ANALISIS BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BELANJA DAERAH DI KABUPATEN SUMENEP.

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Jurusan Ekonomi Pembangunan

Oleh:

DEWI SINTANI ROHMAWATI

0711010037/FE/EP

Kepada

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN”

JAWA TIMUR


(2)

MEMPENGARUHI BELANJA DAERAH

DI KABUPATEN SUMENEP

SKRIPSI

Yang diajukan

DEWI SINTANI ROHMAWATI

0711010037/FE/EP

Telah disetujui untuk diseminarkan oleh:

Pembimbing Utama

Dr. Ignatia Martha, ME

Tanggal

: ………..

Mengetahui

Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan

Drs. Ec. Wiwin Priana, MT

NIP. 030 207 234


(3)

MEMPENGARUHI BELANJA DAERAH

DI KABUPATEN SUMENEP

Yang diajukan

DEWI SINTANI ROHMAWATI

0711010037/FE/EP

Telah diseminarkan dan disetujui untuk menyusun skripsi oleh:

Pembimbing Utama

Dr. Ignatia Martha, ME

Tanggal

: ………..

Mengetahui

Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan

Drs. Ec. Wiwin Priana, MT

NIP. 030 207 234


(4)

MEMPENGARUHI BELANJA DAERAH

DI KABUPATEN SUMENEP

Yang diajukan

DEWI SINTANI ROHMAWATI

0711010037/FE/EP

Disetujui untuk ujian skripsi oleh:

Pembimbing Utama

Dr. Ignatia Martha, ME

Tanggal

: ………..

Mengetahui

Pembantu Dekan I Fakultas Ekonomi

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”

Jawa Timur

Drs. Ec. Saiful Anwar, Msi

NIP. 030 194 437


(5)

Disusun oleh :

DEWI SINTANI ROHMAWATI

telah dipertahankan dihadapan

dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi

Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur

pada tanggal

Pembimbing :

Tim Penguji

Pembimbing utama

Ketua

Dr. Ignatia Martha, ME

Prof. Dr. H. Syamsul Huda, MT

Sekretaris

Dr. Ignatia Martha H. MSi

Anggota

Dr. Muchtolifah, SE, MP

Mengetahui

Dekan Fakultas Ekonomi

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur


(6)

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat

serta hidayah-Nya yang telah dilimpahkan sehingga peneliti bisa menyelesaikan

skripsi ini. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu kewajiban mahasiswa

untuk memenuhi tugas dan syarat akhir akademis di Perguruan Tinggi Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Fakultas Ekonomi khususnya

Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan. Dalam penyusunan skripsi ini peneliti

mengambil judul

“Analisis Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Belanja

Daerah di Kabupaten Sumenep”.

Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa didalam penyusunan skripsi ini

masih banyak kekurangannya. Hal ini disebabkan karena masih terbatasnya

kemampuan dan pengetahuan yang ada. Walaupun demikian berkat bantuan dan

bimbingan yang diterima dari Ibu Dr.Ignatia Martha Hendrati,ME selaku Dosen

Pembimbing Utama yang dengan penuh kesabaran telah mengarahkan dari awal

untuk memberikan bimbingan kepada peneliti, sehingga skripsi ini dapat tersusun

dan terselesaikan dengan baik.

Atas terselesainya skripsi ini, peneliti menyampaikan rasa hormat dan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1.

Bapak Prof. Dr. Ir. Teguh Soedarto, M.P, selaku Rektor Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.


(7)

Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran” Jawa Timur.

4.

Seluruh Staf Dosen dan Pengajar Jurusan Ilmu Studi Pembangunan,

yang telah memberikan bekal Ilmu Pengetahuan kepada penulis selama

menjadi mahasiswa di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”

Jawa Timur.

5.

Kedua orang tuaku tercinta, bapak dan ibu yang telah memberikan

segala kepercayaan kepada saya dan mendukung dengan sepenuh hati,

baik secara materiil maupun secara sepirituil.

6.

Aby (Faisol Falani) tersayang, buat dukungan dan perhatiannya

Thank’s for U.

Akhirnya, semoga penyusunan skripsi ini dapat bermanfaat bagi

pembaca, baik sebagai bahan kajian maupun sebagai salah satu sumber

informasi dan bagi pihak lain yang membutuhkan.

Wasalamu’alaikum Wr. Wb.

Surabaya, 27 Mei 2011


(8)

KATA PENGANTAR

...

i

DAFTAR ISI

...

iii

DAFTAR TABEL

...

vi

DAFTAR GAMBAR

...

vii

DAFTAR LAMPIRAN

... viii

ABSTRAKSI

...

ix

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang ...

1

1.2

Perumusan Masalah ...

8

1.3

Tujuan Penelitian ...

8

1.4

Manfaat Penelitian ...

9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu ...

10

2.2 Landasan Teori ...

15

2.2.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ...

14

2.2.1.1 Pengertian PDRB...

14

2.2.1.2 Kegunaan Statistik PDRB ...

15

2.2.1.3 Metode Pendekatan ...

16


(9)

2.2.1.7 Teori Keynesian (Harod-Domar) ... 28

2.2.2 Pendapatan Asli Daerah (PAD) ...

32

2.2.2.1 Pengertian Pendapatan Asli Daerah ...

32

2.2.2.2 Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah ...

32

2.2.3 Belanja Daerah ...

36

2.3 Kerangka Pemikiran ...

43

2.4 Hipotesis ...

45

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ...

47

3.2 Teknik Penentuan Sampel ...

48

3.3 Teknik Pengumpulan Data ...

48

3.3.1 Jenis Data ...

48

3.3.2 Sumber Data ...

49

3.3.3 Pengumpulan Data ...

49

3.4 Teknik Analisis dan Uji Hipotesis ...

50

3.4.1 Teknik Analisa Data ...

50


(10)

4.1.2

Kependudukan ...

61

4.2

Deskripsi Hasil Penelitian ...

62

4.2.1 Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto ...

63

4.2.2 Perkembangan Pajak Daerah...

64

4.2.3 Perkembangan Belanja Daerah ...

67

4.3

Analisis dan Pengujian Hipotesis ...

68

4.3.1 Analisis Asumsi Regresi Klasik (BLUE) ...

68

4.3.2 Analisis Regresi ...

72

4.3.3 Uji F (Kecocokan Model) ...

76

4.3.4 Uji Hipotesis Secara Parsial (Uji t) ...

78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ...

84

5.2 Saran ...

85

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN


(11)

Tabel 2 : Perkembangan Pajak Daerah Kabupaten Sumenep ... 65

Tabel 3 : Perkembangan Belanja Daerah Kabupaten Sumenep ... 67

Tabel 4 : Uji Multikolinieritas ... 71

Tabel 5 : Korelasi antara Variabel Bebas dengan Residual ... 72

Tabel 6 : Hasil Perhitungan Regresi Linier Berganda ... 73

Tabel 7 : Analisis Varian (ANOVA) ... 76

Tabel 8 : Hasil Analisis Variabel PDRB (X1), dan Pajak Daerah (X2), terhadap Belanja Daerah di Kabupaten Sumenep (Y) ... 79


(12)

Gambar 2 : Diagram Kerangka Pemikiran ... 43

Gambar 3 : Kurva Uji Hipotesis dengan Uji F ... 51

Gambar 4 : Kurva Uji Hipotesis dengan Uji t ... 53

Gambar 5 : Kurva Uji Durbin-Watson ... 56

Gambar 6 : Kurva Statistik Dubin-Watson ... 70

Gambar 7 : Daerah Penerimaan dan Penolakan Hipotesis ... 78

Gambar 8 : Kurva Penolakan dan Penerimaan Hipotesis Uji t untuk Variabel X1 ... 80

Gambar 9 : Kurva Penolakan dan Penerimaan Hipotesis Uji t untuk Variabel X2 ... 81


(13)

Lampiran 1 : Tabulasi Data

Belanja Daerah

(Y),

PDRB

(X

1

),

Pajak Daerah

(X

2

),

di Kabupaten Sumenep Tahun 1994-2009

Lampiran 2 :

Descriptive Statistics

Model Summary

b

Anova

b

Lampiran 3 :

Coefficients

a

Correlations

Nonparametric Correlations

Lampiran 4 : Tabel Pengujian Nilai F (

α

= 0,05)

Lampiran 5 : Tabel Pengujian Nilai t


(14)

Oleh:

Dewi Sintani Rohmawati

Abstraksi

Pemberian otonomi dan tanggung jawab yang lebih besar dari pemerintah

pusat kepada pemerintah daerah pada prinsipnya dimaksudkan untuk membantu

pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pemerintah pada umumnya. Disamping

itu, tujuan lain dari pemberian otonomi daerah adalah untuk mengurangi

ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat terutama dalam

masalah keuangan, sehingga daerah diharapkan mampu membiayai keuangannya

secara mandiri. Salah satu yang menjadi perhatian pemerintah daerah adalah

dalam pengelolaan penerimaan yang berasal dari daerah sendiri

.

Tujuan penelitian

yaitu untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel Produk Domestik

Regional Bruto (X1), Pajak Daerah (X2), terhadap Belanja Daerah. Alat analisis

yang digunakan yaitu regresi linier berganda dengan menggunakan data sekunder

selama 16 tahun.

Dari pengujian hipotesis dinyatakan bahwa secara Uji F (Uji Kecocokan

Model) variabel Produk Domestik Regional Bruto (X1), dan Pajak Daerah (X2),

berpengaruh positif (nyata) terhadap Belanja Daerah (Y), dengan F

hitung

=166,526

> F

tabe

l = 3,81 pada tingkat signifika

n (α) = 5% dengan derajat df

= (2;13). Dimana

Adjusted R Square 0,957 atau 95,7% sedang sisanya 4,3% [100% - 95,7%]

dijelaskan oleh variabel lain. Dari pengujian hipotesis dinyatakan variabel Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB) (X1) menunjukkan t

hitung

= 3,16 > t

table

= 2,160

maka variabel Produk Domestik Regional Bruto berpengaruh secara nyata

terhadap Belanja Daerah (Y). Pajak Daerah (X2) menunjukkan t

hitung

= 2,81 > t

table

= 2,160 maka variabel Pajak Daerah berpengaruh positif nyata terhadap

Belanja Daerah (Y).

Dari pengaruh kedua variabel bebas terhadap Belanja Daerah Kabupaten

Sumenep, yang terdiri dari tingkat Produk Domestik Regional Bruto (X

1

), dan

Pajak Daerah (X

2

), dapat dilihat dari koefisien determinasi yang paling besar,

dimana dalam perhitungan ditunjukkan oleh variabel tingkat Produk Domestik

Regional Bruto (PDRB) dengan koefisien determinasi (r

2

) sebesar 0,660

2

atau

sebesar 43,56%.


