AKIBAT HUKUM TINDAKAN PENGURUS KOPERASI YANG MELAMPAUI ANGGARAN DASAR (ULTRA VIRES).

(1)

i

AKIBAT HUKUM TINDAKAN PENGURUS KOPERASI

YANG MELAMPAUI ANGGARAN DASAR (

ULTRA

VIRES

)

I GEDE PARAMA ISWARA NIM. 1203005123

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

I GEDE PARAMA ISWARA NIM. 1203005123

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

iii

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 21 MARET 2016

Pembimbing I

Prof. Dr. I Putu Sudarma Sumadi, S.H, S.U NIP. 19560419 198303 1 003

Pembimbing II

I Nyoman Darmadha, S.H, M.H NIP. 19541231 198103 1 003


(4)

iv

Panitia Penguji Skripsi

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Nomor : 119/UN14.1.11/PP.05.02/2016 Tanggal 04 April 2016

Ketua : Prof. Dr. I Putu Sudarma Sumadi, S.H, S.U (...) NIP. 19560419 198303 1 003

Sekretaris : I Nyoman Darmadha, S.H, M.H (...)

NIP. 19541231 198103 1 003

Anggota : 1. Ngakan Ketut Dunia, S.H, M.Hum (...) NIP. 19520104 198003 1 001

2. Ida Bagus Putra Atmadja, S.H, M.H (...) NIP. 19541231 198303 1 018

3. A.A Ketut Sukranatha, S.H, M.H (...) NIP. 19570605 198601 1 002


(5)

v

Esa karena atas rahmat-Nya penulisan skripsi yang berjudul “Akibat Hukum Tindakan Pengurus Koperasi yang Melampaui Anggaran Dasar (Ultra Vires)” dapat terselesaikan. Selain tujuan membuat skripsi ini untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Udayana, penulis juga merasa bangga karena melalui skripsi ini dapat memberikan sebuah karya tulis bagi seluruh

civitas academica Universitas Udayana.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak sedikit hambatan yang dialami dan tidak akan berhasil dengan baik tanpa dukungan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena demikian, izinkan penulis dengan kerendahan hati menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H, M.Hum, Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak Dr. Gede Made Swardhana, S.H, M.H, Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak Dr. Ni Ketut Sri Utari S.H, M.H, Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak Dr. I Gede Yusa, S.H, M.H, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, S.H, M.H, Ketua Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana sekaligus sebagai Pembimbing Akademik penulis yang telah memberikan bimbingan kepada penulis selama menempuh perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.


(6)

vi

dengan penuh kesabaran membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyusun skripsi ini.

7. Bapak I Nyoman Darmadha, S.H, M.H, Dosen Pembimbing II yang dengan penuh kesabaran membimbing serta mengarahkan penulis dalam menyusun skripsi ini.

8. Seluruh Dosen Pengajar, terutama Dosen Bidang Hukum Bisnis di Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan wawasan keilmuan kepada penulis.

9. Seluruh Staff Laboratorium Hukum, Perpustakaan, dan Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan bantuan selama penulis mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

10.Bapak I Nengah Suandra, S.H dan Ibu Ni Ketut Suci Anggreni, kedua orang tua penulis yang sangat penulis hormati yang selama ini telah memberikan kasih sayang dan dukungan yang tiada henti serta seluruh keluarga besar penulis yang selama ini mendukung penulis selama penyusunan skripsi ini.

11.Bapak Ida Bagus Made Parwata, S.E, M.Si, Kepala Badan Penanaman Modal dan Perizinan Provinsi Bali yang telah memberikan bantuan kepada penulis dengan menugaskan Staffnya menerbitkan izin rekomendasi yang penulis perlukan untuk melakukan penelitian di Dinas


(7)

vii

Usaha Kecil dan Menengah Provinsi Bali yang telah memberikan bantuan kepada penulis dengan menugaskan Staffnya, yaitu Kepala Seksi Pelayanan dan Badan Hukum Dinas Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Provinsi Bali untuk memberikan informasi yang penulis perlukan dalam penyusunan skripsi ini.

13.Bapak I Nengah Taman, S.Sos, Kepala Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (KESBANGPOLINMAS) Kabupaten Karangasem yang telah memberikan bantuan kepada penulis dengan menugaskan Staffnya menerbitkan izin rekomendasi sebagai landasan untuk melakukan penelitian di Dinas Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Kabupaten Karangasem.

14.Bapak I Nengah Mindra, S.E, M.M, Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Kabupaten Karangasem yang telah menugaskan Staffnya, yaitu Kepala Seksi Bina Usaha Koperasi Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah Kabupaten Karangasem untuk memberikan informasi yang penulis perlukan dalam penyusunan skripsi ini.

15.Rekan-rekan di Asian Law Student’s Association Local Chapter

Universitas Udayana, terutama rekan-rekan di Public Relation Division

selama periode kepengurusan tahun 2014-2015 yang saling mendukung serta tidak pernah berhenti memberikan motivasi kepada penulis untuk tetap berusaha dan berpikir positif.


(8)

viii

17.Rekan-rekan di Fakultas Hukum Universitas Udayana, khususnya Mahasiswa Fakultas Hukum Angkatan 2012 yang telah mendukung penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih kurang sempurna sehingga dengan demikian maka penulis dengan terbuka mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menjadi sebuah karya tulis ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan secara

akademis.

Denpasar, 21 Maret 2016


(9)

ix

ini merupakan hasil karya penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Denpasar, 21 Maret 2016 Yang Menyatakan,

I Gede Parama Iswara NIM. 1203005123


(10)

x

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... ix

DAFTAR ISI ... x

ABSTRAK ... xiii

ABSTRACT ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 9

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 11

1.5 Tujuan Penelitian ... 13

1.5.1 Tujuan umum ... 13

1.5.2 Tujuan khusus ... 14

1.6 Manfaat Penelitian ... 14

1.6.1 Manfaat teoritis ... 14

1.6.2 Manfaat praktis ... 14

1.7 Landasan Teoritis ... 15


(11)

xi

1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum ... 29

1.8.5 Teknik analisis bahan hukum... 29

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KOPERASI DAN PRINSIP-PRINSIP DASAR KOPERASI 2.1 Koperasi ... 31

2.1.1 Pemahaman koperasi secara umum ... 31

2.1.2 Pengertian koperasi dan dasar hukum koperasi ... 31

2.2 Sejarah Koperasi di Indonesia ... 33

2.2.1 Zaman penjajahan Belanda ... 33

2.2.2 Zaman penjajahan Jepang ... 36

2.2.3 Zaman pembangunan atau kemerdekaan ... 38

2.2.4 Zaman orde baru ... 40

2.2.5 Zaman reformasi ... 42

2.3 Prinsip-Prinsip Dasar Koperasi ... 45

2.3.1 Asas koperasi ... 45

2.3.2 Keanggotaan ... 45

2.3.3 Struktur organisasi koperasi ... 47


(12)

xii

3.1 Perbandingan Konsep Ultra Vires dengan Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatigedaad) ... 54 3.2 Ultra Vires Sebagai Konsep Tindakan Pengurus Koperasi Yang

Melampaui Anggaran Dasar ... 65 3.3 Dasar Hukum Penerapan Konsep Ultra Vires Dalam UU

Perkoperasiaan Tahun 1992 dan Anggaran Dasar KKM... 74

BAB IV UPAYA RAPAT ANGGOTA DALAM MELAKUKAN

PEMULIHAN ATAS TINDAKAN PENGURUS KOPERASI YANG MELAMPAUI ANGGARAN DASAR

4.1 Keabsahan Rapat Anggota ... 77 4.2 Peluang Pemulihan Tindakan Pengurus Koperasi Yang Melampaui

Anggaran Dasar Oleh Rapat Anggota ... 80

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 99 5.2 Saran-Saran ... 100


(13)

xiii

Cooperatieve Alliance (ICA) dimana dengan terbentuknya ICA tersebut maka koperasi menjadi suatu gerakan internasional. Dalam wacana sistem ekonomi dunia, koperasi dinyatakan sebagai the third way atau jalan ketiga dimana maksud dari ungkapan the third way atau jalan ketiga tersebut adalah koperasi difungsikan sebagai sistem ekonomi yang berkedudukan sebagai penengah antara sistem ekonomi kapitalisme dan sistem ekonomi sosialisme.

Dalam pengelolaan koperasi tidak menutup kemungkinan pengurus koperasi melakukan tindakan yang melampaui anggaran dasar oleh karena pengurus koperasi bertanggung jawab penuh atas pengurusan koperasi sehingga memiliki peluang untuk melakukannya. Tindakan melampaui anggaran dasar ini serupa dengan ultra vires

yang pada umumnya dikenal dalam lingkup Perseroan Terbatas dan dapat merugikan pihak ketiga yang berperan dalam menunjang kelangsungan usaha koperasi. Oleh karena demikian pihak ketiga tersebut sangat membutuhkan perlindungan hukum, akan tetapi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasiaan tidak mengaturnya secara jelas. Bertumpu pada istilah ultra vires

tersebut maka yang menjadi persoalan adalah apakah tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar dapat dikatakan sebagai ultra vires dan bagaimana akibat hukum atas tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar tersebut ?

Untuk mendapatkan jawaban dan menguraikan masalah yang dibahas maka jenis penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis konsep hukum, dan pendekatan perbandingan. Bahan hukum yang dianalisis adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang pengumpulannya dilakukan dengan teknik studi dokumen ditunjang dengan data yang diperoleh melalui hasil wawancara dengan pihak-pihak yang berkompeten dalam bidang perkoperasiaan. Bahan-bahan hukum tersebut dianalisis dengan menggunakan teknik deskripsi, teknik evaluasi, teknik argumentasi, teknik konstruksi, dan teknik sistematisasi.

