KESULITAN-KESULITAN BELAJAR PADA PESERTA DIDIK KELAS NON-REGULER PADA MATA PELAJARAN IPS SMP NEGERI 15 YOGYAKARTA.

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh: Ainna Damayanti NIM.12416241033

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2016


(2)

(3)

(4)

iv Nama : Ainna Damayanti

NIM : 12416241033

Jurusan : Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas : Ilmu Sosial

Judul : Kesulitan-Kesulitan Belajar pada Peserta Didik Kelas Non-Reguler pada Mata Pelajaran IPS di SMP Negeri 15 Yogyakarta

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar karya saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan orang lain kecuali sebagai acuan atau kutipan dengan mengikuti tata penulisan karya ilmiah yang lazim. Tanda tangan dosen penguji yang tertera dalam halaman pengesahan asli. Jika tidak asli, saya siap menerima sanksi, ditunda yudisium pada periode berikutnya.

Yogyakarta, Juni 2016 Yang Menyatakan,

Ainna Damayanti 12416241033


(5)

v

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain). Dan hanya

kepada Tuhanmulah engkau berharap.” (QS. Al-Insyirah, 6-8)

“Tak seorangpun pernah dihormati karena apa yang dia terima. Kehormatan adalah penghargaan bagi orang yang memberikan sesuatu yang

berarti” (Calvin Coolidge)


(6)

vi

Skripsi ini merupakan sebuah karya sebagai ungkapan pengabdian cinta yang tulus dan penuh kasih sayang teruntuk:

1. Allah SWT yang telah memberikan anugrah dan melimpahkan rahmat, hidayah, serta rezeki-Nya sehingga saya diberi kesempatan untuk menuntut ilmu hingga sekarang.

2. Kedua orangtuaku Bapak Sukamtono dan Ibu Indarti tersayang, serta saya hadiahkan kepada Adikku Ahmad Reza terima kasih dukungan serta doa yang selalu dipanjatkan untuk kesuksessan dan kebahagiaanku.


(7)

vii Oleh: Ainna Damayanti

12416241033 ABSTRAK

Rendahnya minat peserta didik dalam mengikuti pembelajaran menimbulkan kesulitan belajar IPS yang disebabkan oleh faktor intern dan ekstern. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor intern dan ekstern kesulitan belajar IPS pada peserta didik kelas non-reguler.

Metode dalam penelitian ini adalah survey. Populasi dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas non-reguler SMP N 15 Yogyakarta yang berjumlah 393 responden, jumlah sampel sebanyak 99, menggunakan teknik sampel proportionate stratified random sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan metode angket/kuesioner. Validasi instrumen dengan expert judgment. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kesulitan belajar pada faktor intern dan ekstern. Faktor intern yang menimbulkan kesulitan belajar pada peserta didik kelas non-reguler SMP Negeri 15 Yogyakarta, yaitu: faktor minat mengalami kesulitan sebesar (71,63%) disebabkan oleh enggannya peserta didik dalam mengerjakan soal, dan kurang dalam membaca referensi materi; faktor emosi (82,73%) disebabkan oleh peserta didik cepat bosan apabila pelajaran IPS dimulai dan timbulnya rasa malas karena tidak bisa mengontrol diri; cara belajar (69,12%) disebabkan oleh peserta didik belum mampu secara runtut menjawab pertanyaan dari guru, peserta didik merasa kesulitan dalam mengungkapkan hal yang belum dimengertinya dan belum melaksanakan belajar kelompok. Faktor eksternal yaitu: faktor metode mengajar (67,71%), disebabkan oleh guru kurang memaksimalkan kegunaan laboratorium IPS dan guru membanding-bandingkan antar peserta didik; perhatian (66,77%) disebabkan oleh kurangnya pendampingan belajar oleh orang tua dirumah dan kesulitan dalam memahami kata-kata guru dalam menyampaikan materi; sedangkan faktor guru dan interaksinya terhadap peserta didik (78,5%) disebabkan oleh faktor guru yang belum bersikap penuh perhatian dalam penyampaian materi.


(8)

viii

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga peneliti mampu menyelesaikan skripsi ini. Peneliti menyadari bahwa skripsi ini terlaksana karena bantuan dari berbagai pihak. Maka perkenankanlah peneliti menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian. 2. Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta yang telah

memberikan izin penelitian dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) FIS UNY atas izin penelitian serta bimbingan yang diberikan sejak kesiapan sampai selesaunya penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Sudrajat, M.Pd., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah dengan sabar dan bijaksana dalam memberikan bimbingan, motivasi, pengarahan, serta saran sehingga peneliti mampu menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Drs. Agus Sudarsono, M.Pd., sebagai narasumber yang telah sabar dan bijaksana memberikan arahan dan masukan, motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

6. Ibu Anik Widiastuti, M.Pd, Pembimbing Akademik yang terus memberikan dorongan, bimbingan, arahan, serta motivasi hingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi.

7. Bapak Jumadi, sebagai petugas administrasi Pendidikan IPS yang telah memberikan pelayanan dan bantuannya dalam mengurus perizinan dan kelengakapan administrasi skripsi ini.


(9)

ix

9. Peserta didik kelas non-reguler SMP Negeri 15 Yogyakarta selaku sampel pada penelitian ini yang telah bekerjasama dan berpartisipasi dalam penelitian ini.

10.Kedua orang tuaku Bapak Sukamtono dan Ibu Indarti tersayang, serta Adikku Ahmad Reza terima kasih dukungan serta doa yang selalu dipanjatkan untuk kesuksesan dan kebahagiaanku.

11.Teman-teman mahasiswa Pendidikan IPS angkatan 2012 yang telah memberikan dukungan dan saran dalam penulisan skripsi ini.

Penulis berharap bantuan yang diberikan menjadi amal baik dan mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Yogyakarta, Juni 2016 Peneliti

Ainna Damayanti 12416241033


(10)

x

hal

ABSTRAK ...vii

KATA PENGANTAR ...viii

DAFTAR ISI ...x

DAFTAR TABEL ...xii

DAFTAR GAMBAR ...xiii

DAFTAR LAMPIRAN ...xiv

BAB 1 PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang Masalah...1

B. Identifikasi Masalah...6

C. Pembatasan Masalah...7

D. Rumusan Masalah...7

E. Tujuan Penelitian...7

F. Manfaat Penelitian...7

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori...9

1. Belajar...9

a. Teori Belajar...9

b. Jenis-Jenis Belajar...13

c. Gaya Belajar...15

2. Pembelajaran IPS...18

a. Hakikat dan Tujuan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) di SMP/MTs...18

b. Karakteristik Pembelajaran IPS di SMP/MTs...21

3. Kesulitan Belajar...23

a. Pengertian Kesulitan Belajar...23

b. Faktor Kesulitan Belajar ...25

c. Jenis Kesulitan Belajar...35

4. Kelas Non-Reguler...36

a. Pengertian Kelas Non-Reguler...36

b. Fungsi dan Tujuan Kelas Non-Reguler...37

B. Penelitian yang Relevan...39

C. Kerangka Pikir...41

BAB III METODE PENELITIAN...44


(11)

xi

E. Populasi dan Sampel...45

1. Populasi...45

2. Sampel...46

F. Teknik Pengumpulan Data...48

G. Instrumen Penelitian...50

H. Uji Validitas Instrumen...54

I. Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data...55

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...58

A. Deskripsi Daerah Penelitian...58

B. Hasil Penelitian...60

C. Pembahasan...73

BAB V PENUTUP...77

A. Kesimpulan...77

B. Saran...80


(12)

xii

hal

Tabel 1. Perbandingan Nilai UTS IPS SMP Negeri 15 Yogyakarta...5

Tabel 2. Jenis Belajar Menurut M.Gagne...13

Tabel 3. Jumlah Peserta Didik Kelas Non-Reguler...46

Tabel 4. Daftar Sampel Penelitian...48

Tabel 5. Skala Likert...49

Tabel 6. Kisi-Kisi Instrumen Variabel Faktor Kesulitan Belajar...52

Tabel 7. Rangkuman Hasil Analisis Masing-Masing Item...62

Tabel 8. Distribusi Frekuensi Kesulitan Belajar Terkait Faktor Minat...63

Tabel 9. Distribusi Frekuensi Kesulitan Belajar Terkait Faktor Emosi...65

Tabel 10. Distribusi Frekuensi Kesulitan Belajar Terkait Faktor Cara Belajar...67

Tabel 11. Distribusi Frekuensi Kesulitan Belajar Terkait Faktor Metode dan Bahan Ajar...68

Tabel 12. Distribusi Frekuensi Kesulitan Belajar Terkait Faktor Perhatian...70

Tabel 13 Distribusi Frekuensi Kesulitan Belajar Terkait Faktor Interaksi Guru dengan Peserta Didik...71


(13)

xiii

hal

Gambar 1. Kerangka Pikir...43

Gambar 2. Persentase Kesulitan Belajar dalam 100%...62

Gambar 3. Grafik Kesulitan Belajar Terkait Faktor Minat...64

Gambar 4. Grafik Kesulitan Belajar Terkait Faktor Emosi...65

Gambar 5. Grafik Kesulitan Belajar Terkait Faktor Cara Belajar...67

Gambar 6. Grafik Kesulitan Belajar Terkait Metode dan Bahan Ajar... 69

Gambar 7. Grafik Kesulitan Belajar Terkait Faktor Perhatian...70

Gambar 8. Grafik Kesulitan Belajar Terkait Faktor Guru dan Interaksi dengen Peserta Didik...72


(14)

xiv

hal

Lampiran 1. Instrumen Penelitian...87

Lampiran 2. Skor Angket Item Internal... ..95

Skor Angket Item Eksternal...100

Lampiran 3. Analisis Per Item Faktor Kesulitan Belajar...105

Lampiran 4.Skor Perolehan Kesulitan Belajar IPS Kelas Non-Reguler Internal.107 Lampiran 5.Skor Perolehan Kesulitan Belajar IPS Kelas Non-Reguler Eksternal...110

Lampiran 6 Perhitungan Statistik Deskriptif Internal...113

Lampiran 7 Perhitungan Statistik Deskriptif Eksternal...116


(15)

1 A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur, dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang diinginkan. Sejalan dengan itu, pembangunan nasional dibidang pendidikan merupakan upaya demi mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Perkembangan sistem pendidikan dewasa ini menuntut penyesuaian di segala faktor yang mempengaruhi pelaksanaan proses pembelajaran.

