PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS CERITA FIKSI MELALUI METODE EKSPLORASI MEMBACA SISWA KELAS IVB DI SEKOLAH DASAR NEGERI GEDONGKIWO YOGYAKARTA.

(1)

PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS CERITA FIKSI MELALUI METODE EKSPLORASI MEMBACA SISWA

KELAS IVB DI SEKOLAH DASAR NEGERI GEDONGKIWO YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Amanda Oksaventa Aghittara NIM 12108241084

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v

MOTTO

Penulis yang baik, karena ia menjadi pembaca yang baik. (Hernowo)

Membaca adalah pusat yang tidak bisa dihindari oleh seorang penulis (Stephen King)


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, penulis persembahkan karya ini kepada:

1. Kedua Orang Tua yang senantiasa mendukung dan mendoakan kelancaran skripsi ini.

2. Almamater PGSD FIP UNY. 3. Agama, Nusa, dan Bangsa.


(7)

vii

PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS CERITA FIKSI MELALUI METODE EKSPLORASI MEMBACA SISWA

KELAS IVB DI SEKOLAH DASAR NEGERI GEDONGKIWO YOGYAKARTA

Oleh

Amanda Oksaventa Aghittara NIM 12108241084

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan proses pembelajaran, dan keterampilan menulis cerita fiksi melalui metode eksplorasi membaca siswa kelas IV B Sekolah Dasar Negeri Gedongkiwo Yogyakarta.

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan secara kolaboratif. Desain penelitian yang digunakan yaitu model Kemmis dan Mc Taggart. Penelitian dilaksanakan dalam dua siklus. Subjek penelitian adalah siswa kelas IVB di SD Negeri Gedongkiwo Yogyakarta tahun ajaran 2015/ 2016 sebanyak 23 siswa. Objek penelitian adalah keterampilan menulis cerita fiksi. Penelitian ini difokuskan kepada peningkatan keterampilan siswa dalam menulis cerita fiksi setelah menerapkan metode eksplorasi membaca. Teknik pengumpulan data menggunakan: 1)observasi, 2)tes, dan 3)dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan deskriptif kuantitatif dan kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan proses pembelajaran dan keterampilan menulis cerita fiksi siswa kelas IV. Peningkatan proses pembelajaran dapat dilihat dari aktivitas siswa dan guru. Siswa menjadi berani menuangkan idenya, siswa menjadi gemar membaca, dan siswa menjadi antusias dalam menulis cerita fiksi. Guru berperan aktif sebagai fasilitator dan pembimbing siswa saat menulis cerita fiksi. Sedangkan, peningkatan keterampilan menulis cerita fiksi dapat dilihat dari hasil menulis siswa dari rerata 62,26 pada pra tindakan menjadi 71,33 pada siklus I, dan menjadi 83,29 pada siklus II. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa metode eksplorasi membaca dapat meningkatkan proses pembelajaran dan keterampilan menulis cerita fiksi siswa kelas IV.

Kata kunci: keterampilan menuli cerita fiksi, metode eksplorasi membaca, siswa kelas IV SD


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam. Dzat yang Maha berkuasa atas segala ciptaan-Nya. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Rasul junjungan umat, Rasulullah SAW. Rasa syukur penulis haturkan, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Peningkatan Keterampilan Menulis Cerita Fiksi melalui Metode Eksplorasi Membaca Siswa Kelas IV B di Sekolah Dasar Negeri Gedongkiwo Yogyakarta” dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa penyususnan skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan kesempatan

menimba ilmu di Universitas Negeri Yogyakarta dalam mewujudkan masa depan.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan kemudahan dalam penelitian dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Ketua Jurusan Pendidikan Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan motivasi kepada penulis untuk memaparkan gagasan skripsi ini dan memberikan ijin penelitian. 4. Ibu Murtiningsih, M.Pd., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, senantiasa memberi ilmu secara tulus dan penuh kesabaran dalam membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini.