Hasil yang diperoleh adalah bahwa tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar dapat dikatakan sebagai ultra vires karena istilah ultra vires sering disebut sebagai doktrin dimana konsekuensi dari doktrin adalah menciptakan dasar-dasar yang sifatnya umum sehingga dengan demikian konsep ultra vires dikenal pula dalam lingkup badan hukum koperasi disamping dikenal secara umum dalam lingkup badan hukum Perseroan Terbatas. Kemudian akibat hukum dari tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar adalah rapat anggota dapat melakukan ratifikasi atas tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar dengan catatan tindakan melampaui anggaran dasar yang diratifikasi tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan kebiasaan yang terjadi dalam praktek dunia usaha. Langkah ratifikasi ini didukung dengan upaya pemberian ganti rugi yang dikenal dengan substitution.

Kata Kunci : Akibat Hukum, Pengurus Koperasi, Tindakan Melampaui Anggaran Dasar


(14)

xiv

formation of cooperative into an international movement. In discourse of world economic system the cooperative declared as third way, cooperative is functioned as a economic system that serves as a mediator between capitalism and socalism economic system.

The cooperative administrator can act beyond the scope of powers by charter or laws of cooperative because hold full responsible cooperative management. That act is similar with ultra vires commonly known in corporate limited veil. Ultra vires may damage to the third party that hold significant role for the business of the cooperative. There is no clear and specific certain provisions concerning ultra vires in Indonesia Cooperative Act (Act of 1992 Number 25 about Cooperative). Therefore its legal problems emerged are about the terminology of cooperative administrator act that beyond the scope of powers and remedial means for the third party’s damages.

This research is designed as a normative legal research that employs three kind approach namely the statute approach, the analitical and conceptual approach, and the comparative approach. The legal materials are collected through the library research and support by interview with the parties that competent in cooperative. The legal materials also employs five kind technic of legal analysis like description, evaluation, argumentation, construction and systematization technic.

Beyond the scope of powers by charter or laws of cooperative act that did by cooperative administrator can be defined as ultra vires act because ultra vires terminology is known as doctrine which consequention the doctrine is invent common based so that the ultra vires concept is also known in cooperative legal entity beside in limited corporate legal entity and meeting members can ratificate that act according not against the statute, decency, and custom in exertion practice. The ratification can be implemented through the process of substitutions.

Key Words : Legal Result, Cooperative Administrator, Beyond the Scope of Powers by Charter or Laws of Cooperative


(15)

1

1.1 Latar Belakang

Sejarah koperasi di Indonesia tidak dapat terlepas dari sejarah koperasi di dunia. Sejarah lahirnya koperasi di dunia untuk pertama kalinya disebabkan oleh karena bergulirnya Revolusi Industri di Inggris. Revolusi Industri di Inggris sebenarnya dimulai bukan pada saat terjadi penemuan mesin industri pertama kali, yaitu mesin pintal oleh R. Hargreaves pada tahun 1764 melainkan telah dimulai dalam bentuk pemikiran-pemikiran yang mendalam dan kegiatan-kegiatan ilmiah di bidang teknik dan perekonomian yang dilakukan pada abad ke-16 dan abad ke-17.

Khusus pembahasan pemikiran-pemikiran dan kegiatan-kegiatan ilmiah di bidang perekonomian bahwa pemikiran-pemikiran dan kegiatan-kegiatan ilmiah di bidang perkonomian tersebut termasuk pula mencakup gagasan dasar berkoperasi. Gagasan dasar berkoperasi tersebut untuk pertama kali dicetuskan dalam bentuk pamflet pada tahun 1759 di Inggris. Yang mencetuskan gagasan dasar berkoperasi tersebut adalah seorang keturunan Belanda, yang bernama Pieter Corneliszoon Plockboy dengan gagasan yang berjudul Self Supporting Colony dan seorang berkebangsaan Inggris, yang bernama John Beller dengan gagasan yang berjudul Society of Friends.


(16)

Pamflet tersebut berisi anjuran dan ajakan untuk menyatukan konsumen dan petani dalam satu perkumpulan dengan rasa secara sukarela, berdasarkan demokrasi, dengan persamaan derajat, self help1 dan

mutual aid2 dimana tujuannya yang utama pada waktu itu adalah untuk

meniadakan tengkulak. Pemikiran inilah yang merupakan benih untuk mewujudkan koperasi.

Tepat pada tanggal 12 Desember 1844, terdapat koperasi modern yang pertama kali didirikan dimana koperasi tersebut adalah koperasi Rochdale yang terletak di Inggris. Pendirian koperasi Rochdale tersebut diilhami oleh pemikiran Robert Owen. Walaupun pendirian koperasi Rochdale tersebut diilhami oleh pemikiran Robert Owen, koperasi Rochdale tidaklah diketuai oleh Robert Owen melainkan oleh Charles Howard. Lebih dari separuh pendiri koperasi Rochdale adalah penganut aliran sosialisme owen (Owenite Socialist) yang memiliki latar belakang berbeda-beda, diantaranya ada politikus, buruh, dan pemuka agama.

Para pendiri koperasi Rochdale tersebut berusaha untuk menyatukan ide-ide mereka ke dalam satu pemikiran yang utuh sehingga pemikiran inilah yang kemudian menjadi prinsip-prinsip atau sendi-sendi

1 Self help is the act of helping or improving yourself without relying on anyone else. Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia bahwa self help adalah tindakan untuk menolong diri sendiri tanpa melanggar kepentingan orang lain. Lihat Anonim, Tanpa Tahun, “Definisi Self

Help”, URL:http://m.artikata.com/arti-293960-selfhelp.html, diakses pada tanggal 31 Mei 2016. 2 Mutual aid is arrangements made between nations to assist each other. Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia mutual aid adalah persetujuan di antara bangsa-bangsa untuk memberikan pertolongan terhadap pihak-pihak yang membutuhkan pertolongan. Lihat

Anonim, Tanpa Tahun, “Mutual Aid”, URL:http://www.bahasaindonesia.net/mutual-aid, diakses pada tanggal 31 Mei 2016.


(17)

dasar koperasi.3 Prinsip-prinsip atau sendi-sendi dasar koperasi tersebut

diantaranya adalah koperasi sebagai landasan kegiatan usaha sebagai protes terhadap kemelaratan, ketidakadilan, dan terhadap tidak adanya kesamaan hak. Koperasi ini menumbuhkan kerja sama di antara sesama anggotanya sehingga tujuan utamanya adalah saling tolong menolong.

Selanjutnya pada tahun 1896 di London, Inggris terbentuklah

International Cooperative Alliance (selanjutnya disebut ICA) dimana dengan terbentuknya ICA tersebut maka koperasi telah menjadi suatu gerakan internasional. Dalam wacana sistem ekonomi dunia, koperasi disebut juga sebagai the third way atau jalan ketiga. Istilah the third way

tersebut dipopulerkan oleh seorang sosiolog Inggris, yaitu Anthony Giddens dimana Beliau menyatakan bahwa koperasi pada hakikatnya merupakan sistem ekonomi yang berkedudukan sebagai penengah antara sistem ekonomi kapitalisme4 dan sistem ekonomi sosialisme5.

Koperasi sebagai suatu sistem ekonomi bertujuan untuk memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada

3Ima Suwandi, 1982, Koperasi : Organisasi Ekonomi Yang Berwatak Sosial, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, h. 23

4 Sistem ekonomi Kapitalisme adalah sistem ekonomi yang percaya bahwa modal merupakan sumber utama untuk dapat menjalankan sistem ekonomi. Dengan demikian semua proses dalam kehidupan manusia bersumber dari pengelolaan modal baik itu modal milik perorangan, milik sekelompok masyarakat, maupun milik perusahaan-perusahaan swasta. Hal ini berarti dalam semua aktivitas kehidupan ekonomi membutuhkan modal. Dalam mengelola sumber-sumber ekonomi maka pemilik modal berupaya untuk mengakselerasi perkembangan modalnya dengan cara berusaha seefisien mungkin untuk mendapatkan keuntungan maksimal.

5 Sistem ekonomi Sosialisme adalah sistem ekonomi yang menegaskan bahwa modal merupakan milik bersama dari seluruh anggota masyarakat atau milik negara yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia. Kepemilikan bersama atas modal atau kepemilikan modal oleh negara tersebut dimaksudkan untuk tujuan meningkatkan kesejahteraan anggota masyarakat dengan cara bekerja sama sedangkan hasilnya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama dan distribusi hasil kerja tersebut berdasarkan atas prestasi kerja yang telah diberikan.


(18)

umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur. Hal ini sesuai dengan landasan konstitusionalitas Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945).

Mengingat sistem pemerintahan negara Indonesia yang ditegaskan UUD NRI 1945 yang antara lain disebutkan bahwa negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka dan pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), serta tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas)6, maka

bertumpu pada apa yang ditegaskan dalam UUD NRI 1945 tersebut makna adanya koperasi tercantum dalam ketentuan Pasal 33 ayat (1) UUD NRI 1945.

Dalam Pasal 33 ayat (1) UUD NRI 1945 tersebut disebutkan

bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan juga asas demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat sehingga dengan demikian kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran beberapa pihak.

Kemudian, dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasiaan

6 Sri Woelan Azis, 1981, Aspek-Aspek Hukum KUD Dalam Gerak Pelaksanaannya, Alumni, Bandung, h. 1.


(19)

(selanjutnya disebut UU Perkoperasian tahun 1992) dinyatakan bahwa koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.

Merujuk pada bunyi ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Perkoperasiaan tahun 1992 tersebut bahwa koperasi berperan sebagai badan usaha yang berperan untuk memperbaiki tingkat kehidupan ekonomi orang-orang yang ekomoninya lemah dimana dalam konteks ini koperasi menganut prinsip democratic member control.7 Prinsip ini meletakkan dasar bahwa

koperasi adalah organisasi demokratis yang dikontrol oleh anggotanya yang aktif berpartisipasi dalam merumuskan kebijakan dan membuat keputusan.8

Jadi jelaslah, bahwa koperasi Indonesia adalah kumpulan dari orang-orang secara bersama-sama bergotong royong berdasarkan persamaan kerja untuk memajukan kepentingan perekonomian anggota dan masyarakat umum.9 Berarti koperasi benar-benar merupakan

pendemokrasian yang harus menjamin bahwa koperasi adalah milik anggota sendiri dan diatur sesuai keinginan para anggota karena hak tertinggi dalam koperasi ditentukan oleh rapat anggota. Oleh karena

7Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar dan Nanda Maulisa Benemay, 2005, Hukum Koperasi Indonesia, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 23.