(15)

1.1. Latar Belakang

Pengelolaan (manajemen) pemerintah daerah mengalami perubahan yang sangat berarti sejalan dengan diimplementasikannya otonomi daerah. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah telah memberikan arti penting bagi sistem pemerintahan pusat dan daerah, serta sistem hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. (Undang-undang tersebut kemudian disempurnakan kembali dalam Undang-(Undang-undang No. 32 Tahun 2004 dan Undang-undang No. 33 Tahun 2004). Kedua ketentuan perundangan ini memberikan kesempatan yang sangat luas kepada pemerintah daerah, baik dalam penggalian maupun optimalisasi pemanfaatan berbagai potensi yang dimiliki (Adi dan Setyawan, 2008 : 1).

Otonomi daerah disatu sisi memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah, namun disisi lain memberikan implikasi tanggung jawab yang lebih besar bagi pemerintah daerah dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kemadirian untuk mengelola dan mengatur rumah tangganya sendiri akan terwujud dengan baik apabila terdapat dukungan (partisipasi) publik. Hal ini relatif akan dapat terwujud bila terjadi proses distribusi, baik pada kebutuhan masyarakat maupun


(16)

perolehan serta pembagian pendapatan untuk daerah dan masyarakat secara merata (Adi dan Setyawan, 2008 : 2).

Pemberian otonomi dan tanggung jawab yang lebih besar dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah pada prinsipnya dimaksudkan untuk membantu pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pemerintah pada umumnya. Disamping itu, tujuan lain dari pemberian otonomi daerah adalah untuk mengurangi ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat terutama dalam masalah keuangan, sehingga daerah diharapkan mampu membiayai keuangannya secara mandiri. Salah satu yang menjadi perhatian pemerintah daerah adalah dalam pengelolaan penerimaan yang berasal dari daerah sendiri (Masyuri, 2007 : 1).

Usaha untuk menggali sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan kewenangan harus didukung oleh potensi ekonomi yang dimiliki daerah sebagai basis PAD. Hal ini disebabkan karena kemampuan masyarakat untuk membayar pajak dan retribusi kepada daerah sangat tergantung kepada aktivitas ekonomi yang mereka lakukan. Semakin tinggi aktivitas ekonomi yang dilakukan, akan meningkatkan pendapatan yang mereka terima dan seiring dengan hal itu usaha daerah untuk meningkatkan PAD melalui pajak daerah dan retribusi daerah dapat ditingkatkan (Masyhuri, 2007 : 2).

Peran Pendapatan Asli Daerah (PAD) di dalam penerimaan Pemerintah Daerah Tingkat I seluruh Indonesia relatif sangat kecil untuk


(17)

dapat membiayai pembangunan daerah. Sedangkan menurut prinsip otonomi daerah penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah secara bertahap akan semakin dilimpahkan pada daerah. Usaha pemerintah untuk mengembangkan dan meningkatkan peranan dan kemampuan daerah dalam bidang ekonomi dan pengelolaan keuangan daerah ini, sebenarnya telah dicanangkan dan dimulai sejak pelita I. (Jaya, 1999) menyatakan bahwa sumber pembiayaan pembangunan yang penting untuk diperhatikan adalah penerimaan sendiri, karena sumber inilah yang merupakan wujud partisipasi langsung masyarakat suatu daerah dalam mendukung proses pembangunan. Penerimaan daerah sendiri merupakan wujud partisipasi masyarakat dalam bentuk pembayaran pajak dan retribusi daerah, harus mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, yang pada akhirnya akan menaikkan pendapatan daerah (Masyhuri, 2007 : 2).

Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dipandang sebagai satu strategi yang memiliki tujuan ganda. Pertama, pemberian otonomi daerah merupakan suatu strategi untuk merespon tuntutan masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of power, distribution of income, dan kemandirian sistem manajemen di daerah. Kedua, otonomi daerah dimaksudkan sebagai strategi untuk memperkuat perekonomian daerah dalam rangka memperkokoh perekonomian nasional untuk menghadapi era perekonomian bebas. Salah satu indikator turunnya ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat adalah meningkatkan


(18)

kemampuan daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan daerah, baik secara intensifikasi maupun ekstensifikasi sehingga daerah memiliki dana yang signifikan dalam rangka membiayai pembangunan daerah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam upaya peningkatan penerimaan daerah yang bersumber dari PAD sangat ditentukan oleh faktor ekonomi atau potensi ekonomi yang memiliki prospek untuk dikembangkan bagi setiap daerah. Sedangkan kemajuan ekonomi suatu daerah sangat tergantung pada upaya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dalam menyediakan fasilitas publik guna mendukung aktifitas ekonomi (Masyhuri, 2007 : 2-3).

Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita diproduksi dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita (Boediono, 1985). Pertumbuhan ekonomi yang dimaksudkan di sini adalah pertumbuhan ekonomi yang tercermin dari PDRB berdasarkan harga berlaku. Dalam produk domestik regional bruto PDRB Kabupaten/Kota Sumenep, menyebutkan 9 sektor-sektor ekonomi dalam PDRB antara lain; 1) Sektor Pertanian, 2) Sektor Pertambangan dan Penggalian; 3) Sektor Industri dan Pengolahan; 4) Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih; 5) Sektor Bangunan; 6) Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran; 7) Sektor Pengangkutan dan Komunikasi; 8) Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; 9) Sektor Jasa-jasa. Kebijakan otonomi daerah merupakan pendelegasian kewenangan yang disertai dengan penyerahan dan pengalihan pendanaan, sarana dan prasarana dan sumber daya manusia


(19)

(SDM) dalam kerangka desentralisasi fiskal. Dalam menghadapi desentralisasi fiskal menunjukkan bahwa potensi fiskal pemrintah daerah satu dengan daerah yang lain bisa jadi sangat beragam perbedaan ini pada gilirannya dsapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang beragam pula (Situngkir, 2009 : 1).

Menurut Prastiwi (2008 : 22) Di era otonomi daerah seperti saat ini kemandirian suatu daerah adalah tuntutan utama yang tak dapat dielakkan lagi. Kesiapan sumber daya pun harus dapat diatasi, mengingat kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam hal mengatur pemerintahan daerahnya masing-masing. Kemandirian yang dituntut tersebut adalah dimana daerah harus mampu mengatur dan mengelola segala bentuk penerimaan dan pembiayaannya tanpa harus tergantung kembali dengan pemerintah pusat seperti yang terjadi di era sebelum otonomi daerah direalisasikan. Untuk menjalankan kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintahan pusat tersebut, daerah memerlukan suatu instrumen kebijakan. Instrumen kebijakan yang paling utama bagi daerah adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD mempunyai peranan penting dalam perencanaan, implementasi, dan pengendalian kinerja pemerintah daerah dalam 1 (satu) periode. APBD memuat segala bentuk penerimaan dan pembiayaan daerah dalam bentuk moneter atau Rupiah. APBD seharusnya dapat mengakomodir seluruh kebutuhan-kebutuhan suatu daerah namun di sisi lain juga tidak membebani secara berlebihan daerah yang


(20)

bersangkutan. Untuk itu APBD harus disusun dengan memperhatikan aspek ekonomis, efisiensi, efektivitas (value for money).

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Anggaran sektor publik pemerintah daerah sebenarnya merupakan output

pengalokasian sumberdaya dan pengalokasian sumberdaya merupakan permasalahan yang mendasar dalam penganggaran sektor publik. Keterbatasan sumberdaya sebagai akar masalah utama dalam pengalokasian anggaran sektor publik dapat diatasi dengan pendekatan ilmu ekonomi melalui berbagai teori. Tuntutan untuk mengubah struktur belanja menjadi semakin kuat, khususnya pada daerah-daerah yang mengalami kapasitas fiskal rendah (Halim, 2001). Pergeseran komposisi belanja merupakan upaya logis yang dilakukan pemerintah daerah setempat dalam rangka meningkatkan tingkat kepercayaan publik. Pergesaran ini ditujukan untuk peningkatan investasi modal dalam bentuk aset tetap, yakni peralatan, bangunan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik, karena aset tetap yang dimiliki sebagai akibat adanya anggaran belanja modal merupakan prasyarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh pemerintah daerah. Selama ini belanja daerah lebih banyak digunakan untuk belanja rutin yang relatif kurang produktif. Saragih (2003) menyatakan bahwa pemanfaatan belanja hendaknya dialokasikan untuk hal-hal produktif, misal untuk melakukan aktivitas pembangunan (Situngkir, 2009 : 1).


(21)

Anggaran belanja merupakan salah satu instrument kebijakan fiskal yang ditempuh pemerintah untuk mempengaruhi perekonomian. Kebijakan fiskal bekerja mempengaruhi perekonomian melalui anggaran yang berfungsi sebagai alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Pada dasarnya kebijakan fiskal akan mentransfer tenaga beli masyarakat (berupa pajak, keuntungan, bea, dan/atau pinjaman) kepada pemerintah dan kemudian mentransfernya kembali kepada masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung, dan didistribusikan menurut pertimbangan tertentu. Kenyataan ini menunjukkan bahwa transfer berperan sangat strategis dalam mempengaruhi perekonomian daerah. Strategisnya pengaruh transfer tidak bisa dilepaskan dari interaksi antara penerimaan dengan alokasi belanjanya. Pada dasarnya dampak transfer sangat dipengaruhi berbagai faktor, diantaranya adalah pertama, sampai seberapa besar proporsi transfer dialokasikan untuk membiayai berbagai jenis belanjanya. Kedua, sampai seberapa besar jenis belanja tersebut dapat menstimulasi kegiatan ekonomi regional yang selanjutnya dapat diserap kembali dalam bentuk penerimaan dari daerah sendiri (Kuncoro, Haryo., 2007 : 195).

Agar tugas pemerintah yang diamanatkan oleh otonomi daerah dapat dilaksanakan dengan efesien dan efektif dibutuhkan sumber keuangan. Masalah keuangan daerah merupakan permasalahan yang esensial dan mendasar, termasuk bagi Pemerintah Kabupaten Sumenep. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, maupun dalam rangka pembangunan daerah Pemerintah Kabupaten Sumenep memerlukan dana


(22)

operasioanal. Berdasarkan fakta-fakta di atas, perlu diadakan penelitian bagaimana pengaruh dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan Pajak Daerah terhadap Belanja Daerah di Kabupaten Sumenep.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah yang timbul adalah :

1. Apakah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan Pajak Daerah berpengaruh terhadap Belanja Daerah di Kabupaten Sumenep?