(9)

(10)

x

DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 5

C.Pembatasan Masalah ... 6

D.Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 6

F. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN TEORI A.Deskripsi Teori ... 8

1. Menulis Cerita Fiksi ... 8

a. Pengertian Menulis Cerita Fiksi ... 10

b. Jenis Cerita Fiksi ... 10

c. Unsur-unsur Cerita Fiksi ... 12

d. Tujuan Menulis Cerita Fiksi ... 21

e. Manfaat Menulis Cerita Fiksi ... 22

f. Langkah-langkah Menulis Cerita Fiksi ... 24


(11)

xi

a. Pengertian Eksplorasi Membaca ... 26

b. Kelebihan Eksplorasi Membaca ... 27

c. Tahapan Eksplorasi Membaca ... 28

3. Karakteristik Anak Sekolah Dasar ... 32

B.Kerangka Pikir ... 34

C.Hipotesis Penelitian ... 35

D.Definisi Operasional ... 36

BAB III METODE PENELITIAN A.Jenis Penelitian ... 37

B.Desain Penelitian ... 38

C.Subjek dan Objek Penelitian ... 41

D.Lokasi dan Waktu Penelitian ... 41

E. Prosedur Penelitian ... 42

F. Teknik Pengumpulan Data ... 44

G.Instrumen Penelitian ... 47

H.Teknik Analisis Data ... 51

I. Kriteria Keberhasilan ... 53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Deskripsi Hasil Penelitian ... 54

1. Pra Tindakan ... 54

2. Pelaksanaan Tindakan ... 56

a. Siklus I ... 56

b. Siklus II ... 65

B.Pembahasan ... 74

C.Keterbatasan Penelitian ... 78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan ... 79

B.Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 81


(12)

xii

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Contoh Lembar Kreativitas ... 30 Tabel 2. Lembar Observasi Kegiatan Guru dan Siswa ... 48 Tabel 3. Kisi-Kisi Pedoman Penilaian Keterampilan Menulis Cerita Fiksi ... 49 Tabel 4. Rubrik Penilaian Menulis Cerita Fiksi Kelas IV SD ... 50 Tabel 5. Pedoman Konversi Nilai Absolut Skala Lima. ... 52 Tabel 6. Hasil Tes Keterampilan Menulis Cerita Fiksi pada Pra Tindakan ... 55 Tabel 7. Hasil Tes Keterampilan Menulis Cerita Fiksi pada Pertemuan II

Siklus I ... 62 Tabel 8. Peningkatan Hasil Tes Keterampilan Menulis Cerita Fiksi dari Pra

Tindakan ke Siklus I ... 63 Tabel 9. Hasil Tes Keterampilan Menulis Cerita Fiksi pada Siklus II ... 71 Tabel 10.Peningkatan Hasil Tes Keterampilan Menulis Cerita Fiksi dari

Siklus I ke Siklus II ... 72 Tabel 11. Peningkatan Hasil Tes Keterampilan Menulis Cerita Fiksi dari Pra


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

hal Gambar 1. Skema Kerangka Pikir. ... 34 Gambar 2. Siklus PTK Model Spiral Menurut Kennis dan Mc. Taggart ... 39 Gambar 3. Diagram Peningkatan Pertemuan II dan Pertemuan III

pada Siklus I ... 63 Gambar 4. Diagram Peningkatan Hasil Tes Keterampilan Menulis Cerita Fiksi

Pertemuan I, II, III pada Siklus II... 72 Gambar 5. Diagram Peningkatan pada Pra Tindakan, Siklus I, dan Siklus II . 73


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Daftar Nama Siswa ... 87

Lampiran 2. Pedoman Penilaian Tes Keterampilan Menulis ... 88

Lampiran 3. Hasil Observasi Guru dan Siswa Tahap Pra Tindakan ... 90

Lampiran 4. Rekapitulasi Hasil Tes Keterampilan Menulis Pra Tindakan ... 93

Lampiran 5. Contoh Hasil Tes Keterampilan Menulis Pra Tindakan ... 94

Lampiran 6. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Siklus I ... 95

Lampiran 7. Hasil Observasi Guru dan Siswa Siklus I ... 111

Lampiran 8. Rekapitulasi Hasil Observasi Guru dan Siswa Siklus I ... 114

Lampiran 9. Rekapitulasi Hasil Tes Keterampilan Menulis Siklus I ... 117

Lampiran 10. Peningkatan Hasil Tes Pra Tindakan ke Siklus I ... 121

Lampiran 11. Contoh Hasil Tes Keterampilan Menulis Siklus I ... 122

Lampiran 12. Gambar Pelaksanaan Tindakan Siklus I ... 123

Lampiran 13. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Siklus II ... 125

