan. Kemudian volume filtrat dihitung secara teoritis, yaitu dengan mengurangkan volume protein yang mengendap dan volume lemak dari volume mula-mula 50 ml. Dengan menggunakan erlenmeyer 250 ml sebanyak 5 ml filtrat ditambahkan 20ml aquades, 20 ml larutan KI 10% dan 50 ml larutan Chloramin T. Setelah dicampur dan didiamkan 90 menit ditambah 10 ml larutan 2N HCl, kemudian dititrasi dengan 0.1 N Na2S2 O3 sampai berwarna kuning pucat. Setelah ditambahkan indikator larutan pati, titrasi dilanjutkan sampai warna abu-abu. Larutan blanko dibuat dengan mengganti 25 ml susu dengan 25 ml aquades.


(26)

A = (Tb -Ts) X N x 0.171 x 5 100

Dimana : A = gram laktosa/100 ml filtrat Ts = titrasi contoh

Tb = titrasi blanko N = Normalitas Na2S2O3

Sebagai contoh menghitung kadar laktosa dalam 100 ml susu yang kadar proteinnya 3.2%, lemak 3.5%, sehingga volume filtratnya 48.4 ml adalah :

Kadar laktosa dalam 100 ml susu = A x 100 48.4

x 25 100

6. Kandungan Asam Lemak Siklopropenoat Susu.

Untuk mengetahui kandungan asam siklopropenoat dalam susu maka sebelumnya harus dideteksi apakah ada atau tidak asam siklopropenoat dalam ransum percobaan.

Kandungan asam siklopropenoat baik dalam ransum maupun dalam susu dapat diketahui secara kualitatif dengan cara tes Halphen (Phelps, et al. , 1965).

Tes Halphen adalah metode analisa yang sangat sensitif untuk deteksi senyawa siklopropenoat dan pada konsentrasi 0,001% sudah akan memberikan reaksi positif dalam tes suatu larutan (Phelps, et al., 1965). Adapun cara test Halphen adalah dengan menambahkan satu volume karbon disulfida yang mengandung 1% Sulfur terlarut dan satu volume


(27)

pentanol (amyl alkohol) ke dalam contoh minyak atau lemak yang akan dianalisa. Karbon disul-fidanya akan didestilasi secara lambat dari tube yang terbu-ka dan larutan residu alkoholnya dipanaskan sampai suhu 110 derajat Celcius. Reaksi positif akan ditandai dengan ter-bentuknya warna pink (merah muda) atau merah dan intensitas-nya dapat dipakai untuk analisa semi kuantitatif ( Phelps,et al., 1965).

Adapun kriteria penilaian terhadap intensitas warna yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Nilai 0 = tidak berwarna

1 = tidak berwarna sampai sedikit sekali (agak) merah muda 2 = agak merah muda sampai sedikit merah muda

3 = sedikit merah muda sampai merah muda 4 = merah muda sampai merah

5 = merah

3.5 Analisis Data

Analisis keragaman terhadap peubah yang diukur pada percobaan Acak Kelompok dilakukan dengan petunjuk Steel dan Torrie (1989). Untuk hasil yang berbeda diuji lebih lanjut dengan polinomial orthogonal. Untuk mengetahui keeratan hubungan antara peubah yang diukur dilakukan analisis korelasi dan regresi.


(28)

Berdasarkan hasil analisis data ternyata bahwa taraf penggunaan bungkil biji kapuk di dalam ransum kambing perah belum mempengaruhi secara nyata kualitas susu (kadar lemak, protein, laktosa, bahan kering tanpa lemak/BKTL dan berat jenis/BJ), produksi lemak dan produksi protein.

Berdasarkan hasil analisis data, ternyata penggunaan bungkil biji kapuk sampai taraf 30% di dalam ransum konsentrat belum nyata mempengaruhi kadar lemak, kadar protein, kadar laktosa , kadar bahan kering tanpa lemak (BKTL), berat jenis (BJ). produksi lemak serta produksi protein susu.

Nilai rataan hasil pengukuran kadar lemak, protein, laktosa, BJ dan BKTL serta produksi lemak dan produksi protein susu disajikan pada Tabel 4.

