HUBUNGAN RASA SYUKUR DAN PERILAKU PROSOSIAL TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA AKHIR ANGGOTA ISLAMIC MEDICAL ACTIVISTS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA.
ii SKRIPSI
HUBUNGAN RASA SYUKUR DAN PERILAKU PROSOSIAL TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA AKHIR ANGGOTA ISLAMIC MEDICAL ACTIVISTS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
OLEH :
M.Lutfi Hadi Wicaksono
NIM. 1202205020
Telah disetujui untuk diuji oleh:
Tanggal, 22 April 2016 Pembimbing,
(2)
iii
Dipertahankan di Depan Panitia Ujian Skripsi Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana dan Diterima untuk memenuhi Sebagian dari
Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Pada Tanggal: 2 Mei 2016
Mengesahkan Program Studi Psikologi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Dekan,
Prof. Dr. dr. I Putu Astawa, SpOT (K). M. Kes
1. Luh Kadek Pande Ary Susilawati, S. Psi., M.Psi., Psi. Pembimbing
2. Drs. Supriyadi, M.S., Psi. Ketua Penguji
3. Putu Nugrahaeni Widiasavitri, S.Psi., M.Psi., Psi. Sekretaris Penguji
4. Made Diah Lestari, S.Psi., M.Psi., Psi. Anggota Penguji
Tim Penilai : TandaTangan
(3)
iv
“Ilmu pengetahuan itu menambahkan mulia orang yang mulia dan meninggikan seorang budak sampai ke tingkat raja-raja”
- Nabi Muhammad SAW
“Kepuasan itu terletak pada usaha, bukan pada pencapaian hasil. Berusaha keras adalah kemenangan besar”
-Mahatma Gandhi
“Yakinlah ada sesuatu yang menantimu selepas banyak kesabaran yang kau jalani yang akan membuatmu terpana hingga kau lupa betapa pedihnya rasa sakit”
-Ali Bin Abi Thalib
“Jalani hidup dengan penuh cinta, apabila orang lain melemparimu dengan batu maka balaslah lemparan mereka dengan buah yang lezat lagi nikmat”
(4)
v
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya ini kepada:
Bapak dan Mamaku yang aku cintai dan aku muliakan
Jamil dan Wayan Lidiasmini
Adikku yang aku cintai dan banggakan,
Nurfitri Handayani
serta
(5)
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya yang bertanda tangan dibawah ini, M.Lutfi hadi Wicaksono dan disaksikan oleh tim penguji skripsi, dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh derajat kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun. Sepanjang pengetahuan saya, tidak terdapat karya yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia derajat kesarjanaan ini dicabut.
Denpasar,22 April 2016 Yang menyatakan,
M.Lutfi Hadi Wicaksono NIM. 1202205020
(6)
vii
Hubungan Rasa Syukur dan Perilaku Prososial terhadap Psychological Well-Being pada Remaja Akhir Anggota Islamic Medical Activist FK Udayana
M. Lutfi Hadi Wicaksono
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
Abstrak
Psychological well-being adalah sebuah konstruk yang berhubungan dengan berfungsinya seseorang secara optimal dan positif. Semua orang menginginkan dirinya hidup sejahtera baik secara fisik dan psikologis termasuk remaja. Salah satu faktor yang berkorelasi secara signifikan dengan kesejahteraan psikologis adalah rasa syukur. Psychological well-being remaja bisa ditingkatkan lewat pengembangan perilaku-perilaku positif. Salah satu perilaku-perilaku positif yang mendukung pertumbuhan diri remaja adalah perilaku prososial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan rasa syukur dan perilaku prososial terhadap psychological well-being pada remaja akhir anggota Islamic medical activists Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah cluster sampling. Subjek penelitian adalah 60 orang remaja akhir yang berusia 18-21 tahun. Peneliti menyebarkan skala psychological well-being yang dimodifikasi dari skala psychological well-being oleh Murniasih (2013), skala rasa syukur dan skala perilaku prososial yang dimodifikasi dari skala perilaku prososial oleh Spica (2008). Data yang diperoleh dianalisis melalui analisis regresi berganda untuk melihat hubungan antara variabel rasa syukur dan perilaku prososial terhadap psychological well-being.
Analisis regresi berganda menghasilkan nilai F test sebesar 29,976 dengan signifikansi 0,000 (P < 0,05) yang artinya variabel rasa syukur dan perilaku prososial mampu memprediksi psychological well-being. Nilai koefisien determinasi sebesar 0,513 menunjukkan 51,3% psychological well-being bisa dijelaskan oleh rasa syukur dan perilaku prososial.
(7)
viii
Correlation between Gratitude and Prosocial Behavior toward Psychological Well-Being in Late Adolescents Who Join the Islamic Medical Activist FK Udayana
M. Lutfi Hadi Wicaksono
Department of Psychology, Medical Faculty, Udayana University
Abstract
Psychological well-being is a construct associated with the optimum or positive functioning of a person. All of the people exactly want to live well both physically and psychologically including adolescents. One of the factors who has a significant correlation with psychological well-being is gratitude. Psychological well-being of adolescents can also enhanced through the development of positive behaviors. One of positive behavior that support the personal growth of adolescents is prosocial behavior. This study aimed to determine the correlation between gratitude and prosocial behavior toward psychological well-being in late adolescents who join the Islamic medical activists at Faculty of Medicine Udayana University.
The sampling technique used in this study was cluster sampling. Subjects of the research were 60 late adolescents from age 18-21 years old. Researcher deploy the scale of psychological well-being modified from scale of psychological well-being who has made by Murniasih (2013), the scale of gratitude and prosocial behavior scale modified from scale of prosocial behavior who has made by Spica (2008). Data obtained in this study were analyzed by multiple regression analysis to see the correlation between gratitude and prosocial behavior toward psychological well-being.
Multiple regression analysis results F test values 29,976 with significance value 0,000 (P < 0,05) it means gratitude variable and prosocial behavior were able to predict psychological well-being. Coefficient of determination equal to 0,513 showed that 51,3% psychological well-being can be explained by gratitude and prosocial behavior.
(8)
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, karena atas izin, karunia dan rahmatNya, skripsi yang berjudul “Hubungan Rasa Syukur dan Perilaku Prososial terhadap Psychological Well-Being pada Remaja Akhir Anggota Islamic Medical Activists ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Melalui tulisan ini, dengan kerendahan hati dan segenap cinta peneliti mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD selaku Rektor Universitas Udayana.
2. Bapak Prof. Dr. dr. I Putu Astawa, SpOT (K). M. Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
3. Ibu Dra. Adijanti Marheni, M.Si., Psi. selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
4. Ibu Luh Kadek Pande Ary Susilawati, S.Psi., M.Psi., Psi. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
5. Bapak Drs. Supriyadi, M.S., Psi., Ibu Putu Nugrahaeni Widiasavitri, S.Psi., M.Psi., Psi., dan Ibu Made Diah Lestari, S.Psi., M.Psi., Psi selaku dosen penguji pada saat sidang skripsi yang senantiasa memberikan saran dan kritik yang membangun. 6. Ibu Luh Made Karisma Sukmayanti Suarya, S.Psi., MA. Selaku Dosen Pembimbing
Akademik yang selalu membimbing, memotivasi, mengarahkan, dan bersedia meluangkan waktu untuk mendengarkan keluh kesah serta memberi masukan positif kepada penulis selama masa perkuliahan.
(9)
x
7. Seluruh Dosen Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah berjasa dalam mengajar dan membagikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis untuk mengarungi samudera kehidupan.
8. Seluruh staf TU (Tata Usaha) Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah banyak membantu penulis dalam segala urusan administrasi dan birokrasi.
9. Ketua beserta seluruh jajaran pengurus organisasi Islamic Medical Activists (IMA), dan saudara-saudaraku anggota Islamic Medical Activists (IMA) yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk menjadi bagian selama proses pengambilan data penelitian.
10.Kepada keluargaku tercinta, Bapak, Mama, dan Adikku Nanda yang selalu mencintaiku apa adanya dan selalu memberikan dukungan serta doa di setiap langkah hidupku.
11.Kepada sahabat-sahabat semasa SMA (Contrast), Shinta, Basudewa, Yogi, Dwik, Tika, Ayunda, Anggie yang selalu mendukung, menghibur, dan menghiasi bibirku dengan canda tawa setiap kali aku patah semangat.
12.Kepada teman-teman sekelas psikologi angkatan 2012 (Zettrasedon) yang telah menjadi bagian hidup dan menuliskan cerita di lembaran perkuliahanku. Khususnya sahabat-sahabatku di kelas, Hendra, Samuel, Yoga, Ivan. Terima kasih juga untuk Nanda, Agra, Anna, Ayas, Cempaka, Irma, Via, Tryas atas keikhlasan kalian membantu dalam lika-liku kehidupan perkuliahan.
13.Kepada teman-teman satu bimbingan, Mang Try dan Wulandari yang selalu memotivasi saya dalam mengerjakan skripsi.
14.Kepada Kak Riyan Hidayat, kak Ayana, dan kak Elisa atas dukungan dan saran kepada penulis selama proses pengerjaan skripsi.
(10)
xi
Serta untuk semua pihak yang telah mendukung dan membantu menyelesaikan skripsi tetapi tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis berharap melalui skripsi ini dapat memberikan manfaat dan menginspirasi kepada pembaca, almamater, dan masyarakat.
Menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu peneliti mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk membantu penyempurnaan skripsi.