Sekolah merupakan lembaga formal merupakan sarana dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan. Melalui sekolah, peserta didik dapat belajar dengan pengetahuan dan keterampilan hidup untuk bekal masa depannya. Belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam diri seseorang yang sejalan dengan tujuan pendidikan. Untuk mengetahui sampai seberapa jauh perubahan yang terjadi, perlu adanya penilaian. Penilaian terhadap hasil belajar seorang peserta didik untuk mengetahui sejauh mana telah mencapai sasaran belajar inilah yang disebut sebagai prestasi belajar. Tentunya prestasi belajar setiap peserta didik tidak sama karena setiap peserta didik memiliki


(16)

latar belakang yang berbeda baik dari segi kecerdasan, psikologis, maupun biologis.

Perbedaan antar peserta didik ini mengharuskan layanan pendidikan yang berbeda terhadap mereka. Layanan yang berbeda secara individual demikian dianggap kurang efisien. Oleh karena itu, maka dilakukan pengelompokkan berdasarkan persamaan dan perbedaan peserta didik, agar kekurangan pada pengajaran secara klasikal dapat dikurangi.

Alasan pengelompokkan peserta didik juga didasarkan atas realitas bahwa peserta didik secara terus-menerus bertumbuh dan berkembang. Pertumbuhan dan perkembangan peserta didik satu dengan yang lain berbeda. Agar perkembangan peserta didik yang cepat tidak mengganggu peserta didik yang lambat dan peserta didik yang lambat tidak mengganggu yang cepat, maka dilakukanlah pengelompokkan peserta didik. Hal ini dilakukan karena tidak jarang dalam pengajaran yang menggunakan sistem klasikal, peserta didik yang lambat, tidak akan dapat mengejar peserta didik yang cepat, dengan melakukan sistem pengelompokkan seperti itu yang lebih dikenal dengan pengelompokkan homogen (Anita Lie, 2002: 39). Banyak guru yang menganggap lebih mudah memberikan pelayanan kepada peserta didik guna mencapai tujuan pembelajaran secara maksimal.

Pengelompokkan atau grouping adalah pengelompokkan peserta didik berdasarkan karakteristik-karakteristiknya (Ali Imron, 1995: 75). Adanya pengelompokkan pada kondisi yang sama ini bisa memudahkan pemberian pelayanan kegiatan belajar mengajar. Pada Achievement Grouping


(17)

peserta didik dikelompokan berdasarkan prestasi belajar dari peserta didik, dengan adanya pengelompokkan demikian, maka peserta didik yang berprestasi tinggi dikelompokkan dengan peserta didik yang berprestasi tinggi, sementara yang berprestasi rata-rata, dikelompokkan ke dalam yang berprestasi rata-rata. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pengelompokkan homogen/achivement grouping adalah suatu sistem pengelompokkan dalam mengelola kelas yang berdasarkan prestasi belajar/kemampuan dari peserta didik. Sehingga dalam suatu kelas, peserta didik dikelompokkan menjadi kelompok yang memiliki kemampuan tinggi dan juga kelompok yang memiliki kemampuan rata-rata.

Kualitas pendidikan pada umumnya melibatkan input, proses, dan output, dalam hal ini memperoleh kualitas yang tinggi tidak terlepas dari faktor peserta didik, bahan pelajaran, guru, dan metode yang dipakai. Peserta didik merupakan faktor terpenting yang harus diperhatikan karena merupakan subjek dan objek yang memiliki karakter, kultur, dan dinamika. Sebagai hal yang tidak kalah pentingnya peserta didik adalah merupakan unsur pelanggan yang perlu mendapat pelayanan dan kepuasan (Sukiyat, 2009: 168). Sedangkan faktor-faktor lain sebagai penunjang dalam suatu proses mengajar. Menurut Slameto (2013: 54), faktor-faktor yang mempengaruhi belajar banyak jenisnya, tetapi dapat digolongkan menjadi dua golongan saja, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor internal adalah semua yang berasal dari individu itu sendiri meliputi faktor kematangan pertumbuhan, kecerdasan, motivasi, serta bakat dan minat yang ia miliki. Faktor ekstern


(18)

(dari luar) adalah faktor yang berkaitan dengan faktor sosial seperti perilaku guru, tekanan dari keluarga, dan lain lain. Aktivitas belajar individu tidak selamanya dapat berlangsung secara wajar, kadang lancar kadang tidak. Dalam hal semangat terkadang semangatnya tinggi tapi kadang sulit konsentrasi (Ahmadi dan Widodo Supriyono, 2004: 77).

Sekolah Menengah Pertama Negeri 15 Yogyakarta termasuk sekolah menengah pertama yang menerapkan Achievement Grouping atau pengelompokkan kelas homogen yang dijabarkan dalam pembagian kelas berdasarkan prestasi peserta didik. Sekolah Menengah Pertama Negeri 15 Yogyakarta mempunyai 10 kelas dalam satu angkatan, dimana kelas A, B, C, D, E, F, merupakan kelas reguler, sedangkan G, H, I, J merupakan kelas reguler. Penelitian ini saya menfokuskan di kelas VII, VII dan IX non-reguler tahun ajaran 2015/2016, yaitu pada kelas G, H ,I, J.

Observasi awal yang telah dilakukan penulis, menunjukan bahwa kelas non-reguler merupakan peserta didik pemegang KMS (Kartu Menuju Sejahtera), sedangkan kelas reguler bukan merupakan kelas pemegang bantuan tersebut. KMS merupakan bentuk komitmen Pemerintah Daerah Kota Yogyakarta dalam memberikan Jaminan Pendidikan Daerah (JPD), bukan hanya wajib belajar 9 Tahun, namun wajib belajar 12 (dua belas) tahun. Penerima JPD KMS mendapatkan kuota KMS dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), yaitu dengan memberikan kuota tertentu bagi peserta didik pemegang KMS dalam PPDB agar bisa mengakses sekolah yang favorit. Berdasarakan pengakuan dengan beberapa pengajar di SMP


(19)

tersebut menyatakan bahwa kelas non-reguler kurang bisa mengikuti prestasi dari kelas reguler, atau membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok peserta didik lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama, hal ini mengakibatkan motivasi belajar kelas non-reguler jauh lebih rendah dari kelas reguler, dan ada beberapa peserta didik yang mengindikasikan memiliki kesulitan beradaptasi dengan teman-temannya. Selain itu, berdasarkan wawancara dengan guru pengampu mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, Ibu Marheni Prihatinningsih, S.Pd mengatakan bahwa dalam menilai hasil tugas kelas non-reguler beliau harus menurunkan standar penilaian. Berikut merupakan perbandingan rata-rata nilai Ujian Tengah Semester ( UTS) IPS antara kelas KMS dan reguler:

Tabel 1. Perbandingan nilai UTS IPS SMP Negeri 15 Yogyakarta

Kelas KMS Reguler

VII 76,50 81,50

VIII 79,20 86,40

IX 78,85 89,50

Sumber: Data SMP N 15 Yogyakarta Tahun Ajaran 2015/2016

Pengaturan kelas di Sekolah Menengah Pertama Negeri 15 Yogyakarta ini ditekankan pada terciptanya suasana yang kooperatif bukannya kompetitif, harapannya peserta didik-peserta didik yang lemah secara akademik dapat memberikan konstribusi yang berarti terhadap kesuksesan kelompok kooperatif. Alasan mengapa kelas diurutkan berdasarkan peringkat dikarenakan guru dapat lebih mudah dalam memberikan pelayanan dan perhatian, menciptakan kondisi ideal dan kondusif untuk mencapai tujuan pembelajaran secara maksimal, peserta didik yang berkemampuan tinggi tidak merasa terhambat perkembangannya serta


(20)

peserta didik yang berkemampuan rendah tidak merasa tertinggal jauh dengan anggota kelompoknya. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan bimbingan yang tepat kepada anak didik maka pendidik khususnya dalam bidang IPS perlu memahami masalah yang menyebabkan kesulitan belajar pada mata pelajaran IPS dan berusaha agar kesulitan belajar itu dapat segera teratasi. Berdasarkan dari uraian di atas peneliti tertarik untuk untuk melakukan penelitian. Peneliti ingin mengetahui kesulitan yang dihadapai kelas non-reguler dalam menguasai mata pelajaran IPS, karena hal ini belum pernah diteliti sebelumnya. Penelitian ini berjudul “Kesulitan-Kesulitan Belajar pada Peserta didik Kelas Non-Reguler pada Mata Pelajaran IPS di SMP Negeri 15 Yogyakarta”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka masalah yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Pertumbuhan dan perkembangan secara biologis, psikologis, dan kecerdasan peserta didik tidak sama.

2. Peserta didik kelas non-reguler tidak mempunyai motivasi belajar yang sama dengan kelas reguler.

3. Karakteristik peserta didik yang tidak sama antara satu dengan yang lainnya, menyebabkan harus mengelompokkan peserta didik secara homogen.

4. Masih banyak peserta didik yang mengalami kesulitan dalam mempelajari IPS, ditandai dengan rendahnya hasil belajar.


(21)

5. Kurangnya minat dan perhatian peserta didik terhadap pelajaran IPS. C. Pembatasan Masalah

Berdasarakan identifikasi masalah di atas mengingat begitu luasnya permasalahan yang ada, maka fokus masalah ditetapkan pada kesulitan belajar peserta didik non-reguler pada mata pelajaran IPS.

1. Peserta didik kelas non-reguler tidak mempunyai motivasi belajar yang sama dengan kelas reguler.

2. Kurangnya minat dan perhatian peserta didik terhadap pelajaran IPS. D. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang masalah di atas maka yang menjadi

permasalahan dalam penelitian ini adalah: “Faktor–faktor apa yang

mempengaruhi kesulitan belajar peserta didik kelas non-reguler Sekolah Menengah Pertama Negeri 15 Yogyakarta dalam mempelajari mata pelajaran IPS?”

E. Tujuan Penelitian

Berdasar rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor–faktor apa saja yang mempengaruhi kesulitan belajar peserta didik kelas non-reguler SMP N 15 Yogyakarta dalam mempelajari mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menambah manfaat yang bertujuan untuk kemajuan pendidikan, antara lain:


(22)

1. Manfaat teoritis

Memberikan informasi mengenai kesulitan belajar pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, sehingga diharapkan karya ini dijadikan sebagai acuan maupun pedoman secara objektif yang menggambarkan keadaan yang sesungguhnya.