8 Ibid.

9 Arifinal Chaniago, Tanpa Tahun, Pendidikan Perkoperasiaan Indonesia, Cet. II, Angkasa, Bandung, h. 15.


(20)

demikian, dalam menjalankan usahanya koperasi Indonesia tidak boleh meninggalkan asasnya, yaitu asas kekeluargaan dan asas gotong royong.10

Dalam Pasal 7 UU Perkoperasiaan tahun 1992 disebutkan bahwa

“Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan dengan akta pendirian yang memuat Anggaran Dasar”. Anggaran dasar

adalah keseluruhan aturan yang mengatur secara langsung kehidupan koperasi dan hubungan antara koperasi dengan para anggotanya.11 Dalam

batas-batas yang diberikan berdasarkan undang-undang, anggaran dasar dapat dianggap sebagai peraturan intern koperasi yang mengikat alat perlengkapan (organ) koperasi dan para anggotanya.

Dalam ketentuan UU Perkoperasiaan tahun 1992 disebutkan juga ketentuan mengenai anggaran dasar. Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) UU Perkoperasiaan tahun 1992 memuat daftar nama pendiri, nama dan tempat kedudukan, maksud dan tujuan serta bidang usaha, ketentuan mengenai keanggotaan, ketentuan mengenai pengelolaan, ketentuan mengenai permodalan, ketentuan mengenai jangka waktu berdirinya, ketentuan mengenai pembagaian sisa hasil usaha, dan ketentuan mengenai sanksi.12

Dalam pengelolaan koperasi, tidak menutup kemungkinan pengurus koperasi melakukan tindakan-tindakan yang digolongkan sebagai tindakan yang melampaui anggaran dasar. Hal tersebut disebabkan

10 Sagimun MD, 1983, Koperasi Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tanpa Kota Penerbit, h. 57.

11 Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Koperasi, Alumni, Bandung, h. 40.

12 Suhardi, Moh. Taufik Makarao, dan Fauziah, 2012, Hukum Koperasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Cet. I, Kademia, Jakarta, h. 39-40.


(21)

karena pengurus merupakan organ koperasi yang bertanggung jawab secara penuh dalam melakukan pengelolaan usaha koperasi. Tindakan melampaui anggaran dasar tersebut sejenis dengan tindakan ultra vires

yang pada umumnya dikenal dalam lingkup badan hukum Perseroan Terbatas.

Sebenarnya istilah ultra vires ini pada awalnya dikenal dalam sistem hukum common law. Hal ini tercermin dalam kasus Ashbury Railway Carriage and Iron Company, Limited v. Riche yang terjadi di Inggris.13 Pada kasus tersebut, anggaran dasar (memorandum of

association) Ashbury Railway Carriage and Iron Company, Limited v. Riche yang didirikan berdasarkan Company Act 1862 menyebutkan bahwa perusahaan Ashbury Railway Carriage and Iron Company tersebut adalah perusahaan yang menjalankan usaha dalam bidang pembuatan dan penjualan gerbong barang dan gerbong penumpang, meminjamkan dan atau menyewakan gerbong barang dan gerbong penumpang serta segala sesuatu yang berkaitan dengan bisnis pembuatan, penjualan, dan penyewaan gerbong.14

Merujuk pada anggaran dasar Ashbury Railway Carriage and Iron Company, Limited v. Riche tersebut, ternyata direksi perusahaan membuat kontrak dengan Hector Riche yang isinya antara lain untuk membiayai

13 Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, Cet. I, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 111.

14Johnny Ibrahim, 2011, “Doktrin Ultra Vires dan Konsekuensi Penerapannya Terhadap

Badan Hukum Privat”, Jurnal Dinamika Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Sudirman, Purwokerto, h. 245, URL: http://www.fh.unsoed.ac.id>fileku>JDHvol112011, diakses pada tanggal 23 November 2015.


(22)

pembangunan jaringan rel kereta api di Belgia. Dalam anggaran dasar tidak disebutkan mengenai pelaksanaan bisnis berupa pekerjaan kontraktor

mechanical engineering di negara luar sehingga The House Of Lords

dalam putusannya meletakkan dasar bahwa tindakan direksi tersebut dianggap ultra vires.15

Sesudah putusan tersebut, maka selanjutnya pelaksanaan konsep

ultra vires lebih diperlonggar. Seperti yang dikutip dari Raghvendra Singh Raghuvanshi16, dalam jurnalnya yang berjudul “Doctrin of Ultra Vires In

Company Law” mengemukakan bahwa :

“a company incorporated under the Company Act has power to carry out the object set out in the objects clause of its memorandum and also everything that is reasonably necesary to enable it to carry those objects”.

Hal tersebut menegaskan bahwa perusahaan memiliki kewenangan menjalankan apa yang diatur dalam anggaran dasar serta melakukan segala sesuatu yang mendukung tercapainya tujuan perusahaan.

Bertumpu pada istilah ultra vires tersebut memunculkan persoalan bahwa apakah tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar dapat dikatakan sebagai tindakan ultra vires dan bagaimana sikap

15 Ibid, sebagaimana yang disebutkan dalam putusan The House Of Lords yang menegaskan bahwa ultra vires is ought to be reasonable and not reasonable understood and applied and whatever may fairly be regarded as incidental to, or consequental upon, those things which the legislature has authorized, ought not to be held, by judicial construction, to be ultra vires.

16 Raghvendra Singh Raghuvanshi, 2009, “Doctrin of Ultra Vires In Company Law”, National Law Institute University Bhopal, India, h. 5, URL: http://apjlsg.com/article-aspx?c6b62, diakses pada tanggal 29 Mei 2016.


(23)

yang dapat diupayakan atas tindakan tersebut. Berdasarkan isu hukum tersebut, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan judul

“Akibat Hukum Tindakan Pengurus Koperasi yang Melampaui

Anggaran Dasar”. 1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, dapat diuraikan rumusan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimana konsep hukum tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar ?

2. Bagaimana akibat hukum dari tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar ?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup masalah sangat berkaitan dengan latar belakang masalah. Bahwa tujuan dari adanya rumusan masalah adalah menggambarkan luasnya cakupan lingkup masalah yang akan dilakukan penelitian serta dibuat untuk mengemukakan batas area penelitian. Pada umumnya, ruang lingkup masalah digunakan untuk membatasi pembahasan, yaitu hanya sebatas pada permasalahan yang sudah ditetapkan. Adapun ruang lingkup masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut.

1. Pada rumusan masalah pertama, ruang lingkup masalahnya adalah mengenai istilah hukum apa yang dapat digunakan untuk menyebut tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar. Dalam hal


(24)

untuk menyebut tindakan tersebut maka dilakukan studi perbandingan terhadap istilah ultra vires yang secara umum dikenal dalam lingkup badan hukum Perseroan Terbatas. Di samping itu, untuk memperdalam pengetahuan tentang ultra vires maka dilakukan pula studi perbandingan terhadap istilah perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) karena dua istilah tersebut memiliki kemiripan. Selain itu, dicari dasar hukum penerapan tindakan melampaui anggaran dasar yang tertuang dalam UU Perkoperasiaan tahun 1992 dan anggaran dasar dari salah satu koperasi, yaitu Koperasi Karangasem Membangun (selanjutnya disebut KKM).

2. Pada rumusan masalah kedua, ruang lingkup masalahnya adalah tindakan apa yang dapat diambil oleh rapat anggota atas tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar. Dalam hal ini, dilakukan studi perbandingan terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT tahun 2007) yang mencakup tindakan apa yang dapat diambil oleh Rapat Umum Pemegang Saham (selanjutnya disebut RUPS) atas tindakan direksi yang melampaui anggaran dasar yang kemudian diterapkan juga pada badan hukum koperasi. Digunakan pula Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) dan doktrin sebagai landasan untuk memberikan penegasan terhadap batas-batas tindakan yang dapat dilakukan atas tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar.


(25)

1.4 Orisinalitas Penelitian

Pencantuman orisinalitas penelitian dalam suatu karya ilmiah dimaksudkan sebagai upaya melakukan pemecahan masalah yang hendak diteliti belum pernah dipecahkan oleh peneliti terdahulu. Apabila permasalahannya mirip maka harus ditegaskan perbedaan penelitiannya dengan penelitian terdahulu. Adapun pembahasan karya ilmiah terdahulu tentang koperasi yang dijadikan sebagai pembanding dalam rangka upaya penunjukkan orisinalitas penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Skripsi atas nama Shinta Octavia, Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, penelitian pada

tahun 2012 dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Anggota

Koperasi Simpan Pinjam Atas Tindakan Melawan Hukum Di Bidang

Penghimpunan Dana Masyarakat Dan Pengelolaan Divestasi”.

Terdapat tiga rumusan masalah dalam penelitian tersebut.

1. Bagaimana pengaturan Peraturan Perundang-undangan terkait dengan perlindungan hukum bagi anggota koperasi simpan pinjam atas tindakan melawan hukum di bidang penghimpunan dana masyarakat dan pengelolaan investasi ?

2. Bagaimana peran pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap koperasi dalam menentukan rate bunga pada koperasi simpan pinjam pada saat ini ?

3. Apakah diperlukan pengawasan dari lembaga keuangan terkait dalam mengawasi dan mengatasi tindakan melawan hukum di


(26)

bidang penghimpunan dana masyarakat dan pengelolaan investasi terhadap anggota koperasi simpan pinjam ?

b. Skripsi atas nama M. Faruq Sulaiman, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, penelitian pada tahun 2012 dengan judul “Perbandingan Kedudukan dan Tanggung Jawab Hukum Pengurus Pada Koperasi dan Perseroan Terbatas (Studi

Kasus : Koperasi Komunika dan PT Bakrie Telecom Tbk)”. Terdapat

tiga rumusan masalah dalam penelitian tersebut.