Tabel 3. Efek Pemberian Bungkil Biji Kapuk terhadap Komposisi Susu, Produksi Lemak dan Protein

Taraf Bungkil Biji Kapuk (%) Peubah

0 10 20 30

Kadar lemak (%) 7.18 6.49 6.52 6.25

Kadar protein (%) 5.02 5.27 5.75 5.56

Kadar laktosa (%) 4.14 4.13 4.08 4.10

Kadar BKTL (%) 9.89 9.95 9.78 10.35

Berat jenis (BJ) 1.0275 1.0285 1.0273 1.0302

Prod. Lemak (g/hari) 11.50 13.25 11.0 20.25


(29)

4.1 Kadar Lemak Susu

Lemak susu adalah merupakan salah satu komponen susu yang sangat mudah berubah (Larson, 1985; Morand-Fehr,et al., 1982).

Hasil analisis data menunjukkan bahwa pengunaan BBK dalam ransum belum nyata mempengaruhi kadar lemak susu.

Kadar lemak susu kambing pada keempat perlakuan dalam penelitian ini mendekati hasil penelitian Jenness (1980) yaitu bahwa kadar lemak susu kambing bervariasi dari 3.40 sampai 7.76%. Sedangkan Katipana (1986) dalam penelitiannya mendapatkan kadar lemak susu kambing Peranakan Etawah adalah sebesar 5.05%.

Tidak adanya perbedaan kadar lemak susu dari keempat perlakuan ransum kemungkinan adalah disebabkan karena prekursor utama untuk sintesis lemak susu di dalam tubuh tersedia dalam jumlah yang sama sehingga menghasilkan kadar lemak susu yang tidak berbeda.

Seperti diketahui tingginya kadar lemak di dalam susu tergantung ketersediaan prekursor pembentukan lemak susu, yang dipengaruhi oleh makanan yang diberikan antara lain yaitu glukosa, trigliserida dan prekursor yang utama yaitu asam asetat dan beta hidroksi butirat (Larson, 1985; Morand-Fehr, et al., 1982) .

Asam asetat yang merupakan produk dari fermentasi makanan kasar di dalam rumen, adalah merupakan prekursor utama pembentukan lemak susu. Pada ternak laktasi , ratio perbandingan asetat/propionat adalah sangat penting karena


(30)

jika ratio asetat/propionat rendah kadar lemak air susu menurun, sedang jika ratio asetat/propionat tinggi kadar lemak air susu akan naik (Sutardi, 1978).

Tidak adanya pengaruh taraf penggunaan BBK sampai 30% dalam ransum terhadap kadar lemak susu, hal ini dapat dipakai sebagai petunjuk bahwa asam lemak siklopropenoat yang dikonsumsi yang berasal dari BBK tidak mempengaruhi kadar lemak susu. Hal ini sejalan dengan pendapat Cook,et al.,

(1976) yaitu bahwa pemberian asam lemak tidak jenuh siklopropenoat pada ternak ruminasia laktasi tidak banyak mempengaruhi komposisi asam lemak susunya dan tidak ada pengaruhnya terhadap jaringan lemak tubuh, karena kemungkinan asam lemak siklopropenoat terhidrogenasi dalam rumen seperti halnya asam lemak tidak jenuh lainnya.

Morand-Fehr (1981) menyatakan pula bahwa karena lemak di dalam rumen akan mengalami hidrogenasi, maka pengaruh jenis lemak yang dikonsumsi oleh ternak terhadap komposisi asam lemak susu, menjadi tidak nyata.

4.2 Kadar Protein Susu

Protein susu adalah merupakan komponen utama susu yang penting artinya dari segi nilai gizi makanan.

Berdasarkan hasil analisis data ternyata penggunaan bungkil biji kapuk (BBK) sampai taraf 30% dalam ransum konsentrat belum nyata mempengaruhi kadar protein susu.


(31)

nyata (P < 0.05, R = 0.59) dengan meningkatnya konsumsi protein (X, g/hari), mengikuti persamaan Y = 2.387 + 17.867 X.

Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa meningkatnya konsumsi protein akan meningkatkan kadar protein susu. Hal ini sesuai dengan pendapat Broderick,

et al.(1974) yaitu bahwa meningkatnya kandungan protein susu adalah akibat dari meningkatnya konsumsi protein. Keadaan ini menunjukkan bahwa ketersediaan asam amino berpengaruh terhadap sintesis protein di dalam kelenjar mammae. Hal ini didukung dengan percobaan menginfusikan asam amino secara intravenous, dapat meningkatkan sekresi protein susu.