2. Manakah kedua faktor yang paling dominan pengaruhnya terhadap Belanja Daerah di Kabupaten Sumenep?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan di atas maka tujuan yang hendak dicapai sehubungan dengan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui apakah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan Pajak Daerah berpengaruh terhadap Belanja Daerah di Kabupaten Sumenep.

2. Untuk mengetahui manakah diantara variabel Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan Pajak Daerah yang berpengaruh paling dominan terhadap Belanja Daerah di Kabupaten Sumenep.


(23)

1.4 Manfaat Penelitian

Apabila tujuan penelitian ini dapat dicapai, maka manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi Peneliti, Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai pelatihan intelektual, mengembangkan wawasan berfikir yang dilandasi konsep ilmiah khususnya Ilmu Ekonomi.

2. Bagi praktisi, Hasil peneliti ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah Kabupaten/Kota Sumenep dan dapat menjadi acuan dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. 3. Bagi akademik, Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk


(24)

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh pihak lain yang dapat dipakai sebagai bahan masukan dan bahan yang berkaitan dengan penelitian ini telah dilakukan oleh :

1. Prakosa, (2005 : 101), dengan judul penelitian “Analisis Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Prediksi Belanja Daerah”. Dalam penelitian ini Belanja Daerah (BD) sebagai variabel terikat (Y), dan variabel bebas (X) antara lain DAU sebagai (X1) dan PAD sebagai (X2). Metodelogi yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan sampel 40 kota/kabupaten yang ada di wilayah Propinsi Jawa Tengan dan DIY, sedangkan metode analisis yang digunakan yaitu simple regression dan multiple regression. Penelitian ini menjelaskan bahwa besarnya Belanja Daerah dipengaruhi oleh jumlah DAU yang diterima dari pemerintah pusat. Dari penelitian tersebut, menunjukan bahwa DAU dan PAD berpengaruh signifikan terhadap Belanja Daerah. Dalam model BJD, daya prediksi DAU terhadap BJD tetap lebih tinggi disbanding daya prediksi PAD. Hal ini menunjukan bahwa terjadi


(25)

2. Kusumadewi, dan Rahman Arif, (2007 ; 67), dengan judul penelitian “Flypaper Effect Pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Daerah Pada Kabupaten/Kota Di Indonesia”. Dalam penelitian ini Belanja Daerah (BD) sebagai variabel terikat (Y), dan variabel bebas (X) antara lain PAD sebagai (X1), Dana Alokasi Umum (X2). Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa PAD (X1) dan DAU (X2) secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Belanja Daerah (Y) dengan hasil Uji Hipotesa pengaruh DAU terhadap Belanja Daerah lebih kuat daripada pengaruh PAD terhadap Belanja Daerah. Ini membuktikan adanya Flypaper Effect dalam respon Pemda terhadap DAU dan PAD. Dalam penelitian ini menggunakan Analisis Regresi Berganda.

3. Setyawan, dan Adi, (2008 : 1), dengan judul penelitian “Pengaruh Fiscal Stress Terhadap Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah Dan Belanja Modal” penelitian ini menggunakan alat analisis regresi sederhana. Dalam penelitian ini Fiscal Stress sebagai variabel terikat (Y) dan Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah sebagai variabel bebas (X1), dan Pertumbuhan Belanja Modal (X2). Penelitian ini menjelaskan bahwa fiscal stress mempunyai pengaruh yang positif terhadap PAD. (purnaninthesa, 2006) menyatakan bahwa dalam kondisi fiscal stress yang tinggi daerah semakin termotivasi untuk meningkatkan PAD.dan (Dongori, 2006) memberikan fakta empirik bahwa fiscal stress mempunyai pengaruh yang negatif terhadap tingkat


(26)

ketergantungan daerah. Temuan lain dalam penelitian ini bahwa fiscal stress mempunyai pengaruh yang positif terhadap tingkat pertumbuhan belanja pembangunan/modal. (Andayani, 2004) menunjukkan adanya peningkatan belanja yang semakin tinggi pada saat fiscal stress semakin tinggi.

4. Sari, dan Yahya Idhar, (2009 : 1), dengan judul penelitian “ Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Langsung Pemerintah Kabupaten/Kota”. Dalam penelitian ini Belanja langsung sebagai variabel terikat (Y), sedangkan variabel bebasnya (X) meliputi Dana Alokasi Umum (X1), dan Pendapata Asli Daerah (X2). Penelitian ini menjelaskan PAD secara paesial tidak mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap belanja langsung. DAU dan PAD secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Belanja Langsung yang ditunjukkan oleh signifikasi F < 0,05. Penelitian ini menggunakan alat analisis SPSS dan regresi sederhana.

5. Ginting, (2009 : 1), Dengan judul penelitian “Pengalokasian Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dalam Belanja Pada Pemerintahan Kabupaten Karo”. Dalam penelitian ini variabel yang digunakan adalah Belanja Daerah Sebagai variabel terikat (Y), sedangkan variabel bebas (X1) adalah Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) variabel bebas (X2). Hasil penelitian ini adalah belanja, pendapatan dan pembiayaan


(27)

APBD Kabupaten Karo dari tahun 2005-2007 mengalami kenaikan. Sejak tahun 2005 mengalami kenaikan sebesar 171.3 % dan belanja tahun 2006 ke 2007 meningkat sebesar 126.7%. untuk pendapatan tahun 2005 ke 2006 meningkat sebesar 170.7%, sedangkan dari tahun 2006 ke 2007 mengalami kenaikan sebesar 124.8%. pembiayaan juga tidak jauh berbeda dari pendapatan dan belanja yaitu pada tahun 2005 ke 2006 naik sebesar 198.8%, sedangkan tahun 2006 ke 2007 meningkat sebesar 23.249.158.220. Apabila Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Karo mengalami defisit, hal ini disebabkan jumlah belanja daerah lebih besar dibanding jumlah pendapatan.

6. Pangabean, (2009 :1), dengan judul penelitian“Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Daerah Di Kabupaten Toba Samosir”.

Dalam penelitian ini variabel terikatnya (Y) Belanja Daerah, dan variabel bebasnya (X) adalah Pendapatan Asli Daerah dengan indikator Pajak Daerah, Retribusi, Pendapatan Daerah yang sah. Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi linier berganda. Dalam penelitian ini menjelaskan bahwa secara simultan, pajak daerah, retribusi daerah, dan pandapatan daerah yang sah berpengaruh positif dan nyata terhadap belanja daerah di kabupaten Toba Samosir. Secara parsial pajak daerah, retribusi daerah, dan pandapatan daerah yang sah berpengaruh positif dan nyata terhadap belanja daerah di kabupaten Toba Samosir. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa pajak daerah, retribusi daerah, dan pandapatan daerah yang sah


(28)

berpengaruh positif dan nyata terhadap belanja daerah di kabupaten Toba Samosir dapat diterima.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB 2.2.1.1 Pengertian PDRB

Kegiatan ekonomi secara umum dapat dikelompokkan ke dalam kegiatan memproduksi barang dan jasa. Unit-unit produksi memproduksi barang dan jasa, dan dari kegiatan memproduksi ini timbul pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang telah dimiliki oleh berbagai golongan dalam masyarakat, sehingga dari pendapatan ini masyarakat akan membeli barang dan jasa baik untuk keperluan konsumsi maupun investasi (Anonim, 2009 : 5).

Dengan demikian, maka nilai produk akhir dari barang dan jasa yang diproduksi (product) akan sama dengan pendapatan yang diterima oleh golongan-golongan dalam masyarakat (income), dan akan sama pula dengan jumlah pengeluaran oleh berbagai golongan dalam masyarakat (expenditure). Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dapat didefinisikan sebagai berikut:

1. Ditinjau dari segi produksi, merupakan jumlah nilai produk akhir atau nilai tambah dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit


(29)

produksi yang dimiliki oleh penduduk wilayah itu dalam jangka waktu tertentu.

2. Ditinjau dari segi pendapatan, merupakan jumlah pendapatan atau balas jasa yang diterima oleh faktor produksi yang dimiliki oleh penduduk wilayah itu yang ikut serta dalam proses produksi dalam jangka waktu tertentu.

3. Ditinjau dari segi pengeluaran/konsumsi, merupakan pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap perubahan stok dan ekspor neto.

2.2.1.2Kegunaan Statistik Produk domestik Regional Bruto

Kegunaan statistik produk domestik regional bruto antara lain (Anonim, 2009 : 8) :

1. Tingkat Pertumbuhan Ekonomi

Mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi regional baik secara menyeluruh maupun sektoral, dengan melihat persentase pertumbuhan PDRB atas harga konstan (tahun tertentu) dapat dilihat laju pertumbuhan ekonomi.

2. Tingkat Kemakmuran

Mengetahui tingkat kemakmuran daerah, baik tingkat pertumbuhan maupun tingkat kemakmuran dibanding dengan daerah lain, tingkat kemakmuran suatu wilayah biasanya diukur dengan besarnya pendapatan perkapita penduduknya. Tingkat kemakmuran ini tidak


(30)

akan mengalami perubahan (tak banyak berarti) apabila laju pertumbuhan penduduk lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonominya.

3. Tingkat Inflasi dan Deflasi

Mengetahui tingkat inflasi atau deflasi yang terjadi dalam waktu tertentu (tahunan), dengan membandingkan antara PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan (tahun tetentu), dapat diperoleh suatu indeks eksplisit yang bisa menggambarkan kenaikan atau penurunan harga barang dan jasa.

4. Struktur Perekonomian

Mengetahui gambaran perkonomian daerah, Produk Domestik Regional Bruto dapat digunakan sebagai indikator tentang komposisi struktur perekonomian suatu wilayah, yaitu dengan menyusun peranan masing-masing sektor / lapangan usaha.

5. Potensi Suatu Wilayah

Mengetahui potensi suatu daerah terhadap regional secara keseluruhan maupun sektoral. Dengan melihat peranan sektorial dalam suatu wilayah kabupaten atau peranan keseluruhan suatu wilayah terhadap Wilayah Provinsi, bisa diketahui potensi suatu wilayah.

2.2.1.3 Metode Pendekatan

Untuk melakukan perhitungan PDRB atau Pendapatan Regional ada empat metode yang dipakai, yaitu (Anonim, 2009 : 15):


(31)

1. Pendekatan Produksi (production approach)

Pendekatan dengan cara ini dilakukan untuk mendapatkan Nilai Tambah Bruto (Gross Value Added) atau disingkat NTB.

