Penyelesaian numeris model kontinu arus lalu lintas.
Arus lalu lintas dimodelkan dan diteliti dalam skripsi ini. Kemacetan menjadi masalah lalu lintas yang sering terjadi di kota. Oleh karena itu, penulis membahas model matematika yang berhubungan dengan arus lalu lintas. Pembahasan mencakup bagaimana kondisi kepadatan lalu lintas yang dilihat dari pergerakan kendaraan secara makro, bukan pegerakan setiap kendaraan.
Model matematika masalah arus lalu lintas berbentuk persamaan diferensial parsial yang dapat ditulis dalam bentuk hukum konservasi. Model tersebut diselesaikan dengan menggunakan teori linearisasi persamaan diferensial untuk mencari solusi analitisnya. Selain itu, penulis akan menggunakan metode volume hingga Lax-Friedrichs dan sistem relaksasi Jin-Xin untuk menyelesaikan model tersebut secara numeris
Solusi analitis dan numeris akan disimulasikan dengan menggunakan perangkat lunak MATLAB. Penelitian ini akan menguji metode mana yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah arus lalu lintas jika dibandingkan dengan solusi analitisnya. Analisis hasilnya dengan melihat simulasi yang dihasilkan dan seberapa besar erornya. Semakin kecil nilai erornya maka semakin baik metode numeris yang digunakan.
Kata kunci: arus lalu lintas, persamaan diferensial parsial, hukum kekekalan, volume hingga, metode Lax-Friedrichs, sistem relaksasi Jin-Xin
(2)
A traffic flow is modeled and studied in this thesis. A traffic jam becomes the problem that often occurs in a city. Therefore, the author discusses about the mathematical models that is related to the traffic flow. It explores on traffic density conditions seen from the macro movement of the vehicles, not each vehicles.
Mathematical model of traffic flow problem is in the form of partial differential equations that could be written in the form of conservation laws. The model is solved using linearization theory of differential equations to find analytical solutions. In addition, the author uses Lax-Friedrichs finite volume method and Jin-Xin relaxation system to solve the model numerically.
Analytical and numerical solutions to the model are simulated using MATLAB software. This study examines the methods which could be used to solve the traffic flow problem if it is compared with the analytical solution as the previous solution. The results are analyzed by viewing the simulation outcomes along with the errors. The smaller the errors, the better the numerical method that is used.
Keywords: traffic flow, partial differential equations, conservation laws, finite
(3)
i
PENYELESAIAN NUMERIS MODEL KONTINU
ARUS LALU LINTAS
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Matematika
Oleh :
Bernadetta Ambar Sulistiyawati NIM: 133114011
PROGRAM STUDI MATEMATIKA, JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(4)
ii
NUMERICAL SOLUTION TO A CONTINUOUS MODEL OF
TRAFFIC FLOWS
Thesis
Presented as a Partial Fulfillment of the Requirements to Obtain the Degree of Sarjana Sains
in Mathematics
By :
Bernadetta Ambar Sulistiyawati Student Number: 133114011
MATHEMATICS STUDY PROGRAM, DEPARTMENT OF MATHEMATICS FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY
SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA
(5)
SKRIPSI
PEi\YELESAIAI\
I\{UMERISMODEL KOI\TINU
ARUS
LALU LII\TAS
Oleh:
Bernadetta Ambar Sulistiyawati
NIM: 133i14011
Telah disetujui oleh:
Pembimbing
rfux/-4.,
Sudi Mungkasi, S.Si., M.Math.Sc.,
Ph.D.
Tanggal 2l Februari 2017(6)
SKRIPSI
PEI\YELESAIAN
NUMERIS
UNTUK MODEL KONTINU
ARUS
LALU LINTAS
Dipersiapkan dan ditulis oleh: Bernadetta Ambar Sulistiyawati
NIM: 13311401I
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji
Pada tanggal 28 Februari 2017 dan dinyatakan telah memenuhi symat
Ketua
Susunan Panitia Penguji
Nama Lengkap Hartono, S.Si., M.Sc., Ph.D. Sekretaris Febi Sanjay4 M.Sc.
Anggota
Sudi Mungkasi, S.Si., M.Math.Sc., Ph.D....4W..
da-fu&",
Yogyakart4 28 Februari 2017
Fakultas Sains dan Teknologi
Tanda Tangan
i' - ti,!\.r i:,;',:.'-: :;'-.
**"
inl
nbf*,
rtr
&t..-
';
iil!
fJ;
5\ lbL"
YrWtffi$L/-,
a't)i.,
(7)
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuatkarya atau bagian orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan atau daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 28 Februai 2Al7
(8)
vi
MOTTO
“
Segala perkara dapat kutanggung didalam Dia yang memberi kekuatan
kepadaku
” (
Filipi 4:13)
“Visi tanpa tindakan hanyalah sebuah m
impi. Tindakan tanpa visi
hanyalah membuang waktu. Visi dengan tindakan akan mengubah
dunia!” (Joel Arthur Barker)
“Sesuatu mungkin mendatangi mereka yang ma
u menunggu, namun
hanya didapatk
an oleh mereka yang bersemangat mengejarnya”
(9)
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan untuk:
Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang senantiasa
menyertaiku
(10)
viii
ABSTRAK
Arus lalu lintas dimodelkan dan diteliti dalam skripsi ini. Kemacetan menjadi masalah lalu lintas yang sering terjadi di kota. Oleh karena itu, penulis membahas model matematika yang berhubungan dengan arus lalu lintas. Pembahasan mencakup bagaimana kondisi kepadatan lalu lintas yang dilihat dari pergerakan kendaraan secara makro, bukan pegerakan setiap kendaraan.
Model matematika masalah arus lalu lintas berbentuk persamaan diferensial parsial yang dapat ditulis dalam bentuk hukum konservasi. Model tersebut diselesaikan dengan menggunakan teori linearisasi persamaan diferensial untuk mencari solusi analitisnya. Selain itu, penulis akan menggunakan metode volume hingga Lax-Friedrichs dan sistem relaksasi Jin-Xin untuk menyelesaikan model tersebut secara numeris
Solusi analitis dan numeris akan disimulasikan dengan menggunakan perangkat lunak MATLAB. Penelitian ini akan menguji metode mana yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah arus lalu lintas jika dibandingkan dengan solusi analitisnya. Analisis hasilnya dengan melihat simulasi yang dihasilkan dan seberapa besar erornya. Semakin kecil nilai erornya maka semakin baik metode numeris yang digunakan.
Kata kunci: arus lalu lintas, persamaan diferensial parsial, hukum kekekalan, volume hingga, metode Lax-Friedrichs, sistem relaksasi Jin-Xin
(11)
ix
ABSTRACT
A traffic flow is modeled and studied in this thesis. A traffic jam becomes the problem that often occurs in a city. Therefore, the author discusses about the mathematical models that is related to the traffic flow. It explores on traffic density conditions seen from the macro movement of the vehicles, not each vehicles.
Mathematical model of traffic flow problem is in the form of partial differential equations that could be written in the form of conservation laws. The model is solved using linearization theory of differential equations to find analytical solutions. In addition, the author uses Lax-Friedrichs finite volume method and Jin-Xin relaxation system to solve the model numerically.
Analytical and numerical solutions to the model are simulated using MATLAB software. This study examines the methods which could be used to solve the traffic flow problem if it is compared with the analytical solution as the previous solution. The results are analyzed by viewing the simulation outcomes along with the errors. The smaller the errors, the better the numerical method that is used.
Keywords: traffic flow, partial differential equations, conservation laws, finite
(12)
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah mencurahkan rahmat dan roh kudusNya sehingga penulis dapat mengerjakan dan menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini dibuat dengan tujuan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Program Studi Matematika, Fakultas Sains dan Teknologi, Univesitas Sanata Dharma.
Penulis menyadari bahwa penulis melibatkan banyak pihak untuk membantu dalam menghadapi berbagai macam tantangan, kesulitan, dan hambatan. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Sudi Mungkasi, S.Si., M.Math.Sc., Ph.D., selaku dekan Fakultas Sains dan Teknologi dan dosen pembimbing skripsi.
2. Bapak Hartono, S.Si., M.Sc., Ph.D., selaku Kaprodi Matematika.
3. Ibu M. V. Any Herawati, S.Si., M.Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik.
4. Romo Prof. Dr. Frans Susilo, SJ., Bapak Ir. Ig. Aris Dwiatmoko, M.Sc., Bapak Dr. rer. nat. Herry P. Suryawan, S.Si., M.Si., dan Ibu Lusia Krismiyati Budiasih, S.Si., M.Si. selaku dosen-dosen Prodi Matematika yang telah memberikan banyak pengetahuan kepada penulis selama proses perkuliahan.
5. Bapak/Ibu dosen/karyawan Fakultas Sains dan Teknologi yang telah berdinamika bersama selama penulis berkuliah.
6. Kedua orang tua dan adik yang telah membantu dan mendukung saya selama proses pengerjaan skripsi.
7. Teman-teman Matematika 2013: Inge, Yui, Sorta, Melisa, Agung, Laras, Ezra, Yuni, Rey, Dion, Wahyu, Indra, Bintang, Tia, Lya, Andre, Sisca, Natali, Yola, Sari, Dita, dan Kristo yang selalu memotivasi, memberi masukan dan keceriaan, dan masih banyak yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas kebersamaan dan kekompakan ini.
8. Kakak-kakak, teman-teman dan adik-adik: Vincent, Kak Chandra, Kak Happy, Arka, Monic, Kak Lia, Tessa, Vania, Cicil, Kak Arum, Kak Yohan,
(13)
Kak Tika, Kak Kristin, dan yang lainnya, terimakasih untuk semangat dan dukungannya selama penulis berkuliah dan menulis skripsi ini.
9.
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu dalam proses penulisan skripsi ini.Semoga segala perhatian, dukungan, bantuan dan cinta yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Tuhan Yesus Kristus. Penulis menyadari bahwa masih
banyak kekurangan dalam penulisan skripsi
ini.
Oleh karenaitu,
penulismengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan skripsi ini. Harapan penulis, semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan menjadi referensi belajar yang baik.
