Hubungan antara kontrol diri dan perilaku agresi pada remaja.
THE CORRELATION BETWEEN SELF-CONTROL AND AGGRESSION BEHAVIOR IN ADOLESCENT
Nunuk Putri Permatasari
ABSTRACT
The aim of this study is to know the influence of self-control to aggression behavior in adolescent. The hypothesis of this study is that self-control can predict aggression behavior in adolescent negatively. In order to prove the hypothesis, researcher used the hypothesis analysis in SPSS 16.00. Subject in this study consist of adolescent in age range between 11-24 years old, 73 male subjects and 164 female subjects. This study used two scales. The first scale is self-control variable that was measured using Self-control Scale that based on self-control theory by Baumeister. And the second scale is aggression behavior variable that was measured using Aggression Behavior Scale that based on aggression theory by Buss & Perry. Reliability coefficient of Self-control Scale is 0,928, while Aggression Behavior Scale is 0,902. Based on the study, researcher obtained significant value 0,000 (p < 0,05), B = -0,496. This result indicates that self-control can predict aggression behavior negatively in adolescent. Whereas the prediction strength of self-control toward aggression behavior is 26,7%
(2)
HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA
Nunuk Putri Permatasari
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh yang diberikan oleh kontrol diri pada perilaku agresi pada remaja.Hipotesis dalam penelitian ini adalah kontrol diri mampu memprediksi perilaku agresi pada remaja secara negatif.Untuk membuktikan hipotesis tersebut, maka analisis hipotesis dilakukan dengan menggunakan SPSS 16.00. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja dengan rentang usia 11-24 tahun dan belum menikah, dengan jumlah subjek laki-laki sebanyak 73 orang dan subjek perempuan sebanyak 164 orang. Dalam penelitian ini digunakan dua skala, variabel kontrol diri diukur menggunakan Skala Kontrol Diri berdasar pada teori kontrol diri Baumeister dan variabel perilaku agresi diukur menggunakan Skala Perilaku Agresi berdasarkan teori agresi Buss & Perry. Koefisien reliabilitas dari Skala Kontrol Diri sebesar 0,928, sedangkan reliabilitas Skala Perilaku Agresi sebesar 0,902. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05) dengan nilai B = -0,496. Hasil tersebut menyatakan bahwa kontrol diri dapat menjadi prediktor perilaku pada remaja secara negatif. Sedangkan kekuatan prediksi kontrol diri terhadap perilaku agresi sebesar 26,7%.
(3)
i
HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi
Disusun oleh : Nunuk Putri Permatasari
119114075
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(4)
ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA
Oleh :
Nunuk Putri Permatasari NIM : 119114075
Telah disetujui oleh :
Dosen Pembimbing
(5)
iii
PENGESAHAN SKRIPSI
HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA
Dipersiapkan dan ditulis oleh : Nunuk Putri Permatasari
NIM : 119114075
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada tanggal 26 Januari 2016
dan dinyatakan memenuhi syarat
Susunan Tim Penguji
Nama Lengkap Tanda Tangan
Penguji I : Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si. Penguji II : YB. Cahya Widiyanto, Ph. D. Penguji III : Drs. H. Wahyudi, M. Si.
Yogyakarta, ………
Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Dekan,
(6)
iv
Halaman Motto
“Be yourself, you’ll be fine” (Honda Tohru’s Mom)
To get a success, your courage must be greater than your fear
janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau;
Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan (Yesaya 41 : 10)
(7)
v
Halaman Persembahan
Skripsi ini kupersembahkan bagi,
Tuhan Yesus Kristus yang selalu berada di sisiku untuk menguatkan dan memberikan penghiburan,
Kedua orangtuaku yang sabar, Bapak Subandi & Ibu Eko Purwani, Kakak laki-laki penyemangatku, Mas Nugroho Danang Sasongko, Teman-teman yang membantu dan membuatku untuk tetap maju, Dan bagi diriku sendiri yang sudah mengumpulkan niat dan menyelesaikan
(8)
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam daftar pustaka sebagaimana selayakya sebuah karya ilmiah.
Yogyakarta, 5 Januari 2016 Penulis
(9)
vii
HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA
Nunuk Putri Permatasari
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh yang diberikan oleh kontrol diri pada perilaku agresi pada remaja. Hipotesis dalam penelitian ini adalah kontrol diri mampu memprediksi perilaku agresi pada remaja secara negatif. Untuk membuktikan hipotesis tersebut, maka analisis hipotesis dilakukan dengan menggunakan SPSS 16.00. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja dengan rentang usia 11-24 tahun dan belum menikah, dengan jumlah subjek laki-laki sebanyak 73 orang dan subjek perempuan sebanyak 164 orang. Dalam penelitian ini digunakan dua skala, variabel kontrol diri diukur menggunakan Skala Kontrol Diri berdasar pada teori kontrol diri Baumeister dan variabel perilaku agresi diukur menggunakan Skala Perilaku Agresi berdasarkan teori agresi Buss & Perry. Koefisien reliabilitas dari Skala Kontrol Diri sebesar 0,928, sedangkan reliabilitas Skala Perilaku Agresi sebesar 0,902. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05) dengan nilai B = -0,496. Hasil tersebut menyatakan bahwa kontrol diri dapat menjadi prediktor perilaku pada remaja secara negatif. Sedangkan kekuatan prediksi kontrol diri terhadap perilaku agresi sebesar 26,7%.
(10)
viii
THE CORRELATION BETWEEN SELF-CONTROL AND AGGRESSION BEHAVIOR IN ADOLESCENT
Nunuk Putri Permatasari
ABSTRACT
The aim of this study is to know the influence of self-control to aggression behavior in adolescent. The hypothesis of this study is that self-control can predict aggression behavior in adolescent negatively. In order to prove the hypothesis, researcher used the hypothesis analysis in SPSS 16.00. Subject in this study consist of adolescent in age range between 11-24 years old, 73 male subjects and 164 female subjects. This study used two scales. The first scale is self-control variable that was measured using Self-control Scale that based on self-control theory by Baumeister. And the second scale is aggression behavior variable that was measured using Aggression Behavior Scale that based on aggression theory by Buss & Perry. Reliability coefficient of Self-control Scale is 0,928, while Aggression Behavior Scale is 0,902. Based on the study, researcher obtained significant value 0,000 (p < 0,05), B = -0,496. This result indicates that self-control can predict aggression behaviornegatively in adolescent. Whereas the prediction strength of self-control toward aggression behavior is 26,7%
(11)
ix
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertandatangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Nunuk Putri Permatasari
Nomor Mahasiswa : 119114075
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
Hubungan antara Kontrol Diri dan Perilaku Agresi pada Remaja Beserta perangkat diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan Kepada Perpustakan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya Dib uat di Yogyakarta
Pada tanggal : 5 Januari 2016 Yang menyatakan,
(12)
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan pada Tuhan Yesus atas penyertaan dan rahmat-Nya, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan pembuatan skripsi ini. Begitu banyak perjuangan dalam bertanding dengan diri sendiri sehingga akhirnya mau untuk berjuang dalam pengerjaan skripsi ini. Tentu dalam pengerjaan skripsi ini ada banyak pihak yang senantiasa membuat penulis merasa terdukung karena cinta dan dukungannya. Oleh karena penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma dan dosen pembimbing penulis
2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M. Si selaku Kepala Program Studi Universitas Sanata Dharma
3. Ibu Dewi Soerna Anggraeni, M. Psi selaku dosen pembimbing akademik penulis
4. Mas Muji, Mas Doni, dan teman-teman (Vivi, Martha, Iyah, Ivana, dan Natan) yang memberikan pengalaman berharga selama penulis menjadi
student staff laboratorium psikologi. Kalian memberikan canda dan tawa di
tengah-tengah tekanan dunia yang sangat luar biasa.
5. Mas Gandung, Ibu Nanik, Pak Giek, dan teman-teman dari student staff sekretariat (Sila, Arum, Netty, Yoan, dkk) yang selalu melayani dengan tulus dan totalitas.
(13)
xi
6. Seluruh karyawan Bappeda Sleman yang mempermudahkan penulis dalam hal perijinan. Pelayanan yang cepat, nyaman, dan ramah membuat penulis merasa termotivasi untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepala Sekolah SMPN 4 Depok dan Kepala Sekolah SMAN 1 Depok yang telah bersedia membantu penulis dalam pengambilan data. Khususnya Ibu Sum dan Ibu Wahyu yang dengan tulus hati mendampingi penulis dalam pegambilan data.
8. Kedua orangtua yang dengan susah payah dan tulus telah membesarkan, Bapak Subandi dan Ibu Eko Purwani. Dukungan doa dan finansial yang sangat luar biasa yang mampu membuat penulis mampu menyelesaikan masa studinya dengan baik, walaupun mungkin tidak sesuai dengan harapan. 9. The One and only my big brother, mamas Nugroho Danang Sasongko.
Pengertian yang sangat luar biasa, mampu mengerti perasaanyang dialami penulis selama menjalani penulisan skrpsi dan tidak memberikan tekanan tambahan. Greatful to have you as my big bro <3.
10. Teman-teman di kelompok yang kita sebut Cucok Rumpi.
a. Dara, sesama manusia bergologan darah B, terima kasih sudah mau mengorbankan waktu untuk melihat kembali skripsi penulis dan mengawal pelaksanaannya. Sudah menjadi tempat sampah dan mendengarkan semua keluh kesah serta menjadi teman nonton pertunjukkan tari dimana-mana
b. Rinta, yang juga mengorbankan waktunya di tengah impiannya yang besar untuk mendukung penulis secara emosional. Berkat kecerdasanmu
(14)
xii
dan kosmu yang dekat penulis merasa sangat terbantu dalam berbagai hal. Pengalaman pacaranmu juga yang membuat penulis ingin segera menenuaikan tugas perkembangan yang seharusnya diselesaikan.
c. Vivi the miss rempong, yang sudah mau berjalan beriringan bersama-sama mengerjakan skripsi di kala teman-teman yang lain sudah di tahap selanjutnya. Terima kasih untuk gossip-gosip terkini dan usahamu dalam mencarikan penulis pasangan hidup. Pintu rumah nun jauh di sana-mu yang selalu terbuka untuk penulis bagaikan rumah kedua.
d. Anita sang manager, terima kasih atas makanan gratis yang selalu kau tawarkan. Ketulusan hatimu dalam memberikan bantuan tidak akan pernah penulis lupakan. Semangat dalam meraih cita dan cintamu.
e. Hervy the sheilagenk, satu-satu anggota Cucok Rumpi yang mengerti hatiku sebagai fansgirl. Terima kasih buat bantuan dan masukkan dalam pembuatan skala. Tidak lupa juga atas jasa catring di awal-awal kehidupan mahasiswa penulis. Semangatmu dalam meraih tujuan membuat penulis tak berdaya.