Lampiran 14. Hasil Observasi Guru dan Siswa Siklus II ... 139

Lampiran 15. Rekapitulasi Hasil Observasi Guru dan Siswa Siklus II ... 140

Lampiran 16. Rekapitulasi Hasil Tes Keterampilan Menulis Siklus II ... 143

Lampiran 17. Peningkatan Hasil Tes Siklus I ke Siklus II ... 148

Lampiran 18. Contoh Hasil Tes Keterampilan Menulis Siklus II ... 149

Lampiran 19. Gambar Pelaksanaan Tindakan Siklus II ... 151


(15)

1

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Menulis merupakan salah satu kegiatan yang menjadi komponen utama dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Aktivitas menulis merupakan suatu bentuk manifestasi kemampuan dan keterampilan berbahasa yang paling akhir dikuasai oleh siswa setelah kemampuan mendengarkan, berbicara, dan membaca. Pembelajaran menulis di sekolah pun diberikan secara bertahap disesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa.

Menurut Sabarti Akhadiyah (Ahmad Rofi’udin dan Darmiyati Zuchdi, 1999), menulis dapat diartikan sebagai aktivitas mengekspresikan ide, gagasan, pikiran, atau perasaan ke dalam lambang-lambang kebahasaan (bahasa tulis). Bell dan Burnaby (A. Syukur Ghazali, 2010 : 302) berpendapat bahwa menulis adalah sebuah kegiatan yang sangat kompleks, karena penulis harus mengendalikan bahasa pada level kalimat (struktur tata bahasa, kosa kata, tanda baca, dan ejaan) serta pada level yang lebih luas dari kalimat (mengorganisasikan dan mengintegrasikan informasi menjadi paragraf-paragraf yang kohesif dan koheren, serta selanjutnya menjadi teks yang kohesif dan koheren).

Menurut Vero Sudiati dan A. Widyamartaya (1995: 50), menulis cerita fiksi adalah mencipta dalam arti yang sebenar-benarnya, merupakan gambaran tindak penciptaan Ilahi sendiri, yang menciptakan sesuatu dari tiada menjadi ada. Dalam menulis cerita fiksi berorientasi kepada pemberian dunia alternatif, menyajikan berbagai kemungkinan penafsiran tentang kehidupan, menceritakan


(16)

2

sesuatu bukan sebagaimana yang sungguh terjadi di atas bumi ini, tetapi sebagaimana dibayangkan atau dikhayalkan terjadi.

Dalam menulis cerita fiksi dibutuhkan imajinasi atau khayalan penulis. Hal ini sesuai dengan karakter siswa yang berusia 7 hingga 11 tahun, yang berada dalam masa perkembangan intelektual tahap operasional kongkret. Pada masa ini, siswa mulai dapat mengembangkan imajinasi ke masa lalu dan masa depan (Zulela, 2013: 53). Dengan pembelajaran menulis cerita fiksi, menjadi langkah awal bagi siswa untuk mengetahui bagaimana cara mengembangkan imajinasi dan menuangkannya dalam bahasa tulis yang berbentuk sebuah cerita fiksi.

Cara agar siswa dapat belajar secara induktif bagaimana tulisan yang baik adalah melalui kegiatan membaca. Siswa dapat memahami bagaimana pola dan organisasi cerita, bagaimana penyusunan paragraf yang baik, struktur kalimat yang baik, dan pilihan kata yang sesuai dapat dipelajari secara tidak langsung melalui membaca. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa dengan membaca, kemampuan menulis siswa dapat berkembang.

Menurut Leonhardt (Pangesti Wiedarti, 2005), anak yang terbiasa membaca mandiri akan mencapai tingkat melek huruf yang berterima dengan sendirinya. Anak akan mendapatkan rasa kebahasaan tertulis yang tidak bisa diajarkan secara langsung. Kelemahan dalam membaca pada diri anak akan menyebabkan anak cenderung untuk meneladani bahasa lisan, bukan bahasa tertulis. Ini berarti, struktur kalimat pada diri anak menjadi longgar dan kurang berkarakter. Marahimin (Sukino, 2005) menyatakan bahwa membaca memberikan berbagai “tenaga dalam” yang sangat dibutuhkan oleh penulis.


(17)

3

Disadari atau tidak, diakui atau tidak, setiap penulis pastilah memiliki secara lengkap tenaga dalam itu.