NTB = O – BA Dimana,

NTB = Nilai tambah dari suatu produksi barang atau jasa O = Nilai output suatu barang atau jasa

BA = Nilai biaya antara yang digunakan dalam proses produksi Perhitungan dengan pendekatan produksi ini biasanya digunakan untuk sektor pertanian, industri, gas, air minum, pertambangan dan sebagainya.

2. Pendekatan Pendapatan

Pendekatan dengan cara ini dapat dilakukan secara langsung menjumlahkan pendapatan, yaitu jumlah balas jasa faktor produksi yang berupa upah / gaji, bunga netto, sewa tanah dan keuntungan, sehingga diperoleh Produk Domestik Regional Neto atas dasar biaya faktor. Untuk memperoleh Produk Domestik Regional Neto atas dasar biaya faktor, harus ditambah dengan penyusutan dan pajak tak langsung neto.

3. Pendekatan Pengeluaran

Pendekatan ini digunakan untuk menghitung nilai barang dan jasa yang digunakan oleh berbagai golongan dalam masyarakat. Barang dan


(32)

jasa yang diproduksi akan digunakan untuk keperluan konsumsi, pembentukan modal (investasi) dan ekspor. Barang-barang yang digunakan ada yang berasal dari produksi dari dalam daerah dan yang berasal dari luar daerah / impor, maka yang di hitung hanya nilai barang dan jasa yang yang berasal dari domestik saja, maka komponen nilai biaya diatas perlu dikurangi dengan nilai impor sehingga komponen nilai ekspor diatas menjadi nilai ekspor netto.

Dalam perhitungan tersebut digunakan rumus sebagai berikut : PDRB = C + I + G ( X – M )

Dimana ;

C = Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga I = Pembentukan Modal Tetap

G = Pengeluaran Konsumsi Pemerintah X = Nilai Ekspor

M = Nilai Impor 4. Metode Alokasi

Metode alokasi ini merupakan metode pendekatan tidak langsung, yaitu dengan jalan mengalokasikan angka-angka secara terpusat dengan memakai indikator-indikator yang sekiranya dapat menunjukkan peranan cabang yang berada di daerah itu terhadap


(33)

kantor pusatnya. Indikator itu dapat berupa volume kerja, jumlah karyawan, jumlah penduduk dan lain-lain.

2.2.1.4. Struktur Pembentuk PDRB

Untuk dapat memberi gambaran sampai seberapa jauh peranan masing-masing sektor ekonomi memberikan andil dalam berproduksi, atau sampai seberapa jauh peranan faktor-faktor produksi berpatisipasi dalam proses produksi atau bagaimana komposisi penggunaan produk-produk yang dihasilkan tadi, maka biasanya PDRB disajikan dalam 3 bentuk, yaitu : PDRB menurut lapangan usaha (by industriil origins), PDRB menurut andilnya faktor-faktor produksi, PDRB menurut jenis penggunaan

(by type of expenditure) (Anonim, 2009 : 19): 1. PDRB Menurut Lapangan Usahanya

Penyajian dalam bentuk ini dapat memberikan gambaran tentang peranan masing-masing sektor dalam memberikan andilnya pada PDRB. Karena itu unit-unit produksi dikelompokkan ke dalam sektor-sektor antara lain (Anonim, 2009 : 19) :

1) Pertanian

2) Pertambangan dan Penggalian 3) Industri Pengolahan

4) Listrik,Gas dan Air bersih 5) Konstruksi

6) Perdagangan,Hotel dan Restoran 7) Pengangkutan dan Komunikasi


(34)

8) Keuangan,Persewaan dan Jasa Perusahan 9) Jasa-jasa

2. PDRB Menurut Andilnya Faktor-Faktor Produksi

Penyajian dalam bentuk ini dapat memberikan gambaran tentang peranan masing-masing faktor produksi dalam memberikan andilnya pada PDRB. Karena itu disajikan balas jasa yang diterima oleh masing-masing faktor produksi yaitu dalam bentuk (Anonim, 2009 : 20).

1) Upah / Gaji

Yang tercakup disini adalah balas jasa faktor produksi buruh/pegawai yang meliputi:

a. Upah / gaji baik berupa uang maupun barang sebelum dipotong pajak upah, dana pensiun, asuransi kesehatan;

b. Pembayaran yang berbentuk hadiah, premi, bonus dan segala macam tunjangan lainnya;

c. Social security contributon, meliputi pembayaran kontribusi yang dilakukan oleh pengusaha untuk keperluan pegawai-pegawainya, misalnya untuk dana asuransi, dana kesehatan dan dana pensiun dan sebagainya.

2) Pendapatan Perorangan

Pendapatan perorangan adalah pendapatan yang ditimbulkan oleh unit-unit produksi yang tidak berbentuk perusahaan, misalnya


(35)

petani-petani, dokter, pedagang kecil, tukang cukur dan sebagainya.

3) Sewa Tanah

Yang tercakup disini adalah pendapatan yang ditimbulkan oleh: a. Ikut sertanya faktor produksi tanah dalam proses produksi.

Dengan tidak memperhatikan untuk apa tanah itu digunakan, maka sewa yang timbul dimasukkan dalam rental income ini; b. Pemilikan hak patent, hak cipta, merk dagang dan sebangsanya

dimasukkan dalam item ini. 4) Keuntungan

Yang termasuk disini adalah keuntungan perusahaan sebelum dipotong pajak perusahaan dan pajak langsung lainnya dan sebelum dibagikan kepada deviden.

5) Bunga Netto

Bunga netto mencakup bunga atas piutang maupun surat-surat berharga lainnya yang diterima oleh penduduk maupun pemerintah, dikurangi bunga atas hutang pemerintah kepada penduduk jika hutang tersebut dipakai untuk konsumsi pemerintah misalnya untuk biaya perang.

3. PDRB Menurut Jenis Penggunaan

Penyajian dalam bentuk ini dapat memberikan gambaran bagaimana barang dan jasa yang telah diproduksi itu digunakan oleh


(36)

berbagai golongan dalam masyarakat, maka penyajiannya akan berbentuk (Anonim, 2009 : 23).

1) Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga

Yang mencakup pengeluaran yang dilakukan rumah tangga untuk membeli barang-barang dan jasa tanpa melihat durability

dari barang dan jasa itu, dikurangi penjualan dari barang bekas netto (penjualan-penjualan barang bekas netto), dengan mengecualikan pengeluaran yang bersifat transfer, pembelian tanah dan rumah.

2) Pengeluaran Konsumsi Pemerintah

Item ini mencakup pengeluaran rutin untuk pembelian barang dan jasa dari pihak lain yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dikurangi hasil penjualan barang dan jasa yang dilakukan oleh pemerintah.

3) Pembentukan Modal Tetap

Pembentukan modal tetap ini mencakup besarnya modal yang ditanam selama satu tahun, baik oleh pemerintah, swasta, lembaga swasta yang tidak mencari untung maupun rumah tangga, dikurangi dengan jumlah penjualan barang-barang modal bekas selama tahun yang sama.


(37)

4) Perubahan Stok

Perubahan stok adalah barang-barang yang diproduksi sendiri maupun yang diimpor pada tahun itu, tapi belum sempat dipakai sampai akhir tahun hingga masih disimpan sebagai stok.

5) Ekspor Netto

Ekspor netto adalah selisih antara ekspor dan impor dari barang dan jasa.Ekspor barang dan jasa meliputi ekspor barang yang dijual keluar negeri (di luar daerah yang dihitung PDRB-nya), dimana termasuk didalamnya barang-barang dagangan, jasa transpot, asuransi dan jasa-jasa lain.

2.2.1.5. Penyajian Atas Dasar Harga Konstan

Salah satu kegunaan dari Produk Domestik Regional Bruto adalah untuk melihat perkembangan riil produk domestik dari tahun ke tahun. Karena adanya pengaruh inflasi maka daya beli uang akan mengalami penurunan dari tahun ke tahun. PDRB yang masih mengandung faktor inflasi di dalamnya adalah merupakan PDRB atas dasar harga yang berlaku (at current prices) atau biasa ditulis ADHB, sedang bila faktor inflasi sudah dieliminir akan merupakan PDRB atas harga konstan (at constan prices) atau biasa ditulis ADHK. Untuk merubah angka atas dasar harga berlaku menjadi angka atas dasar konstan ada tiga metode dasar yang dapat dipakai, yaitu revaluasi, ekstrpolasi dan deflasi (Anonim, 2009 : 27).


(38)

1. Revaluasi

Cara ini diperoleh dengan menilai produsi pada tahun yang bersangkutan dengan memakai harga pada tahun dasar. Begitu juga biaya-biaya antara dinilai dengan memakai harga pada tahun dasar pula. Cara revaluasi ini secara matematis dirumuskan sebagai berikut: (Anonim, 2009 : 28)

NPijADHK = Qij  Pi0

Keterangan :

NPijADHK = Nilai produksi komoditas ke-i pada tahun ke-j ADHK

Qij = Quantum komoditas ke-i pada tahun ke-j

Pi0 = Harga komoditas pada tahun dasar

2. Ekstrapolasi

Cara ini diperoleh dengan mengekstrapolasi nilai tambah pada tahun dasar dengan menggunakan indeks kuantum dari barang-barang yang bersangkutan yang diproduksi. Secara matematis penghitungan ekstrapolasi dirumuskan sebagai berikut (Anonim, 2006 : 29): IPij

NPijADHK = NPi0  

IPi0

Dimana;

NPijADHK = Nilai produksi komoditas ke-i pada tahun ke-j ADHK

NPi0 = Nilai produksi komoditas ke-i pada tahun dasar

IPij = Indeks kuantum komoditas ke-i pada tahun ke-j


(39)

3. Deflasi

Cara ini diperoleh dengan mendeflate nilai tambah atas dasar harga yang berlaku dengan indeks harga dari barang-barang yang bersangkutan. Indeks harga disini dapat dipakai indeks harga perdagangan besar, harga produsen maupun harga eceran tergantung mana yang lebih cocok. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut: (Anonim, 2009 : 30)

IHi0

NP݆݅஺஽ு௄ = NP݆݅஺஽ு஻  IHij

Keterangan :

NP݆݅஺஽ு௄ = Nilai produksi komoditas ke-i pada tahun ke-j ADHK NP݆݅஺஽ு஻ = Nilai produksi komoditas ke-i pada tahun ke-j ADHB IHij = Indeks harga komoditas ke-i pada tahun ke-j

2.2.1.6. Nilai Tambah Bruto, Cara Penyajian, dan Angka Indeks

Nilai tambah bruto (NTB) adalah nilai yang didapatkan dari pengurangan nilai output dengan biaya antaranya yang dirumuskan. (Anonim , 2009:33)

NTB = O – BA

Dimana,

NTB = Nilai tambah dari suatu produksi barang atau jasa O = Nilai output suatu barang atau jasa


(40)

Pengertian NTB ini sangat penting karena PDRB itu tidak lain adalah penjumlahan dari seluruh NTB dari seluruh unit produksi yang berada pada suatu daerah tertentu dalam kurun waktu tetentu (Anonim, 2009 : 34).