Yogyakarta, 28 Februai 2017
Bernadetta Ambar Sulistiawati
(14)
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH TINTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama
: Bernadetta Ambar Sulistiyawati Nomor Mahasiswa : 133114011Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
PENYELESAIAN NUMERIS MODEL KONTINU ARUS LALU LINTAS
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data,
mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Intemet atau media
lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun
memberikan royalti kepada saya selama tetap mencatumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenamya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 28 Februari2017
Yang menyatakan
cM
(Bemadetta Ambar Sulistiyawati)
(15)
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN KEASLIAN KARYA ... v
MOTTO ... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... xii
DAFTAR ISI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
D. Tujuan Penulisan ... 5
E. Manfaat penulisan ... 5
F. Metode Penulisan ... 5
G. Sistematika Penulisan ... 6
BAB IIPERSAMAAN DIFERENSIAL... 8
A. Turunan ... 8
B. Integral ... 12
C. Penurunan Numeris ... 15
D. Klasifikasi Persamaan Diferensial ... 17
(16)
xiv
F. Metode Volume Hingga ... 21
G. Metode Garis ... 23
H. Matriks Jacobian ... 24
I. Nilai Eigen dan Vektor Eigen ... 25
BAB III PENYELESAIAN MODEL ARUS LALU LINTAS ... 28
A. Hubungan Kecepatan, Kepadatan, dan Arus Lalu Lintas... 28
B. Model Deterministik Arus Lalu Lintas ... 30
C. Linearisasi Model Lalu Lintas ... 38
D. Gelombang Kepadatan Lalu Lintas ... 49
E. Interpretasi Gelombang Lalu Lintas ... 53
F. Contoh Arus Lalu Lintas yang Hampir Seragam ... 54
G. Metode Karakteristik Lalu Lintas Tidak Seragam ... 58
H. Lalu Lintas dari Lampu Merah ke Hijau ... 64
I. Hubungan Linear Antara Kecepatan dan Kepadatan ... 74
J. Nilai Kepadatan Awal Tidak Konstan ... 79
K. Solusi Analitis ... 85
BAB IVSIMULASI NUMERIS ARUS LALU LINTAS ... 89
A. Metode Volume Hingga Lax–Friedrichs ... 89
B. Sistem Relaksasi Jin–Xin ... 93
C. Eror Solusi Numeris ... 99
D. Simulasi Solusi Analitis dan Numeris ... 100
BAB VKESIMPULAN DAN SARAN ... 106
A. Kesimpulan ... 106
B. Saran ... 106
DAFTAR PUSTAKA ... 107
(17)
1
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan skripsi ini.
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari–hari, kita sering menjumpai suatu model matematika yang berbentuk persamaan, baik linear ataupun nonlinear, serta sistem persamaan linear maupun nonlinear yang memuat diferensial, integral, dan persamaan diferensial biasa ataupun persamaan diferensial parsial. Model matematika tersebut dapat diselesaikan dengan dua cara, yaitu penyelesaian analitis dan penyelesaian bukan analitis. Penyelesaian analitis adalah penyelesaian model matematika dengan menggunakan teori atau metode analisis matematika yang telah ada sedemikian sehingga hasil yang diperoleh merupakan penyelesaian eksak. Penyelesaian bukan analitis adalah penyelesaian model matematika dengan metode pendekatan diskret sehingga penyelesaian yang diperoleh merupakan penyelesaian pendekatan, dan bukan penyelesaian eksak. Penyelesaian pendekatan diskret itu disebut penyelesaian numeris.
Penyelesaian numeris adalah penyelesaian yang dicari dengan menggunakan metode numeris. Metode numeris merupakan salah satu bagian dari matematika dengan cara masalah matematika diformulasikan sedemikian rupa
(18)
2010). Perkembangan komputer digital yang pesat menyebabkan metode numeris banyak digunakan untuk menyelesaikan masalah nyata, yang penyelesaian eksaknya sangat sulit diperoleh, khususnya model matematika dalam bentuk persamaan diferensial.
Persamaan diferensial adalah suatu persamaan yang melibatkan turunan dari satu atau lebih variabel terikat yang berhubungan dengan satu atau lebih variabel bebas. Ada dua jenis persamaan diferensial berdasarkan banyaknya variabel bebas, yaitu persamaan diferensial biasa yang hanya melibatkan turunan biasa dan persamaan diferensial parsial yang melibatkan turunan parsial. Ada dua jenis persamaan diferensial parsial, yaitu persamaan diferensial parsial linear dan nonlinear. Beberapa contoh model dari persamaan diferensial parsial adalah model arus lalu lintas di jalan yang ramai, aliran darah yang melalui dinding tabung elastis, dan gelombang kejut sebagai kasus khusus dari teori umum dinamika gas dan hidrolika (Wazwaz, 2009). Dalam skripsi ini akan dibahas mengenai persamaan diferensial parsial untuk model kontinu arus lalu lintas.
Undang – Undang No. 22 Tahun 2009 mengatur tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Lalu lintas adalah gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan, sedangkan rambu lalu lintas adalah bagian perlengkapan jalan yang berupa lambang, huruf, angka, kalimat dan/atau panduan yang berfungsi sebagai peringatan, larangan, perintah, atau petunjuk bagi pengguna jalan. Lampu lalu lintas adalah lampu yang mengendalikan arus lalu lintas bagi pengguna jalan raya di persimpangan jalan, tempat penyeberangan bagi pejalan kaki, dan tempat lalu lintas lainnya.
(19)
memperlancar aliran lalu lintas. Walaupun demikian, tidak bisa dijamin bahwa kemacetan dapat teratasi dengan adanya lampu lalu lintas. Masalah transportasi yang paling sering terjadi beberapa tahun terakhir ini adalah kemacetan lalu lintas. Dalam skripsi ini tidak akan dibahas bagaimana cara mengatasi kemacetan lalu lintas, namun bagaimana cara merumuskan model deterministik untuk arus lalu lintas secara kontinu.
Model kontinu arus lalu lintas secara umum adalah
�
+ � =
dengan � , adalah kepadatan lalu lintas dan � , adalah kecepatan kendaraan yang bergantung pada variabel waktu dan panjang ruas jalan serta domain ruangnya merupakan interval tertutup [ , ]. Pada skripsi ini kita akan menemukan kepadatan kendaraan setelah lampu menyala merah menjadi hijau dalam satu dimensi yang diilustrasikan oleh Gambar 1.
Gambar 1 Ilustrasi masalah lalu lintas pada perempatan jalan.
Persamaan di atas disebut persamaan diferensial parsial yang berhubungan dengan kepadatan lalu lintas dan kecepatan kendaraan. Kepadatan lalu lintas adalah jumlah
(20)
jalan. Kecepatan kendaraan adalah jarak yang ditempuh kendaraan setiap satuan waktu.
Penyelesaian persamaan diferensial parsial tersebut memiliki dua komponen penting yang tidak diketahui, yaitu kepadatan lalu lintas dan kecepatan kendaraan.Secara umum, penyelesaian model kontinu arus lalu lintas tersebut cukup sulit diselesaikan secara analitis, sehingga diperlukan penyelesaian numeris untuk memecahkannya. Banyak metode numeris yang dapat digunakan untuk memecahkannya, antara lain metode volume hingga Lax-Friedrichs dan sistem relaksasi Jin-Xin. Pada skripsi ini akan dibandingkan antara metode volume hingga Lax-Friedrichs dan sistem relaksasi Jin-Xin untuk melihat metode mana yang paling baik dengan eror sekecil mungkin. Referensi utama tentang masalah arus lalu lintas dalam skripsi ini adalah Haberman (1998). Sedangkan untuk metode volume hingga Lax-Friedrichs merujuk pada LeVeque (1992, 2002) dan sistem relaksasi Jin-Xin merujuk pada Yohana (2012).
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah yang akan dibicarakan pada tugas akhir ini adalah: 1. Bagaimana memodelkan secara kontinu arus lalu lintas dalam bentuk persamaan
diferensial parsial?
2. Bagaimana menyelesaikan model kontinu arus lalu lintas secara numeris? 3. Bagaimana perbandingan tingkat eror antara metode volume hingga
(21)
Pembahasan masalah dalam skripsi ini dibatasi pada penyelesaian persamaan diferensial parsial untuk model kontinu arus lalu lintas yang pergerakan kendaraannya hanya satu arah pada ruas jalan, dengan asumsi kendaraan tidak saling mendahului.
D. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan skripsi ini, yaitu
1. Memodelkan dan menyelesaikan persamaan arus lintas yang kontinu.
2. Membandingkan eror antara metode volume hingga Lax-Friedrichs dan sistem relaksasi Jin-Xin, jika diterapkan pada model kontinu arus lalu lintas.
E. Manfaat penulisan
Dengan memodelkan persamaan arus lalu lintas secara kontinu, kita dapat menyimulasikan pergerakan kendaraan satu arah pada ruas jalan yang bergantung pada waktu dan panjang ruas jalan.
F. Metode Penulisan
Metode yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah metode studi pustaka, yaitu dengan membaca dan mempelajari buku-buku atau jurnal-jurnal yang berkaitan dengan persamaan diferensial parsial untuk model kontinu arus lalu lintas satu arah serta praktek simulasi numeris.
(22)
G. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Batasan Masalah D. Tujuan Penulisan E. Manfaat Penulisan F. Metode Penulisan G. Sistematika Penulisan
BAB II PERSAMAAN DIFERENSIAL A. Turunan
B. Integral
C. Penurunan Numeris
D. Klasifikasi Persamaan Diferensial E. Metode Karakteristik
F. Metode Volume Hingga G. Metode Garis
H. Matriks Jacobian
I. Nilai Eigen dan Vektor Eigen
BAB III PENYELESAIAN NUMERIS ARUS LALU LINTAS A. Hubungan Kecepatan, Kepadatan, dan Arus Lalu Lintas B. Model Deterministik Arus Lalu Lintas
(23)
E. Interpretasi Gelombang Lalu Lintas
F. Contoh Arus Lalu Lintas yang Hampir Seragam G. Metode Karakteristik Lalu Lintas Tidak Seragam H. Lalu Lintas dari Lampu Merah ke Hijau
I. Hubungan Linear antara Kecepatan dan Kepadatan J. Nilai Kepadatan Awal Tidak Konstan
K. Solusi Analitis
BAB IV SIMULASI NUMERIS ARUS LALU LINTAS A. Metode Volume Hingga Lax-Friedrichs
B. Sistem Relaksasi Jin-Xin C. Eror Solusi Numeris
D. Simulasi Solusi Analitis dan Numeris BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan B. Saran
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(24)
8
BAB II
PERSAMAAN DIFERENSIAL
Pada bab ini akan dipaparkan landasan teori yang digunakan dalam skripsi ini, yaitu turunan, integral, penurunan numeris, klasifikasi persamaan diferensial, metode karakteristik, metode garis, matriks Jacobian, dan nilai eigen serta vektor eigen.
A. Turunan
Dalam subbab ini akan dijelaskan definisi dan contoh dari turunan, hubungan turunan dan fungsi kontinu, serta aturan Leibniz.
Definsi 2.1.1
Diberikan fungsi : ⊆ ℝ → ℝ dan ∈ .
Turunan / derivatif dari fungsi di titik didefinisikan sebagai
′ = lim
ℎ→
+ ℎ − ℎ
dengan syarat bahwa nilai limit tersebut ada.
Definisi 2.1.2
Definisi lain untuk turunan, jika diambil subtitusi = + ℎ dan ℎ = − maka
ℎ → jika dan hanya jika → , sehingga
′ = lim
→
− −
Jika nilai ′ ada, maka fungsi dikatakan mempunyai turunan atau derivatif di titik .
(25)
Contoh 2.1.1
Tentukan turunan fungsi = − di = . Penyelesaian:
′ = lim
ℎ→
+ ℎ − ℎ
= limℎ→ + ℎ − + ℎ −ℎ − ∙
= limℎ→ + ℎ + ℎ − − ℎ +ℎ
= limℎ→ ℎ + ℎ ℎ
= limℎ→ ℎ + = .
Definisi 2.1.3
Diberikan fungsi : ⊆ ℝ → ℝ , maka turunan atau derivatif dari fungsi untuk setiap titik ∈ adalah
′ = lim
ℎ→
+ ℎ − ℎ
atau
′ = lim
→
− −
dengan syarat bahwa nilai limit tersebut ada.