Berdasarkan hasil observasi siswa kelas IVB di SD Gedongkiwo, ketika siswa diminta untuk menulis cerita, siswa justru menceritakan idenya kepada temannya. Namun, siswa merasa kesulitan untuk menuliskannya dalam sebuah tulisan. Hal ini menunjukkan bahwa, sebenarnya siswa memiliki ide untuk bahan tulisannya tetapi siswa masih ragu dan belum memahami bagaimana cara menuangkan ide tersebut dalam bentuk tulisan. Menurut Rudolf Flesch (Vero Sudiati dan A. Widyamartaya, 1995: 1), hal ini dinamakan “graphophobia” yang dapat diartikan sebagai ketakutan menulis.

Selain kesulitan menuangkan ide ke dalam bentuk tulisan, siswa juga mengalami kesulitan dalam menyusun kalimat yang baik dan runtut, sehingga paragraf yang disusun kurang padu. Siswa sekedar membuat lima kalimat yang tidak saling berkaitan. Siswa belum menggunakan bahasa tulis yang baik, masih ada siswa yang menggunakan bahasa keseharian (bahasa daerah).

Beberapa permasalahan yang dialami oleh siswa ini menunjukkan bahwa siswa memiliki kosa kata yang masih rendah untuk menulis sebuah cerita. Salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya minat siswa dalam membaca, sehingga siswa kurang memiliki wawasan, kosa kata, bahkan imajinasi yang cukup untuk menjadi modal dalam membuat sebuah tulisan.

Dapat dilihat dari hasil UAS semester 1 kelas IV B SD Gedongkiwo, Yogyakarta terkait keterampilan menulis sebuah cerita fiksi yang kurang maksimal. Berdasarkan pemaparan Dwi Budiyanto (Pangesti Wiedarti, 2005),


(18)

4

pelajaran menulis secara formal hampir selalu menemukan kegagalan karena selain metode yang digunakan relatif konvensional, para siswa sendiri tidak cukup modal untuk menulis. Seperti metode yang digunakan dalam pembelajaran menulis cerita fiksi di kelas IVB yang kurang bervariasi. Oleh karena itu, dibutuhkan metode yang tepat untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam menulis sebuah cerita fiksi. Salah satu metode yang dapat diterapkan dalam meningkatkan keterampilan menulis fiksi adalah eksplorasi membaca.

Sesuai dengan penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Mills (Ahmad Rofi’udin, 1999 : 98) selama empat tahun, membuktikan bahwa anak kelas 4 yang membaca atau menyimak kemudian mendiskusikan cerita tersebut (eksplorasi membaca) sebagai landasan menulis, secara signifikan memiliki nilai yang lebih tinggi dalam menulis daripada siswa dalam kelompok kontrol yang tidak menggunakan cerita dengan cara tersebut. Siswa dapat mempelajari cara menulis dari mendengarkan atau membaca dan mendiskusikan sebuah cerita. Secara sadar atau tidak, siswa mengambil kata-kata, frase, unsur plot, bahkan pola-pola (intonasi) dialog dari buku-buku yang siswa baca.

Menurut Heru Kurniawan (2014 : 90) untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan saat menulis sebuah cerita fiksi, seperti : tidak mengetahui apa yang akan ditulis, siswa merasa bingung untuk memulai tulisannya, dan bagaimana cara menuliskan idenya dalam sebuah cerita, guru dapat menerapkan pembelajaran menulis dengan menggunakan metode eksplorasi membaca. Dalam pembelajaran ini, siswa diharapkan dapat memahami dan memperoleh


(19)

5

pengetahuan tentang sebuah cerita secara konkret, sekaligus mencoba mengembangkan cerita yang menjadi bahan pembelajaran untuk dituliskan kembali dengan meniru permasalahan yang ada dan unsur-unsur pembangun cerita tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti berminat untuk melakukan penelitian yang berjudul “Peningkatan Keterampilan Menulis Cerita Fiksi melalui Metode Eksplorasi Membaca Siswa Kelas IVB di Sekolah Dasar Negeri Gedongkiwo

Yogyakarta”.

B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka didapatkan identifikasi permasalahan sebagai berikut.