Denpasar, 22 April 2016
(11)
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK... vii
ABSTRACT ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 12
C. Tujuan Penelitian ... 12
D. Manfaat Penelitian ... 12
1. Manfaat Teoritis………. 12
2. Manfaat Praktis……….. 13
E. Keaslian Penelitian ... 15
(12)
xiii
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 19
A. Psychological Well-Being ... 19
1. Definisi Psychological Well-Being ... 19
2. Aspek-aspek Psychological Well-being ... 20
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being ... 25
B. Rasa Syukur ... 31
1. Definisi Rasa Syukur ... 31
2. Aspek-aspek Rasa Syukur ... 33
3. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Rasa Syukur ... 35
C. Perilaku Prososial... 35
1. Definisi Perilaku Prososial ... 35
2. Aspek-aspek Perilaku Prososial ... 37
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Perilaku Prososial... 38
D. Remaja Akhir ... 43
1. Definisi Remaja Akhir ………43
2. Pembagian Usia Remaja………... 44
3. Kebutuhan Remaja Dalam Perkembangannya………. 47
4. Tugas-Tugas Perkembangan Remaja………... 47
E. IMA Fakultas Kedokteran Universitas Udayana ... 48
1. Latar Belakang Berdirinya IMA………. 48
2. Azas, Tujuan, Sifat, dan Usaha-Usaha dari IMA……… 49
3. Sumber Keuangan Organisasi IMA……… 51
4. Keanggotaan Organisasi IMA………. 51
F. Hubungan Rasa Syukur dan Perilaku Prososial terhadap Psychological Well- Being pada Remaja Akhir……… 52
(13)
xiv
G. Hipotesis Penelitian………. 57
BAB III. METODE PENELITIAN ... 58
A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 58
1. Variabel Tergantung………. 58
2. Variabel Bebas………. 58
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian... 59
1. Definisi Operasional Psychological Well-Being... .. 59
2. Definisi Operasional Rasa Syukur………... 60
3. Definisi Operasional Perilaku Prososial……….. 60
C. Subjek Penelitian ... 61
D. Metode Pengambilan Sampel ... 62
E. Metode Pengumpulan Data ... 63
F. Validitas dan Reliabilitas... 69
1. Validitas………... 69
2. Reliabilitas……… 70
G. Metode Analisis Data ... 71
H. Uji Asumsi Penelitian………. 72
1. Uji Normalitas………. 72
2. Uji Linearitas……… 72
3. Uji Multikolinieritas………. 73
I. Uji Hipotesis……….. 73
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 75
A. Persiapan Penelitian ... 75
1. Persiapan Uji Coba Alat Ukur Penelitian……… 75
(14)
xv
B. Pelaksanaan Penelitian ... 83
C. Analisis Data dan Hasil Penelitian ... 85
1. Karakteristik Subjek ... 85
2. Deskripsi dan Kategorisasi Data Penelitian ... 87
3. Uji Asumsi Penelitian ... 90
4. Uji Hipotesis ... 94
5. Analisis Tambahan………... 97
D. Pembahasan ... 100
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 109
A. Kesimpulan ... 109
B. Saran ... 110
1. Saran Praktis………. 110
2. Saran Bagi Peneliti Selanjutnya……… 112
DAFTAR PUSTAKA ... 114
(15)
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Bagan Hubungan Antara Rasa Syukur dan Perilaku Prososial terhadap
Psychological Well-Being pada Remaja
(16)
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel.1. Blueprint Skala Psychological Well-Being... 65
Tabel.2. Blueprint Skala Rasa Syukur ... 67
Tabel.3. Blueprint Skala Perilaku Prososial ... 68
Tabel.4. Nomor Aitem Gugur Pada Skala Psychological Well-Being ... 78
Tabel.5. Sebaran Aitem Skala Psychological Well-Being ... 79
Tabel.6. Nomor Aitem Gugur Pada Skala Rasa Syukur ... 80
Tabel.7. Sebaran Aitem Skala Rasa Syukur ... 81
Tabel.8. Nomor Aitem Gugur Pada Skala Perilaku Prososial……… 82
Tabel.9. Sebaran Aitem Skala Pada Skala Perilaku Prososial……… 82
Tabel.10. Deskripsi Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin………. 85
Tabel.11. Deskripsi Subjek Berdasarkan Usia………. 86
Tabel.12. Deskripsi Subjek Berdasarkan Suku………. 86
Tabel.13. Rumus Kategorisasi Jenjang Ordinal Lima Daerah……….. 87
Tabel.14. Deskripsi Statistik Data Penelitian……… 87
Tabel.15. Kategorisasi Psychological Well-Being……… 88
Tabel.16. Kategorisasi Rasa Syukur………... 89
Tabel.17. Kategorisasi Perilaku Prososial………. 90
Tabel.18. Hasil Uji Normalitas………. 91
Tabel.19. Hasil Uji Liniearitas………. 92
Tabel.20. Hasil Uji Multikolinieritas……… 93
Tabel.21. Hasil Analisis Regresi Berganda……….. 94
Tabel.22. Hasil Analisis Regresi Berganda Signifikansi Nilai F……….. 95
Tabel.23. Hasil Analisis Regresi Berganda Nilai Koefisien Beta dan Nilai t………... 96
(17)
xviii
Tabel.25. Hasil Uji Independent Sample t Test……….. 98
(18)
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I. Skala Penelitian……….... 119
Lampiran II. Data Uji Coba Skala Psychological Well-Being……….. 131
Lampiran III. Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Psychological Well-Being………. 139
Lampiran IV. Data Uji Coba Skala Rasa Syukur………... 141
Lampiran V. Uji Validitas dan Reliabilitas Rasa Syukur………... 144
Lampiran VI. Data Uji Coba Skala Perilaku Prososial……….. 145
Lampiran VII. Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Perilaku Prososial………. 151
Lampiran VIII. Data Penelitian……….. 153
Lampiran IX. Uji Normalitas Data Penelitian……… 155
Lampiran X. Uji Linearitas Data Penelitian………... 156
Lampiran XI. Uji Multikolinieritas Data Penelitian……….. 157
Lampiran XII. Deskripsi Data Penelitian Psychological Well-Being……… 158
Lampiran XIII. Deskripsi Data Penelitian Rasa Syukur……… 159
Lampiran XIV. Deskripsi Data Penelitian Perilaku Prososial……… 160
Lampiran XV. Hasil Uji Regresi Berganda……… 161
Lampiran XVI. Hasil Uji Independent Sample t test………. 162
Lampiran XVII. Surat Pernyataan Penelitian……….. 163
(19)
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Semua orang pasti menginginkan kehidupan yang sejahtera baik secara fisik, materi maupun psikologis dan menghindari kehidupan yang menekan serta tidak menyenangkan, remaja adalah salah satu fase yang membutuhkan bimbingan dalam kehidupan karena konflik psikologis dari dalam diri sangat dominan terjadi pada remaja yang disebabkan oleh perkembangan fisik, kognitif, kejiwaan, dan sosial (Said, 2015). Masa remaja adalah sebuah konstruksi sosial, sebelum abad ke-20 tidak ada konsep mengenai remaja karena dahulu anak-anak akan memasuki masa dewasa saat matang secara fisik atau saat sudah bekerja sedangkan pada masa kini persiapan menuju kedewasaan membutuhkan waktu yang lebih panjang dan tidak memiliki batasan yang jelas, proses masuk ke dunia kerja cenderung terjadi lebih lambat dalam masyarakat yang kompleks, serta membutuhkan periode pendidikan lebih panjang untuk mempersiapkan tanggung jawab sebagai orang dewasa (Papalia, Olds & Feldman, 2009).
Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak menuju kedewasaan, yang berlangsung sejak usia 10 atau 11 tahun sampai pada masa remaja akhir sekitar usia 18 sampai 21 tahun. Masa peralihan memberikan remaja kesempatan untuk tumbuh, tidak hanya dalam dimensi fisik, tetapi juga dalam kompetensi kognitif, sosial, kemandirian, harga diri, dan kedekatan hubungan dengan orang lain (Papalia, dkk 2009). Perubahan yang tampak jelas pada masa remaja adalah perkembangan fisik, yaitu masa alat-alat kelamin manusia mencapai
(20)
2
kematangannya secara seksual, pertumbuhan secara cepat pada tinggi dan berat badan, serta perubahan bentuk tubuh yang sudah seperti tubuh orang dewasa, masa ini juga disebut sebagai pubertas (Sarwono, 2012).
Remaja juga menunjukkan perkembangan yang pesat pada kemampuan kognitifnya, Piaget (dalam Ali & Asrori, 2012) mengatakan bahwa pada masa remaja sudah berada pada tahap operasional formal dan sudah mampu berpikir abstrak, logis, rasional, serta mampu memecahkan persoalan-persoalan yang bersifat hipotetis. Sejalan dengan perkembangan kognitif pada waktu yang sama remaja juga mengalami perkembangan moral. Kohlberg (dalam Papalia, dkk 2009) menyatakan remaja berada pada tingkat penalaran moral konvensional yaitu suatu tingkatan dimana remaja mulai mematuhi aturan sosial, menginternalisasi standar dari figur otoritas, berusaha menyenangkan orang lain, dan mempertahankan aturan sosial.
Pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi pada masa remaja menyebabkan kebutuhan remaja juga meningkat. Kebutuhan psikologis adalah kebutuhan yang paling penting bagi remaja karena dengan terpenuhinya kebutuhan psikologis maka remaja akan mampu menunjukkan perilaku yang positif dalam hidup. Remaja sangat membutuhkan ketenangan, kedamaian, kesempatan mengembangkan potensi, cinta dan kasih sayang, pujian, motivasi, penghargaan, dikenal oleh orang lain, diterima dan dihargai oleh orang sekitar, kebebasan, sosialisasi dalam kehidupan dan kesetiakawanan, prestasi, arahan dan bimbingan, serta pendidikan agama (Said, 2015).
Remaja yang kebutuhan psikologisnya terpenuhi akan memperoleh suatu kepuasan hidup, selanjutnya remaja akan merasa gembira, harmonis, dan produktif.
(21)
Sebaliknya, remaja akan mengalami kekecewaan, ketidakpuasan, atau bahkan frustrasi, dan pada akhirnya akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya jika kebutuhan psikologisnya tidak terpenuhi (Ali & Asrori, 2012). Kondisi kebutuhan remaja yang meningkat, memunculkan tugas-tugas baru yang harus dilakukan dan dicapai oleh remaja yang disebut tugas perkembangan.
Hurlock (dalam Ali & Asrori, 2012) menyatakan tugas perkembangan remaja yang penting yaitu, mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, mencapai peran sosial pria dan wanita, menerima keadaan diri apa adanya, mencari kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya, mencapai jaminan kebebasan ekonomis, memilih dan menyiapkan lapangan pekerjaan, persiapan untuk memasuki kehidupan berkeluarga, mengembangkan keterampilan intelektual, memperoleh suatu himpunan nilai-nilai dan sistem etika sebagai pedoman tingkah laku. Havighurst (dalam Ali & Asrori, 2012) menyatakan bahwa jika berhasil menjalankan sebagian besar tugas perkembangan akan menimbulkan kebahagiaan dan membawa kearah keberhasilan, akan tetapi jika gagal akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya.
Perkembangan fisik, kognitif, psikologis, dan sosial yang berlangsung sangat cepat membuat remaja membutuhkan bimbingan dan lingkungan yang sesuai untuk memahami karakteristik masa perkembangannya. Berbagai problematika yang muncul seringkali terjadi karena kurangnya pengalaman remaja dalam berinteraksi dengan tuntutan pertumbuhan dan kebutuhan remaja yang terus berkembang (Said, 2015). Sebagian remaja mengalami masalah dalam menghadapi berbagai perubahan yang terjadi secara bersamaan dan membutuhkan bantuan saat menjalani masa ini (Papalia, dkk 2009).