11. Teman kos penulis selama menjalani masa studi, Mak Ghea. Terima kasih telah menemani di lingkungan kos yang penuh dengan polusi suara. Dirimu yang telah mengajarkan penulis untuk menjadi wanita yang kuat dan tegar. Walaupun begitu dirimu tidak pernah menolak diriku yang datang dengan penuh air mata.
(15)
xiii
12. Pipin sesama teman seperjuangan yang sudah memberikan bantuan besar dalam pengambilan data. Terima kasih juga telah mengijinkan penulis untuk menumpang mandi selama ini.
13. Breho Murti yang sudah mau bolak-balik Solo-Jogja untuk menghibur diriku. Terima kasih sudah membantu menginput data penelitian. Teman fujoshi satu-satunya tempat berbagi imajinasi liar.
14. Yang terkasih fandom-fandom penulis yang menemani dan selalu memberikan keceriaan tersendiri kepada penulis. My ichiban yang tak lekang oleh waktu, Reita. Dedek gemes, Brandon Salim yang sudah datang dan menghibur. Abang Neita yang sudah saya ketahui wujud dan nama aslinya, dirimu sangat menginspirasi supaya penulis segera menyelesaikan skripsinya. Akhir kata penulis berharap dari penelitian ini dapat membuat kita menyadari betapa pentingnya kontrol diri dalam kehidupa sehari-hari. Terutama kaitannya dengan perilaku agresi. Dengan mengetahui hubungan keduanya diharapkan mampu menciptakan kehidupan sosial yang harmonis. Meskipun begitu, penulis masih mengharapkan kritik dan saran yang membangun, agar penelitian ini dapat semakin menyumbang perkembangan ilmu pengetahuan kita ini. Terima kasih.
Yogyakarta, 5 Januari 2016 Penulis
(16)
xiv
DAFTAR ISI
Halaman Judul ... i
Halaman Persetujuan Pembimbing ... ii
Halaman Pengesahan Skripsi ... iii
Halaman Motto... iv
Halaman Persembahan ... v
Halaman Pernyataan Keaslian Karya ... vi
Abstrak ... vii
Abstract ... viii
Halaman Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah... ix
Kata Pengantar ... x
Daftar Tabel ... xviii
Daftar Gambar ... xx
Daftar Lampiran ... xxi
BAB I Pendahuluan ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 7
(17)
xv
2. Praktis ... 7
BAB II Landasan Teori ... 8
A. Kontrol Diri ... 8
1. Pengertian Kontrol Diri ... 8
2. Internal Locus of Control ... 9
3. Manfaat Kontrol Diri ... 10
4. Dampak Kontrol Diri ... 11
5. Aspek Kontrol Diri ... 12
B. Perilaku Agresi ... 15
1. Pengertian Perilaku Agresi ... 15
2. Teori Perilaku Agresi ... 16
3. Jenis Perilaku Agresi ... 18
4. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Agresi ... 20
5. Aspek Perilaku Agresi ... 24
C. Remaja... 25
1. Definisi Remaja ... 25
2. Perkembangan Remaja ... 26
D. Kontrol Diri pada Remaja ... 29
E. Dinamika Hubungan Kontrol Diri dan Perilaku Agresi pada Remaja ... 31 F. Skema Hubungan antara Kontrol Diri dan Perilaku Agresi Pada Remaja . 35
(18)
xvi
G. HIPOTESIS ... 35
BAB III Metode Penelitian ... 36
A. Jenis Penelitian ... 36
B. Identitas Variabel Penelitiam ... 36
c. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 37
1. Kontrol Diri ... 37
2. Perilaku Agresi ... 37
D. Subjek Penelitian ... 38
E. Metode Pengumpulan Data ... 38
F. Uji Skala ... 43
1. Uji Validitas ... 43
2. Seleksi Aitem ... 44
3. Uji Reliabilitas ... 46
G. Uji Analisis Data ... 48
1. Uji Asumsi ... 48
2. Uji Hipotesis ... 49
BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 50
A. Persiapan Penelitian ... 50
B. Pelaksanaan Penelitian ... 51
(19)
xvii
1. Data Demografis ... 52
2. Hasil Rerata Subjek terhadap Skala ... 53
D. Hasil Penelitian ... 54
1. Uji Asumsi ... 54
2. Uji Hipotesis ... 57
E. Pembahasan ... 59
F. Keterbatasan Penelitian ... 62
BAB V Kesimpulan dan Saran ... 63
A. Kesimpulan ... 63
B. Saran ... 63
Daftar Pustaka ... 66
(20)
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Blueprint dan Rancangan Skala Kontrol Diri Sebelum Uji Coba ... 40
Tabel 2. Sebaran Aitem Skala Kontrol Diri ... 41
Tabel 3. Skor Aitem untuk Skala Kontrol Diri ... 41
Tabel 4. Blueprint dan Rancangan Skala Perilaku Agresi Sebelum Uji Coba... 42
Tabel 5. Sebaran Aitem Skala Perilaku Agresi ... 42
Tabel 6. Skor Aitem untuk Skala Perilaku Agresi ... 43
Tabel 7. Distribusi Aitem Skala Kontrol Diri ... 45
Tabel 8. Distribusi Aitem Skala Perilaku Agresi ... 46
Tabel 9. Hasil Uji Reliabilitas Alpha Cronbach Skala Kontrol Diri ... 47
Tabel 10. Hasil Uji Reliabilitas Alpha Cronbach Skala Perilaku Agresi ... 47
Tabel 11. Tabel Analisis Deskriptif Variabel Kontrol Diri... 53
Tabel 12. Tabel Analisis Deskriptif Variabel Perilaku Agresi ... 53
Tabel 13. Tabel Hasil Uji Normalitas ... 55
Tabel 14. Tabel Uji S Staistik ... 56
Tabel 15. Tabel Hasil Uji Linearitas ... 57
(21)
xix
(22)
xx
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Bagan Teori I3 pada Perilaku Agresi ... 16 Gambar 2. Bagan dan Deskripsi Dinamika antarvariabel ... 35 Gambar 3. Grafik Normal Q-Q Plot Unstandardized Residual ... 55 Gambar 4.Sacatterplot Hasil Uji Homogenitas ... 56
(23)
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A. Data Sebaran Usia Subjek ... 72 Lampiran B. Data Sebaran Jenis Kelamin Subjek ... 72 Lampiran C. Data Sebaran Tingkat Pendidikan Subjek... 73 Lampiran D. Hasil Reliabilitas Skala Kontrol Diri ... 73 Lampiran E. Hasil Reliabilitas Skala Perilaku Agresi ... 75 Lampiran F. Skala yang Digunakan dalam Penelitian ... 87
(24)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tingkat kriminalitas di Indonesia masih tergolong tinggi (regional.kompasiana.com, 2014). Bambang Widodo Umar, kriminolog dari Universitas Indonesia, juga berpendapat bahwa angka kriminal di Indoneisa masih tinggi dan akan ada banyak tindakan kejahatan (news.liputan6.com, 2013). Menurut Kepala Polisi Republik Indonesia Jendral Pol Sutarman, tindak pidana pada tahun 2011 mencapai 347.605 kasus. Angka tersebut sempat mengalami penurunan sebanyak 1,85% pada tahun 2012. Namun pada tahun 2013 mengalami kenaikan sebanyak 0,22 % (republika.co.id, 2013). Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Inspektur Jendral Polisi Saud Usman mengatakan bahwa setiap 91 detik terjadi sebuah kejahatan di Indonesia sepanjang tahun 2012 (nasional.kompas.com, 2012).
Pada tahun 2015, Indonesia dihebohkan dengan maraknya kasus pembegalan. Arti kata pembegalan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perampasan di jalan. Di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri telah dilakukan Operasi Curat Progo Polda DIY 2015 untuk meminimalisir terjadinya kasus pembegalan. Dari 45 pelaku yang telah ditangkap, 20 diantaranya merupakan anak di bawah umur dan 12 orang memiliki status sebagai pelajar (sorotjogja.com, 2015). Menurut Wadir Reskrimum Polda DIY AKBP Djuhandani, perbandingan pelaku kriminalitas di DIY hampir
(25)
mencapai 50% untuk remaja. Meskipun usianya masih tergolong muda namun tingkat kejahatan yang dilakukannya sama dengan pelaku kejahatan lainnya (jogja.tribunnews.com, 2015). Selain kasus pembegalan, terjadi pula kasus penyekapan dan penganiayaan. Salah satunya terjadi di daerah Bantul, Yogyakarta. Korban disekap dan dianiaya oleh lima pelaku karena menyandingkan tato hello kitty miliknya dan pelaku di media sosial instagram (jogja.solopos.com, 2015). Pelaku yang masih di bawah umur ini mengikat korban dan menganiaya korban dengan menyulutkan puntung rokok, bahkan sampai melukai daerah kemaluan korban (nasional.republika.co.id, 2015).
Perbuatan yang dilakukan para remaja tersebut merupakan perilaku agresi. Menurut Elliot Aronson, perilaku agresi merupakan perilaku yang melukai individu lain dengan maupun tanpa tujuan (Koeswara, 1988). Sedangkan Moore dan Fine mendefinisikan perilaku agresif sebagai tindak kekerasan yang ditujukan kepada individu lain maupun objek-objek secara fisik maupun verbal (Koeswara, 1988). Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Robert Baron. Baron memandang perilaku agresi sebagai tingkah laku melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan perilaku tersebut terjadi pada dirinya (Koeswara, 1988). Sedangkan kekerasan merupakan tipe paling berat dari agresi fisik. Kekerasan sering kali mengakibatkan luka fisik yang serius (Shaver & Mikulincer, 2011).
Salah satu penyebab terjadinya perilaku agresi adalah faktor fisiologis. Beberapa penelitian menyatakan bahwa laki-laki memiliki kecenderungan lebih tinggi dalam melakukan perilaku agresi secara fisik (Onukwufor, 2013).
(26)
Hal ini dipengaruhi oleh produksi hormon ACTH, adrenalin, testosteron, dan campuran senyawa androgenik pada sistem limbik (Brown & Schuster, 1986). Sedangkan pada remaja, waktu terjadinya kematangan seksual yang dipengaruhi oleh kinerja hormon dapat menjadi penyebab perilaku agresi. Remaja laki-laki dan perempuan yang mencapai masa pubertas lebih awal dibanding dengan teman-teman sebayanya akan cenderung terlibat dalam aktivitas yang menyimpang atau antisosial, seperti membolos, kenakalan, dan mengonsumsi alkohol. Remaja laki-laki yang mencapai pubertas lebih awal akan lebih matang secara fisik dan berteman dengan anak laki-laki lain yang lebih tua. Pertemanan ini akan mengarahkan mereka untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang menyimpang (Steinberg, 2002).