Prekursor pembentukan protein susu yang disintesa di dalam kelenjar mammae adalah asam amino esensial dan non essensial yang berasal dari plasma darah. Pengambilan asam amino non esensial oleh kelenjar mammae ini adalah lebih berfluaktuasi tergantung waktu dan tergantung individu ternaknya. Kelenjar mammae dapat beradaptasi sendiri terhadap ketersediaan asam amino non esensial yang berfluktuasi, tetapi sangat tergantung pada ketersediaan asam amino esensial di dalam darah. Kelenjar mammae dapat mensintesa asam amino non esensial dari berbagai prekursor antara lain yaitu asam lemak terbang seperti asetat dan propionat, glukosa dan asam amino yang lain (Morand- Fehr, et al., 1982).

Kadar protein susu dari keempat perlakuan ransum ini sesuai mendekati hasil penelitian Jenness (1980), Battha-charya (1980) dan Morand-Fehr dan Sauvant (1980) yaitu bahwa kadar protein susu kambing adalah bervariasi diantara 1 - 17.8% dan pada umumnya terdapat diantara 2-6%.


(32)

4.3 Kadar Laktosa Susu

Laktosa susu atau disebut juga gula susu, merupakan karbohidrat dalam bentuk disakarida yang hanya terdapat pada susu. Terbentuk dari satu molekul glukosa dan satu molekul galaktosa ( Jaoven, 1981; Larson, 1985).

Pada ternak kambing, kadar laktosa susunya selama periode laktasi sangat kecil variasinya (Jaoven, 1985).

Berdasarkan hasil analisis data ternyata penggunaan bungkil biji kapuk (BBK) sampai taraf 30% dalam ransum konsentrat tidak mempengaruhi kadar laktosa susu.

Tidak terdapatnya perbedaan kadar laktosa susu dari keempat perlakuan, kemungkinan disebabkan karena prekursor utama untuk sintesis laktosa tersedia dalam jumlah yang sama, sehingga menghasilkan kadar laktosa yang tidak berbe-da.

Prekursor utama pembentukan laktosa susu adalah glukosa darah dan hampir 85 % laktosa adalah dibentuk dari glukosa darah (Morand-Fehr, et al.,

1982).

Kadar laktosa susu kambing umumnya sedikit lebih rendah dari kadar laktosa susu sapi (French, 1980 ; Morand-Fehr, et al., 1982).

Kadar laktosa susu dari keempat perlakuan ransum sesuai mendekati hasil penelitian Jenness (1980) yaitu bahwa kadar laktosa susu kambing bervariasi dan berkisar dari 4.01 -6.30 %.


(33)

4.4 Bahan Kering Tanpa Lemak (BKTL) Susu

Nilai sebenarnya dari kualitas susu adalah terletak pada kandungan BKTL susu yaitu bahan kering yang tertinggal setelah lemak susu dihilangkan (Tillman, dkk., 1986).

Hasil analisis data menunjukkan bahwa penggunaan bungkil biji kapuk (BBK) sampai taraf 30% dalam ransum konsentrat belum nyata mempengaruhi kadar BKTL susu.

Tidak terdapatnya perbedaan yang nyata dari kadar BKTL susu dari keempat perlakuan ransum adalah sejalan dengan keadaan dimana kadar protein dan laktosa susu tidak berbeda. Hal ini disebabkan karena BKTL susu ditentukan oleh komponen protein (kasein dan alburaun) dan laktosa, disamping vitamin-vitamin, enzim-enzim dan mineral susu (Sudono, 1983).

Menurut French (1980) dan Larson (1985) kandungan BKTL susu jauh lebih kecil variasinya dibandingkan dengan variasi kandungan lemak susu. Perubahan kandungan BKTL susu umumnya disebabkan terutama karena perubahan kandungan protein susu. Produksi BKTL susu cenderung merupakan refleksi dari produk-si susu.


(34)

4.5 Berat Jenis (BJ) Susu

Berat jenis (BJ) susu merupakan parameter kualitas susu yang sangat diperlukan disamping kadar lemak susu.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan berat jenis susu adalah faktor komposisi susu itu sendiri, yang terdiri dari protein, lemak, laktosa, gas dan mineral dalam susu (Jaoven, 1981). Eckles, et al. (1957) menyatakan bahwa perubahan berat jenis susu dipengaruhi berat jenis masing-masing komponen susu yaitu protein (1.346), lemak (0.93), laktosa (1.666) dan garam (4.12).

Berdasarkan hasil analisis data ternyata penggunaan BBK dalam ransum belum nyata mempengaruhi berat jenis susu.

Meskipun demikian terlihat bahwa berat jenis susu (Y) nyata (P < 0,01, R = 0.88) meningkat dengan meningkatnya BKTL susu (X,%), mengikuti persamaan Y = 0.992 + 0.0036 X.