Sementara, agregat-agregat pendapatan regional juga disajikan dalam bentuk angka-angka persentase dan angka-angka indeks yang diterangkan sebagai berikut (Anonim, 2006 : 34).

1. Peranan Sektoral adalah suatu angka yang disajikan dalam bentuk persentase dengan cara membagi nilai masing-masing sektor dengan nilai seluruh PDRB dikalikan 100% pada tahun yang bersangkutan. Penghitungan peranan sektoral ini dapat diperoleh dari rumus :

PDRBi

Pi =   100% 9

 PDRBi i=1 Dimana;

Pi = Peranan sektor i PDRBi = PDRB sektor i

2. Indeks perkembangan adalah angka indeks yang diperoleh dengan membagi nilai-nilai pada masing-masing tahun dengan nilai pada tahun dasar yang dikalikan 100. Angka indeks ini diperoleh dari rumus:

PDRBit

IPit =   100 PDRBi0


(41)

Dimana ;

IPit = Indeks perkembangan sektor i tahun t PDRBit = PDRB sektor i pada tahun t

PDRBi0 = PDRB sektor i pada tahun dasar

3. Indeks berantai adalah angka indeks yang diperoleh dengan membagi nilai-nilai pada masing-masing tahun dengan nilai pada tahun sebelumnya yang dikalikan 100.

Rumus :

PDRBit

IBit =   100 PDRBi ( t - 1 )

Dimana ;

IBit = Indeks perkembangan sektor i tahun t PDRBit = PDRB sektor i pada tahun t

PDRBi ( t - 1 ) = PDRB sektor i pada tahun t - 1

4. Angka laju pertumbuhan adalah angka berbentuk persentase yang diperoleh dengan mengurangkan indeks berantai ADHK dengan 100 yang dirumuskan sebagai berikut :

GROWTH it = ( IB݅ݐ஺஽ு௄ – 100 ) % Dimana ;

GROWTH it = Pertumbuhan sektor i tahun t


(42)

5. Indeks Harga Implisit adalah angka indeks yang dipeoleh dengan membagi nilai atas dasar harga yang berlaku dengan nilai atas dasar harga konstan untuk masing-masing tahunnya dikalikan 100.

PDRB݅ݐ஺஽ு஻

IHI it =   100 PDRBi݅ݐ஺஽ு௄

Dimana ;

IHI it = Indeks harga implisit sektor i tahun t PDRB it ADHB = Indeks berantai ADHB sektor i tahun t PDRB it ADHK = Indeks berantai ADHK sektor i tahun t

6. Inflasi adalah angka yang diperoleh dari persentase perubahan indeks harga implisit atau secara matematis bisa ditulis :

IHI it - IHI i ( t – 1 )

INFLATION it =   100 % IHI i ( t – 1 )

Dimana ;

INFLATION it = Inflasi sektor i tahun t

IHI it = Indeks harga implisit i pada tahun t

IHI i ( t – 1 ) = Indeks harga implisit sektor i pada tahun t –1

2.2.1.7.Teori Keynesian (Harrod-Domar)

Teori pertumbuhan Harrod-Domar ini dikembangkan oleh dua ekonomi sesudah Keynes, yaitu Evsey Domar (Massachusetts Institute of Technology) dan Sir Roy F.Harrad (Oxford University). Teori ini menganalisis syarat-syarat yang diperlukan agar perekonomian bisa


(43)

tumbuh dan berkembang dalam jangka panjang. Dengan kata lain, teori ini berusaha menunjukkan syarat yang dibutuhkan agar perekonomian bisa tumbuh dan berkembang dengan mantap (Steady growth) (Arsyad, 1999 : 64).

Teori Harrod-Domar ini mempunyai asumsi yaitu:

1. Perekonomian dalam keadaan pengerjaan penuh (full employment) dan barang-barang modal yang terdiri dalam masyarakat digunakan secara penuh.

2. Perekonomian terdiri dari 2 sektor yaitu sektor rumah tangga dan sektor perusahaan, berarti pemerintah dan perdagangan luar negeri tidak ada.

3. Besarnya tabungan masyarakat adalah proporsional dengan besarnya pendapatan nasional, berarti fungsi tabungan di mulai dari titik nol. 4. Kecenderungan untuk menabung (marginal propensif to save = MPS)

besarnya tetap, demikian juga ratio antara modal-output (capital output ratio = COR) dan rasio pertambahan modal-output (incremental capital-output ratio = ICOR). COR dan ICOR yang tetap ini bisa dilihat pada gambar di bawah ini.

Dalam teori Harrod-Domar ini, fungsi produksinya berbentuk L karena sejumlah modal hanya dapat menciptakan suatu tingkat output tertentu (modal dan tenaga kerja tidak substitutif). Untuk menghasilkan output sebesar Q1, diperlukan modal K1, dan tenaga kerja L1, dan apabila


(44)

kombinasi itu berubah maka tingkat output berubah. Untuk output sebsar Q2, misalnya hanya dapat diciptakan jika stok modal sebesar K2

Gambar 1 : Fungsi Produksi Harrod-Domar

Modal

K2 Q2

K1 Q1

Tenaga kerja

Sumber : Arsyad , 1999, EkonomiPembangunan, Edisi Keempat, STIE YKPN, Yogyakarta, hal.66

Jika kita menetapkan COR = k , rasio kecenderungan menabung (MPS) = s yang merupakan proporsi tetap dari output total, dan investasi ditentukan oleh tingkat tabungan, maka kita bisa menyusun model pertumbuhan ekonomi yang sederhana seperti berikut :

1. Tabungan (S) merupakan suatu proporsi (s) dari output total (Y), oleh karenanya kita mempunyai persamaan yang sederhana.

S = s . Y


(45)

2. Investasi (I) didefinisikan sebagai perubahan stok modal dan dilambangkan dengan K, maka : I = K

Tetapi karena stok modal (K) mempunyai hubungan langsung dengan output total (Y), seperti ditunjukan oleh COR atau k, maka:

K K

 = atau =  = atau K = k . Y Y Y

Akhirnya, karena tabungan total (S) harus sama dengan investsi total (I) maka:

S = I

Tetapi dari persamaan (I) di atas kita tahu bahwa S = s . Y dan dari persamaan (II) dan (IIa) kita tahu bahwa I = K = k . Y. Oleh karena itu kita bisa menuliskan identitas dari tabungan yang sama dengan investasi pada persamaan (IIa) itu sebagai:

S = s . Y = k . Y = K = I atau s. Y = k . Y

Dan pada akhirnya kita mendapatkan :

Y / Y pada persamaan (IV) menunjukan tingkat pertumbuhan output (persentase perubahan output).


(46)

2.2.2 Pendapatan Asli Daerah

2.2.2.1 Pengertian Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan Asli Daerah merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan pendapatan lain asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi (Sari, dan Yahya, 2009 : 1).

Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, Pasal 1, ”Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan daerah yang asli digali di daerah yang digunakan untuk modal dasar pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk memperkecil ketergantungan dana dari pemerintah pusat. Pendapatan Asli daerah (PAD) yaitu salah satu sumber penerimaan yang harus selalu terus menerus di pacu pertumbuhannya. Dalam otonomi daerah ini kemandirian pemerintah daerah sangat dituntut dalam pembiayaan pembangunan daerah dan pelayanan kepada masyarakat (Situngkir, 2009 : 28).

2.2.2.2 Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah

Menurut Kusumadewi dan Rahman, (2007 : 67) sumber Pendapatan Asli Daerah yaitu:


(47)

1. Hasil Pajak Daerah

Pajak daerah adalah merupakan salah satu bentuk pendapatan asli daerah. Secara umum pajak dapat diartikan sebagai pungutan yang dilakukan oleh pemerintah yang mana bersifat memaksa. Menurut UU No. 34 Tahun 2000 Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilaksanakan oleh orang pribadi/badan kepada daerah tanpa adanya imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.

Jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Propinsi yaitu Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakan Kendaraan Bermotor, Pajak Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Dan Air Permukaan. Sedangkan jenis Pajak Daerah untuk Kabupaten terdiri dari Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C.

Menurut Ginting (2009 : 34), Ada beberapa kreteria yang harus dipenuhi dalam menciptakan pajak, yaitu:

a. Bersifat seperti pajak dan bukan retribusi.

b. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum.


(48)

d. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat menjaga kelestarian lingkungan hidup.

2. Hasil Retribusi Daerah

Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

Ada tiga golongan Retribusi Daerah:

a. Retribusi Jasa Umum yaitu retribusi atas jasa yang diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.

b. Retribusi Jasa Usaha yaitu retribusi atas jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.

c. Retribusi Perizinan Tertentu yaitu retribusi atas kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana / fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan kelestarian lingkungan.

3. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil pengelola kekayaan daerah yang dipisahkan. Yang termasuk dalam jenis pendapatan ini yaitu


(49)

deviden atau bagian laba yang diperoleh oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dibagikan bagi pemegang saham, dalam hal ini merupakan pendapatan bagi Pemerintah Daerah (Bastian, 2001). 4. Lain-lain PAD yang sah.

Pendapatan ini merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik Pemda. Rekening ini disediakan untuk mengakuntansikan penerimaan daerah selain yang disebut di atas. Jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan berikut:

1) Hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan. 2) Jasa giro.

3) Pendapatan bunga.

4) Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah.

5) Penerimaan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan pengadaan barang, dan jasa oleh daerah. 6) Penerimaan keuangan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap

mata uang asing.

7) Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan. 8) Pendapatan denda pajak.

9) Pendapatan denda retribusi. 10)Pendapatan eksekusi atas jaminan. 11)Pendapatan dari pengembalian. 12)Fasilitas sosial dan umum.


(50)

14)Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.