1. Siswa kurang memahami bagaimana cara merumuskan ide dalam sebuah tulisan.

2. Siswa kurang memahami bagaimana cara menulis cerita yang baik.

3. Siswa mengalami “graphophobia” (ketakutan menulis) saat menulis cerita fiksi.

4. Siswa masih menyisipkan bahasa daerah.

5. Siswa dalam menyusun kalimat yang baik dan runtut masih kurang, sehingga belum membentuk paragraf yang padu.

6. Siswa memiliki kosa kata yang masih rendah. 7. Minat siswa dalam membaca masih rendah.

8. Metode yang digunakan dalam pembelajaran menulis cerita fiksi kurang bervariasi.


(20)

6

9. Dalam pembelajaran menulis cerita fiksi belum menggunakan metode eksplorasi membaca secara maksimal.

C.Pembatasan masalah

Berdasarkan identifikasi permasalahan di atas, ada beberapa permasalahan yang dapat dikaji, peneliti membatasi permasalahan pada: “Meningkatkan proses pembelajaran menulis, dan meningkatkan keterampilan siswa dalam menulis cerita fiksi melalui metode eksplorasi membaca siswa kelas IVB di SD Negeri Gedongkiwo Yogyakarta”.

D.Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah meningkatkan proses pembelajaran menulis cerita fiksi siswa kelas IV B di SD Negeri Gedongkiwo Yogyakarta ?

2. Bagaimanakah meningkatkan keterampilan menulis cerita fiksi dengan menggunakan metode eksplorasi membaca siswa kelas IV B di SD Negeri Gedongkiwo Yogyakarta ?

E.Tujuan penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan yang ingin dicapai melalui kegiatan penelitian ini adalah :

1. untuk meningkatkan proses pembelajaran menulis cerita fiksi siswa kelas IV B di SD Negeri Gedongkiwo Yogyakarta, dan

2. untuk meningkatkan keterampilan menulis cerita fiksi melalui metode eksplorasi membaca siswa kelas IV B di SD Negeri Gedongkiwo Yogyakarta.


(21)

7

F. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut. 1. Bagi Siswa

Pembelajaran eksplorasi membaca ini diharapkan dapat membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan menulis cerita, sehingga keterampilan siswa dalam menulis cerita dapat mengalami peningkatan dan dapat menambah pengalaman siswa dalam dunia penulisan.

2. Bagi Guru

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada guru untuk lebih bervariasi dalam proses pembelajaran, mengembangkan pengetahuan, dan keterampilan untuk meningkatkan proses pembelajaran yang lebih baik lagi. 3. Bagi Kepala Sekolah

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan penggunaan metode eksplorasi membaca dalam meningkatkan keterampilan siswa dalam menulis cerita fiksi.


(22)

8

BAB II KAJIAN TEORI A.Deskripsi Teori

1. Menulis Cerita Fiksi

a. Pengertian Menulis Cerita Fiksi

Menurut Tarigan (Haryadi dan Zamzami, 1997: 77), menulis adalah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafis yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang sehingga orang lain dapat membaca lambang-lambang grafis tersebut, kalau mereka memahami bahasa dan lambang grafis tersebut. Menurut Read (Ahmad Rofi’uddin dan Darmiyati Zuchdi, 1999 : 278), fokus dalam kegiatan menulis bukan untuk menghasilkan ide, tetapi mengekspresikan bahan yang telah disediakan dengan cara yang tepat.

Menurut Ashadi (Vero Sudiati dan A. Widyamartaya, 1995: 3), cerita adalah ekspresi yang menggunakan kata-kata atas suatu kejadian yang dialami oleh manusia atau makhluk lain yang diperinsankan. Kejadian itu berlangsung pada saat seseorang berinteraksi dengan manusia lain dan alam sekitarnya. Interaksi itu akan mengambil bentuk berupa pikiran, perasaan, dan perbuatan seseorang.

Istilah fiksi dalam bahasa Indonesia merupakan serapan dari bahasa Inggris “fiction” yang berarti cabang seni sastra yang berupa cerita-cerita imajinasi, berbentuk prosa. Termasuk didalamnya adalah cerpen, novel, dan cerita yang diciptakan. Kata “fiction” sebenarnya diserap dari bahasa Latin “fingere” yang berarti membuat, membentuk. Sehingga dapat disimpulkan


(23)

9

bahwa, fiksi adalah cerita rekaan yang bersifat imajinatif (Ahmad Rofi’uddin dan Darmayati Zuchdi, 1999: 140).

Menurut Burhan Nurgiyantoro (2013: 218), cerita fiksi merupakan cerita tentang hidup dan kehidupan, manusia dan kemanusiaan, yang kesemuanya itu dituliskan secara prosais. Cerita fiksi menampilkan dunia dalam kata, dunia yang dibangun dan diabstraksi lewat kata-kata. Dalam cerita fiksi tergambar peristiwa kehidupan lewat karakter tokoh dalam menjalani kehidupan sebagaimana diungkapkan lewat alur cerita.