Berat jenis susu yang dihasilkan dari keempat perlakuan ransum sesuai dengan pendapat Jaoven (1981) yaitu bahwa berat jenis susu kambing bervariasi antara 1.0260 sampai 1.0420.


(35)

4.6 Kandungan Asam Lemak Siklopropenoat Susu

Rata-rata kandungan asam lemak siklopropenoat susu selama penelitian disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 4. Rata-rata Kandungan asam Siklopropenoat Susu Selama Penelitian Taraf Bungkil biji kapuk (%)

Taraf Bungkil biji kapuk (%) Perubah

0 10 20 30

Setelah 2 minggu pemberian ransum 0 0 +(1) +(2)

Setelah 4 minggu pemberian ransum 0 0 +(3) +(5)

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sampai penggunaan 10% bungkil biji kapuk (BBK) dalam ransum ternyata belum menunjukkan adanya asam siklopropenoat yang terkandung di dalam susu, walaupun telah dikonsumsi selama 4 minggu. Keadaan ini diduga disebabkan karena asam lemak siklopropenoat yang dikonsumsi bersama BBK seluruhnya dapat terhidrogenasi di dalam rumen, sehingga tidak terdapat dalam darah dan akhirnya tidak terdapat pula dalam air susu.

Hal ini sesuai dengan pendapat Cook,et al.( 1976) yaitu bahwa asam lemak siklopropenoat yang merupakan asam lemak tidak jenuh akan terhidrogenasi di dalam rumen seperti halnya yang dialami oleh asam lemak tidak jenuh lainnya. Proses ini menghasilkan asam siklopropen yang tidak menghambat sistim kerja enzim desaturase (enzim yang bersifat dehidrogenasi pada asam lemak). Asam siklopropenoat sangat kuat menghambat sistim kerja enzim desaturase asam lemak, seperti pada anak ayam yang diberi 5-10 mg/kg bobot badan asam lemak siklopropenoat, yang terdiri dari asam malvalat dan sterkulat, sangat efektif


(36)

menghambat perubahan asam stearat menjadi oleat di dalam hati, sehingga meningkatkan kandungan asam stearat dan menurunkan kandungan asam oleat pada jaringan lemak tubuh.

Sedangkan pada taraf penggunaan 20 dan 30% BBK di dalam ransum, asam siklopropenoat sudah terdapat dalam susu pada minggu ke dua dan meningkat jumlahnya pada minggu keempat setelah pemberian ransum. Keadaan ini kemungkinan disebabkan karena asam lemak siklopropenoat yang dikonsumsi tidak seluruhnya dapat terhidrogenasi di dalam rumen, karena kemungkinan konsentrasinya cukup banyak sejalan dengan meningkatnya konsumsi ransum, sehingga masih diekresikan dalam air susu bersama-sama dengan asam lemak yang lainnya.

Seperti diketahui BBK komersil yang dianalisa ternyata mengandung asam sterkulat (senyawa asam siklopropenoat) sebanyak 60 ppm dan jika BBK ini dicampur dalam ransum sebanyak 30%, kadar asam sterkulatnya turun menjadi sepertiganya. Sedangkan kandungan asam siklopropenoat (asam sterkulat) pada minyak biji kapuk komersil adalah 1400 ppm. Batas ambang berbahaya pada ternak non ruminansia seperti ayam untuk asam sterkulat adalah pada tingkat ransum 30 % BBK dimana kadar asam sterkulatnya adalah 20 ppm (Zahirma, 1986) .


(37)

5.1 Kesimpulan

1. Penggunaan bungkil biji kapuk sampai taraf 30% dalara konsentrat kambing perah belum memberikan pengaruh terhadap kualitas susu. 2. Penggunaan bungkil biji kapuk sampai taraf 10% dalaro konsentrat

kambing perah sampai dengan empat minggu, cukup aman karena tidak menyebabkan terdapatnya asam siklopropenoat di dalam susu.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tehnik pemberian bungkil biji kapuk pada ternak ruminansia untuk mendapat-kan produk ternak yang tidak mengandung racun asam siklopropenoat, sehingga aman untuk dikonsumsi. Hal ini disebab-kan karena pengaruh biologis dari asam siklopropenoat akan cepat menghilang setelah dihentikannya pemberian ransum yang mengandung asam siklopropenoat.


(38)

Ariani, E. , 1981. "Uji banding bungkil biji kapuk (Ceiba petandra, GAERTN) terhadap dedak, bungkil kelapa dan bungkil kedelai sebagai sumber protein lemak ruminansia". Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Battacharya, A.N. 1980. Research on Goat Nutrition and Management in Mediteranean Midle East and Adjacent Arab Countries.J. Dairy Sci. 63 : 1681 - 1700

Broderick, G.A., L.D. Satter and A.E. Harper. 1974. Use of plasma amino acid concentration to identify limiting amino acid for milk production. J.Dairy Sci 58: 1015 -1023.