1. Bagaimanakah karakteristik dan kedudukan pengurus koperasi dan perseroan terbatas dalam perannya sebagai pengurus dalam suatu badan usaha ?

2. Bagaimanakah tugas, wewenang, dan tanggung jawab hukum bagi pengurus koperasi dan perseroan terbatas serta hubungannya dengan pengembangan usaha di tengah persaingan di dunia bisnis ?

3. Bagaimanakah hubungan hirarkis antara kedudukan dan tanggung jawab hukum pengurus koperasi dan perseroan terbatas dengan organ atau perangkat organisasi dalam koperasi dan perseroan terbatas dalam praktek ?

c. Skripsi atas nama Andre Makadao, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado, penelitian pada tahun 2013

dengan judul “Aspek Hukum Pertanggungjawaban Pengurus Dalam Pengelolaan Keuangan dan Manajemen Koperasi”. Terdapat dua


(27)

1. Bagaimanakah ketentuan hukum mengenai pendirian koperasi ? 2. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban pengurus dalam

pengelolaan keuangan maupun manajemen koperasi ? 1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan rumusan kalimat yang menunjukkan adanya hasil yang diperoleh setelah penelitian selesai dilakukan. Rumusan tujuan mengungkapkan keinginan peneliti untuk memperoleh jawaban atas permasalahan penelitian yang diajukan. Tujuan penelitian dibedakan menjadi dua macam, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

Tujuan umum (het doel van het onderzoek) mengandung uraian secara garis besar tentang upaya peneliti dalam rangka pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma ilmu sebagai proses (science as a process) agar pembahasan mengenai bidang obyeknya masing-masing tidak pernah final dalam penggalian kebenarannya.17 Tujuan khusus (het

doel in het onderzoek) mengandung uraian tentang upaya peneliti membahas rumusan masalah yang terdapat dalam pembahasan rumusan permasalahan penelitian. Selanjutnya tujuan umum dan tujuan khusus tersebut akan dirumuskan sebagai berikut.

1.5.1 Tujuan umum

a. Agar dapat menunjang pendidikan dan pengetahuan masyarakat di bidang hukum, terutama dalam bidang hukum bisnis yang secara khusus membahas tentang koperasi ;

17 Universitas Udayana, 2013, Buku Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 75.


(28)

b. Agar dapat dijadikan referensi tambahan bagi mahasiswa-mahasiswa lain yang ingin melakukan penelitian seputar koperasi.

1.5.2 Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui konsep hukum tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar.

b. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum dari tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar.

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian merupakan dampak dari pencapaian tujuannya. Terdapat dua konsep manfaat penelitian, yaitu manfaat penelitian secara teoritis dan praktis. Selanjutnya akan dibahas lebih rinci mengenai manfaat teoritis dan praktis dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut.

1.6.1 Manfaat teoritis

a. Sebagai bentuk perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum, khususnya dalam ilmu hukum perdata dan hukum bisnis tentang koperasi ;

b. Menambah kepustakaan ilmu hukum, khususnya dalam ilmu hukum perdata dan hukum bisnis tentang koperasi.

1.6.2 Manfaat praktis

a. Diharapkan melalui penelitian ini dapat bermanfaat bagi instansi terkait sebagai bahan acuan untuk melakukan perubahan terhadap ketentuan perundang-undangan tentang koperasi agar terdapat uraian yang lebih rinci mengenai tindakan melampaui anggaran dasar.


(29)

b. Diharapkan melalui penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat, khususnya mahasiswa sebagai bahan bacaan yang dapat dijadikan referensi dalam melakukan penelitian mengenai koperasi.

1.7 Landasan Teoritis

Menurut Edgar Bodenheimer18, pada intinya konsep merupakan

suatu instrumen penting dan tidak dapat dihindari penggunaannya dalam rangka untuk memberikan solusi-solusi pemecahan masalah-masalah hukum. Edgar Bodenheimer19 pada intinya mengatakan pula bahwa tanpa

teknik pembatasan buah pikiran, kita tidak dapat berpikir secara jernih dan rasional ketika dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan hukum dan tanpa konsep pula kita tidak dapat menempatkan pikiran kita pada hukum dalam kata-kata dan berkomunikasi kepada orang lain dengan cara yang dimengerti. Oleh karena demikian, bertumpu pada pemaparan Edgar Bodenheimer mengenai konsep tersebut bahwa salah satu cara yang seringkali digunakan untuk menjelaskan konsep adalah memberi definisi.20

Dalam UU Perkoperasiaan tahun 1992 tidak terdapat definisi secara eksplisit tentang pembahasan tindakan melampaui anggaran dasar. Dalam ketentuan Pasal 30 ayat (2) huruf c UU Perkoperasiaan tahun 1992 disebutkan bahwa pengurus berwenang melakukan tindakan-tindakan dan

18 Edgar Bodenheimer, 1962, Jurisprudence, The Philosophy and Method of The Law, Harvard University Press, Cambridge-Massachusetts, h. 327 mengemukakan.... concepts are necessary and indispensable for the solutions of legal problems. Without circumscribed technical notions, we could not think clearly and rationally about legal questions. Without concepts, we could not put our thoughts on the law into words and communicate them to others in an intelligible fashion.

19 Ibid.

20 Putu Sudarma Sumadi, 2008, Pengantar Hukum Investasi, Cet. I, Pustaka Sutra, Bandung, h. 1.


(30)

upaya-upaya bagi kepentingan dan kemanfaatan koperasi sesuai dengan tanggung jawabnya dan keputusan-keputusan rapat anggota.

Berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (2) UU Perkoperasiaan tahun 1992 tersebut maka sebenarnya secara implisit UU Perkoperasiaan tahun 1992 mengatur bahwa pengurus koperasi tidak boleh melakukan tindakan di luar apa yang diamanatkan oleh UU Perkoperasiaan tahun 1992 dan anggaran dasar. Dikatakan tidak boleh melakukan tindakan di luar anggaran dasar karena atas dasar pertimbangan bahwa anggaran dasar

merupakan “undang-undang” dari sebuah koperasi dimana dalam penyusunannya berpedoman pada UU Perkoperasiaan tahun 1992. Status

“undang-undang” itu diperoleh setelah koperasi mendapat pengesahan badan hukum dari pemerintah.

Sehubungan dengan pengesahan badan hukum koperasi dilakukan oleh pemerintah maka yang menjadi persoalan adalah siapakah yang dimaksud dengan pemerintah ? Dalam UU Perkoperasiaan tahun 1992 tidak terdapat penjelasan mengenai siapakah yang dimaksud dengan pemerintah namun demikian bukan berarti tidak dapat dirumuskan siapa yang dimaksud dengan pemerintah tersebut.

Mengawali pembahasannya, dalam hal ini patut diketahui penjelasan Pasal 33 UUD NRI 1945 dimana dalam ketentuan penjelasan tersebut koperasi disebut sebagai soko guru perekonomian nasional. Hal ini berarti koperasi dapat diartikan sebagai pilar atau penyangga utama perekonomian. Dengan demikian koperasi diperankan dan difungsikan


(31)

sebagai pilar utama dalam sistem perekonomian nasional. Oleh karena demikian, maka pendirian koperasi harus diprioritaskan dan dipermudah dimana hal tersebut dapat dilakukan dengan cara pengesahan badan hukum koperasi cukup dilaksanakan oleh Gubernur, Bupati atau Walikota tempat badan hukum koperasi didirikan.

Dalam hal ini patut diketahui konsep wewenang. Seperti yang dikutip dari S.F Marbun21, wewenang mengandung arti kemampuan untuk

melakukan suatu tindakan hukum publik atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.

Secara teoritik, terdapat tiga cara untuk memperoleh wewenang pemerintahan yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Wewenang atribusi adalah wewenang pemerintah yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan dimana wewenang ini dapat didelegasikan atau dimandatkan.22

Wewenang delegasi adalah wewenang yang diperoleh dari badan atau organ pemerintahan yang lain. Wewenang delegasi merupakan pelimpahan dari wewenang atribusi yang diberikan oleh pemberi wewenang (delegans) kepada penerima wewenang (delegataris).23 Setelah terjadi pelimpahan

maka tanggung jawab beralih kepada delegataris dan bersifat tidak dapat

21 S.F Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h. 154-155.

22 Sadjijono, 2011, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, Cet. II, Laksbang, Yogyakarta, h. 66.

23 I Gusti Made Agus Mega Putra, 2016, “Kewenangan Komisi Aparatur Sipil Negara Dalam Proses Lelang Jabatan Terkait Sistem Merit Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

2014 Tentang Aparatur Sipil Negara”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Udayana Program Kekhususan Hukum Pemerintahan, Denpasar, h. 14.


(32)

ditarik kembali oleh delegans. Wewenang mandat adalah pelimpahan wewenang yang pada umumnya dalam hubungan rutin antara atasan dengan bawahannya.24 Setelah terjadi pelimpahan kepada penerima

mandat (mandataris), tanggung jawab tetap ada pada pemberi mandat (mandans) dan sewaktu-waktu dapat ditarik dan digunakan kembali oleh

mandans.

Patut ditinjau ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemerintahan Daerah tahun 2014). Dalam pasal tersebut diberikan definisi tentang tugas pembantuan, yaitu penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

Bahwa sebelum tanggal 8 April 2016 pengesahan badan hukum koperasi dilakukan oleh Gubernur, Bupati atau Walikota tempat badan hukum koperasi didirikan. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam huruf b poin menimbang Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor 123 tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan dalam Rangka Pengesahan

24I Gusti Made Triantaka, 2016, “Pengaturan Penetapan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang Batas Waktu Penetapannya Tidak Ditentukan oleh Peraturan Perundang-undangan”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Udayana Program Kekhususan Hukum Pemerintahan, Denpasar, h. 16.