Secara konseptual, perubahan pendapatan akan berpengaruh terhadap belanja atau pengeluaran, namun tidak selalu seluruh tambahan pendapatan tersebut akan dialokasikan dalam belanja. Abdullah & Halim (2004) menemukan bahwa sumber pendapatan daerah berupa PAD dan dana perimbangan berpengaruh terhadap belanja daerah secara keseluruhan. Meskipun proporsi PAD maksimal hanya sebesar 10% dari total pendapatan daerah, kontribusinya terhadap pengalokasian anggaran cukup besar, terutama bila dikaitkan dengan kepentingan politis (Abdullah, 2004).

2.2.3 Belanja Daerah

Era otonomi daerah yang menitikberatkan peranan pemerintah daerah dalam mendorong kesejahteraan masyarakatnya ternyata telah menggeser paradigma pemikiran pembangunan yang selama ini diterapkan, yang awalnya terfokus di pusat kini daerah pun dapat sedikit lebih leluasa ikut andil dalam pembangunan daerah. Implikasi ini mengakibatkan adanya sharing of power dan sekaligus sharing of financial. Sharing of power bisa dicermati dengan adanya UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah, sedangkan sharing of financial dapat dicermati pada UU no.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah daerah (Prastiwi, 2008 : 30).


(51)

Pada ketentuan UU No.33 Tahun 2004 sendiri diatur beberapa aspek yang berkaitan dengan perimbangan keungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Salah satu yang diatur dalam ketentuan ini yaitu permasalahan belanja daerah. Menurut UU No.33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan daerah antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, Belanja Daerah dimaksudkan sebagai semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan. Dan rincianya bisa dibagi dalam dua bentuk yaitu berdasar sifat dan berdasar fungsinya. Berdasar sifat ekonominya belanja daerah terdiri atas belanja pegawai dan belanja barang, subsidi, hibah dan bantuan sosial. Sedangkan berdasar fungsinya belanja daerah terdiri dari belanja untuk pembangunan perumahan dan fasilitas umum, peningkatan kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan serta perlindungan sosial (Prastiwi, 2008 : 30).

Pendapatan daerah yang diperoleh baik dari pendapatan asli daerah maupun dana perimbangan tentunya digunakan oleh pemerintah daerah untuk membiayai belanja daerah. Menurut UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Berdasarkan struktur anggaran daerah, elemen-elemen yang termasuk dalam belanja daerah terdiri dari (Anonim, 2004 : 1) :


(52)

1. Belanja aparatur daerah

Adalah bagian belanja yang berupa Belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal / pembangunan yang dialokasikan atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat, dan dampaknya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik).

2. Belanja pelayanan publik

Adalah bagian belanja yang berupa : Belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal / pembangunan yang dialokasikan atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat, dan dampaknya secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik).

Baik belanja aparatur daerah maupun belanja pelayanan publik terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok belanja, yaitu belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal / pembangunan (Anonim, 2004 : 1).

a. Belanja Administrasi Umum

Adalah belanja yang tidak langsung dialokasikan pada kegiatan non investasi (tidak menambah aset).

b. Belanja Operasi dan Pemeliharaan

Adalah belanja langsung digunakan untuk membiayai kegiatan non investasi (tidak menambah aset).


(53)

c. Belanja Modal/Pembangunan

Adalah belanja langsung digunakan untuk membiayai kegiatan investasi (menambah aset). Belanja Modal / Pembangunan terdiri dari belanja modal tanah; belanja modal jalan dan jembatan; belanja modal bangunan air (irigasi); belanja modal instalasi; belanja modal jaringan; belanja modal bangunan gedung dan lain-lain.

Kelompok belanja administrasi umum dan belanja operasi pemeliharaan terdiri dari :

a. Belanja Pegawai / Personalia

Adalah semua pembayaran berupa uang tunai yang dibayarkan kepada pegawai daerah otonom. Belanja pegawai administrasi umum terdiri dari gaji dan tunjangan kepala daerah / wakil kepala daerah , gaji dan tunjangan pegawai, biaya perawatan dan pengobatan, serta biaya pengembangan sumber daya manusia.

Pada belanja pegawai pelayanan publik ditambahkan belanja tetap dan tunjangan pimpinan dan anggota DPRD. Belanja Pegawai operasi dan pemeliharaan terdiri dari honorarium / upah, uang lembur, dan insentif.

b. Belanja Barang dan Jasa

Adalah semua pengeluaran yang dilakukan untuk biaya bahan pakai habis kantor, jasa kantor, cetak , dan penggadaan keperluan kantor, sewa kantor, makanan dan minuman kantor, pakaian dinas, bunga hutang, depresiasi gedung, depresiasi alat angkutan, depresiasi


(54)

alat-alat kantor dan rumah tangga serta depresiasi alat studio dan alat komunikasi.

Pada belanja barang dan jasa Pelayanan Publik ditambahkan biaya depresiasi alat-alat besar, depresiasi alat bengkel dan alat ukur, depresiasi alat pertanian, depresiasi alat kedokteran, dan depresiasi alat laboratorium.

Belanja barang dan jasa Operasi dan pemeliharaan adalah semua pengeluaran yang dilakukan untuk biaya bahan / material, jasa pihak ketiga, cetak dan penggandaan, sewa, makanan dan minuman, bunga hutang dan pakaian kerja.

c. Biaya Perjalanan Dinas

Adalah semua pengeluaran biaya perjalanan dinas, biaya perjalanan pindah, dan biaya pemulangan pegawai yang gugur dan dipensiunkan.

d. Biaya Pemeliharaan

Adalah semua pengeluaran yang dilakukan dalm rangka pemeliharaan bangunan gedung, alat-alat angkutan, alat-alat kantor dan rumah tangga, alat-alat studio dan alat komunikasi, buku perpustakaan, serta alat-alat persenjataan.

Sedikit berbeda dengan belanja aparatur daerah, pada belanja pelayanan publik ditambahkan dengan pengeluaran bagi hasil dan bantuan keuangan, serta pengeluaran tidak tersangka:


(55)

a. Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan

Adalah terdiri dari bagi hasil retribusi kepada pemerintah kabupaten/kota, bantuan keuangan kepada pemerintah kabupaten/kota, bantuan keuangan kepada pemerintah desa/kelurahan, bantuan keuangan organisasi kemasyarakatan, dan bantuan keuangan kepada organisasi profesi.

b. Belanja tidak tersangka

Adalah semua pengeluaran/belanja yang tidak terduga pada tahun anggaran yang diteliti. Belanja tidak tersangka dianggarkan untuk pengeluaran penanganan bencana alam, bencana sosial atau pengeluaran lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah daerah.

3. Pengeluaran Pembiayaan Daerah

Pengeluaran pembiayaan daerah bersumber dari transfer ke dana cadangan, penyertaan modal, pembayaran utang pokok yang jatuh tempo, dan sisa lebih perhitungan anggaran tahun berjalan.

a. Dana cadangan adalah dana yang disisihkan untuk menampung kebutuhan yang memerlukan dana relatif cukup besar yang tidak dapat dibebankan dalam satu tahun anggaran.

b. Utang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayarkan daerah sebagai akibat penyerahan uang,barang dan atau jasa kepada daerah atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(56)

c. Sisa lebih perhitungan Anggaran Tahun Berjalan adalah merupakan selisih dari surplus/defisit ditambah dengan pos penerimaan pembiayaan dikurangi dengan pos pengeluaran pembiayaan.

Namun pada praktiknya belanja pemerintah daerah dibagi dalam 2 bentuk seperti yang terdapat dalam Laporan Realisasi Anggaran dan Pendapatan Belanja daerah, yakni sebagai berikut :

1. Belanja Rutin

Belanja yang wujudnya tidak berupa fisik dan terjadi secara terus menerus sepanjang periode anggaran. Sebagai contoh belanja gaji dan honorium pegawai, belanja perjalanan dinas, belanja barang dan belanja lain-lain. Belanja rutin umumnya digunakan untuk membiayai operasional pemerintah daerah dan hasilnya tidak dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat.

2. Belanja Pembangunan

Selain dari belanja rutin pemerintah juga mengeluarkan belanja yang sifatnya tidak rutin dan umumnya menghasilkan wujud fisik yang manfaatnya lebih dari satu tahun. Belanja pembangunan dikeluarkan oleh pemerintah yang mana manfaatnya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat karena memang belanja pembangunan dimaksudkan untuk peningkatan pelayanan publik. Belanja pembangunan ini pada akhirnya akan menghasilkan kapital publik dan dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat. Sebagai contoh belanja untuk pembangunan jalan, gedung-gedung sekolah, rumah


(57)

sakit, pembangunan jembatan dan sebagainya. Kesemuanya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.

2.3 Kerangka Pemikiran

Gambar 2

Kerangka Pemikiran yang Mempengaruhi Belanja Daerah di Kabupaten Sumenep

Keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah tidak dapat dilepas dari kemampuan daerah dalam bidang keuangan, karena kemampuan keuangan ini merupakan indikator penting dalam mengukur tingkat otonomi daerah.

Produk Domestik Regional Bruto (X1)

Pajak Daerah (X2)

Tingkat Konsumsi

Pendapatan Asli Daerah

Belanja Daerah (Y)


(58)

Belanja Daerah adalah pengeluaran-pengeluaran yang dikeluarkan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Pengeluaran Daerah terdiri dari Belanja Aparatur Daerah, Belanja Pelayanan Publik, dan Pengeluaran Pembiayaan Daerah. Alokasi anggaran belanja ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk kualitas pelayanan publik. Besarnya anggaran belanja yang dialokasikan pemerintah daerah dalam APBD tentu sangat dipengaruhi oleh posisi keuangan pada daerah tersebut (Situngkir, 2009 : 41).

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan kegiatan ekonomi secara umum dapat dikelompokkan ke dalam kegiatan memproduksi dan kegiatan mengkonsumsi barang dan jasa. Unit-unit produksi memproduksi barang dan jasa, dan dari kegiatan memproduksi ini timbul pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang telah dimiliki oleh berbagai golongan dalam masyarakat, sehingga dari pendapatan ini masyarakat akan membeli barang dan jasa baik untuk keperluan konsumsi maupun investasi. semakin tinggi PDRB suatu daerah berarti pertumbuhan ekonomi semakin meningkat yang mengakibatkan pengalokasian anggaran belanja yang semakin dinamis untuk pelayanan publik (Anonim, 2009 : 5).