2. Manfaat praktis a. Bagi sekolah

1) Penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan sekolah khususnya mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.

2) Mewujudkan pembelajaran yang efektif di sekolah.

3) Sebagai acuan bagi perbaikan kualitas pembelajaran di kelas. b. Bagi guru

Penelitian ini diharapkan mampu mempermudah guru dalam memahami kesuliatan belajar peserta didik non-reguler dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial untuk tahun-tahun berikutnya.

c. Bagi orang tua

Penelitian ini diharapkan orang tua dapat memberikan dorongan dan motivasi belajar peserta didik khususnya peserta didik kelas non-reguler secara berkelanjutan.


(23)

9

A. Deskripsi Teori 1. Belajar

a. Teori Belajar

Belajar adalah suatu proses adaptasi yang berlangsung secara progressif, juga merupakan suatu proses perubahan yang menyangkut tingkah laku atau kejiwaan. Jadi dapat diartikan proses belajar adalah sebagai tahapan perubahan perilaku kognitif, afektif dan psikomotor yang terjadi dalam diri peserta didik. Perubahan tersebut bersifat positif dalam arti berorientasi ke arah yang lebih maju daripada keadaan sebelumnya

Gerow (1989: 168) mengemukakan bahwa “Learning demonstrated by a relatively permanent change in behavior that occurs as the result of practice or experience”. Belajar ditunjukkan oleh perubahan yang relatif tetap dalam perilaku yang terjadi karena adanya latihan dan pengalaman-pengalaman. Sejalan dengan itu Nana Sudjana (1989: 28), mendefinisikan belajar sebagai suatu proses yang ditandai dengan perubahan pada diri seseorang.

Hal ini didukung oleh pernyataan Sudjana (2000: 28) yang menyatakan :

Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil belajar dapat ditunjukkan dalam bentuk seperti berubah pengetahuannya, pemahamannya, sikap dan tingkah lakunya,


(24)

keterampilannya, kecakapan dan kemampuannya, daya interaksinya, daya penerimaannya dan lain – lain aspek yang ada pada individunya.

Sejalan dengan itu, Bahri Djamarah (2002: 13) berpendapat bahwa belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotor.

Selanjutnya Benjamin Bloom (1956), mengklasifikasi belajar secara garis besar dibagi dalam tiga ranah yaitu:

1) Cognitive Domain : Mental skills (Knowledge)

The cognitive domain involves knowledge and the development of intellectual skills. This includes the recall or recognition of specific facts, procedural patterns, and concepts that serve in the development of intellectual abilities and skills. There are six major categories, which are listed in order below, starting from the simplest behavior to the most complex. The categories can be thought of as degrees of difficulties. That is, the first one must be mastered before the next one can take place: knowledge, intellectual skills, and abilities

2) Affective Domain

Growth in feelings or emotional areas (Attitude) Affective Domain Cognitive Domain Psychomotor Domain. This domain includes the manner in which we deal with things emotionally, such


(25)

as feelings, values, appreciation, enthusiasms, motivations, and attitudes. The five major categories listed the simplest behavior to the most complex: Receiving Phenomena, Responding to Phenomena, Valuing, Organization, Internalizing values

3) Psychomotor Domain: Manual or physical skills (Skills)

The psychomotor domain includes physical movement, coordination, and use of the motor-skill areas. Development of these skills requires practice and is measured in terms of speed, precision, distance, procedures, or techniques in execution. The seven major categories listed the simplest behavior to the most complex: (Perception). The ability to use sensory cues to guide motor activity. This ranges from sensory stimulation, through cue selection, to translation, (Set) Readiness to act. It includes mental, physical, and emotional sets. These three sets are dispositions that predetermine a person’s response to different situations (sometimes called mindsets), (Guided Response) The early stages in learning a complex skill that includes imitation and trial and error. Adequacy of performance is achieved by practicing., (Mechanism) This is the intermediate stage in learning a complex skill. Learned responses have become habitual and the movements can be performed with some confidence and proficiency, (Complex Overt Response) The skillful performance of motor acts that involve complex movement


(26)

patterns, (adaptation) Skills are well developed and the individual can modify movement patterns to fit special requirements.

Sedangkan Djamarah (2002: 15) belajar mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1) Belajar adalah perubahan yang terjadi secara sadar. 2) Perubahan dalam belajar bersifat fungsional. 3) Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif. 4) Perubahan dalam belajar tidak bersifat sementara. 5) Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah.

Berdasarkan pengertian di atas dapat dibuat kesimpulan bahwa agar terjadi proses belajar atau terjadinya perubahan tingkah laku sebelum kegiatan belajar mengajar di kelas. Seorang guru perlu menyiapkan atau merencanakan berbagai pengalaman belajar yang akan diberikan pada peserta didik dan pengalaman belajar tersebut harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses belajar itu terjadi secara internal dan bersifat pribadi dalam diri peserta didik, agar proses belajar tersebut mengarah pada tercapainya tujuan dalam kurikulum maka guru harus merencanakan dengan seksama dan sistematis. Berbagai pengalaman belajar yang memungkinkan perubahan tingkah laku peserta didik sesuai dengan apa yang diharapkan.

Aktifitas guru untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan proses belajar peserta didik berlangsung optimal disebut dengan kegiatan pembelajaran, dengan kata lain pembelajaran adalah proses membuat orang belajar. Guru bertugas membantu orang belajar dengan cara memanipulasi lingkungan sehingga peserta didik dapat belajar dengan mudah, artinya guru harus mengadakan pemilihan terhadap berbagai


(27)

strategi pembelajaran yang ada, yang paling memungkinkan proses belajar peserta didik berlangsung optimal. Tujuan-tujuan pembelajaran telah dirumuskan dalam kurikulum yang berlaku. Peran guru disini adalah sebagai pengelola proses belajar mengajar tersebut.

Beberapa definisi di atas dapat diidentifikasikan ciri-ciri kegiatan belajar, yaitu:

1) Belajar adalah aktifitas yang menghasilkan perubahan pada diri individu yang belajar baik aktual maupun potensial.

2) Perubahan itu pada dasarnya berupa didapatkanya kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang relatif lama.

3) Perubahan itu terjadi karena usaha. b. Jenis-Jenis Belajar

Menurut Robert M. Gagne (1985: 66) jenis-jenis belajar adalah: Tabel 2. Jenis Belajar Menurut M. Gagne

Category of performance

Description Verbal

information

Declarative knowledge like laws, stored as distributed representations

Intellectual skills

Procedural knowledge like dividing integers, stored as linked procedural steps arranged in hierarchies where higher skills include lower ones

Cognitive strategies

Skills that influence the selection and activation of other production systems, usually simple like “break a problem into parts”, retrieved by external or internal cueing Motor skills Skills like inserting contact lens, manifesting with smooth

and error-less performance

Attitudes Acquired mental statesthat in certain situations influence one's actions


(28)

Tabel 2, Gagne menyatakan ada 5 kategori dalam the domains of learning yaitu:

1) Informasi verbal

Orang dapat menjelaskan sesuatu dengan berbicara, menulis, menggambar, dalam hal ini dapat dimengerti bahwa untuk mengatakan sesuatu ini perlu intelegensi.

2) Kemampuan intelektual

Manusia mengadakan interaksi dengan simbol-simbol. Kemampuan belajar cara inilah yang disebut “kemampuan

intelektual”.

3) Strategi kognitif

Ini merupakan ketrampilan internal untuk belajar mengingat dan berpikir. Kemampuan ini berbeda dengan kemampuan intelektual, dan tidak dapat dipelajari hanya dengan berbuat sekali dan memerlukan perbaikan yang terus-menerus.

4) Kemampuan motoris

Hal ini perlu koordinasi dari berbagai gerakan badan, misalnya main tenis, mengemudi mobil dan lain-lain.

5) Sikap

Kemampuan ini tidak dapat dipelajari dengan ulangan-ulangan, dan tidak tergantung atau dipengaruhi oleh hubungan verbal. Sikap ini penting dalam proses belajar, tanpa kemampuan ini belajar tidak akan berjalan dengan baik.


(29)

c. Gaya Belajar

Menurut Nasution (2008: 93). gaya belajar atau “learning style” peserta didik yaitu cara peserta didik bereaksi dan menggunakan perangsang-perangsang yang diterimanya dalam proses belajar. Peserta didik pada umumnya akan sulit memproses informasi dalam satu cara yang dirasa tidak nyaman bagi mereka. Peserta didik memiliki kebutuhan belajar sendiri, belajar dengan cara yang berbeda, serta memproses informasi dengan cara yang berbeda. Informasi tentang adanya gaya belajar yang berbeda-beda mempunyai pengaruh atas kurikulum, administrasi, dan proses mengajar belajar. Masalah ini sangat kompleks, sulit, memakan waktu banyak, biaya yang tidak sedikit, frustasi (Nasution, 2008: 93).

Sejalan dengan Nasution, Hamzah B. Uno (2008: 180) menyatakan kemampuan seseorang untuk memahami dan menyerap pelajaran sudah pasti berbeda tingkatnya. Ada yang cepat, sedang, dan ada pula yang sangat lambat. Oleh karena itu, mereka seringkali harus menempuh cara berbeda untuk bisa memahami sebuah informasi atau pelajaran yang sama. Bobbi DePotter dan Hernacki (2009: 110) menyebutkan bahwa mengetahui gaya belajar yang berbeda telah membantu para peserta didik, dengan demikian akan memberi persepsi yang positif bagi peserta didik tentang cara guru mengajar. Aktivitas belajar akan dapat tercapai sesuai dengan tujuan yang diinginkan, maka gaya belajar peserta didik harus dipahami oleh guru.


(30)

Menurut DePorter & Hernacki (2009: 112), terdapat tiga gaya belajar seseorang yaitu gaya belajar visual, auditorial, dan kinestetik. Walaupun masing-masing peserta didik belajar dengan menggunakan ketiga gaya belajar ini, kebanyakan peserta didik lebih cenderung pada salah satu diantara gaya belajar tersebut.

1) Gaya Belajar Visual

Peserta didik yang bergaya belajar visual, yang memegang peranan penting adalah mata/penglihatan (visual), mereka cenderung belajar melalui apa yang mereka lihat. Peserta didik yang mempunyai gaya belajar visual harus melihat bahasa tubuh dan ekspresi muka gurunya untuk mengerti materi pelajaran. Mereka cenderung untuk duduk di depan agar dapat melihat dengan jelas. Mereka berpikir menggunakan gambar-gambar di otak mereka dan belajar lebih cepat dengan menggunakan tampilan-tampilan visual, seperti diagram, buku pelajaran bergambar, dan video.