Contoh 2.1.2
Tentukan turunan fungsi ′ jika diketahui = . Penyelesaian:
′ = lim
ℎ→
+ ℎ − ℎ
(26)
= limℎ→ + ℎ −ℎ
= limℎ→ + ℎ + ℎ + ℎ −ℎ
= limℎ→ ℎ + ℎ + ℎℎ
= limℎ→ + ℎ + ℎ = .
Contoh 2.1.3
Tentukan turunan pertama fungsi = +
+ .
Penyelesaian:
′ = lim
→
− − = lim→
+
+ − ++
− = lim→
+ + − + +
+ +
− = lim→
+ + + − − − −
+ +
− = lim→
−
+ +
−
= lim→ + +
(27)
Teorema 2.1.1
Jika mempunyai turunan atau terdiferensial di = , maka kontinu di
= .
Bukti dapat dilihat pada buku karangan Hallet. H, Gleason, McCallum, dkk yang berjudul Calculus (Single and Multi Variable).
Teorema 2.1.2
Jika dan kedua fungsi yang mempunyai turunan, maka fungsi komposisi juga mempunyai turunan yaitu
′ = ′( ) ′
dengan menggunakan notasi Leibniz, rumus di atas dapat dibagi menjadi dua kasus yaitu:
Kasus 1. Jika = fungsi terhadap dan = fungsi terhadap yang keduanya terdiferensial, maka
= ∙ .
Kasus 2. Jika = , fungsi terhadap dan yang terdiferensial dengan = dan = ℎ fungsi terhadap yang juga terdiferensial maka
= ∙ + ∙ .
Bukti dapat dilihat pada buku karangan Hallet. H, Gleason, McCallum, dkk yang berjudul Calculus (Single and Multi Variable).
Contoh 2.1.1
Tentukan turunan jika diketahui = + dan = + − . Penyelesaian:
(28)
Dipandang
= + ∙ + − ,
= + ∙ + .
Karena = + − , maka didapat = + − + ∙ + .
Contoh 2.1.2
Diketahui = + , dengan = dan = + . Tentukan . Penyelesaian:
= + ∙ + + ∙ + ,
= + ∙ + ∙ + ,
= + + + .
B.Integral
Dalam subbab ini akan dijelaskan definisi dan contoh dari integral tak tentu dan integral tertentu.
Definisi 2.2.1
Integral suatu fungsi dapat didefinisikan sebagai invers/anti turunan fungsi yang dinotasikan oleh ∫ = , yang artinya integral fungsi terhadap .
Contoh 2.2.1
Tentukan integral dari fungsi = . Penyelesaian:
(29)
∫ = + , ∈ ℝ.
Definsi 2.2.2
Misalkan adalah fungsi bernilai real yang terdefinisi pada interval [ , ] dan
{ , , , … , − , } dengan = < < < < − = yang
merupakan partisi pada [ , ], dikatakan terintegral Riemann pada interval [ , ] jika limit berikut ada
∫ = lim‖∆ ‖→ ∑ ( )( − − )
=
dengan ‖∆ ‖ = max ≤ ≤ ( − − ) dan ∈ [ − , ] disebut titik evaluasi .
Jumlahan Riemann didefinisikan sebagai
∑ ( )( − − )
=
.
Definisi 2.2.3
Jika merupakan fungsi kontinu pada interval tertutup [ , ], kita dapat membagi interval tertutup [ , ] menjadi sub interval yang lebarnya sama yaitu ∆ =
− ⁄ dengan = , , … , . Diambil = , , , … , = menjadi titik sampel dari subinterval dan , , … , sembarang titik sampel dari subinterval sehingga yang terletak pada subinterval ke- [ − , ]. Maka integral tertentu dari fungsi pada interval tertutup [ , ] didefinisikan sebagai
∫ = lim→∞∑ ∆
=
(30)
Contoh 2.2.2
Tentukan integral fungsi = − pada interval tertutup [ , ] dengan menggunakan definisi.
Penyelesaian:
Bagi interval [ , ] kedalam subinterval yang sama panjang dengan
∆ = − = .
Ambil titik sampel = + ∆ = + = .
Jadi, = = − = − .
Kemudian, jumlahan Riemman didapat
∑ ∆
=
= ∑ ( − ) =
= ∑ ( − ) =
= (∑ =
− ∑ =
)
= ( ∑ =
− ∑ =
) = ( + − )
= + − = + .
Jadi,
(31)
C. Penurunan Numeris
Dalam subbab ini akan dijelaskan definisi deret Taylor dan hampiran metode numeris.
Teorema 3.3.1
Misalkan fungsi kontinu dan terdiferensial takhingga kali. Fungsi dapat dideretkan secara Taylor di sekitar titik = dengan ∈ ℝ, yaitu
= + ′ ! − + ′ ! − + ′ ! − + .
Kasus khusus untuk nilai = , deret Taylor disebut deret Maclaurin.
Bukti dapat dilihat pada buku karangan Dale Varberg, dkk yang berjudul Kalkulus Edisi Kesembilan Jilid 2.
Teorema 3.3.2 (Teorema Taylor dengan suku sisa Lagrange)
Jika , ′, ′′, … , kontinu pada interval [ , ] dan + kontinu pada interval
, maka untuk setiap dan dalam [ , ] terdapat bilangan � di antara dan sehingga berlaku
= ∑ ! − +
=
dengan = �+ �
+ ! − + .
Bukti dapat dilihat pada buku karangan Dale Varberg, dkk yang berjudul Kalkulus Edisi Kesembilan Jilid 2.
Definisi 3.3.2
Dipandang fungsi = . Turunan fungsi terhadap variabel didefinisikan oleh
(32)
′ = lim ∆ →
+ ∆ −
∆ .
Tidak semua fungsi dapat diturunkan secara langsung karena sering kali hanya diketahui beberapa titik pada data awal, fungsi tidak diketahui secara eksplisit atau fungsi mempunyai bentuk yang sangat rumit. Oleh karena itu, dalam perhitungan turunan fungsi dapat diselesaikan dengan metode numeris yang hasilnya berupa hampiran mendekati nilai turunan sebenarnya tetapi dengan eror yang sekecil mungkin. Contoh-contoh di bawah ini merupakan fungsi yang sulit untuk diturunkan secara langsung, antara lain
(1) = c +
−�− �
si �
√ i + a
(2) = ln ( + + )
Tiga hampiran metode numeris yaitu 1. Hampiran beda maju
Dipandang fungsi = . Turunan terhadap variabel didefinisikan oleh
′ = lim
∆ →
+ ∆ −
∆ ,
atau untuk ∆ tertentu menjadi
′ ≈ + ∆ −
∆ .
2. Hampiran beda mundur
Dipandang fungsi = . Turunan terhadap variabel didefinisikan oleh
′ = lim
∆ →
− − ∆
(33)
atau untuk ∆ tertentu menjadi
′ ≈ − − ∆
∆ .
3. Hampiran beda pusat
Dipandang fungsi = . Turunan terhadap variabel didefinisikan oleh
′ = lim
∆ →
+ ∆ − − ∆
∆ ,
atau untuk ∆ tertentu menjadi
′ ≈ + ∆ − − ∆
∆ .
D. Klasifikasi Persamaan Diferensial
Dalam subbab ini akan dijelaskan definisi dan contoh dari persamaan diferensial, persamaan diferensial biasa, dan persamaan diferensial parsial.
Definisi 2.4.1
Persamaan diferensial adalah suatu persamaan yang melibatkan turunan satu atau lebih variabel terikat yang berhubungan dengan satu atau lebih variabel bebas.
Contoh 2.4.1
Beberapa contoh di bawah ini merupakan persamaan diferensial:
= + , (2.4.1)
+ = , (2.4.2)
(34)
− − = . (2.4.4)
Definisi 2.4.2
Persamaan diferensial biasa adalah persamaan diferensial yang hanya melibatkan turunan biasa terhadap satu variabel bebas.
Contoh 2.4.2
Contoh dari persamaan diferensial biasa terdapat pada persamaan (2.4.1) dan (2.4.3). Persamaan (2.4.1) adalah persamaan diferensial biasa order satu dengan merupakan variabel bebas, sedangkan merupakan variabel terikat. Persamaan (2.4.3) adalah persamaan diferensial biasa tingkat dua dengan merupakan variabel bebas sedangkan merupakan variabel terikat.
Definisi 2.4.3
Persamaan diferensial parsial adalah persamaan diferensial yang menyatakan hubungan antara turunan/derivatif parsial dengan variabel-variabel bebasnya.
Contoh 2.4.3
Contoh dari persamaan diferensial biasa terdapat pada persamaan (2.4.2) dan (2.4.4). Persamaan (2.4.2) adalah persamaan diferensial parsial order satu dengan dan merupakan variabel bebas, sedangkan merupakan variabel terikat. Persamaan (2.4.4) adalah persamaan diferensial biasa tingkat dua dengan , , dan
(35)
E. Metode Karakteristik Definisi 2.5.1
Persamaan diferensial parsial dikatakan linear jika:
a) tidak ada perkalian antara variabel-variabel tak bebas dengan dirinya sendiri atau dengan turunan-turunannya,
b) tidak ada fungsi transendental (trigonometri, logaritma, eksponensial, siklometri, hiperbolik) yang terlibat dari fungsi dalam variabel-variabel tak bebas.
Definisi 2.5.2
Tingkat atau order dalam persamaan diferensial parsial didefinisikan sebagai tingkat dari turunan tertinggi yang muncul pada persamaan diferensial parsial.
Definisi 2.5.3
Dipandang persamaan diferensial parsial linear order satu berikut
, + , + , = , .
Kurva-kurva yang memenuhi persamaan diferensial biasa yaitu
, = ,
disebut kurva karakteristik persamaan diferensial tersebut. Catatan: notasi bermakna , ⁄ .
Penurunan persamaan diatas dapat dilihat pada buku karangan Lokenath Debnath yang berjudul Nonlinear Partial Differential Equations for Scientists and Engineers. Misalkan persamaan diferensial biasa diatas mempunyai penyelesaian ℎ , = , dengan membuat transformasi
(36)
� = ℎ , ,
maka
= , = � �+ � �,
atau
= �. + �ℎ ,
atau
= �+ �ℎ ,
dan
= , = � �+ � �,
atau
= �. + �� ,
atau
= �� ,
atau
= �ℎ .
Contoh 2.5.1
Tentukan penyelesaian dari persamaan + = dengan , = cos . Penyelesaian:
Karakteristik dari persamaan tersebut diberikan oleh
(37)
∫ = ∫ , + = ln ,
= ,
= atau c = − .
Kemudian, ditransformasi menjadi
� = atau = �,
� = − atau = � .
Persamaan diferensial parsial tersebut menjadi
� = �,
sehingga,
� = �,
∫ = ∫ � �,
=� + � = + − ,
dan u , = cos = + − .
Misal = maka = didapat = cos − . Jadi, penyelesaiannya = + − − .
F. Metode Volume Hingga
Pada subbab ini akan dijelaskan skema upwind dan skema volume hingga secara numeris untuk model persamaan diferensial parsial hiperbolik order satu.
(38)
1. Skema Upwind
Dipandang persamaan diferensial hiperbolik order satu yaitu
+ =
dengan ∈ ℝ+ (arah rambatannya ke kanan). Skema upwind untuk persamaan diatas adalah
��+ = �� −∆ (∆ + ⁄ − − ⁄ ).