(33)

Akta Pendirian, Perubahan Anggaran Dasar dan Pembubaran Koperasi Pada Propinsi dan Kabupaten/Kota dimana disebutkan :

bahwa untuk efektifitas dan efisiensi pemberian pelayanan pengesahan akta pendirian, perubahan anggaran dasar, dan pembubaran koperasi kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada huruf a, Menteri dapat melimpahkan wewenang tersebut kepada pejabat yang secara teknis bertanggung jawab dalam bidang perkoperasiaan di tingkat Propinsi/DI dan Kabupaten/Kota

Kemudian dalam poin memutuskan bagian pertama dan kedua disebutkan sebagai berikut.

Pertama : Menunjuk Gubernur sebagai pejabat yang berwenang untuk dan atas nama Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah sebagai penyelenggara tugas pembantuan dalam rangka pengesahan akta pendirian, perubahan anggaran dasar dan pembubaran koperasi primer dan koperasi sekunder yang anggotanya berdomisili lebih dari satu Kabupaten/Kota dalam wilayah Propinsi/DI yang bersangkutan.

Kedua : Menunjuk Bupati/Walikota sebagai pejabat yang berwenang untuk dan atas nama Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah sebagai penyelenggara tugas pembantuan dalam rangka pengesahan akta pendirian, perubahan anggaran dasar dan pembubaran koperasi primer dan koperasi sekunder yang anggotanya berdomisili di wilayah Kabupetan/Kota yang bersangkutan.

Dengan bertumpu pada ketentuan poin menimbang dan memutuskan seperti yang telah disebutkan di atas dapat dipetik makna bahwa Gubernur, Bupati atau Walikota mendapatkan pelimpahan wewenang dari Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia (selanjutnya disebut Menkop dan UKM RI) untuk melaksanakan tugas pembantuan dalam hal memberikan pengesahan badan hukum koperasi. Apabila berpedoman pada cara-cara mendapatkan wewenang secara teoritik seperti yang telah dijelaskan sebelumnya maka


(34)

Gubernur, Bupati atau Walikota bertindak sebagai delegataris (penerima wewenang) dan Menkop dan UKM RI bertindak sebagai delegans

(pemberi wewenang).

Namun mulai tanggal 8 April 2016 sesuai dengan Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2015 tentang Kelembagaan Koperasi (selanjutnya disebut Peraturan Menkop dan UKM tentang Kelembagaan Koperasi tahun 2015), pengesahan badan hukum koperasi dilaksanakan oleh Menkop dan UKM RI. Dalam Pasal 45 Peraturan Menkop dan UKM tentang Kelembagaan Koperasi tahun 2015 disebutkan sebagai berikut.

(1) Menteri mendelegasikan pengesahan Akta Pendirian, Perubahan Anggaran Dasar, Penggabungan, Peleburan, Pembagian, dan Pembubaran Koperasi kepada Deputi Bidang Kelembagaan.

(2) Pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan sistem elektronik.

Bertumpu pada ketentuan pada Pasal 45 Peraturan Menkop dan UKM tentang Kelembagaan Koperasi tahun 2015 tersebut bahwa sudah jelas terlihat bahwa Deputi Bidang Kelembagaan diberikan pelimpahan wewenang (delegasi) oleh Menkop dan UKM RI untuk melakukan pengesahan badan hukum koperasi. Di samping itu, sesuai dengan Pasal 45 ayat (2) Peraturan Menkop dan UKM tentang Kelembagaan Koperasi tahun 2015 Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia bekerja sama dengan Ikatan Notaris Indonesia membuat suatu terobosan dalam pengesahan badan hukum koperasi


(35)

dimana pengesahan badan hukum koperasi dilakukan secara elektronik.25

Untuk memperoleh layanan elektronik tersebut, Notaris pembuat Akta Pendirian Koperasi yang sudah terdaftar di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia mengakses laman website sisminbhkop.id dengan melakukan registrasi secara online.

Selanjutnya adalah pembahasan mengenai konsep tindakan melampaui anggaran dasar. Konsep tindakan melampaui anggaran dasar dapat dibandingkan dengan istilah ultra vires. Bahwa ultra vires berasal dari bahasa latin yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai

“beyond the power” atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai

melampaui kewenangan.26 Pemahaman secara akademis tentang ultra vires

dapat ditinjau dari apa yang dikemukakan oleh I.P.M Ranuhandoko dimana Beliau menyebutkan bahwa ultra vires adalah bertindak melebihi wewenangnya.27 Disebutkan pula dalam Martin Basiang bahwa ultra vires

adalah tindakan yang dilakukan yang berada di luar wewenang yang diberikan.28

Kemudian seperti yang dikutip dari Johnny Ibrahim29, misalnya

dituliskan oleh Timothy Endicott, yaitu “ultra vires means beyond (the

25 Dina Ariyanti, 2016, “Pengesahan Akta Pendirian Koperasi Sekarang Bisa Lewat

Online”, URL:http://m.detik.com/finance/read/2016/04/15/123312/3188743/4/pengesahan-akta-pendirian-koperasi-sekarang-bisa-lewat-online, diakses pada tanggal 31 Mei 2016.

26 Johnny Ibrahim, op.cit, h. 243.

27I.P.M Ranuhandoko, 2008, Terminologi Hukum, Cet. V, Sinar Grafika, Jakarta, h. 522. 28 Martin Basiang, 2009, The Contemporary Law Dictionary, Cet. I, Red and White Publishing, Tanpa Kota Penerbit, h. 442.

29Johnny Ibrahim, loc.cit, dikutip dari Timothy Endicott, 2003, “Constitutional Logic”, University of Toronto Law Journal No. 53, h. 201.


(36)

agency) legal powers”. Kemudian, Frank Mack30 mengartikan ultra vires

sebagai berikut.

The term ultra vires in its proper sense act or transaction on the part of corporation which although not unlawfull or contrary to public policy if done or executed by an individual, is jet beyond the legitimate powers of the corporation as they are defined by the statute under which it is formed or which are applicable or by its charter or incorporation papers.

Black’s Law Dictionary mendefinisikan tentang ultra vires adalah sebagai berikut.

Unauthorized ; beyond the scope of power allowed or granted by a corporate charter or by law”31

Sehubungan dengan definisi ultra vires menurut Black’s Law Dictionary tersebut di atas bahwa dalam Black’s Law Dictionary disebutkan pula mengenai definisi extra vires yaitu see ultra vires. Oleh karena demikian maka tidak perlu untuk diperdebatkan antara ultra vires

dan extra vires karena dua istilah tersebut memiliki maknya yang sama, yaitu melampaui kewenangan.32

Secara klasik bahwa tindakan yang dilakukan melampaui maksud dan tujuan adalah batal dan tidak dapat dikuatkan atau disahkan. Hal tersebut berarti bahwa maksud dan tujuan menentukan batas kewenangan

30 Frank Mack, Tanpa Tahun, “The Law on Ultra Vires Acts and Contracts of Private

Corporations”, URL:http://epublications.marquette.edu/cgi/viewcontent.cgiarticle=4163, diakses pada tanggal 23 November 2015.

31 Bryan A. Garner et.al, (eds), 2009, Black’s Law Dictionary, Ninth Edition, Law Prose Inc, Dallas, Texas, h. 1662.


(37)

bertindak berbeda dengan prinsip fiduciary duty.33 Oleh karena demikian,

maksud dari ultra vires ini adalah bukan bertindak di luar kewenangannya tetapi bertindak di luar hal yang diperbolehkan oleh anggaran dasar berkenaan dengan maksud dan tujuan badan hukum yang dalam pembahasan ini adalah mencakup badan hukum perusahaan (koperasi).

Oleh karena berdasarkan ketentuan UU Perkoperasiaan tahun 1992, koperasi dinyatakan sebagai badan usaha yang berbadan hukum maka koperasi harus memenuhi syarat-syarat sebagai badan hukum. Menurut Meyers terdapat empat kriteria suatu badan usaha dapat dinyatakan sebagai badan hukum, yaitu sebagai berikut.

a. Terkumpulnya menjadi satu hak-hak subyektif untuk suatu tujuan tertentu dengan cara yang demikian sehingga kekayaan yang bertujuan itu dapat dijadikan obyek tuntutan hutang-hutang tertentu.

b. Harus ada kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum dan kepentingan yang dilindungi itu harus bukan kepentingan satu atau beberapa orang saja.

c. Meskipun kepentingan itu tak terletak pada orang-orang tertentu namun kepentingan itu harus stabil, artinya tak terikat pada suatu waktu yang pendek saja tetapi untuk jangka waktu yang lama.

d. Harus dapat ditunjukkan suatu harta kekayaan yang tersendiri yang tidak saja untuk obyek tuntutan tetapi juga yang dapat dianggap oleh hukum sebagai upaya pemeliharaan kepentingan-kepentingan tertentu yang terpisah dari kepentingan anggota-anggotanya.34

Merujuk pada doktrin dari Meyers tersebut maka salah satu dampak dari adanya tindakan melampaui anggaran dasar dari pengurus koperasi adalah dapat timbul tuntutan perdata yang diajukan oleh pihak-pihak yang dirugikan.

33 Dwi Suryahartati, Tanpa Tahun, “Doktrin Ultra Vires (Perspektif Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas)”, Jurnal Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, h. 118,URL:http//:www.online-journal.unja.ac.id, diakses pada tanggal 23 November 2015.


(38)

Pandangan tradisional tentang ultra vires pada prinsipnya memandang bahwa tindakan tersebut dapat menimbulkan akibat hukum, yaitu batal demi hukum (null and void). Oleh karena itu, berdasarkan pandangan tradisional ini maka tindakan ultra vires tersebut tidak dapat disahkan melalui rapat anggota. Pandangan secara tradisional juga menyediakan upaya-upaya hukum yang merupakan akibat hukum tindakan

ultra vires antara lain sebagai berikut.

a. Pihak kreditur mempunyai hak untuk membawa gugatan untuk memaksa perseroan untuk tidak melaksanakan kontrak ultra vires

tersebut jika kreditur dapat membuktikan bahwa dengan kontrak yang

ultra vires tersebut dapat mengakibatkan tidak cukupnya aset perseroan untuk membayar utang-utangnya,

b. Pihak perseroan dapat mengajukan gugatan terhadap direksi atau pejabat perseroan yang melakukan perbuatan yang tergolong ultra vires

tersebut,

c. Atas nama kepentingan umum, jaksa dapat melakukan gugatan yang disebut dengan action in quo warranto untuk membubarkan perseroan.35

.