2) Gaya Belajar Auditorial

Peserta didik yang bertipe auditori mengandalkan kesuksesan belajarnya melalui telinga (alat pendengarannya). Peserta didik yang mempunyai gaya belajar auditori dapat belajar lebih cepat dengan menggunakan diskusi verbal dan mendengarkan apa yang guru katakan. Mereka dapat mencerna dengan baik informasi yang disampaikan melalui tone suara, pitch (tinggi rendahnya), kecepatan berbicara dan hal-hal auditori lainnya, informasi tertulis terkadang


(31)

sulit diterima oleh peserta didik bergaya belajar auditori. Anak-anak seperti ini biasanya dapat menghafal lebih cepat dengan membaca teks dengan keras dan mendengarkan kaset.

Orang-orang auditorial: berbicara kepada diri sendiri saat bekerja, mudah terganggu oleh keributan, menggerakkan bibir mereka dan mengucapkan tulisan di buku ketika membaca, senang membaca dengan keras dan mendengarkan, dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, birama, dan warna suara, mereka kesulitan untuk menulis tetapi hebat dalam berbicara, berbicara dengan irama yang terpola, biasanya pembicara yang fasih, lebih suka musik daripada seni, belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan daripada yang dilihat, suka berbicara, suka berdiskusi dan menjelaskan segala sesuatu panjang lebar, mempunyai masalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan visualisasi seperti memotong bagian-bagian hingga sesuai satu sama lain, lebih pandai mengeja dengan keras daripada menuliskannya, lebih suka gurauan lisan daripada membaca komik.

3) Gaya Belajar Kinestetik

Peserta didik yang mempunyai gaya belajar kinestetik belajar melalui bergerak, menyentuh, dan melakukan. Peserta didik seperti ini tidak tahan untuk duduk berlama-lama mendengarkan pelajaran dan merasa bisa belajar lebih baik jika prosesnya disertai kegiatan fisik. Kelebihannya, mereka memiliki kemampuan mengkoordinasikan


(32)

sebuah tim. Orang-orang kinestetik: berbicara dengan perlahan, menanggapi perhatian fisik, menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian mereka, berdiri dekat ketika berbicara dengan orang.

2. Pembelajaran IPS

a. Hakikat dan Tujuan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) di SMP/MTs Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang juga dikenal dengan nama social studies adalah kajian mengenai manusia dengan segala aspeknya dalam sistem kehidupan bermasyarakat. IPS mengkaji bagaimana hubungan manusia dengan sesamanya di lingkungan sendiri, dengan tetangga yang dekat sampai jauh. IPS juga mengkaji bagaimana manusia bergerak dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, IPS mengkaji tentang keseluruhan kegiatan manusia.

Sebutan Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai mata pelajaran dalam dunia pendidikan dasar dan menengah di negara kita, menurut sejarah muncul bersamaan dengan diberlakukannya Kurikulum SD, SMP, dan SMA tahun 1975. IPS memiliki kekhasan dibandingkan dengan mata pelajaran lain sebagai pendidikan disiplin ilmu, yakni kajian yang bersifat terpadu (integrated), interdisipliner, multidimensional bahkan cross-diciplinary (Numan Somantri, 2001: 101). Karakteristik ini terlihat dari perkembangan IPS sebagai mata pelajaran di sekolah yang cakupan materinya semakin meluas.

Sejalan dengan itu Barth (1990: 360) mengemukakan sebagai berikut. Social studies was assigned the mission of citizenship


(33)

education, that mission included the study of personal/social problems in an interdiciplinary integrated school curriculum that would emphasize the practice of decision making. Maksudnya adalah IPS membawa misi pendidikan kewarganegaraan termasuk di dalamnya pemahaman mengenai individu atau masalah sosial yang terpadu secara interdisipliner dalam kurikulum sekolah yang akan menekankan pada praktek pengambilan keputusan.

IPS merupakan studi terintegrasi dari ilmu-ilmu sosial untuk mengembangkan potensi kewarganegaraan yang dikoordinasikan dalam program sekolah sebagai pembahasan sistematis yang dibangun dalam beberapa disiplin ilmu. Antara lain seperti antropologi, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat ilmu-ilmu politik, psikologi, agama, sosiologi, dan juga memuat isi dari humaniora dan ilmu-ilmu alam. Mata pelajaran IPS di SMP/MTs di Indonesia memiliki salah satu tujuan untuk mengembangkan kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat dan lingkungan sebagaimana yang tertuang dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 (Supardi, 2010: 185). Hal ini sejalan dengan tujuan mata pelajaran IPS di negara barat yang dikenal dengan Social Studies.

Ada beberapa tujuan social studies di Amerika sebagaimana yang

diungkapkan oleh Ross (2006: 18) yaitu “Social Studies in the broadest

sense, that is, the preparation of young people so that they possess the knowledge, skills, and values neccessary for activeparticipation in


(34)

society, has been a primary part of schooling in North America since colonial times”. Menurut Ross, Social Studies memiliki tujuan untuk mempersiapkan kemampuan peserta didik untuk mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan nilai agar peserta didik mampu berpatisipasi aktif dalam kehidupan sosial dan masyarakat.

Begitu pula dengan tujuan mata pelajaran IPS di Indonesia tingkat SMP/MTs, sebagaimana yang diungkapkan oleh Arnie Fajar (2005: 114), yakni:

1) Mengembangkan kemampuan berpikir, inkuiri, pemecahan masalah, dan keterampilan sosial.

2) Membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan

3) Meningkatkan kemampuan berkompetisi dan bekerja sama dalam masyarakat yang majemuk, baik dalam skala nasional maupun internasional.

Soemantri M N (2001: 44) mendefinisikan dan merumuskan tujuan IPS untuk tingkat sekolah sebagai mata pelajaran, yaitu 1) menekankan pada tumbuhnya nilai-nilai kewarganegaraan, moral ideologi negara, dan agama, 2) menekankan pada isi dan metode berpikirilmuan sosial, dan 3) menekankan pada reflectif inquiry. Berdasarkan pendapat Numan Somantri, maka mata pelajaran IPS ditingkat SMP, menekankan kepada tumbuhnya nilai-nilai


(35)

kewarganegaraan, moral, ideologi, agama, metode berpikir sosial, dan inquiry.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka tujuan mata pelajaran IPS di tingkat Sekolah Menengah Pertama di Indonesia, untuk mengembangkan kemampuan berpikir, inkuiri, keterampilan sosial, dan membangun nilai-nilai kemanusiaan yang majemuk baik skala lokal, nasional, dan global.

b. Karakteristik Pembelajaran IPS di SMP/MTs

Karateristik mata pelajaran IPS SMP/MTs dalam Panduan Pengembangan Pembelajaran IPS Terpadu 2006 menyebutkan karakteristik mata pelajaran IPS SMP/MTs antara lain sebagai berikut:

1) Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan gabungan dari unsur-unsur geografi, sejarah, ekonomi, hukum dan politik, kewarganegaraan, sosiologi, bahkan juga bidang humaniora, pendidikan dan agama (Numan Soemantri, 2001: 44).

2) Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS berasal dari struktur

3) Keilmuan geografi, sejarah, ekonomi, dan sosiologi, yang dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi pokok bahasan atau topik (tema) tertentu.

4) Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS juga menyangkut berbagai masalah sosial yang dirumuskan dengan pendekatan interdisipliner dan multidisipliner.


(36)

5) Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dapat menyangkut peristiwa dan perubahan kehidupan masyarakat dengan prinsip sebab akibat, kewilayahan, adaptasi dan pengelolaan lingkungan, struktur, proses dan masalah sosial serta upaya-upaya perjuangan hidup agar survive seperti pemenuhan kebutuhan, kekuasaan, keadilan dan jaminan keamanan (Daldjoeni, 1981).

6) Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS menggunakan tiga dimensi dalam mengkaji dan memahami fenomena sosial serta kehidupan manusia secara keseluruhan.

Sejalan dengan itu karakteristik pendidikan IPS menurut Banks (1990: 75) adalah sebagai berikut:

1) Social studies programs have as a major purpose the promotion of civic competence which is the knowledge, skills, and attitude required of students to be able to assume ”the office of citizen” (as Thomas Jefferson called it) in our democratic republic.

(Program pendidikan IPS mempunyai tujuan utama membentuk warga negara yang memiliki pengetahuan, keterampilan-keterampilan, dan sikap yang dibutuhkan peserta didik dalam suatu masyarakat yang demokratis.)

2) Social studies programs help students construct a knowledge base and attitude drawn from academic disciplines as specialized ways of viewing reality. (Program pendidikan IPS membantu peserta didik


(37)

dalam mengkonstruk pengetahuan dan sikap dari disiplin akademik sebagai suatu pengalaman khusus).

3) Social studes programs reflect the changing nature of knowledge, fostering, entirely new and highly integrated approaches to resolving issues of significance to humanity.

(Program pendidikan IPS mencerminkan perubahan pengetahuan, mengembangkan sesuatu yang baru dan menggunakan pendekatan terintegrasi untuk memecahkan isu secara manusiawi)

Kesimpulannya bahwa karakteristik pembelajaran IPS secara umum merupakan pendidikan kognitif sebagai dasar partisipasi sosial. Artinya pusat perhatian utama pembelajaran IPS adalah pengembangan murid sebagai aktor sosial yang cerdas, tidak berarti dan memang tidak bisa hanya dikembangkan aspek kecerdasan rasionalnya.

3. Kesulitan Belajar

a. Pengertian Kesulitan Belajar

Peserta didik mulai belajar dari sesuatu yang sangat sederhana, kemudian berkembang menuju pemahaman yang lebih komplek. Peserta didik belajar dari stimulus–stimulus yang hadir, kemudian merespon dengan berbagai kemungkinan dan banyak cara. Dalam belajar, peserta didik melakukan berbagai tingkah laku, antara lain mengamati, mencerna dalam pikiran, menirukan, menerapkan dalam situasi lain, dan sebagainya. Pada saat mencerna dalam pikiran, mulai timbul pertanyaan. Pertanyaan tersebut merupakan salah satu wujud respon terhadap


(38)

stimulus yang hadir. Selama proses belajar peserta didik baik secara umum maupun secara khusus (belajar IPS), tidak selalu berjalan lancar. Peserta didik terkadang mempunyai masalah dalam belajar yang disebut kesulitan belajar.