Fluks upwind untuk − ⁄ dan + ⁄ didefinisikan sebagai
+ ⁄ ≈ ( , ),
+ ⁄ ≈ , ,
+ ⁄ ≈ � ,
dan
− ⁄ ≈ ( − , ),
− ⁄ ≈ − , ,
− ⁄ ≈ �− .
2. Skema Volume Hingga
Dipandang persamaan diferensial parsial berbentuk hukum kekekalan hiperbolik
+ =
Diambil nilai � sebagai pendekatan nilai rata-rata interval ke- pada waktu ke sebagai berikut
� = ∆ ∫ + ⁄ ,
(39)
dengan ∆ = + − − , yang fluks volume hingganya pada = + diberikan oleh
+ = ∆ ∫ ( , )
�+ �
maka
� + − �
∆ +
+ − −
∆ = ,
atau
� + − �
∆ = −
+ − −
∆ ,
atau
� + − � = −∆ + − −
∆ ,
atau
� + = � −∆∆ + − − .
G. Metode Garis
Metode garis merupakan teknik secara umum untuk menyelesaikan persamaan diferensial parsial dengan menggunakan beda hingga yang berhubungan dengan turunan pada ruang dan persamaan diferensial biasa pada turunan waktu.
Definisi 2.6.1
Persamaan diferensial parsial order satu dikatakan hiperbolik jika matriks Jacobian dari fungsi fluks dapat didiagonalkan dan semua nilai eigennya bernilai real.
(40)
Definisi 2.6.2
Dipandang persamaan diferensial parsial hiperbolik order satu dalam domain ruang
� dan domain waktu >
+ = (2.6.1)
Persamaan di atas disebut persamaan adveksi linear dengan adalah konstanta yang menyatakan kecepatan arus. Aproksimasi metode garis pada persamaan (2.6.1) yaitu:
= − −∆ −
dengan ∆ =�.
Catatan: Persamaan dapat ditulis sebagai persamaan diferensial biasa jika persamaan hanya bergantung pada satu variabel bebas .
H. Matriks Jacobian
Diketahui ̅ = ̅ yang terdiri dari buah persamaan dengan ̅ =
, , , … , yaitu
̅ = [
̅
̅
.. .
̅ ]
, (2.7.1)
(41)
{
= , , … , ,
= , , … , ,
. . .
= , , … , .
(2.7.2)
Matriks Jacobian didefinisikan sebagai
� , , … , =
[
⋱
]
. (2.7.3)
Determinan Jacobian didefiniskan sebagai
|�| = | , , … ,, , … , |. (2.7.4)
I. Nilai Eigen dan Vektor Eigen Definisi 2.8.1 (Leon, 2001)
Misalkan � adalah suatu matriks × . Skalar disebut sebagai suatu nilai eigen atau nilai karakteristik (characteristic value) dari � jika dan hanya jika terdapat suatu vektor tak nol x, sehingga �x = x. Vektor x disebut vektor eigen atau
vektor karakteristik yang berkorespondensi dengan . Contoh 2.8.1
Tentukan nilai eigen jika diketahui
� = − dan x= . Penyelesaian:
(42)
Karena
�x= − = = = x.
Dari persamaan ini terlihat bahwa = adalah nilai eigen dari � dan x merupakan vektor eigen dari . Sesungguhnya, sembarang kelipatan taknol dari vektor eigen x akan menjadi vektor eigen, karena
� � = � � = �� = α � = �
Jadi, sebagai contoh , � juga vektor eigen milik = . Hal ini dapat di lihat dari
− = = .
Contoh 2.8.2
Carilah nilai-nilai eigen dan vektor eigen yang bersesuaian dengan matriks
� = −
Penyelesaian:
Persamaan karakteristiknya adalah
| − − − | = ,
atau − − = .
Jadi, nilai-nilai eigen dari � adalah = dan = − . Untuk mencari vektor eigen yang dimiliki oleh = , kita harus menentukan ruang nol dari � − �.
� − � = − −
Dengan menyelesaikan � − � � = �, kita mendapatkan
(43)
Jadi semua kelipatan tak nol , � adalah vektor eigen milik dan { , �} adalah suatu vektor eigen untuk ruang eigen yang bersesuaian dengan . Dengan cara yang sama, untuk mendapatkan vektor eigen bagi , kita harus menyelesaikan Pada kasus ini, { − , �} adalah basis untuk � + � dan sembarang kelipatan
taknol dari { − , �} adalah vektor eigen milik . Di sini, melambangkan ruang nol.
(44)
28
BAB III
PENYELESAIAN MODEL ARUS LALU LINTAS
A. Hubungan Kecepatan, Kepadatan, dan Arus Lalu Lintas
Dalam masalah arus lalu lintas, ada tiga variabel dasar lalu lintas yaitu kecepatan kendaraan, kepadatan lalu lintas, dan arus lalu lintas. Untuk menunjukkan ketiga hubungan variabel tersebut, ada salah satu kemungkinan yang terjadi yaitu situasi lalu lintas yang sederhama. Misalkan, lalu lintas pada jalan yang sama bergerak dengan kecepatan konstan dan kepadatan lalu lintas konstan � . Ilustrasi ditunjukan oleh Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Lalu lintas kendaraan konstan.
Karena kecepatan setiap kendaraan konstan maka jarak antar kendaraan akan tetap konstan. Oleh karena itu, kepadatan lalu lintas tidak akan berubah seperti jumlah kendaraan yang diamati oleh pengamat per jamnya. Setelah waktu � jam, setiap kendaraan bergerak sejauh � , yaitu pergerakan pengemudi dalam kendaraan akan sama dengan kecepatan kendaraan dikalikan dengan waktu. Jadi, jumlah kendaraan dalam jarak � adalah banyaknya kendaraan yang diamati oleh pengamat yang melewati posisi pengamat setelah waktu � jam (lihat Gambar 3.2).
(45)
Gambar 3.2 Jarak kendaraan yang bergerak dengan kecepatan konstan dalam
waktu � jam.
Misalkan � adalah banyaknya kendaraan per mil dan � adalah jarak pergerakan kendaraan, maka � � adalah banyaknya kendaraan yang melewati pengamat setelah waktu � jam. Jumlah kendaraan per jam disebut arus lalu lintas. Secara matematis arus lalu lintas didefinisikan oleh
= � . (3.1.1)
Persamaan tersebut telah diturunkan dari masalah yang telah disederhanakan. Hal ini digunakan untuk menunjukkan hukum dasar dari masalah lalu lintas bahwa arus lalu lintas sama dengan kepadatan lalu lintas dikalikan dengan kecepatan kendaraan. Jika variabel pada lalu lintas bergantung pada dan
seperti , , � , , , maka dapat ditunjukkan bahwa
, = � , , . (3.1.2)
Persamaan (3.1.2) dapat ditunjukkan dengan memisalkan jumlah kendaraan yang melewati = dengan perbedaan waktu ∆ yang sangat kecil seperti waktu antara dan + ∆ . Jika ∆ sangat kecil, maka kendaraan bergerak lambat. � dan
adalah fungsi kontinu yang bergantung pada dan , sehingga � , dan , dapat didekati sebagai fungsi konstan dengan nilai = dan = . Perbedaan
�
(46)
waktu ∆ yang sangat kecil dan kendaraan melewati ruas jalan yang sempit maka arus lalu lintas dapat diaproksimasi dengan , ∆ yang melalui pengamat, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.3. Oleh karena itu, banyaknya kendaraan yang melewati ruas jalan dapat diaproksimasi dengan , ∆ � , sehingga arus lalu lintas diberikan oleh persamaan (3.1.2). Fungsi konstan dan � tidak membutuhkan modifikasi seperti fungsi , dan � , . Akibatnya, ada tiga variabel dasar dalam masalah lalu lintas yaitu kepadatan lalu lintas � , , kecepatan kendaraan , , dan arus lalu lintas , yang sesuai pada persamaan (3.1.2).
Gambar 3.3 Aproksimasi perbedaan pergerakan kendaraan dalam waktu ∆ .
B. Model Deterministik Arus Lalu Lintas
Misalkan kondisi awal untuk kepadatan arus lalu lintas (� , ) dan kecepatan kendaraan ( , ) diketahui pada panjang jalannya yang tak terhingga. Pergerakan setiap kendaraan didefinisikan dengan persamaan diferensial biasa order satu, yaitu:
= , (3.2.1)
dengan = .
(47)
Persamaan (3.2.1) menyatakan persamaan yang bergantung pada posisi setiap kendaraan pada waktu tertentu. Penyelesaian dari persamaan tersebut berupa fungsi kepadatan lalu lintas (� , ). Akibatnya, kecepatan kendaraan mempengaruhi kepadatan lalu lintas.
Diketahui interval panjang ruas jalan dari = sampai = seperti pada Gambar 3.4.
Gambar 3.4 Kendaraan yang masuk dan keluar dari ruas jalan.
Jadi, jumlah kendaraan pada interval = sampai = adalah
= ∫ � , . (3.2.2)
Jika tidak ada ruas jalan lain yang digunakan untuk masuk dan keluarnya kendaraan, maka jumlah kendaraan dari = sampai = akan berubah yang perubahannya hanya dipengaruhi oleh posisi di = dan = . Jumlah kendaraan akan berkurang jika kendaraan-kendaraan keluar dari daerah melalui = , tetapi jumlah kendaraan akan bertambah jika kendaraan-kendaraan masuk ke dalam daerah melalui = . Perubahan jumlah kendaraan � yaitu jumalhkendaraan dalam waktu tertentu yang masuk ke daerah melalui = dikurangi dengan
(48)
jumlah kendaraan dalam waktu tertentu yang keluar dari daerah melalui = dirumuskan dengan
= ∫ � , ,
= , − , , (3.2.3)
dengan , adalah perubahan jumlah kendaraan tiap satuan waktu. Penyelesaian persamaan (3.2.3) tersebut sulit untuk dicari dengan cara langsung sehingga diselesaikan sebagai berikut
+ ∆ −
∆ ≈ , − , ,
+ ∆ − ≈ , ∆ − , ∆ , (3.2.4)
dengan + ∆ − adalah perubahan jumlah kendaraan antara waktu dan
+ ∆ .
Jika , adalah perubahan jumlah kendaraan yang melewati ruas jalan pada waktu tertentu, maka ∫ , adalah jumlah kendaraan yang melewati ruas jalan pada waktu tertentu antara = dan = . Pada penurunan pendekatan nya, + ∆ = dan = yang integralnya mendekati , ∆ , sehingga
− = ∫ , − ∫ ,
= ∫ ( , − , ) . (3.2.5)
(49)
− = ∫ ( , − , ) ,
−− =∫ ( , −− , ) ,
lim→ −− = lim→ ∫ ( , −− , ) ,
= ∫ ( , − , ) . (3.2.6)
Menurut Teorema Fundamental Kalkulus, persaman (3.2.6) menghasilkan
= , − , . (3.2.7)
Di sini dapat berada di sembarang waktu sehingga notasi dapat digantikan dengan notasi jadi diperoleh
= , − , . (3.2.8)
Dengan mengkombinasikan antara persamaan (3.2.1) dan (3.2.8) diperoleh
∫ � , = , − , . (3.2.9)
Persamaan di atas menunjukkan bahwa tidak ada kendaraan yang masuk atau keluar tanpa melalui batas dan perubahan banyaknya kendaraan hanya terjadi pada batas lalu lintas. Hal ini bukan berarti bahwa banyaknya kendaraan antara = dan =
konstan. Jadi, persamaan (3.2.9) disebut hukum konservasi berbentuk integral yang menunjukkan panjang lalu lintasnya berhingga di antara .