Selain itu, cerita fiksi juga dapat dipahami sebagai metafora kehidupan (metaphor for living) sebagai kiasan kehidupan. Artinya, model-model kehidupan lengkap dengan tokoh-tokohnya yang dikisahkan lewat cerita fiksi tersebut merupakan kiasan, simbolisasi, perbandingan, atau perumpamaan dari kehidupan yang ada. Dalam hal ini cerita fiksi dapat dipandang sebagai salah satu interpretasi terhadap kehidupan. Berbagai tokoh dan peristiwa yang dikisahkan dalam cerita itu secara logis memiliki potensi untuk dapat terjadi pada kehidupan masyarakat walau secara faktual-konkret tidak pernah ada dan terjadi.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa menulis cerita fiksi adalah kegiatan mengungkapkan gagasan dalam bentuk bahasa tulis yang mendayagunakan imajinasi penulis untuk dipahami atau dinikmati oleh pembaca. Dalam menulis cerita fiksi berorientasi kepada pemberian dunia alternatif, menyajikan berbagai kemungkinan penafsiran tentang kehidupan, menceritakan sesuatu bukan sebagaimana yang sungguh terjadi di atas bumi ini,


(24)

10

tetapi sebagaimana dibayangkan atau dikhayalkan terjadi (Vero Sudiati dan A. Widyamartaya, 1995: 35).

b. Jenis Cerita Fiksi

Beberapa jenis cerita fiksi yang dapat dikenalkan pada anak Sekolah Dasar sebagai berikut (Zulela, 2013: 44-48).

1) Novel dan Cerpen

Ada persamaan dan perbedaan dari novel dan cerpen. Persamaannya adalah sama-sama dibangun oleh unsur intrinsik yang sama (penokohan, alur, latar, tema, moral, sudut pandang, dll). Perbedaan novel dan cerpen terletak pada pengembangan ceritanya.

Novel berbicara mendetail dan panjang lebar, karenanya dapat menampilkan banyak tokoh. Cerpan tokohnya terbatas yang difokuskan pada kesan tunggal.

2) Fiksi Realistik

Fiksi realistik adalah cerita yang berkisah tentag isu-isu pengalaman kehidupan anak secara nyata. Cerita fiksi realistik menampilkan model kehidupan sehari-hari seorang anak. Berbagai hal dan peristiwa dalam fiksi ini secara konkret ada dan dapat terjadi. Dalam cerita realistik ini berusaha menampilkan pemahaman kehidupan anak-anak secara penuh dan komprehensif, kehidupan yang penuh problematika yang dapat dijadikan pembelajaran bagi anak. Fiksi realistik ada yang berupa cerita petualangan dan cerita keluarga.


(25)

11 3) Fiksi Fantasi

Cerita fantasi adalah cerita yang dikembangkan dengan menghadirkan sebuah dunia lain di samping dunia realitas. Cerita fantasi adalah cerita yang menampikan tokoh, alur, karakter, dan lainnya, yang kebenarannya diragukan, baik seluruh cerita maupun hanya sebagian cerita.

Cerita fantasi menampilkan cerita yang derajat kebenarannya diragukan. Kebenaran disini yang dikaitkan dengan logika realitas sebagaimana halnya yang terjadi dalam kehidupan nyata.

4) Fiksi Historis

Fiksi historis merupakan sebuah cerita yang mengungkapkan tentang peristiwa-peristiwa yang luar biasa atau gambaran yang bersifat historis atau gambaran tentang kehidupan masa lalu. Dalam fiksi historis menggunakan tokoh dan peristiwa yang dikenal dalam sejarah yang disajikan dalam fakta sejarah dan diramu dengan imajinasi.

Hal yang mirip dengan fiksi historis adalah fiksi biografi, sama-sama berangkat dari fakta. Fiksi jenis ini sangat baik untuk diterapkan dalam penulisan peristiwa yang berhubungan dengan sejarah bangsa.

5) Komik Sastra Anak

Komik adalah cerita yang bertekan pada gerak dan tindakan yang ditampilkan lewat urutan gambar yang dibuat secara khas dengan panduan kata-kata. Seluruh teks dalam komik disusun sesuai hubungan gambar dan kata-kata-kata. Kata-kata berfungsi untuk menjelaskannya, melengkapi, memperdalam penyampaian gambar dan teks secara keseluruhan.