Koestoer dan Hadisuparto (1978: 95-106) mengatakan tahap pertama yang paling efisien dalam mendiagnosa kesulitan-kesulitan belajar peserta didik yakni sejauh mana peserta didik dapat mencapai berbagai tujuan yang diharapkan sekolah. Tahap berikutnya adalah memperkirakan sebab, tahap ini berdasarkan asumsi bahwa kita tidak dapat menggambil keputusan secara bijaksana bagaimana membantu peserta didik mengatasi kesulitannya. Sunarta (1985: 7) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kesulitan belajar adalah kesulitan yang dialami oleh peserta didik dalam kegiatan belajarnya, sehingga berakibat prestasi belajarnya rendah dan perubahan tingkah laku yang terjadi tidak sesuai dengan partisipasi yang diperoleh sebagaimana teman-teman kelasnya.

Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesulitan belajar adalah suatu kondisi dimana anak didik tidak dapat belajar secara wajar atau suatu keadaan dalam proses belajar mengajar dimana anak didik tidak dapat belajar sebagaimana mestinya. Kesulitan belajar pada dasarnya adalah suatu gejala yang nampak dalam berbagai manivestasi tingkah laku, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang disebabkan adanya hambatan, ancaman, dan gangguan dalam belajar. Supriyono


(39)

(2003: 77) menyatakan bahwa kesulitan belajar adalah suatu keadaan dimana peserta didik atau anak didik tidak dapat belajar sebagaimana mestinya. Sesuai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesulitan belajar adalah suatu kondisi proses belajar yang ditandai hambatan-hambatan tertentu sehingga mengganggu proses belajar dan pencapaian hasil belajar.

b. Faktor Kesulitan Belajar

Muhibbin Syah (2002: 172) menyebutkan faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar antara lain:

1) Faktor intern, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang muncul dalam diri peserta didik sendiri, antara lain:

a) Kognitif (ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas intelektual/inteligensi anak didik.

b) Afektif (ranah rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan sikap. c) Psikomotor (ranah karsa), antara lain seperti terganggunya

alat-alat indera penglihatan dan pendengaran (mata dan telinga). 2) Faktor ekstern, yakni hal-hal atau keadaan yang datang dari luar diri

peserta didik antara lain:

a) Lingkungan keluarga, contohnya: ketidak harmonisan hubungan antara ayah dan ibu, dan rendahnya kehidupan ekonomi keluarga.


(40)

b) Lingkungan masyarakat, contohnya: wilayah perkampungan kumuh (slum area) dan teman sepermainan (peer group) yang nakal.

c) Lingkungan sekolah, contohnya: kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk, kondisi guru serta alat- alat belajar yang berkualitas rendah.

Sugihartono, dkk (2007: 155-156) mengemukakan bahwa peserta didik yang mengalami kesulitan belajar atau ketidakberesan dalam belajar, ditunjukkan oleh hasil belajar yang rendah. Hal ini disebabkan oleh berbagai hal, Dimyati dan Mudjiono (2002: 297) mengemukakan faktok-faktor internal yang mempengaruhi proses belajar sebagai berikut:

1) Sikap terhadap belajar 2) Motivasi belajar 3) Konsentrasi belajar 4) Mengolah bahan ajar

5) Menyimpan perolehan hasil belajar 6) Menggali hasil belajar yang tersimpan

7) Kemampuan berprestasi atau unjuk hasil kerja 8) Rasa percaya diri peserta didik

9) Inteligensi dan keberhasilan belajar 10)Kebiasaan belajar


(41)

Faktor ekternal yang berpengaruh proses belajar meliputi: 1) Guru sebagai Pembina peserta didik belajar

2) Prasarana dan sarana pembelajaran 3) Kebijakan penilaian

4) Lingkungan sosial peserta didik di sekolah 5) Kurikulum sekolah

Sejalan dengan itu , Slameto (2013: 54-71) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi belajar digolongkan menjadi dua golongan saja yaitu:

1) Faktor-faktor intern

a) Faktor jasmaniah meliputi: (1) Faktor kesehatan

Sehat berarti dalam keadaan baik segenap badan beserta bagian-bagiannya/bebas dari penyakit. Kesehatan adalah keadaan atau hal sehat. Kesehatan seseorang berpengaruh terhadap belajarnya. Proses belajar seseorang akan terganggu jika kesehatan seseorang terganggu.

(2) Cacat tubuh

Cacat tubuh adalah sesuatu yang menyebabkan kurang baik atau kurang sempurna mengenai tubuh/badan. Cacat itu dapat berupa buta, setengah buta, tuli, patah kaki, dan lain-lain. Keadaan cacat tubuh juga mempengaruhi belajar. Peserta didik yang cacat belajarnya juga terganggu.


(42)

b) Faktor psikologis faktor ini meliputi : (1) Inteligensi

Intelegensi besar pengaruhnya terhadap kemajuan belajar. Peserta didik yang mempunyai tingkat intelegensi tinggi akan lebih berhasil daripada yang mempunyai tingkat intelegensi rendah.

(2) Perhatian

Untuk dapat menjamin hasil belajar yang baik, maka peserta didik harus mempunyai perhatian terhadap, bahan yang dipelajarinya, jika bahan pelajaran tidak menjadi perhatian peserta didik, maka timbullah kebosanan, sehingga ia tidak lagi suka belajar. Peserta didik dapat belajar dengan baik apabila bahan pelajaran selalu menarik perhatian dengan cara mengusahakan pelajaran itu sesuai dengan hobi atau bakatnya.

(3) Minat

Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa kegiatan. Kegiatan yang diminati seseorang, diperhatikan terus-menerus yang disertai dengan rasa senang. Minat besar pengaruhnya terhadap belajar, karena bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat peserta didik, peserta didik tidak akan belajar dengan sebaik-baiknya, karena tidak ada daya tarik baginya. la


(43)

segan-segan untuk belajar, ia tidak memperoleh kepuasan dari pelajaran itu.

(4) Bakat

Bakat adalah kemampuan untuk belajar. Kemampuan itu baru akan terealisasi menjadi kecakapan yang nyata sesudah belajar atau berlatih

(5) Motif

Motif erat sekali hubungannya dengan tujuan yang akan dicapai. Dalam menentukan tujuan itu dapat disadari atau tidak, akan tetapi untuk mencapai tujuan itu perlu berbuat, sedangkan yang menjadi penyebab berbuat adalah motif itu sendiri sebagai daya penggerak/pendorongnya, dalam proses belajar haruslah diperhatikan apa yang dapat mendorong peserta didik agar dapat belajar dengan baik atau padanya mempunyai motif untuk berpikir dan memusatkan perhatian, merencanakan dan melaksanakan kegiatan yang berhubungan/menunjang belajar. (6) Kematangan

Kematangan adalah suatu tingkat/fase dalam pertumbuhan seseorang, dimana alat-alat tubuhnya sudah siap untuk melaksanakan kecakapan baru. Misalnya anak dengan kakinya sudah siap untuk berjalan, tangan dengan jari-jarinya sudah siap untuk menulis, dengan otaknya sudah siap, untuk berpikir abstrak, dan lain-lain. Kematangan belum berarti anak dapat


(44)

melaksanakan kegitan secara terus-menerus, untuk itu diperlukan latihan-latihan dan pelajaran.

(7) Kesiapan

Kesiapan adalah kesediaan untuk memberi respon atau bereaksi. Kesedian itu timbul dari dalam diri seseorang dan juga berhubungan dengan kematangan, karena kematangan berarti kesiapan untuk melaksanakan kecakapan. Kesiapan ini perlu diperhatikan dalam proses belajar, karena jika peserta didik belajar dan padanya sudah ada kesiapan, maka hasil belajarnya akan lebih baik.

2) Faktor-faktor ekstern a) Faktor keluarga

(1) Cara orang tua mendidik

Cara orang tua mendidik anak-anaknya akan berpengaruh terhadap belajarnya. Orang tua yang kurang/tidak memperhatikan pendidikan anaknya, misalnya mereka acuh tak acuh terhadap belajar anaknya, tidak memperhatikan sama sekali akan kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan anaknya dalam belajar, kesulitan-kesulitan yang dialami dalam belajar dan lain-lain.

(2) Relasi antar anggota keluarga

Relasi anak dengan saudaranya atau dengan anggota keluarga yang lain turut mempengaruhi belajar anak. Wujud relasi itu


(45)

misalnya apakah hubungan itu penuh diliputi oleh kebencian, sikap yang terlalu keras, ataukah sikap yang acuh tak acuh dan sebagainya. Relasi semacam itu akan menyebabkan perkembangan anak terhambat, belajarnya terganggu dan bahkan dapat menimbulkan masalah-masalah psikologis yang lain.

(3) Suasana rumah

Suasana rumah dimaksudkan sebagai situasi atau kejadian-kejadian yang sering terjadi di dalam keluarga dimana anak berada dan belajar. Suasana rumah yang gaduh/ramai dan semrawut tidak akan memberi ketenangan kepada anak yang belajar. Suasana rumah yang tegang, ribut, dan sering terjadi cekcok, pertengkaran antara anggota keluarga atau dengan keluarga lain menyebabkan anak menjadi bosan di rumah, suka keluar rumah, akibatnya belajarnya kacau.

(4) Keadaan ekonomi keluarga

Keadaan ekonomi keluarga erat hubungannya dengan belajar anak. Anak yang sedang belajar selain harus terpenuhi kebutuhan pokoknya, jika anak hidup dalam keluarga yang miskin, kebutuhan pokok anak kurang terpenuhi, akibatnya kesehatan anak terganggu, sehingga belajar anak juga terganggu. Akibat yang lain anak selalu dirundung kesedihan sehingga anak merasa minder dengan teman lain, hal ini pasti akan mengganggu belajar anak.


(46)

Sebaliknya keluarga yang kaya raya, orang tua sering mempunyai kecenderungan untuk memanjakan anak. Anak hanya berfoya-foya, akibatnya anak kurang dapat memusatkan perhatiannya kepada belajar. Hal tersebut juga dapat mengganggu belajar anak.