(50)
Contoh:
Misalkan menuju ±∞ sehingga aliran kendaraan menuju nol pada jalan layang yang takhingga panjangnya yaitu
lim
→±∞ , =
Dengan menggunakan persamaan (3.2.9) didapat
∫ � ,∞
−∞ = ,
atau ∫ � ,∞
−∞ = ,
dengan adalah konstan.
Persamaan tersebut menunjukkan bahwa jumlah kendaraan akan tetap konstan pada sepanjang waktu, tetapi hanya bisa diselesaikan jika kondisi awal jumlah kendaraan adalah atau kondisi awal kepadatan lalu lintas � , diketahui, sehingga:
∫ � ,∞
−∞ = = ∫ � ,
∞
−∞ .
Hukum konservasi berbentuk integral pada persamaan (3.2.9) disebut hukum konservasi lokal pada posisi setiap jalan. Permasalahan yang diselesaikan dengan tiga cara itu, titik akhir pada ruas jalan adalah = dan = yang merupakan kondisi (variabel terikat) tambahan. Dari keterangan di atas, persamaan (3.2.9) harus diganti dengan turunan parsial yaitu
∫ � , = , − , . (3.2.10)
Diasumsikan = dan = adalah posisi yang tetap pada setiap waktu (lihat persamaan 3.2.9).
(51)
(1) Perhatikan integral konservasi dari kendaraan dalam interval yang kecil pada jalan layang dari = sampai = + ∆ .
Persamaan (3.2.10) menjadi
∫ +∆ � , = , − + ∆ ,
−∆ ∫ � ,
+∆
= −∆ ( , − + ∆ , ) lim
∆ → −∆ ∫ � ,
+∆
= lim∆ → −∆ ( , − + ∆ , )
lim
∆ → −∆ ∫ � ,
+∆
= lim∆ → , −−∆ + ∆ , (3.2.11)
Pada persamaan (3.2.10), ruas kanan adalah definisi turunan dari , terhadap yaitu �
� , . Sedangkan, ruas kiri adalah limitnya yang
ditunjukkan dengan dua cara, yaitu:
a. Integral adalah luas daerah di bawah kurva � , antara = dan
= + ∆ . Dengan ∆ yang cukup kecil, maka jumlah kendaraan antara = dan = + ∆ adalah
−∆ ∫ � ,
+∆
≈ − � , (3.2.12)
Oleh karena itu, persamaan (3.2.11) dapat diturunkan menjadi
(52)
b. Fungsi ̅, , jumlah kendaraan di jalan raya di antara sembarang posisi tetap dan variabel posisi yaitu:
̅, ≡ ∫ � ,̅ . (3.2.14)
Kelajuan rata-rata kendaraan antara dan + ∆ setiap mil adalah
−∆ ∫ � ,
+∆
= + ∆ , −−∆ ,
lim
∆ → −∆ ∫ � ,
+∆
= lim∆ → + ∆ , −−∆ .
Dengan menggunakan Teorema Fundamental Kalkulus didapat
,
= � , . (3.2.15)
Persamaan (3.2.10) dapat diselesaikan juga dengan menggunakan metode (a) atau (b). Karena persamaan (3.2.10) mengandung semua nilai
, maka dapat digantikan dengan yaitu
� , + [ , ] = , (3.2.16)
atau
�
+ = . (3.2.17)
Persamaan ini disebut persamaan diferensial parsial yang menunjukkan hubungan antara kepadatan lalu lintas dan arus lalu lintas yang diasumsikan bahwa jumlah kendaraan tetap pada waktu tertentu yang disebut hukum konservasi.
(53)
Perhatikan hukum konservasi berbentuk integral pada persamaan (3.2.10) untuk berhingga ruas garis pada jalan layang antara . Diambil turunan parsial terhadap , yaitu = + ∆ yang dibagi dengan ∆ dan diambil limit
∆ → , didapat
� ,
= − ( , ). (3.2.18)
Karena merepresentasikan sembarang posisi di jalan raya sehingga dapat digantikan dengan . Jadi, persamaan tersebut memenuhi persamaan hukum konservasi seperti pada persamaan (3.2.16).
(3) Penurunan hukum konservasi pada ruas jalan yang panjangnya berhingga antara yang hubungannya dengan ruas kanan pada persamaan (3.2.16) .
, − , = − ∫ [ , ] . (3.2.19)
Dari persamaan (3.2.16) didapat
∫ [ � , + , ] = . (3.2.20)
Persamaan di atas dapat diturunkan terhadap seperti pada persamaan (3.2.16), yang akan didapat seperti pada kasus (1) dan (2). Persamaan (3.2.20) adalah definisi dari beberapa kuantitas integral yang hasilnya selalu nol untuk setiap nilai yang bebas yang diambil limitnya. Fungsi yang diintegralkan yang hasilnya nol untuk sembarang interval adalah fungsi nol. Oleh karana itu, didapat persamaan (3.2.10).
(54)
�
+ = . (3.2.21)
Persamaan (3.2.21) sesuai jika tidak ada jalan yang masuk ataupun keluar yang menginterpretasikan hukum konservasi dalam berbagai situasi dengan tidak adanya lalu lintas. Secara umum, jika � adalah kepadatan dari kuantitas lokal dan adalah arus dari kuantitas batas persimpangan maka persamaannya seperti pada persamaan (3.2.21). Namun masalah arus lalu lintas didefinisikan sebagai
= � .
Oleh karena itu, hukum konservasi dapat ditulis sebagai
�
+ � = . (3.2.22)
Persamaan tersebut merupakan persamaan diferensial parsial untuk masalah lalu lintas yang berhubungan dengan kepadatan lalu lintas dan kecepatan kendaraan.
C. Linearisasi Model Lalu Lintas
Dipandang model deterministik arus lalu lintas berbentuk persamaan diferensial parsial
�
+ � = , (3.3.1)
atau
�
+ = . (3.3.2)
(55)
�
+ � �= .
Karena merupakan fungsi yang hanya bergantung pada � maka
�
+ � � = , (3.3.3)
dengan � adalah fungsi kontinu non linear. Diketahui nilai awal kepadatan lalu lintas
� , = .
Persamaan diferensial parsial untuk arus lalu lintas tersebut tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan integral seperti contoh di bawah ini apabila diketahui nilai awal � = � yang dapat diselesaikan mirip dengan cara menyelesaikan persamaan diferensial biasa.
Contoh 1
Akan diselesaikan
� = .
Persamaan diferensial tersebut dapat langsung diintegralkan, yaitu
∫ � = ∫ , � = c,
dengan ∈ ℝ.
Diketahui � = � maka penyelesaian pada Contoh 1 adalah
� = � .
Contoh 2
(56)
�
= −� + .
Persamaan tersebut dapat diselesaikan dengan variabel terpisah
�
+ � = .
Faktor integralnya = ∫ = . Persamaan tersebut dikali dengan menjadi
�
+ � = ,
� = ,
∫ � = ∫ ,
� = + ,
� = + − .
Diketahui � = � maka
+ = � ,
+ = � , = � − .
Penyelesaian pada Contoh 2 adalah
� = + � − − .
Contoh 3
(57)
�
= − �.
Karena � adalah fungsi yang bergantung pada dan maka persamaan diferensial parsial tersebut dapat diselesaikan dengan metode variabel terpisah yaitu
�
� = − , ∫ � = ∫ − ,�
ln|�| = − + ,
|�| = − + ,
|�| = − .
Dimisalkan = maka
|�| = − ,
� = − .
Untuk nilai konstan yang lain mungkin bervariasi, oleh karena itu penyelesaian persamaan diferensial parsial tersebut adalah
� , = − .
Diketahui kondisi awal � , = berarti
= ,
= .
Jadi, didapat penyelesaiannya yaitu
� , = − .
Misalkan diketahui nilai awal dari kepadatan lalu lintas konstan yang tidak bergantung pada variabel yaitu
(58)
� , = � .
Dengan kata lain, kepadatan lalu lintas tetap konstan karena semua kendaraan bergerak dengan kecepatan yang sama. Akibatnya, nilai akhir kepadatan lalu lintas akan tetap konstan seperti nilai awalnya
� , = � .
Kepadatan lalu lintas yang konstan tersebut merupakan kepadatan di titik ekuilibrium. Jika kepadatan lalu lintas relatif konstan, persamaan diferensial tersebut dapat diselesaikan dengan perturbasi atau usikan, misalkan
� , = � + �� , , (3.3.4)
dengan � adalah konstan yang cukup kecil dan |�� | ≪ � yang disebut perturbasi kepadatan lalu lintas.
Asumsikan nilai awal kepadatan lalu lintas adalah fungsi terhadap diketahui dan mendekati konstan � , sehingga
� , = � + � . (3.3.5)
Persamaan (3.3.5) juga merupakan perturbasi kepadatan lalu lintas yang nilai awalnya diketahui yaitu � , = sehingga persamaan (3.3.4) dapat disubstitusikan ke dalam persamaan (3.3.3) menjadi
� + �� + � � + �� � + �� = ,
� � + � � + �� � � = ,
�
+ � � + �� � = . (3.3.6)
(59)
� � + �� = � � + �� � � + ��
! � � +
��
! � �
+ .
Order tingkat tinggi dalam ekspansi deret Taylor diabaikan. Oleh karena itu, didapat
� � + �� = � � .
Dari ekspansi deret Taylor maka persamaan (3.3.6) menjadi
�
+ � � � = , (3.3.7)
atau
�
+ � = (3.3.8)
dengan = ⁄ � � .
Selanjutnya, kita akan menyelesaikan persamaan (3.3.8) yang terkait dengan linearisasi masalah lalu lintas. Kondisi awal kepadatan lalu lintas adalah usikan awal kepadatan lalu lintas yang diketahui
� , = .
Didefinisikan koordinat ruang lain yaitu ′ yang bergerak dengan kecepatan konstan . Diasumsikan dua sistem koordinat dan ′ yang asalnya sama di = (lihat Gambar 3.5)
(60)
Gambar 3.5 Kendaraan bergerak dengan kecepatan
Setelah waktu , sistem koordinat berpindah pada jarak karena kendaraan bergerak dengan kecepatan konstan yang diilustrasikan oleh Gambar 3.6.
Gambar 3.6 Ilustrasi ′ yang bergerak dengan kecepatan .
Oleh karena itu, jika ′= maka = . Di sisi lain pada ′, = ′+ atau
′ = − . Persamaan diferensial parsial yang dihasilkan dari linearisasi arus lalu
lintas yang bergerak pada sistem koordinat akan diselidiki apa yang terjadi. Sebagai gantinya, penyelesaiannya bergantung pada dan atau ′ dan . Pengubahan variabel yang melibatkan turunan parsial dilakukan untuk memudahkan dalam menjelaskan perbedaan notasi setiap variabel yang digunakan. Variabel ′ dan ′
Bergerak dengan kecepatan
=
′=
=
=
′=
= ′
(61)
dengan ′ = digunakan untuk bergeraknya sistem koordinat. Akibatnya, pengubahan variabel yang digunakan adalah
′ = − ,
′= .