(22)
4
Salah satu contoh perubahan yang dialami remaja akhir adalah masa peralihan jenjang pendidikan dari Sekolah Menengah Atas (SMA) menuju Perguruan Tinggi (Hurlock, 1980). Tidak jarang remaja akhir harus pergi merantau untuk melanjutkan pendidikan menuju Perguruan Tinggi yang menyebabkan remaja akhir tinggal jauh dari orang tua, keluarga, dan teman-teman sewaktu SMA. Akibatnya remaja akhir bisa mengalami top-dog phenomenon yaitu fenomena berupa keadaan bergerak dari posisi teratas saat remaja menjadi senior di SMA menuju ke posisi paling bawah saat remaja menjadi junior di Perguruan Tinggi (Santrock, 2002). Tinggal jauh dari orang tua, teman-teman dekat sewaktu SMA, harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, memulai hubungan sosial dengan teman baru dan senior di Perguruan Tinggi menjadi situasi yang dihadapi oleh remaja akhir.
Hasil studi pendahuluan yang didapatkan peneliti setelah mewawancarai kelompok remaja akhir yaitu tiga mahasiswa perantauan yang beragama Islam, adalah terjadi fenomena seperti merasa kesepian, kesendirian dan tidak ada orang yang bisa dimintai pertolongan saat pertama kali memasuki lingkungan perkuliahan di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, berikut kutipan wawancara:
“Karena disini saya sendiri dan otomatis tidak mempunyai siapa-siapa yang bisa saya mintai bantuan” (Preliminary Study, VerLC11).
Sejalan dengan pendapat dari Allen dan Laursen (dalam Papalia, dkk 2009) bahwa remaja merasa aman jika memiliki hubungan dan dukungan penuh dari orang tua yang memahami cara remaja melihat diri sendiri, mendorong usaha remaja untuk mencapai kemandirian, serta menyediakan tempat yang aman di saat remaja mengalami tekanan emosional, sedangkan mahasiswa yang jauh dari rumah mengalami hal yang sebaliknya ketika mengalami tekanan emosional mereka
(23)
kurang merasa aman karena jauh dari orang tua. Berikut kutipan wawancara tekanan emosional yang dihadapi responden pertama kali datang ke Bali untuk melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana:
“Pertama ke Bali itu pastinya kaget, karena budayanya berbeda di lingkungan pertama, terus juga ee yang kedua itu kita harus belajar karena disini saya perantau untuk hidup mandiri untuk bisa ee mengatur keuangan sendiri ee biasanya dulu kalau masih SMA itu masih diatur sama orang tua diurus segala keperluannya, sedangkan disini kita harus ngurus segala sesuatunya itu sendiri jadinya disini kita harus belajar lebih dewasa dan mandiri. Terutama di masa ospek juga disana kita harus bisa gimana caranya sistemnya ini membuat kaget karena perubahan sistem belajar itu berubah banget, kalau misalnya ospek itu dari waktu SMA kita nggak pernah belajar cari jurnal disini kita harus tugas-tugas waktu ospeknya cari jurnal dan lain sebagainya, ngatur waktu malah waktu ospek kita nggak ada waktu tidur sama sekali dan itu bener-bener kaget banget. Beda banget ya sistem belajar waktu SMA sama waktu kuliah itu beda banget kadang ada rasa kesepian juga karena disini kita engga tahu siapa-siapa, engga punya temen siapa-siapa dan memang harus bisa survive hidup disini dan harus ee belajar lagi cari temen lagi dan ngatur semuanya sendiri.” (Preliminary Study, VerLC1).
Salah satu sarana untuk membantu mahasiswa perantauan khususnya yang beragama Islam dalam menjalani perkuliahan di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana adalah Islamic Medical Activists (IMA). IMA adalah organisasi kemahasiswaan yang beranggotakan mahasiswa Muslim di lingkup Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Mayoritas anggota IMA adalah remaja akhir yaitu remaja yang berusia 18-21 tahun, ini dikarenakan pada saat awal memasuki jenjang perkuliahan remaja pada umumnya berada pada rentang usia 18-21 tahun.
Islamic Medical Activist (IMA) adalah organisasi yang bersifat independen dan berasaskan kekeluargaan yang berdiri pada tahun 1989. IMA merupakan organisasi yang bernuansa sosial, berwawasan cendekia, dan memiliki visi maju untuk menyongsong masa depan. IMA memiliki tujuan antara lain sebagai tempat untuk persaudaraan dan interaksi, meningkatkan kesejahteraan anggota, membina kepribadian anggota yang bermoral, berbudi, mengembangkan potensi kreatif dan
(24)
6
keilmuan anggota, membina kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, berperan aktif dalam dunia pendidikan, serta berpartisipasi secara konstruktif dalam pembangunan masyarakat (AD/ART IMA, 2015).
Berdasarkan hasil wawancara terhadap tiga mahasiswa perantauan yang pada awal memasuki perkuliahan di Fakultas Kedokteran belum bergabung dengan IMA namun sekarang sudah menjadi anggota IMA lebih dari satu tahun, diperoleh informasi bahwa IMA mempunyai kegiatan-kegiatan yang positif seperti mengadakan seminar tentang melakukan prosesi sunat (sirkumsisi), mengadakan pelayanan kesehatan gratis untuk masyarakat, mengadakan prosesi sunat gratis bagi masyarakat, dan khusus untuk hari raya Idhul Adha IMA mengadakan penyembelihan hewan untuk dikorbankan (qurban) dan dagingnya dibagikan kepada panti asuhan (Preliminary Study, VerLC6 & VerLC7).
IMA memiliki perbedaan dengan organisasi lain yang ada di lingkungan Fakultas Kedokteran diantaranya karena IMA adalah organisasi yang bersifat independen jadi dalam melakukan kegiatan dana yang dikeluarkan bersifat swadaya dari anggota atau mencari dana lewat sponsor. Selain itu yang membedakan IMA dengan organisasi lain di Fakultas Kedokteran adalah sifatnya yang tidak mengikat, contohnya jika organisasi lain mewajibkan calon anggotanya menjadi anggota muda terlebih dahulu setelah itu wajib menjadi panitia suatu kegiatan agar bisa diangkat menjadi anggota sebuah organisasi maka hal ini tidak diwajibkan dalam IMA karena seluruh mahasiswa Muslim yang sedang menempuh studi di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana merupakan anggota IMA sehingga tidak ada istilah calon anggota IMA (AD/ART IMA, 2015).
Responden wawancara menyampaikan bahwa setelah menjadi anggota IMA responden mulai merasakan dan mendapatkan manfaat positif. Manfaat yang di
(25)
dapat setelah menjadi anggota IMA dan mengikuti kegiatan-kegiatan IMA diceritakan melalui kutipan wawancara berikut:
“emm rasanya seneng sih ketemu temen baru terus ketemu temen seperjuangan sama-sama perantau sama sama se-Muslim terus sama-sama senasib sepenanggungan, sama-sama enggak tau apa-apa. Seneng aja ternyata ada lo tempat dimana kita bisa ketemu orang yang sama backgroundnya gitu. Ehmm bermanfaat banget ya kalo saya ikut kegiatan IMA itu karena yang pertama menambah silaturahmi ternyata kita nggak sendiri di Bali karena kan ee mayoritas di Bali penduduknya beragama Hindu ternyata disini kita bisa ketemu lagi sama temen-temen yang sama kayak kita terus tambah lagi eee temen-temen gak hanya satu prodi tapi dari prodi lainnya juga banyak, dan karena eee di IMA juga ee sangat kekeluargaan ya jadi saya ngerasa nyaman di IMA. Banyak banget manfaat ikut IMA missal ikut tenda tensi dan pelayanan kesehatan itu disitu kita diajarkan untuk belajar ilmu baru seperti mengukur tensi, asam urat eee cek gula darah akhirnya saya belajar dan bisa. Ada juga kegiatan refreshing, ada juga animasi itu kan ee menjalin hubungan dan mengenal sama alumni, kakak kelas, adik kelas juga yang baru jadinya menambah banyak link dan juga dari IMA sendiri eee apa ya ada ya bertemu dengan sahabat-sahabat misalnya temen itu enggak dari satu prodi aja malah temen deket saya itu ada yang dari temen IMA itu sendiri. Jadi karena kenal itu jadi temen satu kos terus juga saling sharing kehidupan di Bali itu gimana, terus juga abis itu di IMA kan ada yang namanya Liqo (sharing ilmu agama dan sekaligus perkumpulan tetapi hanya khusus sesama perempuan) nah kebetulan saya juga ikut nah itu banyak manfaatnya terutama untuk kita yang perantau gimana kita di daerah rantau harus bisa bergaul dengan baik dan memilih temen dengan baik nah menurut saya itu IMA bisa jadi tempat bagi para perantau untuk eee tidak terbawa arus yang tidak baik atau gimana.” (Preliminary Study, VerLC3-4)
Masa remaja bisa disebut sebagai masa sosial karena sepanjang masa remaja hubungan sosial makin tampak jelas dan dominan. Kesadaran akan kesunyian menyebabkan remaja mencari kompensasi dengan mencari hubungan dengan orang lain atau berusaha mencari pergaulan. Penghayatan kesadaran akan kesunyian yang mendalam dari remaja merupakan dorongan pergaulan untuk menemukan pernyataan diri akan kemampuan kemandiriannya (Ali & Asrori, 2012). Mahasiswa yang membutuhkan hubungan sosial dan menyadari akan kesunyian membuat mahasiswa berusaha untuk mencari pergaulan.
(26)
8
Salah satu wadah yang menyediakan tempat untuk mahasiswa perantauan yang beragama Islam memulai hubungan sosial pertama kali di lingkungan kampus adalah IMA, karena pada mulai awal mahasiswa Muslim mengikuti ospek, IMA sudah mulai mendata mahasiswa Muslim lalu mengajak berinteraksi dan memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan contohnya memberikan pinjaman buku untuk kuliah, memberikan informasi tentang perkuliahan di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan memperkenalkan mahasiswa baru dengan mahasiswa senior dikampus, jadi bisa dikatakan IMA sebagai keluarga awal bagi mahasiswa Muslim dan perantauan saat berada di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. IMA juga bisa disebut sebagai batu pijakan untuk memulai hubungan dan interaksi sosial yang lebih besar lagi dengan seluruh mahasiswa di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (Preliminary Study, VerLC2).