Dalam perjalanan sejarahnya, konsep tradisional ultra vires

mengalami modifikasi. Hal ini terjadi sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan keadilan bagi pihak-pihak yang terlibat. Sebagai akibat dari modifikasi tersebut bahwa adanya tindakan ultra vires tidak selamanya mutlak tanggung jawab dari petugas yang melakukannya. Pandangan tersebut menunjukkan perkembangan doktrin ultra vires dari tradisional menuju ke arah yang luwes.


(39)

1.8 Metode Penelitian

Menurut Morris L. Cohen, “Legal Research is the process of

finding the law that governs activities in human society” dimana pendapat Morris L. Cohen tersebut diartikan bahwa penelitian hukum merupakan suatu kegiatan know how dalam ilmu hukum bukan sekadar know about.36

Sebagai kegiatan know how, penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dan di sinilah dibutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah hukum, melakukan penalaran hukum, menganalisis masalah yang dihadapi dan kemudian memberikan pemecahan masalah yang dihadapi.37

1.8.1 Jenis Penelitian

Penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan atas dasar adanya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian dalam skripsi ini didasarkan pada alasan apakah tindakan melampaui anggaran dasar oleh pengurus koperasi dapat dikatakan sebagai tindakan

ultra vires serta bagaimana sikap yang dapat diambil oleh rapat anggota atas tindakan melampaui anggaran dasar tersebut.

1.8.2 Jenis pendekatan

Penelitian hukum umumnya mengenal tujuh jenis pendekatan, yaitu pendekatan kasus (case approach), pendekatan perundang-undangan

36 Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Cet. VIII, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 57 dan 60, dikutip dari Morris L. Cohen & Kent C. Olson, 1992, Legal Research, West Publishing Company, St. Paul Minn, h. 1.


(40)

(statute approach), pendekatan fakta (fact approach), pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conceptual approach), pendekatan frasa (words and phrase approach), pendekatan sejarah (historical approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Dari tujuh jenis pendekatan dalam penelitian hukum tersebut maka jenis pendekatan dalam penelitian skripsi ini adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), pendekatan analisis konsep hukum (Analitical and Conceptual Approach), dan pendekatan perbandingan (Comparative Approach).

Statute Approach adalah pendekatan dengan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menyelesaikan isu hukum yang sedang dibahas akibat kekosongan atau kekaburan norma hukum. Dalam UU Perkoperasiaan tahun 1992 belum terdapat ketentuan mengenai perlindungan hukum kepada pihak ketiga atas tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar.

Analitical and Conceptual Approach adalah pendekatan dengan berdasarkan pada konsep-konsep hukum. Untuk menentukan konsep hukum tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar maka penulis melakukan analisis konsep ultra vires dan konsep perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) dalam rangka untuk memperdalam pembahasan.

Comparative Approach adalah pendekatan dengan tujuan untuk membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain dari suatu waktu tertentu dengan hukum dari waktu yang lain. Dalam hal ini,


(41)

dilakukan perbandingan terhadap konsep perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) yang berasal dari sistem hukum civil law dengan konsep ultra vires yang berasal dari sistem hukum common law. Di samping itu, digunakan pula UUPT tahun 2007 sebagai bahan perbandingan untuk menemukan upaya apa yang dapat diambil oleh RUPS atas tindakan direksi yang melampaui anggaran dasar dimana hal ini bertujuan agar dapat diperoleh jawaban terhadap upaya apa yang dapat diambil oleh rapat anggota atas tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar.

1.8.3 Sumber bahan hukum

Sumber bahan hukum terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri atas asas dan kaidah hukum dimana perwujudan asas dan kaidah hukum dapat berupa peraturan perundang-undangan dalam arti luas, Perjanjian Internasional, Konvensi Ketatangeraan, Putusan Pengadilan, Keputusan Tata Usaha Negara, dan Hukum Adat (tertulis dan tidak tertulis).

Bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa, kamus dan ensiklopedi hukum (beberapa penulis hukum menggolongkan kamus dan ensiklopedi hukum ke dalam bahan hukum tersier), dan internet dengan menyebut nama situsnya.

Penelitian pada skripsi ini menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dimana bahan hukum primernya terdiri dari UUD


(42)

NRI 1945, Undang-Undang Nomor 12 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasiaan, UU Perkoperasiaan tahun 1992, Undang-Undang Nomor Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1998, UUPT tahun 2007, UU Pemerintahan Daerah tahun 2014, Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 1994 tentang Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi, Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 46 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan, Peraturan Menkop dan UKM tentang Kelembagaan Koperasi tahun 2015 dan Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 19 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Rapat Anggota Koperasi. Kemudian, bahan hukum sekundernya terdiri dari buku-buku yang membahas mengenai koperasi, Perseroan Terbatas, dasar-dasar ilmu hukum, perjanjian, konsep wewenang, dan karya tulis hukum (skripsi). Juga digunakan kamus-kamus hukum (Oxford Dictionary of Law, Black’s Law Dictionary, dan The Contemporary Law Dictionary) dan Kamus Terjemahan Bahasa Inggris-Indonesia, doktrin atau pandangan para sarjana hukum sesuai dengan pembahasan permasalahan serta internet dengan menyebutkan secara jelas situsnya.

Di samping menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, penelitian pada skripsi ini juga menggunakan data penunjang untuk memperdalam pembahasan. Data penunjang dalam penelitian


(43)

normatif berupa hasil wawancara mendalam dari tokoh-tokoh kunci (key person) bidang hukum. Tokoh-tokoh kunci tersebut adalah pihak-pihak yang kompeten dalam bidang perkoperasiaan.

1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah teknik studi dokumen. Teknik studi dokumen dilakukan dengan cara mencari, menginventarisasi, dan mempelajari peraturan perundang-undangan yang terkait dan juga selain itu dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan hukum sekunder ditambah dengan data yang diperoleh melalui hasil wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan perkoperasiaan sebagai penunjang pembahasan masalah.

1.8.5 Teknik analisis bahan hukum

Dalam penelitian hukum, untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul terdapat beberapa teknik analisis bahan hukum. Teknik tersebut diantaranya adalah teknik deskripsi, teknik interpretasi, teknik konstruksi, teknik evaluasi, teknik argumentasi, dan teknik sistematisasi.

Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah teknik deskripsi, teknik evaluasi, teknik argumentasi, teknik konstruksi, dan teknik sistematisasi. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis dengan menguraikan apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. Teknik evaluasi adalah teknik berupa penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau


(44)

tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum sekunder. Teknik argumentasi adalah teknik atas dasar penilaian yang harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Teknik konstruksi adalah adalah teknik yang dilakukan dengan menggunakan analogi dan pembalikan proposisi. Teknik sistematisasi adalah teknik yang berupaya mencari hubungan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat.


(45)

2.1 Koperasi

2.1.1 Pemahaman koperasi secara umum

Secara etimologi, koperasi berasal dari bahasa Inggris dari kata co dan

operation. Co berarti bersama dan operation berarti bekerja sehingga

apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia maka cooperation berarti

bekerja bersama. Kemudian dalam bahasa Belanda disebut cooperatie

dimana berasal dari kata co yang berarti bersama dan operatie yang berarti

bekerja sehingga apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia

cooperatie berarti bekerja bersama. Oleh karena demikian maka apabila

dilafalkan dalam bahasa Indonesia menjadi koperasi.

2.1.2 Pengertian koperasi dan dasar hukum koperasi

Mengawali pembahasannya maka terlebih dahulu dibahas mengenai pengertian koperasi. Pada umumnya para ahli memberikan pengertian koperasi secara tersendiri sehingga oleh karena itu sulit untuk memahami pengertian koperasi. Akan tetapi dari setiap pengertian koperasi yang diberikan oleh para ahli tersebut terdapat kesamaan sehingga gambaran tentang adanya kesatuan di antara perbedaan-perbedaan tersebut akhirnya diperoleh juga. Beberapa pengertian tentang koperasi yang dijadikan rujukan di antaranya adalah pengertian tentang koperasi dari para ahli yaitu dari C.R Fay, H.E Erdman, Mohammad Hatta, dan Arifinal


(46)

Chaniago. Beberapa pengertian dari masing-masing ahli tersebut dikemukakan sebagai berikut.

1. C.R Fay dalam bukunya yang berjudul Cooperative at Home and Abroad mendefinisikan koperasi sebagai :

an association for the purpose of joint trading, originating among the weak and conducted always in unselfish spirit on such terms that all who are prepared to assume the duties of membership share in its rewards in proportion to the degree in which they make uses of their association

2. H.E Erdman dalam tulisannya yang berjudul Passing of Monopoli as an Aim of Cooperatives mengemukakan bahwa :

the cooperatives as a business corporation, is a legal person, distinct from its members and contionous to exist not with standing their outstanding individual debts or withdrawal. In contract to the ordinary corporation the cooperative serves only as an agent for its members of cooperative serve themselves. They are both owners and users of the services and a contractual arrangement requires all margins above the cost of operation to be returned to the members in the same proportion as their business with the cooperative

3. Mohammad Hatta mendefinisikan koperasi sebagai usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan tolong menolong, semangat tolong menolong tersebut didorong oleh keinginan memberi jasa kepada kawan berdasarkan seorang buat semua dan semua buat seorang.

4. Arifinal Chaniago mendefinisikan koperasi sebagai suatu perkupulan yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum yang memberikan kebebasan kepada anggota untuk masuk dan keluar dengan bekerja sama secara kekeluargaan menjalankan usaha untuk mempertinggi kesejahteraan jasmaniah para anggotanya.1

Setelah mengetahui pengertian koperasi dari para ahli maka selanjutnya adalah patut diketahui dasar hukum dari koperasi itu sendiri. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia, dasar hukum dari pengertian koperasi terdapat dalam Pasal 1 angka (1) UU Perkoperasiaan tahun 1992 dimana dalam pasal tersebut disebutkan bahwa koperasi adalah

1


(47)

badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.