Aturan rantai turunan parsial dilakukan untuk menyatakan persamaan diferensial parsial dalam bentuk variabel baru yaitu
= ′ ′+ ′ ′,
= ′ + ′ ,
= ′.
dan
= ′ ′+ ′ ′,
= ′ − + ′ ,
= − ′+ ′.
Walaupun = ′ tetapi �
� ≠
�
� ′ karena hasil tersebut diperoleh dari definisi dua
turunan parsial. �
� merupakan turunan terhadap waktu pada titik = , sedangkan �
� ′ merupakan turunan terhadap waktu terhadap titik ′ yang bergerak dengan
kecepatan . Perubahan waktu mungkin berbeda pada kedua sistem tersebut. Hal itu menekankan pada pentingnya memaparkan variabel waktu yang baru ′, yang menyatakan perbedaan notasi antara titik dan titik ′.
(62)
Oleh karena itu, persamaan (3.3.8) pada sistem koordinat yang bergerak dengan kecepatan menjadi
− �′+ �′ + �′ = ,
�
′ = .
Persamaan diferensial parsial tersebut mempunyai penyelesaian
� = ′,
∫ � = ∫ ′,
� = konstan.
Untuk nilai yang berbeda, nilai � juga kemungkinan tidak konstan tetapi � adalah fungsi terhadap ′,
� = ′
dengan ′ merupakan fungsi yang berubah–ubah terhadap ′. Variabel aslinya adalah
� = − . (3.3.9)
Subtitusikan persamaan (3.3.9) ke persamaan (3.3.8). Dengan menggunakan aturan rantai diperoleh
�
= − − ,
�
= − ,
dan
�
(63)
�
= − − .
Sehingga terbukti bahwa persamaan (3.3.8) dipenuhi oleh persamaan (3.3.9). Walaupun demikian, persamaan (3.3.8) melibatkan turunan parsial yang bergantung terhadap dan yang dapat diintegralkan pada sistem koordinat yang bergerak dengan kecepatan . Penyelesaian secara umum persamaan (3.3.8) mengandung fungsi yang berubah-ubah, seperti pada Contoh 3. Penyelesaian umumnya adalah
� , = − .
Tetapi � , = , sehingga = . Akibatnya, penyelesaian dari persamaan diferensial parsial dipenuhi dengan kondisi awal
� , = − ,
� , = � + − . (3.3.10)
Jika kendaraan bergerak dengan kecepatan konstan, maka kepadatan lalu lintas tetap sama. Kepadatan lalu lintas tersebut menyebar seperti gelombang yang disebut gelombang kepadatan lalu lintas dengan kecepatan gelombang . Perlu dingat bahwa kecepatan kendaraan mungkin berbeda dari kecepatan saat kendaraan tersebut bergerak. Sepanjang kurva yang − = konstan, maka kepadatan lalu lintas akan tetap sama. Garis tersebut disebut karakteristik dari persamaan diferensial parsial
�
(64)
Dalam kasus ini, karakteristik adalah semua garis lurus dengan kecepatan , dengan = ⁄ . Ilustrasi karakteristik yang bermacam-macam pada diagram ruang dan waktu ditunjukkan pada Gambar 3.7. Masing–masing karakteristik, kepadatan lalu lintas sama dengan nilai kepadatan lalu lintas itu sendiri saat = . Perlu diingat bahwa � akan tetap konstan sepanjang karakteristik, tetapi � ⁄ dan � ⁄ mungkin tidak sama dengan nol yang diilustrasikan pada Gambar 3.8.
Gambar 3.7 Karakteristik dari � ⁄ + � ⁄ = .
Gambar 3.8 Variasi kepadatan lalu lintas.
Berdasarkan ilustrasi di atas � ⁄ mungkin tidak sama dengan nol karena nilai dari � mungkin bervariasi dengan nilai tertentu. Demikian pula, � ⁄ tidak
=
tertentu
tertentu � =
(65)
mungkin nol karena nilai dari � mungkin berubah dengan nilai tertentu. Dalam Gambar 3.7 dan 3.8 diasumsikan > yaitu
= � � . (3.3.11)
Diagram Dasar Lalu Lintas Jalan diperlihatkan pada gambar 3.9. Kemungkinan, gradien yang positif berarti kepadatan lalu lintas lebih kecil daripada kapasitas jalan yang bersesuaian, dan gradien yang negatif berarti kepadatan lalu lintas lebih besar daripada kapasitas jalan yang bersesuaian. Gradien dikatakan signifikan jika usikan yang diberikan cukup kecil pada kepadatan lalu lintas yang seragam yang bergerak dengan kecepatan konstan yang sama dengan gradiennya seperti pada persamaan (3.3.11). Gelombang kecepatan kendaraan dapat bernilai positif atau negatif.
Gambar 3.9 Kurva kepadatan lalu lintas : kapasitas jalan.
D. Gelombang Kepadatan Lalu Lintas
Sebuah lalu lintas dikatakan padat jika nilai kepadatannya lebih besar daripada nilai kepadatan optimal pada kapasitas jalan. Sedangkan, lalu lintas dikatakan tidak padat adalah jika nilai kepadatannya lebih kecil daripada nilai
kapasitas
�
jalan
(66)
kepadatan optimal (lihat Gambar 3.10). Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa lalu lintas padat dimana usikan kepadatan bergerak dengan kecepatan yang bernilai negatif ketika berlawanan arah dengan lalu lintas yang tidak padat, sesuai dengan definisi dan Diagram Dasar Lalu Lintas Jalan pada Gambar 3.9.
Gambar 3.10 Lalu lintas yang padat dan tidak padat
Diasumsikan kepadatan lalu lintas hampir seragam pada situasi lalu lintas yang padat. Kondisi awal kepadatannya diilustrasikan oleh Gambar 3.11 dimana garis putus-putus mengilustrasikan kondisi awal kepadatan yang mendekati konstan dan titik pada grafik mengilustrasikan minimum relatif atau maksimum relatif dari kepadatannya. Pada kasus sebelumnya, menunjukkan bahwa kepadatan akan tetap konstan jika pengamat bergerak dengan kecepatan bernilai negatif. Akibatnya, kepadatannya konstan sepanjang karakteristik, yang diilustrasikan oleh diagram ruang dan waktu pada Gambar 3.12.
padat Tidak
padat
(67)
Gambar 3.11 Lalu lintas padat yang hampir seragam.
Gambar 3.12 Karakteristik � ⁄ + � ⁄ = .
Posisi dari maksimum relatif ditandai dengan garis tebal dan minimumnya ditandai dengan garus putus–putus. Misalkan kepadatan awalnya ditunjukkan oleh Gambar 3.13a, yang kemudian setelah waktu � kepadatan bergerak mundur dengan jarak | �|, dengan = ⁄ � � yang ditunjukkan oleh Gambar 3.14b.
Gambar 3.13a Kondisi awal kepadatan lalu lintas. � ,
=
=
� , =
(68)
Gambar 3.14b Gelombang kepadatan bergerak mundur.
Kepadatan bergerak mundur dengan kecepatan konstan akan meningkat dalam waktu yang kontinu. Gelombang kepadatan pengendara tanpa mengubah bentuknya. Untuk membuat sketsa kepadatan � yang bergantung pada fungsi dan membutuhkan sketsa berdimensi tiga dan hal tersebut tidak selalu mudah untuk digambar. Sebagai contohnya, sumbu horizontal, � sumbu vertikal, dan sumbu yang arahnya ke kertas yang diperoleh dari Gambar 3.14. Kepadatan akan tetap sama pada sepanjang lintasan dengan kecepatan , dengan < . Variasi dari kepadatan lalu lintas tampak bergerak mundur walaupun sebenarnya tidak ada kendaraan yang bergerak mundur.
Gambar 3.14. Sketsa tiga dimensi �, , .
� , =
(69)
E. Interpretasi Gelombang Lalu Lintas
Dipandang persamaan diferensial parsial untuk masalah arus lalu lintas setelah perturbasi
�
+ � = , (3.5.1)
Misalkan kepadatan lalu lintas diukur dari pengamat yang bergerak bukan dari kendaraan yang bergerak di lalu lintas. Posisi dari pengamat ditentukan oleh =
. Kepadatan lalu lintas diukur dari pengamat yang bergantung pada waktu yaitu
� , . Laju perubahan kepadatan bergantung dari variasi lalu lintas dan pengamat yang bergerak, dengan turunan rantai pada persamaan diferensial parsial maka berlaku
� , = � + � . (3.5.2)
Suku pertama pada ruas kanan ��
� merepresentasikan perubahan kepadatan lalu
lintas pada posisi yang tetap dan ��
� merepresentasikan perubahan yang sesuai
fakta bahwa pengamat bergerak pada daerah dengan kemungkinan kepadatan yang berbeda. Dengan membandingkan antara perubahan kepadatan yang bergerak bersama pengamat seperti pada persamaan (3.5.2) dengan persamaan diferensial parsial untuk perturbasi kepadatan lalu lintas seperti pada persamaan (3.5.1). Hal tersebut akan terlihat jelas jika pengamat bergerak dengan kecepatan , yang berarti jika
= (3.5.2)
(70)
�
= . (3.5.3)
Jadi, � adalah fungsi yang konstan. Pengamat yang bergerak dengan kecepatan tidak akan mempengaruhi pengukuran pada kepadatannya, seperti pada kseimpulan subbab 3.3. Dengan kata lain, konsep yang sama dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah lalu lintas nonlinear, yaitu
�
+ � � = .
Persamaan (3.5.3) dapat diperoleh penyelesaian secara aljabar dengan mudah yaitu dengan cara mengintegralkan yang diperoleh � = , dimana konstan. Dari persamaan (3.5.3) didapat � = pada sepanjang = + , dimana dan konstan. Untuk garis lurus yang berbeda misalkan konstan, maka � dapat pula nilai konstan yang berbeda. Jadi, konstan bergantung pada konstan, yaitu =
, yang mana adalah fungsi yang berubah–ubah terhadap atau
� = −
Penyelesaian tersebut identik dengan penyelesaian pada persamaan (3.3.10) yang diperoleh dari transformasi persamaan diferensial parsial untuk sistem koordinat yang bergerak dengan kecepatan .
F. Contoh Arus Lalu Lintas yang Hampir Seragam
Misalkan kondisi awal dari kepadatan lalu lintas bernilai konstan untuk jalan tol yang hampir takterbatas yang diilustrasikan pada Gambar 3.15. Arus lalu lintas yang masuk harus bernilai � � , arusnya bersesuaian dengan kepadatan
(71)
yang seragam � sehingga banyaknya kendaraan per jam yang masuk lalu lintas akan tetap seragam.
Gambar 3.15 Jalan raya yang lebar hampir takterbatas (hanya kendaraan yang
masuk saat = ).
Perhatikan interval dari jalan raya antara jalan masuk dan titik = untuk membuktikan pernyataan tersebut dengan menggunakan integral hukum konservasi
∫ � , = − , + , .
Karena nilai kepadatan lalu lintas konstan, dan sisi kiri bernilai nol maka arusnya di = harus sama dengan arus saat masuk , = , . Tetapi, arus di =
adalah � � maka , = � � . Dengan kata lain, arus yang masuk sama dengan arus yang keluar, sehingga jumlah kendaraan akan tetap sama dengan asumsi bahwa kepadatannya konstan. Disisi lain, misalkan arus dalam dari kendaraan ditentukan untuk kepadatan yang seragam
, = � � + , (3.6.1)
dengan diketahui.