Brody, S. 1945. Bioenergetics and Growth. Reinhold Publishing Corp. New York. USA.

Cook, L. J., T. W. Scott and S. C. Mills. 1976. Effect of protected cyclopropene fatty acid on the composition of ruminant milk fat. Lipids 11 : 705 - 711. Devendra, C. and C.B. Mc.Leroy. 1982. Goat and Sheep Production in the

Tropics. Intermediate Tropical Acgriculture Series. First Publ. Longman. London. New York. Singapore.

Djanah, D. 1984. Beternak Kambing. Penerbit C.V. Jasaguna, Jakarta.

Dukes, H.H. 1955. The Physiology of Domestic Animals. 7th Ed. Comstock Publishing Associates. Ithaca. New York.

Eckles, C.H., W.R. Combs and H. Macy. 1957. Milk and Milk Product. Mc.Graw-Hill Book Co. New York.

Edey, T. N. 1983. Tropical Sheep and Goat Production. AUIDP Canberra.

Emery, R. S. 1969. Lipids and Adipose Tissue. In E.S.E. Hafez and L. D. Dyer. 1969. Animal Growth and Nutrition. Lea and Febriger, Philadelphia. Ernawati. 1990. Pengaruh Tata Laksana Pemerahan Terhadap Kualitas Susu

Kambing Dan Hasil Olahannya. Thesis. Fakultas Pascasarjana. IPS. Bogor.


(39)

Isbandi dan E. Santosa. 1984. Usaha Kambing Peranakan Etawah Sebagai Sumber Peningkatan Pendapatan dan Kemungkinan Pengembangannya. Proceeding Domba dan Kambing di Indonesia. Puslitbangnak. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.

Hafez, E.S.E. 1962. The Behaviour of Domestic Animals. The Williams and Wilking Company. Baltimore,

Hidajati, N. dan B. Siregar. 1989. Penggunaan Bungkil Biji Kapuk Sebagai Pengganti Bungkil Kedelai dalam Ransum Sapi Perah yang Sedang Tumbuh. Presiding Simposium I. Hasil Penelitian dan Pengembangan tanaman Industri. Buku V. Tanaman Serat Buah . Bogor.

Jennes, R. 1980. Composition and Characteristics of Goat Milk. Review. 1968 - 1979. J. Dairy Sci. 63 : 1605 -1630.

Kadirvel, R. , R. Natanam and K. Udasurian. 1984. Use of kapok as a poultry feed. Poultry Sci. 65 : 2363.

Larson , B. L., 1978. The Dairy Goat as a model in Lactation Studies. J. Dairy Sci. 61 : 1023.1985. Lactation. The Iowa State University Press/Ames. First Ed. Ames. Iowa.

Lawrence, T.L.J. 1990. Influence of palatability on diet assimilation in non-ruminants. In J. Wiseman and D.J.A. Cole. ed. Feedstuff Evaluation. Butterworths. London.

Lubis, D. A., 1963. Ilmu Makanan Ternak. PT Perabangunan Jakarta.

Martawidjaja, M. dan M. Rangkuti. 1989. Pengaruh Suplementasi Bungkil Biji Kapuk Dengan Hijauan Dasar Rumput Gajah pada Anak Domba. Proceeding Pertemuan llmiah Ruminansia. Jilid 2.

Mayne, C. S. and F. J. Gordon. 1984. The Effect of Type of Concentrate andLevel of Concentrate Feeding on Milk Production., Anim. Prod. 39 : 65 - 76. Morand-Fehr, P. and D. Sauvant. 1980. Composition and yield of goat milk as

affected by nutritional manipulation. J. Dairy Sci. 63 : 1671 - 1680.


(40)

——————————————. 1981. Nutrition and feeding of goats : Application to temperate climatic conditions. In C. Gall. Ed Goat production. Academic Press Inc. London.

NRC. 1981. Nutrient Requirements of Goats : Angora, Dairy and Meat Goat in Temperate and Tropical Countries. National Academy Press, Washington, D. C.

Osche, J. J., M. J. Soule Jr., M. J. Dijkman and C. Wehlberg. 1961. Tropical and Subtropical Agriculture. Vol II. The Macmillan Company. New York. Parakkasi, A. 1983. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Angkasa,

Bandung.