Islamic Medical Activists (IMA) bisa menjadi lingkungan positif yang mendukung bagi mahasiswa perantauan tentang perkuliahan di Bali, karena IMA bisa menjadi sarana yang membantu remaja untuk memenuhi kebutuhan psikologis remaja seperti kebutuhan akan kesempatan mengembangkan potensi, cinta dan kasih sayang, pujian, motivasi, penghargaan, dikenal oleh orang lain, diterima dan dihargai oleh orang sekitar, kebebasan, sosialisasi dalam kehidupan dan kesetiakawanan, prestasi, arahan dan bimbingan, serta pendidikan agama karena jika kebutuhan psikologis remaja terpenuhi maka akan timbul suatu kepuasan hidup, selanjutnya remaja akan merasa gembira, harmonis, dan produktif (Ali & Asrori, 2012)
Havighurst (dalam Ali & Asrori, 2012) juga menyatakan bahwa jika remaja berhasil menjalankan sebagian besar tugas perkembangannya maka akan timbul kebahagiaan dan membawa kearah keberhasilan. Remaja yang berhasil memenuhi
(27)
kebutuhan dan tugas perkembangannya membuat remaja memperoleh kepuasan hidup dan juga kebahagiaan yang diyakini dapat membentuk kesejahteraan dalam dirinya. Hal-hal positif seperti kebahagiaan dan kepuasan juga turut berpengaruh dalam pembentukan kondisi psikologis yang positif (positive psychological functioning) yang membawa kepada terbentuknya kesejahteraan psikologis (psychological well-being) dalam diri seseorang (Ryff & Keyes, 1995). Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesejahteraan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi secara positif. Menurut Papalia, dkk (2009) deskripsi orang yang memiliki kesejahteraan psikologis yang baik adalah orang yang mampu merealisasikan potensi yang dimilikinya secara berkelanjutan, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, mandiri dalam menghadapi tekanan sosial, menerima diri apa adanya, memiliki arti dalam hidup, serta mampu mengontrol lingkungan eksternal.
Psychological well-being merupakan kesejahteraan psikologis yang ditentukan oleh hasil evaluasi atas pengalaman-pengalaman hidupnya. Evaluasi dari pengalaman-pengalaman dapat membuat psychological well-being seseorang rendah atau sebaliknya justru membuat psychological well-being meningkat (Ryff, 1989). Pengalaman-pengalaman selama menjadi anggota IMA ternyata memberikan manfaat yang sifatnya positif seperti pengalaman berinteraksi dengan masyarakat saat melakukan pelayanan kesehatan, memperoleh pengetahuan tentang cara melakukan penyunatan (sirkumsisi) sekaligus mempraktekkannya, IMA bisa menjadi keluarga baru bagi mahasiswa perantauan sehingga mereka tidak merasa kesepian sekaligus bisa saling tolong-menolong jika terjadi sesuatu, IMA bisa menjadi tempat untuk berdiskusi tentang materi perkuliahan dan saling
(28)
10
meminjamkan buku yang menjadi acuan dalam mata kuliah (Preliminary Study, VerLC8 & VerLC11).
Wood, Joseph, dan Maltby (2009) menyatakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang adalah rasa syukur. Rasa syukur berkorelasi signifikan dengan kesejahteraan psikologis, rasa syukur berkaitan dengan positive coping, fungsi sosial dan memiliki efek sebab-akibat pada positive well-being dan hubungan sosial. Mahasiswa perantauan yang mampu dan senantiasa bersyukur karena mendapat keluarga baru salah satunya melalui IMA diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan psikologisnya. Penelitian juga membuktikan rasa syukur berkorelasi negatif dengan perilaku anti-sosial, phobia, gangguan kecemasan, gangguan panik, dan mental hyperorexia (Kendler, 2003). Rasa syukur juga memberikan pandangan positif bagi individu terhadap kehidupannya (Wood, 2008) yang berkorelasi dengan kesejahteraan psikologis (Wood, 2009).
Psychological well-being pada mahasiswa yang mengikuti IMA juga dapat ditingkatkan melalui pengembangan perilaku-perilaku yang positif, diharapkan dari perilaku positif tersebut dapat membantu mahasiswa mengembangkan pertumbuhan dirinya karena pertumbuhan pribadi (personal growth) merupakan salah satu aspek dari psychological well-being (Ryff, 1989).
Perilaku positif yang mendukung pertumbuhan pribadi sudah termanifestasi dalam program-program IMA yang sifatnya perilaku prososial. William (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) membatasi perilaku prososial secara lebih rinci sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara
(29)
material dan psikologis, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa perilaku prososial bertujuan untuk meningkatkan well-being orang lain. Perilaku prososial yang dilakukan oleh IMA seperti melakukan tebar daging pada saat hari raya Idhul Adha dan juga pelayanan kesehatan gratis seperti cek tensi, wawancara kesehatan, sampai pemberian pengobatan melalui oral dan injeksi merupakan intensi untuk mengubah keadaan fisik dan psikologis orang lain agar menjadi lebih baik.
Seseorang memunculkan perilaku yang rela mengorbankan diri sendiri demi orang lain ketika sebenarnya mampu untuk tidak peduli dikarenakan oleh perilaku prososial, yaitu setiap perilaku yang mempunyai tujuan menguntungkan orang lain. Organisasi IMA walaupun secara kelembagaan bersifat independen dan tidak berada dibawah dekanat sehingga setiap kegiatan yang dilakukan harus menggunakan dana swadaya dari masing-masing anggota, tidak menghalangi untuk menjalankan kegiatan yang membantu orang lain dan dilakukan tanpa pamrih. Perilaku prososial yang dilakukan oleh IMA juga tidak memandang sekat-sekat keagamaan walaupun organisasi ini dalam namanya bernafaskan Islam akan tetapi setiap perilaku prososial yang dilakukan selalu terbuka untuk masyarakat umum dibawah bingkai kebhinekaan (AD/ART IMA, 2015).
Menurut riset yang dilakukan oleh Williamson dan Clark (dalam Taylor, Peplau & Sears, 2009) mahasiswa yang bisa memberi pertolongan kepada orang lain melaporkan bahwa perasaannya menjadi lebih senang dan tenang dibanding mahasiswa yang tidak diberi kesempatan untuk membantu. Mahasiswa yang memberi pertolongan juga melaporkan bahwa merasa dirinya lebih baik (misalnya lebih sabar, tidak egois, dan dapat diandalkan). Menurut riset melakukan hal-hal positif seperti perilaku prososial ternyata terbukti bisa membuat kondisi perasaan mahasiswa menjadi lebih baik dan membuatnya lebih yakin terhadap kemampuan
(30)
12
diri sendiri. Dengan demikian, diharapkan perilaku prososial yang dilakukan oleh remaja akhir anggota IMA dapat memberikan kontribusi yang positif bagi psychological well-being dirinya.
Berdasarkan penjelasan diatas peneliti tertarik untuk mengangkat penelitian dengan judul “Hubungan Rasa Syukur dan Perilaku Prososial terhadap Psychological Well-Being pada Remaja Akhir Anggota Islamic Medical Activist Fakultas Kedokteran Universitas Udayana”.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan fungsional antara rasa syukur dan perilaku prososial terhadap psychological well-being pada remaja akhir anggota Islamic Medical Activists Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan rasa syukur dan perilaku prososial terhadap psychological well-being pada remaja akhir anggota Islamic Medical Activists Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kajian pemikiran dalam ilmu pengetahuan psikologi khususnya dalam Psikologi Perkembangan, Psikologi Positif, Psikologi Sosial serta dapat berkontribusi terhadap teori yang berkaitan dengan rasa syukur, perilaku prososial dan psychological well-being.
(31)
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi peneliti sendiri maupun bagi pihak-pihak lainnya, uraian manfaat praktis dari penelitian ini sebagai berikut:
a. Manfaat bagi remaja akhir
1) Memberikan informasi bagi anggota IMA maupun remaja akhir yang tergabung dalam organisasi mengenai hubungan antara rasa syukur dan perilaku prososial terhadap kesejahteraan psikologis. 2) Penelitian ini diharapkan bisa memengaruhi wawasan dan pola
pikir anggota IMA maupun remaja akhir yang tergabung dalam organisasi sehingga senantiasa bersyukur dan menolong orang lain dalam kehidupannya karena akan menciptakan evaluasi pengalaman positif dengan harapan agar remaja akhir bisa memperoleh kesejahteraan psikologis.
b. Manfaat bagi orang tua
1) Memberi informasi kepada orang tua mengenai hubungan fungsional antara rasa syukur dan perilaku prososial terhadap psychological well-being pada remaja akhir, agar orang tua bisa mulai mengajarkan anak sejak dini untuk senantiasa bersyukur dan melakukan tindakan untuk membantu sesama dengan ikhlas dengan begitu anak akan tumbuh dengan pengalaman-pengalaman yang positif sehingga diharapkan mampu menciptakan keadaan kesejahteraan psikologis sejak dini dan semakin matang ketika mencapai fase remaja.
(32)
14
c. Manfaat bagi Perguruan Tinggi
1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada pihak perguruan tinggi terkait keadaan psikologis remaja akhir saat berada di bangku perkuliahan khususnya remaja perantauan, serta menjadi acuan agar perguruan tinggi senantiasa mendukung dan memfasilitasi kegiatan-kegiatan organisasi IMA maupun organisasi lainnya yang bersifat prososial dengan harapan agar remaja akhir dapat mencapai psychological well-being yang baik.
d. Manfaat bagi peneliti
1) Memberikan pemahaman yang lebih mendalam terkait dengan hubungan rasa syukur dan perilaku prososial terhadap pembentukan kesejahteraan psikologis anggota IMA maupun remaja yang tergabung dalam organisasi.
(33)
E. Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian mengenai rasa syukur, perilaku prosial dan psychological well-being telah dilakukan sebelumnya. Berikut beberapa penelitian mengenai rasa syukur, perilaku prososial dan psychological well-being, antara lain :
1. Hubungan antara Gratitude dan Psychological Well-Being pada Mahasiswa oleh Fitri Oktaviani Putri pada tahun 2012 dari Universitas Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan antara gratitude dan psychological well-being pada mahasiswa.Variabel gratitude diukur dengan SS8 (skala syukur 8). Variabel psychological well-being diukur dengan alat ukur self-report yang diadaptasi dari penelitian sebelumnya oleh Hapsari (2011), yang menggunakan Ryff’s Scale of Psychological Well-Being (1989). Penelitian ini melibatkan 340 responden berusia 17 sampai 25 tahun. Hasil penelitian ini adalah terdapat hubungan positif yang signifikan antara gratitude dan psychological well-being. Penelitian ini menemukan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara responden yang tergabung dan tidak tergabung dalam perkumpulan keagamaan baik pada gratitude maupun psychological well-being.