Sehingga, penyelesaian kepadatan lalu lintas dengan menggunakan persamaan diferensial yang sama dengan subab sebelumnya.
Kendaraan masuk
(72)
�
+ � = .
Persamaan di atas diturunkan dari
� , = � + � , . (3.6.2)
Lalu lintas awal diasumsikan seragam, sehingga kondisi awalnya adalah
� , = .
Kasus ini dapat digeneralisasikan juga dalam kepadatan awal yang sedikit berbeda dengan kasus yang serupa. Perlu diingat bahwa kondisi awal tersebut valid untuk > . Kondisi awal tersebut harus dilengkapi dengan kondisi arusnya seperti pada persamaan (3.6.1), yang disebut kondisi batas karena hal tersebut terjadi pada batas jalan yang melewati jalur cepat saat = .
Penyelesaian umum untuk persamaan diferensial parsial tersebut telah didapat yaitu
� , = − ,
� , = � + − . (3.6.3)
Dengan menggunakan konsep karakteristik dengan asumsi lampu lalu lintas, misalnya > . Karakteristik tersebut adalah garis − = konstan yang diilustrasikan pada Gambar 3.16.
(73)
Gambar 3.16 Karakteristik yang kepadatannya konstan.
� merupakan kepadatan yang konstan pada sepanjang garis. Hal tersebut dapat dilihat dari Gambar 3.16 yang menunjukkan bahwa daerah yang diarsir adalah nilai kepadatan � = atau total kepadatannya � = � saat = , sedangkan daerah yang tidak diarsir adalah keadaan kendaraan yang masuk dalam tingkat yang tidak seragam. Pada daerah tersebut, kepadatan lalu lintas hanya sedikit berbeda dengan kepadatan yang seragam, seperti pada persamaan (3.6.3). Kepadatan lalu lintas saat
, sama dengan kepadatan lalu lintas pada jalan masuk saat waktu ⁄ ,
− = − − .
⁄ adalah waktu yang diperlukan gelombang untuk bergerak yang berjarak dengan kecepatan . Oleh karena itu, kepadatan jalan masuk dalam waktu −
⁄ adalah kepadatan dengan jarak mil pada jalan raya dalam waktu . Kepadatan lalu lintas yang masuk dapat ditentukan dari arus lalu lintasnya, dengan menggunakan persamaan (3.6.1) dan mengasumsikan � mendekati � .
Arus lalu lintas atau � = � + dapat dinyatakan dengan menggunakan metode deret Taylor yaitu
(74)
Karena = ′ � , maka arus lalu lintas diatas diaproksimasi menjadi
� = � + ′ .
Jadi, perturbasi arus lalu lintas secara sederhana adalah perturbasi kepadatan dengan kecepatan dalam waktu tertentu. Dalam kasus ini, perturbasi arus lalu lintas diketahui saat jalan masuk . Sehingga,
= − , >
Jika dimisalkan = − , maka
−
= ,
= − . ∀ <
Akibatnya, total kepadatan kendaraan yang diberikan oleh persamaan (3.6.3) adalah
� , = � + − , jika − < .
Atau dapat disimpulkan menjadi
� , = {� + − , − < .
� , − > .
Penyelesaian ini menunjukkan bahwa lalu lintas masuk saat = yang menyebar dengan kecepatan dan posisi dengan menempuh waktu ⁄ .
G. Metode Karakteristik Lalu Lintas Tidak Seragam
Konservasi kendaraan dan Diagram Dasar Lalu Lintas Jalan pada Gambar 3.9 menghasilkan persamaan diferensial parsial nonlinear order pertama pada lalu lintas adalah
(75)
�
+ �� � = . (3.7.1)
Penyelesaian dalam subbab sebelumnya dianggap mendekati persamaan persamaan di atas yang kepadatannya hampir seragam. Lalu lintas ditunjukkan secara bervariasi melalui gelombang kepadatan.
Dalam subbab ini akan dijelaskan bagaimana menemukan teknik untuk menyelesaikan kepadatan lalu lintas yang hampir seragam. Diperhatikan kembali pengamat yang bergerak dari beberapa model yang ditetapkan yaitu . Kepadatan lalu lintas yang dilihat dari posisi pengamat akan berubah setiap waktu bergantung pada perubahan posisi pengamat, yaitu
�
= �+ �. (3.7.2)
Dari persamaan (3.7.1) dan (3.72) dapat dilihat bahwa kepadatan akan tetap konstan dari sudut pandang posisi pengamat, sehingga
�
= . (3.7.3)
Persamaan (3.7.3) menghasilkan � yang bernilai konstan jika
= � ≡� ′ � . (3.7.4)
Pengamat harus bergerak dengan kecepatan ′ � sehingga kecepatan gelombang kepadatan lalu lintas mendekati seragam akan menyebar. Karena kecepatan bergantung pada kepadatan yang mana sangat bervariasi antara bagian yang satu dengan lainnya, maka kecepatan tersebut disebut gelombang kecepatan
lokal. Jika pengamat bergerak pada gelombang kecepatan lokal, maka kepadatan
(76)
gerakan yang keluar dari pengamat yang mana pengamat akan mengukur kepadatan lalu lintas tersebut konstan, yang diilustrasikan oleh Gambar 3.17.
Gambar 3.17 Garis sepanjang kepadatan lalu lintas tetap sama.
Persaman (3.7.3) dan (3.7.4) merupakan persamaan diferensial biasa, yang kurvanya disebut karakteristik. Sepanjang karakteristik menunjukkan bahwa � konstan; kepadatan akan tetap sama dengan posisi karakteristik yang berpotongan pada data awal.
Dalam kasus ini, arus hampir seragam yaitu
= .
Jadi, untuk semua kurva dalam karakteristik tersebut segaris lurus secara paralel. Pada arus lalu lintas yang tidak seragam, pengamat bergerak pada gelombang kecepatan lokal. Kepadatan lalu lintas akan tetap jika dilihat dari posisi pengamat, sehingga gelombang kepadatan lokal dari sudut pengamat juga akan tetap. Kecepatan yang dilihat dari sudut pandang setiap pengamat bergerak konstan. Setiap pengamat bergerak dengan kecepatan konstan, tetapi pengamat yang lain mungkin bergerak dengan kecepatan konstan yang berbeda, dikarenakan perbedaan kepadatan lalu lintas awalnya. Setiap pergerakannya merupakan gelombang
Kepadatan konstan
(77)
kecepatan lokal masing–masing pengamat. Setiap karakteristik bergaris lurus pada kasus ini merupakan arus yang hampir seragam. Akan tetapi, jalan miring yang terkait dengan pengaturan kecepatannya belum tentu sama dengan karakteristik yang berbeda dan karakteristik tersebut juga belum tentu merupakan garis lurus yang paralel.
Dimisalkan sebuah karakteristik yang berawal di posisi = pada jalan raya, yang ditunjukkan oleh Gambar 3.18 dimana sepanjang kurva ⁄ = ′ � dan �⁄ = atau � bernilai konstan. � awal bernilai sama saat = misalnya saat = . Jadi, salah satu jenis karakteristiknya adalah
� = � , ≡ � .
� adalah konstan yang diketahui. Gelombang kecepatan lalu lintas didefinisikan sebagai karakteristik yang bernilai konstan, yaitu ⁄ = ′ � .
Gambar 3.18 Karakteristik awal saat = .
Akibatnya, karakteristik tersebut merupakan garis lurus yaitu
∫ = ∫ ′ � ,
= ′ � + ,
dengan merupakan perpotongan dalam karakteristik, yang sama dengan saat
= dan = . Akibatnya, persamaan di atas berubah menjadi
(78)
= ′ � + .
Persamaan diatas meruapakan salah satu jenis karakteristik. Kepadatan lalu lintas
� bernilai konstan sepanjang garis lurus, yaitu
� = � .
Apabila karakteristik awal berasal dari = maka persamaannya akan mirip untuk
= dan juga disebut karakteristik garis lurus, yaitu
= ′ � + .
Walaupun demikian, jalan miring yang berbeda menyebabkan kecepatan juga berbeda jika ′ � ≠ ′(� ). Sebagai contohnya diilustrasikan oleh Gambar 3.19.
Gambar 3.19 Kemungkinan karakteristik garis lurus nonparalel.
Melalui cara ini kepadatan kendaraan di waktu yang akan datang dapat diprediksi saat = pada posisi = , dengan karakteristik dari ruang dan waktu harus diperoleh (lihat Gambar 3.20).
� = � � = �
(79)
Gambar 3.20 Menentukan kepadatan lalu lintas yang akan datang dengan
mengunnakan karakteristik.
Jika karakteristiknya sudah ditentukan dan sepanjang karakteristik tersebut mempunyai kepadatan yang konstan maka kepadatan pada titik , yang kepadatan dapat aproksimasi dengan perpotongan , yaitu
� , = � , .
Teknik tersebut dinamakan metode karakteristik.
Kecepatan gelombang kepadatan atau ⁄ � menyatakan bahwa pada kecepatan tertentu kepadatan lalu lintas akan tetap sama. Kita akan mendeskripsikan sifat-sifat dari kecepatan gelombang kepadatan. Asumsikan
�
⁄ menurun ketika � meningkat atau kecepatan gelombang kepadatan menurun ketika kepadatan lalu lintas meningkat. Selain itu, akan ditunjukkan hubungan antara dua kecepatan yaitu kecepatan gelombang kepadatan dan kecepatan kendaraan. Karakteristik kecepatan dapat ditentukan dari kecepatan dan kepadatan lalu lintas. Karena diketahui = � � maka
� = � � + .
Hipotesis awal diketahui bahwa kendaraan bergerak lambat saat kepadatan lalu lintas meningkat atau ⁄ � , yang diilustrasikan oleh Gambar 3.21.
(1)
109
LAMPIRAN
Berikut ini merupakan code pada program MATLAB untuk solusi analitis
dan solusi numeris beserta erornya dengan setiap metode yang digunakan dalam
menyelesaikan persamaan diferensial parsial untuk model deterministik arus lalu
lintas.
1.
Solusi Analitis
clcclose all clear all
tf=1; %waktu final
L=10;
dx=0.05; %lebar sel
dt=0.01*dx; %langkah waktu
t=0:dt:tf; %disktritasisasi waktu
x=-L:dx:L; %disktritasisasi ruang
nt=length(t); %Banyaknya elemen dalam waktu diskrit
nx=length(x); %Banyaknya elemen dalam ruang diskrit
rho=zeros(nt,nx); %Membentuk matriks awal untuk rho
umax=2; % Nilai kecepatan di rho=rho maksimum
rhomax=2; % Nilai kepadatan di u= u maksimum % Nilai awal
for i=1:nx if x(i)<0 rho(1,i)=2; else
rho(1,i)=0; end
end
% Nilai batas
rho(:,1)=2; rho(:,nx)=0; for n=1:nt-1 for i=1:nx-1
rho(n,i)=x(i)./t(n); %Nilai dari x/t
% Hasil nilai rho dengan syarat tertentu
if rho(n,i) < -umax; rho(n,i)=2;
elseif rho(n,i) >= umax; rho(n,i)=0;
else
rho(n,i)=rhomax/2*(1-rho(n,i)/umax); end
end
(2)
ylim([-0.1 2.5]) pause(0.000001) %hold on
xlabel('x') ylabel('rho')
%title('Grafik antara x dan rho') end
2.