Masa remaja juga tekenal dengan istilah masa badai dan stres. Masa badai dan stres ini dapat dilihat dari karakter remaja yang tidak stabil. Hal ini disebabkan perubahan-perubahan yang terjadi pada diri remaja, baik secara fisiologis maupun psikologis. Perubahan hormon yang sangat signifikan membuat remaja memiliki perasaan tidak nyaman. Selain itu remaja juga merasa kurang yakin terhadap dirinya sendiri, terhadap kemampuan dan keinginannya. Ditambah lagi mereka mendapatkan peran baru yang sangat membingungkan. Mereka sudah tidak dianggap sebagai anak-anak lagi dan dituntut bersikap layaknya orang dewasa. Akan tetapi tak jarang ketika mereka bertindak sesuai dengan keinginannya banyak diremehkan karena dianggap belum dewasa. Hal ini menjadi salah satu penyebab
(27)
ketidakbahagiaan pada remaja dan mendorong mereka untuk berperilaku agresi (Hurlock, 1973; Hurlock, 1953).
Penelitian mengenai agresi pada remaja sering mengaitkan perilaku agresi dengan variabel eksternal, seperti tingkatan sekolah (Onukwufor, 2013), hukuman fisik (Simons, Wu, Lin, Gordon, Conger, 2000), keanggotaan pada geng (Gordon, Lahey, Kawai, Loeber, Lober, Farrington, 2004), status ekonomi sosial, lingkungan kriminal, dan suku (Heimer, 1997). Sedangkan variabel internal yang biasa dikaitkan dengan perilaku agresi adalah kadar hormon, jenis kelamin (Brown & Schuster, 1986), kemampuan coping stress (Anggaraningtyas & Nugroho, 2013), dan self-esteem (Thomaes, Bushman, de Castro, Cohen, & Denissen, 2009). Namun jika dilihat dari karakteristik remaja yang tidak stabil, hal ini dapat dilihat sebagai kurangnya kemampuan kontrol diri pada remaja. Oleh karena itu peneliti melihat pentingya peran kontrol diri dalam mengendalikan perilaku agresi pada remaja.
Kontrol diri merupakan kemampuan individu untuk mengendalikan emosi, dorongan-dorongan dari dalam dirinya untuk mengatur proses-proses fisik, psikologis, perilaku dalam menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang positif agar dapat diterima dalam lingkungan sosial (Schulz, 2004). Kontrol diri yang kuat terasosiasikan dengan perilaku yang tidak bermasalah (Woessner& Schneider, 2013).
Kebanyakan teori dari agresi tidak menghiraukan peran dari regulasi diri dalam perilaku agresi (Denson, DeWall, & Finkell, 2012). Ketika dorongan agresif muncul, kontrol diri dapat membantu individu dalam merespons dan
(28)
berkompromi dengan standar personal maupun sosial dalam memperingatkan agresi yang akan muncul. Penelitian yang dilakukan oleh Halloran, Doumas, John, & Margolin pada tahun 1999 menyatakan bahwa internal locus of
control memiliki hubungan dengan perilaku agresi. Hal ini disebabkan karena
kurangnya locus of control menimbulkan kemarahan dan frustasi yang mengarah pada perilaku agresi (dalam Denson, DeWall, & Finkell, 2012).
Pada penelitian yang lain ditemukan bahwa impulsivitas merupakan faktor penting dalam mengembangkan perilaku agresif (dalam Deming & Lochman, 2008). Impusivitas merupakan keadaan ketika seseorang kekurangan kontrol diri (Tochkov, 2010). Studi mengenai impulsivitas juga menunjukkan bahwa impulsivitas merupakan prediktor dari perilaku agresi pada masa kanak-kanak. Selain itu impulsivitas juga menjadi prediksi perilaku kekerasan di sekolah (dalam Denson, DeWall, & Finkell, 2012).
Penelitian ini dilakukan mengacu pada penelitian sebelumnya yang meninjau perilaku agresi dari tingkat kematangan emosi pada mahasiswa (Guswani & Kawuryan, 2011). Penelitian tersebut menyarankan untuk meneliti hubungan antara kontrol diri dan perilaku agresi. Selain itu dalam penelitian lain telah melihat pengaruh kontrol diri pada remaja dalam menghadapi konflik sebaya dan pemaknaan gender (Praptiani, 2013). Penelitian ini memberikan batasan dalam beberapa hal. Pertama, penelitian ini memandang agresivitas hanya sebagai perilaku melawan atau melakukan serangan balasan akibat terprovokasi. Dengan kata lain stimulus yang memicu perilaku agresi hanyalah provokasi. Kedua, subjek penelitian yang
(29)
digunakan bukan remaja secara umum namun diseleksi terlebih dahulu menggunakan Peer Conflict Scale. Sehingga subjek yang didapat adalah subjek yang sedang mengalami konflik dengan teman sebaaya.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, penulis terdorong untuk mengeahui kedudukan kontrol diri dalam memprediksi perilaku agresi pada remaja. Dengan itu kecenderungan berperilaku agresi pada remaja bisa lebih dipahami. Subjek yang dipilih peneliti adalah remaja karena masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang biasanya menimbulkan banyak masalah (Hurlock, 1990).
B. RUMUSAN MASALAH
Apakah kontrol diri dapat memprediksi secara empirik perilaku agresi pada remaja?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah mengetahui kedudukan kontrol diri dalam memprediksi perilaku agresi pada remaja secara empirik
(30)
D. MANFAAT PENELITIAN 1. Teoretis
Penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu Psikologi, terutama Psikologi Forensik dan Psikologi Remaja. Hasil penelitian ini memperjelas hubungan antara kontrol diri dan perilaku agresi pada remaja di Indonesia.
2. Praktis
Hasil penelitian ini akan memberikan informasi kepada orangtua mengenai pentingnya peran mereka dalam mengembangkan kontrol diri pada anak. Ketika orangtua dapat membangun kontrol diri yang baik pada anaknya maka kemungkinan perilaku agresi pada remaja juga akan berkurang. Selain itu, penelitian ini juga memberikan informasi kepada pihak sekolah dan pihak kepolisian dalam mencegah dan menangani perilaku agresi pada remaja. Pihak sekolah dapat mengadakan kegiatan sekolah terkait dengan kontrol diri untuk menekan kemungkinan munculnya perilaku agresi pada remaja. Sedangkan pihak kepolisian dapat mengembangkan program intervensi bagi para pelaku agresivitas yang telah melanggar hukum, khususnya remaja, yang terkait pula dengan kontrol diri. Dengan adanya program intervensi tersebut, tingkat perilaku agresi dengan pelaku remaja menjadi berkurang karena tingkat kontrol dirinya meningkat.
(31)
BAB II
LANDASAN TEORI
A. KONTROL DIRI
1. Pengertian Kontrol Diri
Kontrol diri dapat didefinisikan sebagai tendensi untuk meregulasi impuls dan menahan atau menolak godaan diberi penghargaan secara langsung untuk tujuan jangka panjang (Duckworth, Kim, & Tsukuyama, 2013). Menurut Rodin kontrol diri merupakan perasaan bahwa seseorang dapat membuat keputusan dan mengambil tindakan yang efektif untuk menghasilkan akibat yang diinginkan dan menghindari akibat yang tidak diinginkan (dalam Widiana, Retnowati, & Hidayat, 2004). Dalam Kamus Psikologi, kontrol diri didefinisikan sebagai kemampuan mengendalikan impulsivitas dengan menghambat hasrat-hasrat jangka pendek yang muncul spontan (Reber & Reber, 2010).
Selain itu kontrol diri merupakan kapasitas seseorang yang memampukannya mengubah keadaan dan respon dalam dirinya. Seseorang yang memiliki kontrol diri mampu menolak respon yang baru terjadi di dalam dirinya dan menggantinya dengan respon yang baru. Perilaku yang tidak teregulasi dan menghasilkan dorongan yang tidak terencana merupakan perilaku impulsif. Baumeister, dalam penelitiannya, menyamakan istilah kontrol diri dan regulasi diri (Baumeister, 2002).
(32)
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kontrol diri adalah kemampuan seseorang untuk menahan atau menolak godaan dan menahan hasrat jangka pendek yang menimbulkan penghargaan segera dan mengubahnya menjadi respon yang diinginkan supaya mengindari akibat yang tidak diinginkan dan mencapai tujuan jangka panjang.
2. Internal Locus of Control
Istilah yang sering kali disejajarkan dengan kontrol diri adalah
internal locus of control. Locus of control merupakan keyakinan individu
mengenai seberapa besar kontrol yang dimilikinya dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Sedangkan internal locus of control sendiri merupakan keyakinan individu bahwa perilaku dan karakteristik yang dimilikinyalah yang akan menentukan peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Individu yang memiliki internal locus of control merasa memiliki kontrol akan hal-hal yang terjadi dalam hidupnya (Passer & Smith, 2007; Rotter, 1990; Tsai & Hsieh, 2014).
Ketika individu telah memiliki suatu keyakinan maka ia akan mengembangkan sebuah kompetensi yang mendukung keyakinannya. Sama halnya ketika individu memiliki internal locus of control, yaitu keyakinan bahwa ia memiliki kontrol, maka ia akan mengembangkan kemampuan mengontrolnya (Franken, 2002). Dalam penelitian ini kemampuan tersebut merupakan kemampuan kontrol diri.
(33)
3. Manfaat Kontrol Diri
Individu yang memiliki kontrol diri maka ia juga meyakini bahwa dirinya merupakan penentu peristiwa yang akan terjadi. Hal ini menyebabkan individu tersebut berjuang lebih keras untuk mengembangkan kemampuan yang ada dalam dirinya. Oleh karena itu, individu yang memiliki kontrol diri akan menjadi pekerja keras (Franken, 2002; Morris, 1990).
Selain itu individu yang memiliki kontrol diri juga keteguhan hati yang kuat. Hal ini juga dipengaruhi oleh keyakinan dalam dirinya bahwa segala sesuatu merupakan hasil dari perbuatannya. Individu yang memiliki kontrol diri juga mampu beradaptasi dengan baik. Indivdu mampu mengendalikan dorongan-dorongan dalam dirinya sehingga mampu menempatkan dirinya dengan baik di lingkungan yang baru (Franken, 2002; Myers, 2013).
Individu yang memiliki kontrol diri juga akan memiliki tujuan jangka panjang. Tujuan ini memberikan arahan yang jelas bagi individu. Tujuan juga membuat individu mampu membangkitkan usaha dan membuat individu gigih dalam berjuang (Franken, 2002).
(34)
4. Dampak Kontrol Diri
Individu dengan kontrol diri yang tinggi akan memiliki hubungan interpersonal yang baik, keluarga yang bersatu dengan ikatan yang kuat, lebih sedikit masalah dan simptom psikologis, penerimaan serta harga diri yang lebih tinggi, dan mengalami masalah emosional lebih sedikit (Tangney, Baumeister, & Boone 2001). Sedangkan bagi siswa yang memiliki kontrol diri tinggi cenderung memiliki peringkat lebih baik daripada siswa yang lain. Bawahan yang memiliki pemimpin dengan kontrol diri tinggi akan menilai pemimpinnya sebagai individu yang lebih adil dan terpercaya dibanding pemimpin yang lain.