Dengan bertumpu pada pendapat-pendapat para ahli dan ketentuan UU Perkoperasiaan tahun 1992 dapat dipetik makna bahwa koperasi adalah badan usaha bersama dimana usaha bersama tersebut menunjukkan semangat bekerja sama dalam kegotongroyongan dengan mengutamakan perserikatan (tidak sendiri-sendiri).

2.2 Sejarah Koperasi di Indonesia

Koperasi di Indonesia telah dikenal lebih dari setengah abad yang lalu. Sudah tentu koperasi yang pernah didirikan mengalami pasang surut dalam pelaksanaan usahanya. Dalam uraian berikut ini dilakukan tinjauan periodesasi sejarah koperasi di Indonesia. Dimulai dari periodesasi pada zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang, zaman pembangunan/kemerdekaan, zaman orde baru, dan zaman reformasi.

2.2.1 Zaman penjajahan Belanda

Cita-cita untuk mendirikan koperasi telah lama terkandung dalam pikiran bangsa Indonesia. Dalam kesulitan hidup yang serba dengan keputusasaan kemudian muncullah seseorang yang memberi semangat hidup oleh karena Beliau paham tentang jiwa rakyat yang sedang dilanda kemiskinan dan kebodohan. Seseorang tersebut adalah Raden Aria Wiriatmadja, yaitu seorang Patih dari Purwokerto, Jawa Tengah.


(48)

Patih Raden Aria Wiriatmadja merupakan orang Indonesia yang merupakan pelopor cikal bakal pembentukan embrio koperasi di Indonesia pada tahun 1896. Ide pembentukan embrio koperasi ini muncul akibat Beliau melihat nasib pegawainya yang selalu menjadi sasaran lintah darat dalam memenuhi kehidupan. Berdasarkan pada ide pembentukan embrio koperasi tersebut maka timbul pemikiran dari Patih Raden Aria Wiriatmadja membentuk Hulp en Spaar Bank (Bank Pertolongan dan

Tabungan) yang ditujukan untuk membantu pegawainya.

Bank ini mendapat bantuan dari seorang pejabat Belanda yang bernama E. Sieberg, seorang asisten Residen. Karena rajin dan tulus hatinya dalam menolong orang, Patih Raden Aria Wiraatmadja mendapat bantuan dari asisten Residen tersebut berupa bantuan uang sebanyak 4000 gulden untuk mengelola usaha bank tersebut.2

Pada gilirannya terjadi pergantian asisten Residen oleh De Wolff van Westerroode. Pada masa kepemimpinan De Wolff van Westerroode, justru diberikan dorongan untuk membantu mengembangkan usaha bank tadi menjadi Poerwokertosche Hulp, Spaar en Landbouwecrediet Bank

(Bank Penolong, Tabungan, dan Kredit Pertanian Purwokerto) dengan tujuan untuk membantu petani.3

Lambat laun, akhirnya pada tahun 1908 bertepatan dengan lahirnya gerakan Budi Oetomo, koperasi dikembangkan oleh para pendiri Budi Oetomo dimana koperasi yang dirintis adalah koperasi rumah tangga 2

A. Hanan Hardjasasmita, 1982, Sejarah Lahirnya Gerakan Koperasi Indonesia Dan Perkembangannya Sampai Dengan Awal Periode 80’an, Armico, Bandung, h. 22.

3


(49)

(koperasi konsumen). Sejak saat itulah masuknya pengaruh sendi-sendi dasar koperasi dari Rochdale ke Indonesia. Sendi dasar demokrasi dan sendi dasar kesamaan hak mulai dikenal dan diterapkan. Sekitar tahun 1912 sendi dasar tersebut dilaksanakan pula oleh organisasi Sarekat Islam yang kemudian mengubah nama menjadi Sarekat Dagang Islam pada tahun 1913. Namun, baik ikhtiar Budi Oetomo maupun Sarekat Islam belum menghasilkan koperasi yang semula diharapkan dan bahkan umurnya juga tidak panjang.

Koperasi yang lahir sebagai akibat gerakan Budi Oetomo dan Sarekat Dagang Islam tersebut tidak bertahan lama karena Pemerintah Hindia Belanda mengundangkan Staatsblaad Nomor 431 tahun 1915

(Verordening op de Cooperatieve) dimana dengan keluarnya Staatsblaad

tersebut menyulitkan penduduk pribumi. Hal-hal yang menyulitkan tersebut diantaranya adalah bahwa dalam pendirian koperasi harus mendapat izin Gubernur Jenderal, akta pendirian koperasi harus dibuat dengan perantaraan Notaris yang tentu saja memerlukan biaya yang tidak sedikit, akta pendirian koperasi harus ditulis dalam Bahasa Belanda, biaya materai sekurang-kurangnya 50 gulden, dan setelah koperasi didirikan harus diumumkan di Javasche Courant yang biayanya tinggi.4

Dengan adanya pengundangan Staatsblaad Nomor 431 tahun 1915

tersebut muncul reaksi dari pergerakan kaum nasional. Pada tahun 1920 akhirnya dibentuk sebuah panitia khusus yang disebut “Cooperatieve

4

Soeharto Djojosoempomo, 1964, Pola Koperasi Indonesia dan Perkembangannya, Sinar Asia, Yogyakarta, h. 48.


(50)

Commisie 1920” yang dibentuk atas dasar keputusan pemerintah tanggal

10 Juni 1920 dimana Cooperatieve Commisie 1920 tersebut diketuai oleh

Dr. H.J Boeke. Tugas dari panitia tersebut adalah untuk meneliti arti dan manfaat badan koperasi bagi masyarakat pribumi, cara-cara dan sarana-sarana yang dapat digunakan untuk mengembangkannya.

Hasil dari Cooperatieve Commisie 1920 tersebut adalah

diundangkannya Staatsblaad Nomor 91 tahun 1927. Isi dari Staatsblaad

Nomor 91 tahun 1927 tersebut adalah akta pendirian koperasi tidak perlu dibuat dengan perantaraan Notaris tetapi cukup didaftarkan pada Penasehat Urusan Kredit Rakyat dan Koperasi, akta pendirian dapat ditulis dalam bahasa daerah, ongkos materainya adalah 3 gulden, dan pendaftaran koperasi tidak mutlak diumumkan dalam Javasche Courant.

Dalam hal ini, dengan diundangkannya Staatsblaad Nomor 91

tahun 1927 pada intinya adalah menguatkan sikap pemerintah yang melihat koperasi sebagai sarana yang tepat untuk memajukan rakyat, menjadikan landasan yang kuat untuk penerbitan peraturan perkoperasiaan bagi masyarakat pribumi dan pembentukan organisasi yang mengurus soal koperasi, mendorong pemerintah untuk terlibat secara aktif dalam pembentukan dan pengembangan perkumpulan koperasi, serta pertumbuhan koperasi diserahkan kepada masyarakat.

2.2.2 Zaman penjajahan Jepang

Zaman penjajahan Jepang yang dimulai pada bulan Maret tahun 1942, koperasi berubah kedudukan dan perannya dari gerakan rakyat yang


(51)

pada prinsipnya memiliki otonomi menjadi alat pemerintah penjajah. Kehidupan koperasi mengalami masa suram dan tidak banyak yang diketahui tentang koperasi pada masa itu. Koperasi dibentuk di hampir seluruh wilayah kecamatan di Jawa dan Madura serta ditugaskan untuk mendistribusikan barang-barang pemerintah kepada rakyat dan mengumpulkan hasil bumi bagi tentara Jepang.5

Meskipun masa penjajahan Jepang jauh lebih pendek dibandingkan dengan masa penjajahan Belanda, namun pengaruhnya terhadap pertumbuhan perkoperasiaan di Indonesia sangat besar. Pada zaman penjajahan Jepang ini terbukti bahwa pertumbuhan koperasi tidak dapat dipaksakan karena paksaan itu bertentangan dengan jiwa dan prinsip koperasi, yaitu asas sukarela.6 Ruang gerak koperasi terbatas karena rapat anggota koperasi tidak dapat mengambil keputusan sesuai dengan keinginannya tetapi harus sesuai dengan kehendak tentara Jepang. Pembatasan lainnya adalah bahwa pendirian koperasi harus mendapat izin dari Residen sebagai penguasa setempat.

Peraturan perkoperasiaan yang berlaku pada zaman penjajahan Jepang adalah masih tetap pada Staatsblaad Nomor 91 Tahun 1927 karena

dianggap tidak bertentangan dengan pemerintah Jepang. Setelah pemerintah Jepang menyadari potensi koperasi untuk mempengaruhi rakyat maka pemerintah pun membantu pertumbuhannya. Tetapi banyak rakyat yang belum memahami tentang adanya koperasi dan prinsip-5

A. Hanan Hardjasasmita, op.cit, h. 22.

6

H.R.A Rivai Wirasasmita, N. Kusno, dan Erna Herlinawaty Y, 1999, Manajemen Koperasi, Pionir Jaya, Bandung, h. 10.


(52)

prinsipnya sehingga banyak yang menjadi anggota koperasi bukan karena kesadaran tetapi adanya keinginan untuk memperoleh jatah dari pemerintahan Jepang.

Oleh karena demikian, maka banyak pihak yang cenderung mengatakan bahwa pada zaman penjajahan Jepang tidak berlaku sendi-sendi dasar koperasi dan dalam hal ini tentunya koperasi pada zaman penjajahan Jepang kehilangan identitasnya sebagai kelembagaan yang memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

2.2.3 Zaman pembangunan atau kemerdekaan

Setelah masa penjajahan Jepang berakhir dan Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tahun 1945 maka terbukalah sejarah baru bagi bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat untuk melaksanakan pembangunan bangsa dengan kemampuan bangsa sendiri. Untuk mengisi kemerdekaan, dibuatlah landasan hukum yaitu Undang-Undang Dasar 1945 yang memuat tentang koperasi dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.