Pendapatan Daerah (terutama pajak) akan mempengaruhi anggaran belanja pemerintah daerah dikenal dengan nama tax spend hypothesis


(59)

pengeluaran pemerintah daerah akan disesuaikan dengan perubahan dalam penerimaan pemerintah daerah atau perubahan pendapatan terjadi sebelum perubahan pengeluaran. Untuk meningkatkan pelaksanaan pembangunan dan pemberian pelayanan kepada masyarakat serta peningkatan pertumbuhan perekonomian di daerah, diperlukan penyediaan sumber-sumber pendapatan asli daerah yang hasilnya memadai. Upaya peningkatan penyediaan pembiayaan dari sumber tersebut, antara lain, dilakukan dengan peningkatan kinerja pemungutan, penyempurnaan dan penambahan jenis pajak, serta pemberian keleluasaan bagi daerah untuk menggali sumber-sumber penerimaan khususnya dari sektor pajak daerah melalui UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagimana telah diubah dengan UU No.34 Tahun 2000 (Prakosa dan Tarigan, 2004 : 105):

2.4 Hipotesis

Hipotesis merupakan dugaan sementara yang masih belum teruji kebenarannya berdasarkan fakta-fakta yang ada. Hipotesis akan ditolak jika memang salah dan akan diterima jika fakta-faktanya benar.

Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian maka, hipotesis yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Diduga bahwa variabel Produk domestik Regional Bruto (PDRB) berpengaruh terhadap Belanja Daerah di Kabupaten Sumenep.


(60)

2. Diduga bahwa Pajak Daerah berpengaruh terhadap Belanja Daerah di Kabupaten Sumenep.

3. Diduga bahwa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan variabel yang berpengaruh paling dominan terhadap Belanja Daerah di Kabupaten Sumenep.


(61)

3.1. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Definisi operasional adalah definisi yang diberikan kepada suatu variabel dengan cara memberikan arti, atau menspesifikasikan kegiatan maupun memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur variable tersebut.

Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

a. Variabel terikat atau variabel yang tidak dapat berdiri sendiri

(Dependent Variabel) dan hasilnya tergantung pada hasil pengamatan, dalam hal ini dinyatakan dengan (Y).

Belanja Daerah (Y) adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan. Berdasarkan struktur anggaran daerah, elemen-elemen yang termasuk dalam belanja daerah terdiri dari: Belanja Aparatur Daerah, Belanja Pelayanan Publik, pengeluaran bagi hasil dan bantuan keuangan, serta pengeluaran tidak tersangka, yang dinyatakan dengan satuan ribu rupiah( Rp).

b. Variabel bebas atau variabel yang dapat berdiri sendiri (Independent Variabel) yaitu :


(62)

1. Produk Domestik Regional Bruto (X1)

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah jumlah nilai produk akhir atau nilai tambah dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi yang dimiliki oleh penduduk wilayah itu dalam jangka waktu tertentu, yang dinyatakan dengan satuan juta rupiah (Rp).

2. Pajak Daerah (X2)

Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilaksanakan oleh orang pribadi/badan kepada daerah tanpa adanya imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah yang dinyatakan dengan satuan ribu rupiah (Rp).

3.2 Teknik Penentuan Sampel

Teknik penentuan sampel yang digunakan penulis dalam ini adalah Time Series yaitu data berkala yang diambil waktu 16 (Enam Belas) tahun yaitu Tahun 1994 sampai dengan 2009.

3.3 Teknik Pengumpulan Data 3.3.1 Jenis Data

Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang tidak diambil secara langsung


(63)

dari lapangan, melainkan data yang diperoleh dengan mengambil data-data laporan, catatan-catatan yang berhubungan langsung dengan masalah yang dibahas, pada kantor-kantor Dinas atau Instansi yang terkait didalamnya.

3.3.2. Sumber data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai instansi yaitu:

1. Badan Pusat Stastitik Jawa Timur

2. Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kabupaten Sumenep 3. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumenep

3.3.3. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode :

1. Studi Kepustakaan

Yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan membaca buku-buku literatur sebagai bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam penelitian ini.

2. Studi Lapangan

Yaitu data diperoleh dengan berbagai teknik pengambilan data di lapangan atau tempat yang dilakukan deangan cara Dokumentasi, yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan jalan mencatat atau mengutip data-data yang ada pada dokumen instansi terkait yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.


(64)

3. 4 Teknik Analisa Data dan Uji Hipotesis 3.4.1 Teknik Analisa Data

Sesuai dengan tujuan dan hipotesis penelitian yang diajukan, maka kaitan antar variabel penelitian dapat digambarkan secara spesifik dalam analisis regresi linier berganda dengan persamaan sebagai berikut:

Yi = 0 + 11i + 22i + i …………..(Sudjana,1999:380) Di mana:

Y = Belanja Daerah

1 = Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 2 = Pajak Daerah

0 = Konstanta regresi

1-2 = Koefisien regresi variabel 1-2  = Variabel penganggu

i = 1,2,3, …,n : pengamatan ke i sampai ke n

3.4.2 Uji Hipotesis

Uji hipotesis yang akan dilakukan adalah uji F (kecocokan model) maupun Uji t, yang masing-masing uji dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel terikat.

1. Uji F / Uji Kecocokan Model (Fhitung)

Uji F (uji kecocokan model), yaitu untuk mengetahui variasi perubahan independent variabel mampu menjelaskan variasi dependent variabel dengan prosedur sebagai berikut :


(65)

a. Fhitung dapat dicari dengan rumus :

Rata-rata kuadrat regresi

Fhit = ——————————— ... (Sudrajat,1988:124) Rata-rata kuadrat sisa

Tingkat signifikasi

Dalam penelitian ini menggunakan tingkat signifikasi 0,05 = 5% Dengan df pembilang (k) dan df penyebut (n-k-1) di mana n (jumlah sampel) dan k (jumlah variabel bebas).

b. Kriteria hipotesis

H0 : 1 = 2 = 0,1,2, tidak berpengaruh terhadap Y H1 :  0,, berpengaruh terhadap Y

Gambar 3

Kurva Uji Hipotesis Kecocokan Model (Uji F)

Sumber: Supranto, J, 2005, Ekonometrika, Buku Kesatu, Penerbit. Ghalia Indonesia , Jakarta, hal.152


(66)

Kaidah pengujian :

1. Apabila F hitung > F tabel, maka H0 ditolak dan H1 diterima,

artinya variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikat.

2. Apabila F hitung < F table, maka H0 diterima dan H1 ditolak,

artinya variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat.

2. Uji t (thituhg)

Uji t digunakan untuk pengujian hipotesis pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat dengan asumsi variabel bebas lainnya konstan, dengan prosedur sebagai berikut :

a. Nilai thitung dapat dicari dengan rumus sebagai berikut:

β1

t hitung = ————………( Sudrajat, 1988, 122 ) Se(β1)

Derajat kebebasan sebesar n – k – 1

Dimana :

β1 = Koefisien regresi setiap variabel bebas

Se = Standart error n = Jumlah sampel k = jumlah variabel bebas


(67)

Tingkat signifikan

Dalam peneltian ini menggunakan tingkat signifikansi 5% = 0,05 .Derajat kebebasan sebesar n – k – 1 , di mana n = jumlah sampel dan k = jumlah variabel bebas.

b. Kriteria hipotesis

H0 : 1 = 2 = 0, 1,2, tidak berpengaruh terhadap Y

H1 : 1≠ 2  0, 1,2, berpengaruh terhadap Y

Gambar 4

Kurva Uji Hipotesis dengan Uji t

Sumber: Supranto, J, 2005, Ekonometri, Buku Kesatu, Penerbit. Ghalia Indonesia , Jakarta, hal.152.

Ho diterima jika –t tabel  t hitung  t tabel

Ho ditolak jikat hitung

t tabel danthitung

ttabel Dengan kriteria :

1. Apabila t hitung > t tabel, maka H0 ditolak dan H1 diterima, berarti ada pengaruh nyata variabel bebas terhadap variabel terikat.


(68)

2. Apabila t hitung < t tabel, maka H0 diterima dan H1 ditolak, berarti tidak ada pengaruh nyata variabel bebas terhadap variabel terikat.

3. Kriteria asumsi klasik BLUE

Regresi linier berganda dengan persamaan:

Y = 0 + 11i + 22i + i …………..(Sudjana,1999:380)

Persamaan regresi tersebut harus bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator), artinya pengambilan keputusan melalui uji F dan uji t tidak boleh bias.

Sifat BLUE dapat dijelaskan sebagai berikut :

Best = Perhitungan sifat ini bila ditetapkan dalam uji signifikan baku terhadap α dan β.

Linier = Sifat ini dibutuhkan untuk memudahkan dalam penafsiran.

Unbiased = Bila jumlah sampel sangat besar penafsiran parameter diperoleh dari sampel besar kira-kira lebih mendekati parameter sebenarnya.

Estimator = E diharapkan sekecil mungkin

Untuk mengetahui apakah model analisis tersebut cukup layak digunakan dalam pembuktian selanjutnya dan untuk mengetahui sampai sejauh mana variabel bebas menjelaskan variabel terikat, maka perlu diketahui nilai R² ( koefisien determinasi ) dengan menggunakan rumus :


(69)

R² = JK regresi ...( Sudrajat, 1988 ; 120 ) JK total

Dimana :

R² = Koefisien determinasi JK = Jumlah kuadrat

JK regresi = b1 Sy1 X1i + b2 Sy2 Y2i …..+ bm

JK total = Y1² atau ( ∑Y )²

n

b1 ∑Y1 X1 + b2 ∑Y1 X2

R² = ______________________ ∑Y1²

Keterangan :

Karakteristik utama R² adalah tidak mempunyai nilai negatif, tidak berkisar antara 0 dan 1 R² ≤ 1.

Untuk menghasilkan pengambilan keputusan yang BLUE maka harus dipenuhi tiga asumsi sebagai asumsi klasik dalam regresi linier berganda, yaitu:

a. Non Autokorelasi b. Non Multikolinieritas c. Non Heterokedastisitas

Apabila salah satu dari ketiga asumsi dasar tersebut dilanggar, maka persamaan regresi yang diperoleh tidak lagi bersifat BLUE, sehingga pengambilan keputusan melalui uji F dan uji t menjadi bias. Di bawah ini akan dijelaskan masing-masing asumsi dasar dari BLUE, yaitu sebagai berikut :


(70)

a. Autokorelasi, didefinisikan sebagai korelasi antara data observasi yang diurutkan berdasarkan urut waktu (time series) atau data yang diambil pada waktu tertentu (cross section).