Tanpa rasa untuk mengontrol, individu akan kehilangan kemampuan mereka untuk mengatasi secara efektif kesulitan-kesulitan yang kecil (Franken, 2002). Kekurangan kontrol diri menimbulkan impulsivitas dan ketidaksabaran untuk memenuhi keinginan seseorang tanpa menunda (Tochkov, 2010). Dengan kata lain, individu yang kekurangan kontrol diri kurang dapat melihat tujuan secara jangka panjang.
(35)
5. Aspek Kontrol Diri
Kontrol diri memliki tiga buah aspek yang penting (Baumeister, 2002; 2013). Aspek ini merupakan bagian penting dari kontrol diri sehingga kontrol diri dapat dimunculkan dengan baik. Aspek-aspek tersebut adalah :
a. Standar-standar (Standards)
Standar mengacu pada tujuan, teladan, norma, dan pedoman lain yang menentukan respon yang diinginkan. Dalam forensik, standar yang dimiliki individu biasanya bersifat legal, perilaku yang dapat diterima oleh sosial. Beberapa individu mungkin tahu hal yang legal dan pantas secara sosial namun tidak peduli. Mereka memiliki standar alternatif yang lain, yaitu hal-hal yang mereka anggap benar. Terjadinya konflik pada tujuan yang membuat tujuan tersebut tidak jelas dapat merusak dasar dari kontrol diri dan membuat orang menjadi lebih rentan untuk terpengaruh. Oleh karena itu tujuan yang jelas dapat menolong individu untuk menentukan standar dalam dirinya. Secara umum, individu ingin merasa senang. Ketika sedang sedih atau kacau, kita akan berfokus pada perilaku yang dapat membuat individu tersebut senang. Dalam keadaan stres secara emosi (emotional distress), kontrol diri akan mengalami gangguan. Normalnya individu mengontrol perilakunya supaya dapat mengejar standar yang tinggi atau tujuan jangka panjang yang diinginkan.
(36)
Sedangkan dalam keadaan kacau atau sedih individu akan mencari kepuasan yang bisa segera ia dapatkan.
b. Pengawasan (Monitoring)
Aspek kedua dalam kontrol diri adalah proses pengawasan. Pengawasan merupakan menjaga atau mengawasi perilaku yang relevan. Ketika seseorang tidak mampu mengawasi perilakunya atau keluar jalur maka kontrol dirinya juga akan hancur. Hal ini disebabkan karena tanpa memantau perilaku mengontol diri merupakan pekerjaan yang sulit. Perhatian yang terfokus pada diri merupakan hal yang penting dalam mengawasi diri sendiri.
c. Kapasitas untuk Berubah (The Capacity to Change)
Aspek ketiga dari kontrol diri adalah kapasitas seseorang untuk mengubah dirinya sendiri. Kedua aspek yang lain tidak akan berguna tanpa aspek ketiga ini. Hal ini melibatkan penyusunan tenaga dalam mengubah atau membatasi perbuatan yang tidak pantas. Individu yang tidak memiliki kapasitas untuk berubah sama saja dengan individu yang telah mengerti dengan pasti namun tidak mampu membuat dirinya melakukan aksi untuk mencapai tujuannya tersebut.
Terdapat tiga cara dalam melakukan suatu perubahan. Cara pertama dengan kemauan yang kuat atau kekuatan. Individu menggunakan kekuatan yang setara atau bahkan melebihi kekuatan dari impuls atau dorongan. Cara ini beranggapan bahwa individu akan menggunakan energi pada tindakan kontrol diri yang pertama
(37)
sehingga menyebabkan efektivitas kontrol diri akan berkurang dari normalnya pada tindakan kontrol diri yang kedua dan selanjutnya. Cara yang kedua melibatkan kemampuan kognitif individu seperti pengetahuan mengenai diri dan memikirkan kemungkinan-kemungkinan. Cara ini mengibaratkan kontrol diri seperti perangkat lunak (software) yang bisa terus menerus diisi. Berbeda dengan cara yang pertama, cara yang melibatkan kemampuan kognitif ini memprediksi kemudahan. Tindakan kontrol diri yang pertama akan
mengisi “perangkat lunak” atau melengkapinya dengan skema kontrol
diri yang relevan. Dengan begitu tindakan kontrol diri akan semakin meningkat atau menjadi lebih baik. Kontrol diri digambarkan sebagai suatu ketrampilan atau keahlian pada cara yang ketiga. Cara ini memandang kontrol diri pada esensinya sama, dari tindakan kontrol diri pertama, kedua, dan seterusnya. Akan tetapi dalam jangka waktu yang lama, kontrol diri akan menunjukkan kemajuan secara berangsur-angsur.
(38)
B. PERILAKU AGRESI
1. Pengertian Perilaku Agresi
Pengertian perilaku agresi menurut Arnold Buss (dalam Berkowitz, 1995) adalah stimulus berbahya yang dikirimkan kepada orang lain. Sedangkan menurut Berkowitz, kontrol diri adalah segala perilaku yang bertujuan untuk menyakiti orang lain secara fisik maupun mental (Berkowitz, 1995). Baron (dalam Koeswara, 1988) memiliki pendapat yang serupa, yaitu perilaku yang bertujuan untuk melukai atau mencelakakan orang lain yang tidak menginginkan datangnya perilaku tersebut. Elliot Aronson (dalam Koeswara, 1988) mendefinisikan perilaku agresi sebagai perilaku yang dijalankan dengan tujuan melukai atau mencelakakan orang lain dengan atau tanpa tujuan tertentu. Pendapat yang serupa dikemukakan oleh Dollard, Doob, Miller, Mowrer, & Sears (dalam Bandura, 1973) yang mengatakan bahwa perilaku agresi merupakan rangkaian perilaku yang bertujuan untuk melukai orang yang perilaku tersebut ditujukan. Sedangkan Moore & Fine (dalam Koeswara, 1988) secara spesifik mengatakan perilaku agresi sebagai perilaku kekerasan secara fisik maupun verbal terhadap orang maupun objek lain.
Dari kumpulan pengertian yang sudah diuraikan, terdapat persamaan mengenai pengertian perilaku agresi. Perilaku agresi memiliki tujuan untuk melukai, menyakiti, atau mencelakakan.Sasaran dari perilaku agresi ini adalah individu maupun objek benda mati. Selain itu perilaku agresi yang dilakukan seseorang dapat bersifat secara fisik,
(39)
verbal, maupun mental. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa perilaku agresi adalah perilaku yang bertujuan untuk melukai, menyakiti atau mencelakakan orang maupun objek benda mati yang menjadi sasaran baik secara fisik, verbal, maupun mental.
2. Teori Perilaku Agresi
Teori I3 (dibaca I-cubed) merupakan teori yang mencoba menjelaskan perilaku agresi seseorang tidak hanya berdasarkan variabel tertentu, namun teori ini memberikan struktur untuk memahami bagaimana faktor resiko mempengaruhi perilaku agresi dan hubungan antara faktor resiko dalam memperburuk atau mengurangi perilaku agresi. Teori I3 menyatakan tiga faktor resiko yang mempengaruhi perilaku agresi, yaitu instigating trigger, impelling forces, dan inhibiting forces (Shaver & Mikulincer, 2011; Denson, DeWall, & Finkel, 2012).
Gambar 1. Bagan Teori I3 pada Perilaku Agresi
Instigating Trigger
Impelling Forces Inhibiting
Forces
(Kontrol Diri)
Perilaku Agresi
(40)
a. Instigating Trigger
Instigating trigger merupakan peristiwa atau keadaan yang
dapat menstimulus perilaku agresi seseorang. Tanpa adanya peristiwa maupun keadaan yang dapat memicu maka perilaku agresi tidak akan muncul, meskipun individu tersebut memiliki agresivitas yang tergolong tinggi. Teori I3 juga melihat bahwa perilaku agresi juga akan muncul ketika individu memiliki tujuan instrumental, contohnya ketika individu diberikan upah untuk menghajar orang lain. Salah satu contoh instigating trigger adalah provokasi. Ejekan dari orang lain dapat menjadi stimulus dari perilaku agresi individu. b. Impelling Forces
Impelling forces adalah faktor situasonal atau disposisi yang
meningkatkan kemungkinan individu dalam mengalami dorongan agresif ketika menanggapi instigating trigger. Sifat agresif pada individu merupakan salah satu contoh dari impelling forces. Faktor resiko ini menentukan seberapa besar dorongan agresif yang akan dialami oleh individu. Perilaku agresi akan semakin tinggi ketika
instigator trigger bertemu dengan impelling forces. Individu yang
memiliki impelling forces yang lemah akan cenderung rendah perilaku agresinya dibanding dengan yang kuat ketika menghadapi
instigator trigger yang sama. Ketika provokasi menjadi instigator trigger, sifat agresif seseorang bisa menjadi salah satu contoh dari impelling forces. Individu yang diprovokasi akan menunjukkan
(41)
perilaku agresi yang sangat tinggi jika ia memiliki sifat agresif. Meskipun individu tersebut tidak memiliki sifat agresif, namun ketika sebelum terprovokasi mengalami kejadian seperti bertengkar dengan ibunya maka kecenderungan berperilaku agresi individu tersebut akan tinggi juga.
c. Inhibiting Forces
Inhibiting forces merupakan faktor situasional maupun
disposisi individu yang mampu meningkatkan kemungkinan bahwa individu dapat melampaui atau bahkan menolak dorongan untuk beragresi yang muncul dalam dirinya. Jika dorongan untuk berperilaku agresi tinggi maka individu harus memiliki kekuatan
inhibiting forces yang lebih tinggi daripada dorongan tersebut
supaya perilaku agresi tidak muncul. Kontrol diri merupakan salah satu contoh dari inhibiting forces.
3. Jenis Perilaku Agresi
Berkowitz membagi perilaku agresi menjadi dua jenis (Berkowitz, 1995; Koeswara, 1988), yaitu :
a. Agresi Instrumental
Agresi instrumental merupakan perilaku agresi yang memiliki tujuan lain selain menyakiti korban. Bagi pelaku, jauh lebih penting dalam meraih tujuan tersebut dari pada rasa sakit yang dialami oleh korban. Contoh dari perilaku agresi instrumental adalah seorang
(42)
tentara yang membunuh musuhnya. Hal ini belum tentu dilakukan oleh tentara tersebut untuk membuat musuhnya kesakitan, namun bisa karena rasa patriotisme kepada negaranya.
b. Agresi Emosional
Jenis agresi ini juga biasa disebut agresi jahat. Hal ini disebabkan karena tujuan utama pelaku melakukan perilaku ini adalah berbuat jahat. Agresi emosional biasanya terjadi karena seseorang tersinggung dan berusaha menyakiti orang lain.