Phelps, R. A., F. S. Shenstone, A. R. Kemmerer and R. J. Evans. 1964. A Review of cyclopropenoid compounds : biological effectof some derivatives. Poultry Sci., 44: 358.

Prakash, S. and R. Jenness. 1968. The Composition and Characteristics of Goat~s Milk. A Review. Dairy Sci.

Preston, T.R. and R.A. Leng. 1987. Matching Ruminant Production Systems With Available Resources in The Tropics and Sub Tropics. Penambul Books. Armidale. New South Wales. Australia.

Sudarmadji. S., B. Haryono . dan Suhardi. 1984. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi ketiga. Liberty Yogyakarta.

Setiadi. 1983. Bertanam Kapuk Randu. Penebar Swadaya. Anggota IKAPI. Sihombing, D. T. H. 1974. Pemanfaatan Bungkil Biji Kapuk dan Bungkil Biji

Jarak sebagai Bahan Makanan Ternak Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

———————————————— dan S. Simamora. 1979. Penelitian Bungkil Biji Kapuk untuk Makanan Ternak Babi. Seminar Penelitian dan Penunjang Pengembangan Peternakan II. Bogor, 5-8 November.

Siregar A. P. dan M. Sabrani. 1970. Tehnik Modern Beternak Ayam. Cet. pertama. Penerbit C.V. Yasaguna. Jakarta.


(41)

Sudarwanto, M. dan D. W. Lukman. 1993. Petunjuk Laboratorium. Pemeriksaan Susu dan Produk Olahannya. PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.

Sudono, A. 1985. Produksi Sapi Perah. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Suherman, F. 1973. Pengaruh Bungkil Biji Kapuk terhadap Pertumbuhan Anak Ayam Tipe Dwiguna. Thesis. Fakultas Peternakan, IPB.

Sunarlim, R. , Triyantini, Bambang, S. dan Hadi, S. Upaya Mempopulerkan dan Meningkatkan Penerimaan Susu Kambing dan Domba. Presiding Sarasehan Usaha Ternak Domba dan Kambing Menyongsong Era PJPT II. ISPI dan PDHI. Bogor.

Sutardi, T. 1978. Iktisar Ruminologi. Badan Penataran Kursus Peternakan Sapi Perah Kayu Arabon Lembang. Departemen Ilmu Makanan Fakultas Peternakan.

__________. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya.Fakultas Peternakan, IPB.

Sumoprastowo, C. D. A. 1980 Beternak Kambing Yang Berhasil Penerbit Bhratara Karya Aksara. Jakarta.

Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Fak. Peternakan UGM.

Triwulanningsih, E. 1986. Beberapa Parameter Genetik Sifat Kwantitatif Kambing Peranakan Etawah (PE) . Thesis . Fakultas Pascasarjana. IPB. Bogor. Zahirma , U. 1986. Analisa Asam Siklopropenoat Dari Biji Kapuk Dengan Tehnik

Kromatografi Gas. Skripsi Sarjana Kimia. Fakultas MIPA Universitas Indonesia. Jakarta.


(1)

32

menghambat perubahan asam stearat menjadi oleat di dalam hati, sehingga meningkatkan kandungan asam stearat dan menurunkan kandungan asam oleat pada jaringan lemak tubuh.

Sedangkan pada taraf penggunaan 20 dan 30% BBK di dalam ransum, asam siklopropenoat sudah terdapat dalam susu pada minggu ke dua dan meningkat jumlahnya pada minggu keempat setelah pemberian ransum. Keadaan ini kemungkinan disebabkan karena asam lemak siklopropenoat yang dikonsumsi tidak seluruhnya dapat terhidrogenasi di dalam rumen, karena kemungkinan konsentrasinya cukup banyak sejalan dengan meningkatnya konsumsi ransum, sehingga masih diekresikan dalam air susu bersama-sama dengan asam lemak yang lainnya.

Seperti diketahui BBK komersil yang dianalisa ternyata mengandung asam sterkulat (senyawa asam siklopropenoat) sebanyak 60 ppm dan jika BBK ini dicampur dalam ransum sebanyak 30%, kadar asam sterkulatnya turun menjadi sepertiganya. Sedangkan kandungan asam siklopropenoat (asam sterkulat) pada minyak biji kapuk komersil adalah 1400 ppm. Batas ambang berbahaya pada ternak non ruminansia seperti ayam untuk asam sterkulat adalah pada tingkat ransum 30 % BBK dimana kadar asam sterkulatnya adalah 20 ppm (Zahirma, 1986) .