2. Gratitude Predicts Psychological Well-Being Above the Big Five Facets oleh Wood, Joseph, dan Maltby pada tahun 2009. Penelitian ini untuk menguji apakah rasa syukur mempengaruhi psychological well-being. Responden dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang berjumlah 201 orang terdiri dari 128 perempuan dan 73 laki-laki berusia 18-26 tahun. Pengukuran rasa syukur dalam penelitian ini menggunakan gratitude questionnaire-6 (GQ-6), sedangkan untuk psychological well-being diukur menggunakan skala psychological well-being dari Ryff. Metode analisis dengan menggunakan analisis multiple regression. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa rasa syukur memiliki korelasi yang lemah dengan
(34)
16
aspek otonomi, korelasi sedang dengan aspek penguasaan lingkungan dan tujuan hidup, serta korelasi yang kuat dengan aspek pertumbuhan pribadi, aspek hubungan positif dengan orang lain, dan aspek penerimaan diri. Korelasi ini menunjukkan bahwa rasa syukur adalah prediktor penting dari psychological well-being.
3. Hubungan antara Perilaku Prososial dengan Psychological Well-Being pada Remaja oleh Megawati pada tahun 2015 dari Universitas Udayana. Metodologi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perilaku prososial dengan psychological well-being pada remaja di kota Denpasar. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah cluster random sampling. Subjek dalam penelitian ini adalah 214 remaja berusia 15-17 tahun, remaja laki-laki berjumlah 91 orang dan remaja perempuan berjumlah 123 orang. Pengukuran variabel psychological well-being dan perilaku prososial menggunakan skala. Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis menggunakan analisis regresi sederhana untuk melihat hubungan antara variabel perilaku prososial dan psychological well-being. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan signifikan dan positif antara perilaku prososial dengan psychological well-being yang berarti semakin tinggi nilai perilaku prososial semakin tinggi pula psychological well-being remaja. Nilai koefisien determinasi sebesar 0,372 menunjukkan sumbangan perilaku prososial terhadap psychological well-being sebesar 37,2% sedangkan sisanya 62,8% disumbang oleh faktor-faktor lain seperti usia, kelas sosial ekonomi, relasi sosial, dan faktor kepribadian.
4. Pengaruh Kedekatan Dengan Korban dan Sikap terhadap Bullying terhadap Tindakan Prososial Bystander Bullying di SMA oleh Sudibyo (2012) dari Universitas Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
(35)
kedekatan dengan korban dan sikap terhadap bullying terhadap perilaku prososial pada siswa SMA di Jakarta dan sekitarnya. Subjek pada penelitian ini adalah siswa/i, SMA dalam tahap remaja yakni 15-19 tahun berjumlah 80 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan accidental sampling panel (pengambilan sampel dipilih berdasarkan tersedianya individu dan kemauan untuk mengikuti penelitian). Pengukuran sikap menggunakan alat ukur sikap terhadap bullying. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara kedekatan dengan korban terhadap perilaku prososial pada siswa SMA. Artinya, seseorang yang ingroup dengan korban tidak memiliki perbedaan skor prososial yang signifikan daripada orang yang outgroup dengan korban. Namun terdapat pengaruh yang signifikan sikap terhadap bullying terhadap perilaku prososial pada siswa SMA. Artinya, seseorang yang memiliki sikap negatif terhadap bullying akan memiliki lebih tinggi skor prososial secara signifikan daripada orang yang memiliki sikap positif terhadap bullying. Selain itu, tidak ada interaksi pengaruh kedekatan dan sikap terhadap bullying terhadap perilaku prososial.
5. Psychological Well-Being pada Remaja yang Orang Tua Bercerai dan Yang Tidak Bercerai (Utuh) oleh Werdyaningrum (2013) dari Universitas Muhammadiyah Malang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan psychological well-being yang signifikan antara remaja yang orang tuanya bercerai dengan remaja yang orang tuanya tidak bercerai (utuh). Subjek dalam penelitian ini adalah 102 remaja usia 14-19 tahun yang terdiri dari 51 remaja yang orang tuanya bercerai dan 51 remaja yang orang tuanya utuh. Data dikumpulkan dengan skala Ryff’s Psychological Well-Being Scale. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan nilai psychological well-being yang signifikan antara remaja yang orang tuanya bercerai dan remaja dengan orang tua yang utuh
(36)
18
(t= 9.813; p = 0.000, p < 0.01). Remaja yang orang tuanya bercerai memiliki nilai psychological well-being yang lebih rendah dibandingkan remaja yang orang tuanya tidak bercerai (utuh).
Penelitian yang peneliti lakukan berbeda dari penelitian yang sudah dijabarkan sebelumnya. Perbedaan tersebut antara lain terletak pada variabel penelitian yang peneliti pilih yaitu psychological well-being, rasa syukur, dan perilaku prososial. Metodologi penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik pengambilan sampel berupa cluster sampling. Lokasi tempat peneliti melakukan penelitian juga berbeda dengan lokasi penelitian yang telah dijabarkan di atas. Lokasi penelitian bertempat di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar, Bali. Karakteristik subjek penelitian juga berbeda yaitu remaja akhir anggota IMA dengan rentang usia 18-21 tahun. Berdasarkan beberapa penelitian yang dijabarkan sebelumnya belum pernah ada yang melakukan penelitian dengan judul hubungan rasa syukur dan perilaku prososial terhadap psychological well-being pada remaja akhir anggota Islamic Medical Activists (IMA) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
(37)
19
TINJAUAN PUSTAKA
A. Psychological Well-Being
1. Definisi Psychological Well-Being
Menurut Ryff (1989), psychological well-being adalah kondisi dimana seseorang memiliki kemampuan menerima diri sendiri maupun kehidupannya di masa lalu, pengembangan diri, keyakinan bahwa hidupnya bermakna, memiliki tujuan, memiliki kualitas hubungan positif dengan orang lain, kapasitas untuk mengatur kehidupan di lingkungan secara efektif dan kemampuan menentukan tindakan sendiri. Ryff (1989) merumuskan teori psychological well-being pada konsep kriteria kesehatan mental yang positif.
Ryan dan Deci (dalam Singh, Mohan, & Anasseri, 2012) menyatakan bahwa psychological well-being adalah sebuah konstruksi yang berkaitan dengan berfungsinya seseorang secara optimal dan positif. Ryff (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009) mendasari cakupan psychological well-being berdasarkan cakupan teori para ahli seperti Erikson hingga Maslow, lalu berdasarkan cakupan tersebut mengembangkan sebuah model baru yang mencakup enam aspek untuk mengukur psychological well-being. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan Ryff dan Keyes (1995) terhadap studi-studi mengenai psychological well being, Ryff dan Keyes berusaha mengajukan konsep psychological well-being yang bersifat multidimensional yaitu, konsep yang mengupas enam aspek tentang aktualisasi
(38)
20
diri manusia yang terdiri dari kemandirian, pertumbuhan pribadi, penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan hubungan yang positif.
Deskripsi orang yang memiliki psychological well-being yang baik adalah orang yang mampu merealisasikan potensi dirinya secara kontinyu, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian terhadap tekanan sosial, maupun menerima diri apa adanya, memiliki arti dalam hidup, serta mampu mengontrol lingkungan eksternal (Papalia, dkk 2009).
Berdasarkan definisi yang sudah dipaparkan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa psychological well-being adalah sebuah konsep tentang kriteria kesehatan mental untuk menggambarkan seseorang yang mampu berfungsi secara optimal dan positif, yang ditunjukkan melalui evaluasi-evaluasi pengalaman hidup dimana hal tersebut dipengaruhi oleh berfungsinya fungsi psikologis secara positif seperti, penerimaan diri, mampu membuat hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian dalam mengatur kehidupan, mampu mengontrol dan menguasai lingkungan eksternal, memiliki tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.
2. Aspek-aspek Psychological well-being
Menurut Ryff (1989) terdapat enam aspek dari psychological well-being, yaitu:
a. Self Acceptance (penerimaan diri)
Sebuah ciri khas dari karakteristik kriteria kesehatan secara mental yaitu dimana, seseorang bisa menerima apa yang terjadi pada kehidupannya saat
(39)
ini maupun kehidupannya di masa lalu. Seseorang yang memiliki skor self acceptance (penerimaan diri) yang tinggi memiliki sebuah sikap yang positif terhadap dirinya sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek tentang dirinya yang mencakup kualitas hal yang baik dan buruk, merasakan hal yang positif tentang kehidupan di masa lalunya. Sedangkan seseorang yang memiliki skor self acceptance (penerimaan diri) yang rendah merasa tidak puas terhadap dirinya, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi di kehidupan masa lalu, bermasalah dengan hal-hal yang ada di dalam dirinya, berharap untuk menjadi orang berbeda dari dirinya saat ini (Ryff, 1989).
b. Positive relations with others (hubungan yang positif dengan orang lain) Mempunyai perasaan empati, kasih sayang, cinta yang besar, persahabatan yang lebih mendalam, dan lebih bisa menyatukan diri terhadap sesama. Membangun hubungan yang hangat dan positif merupakan salah satu kriteria dari kematangan (maturity), dari segi teori perkembangan juga menekankan untuk membangun hubungan yang dekat (intimacy) sekaligus mampu mengarahkan dan membimbing orang lain (generativity). Seseorang yang mempunyai skor tinggi pada dimensi ini menunjukkan mampu membina hubungan yang hangat, kepuasan, percaya terhadap orang lain, memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan empati, afeksi, dan keintiman, serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam hubungan antar sesama manusia. Seseorang yang mempunyai skor yang rendah pada dimensi ini menunjukkan perilaku tertutup terhadap hubungannya dengan orang lain, sulit bersikap hangat
(40)
22
kepada orang lain, tertutup, tidak peduli terhadap sesama, terisolasi dan merasa frustrasi dalam hubungan dengan sesama orang lain, tidak ada kemauan untuk berkompromi dalam mempertahakan hubungan dengan orang lain (Ryff, 1989).