Sedangkan menurut Dollar & Sear (dalam Berkowitz, 1995), perilaku agresi dibagi menjadi empat jenis :
a. Agresi Fisik
Perilaku agresi fisik melibatkan tindakan yang secara terang-terangan bermaksud untuk mencelakakan atau menyakiti orang lain dengan segala cara.
b. Agresi Verbal
Perilaku agresi verbal merupakan usaha untuk mencelakakan atau menyakiti orang lain melalui kata-kata. Terkadang hal ini berdampak pada stress psikologis, kecemasan, dan jatuhnya harga diri korban. c. Agresi Langsung
Perilaku agresi langsung merupakan perilaku yang mencelakakan atau menyakiti orang lain yang disampaikan secara langsung kepada korban.
(43)
d. Agresi Tidak Langsung
Perilaku agresi tidak langsung adalah usaha untuk mencelakakan atau menyakiti orang lain melalui aksi perantara atau dengan menyerang orang atau subjek yang berharga bagi korban.
4. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Agresi
Faktor dari perilaku agresi merupakan hal yang dapat menyebabkan atau mempengaruhi terjadinya perilaku agresi. Faktor perilaku agresi dibagi menjadi dua bagian, yaitu faktor personal dan faktor situasional. Faktor personal meliputi semua karakteristik yang seseorang bawa. Sedangkan faktor situasional meliputi semua ciri-ciri dari sebuah situasi (dalam Anderson & Bushman, 2002).
a. Faktor Personal 1) Trait (Sifat)
Beberapa sifat tertentu mempengaruhi seseorang kepada agresi tingkat tinggi. Sifat individu yang lebih mudah melakukan agresi kepada orang lain karena kecurigaan kepada atribusi bermusuhan (hostile attribution), persepsi, dan ekspektasi yang bias. Teori lain mengatakan tipe A yang memiliki self-esteem yang tinggi akan cenderung melakukan perilaku agresi.
2) Sex (Jenis Kelamin)
Laki-laki dan perempuan memiliki tendensi dalam berperilaku agresif yang berbeda. Penelitian mengenai pembunuhan yang dilakukan oleh FBI di Amerika Serikat menunjukkan bahwa
(44)
banyaknya pelaku laki-laki sepuluh kali lipat lebih banyak dari pada perempuan. Tipe dari perilaku agresi yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan juga berbeda. Laki-laki cenderung untuk melakukan agresi secara langsung sedang perempuan sebaliknya. 3) Belief (Kepercayaan)
Banyak tipe kepercayaan yang berperan penting dalam terjadinya perilaku agresi. Bagi mereka yang percaya bahwa mereka dapat berperilaku agresi dan hasilnya akan memuaskan bagi mereka maka akan cenderung melakukan perilaku agresi dibandingkan dengan mereka yang tidak percaya kesuksesan dari perilaku agresi. Perilaku agresi yang berhubungan dengan kepercayaan diyakini mampu memprediksi tingkat agresivitas seseorang di masa depan.
4) Attitude (Sikap)
Sikap adalah evaluasi umum seseorang mengenai dirinya sendiri, orang lain, objek-objek, dan isu-isu. Ketika seseorang memiliki sikap yang positif mengenai kekerasan maka secara umum orang tersebut cenderung akan berperilaku secara agresif. 5) Value (Nilai)
Nilai adalah kepercayaan mengenai sesuatu yang seseorang seharusnya atau seharusnya lakukan. Nilai juga sangat berperan penting dalam menentukan tingkat dari perilaku agresi seseorang. Bagi beberapa orang, kekerasan merupakan salah satu cara untuk
(45)
mengatasi konflik interpersonal yang sedang dihadapi. Sebagai contoh, kekerasan yang dilakukan oleh sebuah geng atau kelompok didasari untuk mempertahankan kehormatan yang ada dalam kelompok tersebut.
6) Long-term Goal (Tujuan Jangka Panjang)
Tujuan jangka panjang sangatlah penting dalam memprediksi perilaku agresi seseorang. Tujuan jangka panjang yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi persepsi, nilai, dan kepercayaan mengenai seberapa penting ia melakukan perilaku agresi tersebut. b. Faktor Situasional
1) Aggressive Cue (Isyarat Agresif)
Isyarat agresif adalah objek utama dalam agresi yang berhubungan dengan konsep dalam ingatan. Sebagai contohnya, ketika seseorang dihadapkan pada sebuah senjata maka hal tersebut akan meningkatkan agresivitas seseorang. Hal ini disebabkan gambaran mengenai senjata secara otomatis memunculkan pikiran agresi.
2) Provocation (Provokasi)
Provokasi terdiri dari mencela, meremehkan, bentuk lain dari agresi verbal, agresi fisik, interfensi terhadap usaha seseorang dalam mencapai tujuan. Provokasi merupakan faktor penyebab agresi yang sangat penting. Salah satu studi yang dilakukan Baron (2006) di tempat kerja menghasilkan bahwa ketika seseorang
(46)
mendapat perlakuan yang tidak adil di tempat kerja maka ia akan cenderung melakukan agresi.
3) Frustation (Frustasi)
Frustrasi dapat didefinisikan sebagai penghalang dari pencapaian tujuan. Sebagian besar provokasi dapat dilihat sebagai salah satu tipe frustrasi yang diidentifikasi individu sebagai agen yang menggagalkan seseorang untuk mencapai suatu tujuan. Frustasi telah dipercaya dapat meningkatkan agresi seseorang. 4) Pain and Discomfort (Rasa Sakit dan Ketidaknyamanan)
Beberapa penelitian menunjukkan ketidaknyamanan dapat menimbulkan perilaku agresi, begitu pula dengan rasa sakit. Contoh dari kondisi yang tidak nyaman adalah suhu tinggi, asap rokok, bau tidak enak, dan pemandangan yang menjijikan. Namun perilaku agresi yang dilakukan tidak hanya untuk menghentikan atau mengurangi kondisi yang tidak menyenangkan maupun rasa sakit yang dirasakan. Perilaku agresi bisa ditunjukkan meski objek tidak melakukan apapun yang membuat pelaku mengalami rasa sakit atau ketidaknyamanan (Berkowitz, 1995).
(47)
5. Aspek Perilaku Agresi
Menurut Buss & Perry (1992) perilaku agresi dipengaruhi oleh empat aspek. Aspek ini merupakan bagian pernting dari perilaku agresi sehingga perilaku agresi dapat muncul. Aspek pertama dan kedua dilihat dari jenis perilakunya, yaitu agresi fisik dan agresi verbal. Agresi fisik maupun agresi verbal dilihat dari segi motorik atau konatif. Aspek ketiga adalah kemarahan (anger) yang dilihat dari segi emosional atau afektif. Dan aspek terakhir adalah kebencian (hostility) yang merupakan perwakilan dari sisi kognitif.
a. Agresi Fisik
Agresi fisik merupakan perbuatan melukai atau menyakiti orang lain atau objek langsung secara fisik. Agresi fisik meliputi memukul, menendang, menampar, dan menggigit (Ivory & Kaestle, 2013; Kawabata, Tseng, & Crick, 2014).
b. Agresi Verbal
Agresi verbal menggunakan kata-kata untuk menyakiti orang lain secara langsung dan sengaja. Contoh perilaku dari agresi verbal adalah menghina dan mengejek orang lain dengan sebutan (Coyne, Robinson, & Nelson, 2010).
c. Kemarahan (Anger)
Kemarahan merupakan keadaan perasaan emosional yang bervariasi intensitasnya dari rasa jengkel yang ringan sampai amukan yang intens (dalam Johansson, Santtila, Corander, Jern, Pahlen,
(48)
Varjonen, & Sandnabba, 2011). Individu dengan tingkat kemarahan yeng tinggi akan mudah marah dan tersinggung (dalam Reyna, Lello, Sanchez, Brussino, 2011).
d. Permusuhan (Hostility)
Permusuhan bisa dikonsepkan sebagai sikap bermusuhan secara interpersonal (dalam Haney, Maynard, Houseworth, Scherwitz, William, & Barefoot, 1996). Individu yang memiliki permusuhan akan cenderung memiliki keyakinan negatif mengenai orang lain, seperti prasangka yang buruk, perasaan curiga, iri hati, sinisme, paranoid, dan mencela. Selain itu individu dengan sikap permusuhan akan memiliki perasaan jengkel dan dendam (Reyna, et al, 2011; )
C. REMAJA
1. Definisi Remaja
Masa remaja adalah sebuah periode transisi secara biologis, psikologis, sosial, dan ekonomi (Steinberg, 2002). Masa remaja merupakan tahap kedua dalam perkembangan manusia. Remaja dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu remaja awal, remaja tengah, dan remaja akhir. Usia remaja awal berkisar dari 10 tahun sampai 13 tahun, remaja tengah dari 14 tahun sampai 18 tahun, dan remaja akhir dari 19 tahun sampai 22 tahun. Sedangkan menurut Sarwono (2008), rentang usia yang termasuk dalam kategori remaja adalah 11 – 24 tahun dan belum menikah.
(49)
2. Perkembangan Remaja a. Perkembangan Fisik
Salah satu perubahan yang terjadi pada tubuh remaja adalah perubahan hormonal. Tiap jenis kelamin mengalami perubahan hormon yang berbeda. Pada laki-laki akan didominasi oleh hormon testosteron sedangkan esterogen untuk perempuan. Perkembangan hormon inilah yang mampu mempengaruhi cara kerja otak sehingga menimbulkan perilaku yang berbeda antara remaja laki-laki dan perempuan (Steinberg, 2002).
b. Perkembangan Kognitif
Perkembangan otak pada masa remaja menjadi kunci untuk mereka mengembangkan regulasi emosi dan perilakunya. Selain itu perkembangan otak pada masa remaja juga semakin memampukan remaja untuk mempersepsi dan mengevaluasi resiko dan penghargaan yang akan mereka terima (Steinberg, 2005). Perkembangan berpikir remaja yang semakin maju dibandingkan ketika mereka kanak-kanak juga digambarkan dalam 5 hal menurut Keating (dalam Steinberg, 2002) :
1. Kemampuan remaja lebih baik dalam memperkirakan kemungkinan-kemungkinan. Mereka tidak terbatas pada hal-hal yang mereka lihat saja
2. Remaja lebih mampu berpikir mengenai hal abstrak. 3. Remaja lebih sering memikirkan tentang proses berpikir.
(50)
4. Cara berpikir remaja lebih luas. Mereka berpikir secara multidimensional.
5. Remaja melihat segala sesuatu secara relatif dan tidak absolut. Menurut Piaget (dalam Steinberg, 2002) remaja memasuki tahap cara berpikir operasional formal. Ciri khas dari cara berpikir operasional formal adalah remaja mampu berpikir tentang kemungkinan, berpikir secara multidimensi, dan mampu berpikir mengenai konsep-konsep abstrak.
c. Perkembangan Emosi
Remaja sangat terkenal dengan istilah storm and stress (badai dan stres). Oleh karena keadaan ini remaja identik dengan kemarahan dan emosi yang meledak-ledak. Salah satu penyebabnya adalah perubahan hormonal (Steinberg, 2002). Selain itu penyesuaian terhadap lingkungan yang baru juga dapat membuat remaja mengalami keadaan emosi yang berlebihan. Hal ini disebabkan remaja kurang siap ketika meninggalkan dunia kanak-kanaknya dan mengalami kebingungan dengan peran mereka yang baru.