(26)

12

Berdasarkan beberapa jenis cerita fiksi di atas, dalam penelitian ini difokuskan pada cerita pendek. Cerita pendek yang dibangun dari unsur intrinsik namun tidak panjang lebar sangat sesuai dengan metode yang digunakan dalam penelitian ini.

c. Unsur-unsur Cerita Fiksi

Unsur-unsur dapat diartikan sebagai sebuah kesatuan yang tidak memiliki makna bila berdiri sendiri. Menurut Burhan Nurgiantoro (2001: 305), unsur-unsur yang membangun sebuah cerita sebagai berikut.

1) Organisasi isi

Dalam sebuah cerita, tema dengan isi sangat berkaitan dan harus adanya korelasional dan signifikan antara keduanya. Suatu yang baik harus sesuai dengan tema yang diajukan. Sedangkan dalam mengembangkan cerita, penulis harus dengan kreatif tanpa keluar dari tema.

2) Bahasa

Struktur kalimat/ bahasa harus dipahami oleh seorang penulis untuk menulis suatu cerita, karena dengan menggunakan struktur kalimat yang baik dan sesuai dengan bahasa yang dipelajari akan menghasilkan cerita yang baik pula.

3) Pola kalimat/ gaya (pilihan struktur kosa kata)

Kosakata yang dimiliki oleh penulis harus banyak dan variatif, sehingga dalam menghasilkan sebuah mempunyai kosakata yang beraneka ragam.


(27)

13 4) Ejaan dan tanda baca

Aspek ini sangat penting dalam menulis, terutama menulis cerita. Hal-hal kecil seperti kesalahan ejaan atau salah penempatan tanda baca dapat mempengaruhi struktur, kosakata/ diksi, dan sebagainya dapat mengaburkan pesan yang hendak disampaikan.

Menurut Sabarti Akhadiah, dkk. (1996: 118), unsur-unsur dalam menulis sebagai berikut.

1) Isi

Isi merupakan gagasan yang mendasar dari seluruh . Gagasan yang baik antara lain didukung oleh beberapa hal, antara lain:

a) Pengoperasian gagasan yaitu perpaduan hubungan antara paragraf, b) Kesesuaian isi dengan tujuan penulisan,

c) Kemampuan mengembangkan sebuah topik. Pengembangan topik yang baik adalah pengembangan secara tulus, rinci, dan tunggal.

2) Aspek kebahasaan

Unsur-unsur kebahasaan yang dapat dijadikan petunjuk penyajian bahasa yang baik dalam kegiatan menulis sebagai berikut.

a) Kalimat, dalam sebuah harus efektif agar informasi yang disampaikan dapat lebih jelas dan tidak menimbulkan penafsiran ganda bagi pembaca.

b) Ejaan, dalam penulisan yang dipakai berpedomn pada pedoman umum ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan.


(28)

14

d) Paragraf, yang ditulis sangat memperlihatkan rangkaian peristiwa dan mampu menggiring pembaca untuk membaca paragraf berikutnya.

3) Teknik penulisan

Teknik penulisan yang baik dapat dilihat dari kerapihan , keterkaitan isi dengan judul, kesan umum yang menarik bagi pembaca, serta yang kohesif.

Menurut Vero Sudiati dan A. Widyamartaya (1995: 34), serta The Liang Gie (Nurudin, 2007: 5), kegiatan menulis cerita fiksi mencakup unsur-unsur sebagai berikut.

1) Gagasan yang Kaya dan Dinamis

Gagasan merupakan unsur pertama kegiatan mengarang. Mengarang bertujuan menyampaikan suatu gagasan. Gagasan dapat berupa pendapat, pengalaman, atau pengetahuan yang ada dalam pikiran seseorang.

Gagasan dapat diperoleh dengan mendayagunakan pancaindra (melihat, mendengar, mencium, mengecap, dan meraba) dengan sebaik-baiknya. Daya observasi, disertai memori dan asosiasi yang kuat, simpati dan empati yang dalam, akan memperkaya dan mendinamiskan gagasan. Bekal seorang penulis cerita fiksi adalah gagasan yang kaya oleh pengetahuan dan penghayatan nilai-nilai dan dinamis oleh kemampuannya menghubungkan dan menyusun menjadi pola.