c. Autonomy (kemandirian)
Mampu menentukan nasib sendiri dan bisa mengatur perilaku sesuai dengan kemauan diri sendiri. Orang yang mampu berfungsi secara positif dan optimal, dideskripsikan dengan mampu menunjukkan kemandirian dan resisten terhadap enkulturasi, memiliki evaluasi lokus secara internal yang berarti tidak meniru tindakan orang lain untuk mendapatkan persetujuan tetapi mengevaluasi diri sesuai dengan standar personal yang dimiliki. Seseorang yang memiliki nilai tinggi pada dimensi ini menunjukkan bahwa dapat menentukan tentang sesuatu seorang diri, mampu melawan tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan cara-cara tertentu, mengatur perilaku dari dalam, mengevaluasi diri dengan standar pribadi. Sedangkan seseorang yang memiliki nilai rendah pada dimensi ini menunjukkan bahwa orang tersebut terlalu peduli terhadap harapan dan penilaian dari orang lain, berpegang pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting bagi dirinya, menyesuaikan diri sesuai dengan tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan cara tertentu (Ryff, 1989).
d. Environtmental mastery (penguasaan lingkungan)
Kemampuan seseorang untuk memilih dan membuat lingkungan menjadi cocok dengan kondisi psikologisnya. Perkembangan selama rentang kehidupan juga menggambarkan kemampuan untuk memanipulasi dan
(41)
mengontrol lingkungan yang kompleks. Teori ini menekankan kemampuan seseorang untuk beradaptasi di lingkungannya dan mengubahnya secara kreatif dengan aktivitas fisik maupun mental, mengambil kesempatan-kesempatan yang ada di dalam lingkungan merupakan hal yang penting dalam psychological well-being seseorang. Seseorang yang memiliki skor yang tinggi pada dimensi ini mempunyai penguasaan dan kemampuan dalam mengatur lingkungan, dapat mengendalikan berbagai aktivitas eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungannya, mampu memilih atau membuat konteks yang sesuai dengan kebutuhan pribadi dan nilai-nilai. Seseorang yang memiliki skor yang rendah pada dimensi ini mengalami kesulitan dalam mengatur kehidupan sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah dan memperbaiki lingkungan sekitar, serta kurangnya kontrol terhadap dunia luar (Ryff, 1989).
e. Purpose in life (tujuan hidup)
Keyakinan yang memberikan seseorang perasaan bahwa ada tujuan dan arti dari kehidupan. Definisi dari kematangan juga menekankan sebuah pemahaman yang jernih tentang tujuan dari kehidupan, kemampuan untuk mengarahkan, dan memiliki tujuan. Teori perkembangan rentang kehidupan mengacu pada sebuah variasi dalam perubahan tujuan selama hidup, seperti menjadi produktif dan kreatif, atau mencapai integrasi secara emosional di kemudian hari. Seseorang yang berfungsi dengan positif mempunyai tujuan, mempunyai niatan, dan kemampuan untuk
(42)
24
mengarahkan, yang semuanya berkontribusi terhadap perasaan bahwa hidup adalah bermakna. Seseorang yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini mempunyai tujuan-tujuan dalam hidup dan kemampuan untuk mengarahkannya, dapat merasakan keberadaan akan arti hidup saat ini dan masa lalu, berpegang pada keyakinan bahwa memberi tujuan dan target yang ingin dicapai dalam hidup. Seseorang yang memiliki skor rendah pada dimensi ini sedikit memiliki pemaknaan terhadap kehidupan, memiliki sedikit tujuan, memiliki sedikit cita-cita, tidak melihat makna dan tujuan di kehidupan masa lalu, tidak memiliki pandangan atau kepercayaan yang memberi arti pada kehidupan (Ryff, 1989).
f. Personal growth (pertumbuhan pribadi)
Fungsi psikologis yang positif tidak hanya membutuhkan karakteristik-karakteristik yang telah disebutkan diatas, tapi juga membutuhkan pengembangan potensi dari seseorang, untuk tumbuh, dan mengembangkannya sebagai seorang individu. Kebutuhan untuk aktualisasi diri dan sadar akan potensi yang ada di dalam diri merupakan pandangan yang penting dalam pertumbuhan pribadi. Individu akan terus menghadapi tugas-tugas baru pada periode kehidupan yang berbeda. Pertumbuhan yang berkelanjutan dan realisasi diri merupakan hal yang penting bagi psychological well-being. Seseorang yang mempunyai skor yang tinggi pada dimensi ini mempunyai sebuah perasaan untuk melanjutkan pengembangan, melihat dirinya sebagai individu yang terus tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap berbagai pengalaman baru, mempunyai keinginan untuk merealisasikan potensinya, melihat bahwa diri
(43)
dan perilakunya terus mengalami peningkatan, berubah secara efektif dan mencerminkan kemampuan tentang diri. Skor yang rendah pada dimensi ini menunjukkan bahwa individu mengalami stagnansi atau tidak adanya kemajuan pada individu, tidak adanya peningkatan dan pengembangan pada individu, merasa bosan dan tidak tertarik dengan kehidupan, merasa tidak mampu untuk mengembangkan sikap dan perilaku baru yang lebih baik (Ryff, 1989).
Berdasarkan uraian yang dijelaskan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kriteria orang yang memiliki psychological well-being yang baik setidaknya harus memenuhi enam aspek yang dikemukakan oleh Ryff (1989) yaitu, self acceptance (penerimaan diri), positive relations with others (hubungan yang positif dengan orang lain), autonomy (kemandirian), environtmental mastery (penguasaan lingkungan), purpose in life (tujuan hidup), dan personal growth (pertumbuhan pribadi).
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being
Salah satu cara untuk semakin memahami konsep tentang psychological well-being adalah dengan mempelajari faktor-faktor yang berhubungan dengan psychological well-being itu sendiri. Singh, Mohan, dan Anasseri (2012) dalam bukunya, menjelaskan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi psychological well-being. Faktor-faktor tersebut antara lain:
(44)
26
a. Usia (age)
Ryff dan Keyes (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) menganggap bahwa orang tua mengalami penurunan dalam pertumbuhan pribadi. Akan tetapi individu di usia tuanya menunjukkan peningkatan pada kemampuan menguasai lingkungan dan kemandirian dikarenakan individu mencapai tahap yang lebih tinggi dari rentang kehidupan. Kemampuan menguasai lingkungan cenderung lebih baik di usia paruh baya dan lanjut usia daripada saat individu berada di usia muda, tetapi tetap stabil dari usia menengah ke usia yang lebih tua. Dimensi penerimaan diri dan hubungan positif dengan orang lain tampaknya tidak terlalu dipengaruhi oleh usia. Oleh karena itu, pengalaman individu selama hidupnya dapat mengubah cita-citanya dan cara dia menilai kesejahteraan dirinya sendiri.
Orang-orang yang berusia muda menganggap dirinya telah membuat kemajuan yang signifikan sejak masa remaja, dan memiliki harapan besar untuk masa depan, sehingga nilai untuk aspek tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi menjadi lebih tinggi. Orang-orang di usia pertengahan cenderung tetap dalam proses yang berkesinambungan yaitu perbaikan dari masa lalu ke masa kini dan mempertahankan tingkat kesejahteraan yang tinggi dalam dimensi yang berbeda yang membentuk kesejahteraan. Akhirnya, orang tua terus menganggap diri mereka dalam kaitannya dengan masa lalu dan tidak menganggap sensasi berkembang menuju masa depan. Dilihat dari sisi positif, orang tua cenderung menguasai lingkungan lebih baik dari kelompok usia lainnya.
(45)
b. Jenis kelamin (gender)
Beberapa studi dalam meta-analisis oleh Pinquart dan Sorensen (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) dimana pesertanya mulai dari remaja sampai usia tua, menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan psychological well-being antara jenis kelamin. Dalam beberapa kasus, harga diri dan kesejahteraan psikologis ditemukan sedikit lebih tinggi di kalangan pria daripada wanita. Hal itu juga ditemukan di semua penelitian yang termasuk dalam meta-analisis bahwa wanita yang lebih tua menunjukkan tingkat kepuasan yang lebih rendah terhadap kehidupan, kebahagiaan dan harga diri jika dibandingkan dengan pria. Perbedaan gender dalam hal kesejahteraan psikologis bisa lebih besar pada usia lebih tua, karena wanita mengalami penurunan lebih besar dalam ambisi saat tumbuh dewasa. Whitbourne dan Powers (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) menyatakan bahwa wanita berhubungan lebih dekat dengan peristiwa dalam sistem sosial, sedangkan laki-laki lebih dipengaruhi oleh lingkungan profesional mereka. Pinquart dan Sorensen (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) mengungkapkan oleh karena itu, perempuan lebih terintegrasi secara sosial dan memiliki skor yang lebih tinggi dalam hubungan yang positif dengan orang lain jika dibandingkan dengan laki-laki. Dennerstein, Lehnert, dan Guthrie (dalam Singh, Mohan & Anasseri) melakukan studi yang dilakukan di Australia pada 226 wanita untuk menilai tingkat kepuasan dan variabel yang lain selama satu periode kehidupan, yaitu proses menopause. Hasil penelitian menemukan bahwa kesejahteraan psikologis perempuan meningkat secara signifikan setelah
(46)
28
melewati tahap awal menopause ke tahap selanjutnya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis perempuan meningkat saat memasuki tahap akhir transisi menopause.
c. Kelas sosial ekonomi (socioeconomic level)
Diener (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) mengemukakan aspek lain yang berdampak penting pada kesejahteraan psikologis yaitu situasi sosial ekonomi, yang juga mencakup beberapa kondisi objektif seperti akses ke perumahan, sistem kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan kegiatan rekreasi. Haan, Kaplan, dan Syme (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) menyatakan bahwa kesuksesan atau kegagalan dari segi finansial berkombinasi dengan sumber daya lingkungan, bisa memiliki efek penting pada perasaan seseorang dari segi prestasi, penguasaan lingkungan dan penerimaan diri, dan hal ini cenderung berkembang ketika seseorang bertambah tua.
Secara keseluruhan, ketika situasi keuangan sedang dalam kondisi yang baik direpresentasikan oleh keseimbangan ekonomi yang positif, maka kesejahteraan psikologis juga akan meningkat. Ketika situasi keuangan ini menjadi lebih buruk, dan dengan itu jumlah dirasakan dari kecilnya pendapatan, maka tingkat kesejahteraan psikologis menjadi turun. Oleh karena itu, Hence, Steptoe dan Feldman (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) mengamati bahwa adanya kondisi lingkungan yang negatif di sekitar tempat tinggal dikaitkan dengan persepsi kesehatan yang buruk dan dengan kecemasan psikologis.