Atas prakarsa R. Soeriaatmadja yang diangkat menjadi Kepala Jawatan Koperasi yang pertama pada tahun 1946 bahwa pada tanggal 9 sampai dengan 12 Desember 1946 diselenggarakan Konferensi Jawatan Koperasi dimana hadir Kepala-Kepala Jawatan Koperasi keresidenan dan kabupaten seluruh Jawa dan Madura sebanyak 75 orang. Hadir pula Wakil Presiden Drs. Mohamad Hatta yang menyampaikan sambutan yang pada dasarnya menyatakan antara lain sebagai berikut.


(1)

Rapat anggota memiliki kewenangan tertinggi pada perangkat organisasi koperasi karena rapat anggota memiliki kewenangan untuk menetapkan anggaran dasar, kebijaksanaan umum di bidang organisasi, manajemen, dan usaha koperasi. Kewenangan lainnya adalah melakukan pemilihan, pengangkatan, pemberhentian pengurus dan pengawas, rencana kerja, rencana anggaran dan pendapatan belanja koperasi.

Pengambilan keputusan dalam rapat anggota dilakukan dengan berbagai ketentuan, yaitu keputusan rapat anggota diambil berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila tidak diperoleh dengan musyawarah maka pengambilan keputusan dilakukan dengan berdasarkan suara terbanyak.

Dalam hal dilakukan pemungutan suara, setiap anggota memiliki hak satu suara dan hak suara dalam koperasi sekunder yang dapat diatur dalam anggaran dasar dengan mempertimbangkan jumlah anggota dan jasa usaha koperasi secara berimbang. Di samping itu, rapat anggota berhak untuk meminta pertanggung jawaban pengurus dan pengawas koperasi dalam pengelolaan koperasi.

Selain melaksanakan rapat anggota yang dilakukan paling sedikit satu tahun tersebut, koperasi dapat juga melakukan rapat anggota luar biasa. Koperasi dapat melakukan rapat anggota luar biasa apabila keadaan mengharuskan adanya keputusan segera yang wewenangnya ada pada rapat anggota. Rapat anggota luar biasa dapat dilakukan atas permintaan


(2)

sejumlah anggota koperasi atau atas keputusan pengurus yang pelaksanannya diatur dalam anggaran dasar.

2. Pengurus

Pengurus merupakan perangkat organisasi koperasi setingkat di bawah kekuasaan rapat anggota.14 Pengurus memiliki peran dalam mengelola dan mengembangkan koperasi. Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU Perkoperasiaan tahun 1992 disebutkan bahwa pengurus merupakan pemegang kuasa rapat anggota.

Pengurus koperasi terdiri dari ketua, sekretaris, dan bendahara. Ketua koperasi bertugas memimpin dan mengawasi tugas anggota pengurus, memberikan pertanggung jawaban pelaksanaan tugas kepada rapat anggota, memimpin rapat anggota serta menandatangani buku daftar anggota dan pengurus. Sekretaris bertugas memelihara buku-buku organisasi, bertanggung jawab dalam bidang administrasi, menyelenggarakan notulen rapat, serta menyusun laporan organisasi. Bendahara bertugas mengurus keuangan, mengawasi pengeluaran agar tidak melampaui anggaran belanja serta membimbing dan mengawasi pekerjaan pemegang kas.

Pengurus koperasi dipilih dari dan oleh anggota dalam suatu rapat anggota untuk masa jabatan selama 5 tahun dengan kemungkinan dapat dipilih kembali. Sedangkan bagi koperasi yang beranggotakan

badan-14

R.T Sutantya Rahardja Hadhikusuma, 2005, Hukum Koperasi Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 84-85.


(3)

badan hukum koperasi, pengurusnya dipilih dari anggota-anggota koperasi.

Persyaratan untuk dapat dipilih menjadi pengurus koperasi ditetapkan dalam anggaran dasar koperasi. Biasanya syarat-syarat tersebut sesuai dengan jenis koperasi dimana pengurus itu akan memimpinnya, yaitu sebagai berikut.

a. Harus turut ambil bagian dalam usaha koperasi serta telah memenuhi kewajiban dalam koperasi seperti membayar simpanan pokok dan telah memiliki pengalaman dalam usaha koperasi

b. Harus menyediakan waktu untuk menghadiri rapat pengurus serta turut mengeluarkan pendapat yang berguna demi kemajuan para anggota c. Harus mengerti dan memiliki pengalaman tentang organisasi koperasi

serta aktif memperhatikan kerapian organisasi koperasi

d. Harus bersedia mendengar usul-usul atau keberatan dari pihak anggota guna kebaikan bersama serta membicarakan hal itu dalam rapat pengurus

e. Harus menghargai pendapat sesama anggota walaupun tidak selalu sama sebelum mengambil keputusan

f. Harus mematuhi keputusan rapat pengurus dan tidak dibenarkan menjalankan kemauannya sendiri-sendiri

g. Harus mempunyai sifat terbuka dan mau menerima kemajuan-kemajuan tekonologi baru dan penemuan-penemuan ke arah pembaharuan15

Kemudian, wewenang pengurus dengan berdasarkan pada ketentuan Pasal 30 ayat (2) UU Perkoperasiaan tahun 1992 adalah mewakili koperasi di luar dan di dalam pengadilan, memutuskan penerimaan dan penolakan anggota baru serta pemberhentian anggota sesuai ketentuan anggaran dasar, melakukan tindakan dan upaya bagi pengembangan koperasi sesuai dengan tanggung jawabnya dan keputusan rapat anggota.

15


(4)

Untuk mewujudkan profesionalisme dalam pengelolaan dan pengembangan usaha koperasi, pengurus diberi kuasa untuk mengangkat tenaga pengelola yang memiliki keahlian dalam mengelola usaha koperasi. Pengangkatan pengelola oleh pengurus ini harus mendapat persetujuan dari rapat anggota. Pengelola sebagai manajer ini diberi wewenang dan kuasa yang dimiliki pengurus yang besarnya ditentukan sesuai dengan kepentingan koperasi.

Pengelola sebagai manajer ini memiliki kewajiban memimpin pelaksanaan kegiatan usaha yang telah digariskan oleh pengurus, mengangkat dan/atau memberhentikan karyawan koperasi atas kuasa dan/atau persetujuan pengurus, membantu pengurus dalam menyusun anggaran belanja dan pendapatan koperasi, melaporkan secara teratur kepada pengurus tentang pelaksanaan tugas yang diberikan kepadanya dan dapat memberikan saran perbaikan serta peningkatan usaha koperasi.16 3. Pengawas

Pengawas juga merupakan perangkat organisasi koperasi yang berada setingkat di bawah rapat anggota. Anggota pengawas tidak dapat merangkap jabatan sebagai pengurus sebab kedudukan tugas pengawas adalah mengawasi pelaksanaan kepengurusan yang dilakukan oleh pengurus.

Berdasarkan ketentuan Pasal 38 ayat (1) UU Perkoperasiaan tahun 1992, pengawas koperasi dipilih dari dan oleh anggota koperasi dalam

16

Nindyo Pramono, 1986, Beberapa Aspek Koperasi Pada Umumnya dan Koperasi Indonesia di dalam Perkembangan, TPK Gunung Mulia, Yogyakarta, h. 131.


(5)

rapat anggota serta bertanggung jawab kepada rapat anggota. Dengan demikian, pengawas ini tidak dibenarkan diangkat dari orang di luar koperasi. Di samping itu, untuk dapat diangkat menjadi pengawas maka patut memiliki keterampilan kerja dan wawasan di bidang pengawasan, jujur, dan berdedikasi tinggi terhadap koperasi.

Kewenangan pengawas berdasarkan pada Pasal 39 ayat (2) UU Perkoperasiaan tahun 1992 adalah meneliti catatan yang ada pada koperasi serta mendapatkan segala keterangan yang diperlukan. Untuk dapat melaksanakan pemeriksaan/penelitian diperlukan keahlian khususnya dalam bidang pembukuan.17 Atas dasar pertimbangan ini, pengawas dapat meminta jasa bantuan audit kepada akuntan publik. Yang dimaksud dengan jasa bantuan audit adalah audit terhadap laporan keuangan maupun audit lainnya sesuai dengan keperluan koperasi.18

2.3.4 Sistem Pertanggung Jawaban Perangkat Organisasi Koperasi

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa rapat anggota merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam struktur perangkat organisasi koperasi. Rapat anggota merupakan perwujudan kehendak dari para anggota untuk membicarakan segala sesuatu yang menyangkut kehidupan koperasi. Dalam rapat anggota, anggota bebas untuk memberikan usul atau saran untuk kebaikan jalannya kehidupan koperasi.

Melalui rapat anggota, pengurus dan pengawas masing-masing memiliki tanggung jawab. Pengurus bertanggung jawab untuk melaporkan

17

Ima Suwandi, op.cit, h. 143. 18


(6)

hasil pelaksanaan pengelolaan koperasi kepada anggota dan pengawas bertanggung jawab untuk melaporkan hasil pemeriksaan pelaksanaan pengurusan koperasi oleh pengurus kepada anggota.

Apabila para anggota tidak berkeberatan dengan laporan pertanggung jawaban pengurus dan pengawas maka laporan pertanggung jawaban tersebut disahkan dalam rapat anggota. Di samping itu, dalam rapat anggota juga disahkan laporan keuangan tahun berjalan.

Dalam hal rapat anggota tidak mengesahkan laporan pertanggung jawaban pengurus dan pengawas maka dapat ditinjau saran dari anggota. Saran tersebut dapat berupa permintaan untuk dilakukan pengulangan audit pembukuan dan untuk itu maka dapat meminta jasa akuntan publik seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Apabila ternyata pengurus terbukti melakukan perbuatan yang secara material merugikan koperasi dengan atas dasar telah dilakukannya audit, maka hal tersebut harus dipertanggungjawabkan oleh pengurus. Hal ini berarti pula bahwa pengawas tidak melaksanakan tugas pengawasan dengan baik terhadap tindakan yang dilakukan pengurus dalam pengelolaan koperasi.