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Penggunaan bungkil biji kapuk sampai taraf 30% dalara konsentrat kambing perah belum memberikan pengaruh terhadap kualitas susu. 2. Penggunaan bungkil biji kapuk sampai taraf 10% dalaro konsentrat

kambing perah sampai dengan empat minggu, cukup aman karena tidak menyebabkan terdapatnya asam siklopropenoat di dalam susu.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tehnik pemberian bungkil biji kapuk pada ternak ruminansia untuk mendapat-kan produk ternak yang tidak mengandung racun asam siklopropenoat, sehingga aman untuk dikonsumsi. Hal ini disebab-kan karena pengaruh biologis dari asam siklopropenoat akan cepat menghilang setelah dihentikannya pemberian ransum yang mengandung asam siklopropenoat.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ariani, E. , 1981. "Uji banding bungkil biji kapuk (Ceiba petandra, GAERTN) terhadap dedak, bungkil kelapa dan bungkil kedelai sebagai sumber protein lemak ruminansia". Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Battacharya, A.N. 1980. Research on Goat Nutrition and Management in Mediteranean Midle East and Adjacent Arab Countries.J. Dairy Sci. 63 : 1681 - 1700

Broderick, G.A., L.D. Satter and A.E. Harper. 1974. Use of plasma amino acid concentration to identify limiting amino acid for milk production. J.Dairy Sci 58: 1015 -1023.

Brody, S. 1945. Bioenergetics and Growth. Reinhold Publishing Corp. New York. USA.

Cook, L. J., T. W. Scott and S. C. Mills. 1976. Effect of protected cyclopropene fatty acid on the composition of ruminant milk fat. Lipids 11 : 705 - 711. Devendra, C. and C.B. Mc.Leroy. 1982. Goat and Sheep Production in the

Tropics. Intermediate Tropical Acgriculture Series. First Publ. Longman. London. New York. Singapore.

Djanah, D. 1984. Beternak Kambing. Penerbit C.V. Jasaguna, Jakarta.

Dukes, H.H. 1955. The Physiology of Domestic Animals. 7th Ed. Comstock Publishing Associates. Ithaca. New York.

Eckles, C.H., W.R. Combs and H. Macy. 1957. Milk and Milk Product. Mc.Graw-Hill Book Co. New York.

Edey, T. N. 1983. Tropical Sheep and Goat Production. AUIDP Canberra.

Emery, R. S. 1969. Lipids and Adipose Tissue. In E.S.E. Hafez and L. D. Dyer. 1969. Animal Growth and Nutrition. Lea and Febriger, Philadelphia. Ernawati. 1990. Pengaruh Tata Laksana Pemerahan Terhadap Kualitas Susu

Kambing Dan Hasil Olahannya. Thesis. Fakultas Pascasarjana. IPS. Bogor.


(4)

Rome.

Gall,C. 1981. Milk Production. In C. Gall. Ed Goat Production. Academic Press Inc. London.

Isbandi dan E. Santosa. 1984. Usaha Kambing Peranakan Etawah Sebagai Sumber Peningkatan Pendapatan dan Kemungkinan Pengembangannya. Proceeding Domba dan Kambing di Indonesia. Puslitbangnak. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.

Hafez, E.S.E. 1962. The Behaviour of Domestic Animals. The Williams and Wilking Company. Baltimore,

Hidajati, N. dan B. Siregar. 1989. Penggunaan Bungkil Biji Kapuk Sebagai Pengganti Bungkil Kedelai dalam Ransum Sapi Perah yang Sedang Tumbuh. Presiding Simposium I. Hasil Penelitian dan Pengembangan tanaman Industri. Buku V. Tanaman Serat Buah . Bogor.

Jennes, R. 1980. Composition and Characteristics of Goat Milk. Review. 1968 - 1979. J. Dairy Sci. 63 : 1605 -1630.

Kadirvel, R. , R. Natanam and K. Udasurian. 1984. Use of kapok as a poultry feed. Poultry Sci. 65 : 2363.

Larson , B. L., 1978. The Dairy Goat as a model in Lactation Studies. J. Dairy Sci. 61 : 1023.1985. Lactation. The Iowa State University Press/Ames. First Ed. Ames. Iowa.

Lawrence, T.L.J. 1990. Influence of palatability on diet assimilation in non-ruminants. In J. Wiseman and D.J.A. Cole. ed. Feedstuff Evaluation. Butterworths. London.

Lubis, D. A., 1963. Ilmu Makanan Ternak. PT Perabangunan Jakarta.