(47)
d. Relasi sosial (social relations)
Seseorang harus memiliki hubungan sosial yang stabil dan memiliki teman-teman yang dapat mereka percayai. Menurut Blanco dan Diaz (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) kesejahteraan jelas dipengaruhi oleh kontak sosial dan hubungan interpersonal. Hal itu telah terbukti lewat hubungan berupa kontak di masyarakat, pola aktif persahabatan dan partisipasi sosial. Penelitian oleh Diener dan Diener (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2102) menunjukkan pentingnya konteks sosial dan budaya dalam penilaian seseorang terhadap kesejahtreraan psikologis dirinya sendiri. Faktor lain yang penting di tingkat kesejahteraan psikologis pada orang tua adalah kepuasan orang tua terhadap teman hidupnya. Aspek ini sangat penting bagi kesehatan dan kesejahteraan lansia, untuk siapakah keluarga menjadi sebuah faktor protektif untuk kesehatan para orang tua. Keluarga mengakuisisi peran penting dalam kehidupan saat ini dan menjadi sumber penting dari kesejahteraan psikologis.
e. Faktor kepribadian (personality factors)
Costa dan Mcrae (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) mengemukakan bahwa telah ada bukti yang berulang-ulang selama beberapa dekade terakhir bahwa variabel kepribadian berkaitan erat dengan kesejahteraan psikologis. Neurotisisme dan extrovertisme berhubungan dengan afek negatif dan afek positif. Umumnya, orang-orang dengan kecenderungan neurotik yang sistematis merasa lebih tertekan. Sebaliknya, ekstroversi mempengaruhi emosi positif, sedangkan neurotisisme secara independen mempengaruhi emosi negatif. Oleh karena itu, orang yang sering
(48)
30
mengekspresikan perasaan kesejahteraan psikologis akan cenderung ditandai dengan stabilitas emosi dan ekstroversi. Ekstrovert belajar untuk menjadi bahagia lebih cepat dan tidak mudah untuk menjadi sedih. Sebaliknya dapat diamati pada orang dengan kecenderungan neurotik lebih cepat menjadi sedih tapi lebih sulit untuk menjadi bahagia. Jelas, lebih mudah untuk ekstrovert mengalami emosi positif, tapi dia juga lebih mungkin terlibat dalam situasi yang memfasilitasi emosi positif.
Landau dan Litwin (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) telah membuktikan dalam studi terbaru dalam hubungan antara interaksi sosial dan kesejahteraan pada orang yang berumur panjang. Mayer, Roberts dan Barsade (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) menyatakan bahwa selain faktor kepribadian yang disebutkan di atas, kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa selama dekade terakhir telah ada bukti yang konsisten untuk hubungan antara kecerdasan emosional yang lebih besar, dipahami sebagai sebuah kemampuan untuk memahami dan mengelola sendiri kondisi emosional seseorang, dan sebuah tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi dan sebuah penyesuaian psikologis yang lebih baik untuk lingkungan.
Orang dengan kecerdasan emosional yang lebih besar memiliki penguasaan yang lebih baik terhadap tugas-tugas yang telah ditetapkan dan sebagai hasil pengalaman sebuah tingkatan kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi. Pada akhirnya, kemampuan untuk mengelola emosi dengan baik dikaitkan dengan penyesuaian psikologis yang lebih baik terhadap
(49)
lingkungan. Individu dengan kemampuan mengelola emosi yang baik memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi.
B. Rasa Syukur
1. Definisi Rasa Syukur
Kamus Bahasa Inggris Oxford (dalam Emmons & McCullough, 2004) mendefinisikan rasa syukur sebagai “kualitas atau kondisi berterima kasih; apresiasi pada sebuah keinginan untuk berbuat kebaikan”. Rasa syukur tidak hanya disebut kebaikan yang tertinggi, tetapi adalah orang tua dari semua yang lain, ingatan moral dari umat manusia, kekuatan yang menarik pada arah perubahan pada alam semesta, kunci yang akan membuka semua pintu, kualitas yang menjaga kita tetap awet muda.
Pruyser (dalam Emmons & McCullough, 2004) menyatakan kata gratitude berasal dari bahasa latin yaitu gratia yang berarti kelembutan, kebaikan hati atau terima kasih. Carman dan Streng (dalam Emmons & McCullough, 2004) menyatakan bahwa rasa syukur tidak hanya anugerah tertinggi manusia dalam ajaran agama Yahudi, Kristen, Muslim, Buddha, dan Hindu tetapi juga dianggap sebagai kualitas yang tiada tara dalam tradisi mereka, yang bernilai fundamental untuk hidup yang lebih baik. Harned (dalam Emmons & McCullough, 2004) menyatakan rasa syukur dikatakan untuk menggambarkan sebuah sikap terhadap pemberi, dan sebuah sikap terhadap hadiah, sebuah kepastian untuk memakai pemberian tersebut dengan baik, untuk mempergunakannya dengan
(50)
32
menggunakan daya khayal dan dengan akal sehat sesuai persetujuan dengan niat dari pemberi.
Emmons dan McCullough (2003) menemukan bahwa orang-orang yang bersyukur tidak hanya menunjukkan keadaan mental yang lebih positif seperti antusias, tekun, dan penuh perhatian tetapi juga lebih murah hati, peduli, dan membantu orang lain. Fitzgerald (dalam Emmons & McCullough, 2004) mengidentifikasi tiga komponen rasa syukur, yaitu perasaan hangat dan memberi apresiasi terhadap orang lain atau sesuatu, memiliki niat baik kepada seseorang atau sesuatu, serta kecenderungan untuk bertindak melakukan sesuatu seperti beribadah kepada Tuhan, menolong orang lain, dan membalas kebaikan orang lain.
Rasa syukur adalah sesuatu yang menyenangkan. Rasa syukur juga memberikan motivasi. Ketika kita merasa bersyukur, kita tergerak untuk membagikan kebaikan yang telah kita dapatkan kepada orang lain. Rasa syukur adalah sebuah kesadaran bahwa seseorang adalah hanya penerima dari sebuah kebaikan. Merasa bersyukur membuat seseorang menjadi ingat pertolongan yang orang lain telah berikan untuk kepentingan kesejahteraan dirinya (Emmons, 2007).
Menurut McCullough, Emmons, dan Tsang (2002) syukur mempengaruhi afeksi, mood, dan emosi. Rasa syukur sebagai sifat yang lebih mengarah kepada afeksi ini disebut sebagai disposisi dari rasa syukur. Disposisi rasa syukur didefinisikan sebagai kecenderungan umum orang untuk mengenali dan menanggapi emosi berterima kasih atas kebaikan orang lain. Istilah yang
(51)
digunakan untuk menyebut dimensi diganti oleh istilah yang disebut faset karena elemen-elemen disposisi rasa syukur berdiri sebagai sebuah kesatuan dan muncul secara bersama-sama. Faset dari disposisi rasa syukur antara lain: intensity, frequency, span, dan density.
Menurut Emmons dan McCullough (2003) dengan bersyukur tidak hanya menunjukkan keadaan mental yang lebih positif (seperti antusias, tekun, dan penuh perhatian), tetapi juga lebih murah hati, peduli, dan membantu orang lain.
Berdasarkan uraian yang dijelaskan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa rasa syukur adalah kualitas dan kondisi berterima kasih yang membawa kebaikan bagi setiap orang yang senantiasa mengamalkannya serta dianggap sebagai anugerah tertinggi dari Tuhan kepada setiap umat manusia yang bernilai fundamental untuk kehidupan seseorang agar senantiasa lebih baik. Rasa syukur juga menimbulkan keinginan untuk membantu orang lain yang kesusahan, perasaan takjub, berterima kasih dan apresiasi untuk kehidupan. Rasa syukur memiliki korelasi yang kuat dengan kesejahteraan psikologis.
2. Aspek-aspek Rasa Syukur
Fiztgerald (1998) mengidentifikasi aspek- aspek dari rasa syukur, yaitu :
a. A Warm Sense of Appreciation for somebody or something
Penilaian yang positif dan penghargaan terhadap seseorang atau sesuatu meliputi perasaan cinta dan kasih sayang.
(52)
34
b. A Sense of Goodwill toward that person or thing
Kehendak yang baik (goodwill) yang ditujukan kepada seseorang atau sesuatu, meliputi keinginan untuk membantu orang lain yang kesusahan dan keinginan untuk berbagi.
c. A Disposition to Act that flows from appreciation and goodwill
Kecenderungan untuk bertindak positif dengan memberi penilaian positif, penghargaan, dan berkehendak baik kepada orang lain, lingkungan dan Tuhan, meliputi intensi menolong orang lain, membalas kebaikan orang lain, dan beribadah.
McCullough, Emmons, dan Tsang (2002) menyatakan terdapat empat elemen yang muncul bersamaan dengan munculnya rasa syukur yaitu:
a. Intensity: Kekuatan seseorang untuk merasakan perasaan rasa syukur. Individu yang memiliki disposisi rasa syukur yang baik akan merasakan rasa syukur yang sifatnya lebih intens daripada individu dengan disposisi syukur yang rendah
b. Frequency: Seseorang dengan disposisi syukur yang baik akan lebih merasa bersyukur setiap harinya dan dapat muncul walau hanya dari kebaikan orang lain yang sifatnya sederhana.
c. Span: Individu dengan disposisi rasa syukur akan merasa banyak bersyukur terhadap berbagai hal dan aspek dalam hidupnya. Contohnya seseorang akan bersyukur atas kesehatan yang dia peroleh, keluarga yang dia miliki, pekerjaan yang sedang dia lakukan dan kehidupannya sendiri.
d. Density: Mengacu kepada jumlah orang yang individu syukuri atas suatu manfaat positif yang individu dapatkan. Contohnya saat seseorang diterima
(53)
di sebuah perguruan tinggi bergengsi maka seseorang tersebut bersyukur atas anugerah dari Tuhan, dukungan dari orang tuanya, saudaranya, guru, dan teman-temannya. Orang dengan disposisi syukur yang rendah mungkin hanya berterima kasih pada orang tuanya saja.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Rasa Syukur
Menurut McCullough, Emmons, dan Tsang (2002) faktor-faktor yang mempengaruhi rasa syukur adalah :
a) Emotionality
Satu kecenderungan atau tingkatan dimana seseorang bereaksi secara emosional dan merasa menilai kepuasan hidupnya.
b) Prosociality
Kecenderungan seseorang untuk diterima oleh lingkungan sosialnya. c) Religiousness
Berkaitan dengan keagamaan, keimanan, yang menyangkut nilai-nilai transendental.
C. Perilaku Prososial
1. Definisi Perilaku Prososial
Lewin (1936) melihat perilaku sebagai sebuah fungsi dari seseorang dan situasi. Menurut Staub, Baron, dan Byrne (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) perilaku prososial dapat diartikan sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan bagi pelakunya. Perilaku yang
(54)
36
menghasilkan keuntungan yang substansial bagi orang yang menerima pertolongan dan perilaku yang membutuhkan pengorbanan dari penolong, dan keuntungan hanya ditujukan pada orang yang hendak ditolong bukan kepada penolong. Oleh karena itu perilaku prososial tidak membutuhkan penilaian dari maksud perilaku tersebut, atau seberapa besar keuntungan atau pengorbanan dari penolong atau penerima pertolongan tersebut yang terpenting adalah orang yang menerima pertolongan tersebut telah tertolong.