(5) Pengertian Orang Tua

Anak belajar perlu dorongan dan pengertian orang tua. Bila anak sedang belajar jangan diganggu dengan tugas-tugas di rumah seperti ketika peserta didik sedang belajar diganggu untuk memasak, mengasuh adik kandung dan lain-lain.

b) Faktor Sekolah (1) Metode Mengajar

Metode mengajar yang kurang baik itu dapat terjadi misalnya karena guru kurang persiapan dan kurang menguasai bahan pelajaran sehingga guru tersebut menyajikannya tidak jelas atau sikap guru terhadap peserta didik dan atau terhadap mata pelajaran itu sendiri tidak baik, sehingga peserta didik kurang senang terhadap pelajaran atau gurunya. Guru biasa mengajar dengan metode ceramah saja peserta didik menjadi bosan, mengantuk, pasif, dan hanya mencatat saja akibatnya peserta didik malas untuk belajar.


(47)

(2) Kurikulum Sekolah

Perubahan kurikulum di sekolah menimbulkan masalah bagi peserta didik ia perlu mempelajari cara-cara belajar, buku pelajaran, dan sumber belajar yang baru, dalam hal ini peserta didik harus menghindarkan diri dari cara-cara belajar lama.

(3) Relasi Guru dengan Peserta Didik

Proses belajar mengajar terjadiantara guru dengan peserta didik. Proses tersebut juga dipengaruhi oleh relasi yang ada dalam proses itu sendiri. Cara belajar peserta didik juga dipengaruhi oleh relasinya dengan gurunya. Jika gurunya terlalu arogan, dan galak terhadap peserta didik segan mempelajari mata pelajaran yang diberikannya, akibatnya pelajarannya tidak maju maka segan berpartisipasi secara aktif dalam belajar.

(4) Relasi Peserta Didik dengan Peserta Didik

Peserta didik yang mempunyai sifat-sifat atau tingkah laku yang kurang menyenangkan teman lain, mempunyai rasa rendah diri atau sedang mengalami tekanan-tekanan batin, akan diasingkan dari kelompok. Akibatnya makin parah masalahnya dan akan mengganggu belajarnya. Lebih-lebih lagi ia menjadi malas untuk masuk sekolah dengan alasan-alasan yang tidak-tidak karena di sekolah mengalami perlakuan yang kurang menyenangkan dari teman-temannya.


(48)

Alat pelajaran yang baik dan lengkap adalah perlu agar guru dapat mengajar dengan baik sehingga peserta didik dapat menerima pelajaran dengan baik serta dapat belajar dengan baik pula. Hal ini dibutuhkan kekreatifan seorang guru untuk mencukupi alat pelajaran.

(6) Waktu Sekolah

Waktu sekolah ialah waktu terjadinya proses belajar mengajar di sekolah, waktu itu dapat pagi hari, siang, sore/malam hari. Waktu sekolah juga mempengaruhi belajar peserta didik. Jika peserta didik terpaksa masuk sekolah di sore hari, sebenarnya kurang dapat dipertanggung jawabkan. Peserta didik harus beristirahat, tetapi terpaksa masuk sekolah, hingga mereka mendengarkan pelajaran sambil mengantuk dan sebagainya. Memilih waktu sekolah yang tepat akan memberi pengaruh yang positif terhadap belajar.

(7) Tugas Rumah

Waktu belajar terutama adalah di sekolah, di samping untuk belajar waktu di rumah biarlah digunakan untuk kegiatan-kegiatan lain. Maka diharapakan guru jangan terlalu banyak memberi tugas yang harus dikerjakan di rumah dan tidak menyulitkan peserta didik sehingga tidak mempengaruhi tekanan mental peserta didik bila tidak dapat mengerjakan tugas tidak berani untuk berangkat sekolah. c. Jenis Kesulitan Belajar


(49)

Kesulitan belajar peserta didik dapat ditunjukkan oleh adanya hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar. Hambatan tersebut dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis. Hambatan tersebut menyebabkan prestasi belajar peserta didik yang dicapai berada di bawah semestinya.

Macam kesulitan belajar peserta didik menurut Darsono (2000: 41) diantaranya:

1) Learning disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respon yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respon-respon yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya.

2) Learning disfunction adalah gejala dimana proses belajar yang dilakukan peserta didik tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya peserta didik tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat indera, atau gangguan psikologis lainnya.

3) Underachiever merupakan peserta didik yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah.


(50)

4) Slow learner atau lambat belajar adalah peserta didik yang lambat dalam proses belajar, sehingga dia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok peserta didik lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.

5) Learning disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana peserta didik tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya. 4. Kelas Non-Reguler

a. Pengertian Kelas Non-Reguler

Kelas non reguler merupakan kelas yang diperuntukan khusus bagi peserta didik pemegang KMS (Kartu Menuju Sejahtera) untuk menerima pendidikan gratis sesuai program JPD (Jaminan Pendidikan Daerah) di Kota Yogyakarta. Menurut Ashari (2012: 2), Jaminan Pendidikan Daerah adalah:

“JPD KMS merupakan bentuk komitmen Pemerintah Daerah

Kota Yogyakarta dalam memberikan Jaminan Pendidikan, bukan hanya wajib belajar 9 Tahun, namun wajib belajar 12 (dua belas) tahun, serta memberikan kesempatan yang luas bagi masyarakat Kota Yogyakarta untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. KMS merupakan identitas penduduk Kota Yogyakarta yang telah didata sebagai keluarga miskin berdasarkan parameter keluarga miskin yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 417/KEP/2009 tentang Penetapan

Parameter Pendataan Keluarga Miskin.”

Menurut Ashari (2012: 4), jaminan pendidikan daerah terhadap KMS Kota Yogyakarta didukung oleh anggaran yang meningkat. Pada Tahun 2012 Pemerintah Kota Yogyakarta meningkatkan akses


(51)

pendidikan masyarakat dengan menyediakan dana sebesar Rp 16,1 miliar. Hal ini tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Yogyakarta 2012. Adanya dukungan dana tersebut tentunya inisiasi JPD KMS terus berjalan karena program JPD KMS dianggap sebagai program yang perduli dengan pendidikan orang miskin. Secara politis, disetujuinya anggaran untuk JPD KMS merupakan wujud dukungan atas inisiasi program jaminan pendidikan di daerah Kota Yogyakarta

b. Fungsi dan Tujuan Kelas Non-Reguler

Sesuai Kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta, KMS diperuntukkan bagi warga pra sejahtera ber-KTP Kota Yogyakarta. KMS berfungsi sebagai identitas layanan bagi program jaminan pendidikan dan kesehatan.

Menurut Ashari (2012: 4), dikatakan bahwa dengan adanya KMS tersebut dapat dipergunakan untuk penyaluran beapeserta didik bagi peserta didik tidak mampu dan layanan jaminan kesehatan (askeskin), serta berfungsi memudahkan pembagian beras (raskin). Fungsi KMS adalah sebagai identitas layanan bagi warga ber-KTP Kota Yogyakarta yang dapat digunakan untuk penyaluran beapeserta didik bagi peserta didik tidak mampu dan layanan jaminan kesehatan (askeskin), serta berfungsi memudahkan pembagian beras (raskin)

Pemanfaatan KMS sangat membantu pemerintah Kota Yogyakarta untuk memberikan jaminan-jaminan bagi warga miskin


(52)

Kota Yogyakarta secara efektif agar dapat mengakses pendidikan, kesehatan, dan mempermudah pembagian beras raskin. Selain mendapatkan jaminan berupa biaya pendidikan, penerima JPD juga mendapatkan beberapa manfaat. Menurut Ashari (2012: 9), manfaat dari adanya JPD KMS adalah sebagai berikut:

“Pertama, penerima JPD KMS mendapatkan kuota KMS

dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), yaitu dengan memberikan kuota tertentu bagi peserta didik pemegang KMS dalam PPDB agar bisa mengakses sekolah yang favorit. Kuota KMS dalam PPDB merupakan Affirmative actiondari Pemerintah Daerah Kota Yogyakarta untuk memberikan peluang peningkatan kualitas pendidikan bagi peserta didik pemegang KMS. Kedua, penerima JPD KMS diberikan kepada peserta didik disetiap jenjang pendidikan dari TK sampai SMA baik sekolah negeri maupun swasta, serta sekolah luar biasa. Ketiga, penerima JPD KMS tetap akan diberikan bagi peserta didik pemegang KMS baik yang sekolah di Kota Yogyakarta

maupun luar Kota Yogyakarta”

Adanya KMS memberikan angin segar bagi peserta didik yang tergolong dalam keluarga tidak mampu untuk mengakses pendidikan yang lebih bermutu. Pemanfaatan KMS secara efektif akan meringankan beban biaya pendidikan peserta didik yang berasal dari keluarga miskin karena mendapatkan jaminan berupa biaya pendidikan, sehingga mereka bisa lebih termotivasi dalam belajar dan pada akhirnya adalah tercapai prestasi belajar yang diharapkan.

Berdasarkan kajian teori di atas dapat disimpulkan bahwa JPD melalui KMS merupakan bentuk komitmen Pemerintah Daerah Kota Yogyakarta dalam memberikan Jaminan Pendidikan, bukan hanya wajib belajar 9 Tahun, namun Wajib Belajar 12 (dua belas) Tahun, serta


(53)

memberikan kesempatan yang luas bagi masyarakat Kota Yogyakarta untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas.

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian terdahulu yang dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini antara lain:

1. Penelitian dilakukan oleh Maria Kritinova, Suryadi Suwinangun, Aminuyati (2013) yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor Kesulitan Belajar Peserta Didik pada Mata Pelajaran IPS Terpadu di Kelas VIII A SMP Negeri 3

Sekayam Kabupaten Sanggau”. Penelitian ini menggunakan metode

deskriptif dengan bentuk survey. Populasi berjumlah 22 peserta didik. Faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan belajar peserta didik yaitu faktor internal terdiri dari minat peserta didik sebesar 46,67%, motivasi 53,33 %, sikap 16,67%, dan kesehatan 13,33%. Faktor eksternal berasal dari lingkungan keluarga cara orang tua mendidik sebesar 26,67%, hubungan orang tua dengan anak 40%, suasana keluarga/rumah 13,33%, dan keadaan ekonomi keluarga 43,33%. Faktor eksternal dari lingkungan sekolah terdiri dari faktor yang berasal dari guru mencakup cara mengajar guru 26,66%, metode penyampaian materi 73,33%, kehadiran guru 40%. Faktor eksternal dari lingkungan masyarakat mencakup media massa 53,33%, teman bergaul 50%, dan aktif dalam kegiatan masyarakat 10%.

Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada fokus penelitiannya yaitu kesulitan belajar IPS, penelitian tersebut menggunakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif


(54)

yang menggunakan angket sebagai pengumpul data, sama dengan penelitian yang akan dilakukan.

Penelitian yang dilakukan oleh Maria Kritinova, Suryadi Suwinangun, Aminuyati mempunyai bidang kajian yang sama yaitu kesulitan belajar IPS. Namun penelitian tersebut tersebut bertujuan untuk menganalisis setiap faktor kesulitan belajar sedangkan penelitian yang akan saya lakukan hanya untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kesulitan belajar peserta didik kelas non-reguler.

2. Penelitian sebelumnya juga dilakukan oleh Sofiana Fuada dalam skripsi

berjudul “Faktor Kesulitan Belajar IPS di Kelas V Sekolah Dasar Se-Gugus

V Kecamatan Depok Kabupaten Sleman Tahun Pelajaran 2013/2014.” Penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian deskriptif ini adalah penelitian populasi seluruh peserta didik Sekolah Dasar se-gugus V Kecamatan Depok dan sampel berjumlah 89 peserta didik dengan menggunakan teknik sample populasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peserta didik kelas V mengalami kesulitan belajar pada faktor internal dan eksternal. Kesulitan pada faktor internal yaitu: faktor perhatian mengalami sedikit kesulitan (43,26%), faktor minat (52,62%), kepribadian (49,16%) sedangkan bakat mengalami kesulitan(58,01%). Faktor eksternal yaitu: faktor metode mengajar (51,78%) dan guru (52,43%) mengalami sedikit kesulitan, sedangkan bahan pelajaran (57,77%) dan cara belajar (61,80%) mengalami kesulitan.


(55)

Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada fokus penelitiannya, yaitu kesulitan belajar IPS, serta jenis penelitian yaitu kuantitatif dengan jenis penelitian deskriptif dan metode pengumpulan data menggunakan metode angket/kuesioner dengan instrumen penelitian berupa skala Likert.

Penelitian tersebut mempunyai ruang lingkup yang sama, yaitu kesulitan belajar dalam mata pelajaran IPS. Penelitian oleh Sofiana Fuada ini mengkaji pada kesulitan belajar IPS pada faktor eksternal dan internal siswa SD, sedangkan dalam penelitian yang akan peneliti teliti mengkaji kesulitan belajar IPS peserta didik kelas non-reguler di SMP.

C. Kerangka Pikir

Pelaksanaan kegiatan pembelajaran merupakan inti aktivitas pendidikan yang kompleks untuk memperoleh ilmu atau menguasai keterampilan dalam jenjang pendidikan atau interaksi dengan lingkungan. Perubahan sebagai hasil belajar dapat ditunjukan dalam berbagai bentuk yaitu perubahan tingkah laku, sikap, ilmu pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan lain-lain aspek yang ada pada individu. Hal ini ditandai dengan banyaknya faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar peserta didik, baik faktor internal maupun faktor eksternal lebih jelas diterangkan bahwa faktor internal berkaitan dengan faktor peserta didik dan faktor eksternal berkaitan dengan faktor di luar peserta didik, seperti faktor sosial, budaya, lingkungan fisik dan lingkungan, antara faktor internal dan eksternal sangatlah berkaitan dan saling mempengaruhi, dalam faktor internal faktor minat belajarnya dipengaruhi


(56)

oleh emosi yang ada di dalam dirinya dan itu mempengaruhi pembentukan cara belajarnya. Selain itu dalam faktor eksternal faktor bahan ajar yang ada mempengaruhi guru dalam penggunaan metode pembelajaran.

Seorang pendidik diharapkan lebih memahami faktor-faktor kesulitan belajar peserta didik, sehingga pada selanjutnya lebih mengerti hal-hal apa yang harus dilakukan agar anak didiknya dapat mengikuti rangkaian kegiatan akademik lebih mudah. Tidak berhenti sampai di situ seorang kepala sekolah juga diharapkan mempunyai pemahaman yang sama dan mengerti bahwa anak didik itu mempunyai berbagai macam kesulitan belajar sehingga berusaha semaksimal mungkin agar faktor-faktor kesulitan belajar yang disebabkan oleh lingkungan sekolah dapat dikurangi.

Berdasarkan faktor yang menyebabkan kesulitan belajar, maka peneliti mengidentifikasikan tentang faktor intern dan ekstern yang menjadi penyebab kesulitan belajar pada peserta didik kelas non-reguler pada mata pelajaran IPS Sekolah Menengah Pertama Negeri 15 Yogyakarta. Secara konseptual kerangka pikir penelitian ini dibangun berdasarkan kesimpulan teori yang peneliti paparkan di atas. Peneliti menyatakan bahwa kesulitan belajar peserta didik dibaginya menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi minat, emosi dan cara belajar. Sedangkan faktor eksternal meliputi metode dan bahan ajar, perhatian serta guru dan interaksinya dengan peserta didik. Beberapa faktor yang lain yang mempengaruhi kesulitan belajar tidak diteliti mengingat keterbatasan waktu dan sarana.


(57)

Gambar 1.Kerangka Pikir Pembelajaran IPS

Faktor Penyebab Kesulitan Belajar

Faktor Internal Faktor Eksternal

Minat Emosi Cara

belajar

Metode dan bahan

ajar

Guru dan interaksinya

dengan peserta didik Perhatian


(58)

44

A.Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode survei. Masri Singarimbun (2008: 3) menyatakan penelitian survei merupakan penelitian yang mengambil sampel dari populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data pokok. Teknik analisis kuantitatif ini digunakan untuk memperoleh data yang berupa angka-angka dari angket kepada responden dengan metode sampel. Penelitian survei ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan kesulitan-kesulitan belajar IPS peserta didik kelas non reguler SMP Negeri 15 Yogyakarta.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 15 Yogyakarta yang beralamatkan di Jalan Tegal Lempuyangan No.61 Bausasran Yogyakarta. Penelitian dimulai dengan penyusunan proposal pada bulan November 2015. Selanjutnya pengambilan data dilakukan bulan Maret-Mei 2016.

C. Variabel Penelitian

Sugiyono (2010: 60) mengemukakan bahwa variabel penelitian adalah suatu atribut, sifat, atau nilai dari orang, objek, atau kegiatan yang memiliki variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulan. Penelitian ini hanya ada satu variabel penelitian yaitu kesulitan belajar peserta


(59)

didik pada mata pelajaran IPS, sedangkan jenis variabelnya adalah variabel ordinal, karena variabelnya menunjukkan tingkatan-tingkatan: selalu, sering, kadang, tidak pernah. (Suharsimi Arikunto, 2010: 159) .

D. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional dalam penelitian ini adalah:

1. Kesulitan belajar IPS adalah suatu keadaan dimana peserta didik tidak dapat belajar sebagaimana mestinya yang ditandai dengan adanya hambatan-hambatan untuk mencapai hasil belajar dalam mata pelajaran IPS pada kelas non-reguler. Faktor-faktor penyebab kesulitan belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kesulitan siswa dalam belajar siswa yang meliputi sebagai berikut:

a. Faktor internal yaitu faktor penyebab kesulitan belajar siswa yang berasal dari dalam diri peserta didik yang meliputi minat, emosi, dan cara belajar.

b. Faktor eksternal yaitu merupakan faktor penyebab kesulitan belajar peserta didik yang berasal dari luar diri peserta didik yang meliputi metode dan bahan ajar, perhatian, dan guru dan interaksinya terhadap peserta didik.

E. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Borg, WR. & Gall MD (2003: 167) mendefinisiskan “The largest group that they wish to learn about is called a population, and the smaller


(60)

group the actually study is called a sample”, yang berarti kelompok yang lebih besar yang ingin diteliti disebut populasi, dan kelompok kecil yang ingin diteliti disebut sampel.

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/sumber yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2010: 118). Populasi dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas non-reguler, yaitu peserta didik kelas VII,VII, dan IX G, H, I, J SMP Negeri 15 Yogyakarta.

Tabel 3. Jumlah Peserta Didik Kelas Non-Reguler

No Kelas Jumlah

1 VII G 34

2 VII H 33

3 VII I 33

4 VII J 32

5 VIII G 34

6 VIII H 34

7 VIII I 34

8 VIII J 33

9 IX G 29

10 IX H 32

11 IX I 32

12 IX J 33

JUMLAH 393

(Sumber: Data Akademik SMP N 15 Yogyakarta Tahun 2015/2016) 2. Sampel

Menurut Suharsimi Arikunto (2010: 174), sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Senada dengan pendapat tersebut Sugiyono (2010: 118) menjelaskan bahwa sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Sampel adalah bagian dari


(61)

populasi yang memiliki sifat-sifat yang sama dari objek yang merupakan sumber data (Sukandar rumidi, 2002: 50).

Pengambilan sampel untuk penelitian menurut Suharsimi Arikunto (2010: 112), jika subjeknya kurang dari 100 orang sebaiknya diambil semuanya, jika subjeknya besar atau lebih dari 100 orang dapat diambil 10-15% atau 20-25% atau lebih.

Jumlah peserta didik kelas non-reguler berjumlah 393 peserta didik. Dari populasi tersebut diambil 25 % dari populasi sehingga jumlah sampelnya adalah 25% x 393 peserta didik = 99 peserta didik. Alasan peneliti menggunakan 25% pada penentuan ukuran jumlah sampel karena:

a. Jumlah peserta didik 393 tidak mungkin diambil semua menjadi sampel.

b. Agar semua kelas terwakili menjadi sampel. c. Untuk memperkecil tingkat kesalahan.

Adapun teknik pengambilan sampel, dengan menggunakan teknik proportionate stratified random sampling. Alasan menggunakan teknik ini agar semua kelas dapat terwakili, maka sampel diambil dari masing-masing kelas dengan proporsi sama. Prosedur pengambilan sampel adalah dengan cara undian. Alasan menggunakan undian adalah bagi peneliti cukup sederhana dan memungkinkan ketidakadilan dapat dihindari.