Harapan sosial akan perilaku yang lebih matang dari remaja juga memberikan tekanan tersendiri. Lingkungan sosial menuntut mereka untuk berperilaku seperti orang dewasa. Selain itu remaja harus menyesuaikan diri pula dengan lawan jenis mereka. Remaja harus belajar hal-hal apa saja yang bisa dibicarakan dengan lawan jenis,
(51)
bagaimana cara bersikap di depan lawan jenis, dan bagaimana cara untuk popular diantara lawan jenis.
Tidak hanya lingkungan sosial namun keluarga juga mempengaruhi keadaan emosi remaja. Remaja akan mengalami ketegangan emosi ketika memiliki orangtua yang sangat keras dan memberikan kebebasan yang sangat terbatas bagi remaja untuk berkembang.
Di sisi lain remaja mulai menyadari pentingnya pendidikan bagi kehidupannya di masa depan dan menimbulkan perasaan cemas yang tidak pernah timbul ketika masa kanak-kanak. Kecemasan tersebut berlanjut ketika remaja dihadapkan pada kehidupan setelah sekolah, ketika mereka harus bekerja atau menentukan jurusan di perguruan tinggi. Cita-cita tidak realistis yang dibawanya sejak masa kanak-kanak akan memberikan kesulitan remaja untuk menentukan pilihannya di masa depan. Meskipun remaja mampu menentukkan apa yang diinginkan belum tentu hal tersebut akan mereka dapatkan. Keadaan ekonomi keluarga dan izin dari orangtua yang biasanya menjadi penghalang antara remaja dan keinginannya sehingga membuat remaja merasa frustasi (Hurlock, 1973). Meskipun demikian dari tahun ke tahun cenderung terjadi perbaikan perilaku emosional pada remaja (Hurlock, 1990).
Salah satu tugas perkembangan remaja di wilayah emosi adalah pencapaian kematangan emosi. Remaja yang matang secara emosi bila emosi remaja tersebut tidak meledak-ledak di hadapan orang lain. Akan
(52)
tetapi, remaja akan menunggu waktu dan tempat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya dan dengan cara yang lebih dapat diterima secara sosial. Hal ini disebabkan remaja yang sudah mencapai kematangan emosi dapat melihat situasi secara kritis dan berpikir terlebih dahulu sebelum bereaksi (Hurlock, 1990).
D. Kontrol Diri pada Remaja
Kontrol diri yang dimiliki remaja tidak muncul begitu saja. Kontrol diri ini dibangun individu sejak kecil. Ketika anak-anak usia prasekolah mampu untuk menunda kepuasan (delay of gratification) terhadap suatu hadiah yang nyata dan tanpa distraksi maka kontrol diri akan sedikit demi sedikit terbangun. Oleh karena itu kontrol diri merupakan kemampuan individu untuk mentoleransi penundaan kepuasaan. Keinginan untuk menunda kepuasan (delay of gratification) pada anak dapat dipelajari dengan mengobservasi model. Mengajarkan anak untuk dapat menunda kepuasan (delay of gratification) di awal-awal kehidupannya akan sangat berguna di tahap perkembangan berikutnya (Hergenhahn & Olson, 2007).
Menurut para orangtua, anak-anak mereka yang mampu menunda kepuasan lebih lama ketika masa prasekolah dinilai lebih positif pada berbagai kemampuan sosial dan akademik ketika mereka sudah SMA. Bagi mereka, remaja yang mampu menunda kepuasan lebih lama ketika masa prasekolah cenderung untuk menunjukkan kontrol diri ketika frustrasi, mampu mengatasi masalah yang penting, melakukan tugas secara akademis
(53)
dengan baik ketika termotivasi, mengejar tujuan ketika termotivasi, menunjukkan kecerdasan, serta mampu mempertahankan pertemanan dan dapat bergaul dengan teman sebaya. Sedangkan kecil kemungkinannya untuk teralihkan oleh rintangan yang kecil, menyerah pada godaan, mudah terdistraksi ketika berusaha berkonsentrasi, dan kehilangan kontrol diri ketika frustrasi (Hergenhahn & Olson, 2007).
Erik Erikson dalam tahapan psikososialnya juga menjelaskan bahwa kemampuan kontrol diri seseorang mulai dikembangkan sejak masa kanak-kanak. Kontrol diri mulai berkembang pada usia 2 – 3 tahun ketika anak memasuki tahap autonomy vs shame & doubt. Pada usia 2 tahun, kemampuan motorik anak mulai berkembang dan mereka bisa melakukan banyak hal tanpa bantuan orangtuanya. Suasana suportif dan tidak terlalu mengekang dari orangtua dapat mengembangkan kemampuan kontrol diri pada anak. Selain itu, pada tahapan selanjutnya, initiative vs guilt, kemampuan kontrol diri anak juga semakin berkembang. Pada usia 4 tahun, anak mulai mengembangkan inisiatif dalam memulai suatu kegiatan. Terkadang anak ingin melakukan sesuatu yang terlalu berbahaya sehingga orangtua harus membatasi mereka. Dari sinilah anak mulai belajar untuk mengontrol dirinya (Erikson, 1963; Miller, 2011).
Kemampuan kontrol diri yang dikembangkan ketika kanak-kanak ini sangat mempengaruhi pencapaian mereka di tahapan selanjutnya. Pada tahap
industry vs inferiority individu diharapkan dapat mengembangkan suatu
(54)
ketika mereka mengalami kegagalan. Anak yang kemapuan kontrol dirinya rendah akan mudah frustrasi sehingga memungkinkan mengembangkan rasa inferior dalam dirinya. Selanjutnya pada tahap identity vs role diffusion, kemampuan kontrol diri ini dapat membantu individu dalam mencapai suatu identitas tertentu (Erikson, 1963; Miller, 2011).
E. DINAMIKA HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DAN
PERILAKU AGRESI PADA REMAJA
Masa remaja merupakan tahap kedua dalam perkembangan hidup manusia. Dalam masa ini individu mengalami peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Ketika individu memasuki masa remaja ia akan mengalami perubahan secara biologis, psikologis, sosial, dan ekonomi. Secara kognitif, remaja mulai memiliki kemampuan untuk berpikir abstrak dan memperkirakan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Selain itu remaja sudah mampu berpikir secara multidimensional sehingga dapat melihat suatu kenyataan secara lebih relatif (Steinberg, 2002). Selain itu remaja mengalami perubahan fisik yang disebabkan oleh kematangan seksual. Perubahan fisik yang signifikan ini tak jarang menyebabkan perasaan tidak nyaman. Secara sosial mereka akan mendapatkan peran baru dan membingungkan. Mereka sering dianggap masih kanak-kanak sehingga tindakan mereka sering diremehkan. Namun di sisi lain mereka dituntut untuk berpikir dan berperilaku seperti orang dewasa. Hal ini menimbulkan perasaan yang tidak bahagia pada remaja (Hurlock, 1973).
(55)
Selain itu remaja terkadang belum siap dalam menghadapi perubahan dalam dirinya maupun tuntutan yang baru dari lingkungan sekitar. Lingkungan yang menuntut perilaku yang lebih matang dari remaja memiliki tekanan tersendiri. Belum lagi masalah hubungan mereka dengan lawan jenis. Semua tuntutan tersebut membuat remaja menjadi frustrasi (Hurlock, 1973). Hasil dari rasa frustrasi tersebut biasanya berupa amarah dan emosi yang meledak-ledak. Hal ini membuat masa remaja terkenal dengan istilah storm
and stress (Steinberg, 2002). Rasa frustrasi atau ketegangan emosi yang
dirasakan remaja diekspresikan salah satunya dalam perilaku agresi. Perilaku agresi remaja sering kali ditujukan pada orang-orang di sekitar mereka yang telah membuat mereka marah atau frustrasi, yaitu orangtua, saudara, atau bahkan teman sebayanya (Hurlock, 1973).
Dalam upaya menjelaskan perilaku agresi, teori I3 mencoba menjelaskan bagaimana perilaku agresi bisa terjadi. Menurut teori I3 sebelum perilaku agresi dimunculkan oleh individu pasti akan didahului oleh instigating
trigger. Instigating trigger merupakan peristiwa atau keadaan sekitar individu
yang menjadi stimulus atau pemicu individu tersebut dalam beragresi.
Instigating trigger sendiri bisa menimbulkan perilaku agresi pada individu
jika memiliki kekuatan yang besar. Akan tetapi ada hal lain yang mampu mendorong perilaku agresi muncul semakin kuat, yaitu impelling forces.
Impelling forces ini dapat berupa disposisi dalam diri individu maupun
keadaan situasional. Perilaku agresi akan semakin kuat ketika instigating
(56)
memiliki dorongan yang kuat. Untuk menekan atau mengurangi kekuatan beragresi individu, dibutuhkan faktor situasional atau disposisi seseorang yang disebut inhibiting forces. Salah satu disposisi individu yang dirasa cukup efektif untuk menghambat perilaku agresi seseorang adalah kontrol diri (Shaver & Mikulincer, 2011).
Ketika individu memiliki kontrol diri yang baik maka ia akan memiliki standar yang sesuai dengan lingkungan, mampu mengawasi perilakunya, dan memiliki kapasitas untuk berubah. Standar merupakan tujuan, norma, dan pedoman yang dimiliki seseorang. Standar yang baik adalah standar yang sesuai dengan lingkungan sosial (Baumeister, 2013). Sedangkan perilaku agresi merupakan perilaku antisosial (Shaver & Mikulincer, 2011). Oleh karena itu individu yang memiliki standar yang baik akan memiliki kecenderungan berperilaku agresi yang rendah. Selain itu individu yang mampu mengawasi perilakunya merupakan individu yang memiliki kontrol diri. Ketika individu lengah dalam mengawasi perilakunya maka ia akan lepas kendali (Baumeister, 2002). Sama seperti ketika individu yang sedang beragresi, ia tidak mampu mengawasi perilakunya yang mengarah pada perilaku agresi. Ketika individu sudah memiliki standar yang baik dan mampu mengawasi perilakunya, ia harus memiliki kapasitas untuk berubah supaya perilaku agresi tersebut tidak muncul. Kemampuan ini membutuhkan energi untuk dapat membatasi perbuatan atau respon individu yang dapat mengarah pada perilaku agresi (Baumeister, 2002; 2013).
(57)
Oleh karena itu, meskipun masa remaja lekat dengan perubahan emosi yang cukup intens serta cenderung ditekan dan dituntut oleh lingkungan mereka, akan tetapi remaja yang memiliki kontrol diri tinggi akan mampu mengurangi atau bahkan menekan perilaku agresi yang akan muncul. Sebaliknya remaja yang memiliki kontrol diri rendah kurang mampu dalam menghadapi perubahan yan terjadi dalam dirinya maupun tekanan dari lingkungannya. Oleh karena itu, remaja yang memiliki kontrol diri rendah akan cenderung memiliki perilaku agresi yang tinggi.