Gambar 5 Kurva Uji Durbin-Watson

0 dL dU 2 4-dU 4-dL 4

Sumber : Gujarati, Damodar, 1993, Ekonometrika Dasar,

Cetakan Ketiga, PT.Gelora Aksara Pratama, Yogyakarta, hal.183

Jadi dalam model regresi linier berganda diasumsikan tidak terdapat gejala autokorelasi. Artinya nilai residual (Y observasi Y prediksi) pada waktu ke t (et) tidak boleh ada hubungan dengan nilai residual periode sebelumnya (et-1). Identifikasi ada atau

Menolak Ho bukti autokorelasi

negatif

Daerah keraguan

Daerah bebas autokorelasi Menerima Ho atau Ho* atau dua-duanya

Daerah

keraguan Menolak Ho bukti autokorelasi


(71)

tidaknya gejala autokorelasi dapat di tes dengan menghitung nilai Durbin watson (d-tes) dengan persamaan:

ⁿt=2 (et-et-1)²

d = ───────── ⁿ t-1 (et)²

Keterangan:

d = Nilai Durbin Watson et = Residual pada waktu ke-t

et-1 = Residual pada waktu ke t-1 (atau periode sebelumnya) n = banyaknya data

b. Multikolinieritas, yaitu suatu model regresi yang mempunyai korelasi antar variabel independennya. Diagnosis atau dugaan secara sederhana terhadap adanya multikolinieritas di dalam model regresi adalah sebagai berikut:

1. Koefisien determinasi berganda (r square) tinggi 2. Koefisen korelasi sederhana tinggi

3. Nilai Fhitung tinggi (signifikan) 4. Sebagian besar

5. Atau bahkan seluruh koefisien regresi tidak signifikan (Gujarati, 1995: 166 )

Dari diagnosis atau dugaan adanya multikolinieritas tersebut maka perlu adanya pembuktian atau secara statistik ada atau tidaknya gejala multikolinieritas yang dilakukan dengan cara


(1)

Daerah apabila mengalami kenaikan maka Belanja Daerah untuk daerah tersebut semakin besar.

Sedangkan Nilai Koefisien Determinasi partial ( r2 ) untuk Pajak Daerah sebesar 0,6152 =0,378225 yang berarti dapat menunjukkan bahwa Belanja Daerah mampu dijelaskan oleh Pajak Daerah hingga 37,82%. Sedangkan sisanya sebesar 62,82% dijelaskan oleh faktor lain.

Untuk mengetahui variabel mana yang berpengaruh dominan dari dua variabel bebas terhadap Belanja Daerah di Kabupaten Sumenep yang terdiri dari tingkat Produk Domestik Regional Bruto (X1), dan Pajak Daerah (X2), dapat dilihat dari koefisien determinasi partial yang paling besar, dimana dalam perhitungan ditunjukkan oleh variabel (X1) dengan koefisien determinasi partial (r2) sebesar 0,6602 atau sebesar 43,56% > pajak daerah (X2) sebesar 0,615 atau sebesar 37,82%, dengan demikian PDRB merupakan variabel bebas (X1) mempunyai pengaruh paling dominan terhadap Belanja Daerah (Y) atau hipotesis ke tiga terbukti kebenarannya.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

a. Dari pengujian hipotesis dinyatakan variabel Produk Domesti Regional Bruto (PDRB) (X1) menunjukkan berpengaruh positif dan nyata terhadap Belanja Daerah, dengan tingkat signifikan 0,007 < 0,05 dengan diperoleh thitung = 3,16 sedangkan ttabel = 2,160. Karena thitung > ttabel maka Ho ditolak dan H1 diterima. Sehingga dapat disimpulkan PDRB (X1) berpengaruh signifikan terhadap Belanja Daerah (Y). b. Dari pengujian hipotesis dinyatakan variabel Pajak Daerah (X2)

berpengaruh secara positif dan nyata terhadap Belanja Daerah, dengan tingkat signifikansi 0,015 < 0,05 diperoleh thitung = 2,81 sedangkan ttabel= 2,160. Karena thitung > ttabel maka Ho ditolak dan H1 diterima. Sehingga dapat disimpulkan Pajak Daerah (X2) berpengaruh signifikan terhadap Belanja Daerah (Y).

c. Dari Pengaruh kedua variabel bebas terhadap Belanja Daerah (Y), yang terdiri dari tingkat Produk Domestik Regional Bruto (X1), dan Pajak Daerah (X2), dapat dilihat dari koefisien determinasi partial yang paling besar, dimana dalam perhitungan ditunjukkan oleh variabel Produk Domestik Regional Bruto (X1). dengan koefisien determinasi partial (r2) sebesar 0,6602 atau sebesar 43,56%.


(3)

5.2. Saran

Dari kesimpulan diatas, maka beberapa saran yang dapat disampaikan oleh penulis adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengurangi ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat dalam hal keuangan daerah untuk membiayai pembangunan, hal menarik yang dapat dilakukan adalah adanya suatu aktor stimulator untuk meningkatkan PAD terutama Pajak Daerah, misalnya dengan pembentukan badan usaha atau perusahaan daerah yang mengelola usaha-usaha yang dimungkinkan dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sumenep yang dapat diandalkan sebagai salah satu sumber penerimaan daerah.

b. Iklim investasi yang mendukung dunia usaha dan kegiatan investasi di daerah harus dikembangkan terutama dengan menyempurnakan sarana dan prasarana dasar yang diperlukan bagi pengembangan dunia usaha. Dengan berkembangnya pembangunan ekonomi daerah maka diharapkan peningkatan produksi dan pada akhirnya penghimpunan dana dari masyarakat akan dapat dikembangkan, sehingga Belanja Daerah akan berjalan secara dinamis untuk pembangunan pelayanan publik. c. Bagi Pemerintah Daerah kedepannya, agar lebih mampu meningkatkan

pendapatan daerah dengan melakukan inovasi dan menggali potensi daerah di luar pajak daerah, sehingga masyarakat tidak terlalu terbebani oleh pajak saja, dan pendapatan yang dihasilkan mampu membiayai Belanja Daerah itu sendiri. Adapun inovasi baru yang mampu


(4)

86

meningkatkan pendapatan daerah yaitu dengan cara segera merealisasikan Bandar Udara Trunojoyo. Ini akan menarik investor untuk menanamkan modalnya dalam hal pembangunan yang ada di Kabupaten Sumenep, dan juga pemerintah supaya meningkatkan sumber pendapatan dibidang / sektor pariwisata. Mengingat sejak adanya jembatan suramadu, maka untuk daerah Madura dan sekitarnya Khususnya Kabupaten Sumenep yang kaya akan tempat pariwisata pantainya, maka pembenahan dan penambahan sarana dan prasarana yang ada dikawasan pariwisata kurang memadai misalnya dengan dilengkapinya sebuah penginapan / hotel. Hal ini akan menarik wisatawan lokal maupun wisatawan asing dan investor untuk berkunjung ke daerah tersebut. Adapun penggalian potensi daerah diluar pajak daerah, yaitu pemerintah daerah kabupaten Sumenep lebih memperhatikan dan memenfaatkan potensi yang berada di sekitar pulau-pulau yang ada di Sumenep, karena pulau-pulau-pulau-pulau tersebut kaya akan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan oleh daerah sebagai sumber pendapatan khususnya di sektor penggalian dan pertambangan yang saat ini masih dikelola oleh warga asing.


(5)

Adi, Setyawan Budi, 2008,

“Pengaruh Fiscal Stress Terhadap Pertumbuhan

Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal”

, Jurnal Ekonomi,

Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

Algifari, 2000,

“ Analisis Regresi Teori Kasus Dan Solusi”.

Penerbit BPFE

UGM, Yogyakarta.

Anonim, 2009,

Produk Domestik Regional Bruto Kota Surabaya

, Badan Pusat

Statistik Jawa Timur, Surabaya.

_______, 2009,

Dana Alokasi Umum Kabupaten Sumenep

, Artikel Ekonomi,

Sumenep.

Arsyad, Lincolin, 1999.

Ekonomi Pembangunan

, Edisi Keempat, STIE, YKPN,

Yogyakarta.

Ginting, Erwin, 2009,

“Pengalokasian Dana Alokasi Umum (DAU) dan

Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dalam Belanja Pada

Pemerintahan Kabupaten Karo,”

Universitas Sumatera Utara,

Medan.

Gujarati, Damodar, 1993,

Ekonometrika Dasar

, Cetakan Ketiga, PT. Gelora

Aksara Pratama, Yogyakarta.

Kusumadewi, dan Rahman Arief, 2007, Hal. 67,

“Flypaper Effect pada Dana

Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

terhadap Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota Di Indonesia,”

Jurnal ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Indonesia,

Yogyakarta.

Kuncoro, Haryo, 2007, Hal. 195, “

Kausalitas Antara Penerimaan, Belanja, dan

PDRB Kota dan Kabupaten Di Indonesia,”

Jurnal Ekonomi

Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta.

Masyhuri, 2007, “

Analisis Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan

Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Merangin”

, Jurnal Ekonomi,

Staf Dinas Pendapatan Daerah, Merangin, Provinsi Jambi.

Prakosa, K. Bambang, 2004, Hal. 101,

”Analisis Pengaruh Dana Alokasi Umum

(DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tehadap prediksi

Belanja Daerah,”

Jurnal ekonomi, Volume 8 No.2, Universitas


(6)

Prastiwi, Hana, 2008,

“Pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli

Daerah terhadap Belanja Pemerintah Daerah se-Jawa,”

Fakultas

Ekonomi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Pangabean, Henri Edison, 2009, dengan judul penelitian

“Pengaruh Pendapatan

Asli Daerah Terhadap Belanja Daerah Di Kabupaten Toba

Samosir”.

Jurnal Ekonomi, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Sari, dan Yahya Idhar, 2009, “

Pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan

Asli Daerah terhadap Belanja Langsung pada Pemerintah

Kabupaten/Kota di Provinsi Riau,”

Jurnal ekonomi, Fakultas

Ekonomi, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Situngkir, Anggiat, 2009, “

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli

Daerah dan Dana Alokasi Khusus terhadap Anggaran Belanja

Modal pada PEMKO/PEMKAB Sumatera Utara,”

Fakultas

Ekonomi, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Sudjana, 1999,

Statistik Ekonomi dan Niaga

, Penerbit Tarsito, Bandung.

Sudradjat , M .S.W , 1988 ,

Mengenal Ekonometrika Pemula

, Penerbit Armico ,

Bandung .