(62)

Tabel 4. Daftar Sampel Penelitian

No Kelas Jumlah Persentase Sampel

1 VII G 34 25% 9

2 VII H 33 25% 8

3 VII I 33 25% 8

4 VII J 32 25% 8

5 VIII G 34 25% 9

6 VIII H 34 25% 9

7 VIII I 34 25% 9

8 VIII J 33 25% 8

9 IX G 29 25% 7

10 IX H 32 25% 8

11 IX I 32 25% 8

12 IX J 33 25% 8

JUMLAH 393 99

D. Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan kuisoner. Data Penelitian ini berupa data kuantitatif yang diperoleh melalui teknik pendekatan deskriptif yang bersifat eksplanatif yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan apa adanya yang sebenarnya. Data informasi yang telah diperoleh akan dianalisis dengan membuat klasifikasi data kuantitatif. Data kuantitatif akan dianalisis dengan menggunakan perhitungan matematis guna mengambil suatu keputusan. Teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti yaitu:

1. Teknik angket/kuisoner

Menurut Suharsimi Arikunto (2010: 194), kuisoner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang ia ketahui. Teknik kuisoner yang digunakan dalam pelitian ini adalah kuiosner langsung dan tertutup. Kuisoner dalam penelitian ini


(63)

digunakan untuk mengetahui kesulitan-kesulitan peserta didik dalam pembelajaran IPS kelas non-reguler SMP N 15 Yogyakarta.

Peneliti mempergunakan kuisoner ini sebagai alat pengumpul data yang paling utama yang dikembangkan berdasarkan kisi-kisi yang telah ditentukan sebelumnya. Teknik angket ini menggunakan skala likert, masing-masing variabel menyediakan 5 alternatif jawaban. Penetapan skor jawaban instrument menggunakan Skala Likert dengan alternatif jawaban sebagai berikut:

Tabel 5. Skala Likert

Pilihan jawaban Skor positif Skor negatif

Sangat setuju/ Selalu 5 1

Setuju/ sering 4 2

Kurang setuju/Kadang 3 3

Tidak setuju/ jarang 2 4

Sangat tidak setuju/ Tidak pernah 1 5 Sumber: Sugiyono (2010: 94)

Sukardi (2003: 146) menyatakan bahwa skala likert telah banyak digunakan oleh para peneliti guna mengukur persepsi atau sikap seseorang. Skala ini menilai sikap atau tingkah laku yang diinginkan oleh para peneliti dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan kepada responden. Kemudian responden diminta memberikan pilihan jawaban atau respons dalam skala ukur yang telah disediakan, misalnya selalu, sering, kadang, tidak pernah.

Skala ukur tersebut pada umumnya ditempatkan berdampingan dengan pertanyaan atau pernyataan yang telah direncanakan, dengan tujuan agar responden lebih mudah mengecek maupun memberikan pilihan jawaban yang sesuai dengan pertimbangan mereka. Responden


(64)

dianjurkan untuk memilih kategori jawaban yang telah diatur oleh peneliti, misalnya sangat selalu, sering, kadang, tidak pernah dengan memberikan tanda centang (v) pada jawaban yang dirasa cocok.

G. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan alat bantu pada waktu peneliti menggunakan suatu metode pengumpulan data (Suharsimi Arikunto, 2010: 192). Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah angket atau kuesioner agar dapat memperoleh informasi mengenai faktor-faktor kesulitan belajar IPS.

Adapun prosedur yang ditempuh dalam pengadaan instrumen yang baik menurut Suharsimi Arikunto (2010: 209) adalah sebagai berikut: perencanaan, penulisan butir soal, penyuntingan, uji coba, penganalisaan hasil, dan revisi. Berdasarkan uraian prosedur pengadaan intrumen di atas, maka langkah-langkah yang ditempuh dalam pengadaan instrumen penelitian ini sebagai berikut:

1. Perencanaan

Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut:

Pengembangan instrumen variabel faktor-faktor kesulitan belajar peserta didik kelas non-reguler.

a. Tujuan: untuk mengetahui kesulitan-kesulit an belajar IPS pada peserta didik kelas non reguler SMP N 15 Yogyakarta.


(65)

b. Definisi Operasional: Kesulitan belajar IPS adalah kesulitan yang dialami peserta didik dalam penguasaan bahan pelajaran IPS secara tuntas, karena faktor internal dan eksternal.

c. Indikator variabel faktor kesulitan belajar secara eksternal sebagai berikut:

1) Kesulitan belajar IPS karena metode dan bahan ajar. 2) Kesulitan belajar IPS karena perhatian.

3) Kesulitan belajar IPS karena guru dan interaksinya.

d. Indikator variabel faktor kesulitan belajar secara internal sebagai berikut:

1) Kesulitan belajar IPS karena cara belajar. 2) Kesulitan belajar IPS karena kurangnya minat. 3) Kesulitan belajar IPS karena emosi.


(66)

2. Penulisan Butir Soal

a.Kisi-kisi berdasarkan indikator variabel faktor kesulitan belajar Tabel 6. Kisi-Kisi Instrumen Variabel Faktor Kesulitan Belajar

Variabel Aspek Indikator Nomor

butir Total Kesulitan-kesulitan belajar peserta didik non reguler dalam pembelajaran IPS

Minat a. Usaha untuk menyelesaikan soal

1, 2, 3 3

Emosi a. Mengelola emosi b. Memotivasi diri

sendiri

4, 5 2

Cara belajar a. Membuat

ringkasan materi b. Peserta didik

belajar sendiri c. Sulit

mengungkapkan yang belum dimengerti

6, 7, 8, 9, 10, 11 6 Metode dan bahan ajar a. Penggunaan metode mengajar b. Penggunaan alat

peraga c. Buku pelajaran/buku paket penunjang pembelajaran 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23 12

Perhatian a. Perhatian di dalam sekolah b. Perhatian di luar

sekolah 24, 25, 26 3 Guru dan interaksinya terhadap peserta didik a. Kemampuan guru dalam menerangkan dan memberi contoh b. Sikap guru

dalam memberi motivasi dan dorongan

27, 28, 29, 30


(67)

Instrumen dalam penelitian ini berupa angket atau kuisoner. Bentuk lembar angket dalam penelitian ini adalah check list. Responden penelitian memilih jawaban yang tersedia dengan memberi tanda (√) pada kolom. Kisi-kisi pertanyaan dalam angket dibuat berdasarkan konstruksi teknik yang telah disusun sebelumnya kemudian dikembangkan ke dalam indikator untuk selanjutnya dijabarkan dalam bentuk pertanyaan.

b. Penyuntingan

Penyuntingan atau membenahi, yaitu dengan melengkapi instrumen dengan pedoman atau petunjuk mengerjakan, kata pengantar ditambah lembar jawaban serta pemeriksaan kembali instrumen, sehingga instrumen penelitian menjadi benar-benar siap. Data yang diperoleh berwujud data kuantitatif maka setiap jawaban kesulitan akan diberi skala ordinal yang harus dipilih tiap-tiap responden sesuai dengan kenyataan yang dialami oleh masing-masing responden. Adapun skala responden tersebut ada 5 tingkatan yaitu:

a. Sangat sering dalam skala kesulitan diberi angka 5. b. Sering dalam skala kesulitan diberi angka 4.

c. Kadang dalam skala kesulitan diberi angka 3. d. Jarang dalam skla kesulitan diberi angka 2.

e. Tidak pernah dalam skala kesulitan diberi angka 1.

Angka tersebut selanjutnya merupakan skor tingkat kesulitan yang merupakan data yang akan dianalisa, dan sebaliknya pada poin pertanyaan negatif.


(68)

4. Uji coba

Suharsimi Arikunto (2010: 211) menyatakan bahwa sebuah instrumen yang baik harus memenuhi dua persyaratan. Persyaratan tersebut adalah valid dan reliabel. Sebelum digunakan untuk menjaring data, terlebih dahulu instrumen diukur tingkat validitas dan reliabilitasnya. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan kualitas instrrumen yang baik. Ada dua macam dalam menentukan validitas dan reliabilitas instrumen penelitian ini yaitu validitas dan reliabilitas secara teoritis (logis) dan validitas secara empiris atau melalui uji coba. Untuk jenis instrumen penelitian berupa angket ini dilakukan secara teoritis atau sekedar meminta justifikasi (kritik, saran, dan perbaikan) atas kisi-kisi dan butir instrumen yang telah disusun oleh peneliti kepada dosen ahli yang terkait.

H. Uji Validitas Instrumen

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat atau kesahihan suatu instrumen (Suharsimi Arikunto, 2010: 211). Pengujian validitas instrumen dimaksudkan untuk mendapat alat ukur yang sahih dan terpercaya. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkap data variabel yang diteliti secara tepat . Uji validitas dalam angket ini menggunakan uji validitas oleh para ahli (expert judgment).


(69)

I. Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data 1. Teknik Pengolahan Data

Menurut Moh. Pabundu Tika (2005: 63), sebelum dianalisis, data terlebih diolah terlebih dahulu melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. Pemeriksaan (Editing), Editing adalah pemeriksaan kembali terhadap

catatan-catatan dari hasil lapangan dengan maksud untuk mengetahui apakah catatan tersebut telah lengkap atau belum sehingga siap dilanjutkan untuk proses analisis data selanjutnya.

b. Pemberian Kode (Coding), Coding adalah usaha mengklasifikasikan jawaban-jawaban responden dengan jalan menandai masing-masing kode tertentu. Tujuannya adalah untuk memudahkan dalam analisis data yang sesuai dengan buku koding yang telah disiapkan.

c. Tabulasi yaitu usaha penyajian data, terutama pengolahan data yang akan menjurus ke analisis kuantitatif, biasanya menggunakan tabel frekuensi maupun tabel silang.

2. Teknik Analisis data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik deskriptif. Kegiatan dalam analisis data adalah mengelompokkan data berdasarkan variabel dan jenis responden, menstabulasi data berdasarkan variabel dari seluruh responden, menyajikan data tiap variabel yang diteliti, melakukan perhitungan untuk menjawab rumusan masalah (Sugiyono, 2010: 147). Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik statistik deskriptif dengan teknik presentase karena


(1)

117 2. Perhatian

Perhatian

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Rendah 2 2.0 2.0 2.0

Sedang 31 31.3 31.3 33.3

Tinggi 66 66.7 66.7 100.0


(2)

118

3. Guru dan Interaksinya terhadap Peserta Didik

Guru dan Interaksi dengan Peserta Didik

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Rendah 2 2.0 2.0 2.0

sedang 14 14.1 14.1 16.2

Tinggi 46 46.5 46.5 62.6

sangat tinggi 37 37.4 37.4 100.0


(3)

(4)

(5)

(6)