(58)
F. SKEMA HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA
Gambar 2. Bagan dan Deskripsi Dinamika Antar Variabel
G. HIPOTESIS
Menurut penjabaran di atas, peneliti menarik hipotesis penelitian, yaitu kontrol diri dapat memprediksi perilaku agresi pada remaja secara negatif.
Kontrol Diri
Kontrol Diri Tinggi
Standar baik Tujuan & prinsip sesuai norma sosial
Pengawasan baik Menyadari
perubahan diri Perilaku Agresi Rendah memiliki kapasitas berubah Mampu mengubah respon Kontrol Diri Rendah Standar buruk
Tujuan & prinsip bertentangan dengan norma
sosial
Pengawasan buruk Tidak menyadari perubahan diri Perilaku Agresi Tinggi Tidak memiliki kapasitas berubah Tidak mampu mengubah respon
(59)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. JENIS PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif. Hal ini disebabkan masalah dalam penelitian ini sudah diidentifikasi dan dibatasi. Selain itu penelitian ini menggunakan teori untuk menjawab masalah yang diungkapkan (Sugiyono, 2014). Penelitian ini juga merupakan penelitian yang bersifat korelasional yang bertujuan menunjukkan hubungan antara dua variabel atau lebih. Jenis hubungan pada penelitian ini adalah hubungan kausal atau sebab-akibat. Penelitian dengan jenis hubungan kausal ditandai dengan adanya variabel independen (variabel yang mempengaruhi) dan variabel dependen (variabel yang dipengaruhi) (Sugiyono, 2014; Taniredja & Mustafidah, 2011).
B. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN 1. Variabel dependen
Variable dependen dalam penelitian ini adalah perilaku agresi. 2. Variable independen
(60)
C. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN
Definisi operasional dibuat untuk mempermudah peneliti dalam melihat hubungan antara dua variabel penelitian. Hal ini disebabkan variabel yang akan diteliti masih bersifat konseptual. Definisi operasional adalah definisi suatu variabel berdasarkan karakteristik variabel tersebut yang dapat diamati (Sarwono, 2006). Definisi operasional variabel-variabel yang akan diteliti adalah sebagai berikut :
1. Kontrol Diri
Kontrol diri adalah kemampuan seseorang untuk menahan atau menolak godaan dan menahan hasrat jangka pendek yang menimbulkan penghargaan segera dan mengubahnya menjadi respon yang diinginkan supaya mengindari akibat yang tidak diinginkan dan mencapai tujuan jangka panjang. Kontrol diri akan diukur menggunakan skala kontrol diri. Skala tersebut akan disusun berdasarkan ketiga aspek yang telah diutarakan Baumeister (2002; 2013), yaitu standar-standar, pengawasan, dan kapasitas untuk berubah 2. Perilaku Agresi
Perilaku agresi adalah perilaku yang bertujuan untuk melukai, menyakiti atau mencelakakan orang maupun objek benda mati yang menjadi sasaran baik secara fisik, verbal, maupun mental. Perilaku agresi akan diukur menggunakan skala kecenderungan berperilaku agresi. Skala tersebut akan disusun berdasarkan keempat aspek yang telah diutarakan Buss & Perry (dalam Reyna, Lello, Sanchez,
(61)
Brussino, 2011), yaitu agresi fisik, agresi verbal, kemarahan (anger), dan permusuhan (hostility).
D. SUBJEK PENELITIAN
Subjek penelitian ini dipilih dengan cara nonprobability sampling, teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang yang sama besar terhadap anggota populasi yang sudah ditentukan. Teknik yang digunakan adalah
quota sampling. Peneliti telah menentukan jumlah (kuota) sampel yang
diinginkan dari suatu populasi (Sugiyono, 2014). Karakteristik subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah subjek merupakan remaja yang berusia 11-24 tahun dan belum menikah dan remaja berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Rentang usia yang cukup besar ini digunakan peneliti untuk melihat remaja secara keseluruhan, baik remaja awal, tengah, maupun akhir.
E. METODE PENGUMPULAN DATA
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala Likert. Skala Likert biasanya digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, maupun persepsi seseorang (Sugiyono, 2014; Sarwono, 2006). Penelitian ini menggunakan lima buah pilihan jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Netral (N), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Istilah sesuai dipilih karena kata istilah tersebut dirasa lebih tepat untuk mengukur keadaan diri subjek. Hal ini diharapkan membuat subjek untuk berpikir dahulu sejauhmana aitem yang akan diisi sesuai dengan dirinya (Azwar, 2013). Jumlah pilihan
(62)
jawaban yang ganjil biasanya akan membuat subjek untuk cenderung memilih jawaban yang di tengah. Akan tetapi menurut Azwar (2013) hal tersebut dapat dihindari dengan menuliskan aitem dengan benar. Kecenderungan memilih jawaban tengah bisa terjadi karena aitem yang ditulis tidak cukup sensitif untuk memancing respon yang berbeda dari setiap subjek. Selain itu ketika pilihan jawaban tengah ditiadakan akan membuat subjek merasa sulit apabila dirinya merasa berada di antara dua pilihan jawaban yang telah disediakan. Dan yang terakhir Azwar mengatakan belum adanya bukti secara empirik mengenai kekhawatiran peneliti akan respon subjek yang cenderung memilih jawaban di tengah.
Azwar menyarankan untuk memberikan istilah netral dan bukan ragu-ragu pada pilihan jawaban yang berada di tengah. Menurutnya istilah netral lebih tepat karena ketika subjek memilih pilihan netral, mereka percaya bahwa dirinya memang menjawab karena netral dan bukan karena mereka ragu-ragu akan pilihan yang dibuatnya.
Skala yang digunakan terdiri dari jenis aitem favorable dan aitem
unfavorable. Aitem favorable merupakan aitem yang isinya mendukung atau
sesuai pada indikatornya. Sedangkan aitem unfavorable merupakan aitem yang isinya tidak mendukung atau tidak sesuai dengan indikator aitemnya (Azwar, 2013). Pada jenis aitem favorable diberikan skor 1 untuk pilihan Sangat Tidak Sesuai (STS), 2 untuk Tidak Sesuai (TS), 3 untuk Netral (N), 4 untuk Sesuai (S), dan 5 untuk pilihan Sangat Sesuai (SS). Sedangkan jenis aitem unfavorable nilai bergerak dari 5 untuk Sangat Tidak Sesuai (STS), 4
(63)
untuk Tidak Sesuai (TS), 3 untuk Netral (N), 2 untuk Sesuai (S), dan 1 untuk Sangat Sesuai (SS).
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan Skala Kontrol Diri dan Skala Perilaku Agresi. Kedua skala tersebut akan dijadikan satu dalam sebuah angket.
1. Skala Kontrol Diri
Skala ini digunakan untuk mengukur kemampuan seseorang untuk menahan atau mengubah responnya dalam menghadapi situasi tertentu. Skala ini disusun berdasarkan aspek-aspek yang diutarakan Baumeister (2002; 2013), yaitu :
a. standar-standar b. pengawasan
c. kapasitas untuk berubah
Tabel 1
Blueprint dan Rancangan Skala Kontrol Diri Sebelum Uji Coba
No. Aspek Kontrol Diri
Jenis Aitem
Jumlah
Aitem Bobot
Favorable Unfavorable
1. Standar-standar 8 8 16 33,33 %
2. Pengawasan 8 8 16 33,33 %
3. Kapasitas untuk
berubah 8 8 16 33,33 %
(64)
Tabel 2
Sebaran Aitem Skala Kontrol Diri
No. Aspek Favorable Unfavorable Jumlah
1. Standar-standar 4, 12, 24, 30, 35, 42, 44, 47
2, 5, 10, 13, 26,
27, 32, 40 16 2. Pengawasan 7, 25, 28, 31, 37,
38, 43, 45
6, 11, 15, 18, 20,
21, 29, 34 16 3. Kapasitas
untuk berubah
3, 16, 17, 22, 33, 36, 46, 48
1, 8, 9, 14, 19,
23, 39,41 16
Skala Kontrol Diri terdiri dari pernyataan-pernyataan dengan lima buah pilihan jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Netral (N), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Subjek akan diminta memilih salah satu dari lima pilihan jawaban tersebut. Penilaian untuk pernyataan yang dipilih adalah sebagai berikut : Tabel 3
Skor Aitem untuk Skala Kontrol Diri
Respon Skor
Favorable Unfavorable
Sangat Sesuai (SS) 5 1
Sesuai (S) 4 2
Netral (N) 3 3
Tidak Setuju (TS) 2 4
Sangat Tidak Setuju
(STS) 1 5
2. Skala Perilaku Agresi
Skala ini digunakan untuk mengukur kecenderungan seseorang dalam menyakiti atau melukai orang lain. Skala disusun berdasarkan keempat aspek yang telah diutarakan Buss & Perry (dalam Reyna, Lello, Sanchez, Brussino, 2011), yaitu :
(65)
a. agresi fisik b. agresi verbal c. kemarahan (anger) d. permusuhan (hostility)
Tabel 4
Blueprint dan Rancangan Skala Perilaku Agresi Sebelum Uji Coba
No. Aspek Perilaku Agresi
Jenis Aitem
Jumlah
Aitem Bobot
Favorable Unfavorable
1. Agresi Fisik 6 6 12 25 %
2. Agresi Verbal 6 6 12 25 %
3. Kemarahan
(anger) 6 6 12 25 %
4. Permusuhan
(hostility) 6 6 12 25 %
Jumlah 24 24 48 100 %
Tabel 5
Sebaran Aitem Skala Perilaku Agresi
No. Aspek Favorable Unfavorable Jumlah
1. Agresi Fisik 3, 11, 6, 19, 22, 44
7, 9, 32, 33, 42,
45 12
2. Agresi Verbal 5, 12, 13, 25, 36, 37
17, 18, 21, 23,
39, 47 12
3. Kemarahan (anger)
4, 8, 26, 31, 35, 38
1, 14, 20, 24, 27,
48 12
4. Permusuhan (hostility)
6, 10, 28, 29, 30, 34
2, 15 40, 41, 43,
46 12
Skala Perilaku Agresi terdiri dari pernyataan-pernyataan dengan lima buah pilihan jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Netral (N), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Subjek akan
(66)
diminta memilih salah satu dari lima pilihan jawaban tersebut. Penilaian untuk pernyataan yang dipilih adalah sebagai berikut :
Tabel 6
Skor Aitem untuk Skala Perilaku Agresi
Respon Skor
Favorable Unfavorable
Sangat Sesuai (SS) 5 1
Sesuai (S) 4 2
Netral (N) 3 3
Tidak Setuju (TS) 2 4
Sangat Tidak Setuju
(STS) 1 5
F. UJI SKALA 1. Uji Validitas
Validitas adalah sejauh mana suatu alat ukur dapat mengukur apa yang seharusnya diukur (Siregar, 2014). Alat ukur yang memiliki validitas yang tinggi dapat diartikan bahwa alat ukur tersebut memiliki eror yang kecil. Dengan kata lain skor untuk tiap subjek yang didapat melalui pengukuran tidak jauh berbeda dengan skor aslinya (Azwar, 2007). Validitas skala yang digunakan dalam penelitian ini dilihat menggunakan validitas isi. Validitas isi merupakan kemampuan alat ukur dalam mengukur isi (konsep) yang hendak diukur. Untuk melihat validitas dengan menggunakan validitas isi diperlukan akal sehat untuk memutuskan apakah aitem sudah sesuai dengan tujuan dibuatnya alat ukur. Oleh karena itu peneliti meminta pendapat ahli (professional
(67)
judgement) yang merupakan dosen pembimbing peneliti (Azwar, 2013).