Martawidjaja, M. dan M. Rangkuti. 1989. Pengaruh Suplementasi Bungkil Biji Kapuk Dengan Hijauan Dasar Rumput Gajah pada Anak Domba. Proceeding Pertemuan llmiah Ruminansia. Jilid 2.

Mayne, C. S. and F. J. Gordon. 1984. The Effect of Type of Concentrate andLevel of Concentrate Feeding on Milk Production., Anim. Prod. 39 : 65 - 76. Morand-Fehr, P. and D. Sauvant. 1980. Composition and yield of goat milk as

affected by nutritional manipulation. J. Dairy Sci. 63 : 1671 - 1680.


(5)

and Its Components : Secretory, Mechanicals and Influence of Nutritional Factors. Proceeding of the Third International Conference on Goat Production and Disease. January 10 to 15, 1982 Tuscon, Arizona USA. ——————————————. 1981. Nutrition and feeding of goats :

Application to temperate climatic conditions. In C. Gall. Ed Goat production. Academic Press Inc. London.

NRC. 1981. Nutrient Requirements of Goats : Angora, Dairy and Meat Goat in Temperate and Tropical Countries. National Academy Press, Washington, D. C.

Osche, J. J., M. J. Soule Jr., M. J. Dijkman and C. Wehlberg. 1961. Tropical and Subtropical Agriculture. Vol II. The Macmillan Company. New York. Parakkasi, A. 1983. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Angkasa,

Bandung.

Phelps, R. A., F. S. Shenstone, A. R. Kemmerer and R. J. Evans. 1964. A Review of cyclopropenoid compounds : biological effectof some derivatives. Poultry Sci., 44: 358.

Prakash, S. and R. Jenness. 1968. The Composition and Characteristics of Goat~s Milk. A Review. Dairy Sci.

Preston, T.R. and R.A. Leng. 1987. Matching Ruminant Production Systems With Available Resources in The Tropics and Sub Tropics. Penambul Books. Armidale. New South Wales. Australia.

Sudarmadji. S., B. Haryono . dan Suhardi. 1984. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi ketiga. Liberty Yogyakarta.

Setiadi. 1983. Bertanam Kapuk Randu. Penebar Swadaya. Anggota IKAPI. Sihombing, D. T. H. 1974. Pemanfaatan Bungkil Biji Kapuk dan Bungkil Biji

Jarak sebagai Bahan Makanan Ternak Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

———————————————— dan S. Simamora. 1979. Penelitian Bungkil Biji Kapuk untuk Makanan Ternak Babi. Seminar Penelitian dan Penunjang Pengembangan Peternakan II. Bogor, 5-8 November.

Siregar A. P. dan M. Sabrani. 1970. Tehnik Modern Beternak Ayam. Cet. pertama. Penerbit C.V. Yasaguna. Jakarta.


(6)

Steel, R.G.D. and J. H. Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. suatu pendekatan biometrik. PT. Gramedia. Jakarta.

Sudarwanto, M. dan D. W. Lukman. 1993. Petunjuk Laboratorium. Pemeriksaan Susu dan Produk Olahannya. PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.

Sudono, A. 1985. Produksi Sapi Perah. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Suherman, F. 1973. Pengaruh Bungkil Biji Kapuk terhadap Pertumbuhan Anak Ayam Tipe Dwiguna. Thesis. Fakultas Peternakan, IPB.

Sunarlim, R. , Triyantini, Bambang, S. dan Hadi, S. Upaya Mempopulerkan dan Meningkatkan Penerimaan Susu Kambing dan Domba. Presiding Sarasehan Usaha Ternak Domba dan Kambing Menyongsong Era PJPT II. ISPI dan PDHI. Bogor.

Sutardi, T. 1978. Iktisar Ruminologi. Badan Penataran Kursus Peternakan Sapi Perah Kayu Arabon Lembang. Departemen Ilmu Makanan Fakultas Peternakan.

__________. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya.Fakultas Peternakan, IPB.

Sumoprastowo, C. D. A. 1980 Beternak Kambing Yang Berhasil Penerbit Bhratara Karya Aksara. Jakarta.

Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Fak. Peternakan UGM.

Triwulanningsih, E. 1986. Beberapa Parameter Genetik Sifat Kwantitatif Kambing Peranakan Etawah (PE) . Thesis . Fakultas Pascasarjana. IPB. Bogor. Zahirma , U. 1986. Analisa Asam Siklopropenoat Dari Biji Kapuk Dengan Tehnik

Kromatografi Gas. Skripsi Sarjana Kimia. Fakultas MIPA Universitas Indonesia. Jakarta.