Metode Volume Hingga Lax-Friedrichs dan Erornya
clcclose all clear all tf=1; L=10;
dx=0.05; %lebar sel
dt=0.01*dx; %langkah waktu
t=0:dt:tf; %diskritisasi waktu x=-L:dx:L; %diskritisasi ruang
nt=length(t); %Banyaknya elemen dalam waktu diskrit nx=length(x); %Banyaknya elemen dalam ruang diskrit
rho=zeros(nt,nx);%Membentuk matriks awal untuk kepadatan solusi Lax-Friedrichs
p=zeros(nt,nx); %Membentuk matriks awal untuk kepadatan solusi analitik
u=zeros(nt,nx); %Membentuk matriks awal untuk kecepatan
error_mv=zeros(nt,nx); %error dari solusi Lax-Friedrichs
umax=2; %Nilai kecepatan maksimum
rhomax=2; %Nilai kepadatan maksimum
% Nilai awal for i=1:nx if x(i)<0 rho(1,i)=2; p(1,i)=2;
u(1,i)=umax*(1-rho(1,i)/rhomax); else
rho(1,i)=0; p(1,i)=0;
u(1,i)=umax*(1-rho(1,i)/rhomax); end
end
% Nilai batas
rho(:,1)=2; p(:,1)=2; rho(:,nx)=0; p(:,nx)=0; hold on for n=1:nt-1 for i=2:nx-1
rho(n+1,i)=x(i)./t(n+1); if rho(n+1,i) < -umax; rho(n+1,i)=2;
(3)
rho(n+1,i)=0; else
rho(n+1,i)=rhomax/2*(1-rho(n+1,i)/umax); end
%F Kiri untuk p
Fkip=((u(n,i)*p(n,i)+u(n,i-1)*p(n,i-1))/2)-((dx/(2*dt))*(p(n,i)-p(n,i-1)));
%F Kanan untuk p
Fkap=((u(n,i+1)*p(n,i+1)+u(n,i)*p(n,i))/2)-((dx/(2*dt))*(p(n,i+1)-p(n,i)));
p(n+1,i)=p(n,i)-(dt/dx)*(Fkap-Fkip);
error_mv(n+1,i)=norm(rho(n+1,i)-p(n+1,i)); end
end
for k=1:2 if k==1
plot(x,p(nt,:),'k--')
%legend('Lax-Friedrichs Method')
ylim([-0.1 2.5]) else
figure
plot(x,error_mv(nt,:),'m') %legend( 'error')
ylim([min(min(error_mv))-0.1 max(max(error_mv))+0.1]) end
pause(1) end
3.
Sistem Relaksasi Jin-Xin dan Erornya
clcclose all clear all
tf=1; %Waktu Final
L=10;
dx=0.05; %lebar sel
dt=0.01*dx; %Langka Waktu
t=0:dt:tf; %disktritasisasi wakktu
x=-L:dx:L; %disktritasisasi ruang
nt=length(t); %Banyaknya elemen dalam waktu diskrit
nx=length(x); %Banyaknya elemen dalam ruang diskrit
rho=zeros(nt,nx); %Membentuk matriks awal untuk kepadatan solusi Jin-Xin
rhoa=zeros(nt,nx); %Membentuk matriks awal untuk kepadatan solusi analitik
v=zeros(nt,nx); %Membentuk matriks awal untuk v
umax=2; %Nilai kecepatan maksimum
rhomax=2; %Nilai kepadatan maksimum
epsilon=10e-2; %Usikan yang diberikan
a=zeros(nt,nx); %Membentuk matriks awal untuk a
error_jx=zeros(nt,nx); %Membentuk matriks awal untuk error Relaksasi Jin-Xin
figure
(4)
for i=1:nx if x(i)<0 rho(1,i)=2; rhoa(1,i)=2;
v(1,i)=rho(1,i)*umax*(1-rho(1,i)/rhomax); else
rho(1,i)=0; rhoa(1,i)=0;
v(1,i)=rho(1,i)*umax*(1-rho(1,i)/rhomax); end
end
% Nilai batas
rho(:,1)=2; rho(:,nx)=0;
%Nilai dari v = f(rho) dan nilai a=(f'(rho))^2 for n=2:nt-1
for i=2:nx-1
rhoa(n,i)=x(i)./t(n); %Nilai dari x/t
% Hasil nilai rho dengan syarat tertentu
if rhoa(n,i) < -umax; rhoa(n,i)=2;
elseif rhoa(n,i) >= umax; rhoa(n,i)=0;
else
rhoa(n,i)=rhomax/2*(1-rhoa(n,i)/umax); end
a=(umax*(1-2*rho(n-1,i)/rhomax)).^2;
rho(n,i)=rho(n-1,i) - dt/(2*dx)*(v(n-1,i+1)-v(n-1,i-1)) + sqrt(a)*dt/(2*dx)*(rho(n-1,i+1)-2*rho(n-1,i)+rho(n-1,i-1));
v(n,i)=v(n-1,i) - a*dt/(2*dx)*(rho(n-1,i+1)-rho(n-1,i-1)) +
sqrt(a)*dt/(2*dx)*(v(n-1,i+1)-2*v(n-1,i)+v(n-1,i-1))-dt/epsilon*(v(n-1,i)-rho(n-1,i)*umax*(1-rho(n-1,i)/rhomax)); error_jx(n,i)=norm(rho(n,i)-rhoa(n,i));
end
rhoa(n,1)=2; %Nilai batas rho analitik untuk t=tn dan x=0
rhoa(n,nx)=0; %Nilai batas rho analitik untuk t=tn dan x=L
rho(n,1)=2; %Nilai batas rho untuk t=tn dan x=0
rho(n,nx)=0; %Nilai batas rho untuk t=tn dan x=L
v(n,1)= rho(n,1)*umax*(1-rho(n,1)/rhomax);%Nilai batas v untuk t=tn dan x=0
v(n,nx)= rho(n,nx)*umax*(1-rho(n,nx)/rhomax); %Nilai batas v untuk t=tn dan x=L
end
for k=1:2 if k==1
plot(x,rho(nt-1,:),'k--') %legend('Jin-Xin solution')
ylim([-0.1 2.5]) else
figure
plot(x,error_jx(nt-1,:),'m') %legend('error')
(5)
ylim([min(min(error_jx))-0.1 max(max(error_jx))+0.1]) end
pause(1) end
4.
Kombinasi Solusi Analitis dan Numeris
clcclose all clear all
tf=1; %Waktu Final
L=10;
dx=0.05; %lebar sel
dt=0.01*dx; %Langka Waktu
t=0:dt:tf; %disktritasisasi wakktu
x=-L:dx:L; %disktritasisasi ruang
nt=length(t); %Banyaknya elemen dalam waktu diskrit
nx=length(x); %Banyaknya elemen dalam ruang diskrit
rho=zeros(nt,nx); %Membentuk matriks awal untuk kepadatan solusi Jin-Xin
rhoa=zeros(nt,nx); %Membentuk matriks awal untuk kepadatan solusi analitik
v=zeros(nt,nx); %Membentuk matriks awal untuk v
p=zeros(nt,nx); %Membentuk matriks awal untuk p
u=zeros(nt,nx); %Membentuk matriks awal untuk u
umax=2; %Nilai kecepatan maksimum
rhomax=2; %Nilai kepadatan maksimum
epsilon=10e-2; %Usikan yang diberikan
a=zeros(nt,nx); %Membentuk matriks awal untuk a
error_jx=zeros(nt,nx); %Membentuk matriks awal untuk error Relaksasi Jin-Xin
error_mv=zeros(nt,nx); %Membentuk matriks awal untuk error Lax-Frierichs
% Nilai awal for i=1:nx if x(i)<0 rho(1,i)=2; rhoa(1,i)=2; p(1,i)=2;
u(1,i)=umax*(1-rho(1,i)/rhomax);
v(1,i)=rho(1,i)*umax*(1-p(1,i)/rhomax);
else
rho(1,i)=0; rhoa(1,i)=0; p(1,i)=0;
u(1,i)=umax*(1-p(1,i)/rhomax);
v(1,i)=rho(1,i)*umax*(1-rho(1,i)/rhomax); end
end
% Nilai batas
rhoa(:,1)=2; rhoa(:,nx)=0; rho(:,1)=2; p(:,1)=2;
(6)
rho(:,nx)=0; p(:,nx)=0;
%Nilai dari v = f(rho) dan nilai a=(f'(rho))^2 for n=2:nt-1
for i=2:nx-1
rhoa(n,i)=x(i)./t(n); %Nilai dari x/t
% Hasil nilai rho dengan syarat tertentu
if rhoa(n,i) < -umax; rhoa(n,i)=2;
elseif rhoa(n,i) >= umax; rhoa(n,i)=0;
else
rhoa(n,i)=rhomax/2*(1-rhoa(n,i)/umax); end
a=(umax*(1-2*rho(n-1,i)/rhomax)).^2;
rho(n,i)=rho(n-1,i) - dt/(2*dx)*(v(n-1,i+1)-v(n-1,i-1)) + sqrt(a)*dt/(2*dx)*(rho(n-1,i+1)-2*rho(n-1,i)+rho(n-1,i-1));
v(n,i)=v(n-1,i) - a*dt/(2*dx)*(rho(n-1,i+1)-rho(n-1,i-1)) +
sqrt(a)*dt/(2*dx)*(v(n-1,i+1)-2*v(n-1,i)+v(n-1,i-1))-dt/epsilon*(v(n-1,i)-rho(n-1,i)*umax*(1-rho(n-1,i)/rhomax)); Fkip=((u(n-1,i)*p(n-1,i)+u(n-1,i-1)*p(n-1,i-1))/2)-((dx/(2*dt))*(p(n-1,i)-p(n-1,i-1)));
%F Kanan untuk p
Fkap=((u(n-1,i+1)*p(n-1,i+1)+u(n-1,i)*p(n-1,i))/2)-((dx/(2*dt))*(p(n-1,i+1)-p(n-1,i)));
p(n,i)=p(n-1,i)-(dt/dx)*(Fkap-Fkip); error_jx(n,i)=norm(rho(n,i)-rhoa(n,i)); error_mv(n,i)=norm(rhoa(n,i)-p(n,i)); end
rhoa(n,1)=2; %Nilai batas rho analitik untuk t=tn dan x=0
rhoa(n,nx)=0; %Nilai batas rho analitik untuk t=tn dan x=L
rho(n,1)=2; %Nilai batas rho untuk t=tn dan x=0
rho(n,nx)=0; %Nilai batas rho untuk t=tn dan x=L
v(n,1)= rho(n,1)*umax*(1-rho(n,1)/rhomax);%Nilai batas v untuk t=tn dan x=0
v(n,nx)= rho(n,nx)*umax*(1-rho(n,nx)/rhomax); %Nilai batas v untuk t=tn dan x=L
end
% Grafik kombinasi solusi analitik dan numeris beserta erornya
plot(x,rhoa(nt-1,:),'k-', x,p(nt-1,:),'b.-', x,rho(nt-1,:),'r*-') legend('Solusi analitik', 'Solusi Lax-Friedrichs', 'Solusi Jin-Xin')
ylim([-0.1 2.5]) xlabel('x') ylabel('rho')