Ahli (dosen pembimbing) diminta untuk memastikan bahwa aitem-aitem pada skala dalam penelitian ini sudah sesuai dengan tujuan penelitian.
2. Seleksi Aitem
Seleksi aitem digunakan untuk menentukkan aitem-aitem yang dianggap baik dan layak untuk digunakan dalam sebuah penelitian. Hal yang perlu diperhatikan dalam menyeleksi aitem adalah daya diskriminasi aitem. Daya diskriminisasi aitem ini dapat membedakan respons yang diberikan dari tiap individu. Pada aplikasi SPSS 16.00 daya diskriminasi aitem dapat dilihat pada kolom Corrected Item-Total Correlation atau koefisien korelasi aitem-total (rix). Besaran koefisien korelasi aitem-total
bergerak dari nilai 0 sampai 1,00 dengan tanda positif dan negatif. Batasan kriteria seleksi aitem dengan menggunakan koefisien korelasi aitem-total adalah rix> 0,30. Oleh karena itu aitem yang memiliki
koefisiean korelasi aitem-total lebih atau sama dengan 0,30 dianggap memiliki daya diskriminasi yang baik. Sebaliknya aitem yang memiliki koefisien korelasi aitem-total kurang dari 0,30 dianggap daya diskriminasinya rendah (Azwar, 2013).
a. Skala Kontrol Diri
Berdasarkan hasil uji coba yang telah dilakukan terhadap 61 subjek, skala kontrol diri memiliki 31 aitem yang lolos seleksi dari 48 aitem awal dengan koefisien korelasi aitem-total (rix) > 0.30. Melalui
(68)
uji diskriminasi aitem pada skala kontrol diri, didapatkan koefisien korelasi aitem-total tertinggi adalah 0,656 dan koefisien korelasi aitem-total terendah adalah -0,363. Distribusi aitem skala kontrol diri setelah melalui seleksi aitem dapat dilihat sebagai berikut :
Tabel 7
Distribusi Aitem Skala Kontrol Diri
No. Aspek Favorable Unfavorable Jumlah
1. Standar-standar 4, 12, 24, 30, 35, 42, 44, 47
2, 5, 10, 13, 26,
27, 32, 40 11 2. Pengawasan 7, 25, 28, 31, 37,
38, 43, 45
6, 11, 15, 18, 20,
21, 29, 34 9
3. Kapasitas untuk berubah
3, 16, 17, 22, 33, 36, 46, 48
1, 8, 9, 14, 19,
23, 39,41 11
Jumlah 31
Keterangan : aitem yang dicetak tebal adala aitem yang gugur.
b. Skala Perilaku Agresi
Berdasarkan hasil uji coba yang telah dilakukan terhadap 61 subjek, skala perilaku agresi memiliki 33 aitem yang lolos seleksi dari 48 aitem awal dengan koefisien korelasi aitem-total (rix) > 0.30.
Melalui uji diskriminasi aitem pada skala perilaku agresi, didapatkan koefisien korelasi aitem-total tertinggi adalah 0,683 dan koefisien korelasi aitem-total terendah adalah -0,254. Distribusi aitem skala perilaku agresi setelah melalui seleksi aitem dapat dilihat sebagai berikut :
(69)
Tabel 8
Distribusi Aitem Skala Perilaku Agresi
No. Aspek Favorable Unfavorable Jumlah
1. Agresi Fisik 3, 11, 6, 19, 22, 44
7, 9, 32, 33, 42,
45 8
2. Agresi Verbal 5, 12, 13, 25, 36, 37
17, 18, 21, 23,
39, 47 9
3. Kemarahan (anger)
4, 8, 26, 31, 35, 38
1, 14, 20, 24, 27,
48 10
4. Permusuhan (hostility)
6, 10, 28, 29, 30, 34
2, 15 40, 41, 43,
46 6
Jumlah 33
Keterangan : aitem yang dicetak tebal adala aitem yang gugur.
3. Uji Reliabilitas
Reliabilitas merupakan kosistensi hasil pengukuran suatu alat ukur (Suyabrata, 2008). Alat ukur diangap reliabel jika alat tersebut dapat mengukur gejala yang sama dari waktu ke waktu dengan konsisten (Siregar, 2014). Selain itu alat ukur yang reliabel juga menunjukkan seberapa tinggi kecermatan pengukuran oleh alat ukur tersebut. Koefisien reliabilitas (rxx’) berada dari 0 sampai 1,00. Semakin koefisien reliabilitas mendekati angka 1,00 maka semakin reliabel alat ukurnya (Azwar, 2013). Uji reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan analisis Alpha
Cronbach. Alat ukur dianggap reliabel ketika koefisien alpha cronbach
menunjukkan angka > 0,60 dan semakin baik ketika koefisien alpha
cronbach medekati angka 1,00 (Sujarweni & Endrayanto, 2012).
(1)
BAGIAN I
No. Pernyataan STS TS N S SS
1. Saya dengan semangat menjalankan rencana yang sudah ditetapkan
2. Saya akan terus mencoba sampai rencana saya terwujud
3. Saya merasa bingung mengapa saya mengikuti atau melakukan suatu kegiatan
4. Saya mudah lupa akan tujuan semula jika diganggu oleh orang lain
5. Meskipun saya gagal melakukan rencana yang sudah saya buat namun saya tidak menyerah 6. Gangguan dari lingkungan dapat mengganggu
pola hidup yang sudah saya terapkan
7. Saya mudah menyerah jika mengalami kegagalan
8. Saya mengerti dengan jelas tujuan dari kegiatan yang saya lakukan
9. Saya mudah terpengaruh terhadap ajakan orang lain meskipun saya tahu hal tersebut salah
10. Saya mampu menjalankan apa yang sudah saya rencanakan
11. Saya mampu melakukan kewajiban meski mendapat gangguan dari lingkungan
12. Dalam mengambil keputusan, saya selalu mempertimbangkan prinsip-prinsip yang saya yakini
(2)
13. Saya belajar dari kegagalan dan memperbaikinya
14. Meskipun berada dalam dilema, saya mampu memilih sesuai dengan prinsip yang saya anut 15. Saya merasa tidak memiliki kontrol akan apa
yang saya lakukan
16. Saya tahu apa yang akan saya raih di masa depan
17. Saya bisa mengikuti pola hidup yang sudah saya tetapkan
18. Saya bingung apa yang akan saya lakukan di masa depan
19. Rencana yang saya buat kalah dengan kegiatan di lingkungan
20. Saya memiliki beberapa prinsip yang saya pegang dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari
21. Saya telah menetapkan jadwal untuk kegiatan yang saya miliki
22. Saya merasa apa yang saya lakukan bertentangan dengan hati nurani
23. Saya akan melupakan tanggung jawab ketika merasa sangat senang atau sangat sedih
24. Saya merasa enggan melakukan rencana yang sudah saya buat
25. Saya mengingat atau mencatat apa saja yang harus saya lakukan setiap hari
26. Saya memiliki banyak rencana tapi hanya sedikit yang terlaksana
(3)
No. Pernyataan STS TS N S SS
27. Saya merasa terombang-ambing dalam menjalani kehidupan sehari-hari
28. Rencana yang saya buat hanya sebatas wacana dan tidak terlaksana
29. Jika sedang merasa sedih atau kecewa, saya lupa akan prinsip yang saya miliki
30. Saya terlalu sibuk mengurusi orang lain sampai lupa dengan diri sendiri
31. Kebanyakan rencana yang saya buat berhasil saya lakukan
(4)
No. Pernyataan STS TS N S SS
1. Saya sering memanggil orang-orang di sekitar dengan julukan tertentu
2. Saya merasa orang lain memiliki keberuntungan lebih dibanding dengan diri saya
3. Saya mampu menyelesaikan masalah dengan kepala dingin
4. Jika tidak suka suatu hal, saya dapat dengan mudah mengkritiknya
5. Saya dinilai oleh orang sekitar sebagai seorang pemarah
6. Kesalahan kecil dapat membuat emosi saya memuncak
7. Saya merasa emosi saya mudah meledak sewaktu-waktu
8. Jika saya dipukul maka saya akan memukul kembali orang tersebut
9. Saya naik darah ketika rencana berjalan dengan tidak lancar
10. Saya merasa lebih sering berkelahi dibanding teman-teman saya
11. Jika keinginan tidak tercapai, saya mudah panas hati
12. Meskipun disakiti orang lain, saya tidak akan membalasnya secara fisik
13. Saya merasa perlu berkelahi ketika membela hak-hak saya
(5)
No. Pernyataan STS TS N S SS
14. Saya berusaha memilih kata yang halus untuk menjaga perasaan orang lain
15. Ketika merasa emosi, saya bisa merusak benda-benda di sekitar saya
16. Saya merasa iri dengan kesuksesan orang lain 17. Meskipun sedang kesal, saya bisa
mengendalikan perkataan saya
18. Ketika dihina, saya menanggapinya dengan berkelahi
19. Saya mudah merasa iri terhadap orang lain 20. Saya merasa sulit mengendalikan amarah 21. Di belakang saya teman-teman membicarakan
saya
22. Saya mampu memaafkan kesalahan orang lain 23. Saya merasa senang ketika teman saya sukses 24. Meskipun dipanggil dengan nama julukan,
saya tetap memanggil orang lain dengan nama aslinya
25. Saya langsung mengatakan apa saja yang ada dalam pikiran saya
26. Menurut orang di sekitar, saya adalah orang yang suka berdebat
27. Saya berpikir dua kali sebelum mengatakan apa yang saya pikirkan
28. Membalas kemarahan orang lain dengan penuh emosi merupakan hal yang sia-sia
29. Saya merupakan orang yang menikmati perdebatan
(6)
30. Saya merasa permasalahan bisa diselesaikan tanpa berkelahi
31. Saya yakin teman-teman tulus berteman dengan saya
32. Saya bisa berlapang dada menghadapi masalah 33. Ketika terancam, saya akan menyerang
(memukul) terlebih dahulu