William (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) membatasi perilaku prososial secara lebih rinci sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis, dapat dikatakan bahwa perilaku prososial bertujuan untuk membantu meningkatkan well-being orang lain. Batson (dalam Taylor, Peplau & Sears, 2009) menyatakan perilaku prososial yaitu mencakup setiap tindakan yang membantu atau dirancang untuk membantu orang lain, terlepas dari motif penolong. Perilaku prososial bisa dimulai dari tindakan yang sifatnya altruisme yaitu tanpa pamrih sampai tindakan yang dimotivasi oleh pamrih atau kepentingan pribadi.
Brigham (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) menyatakan bahwa perilaku prososial mempunyai maksud untuk menyokong kesejahteraan orang lain, dengan demikian kedermawanan, persahabatan, kerjasama, menolong, menyelamatkan, dan pengorbanan merupakan bentuk-bentuk perilaku prososial.
(55)
Staub (dalam Dayaksini & Hudaniah, 2006) mengatakan bahwa ada tiga indikator yang menjadi tindakan prososial, yaitu:
1. Tindakan itu berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan pada pihak pelaku
2. Tindakan itu dilahirkan secara sukarela 3. Tindakan itu menghasilkan kebaikan
Berdasarkan uraian yang telah disebutkan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku prososial adalah segala bentuk perilaku yang ditujukan untuk menolong orang lain, dengan tanpa mengharapkan imbalan dari pertolongannya sehingga orang yang ditolong bisa tertolong dan mendapatkan keuntungan baik secara materi, fisik maupun psikologis.
2. Aspek-aspek Perilaku Prososial
Aspek-aspek perilaku prososial menurut Eisenberg dan Musen (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) adalah:
a. Berbagi
Kesediaan untuk berbagi perasaan dengan orang lain baik dalam suasana suka maupun duka.
b. Kerjasama
Kesediaan untuk saling bekerja sama dengan orang lain untuk meraih dan mencapai tujuan.
c. Menolong
(56)
38
d. Bertindak jujur
Kesediaan untuk melakukan sesuatu apa adanya tanpa berbuat curang. e. Berderma
Kesediaan untuk memberikan sebagian barang miliknya kepada orang lain yang membutuhkan secara sukarela.
Aspek-aspek perilaku prososial yang dipakai dalam penelitian ini adalah berbagi, kerjasama, menolong, berbuat jujur, dan berderma.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial
Taylor, Peplau, dan Sears (2009) menyatakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi seseorang melakukan perilaku prososial. Faktor-faktor tersebut diantaranya:
1. Karakteristik dari Penolong a. Mood dan Menolong
Isen dan Levin (dalam Taylor dkk, 2009) mengatakan banyak bukti yang menunjukkan bahwa orang akan bersedia menolong apabila berada dalam keadaan good mood, misalnya setelah menemukan uang, baru mendapat hadiah, atau setelah mendengar musik yang menyenangkan. Nampaknya perasaan positif menaikkan kesediaan seseorang untuk melakukan tindakan prososial. Kemungkinan lainnya adalah keadaan mood positif mungkin menyebabkan kita punya pikiran yang lebih positif. Sedangkan Carlson dan Miller (dalam Taylor dkk, 2009) mengatakan untuk efek bad mood terhadap tindakan menolong ternyata
(1)
temu warga baru (TAWABA) IMA Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Muatan pengkaderan tahap pertama adalah melakukan kajian rutin tentang keagamaan dan seluk beluk perkuliahan di Fakultas Kedokteran.
e. Tahap kedua pengkaderan anggota IMA berupa annual training of Islamic Medical Activists student intensively (ANIMASI). Muatan pengkaderan tahap kedua adalah penanaman keimanan dan ketakwaan serta wawasan organisasi IMA Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
F. Hubungan Rasa Syukur dan Perilaku Prososial terhadap Psychological Well-Being pada Remaja Akhir
Masa remaja adalah peralihan masa perkembangan antara masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan besar pada aspek fisik, kognitif, dan psikososial (Papalia dkk, 2009). Masa remaja dibagi menjadi tiga fase yaitu, remaja awal yang berada pada rentang usia 12-15 tahun, remaja madya yang berada pada rentang usia 15-18 tahun, dan remaja akhir yang berada pada rentang usia 18-21 tahun (Said, 2015). Tahap remaja akhir adalah masa konsolidasi menuju kedewasaan yang ditandai dengan minat yang makin mantap terhadap potensi yang dimiliki, menurunkan ego agar bisa bersatu dengan orang lain dan pengalaman baru, terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah, terjadinya keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dan orang lain serta telah mampu memisahkan diri pribadinya dan masyarakat umum (Sarwono, 2012).
(2)
Ciri khas dalam perkembangan pada fase remaja membawa pada konsekuensi kebutuhan psikologis yang khas pula bagi remaja (Said, 2015). Remaja akhir yang kebutuhan psikologisnya terpenuhi akan memperoleh suatu kepuasan hidup yang membuat dirinya merasa gembira, harmonis, dan produktif. Selain kebutuhan psikologis yang harus dipenuhi, remaja juga harus melakukan tugas-tugas pada fase perkembangannya. Tugas perkembangan pada masa remaja difokuskan pada upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa. Havighurts (dalam Ali & Asrori, 2012) menyatakan jika remaja berhasil menjalankan tugas-tugas perkembangannya maka akan menimbulkan perasaan bahagia dan membawa ke arah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya.
Remaja akhir yang mampu memenuhi dan menyelesaikan kebutuhan psikologis serta tugas perkembangan akan memperoleh kepuasan dan kebahagiaan. Sejalan dengan pendapat Santrock (2002) bahwa kepuasan hidup merupakan bagian dari kesejahteraan psikologis. Kondisi seperti ini mengarahkan remaja pada kesejahteraan secara psikologis yang biasa disebut psychological well-being. Psychological well-being adalah kondisi dimana seseorang memiliki kemampuan yang terdiri dari enam aspek yaitu, menerima diri sendiri maupun kehidupannya di masa lalu, pengembangan diri, keyakinan bahwa hidupnya bermakna, memiliki tujuan, memiliki kualitas hubungan positif dengan orang lain, kapasitas untuk mengatur kehidupan di lingkungan secara efektif dan kemampuan menentukan tindakan sendiri (Ryff, 1989).
Rasa syukur ternyata dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Penelitian dari Wood, Joseph, dan Maltby (2008) yang melibatkan responden dengan
(3)
rentang usia 18-55 tahun menemukan bahwa rasa syukur berhubungan secara signifikan dengan kepuasan hidup. Rasa syukur memiliki hubungan yang kuat dengan aspek pertumbuhan pribadi, aspek hubungan positif dengan orang lain, dan aspek penerimaan diri pada psychological well-being. Hubungan ini menunjukkan bahwa rasa syukur adalah prediktor penting dari psychological well-being. Remaja akhir yang senantiasa mengenali dan menanggapi emosi berterima kasih atas kebaikan orang lain yang dimanifestasikan melalui perasaan bersyukur yang kuat (intensity), merasa bersyukur setiap hari (frequency), banyak bersyukur terhadap berbagai aspek kehidupannya (span), dan mengacu pada jumlah orang yang remaja syukuri atas suatu manfaat positif yang didapatkannya (density) akan menyebabkan psychological well-being remaja meningkat.
Psychological well-being remaja akhir juga bisa ditingkatkan lewat pengembangan perilaku-perilaku yang positif. Perilaku positif tersebut bisa berwujud perilaku prososial. Menurut Santrock (2007) perilaku prososial banyak dilakukan di masa remaja dibandingkan masa kanak-kanak. William (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) membatasi perilaku prososial secara lebih rinci sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material dan psikologis, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa perilaku prososial bertujuan untuk meningkatkan well-being orang lain.
Eisenberg dan Musen (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) mengungkapkan aspek-aspek perilaku prososial diantaranya berbagi, kerjasama, menolong, berbuat jujur dan berderma. Hasil riset dari Williamson dan Clark (dalam Taylor dkk, 2009) menunjukkan bahwa perasaan mahasiswa menjadi lebih senang ketika bisa memberi pertolongan kepada orang lain dibandingkan mahasiswa yang tidak diberi kesempayan untuk menolong.
(4)
Mahasiswa yang memberi pertolongan juga mengatakan bahwa merasa dirinya lebih baik seperti lebih sabar, tidak egois, dan dapat diandalkan. Riset membuktikan bahwa seseorang yang melakukan perilaku prososial bisa membuat kondisi perasaannya menjadi lebih baik yang tentu akan mempengaruhi psychological well-being seseorang.
Bagan hubungan antara rasa syukur dan perilaku prososial terhadap psychological well-being pada remaja akhir bisa dilihat pada gambar 1.
(5)
Gambar 1. Bagan hubungan antar variabel. Keterangan Gambar 1.
: Variabel yang diteliti
: Aspek dari variabel yang diteliti
: Hubungan variabel bebas terhadap variabel tergantung : Garis aspek variabel yang diteliti
a. Intensity b. Frequency c. Span d. Density RASA SYUKUR PERILAKU PROSOSIAL a. Berbagi b. Kerjasama c. Menolong d. Berbuat jujur e. Berderma PSYCHOLOGICAL WELL_BEING REMAJA AKHIR ANGGOTA ISLAMIC MEDICAL ACTIVISTS
a. Self acceptance (penerimaan diri)
b. Positive relations with others (hubungan positif dengan orang lain)
c. Autonomy (Kemandirian) d. Environtmental mastery (Penguasaan lingkungan) e. Purpose in life (Tujuan hidup) f. Personal growth
(Pertumbuhan pribadi) REMAJA AKHIR
ANGGOTA ISLAMIC MEDICAL ACTIVISTS
(6)
E.Hipotesis Penelitian
Hipotesis Mayor
1. Rasa syukur dan perilaku prososial diyakini memiliki hubungan fungsional terhadap psychological well-being pada remaja akhir anggota Islamic medical activists Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Hipotesis Minor
1. Rasa syukur diyakini memiliki hubungan fungsional terhadap psychological well-being pada remaja akhir anggota Islamic medical activists Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
2. Perilaku prososial diyakini memiliki hubungan fungsional terhadap psychological well-being pada remaja akhir anggota Islamic Medical Activists Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.