2) Penuturan Objektif dan Subjektif

Yang dimaksud penuturan di sini adalah pengungkapan gagasan sehingga dapat dipahami oleh pembaca. Ada bermacam-macam bentuk penuturan: pemaparan, perbncangan, pelukisan, penceritaan. Pada menulis cerita fiksi,


(29)

15

bentuk penceritaan adalah bentuk penuturan yang pokok, namun terkadang didukung oleh bentuk lainnya.

Penceritaan pun dapat bermacam-macam bentuknya. Dua bentuk penceritaan yang yang pokok ialah menceritakan pengalaman objektif dan menceritakan pengalaman subjektif. Cerita yang berisi pengalaman objektif adalah cerita yang mengisahkan peristiwa khayalan yang bertujuan untuk menghibur, membuat pembaca meneteskan air mata, meloncat gembira, dan sebagainya. Cerita yang berisi pengalaman subjektif adalah cerita yang mengisahkan secara khayal bagaimana orang menghayati kehidupan ini dalam batinnya. Pengarang seperti berbagi kisah dalam dunia batinnya. Pembaca diajak berpartisipasi untuk mempertimbangkan dan merenungkan berbagai kemungkinan yang ada dalam kehidupan ini.

3) Tatanan Cerita Fiksi

Tatanan yang dimaksud disini adalah tertib pengaturan dan penyusunan gagasan dengan mengindahkan berbagai asas, aturan, dan teknik sampai merencanakan rangka dan langkah. Ini berarti menulis cerita fiksi tidak sekedar menulis, tetapi menulis dengan disertai sebuah “aturan” menulis.

4) Bahasa atau Wahana Cerita Fiksi

Wahana juga sering disebut dengan alat. Wahana dalam menulis berarti sarana pengantar gagasan berupa bahan tulis yang terutama menyangkut kosa kata, gramatika, dan retorika (seni memakai bahasa). Mengarang harus berpikir/ berperasaan dan berbahasa jelas, hidup, dan kuat.


(30)

16

Bahasa dalam cerita fiksi harus dapat menyentuh nuansa makna atau harus mempunyai daya imajinatif.pembaca tidak sekedar memahami sesuatu yang jelas, melainkan lebih-lebih untuk melihat, mendengar, mencium, mengecap, meraba secara hidup dan mendapat kesan yang kuat.

Berdasarkan beberapa pendapat tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur cerita terdiri dari: organisasi isi , organisasi , struktur kalimat, diksi, dan ejaan yang benar (EYD). Sedangkan, unsur organisasi isi yang merupakan keterkaitan pengembangan cerita terhadap tema dapat dilihat dari beberapa unsur-unsur cerita fiksi itu sendiri.

Menurut Burhan Nurgiyantoro (2013: 221), unsur cerita fiksi dibedakan ke dalam unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur cerita fiksi yang secara langsung berada di dalam, menjadi bagian, dan ikut membentuk eksistensi cerita yang bersangkutan. Unsur intrinsik cerita fiksi antara lain tokoh, alur, dan berbagai peristiwa yang membentuknya (latar), sudut pandang, dan lain-lain. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar fiksi yang bersangkutan, tetapi mempunyai pengaruh terhadap bangun cerita yang dikisahkan, langsung atau tidak langsung. Hal-hal yang dapat dikategorikan ke dalam bagian ini misalnya adalah jatidiri pengarang yang mempunyai ideologi, pandangan hidup, dan jalan pemikiran hidup di bangsanya, kondisi kehidupan sosial-budaya masyarakat yang dijadikan latar cerita, dan lain-lain.

Menurut Suminto A. Sayuti (Chairul Anwar, 2001: 105), elemen atau unsur-unsur yang membangun sebuah fiksi terdiri atas tema, fakta cerita, dan sarana cerita . Fakta cerita terdiri atas: tokoh, plot atau alur, dan setting atau


(31)

17

latar. Sarana cerita meliputi hal-hal yang dimanfaatkan oleh pengarang dalam memilih dan menata detail-detail cerita, sehingga tercipta pola yang bermakna, seperti unsur judul, sudut pandang, dan lain-lain.

1) Tema

Tema adalah pikiran utama yang merupakan dasar yang membangun suatu cerita. Tema suatu cerita dapat dinyatakan secara eksplisit maupun implisit. Secara eksplisit, misalnya dapat dinyatakan dalam judul cerita, dalam paparan langsung dari pengarangnya. Sedangkan tema yang dinyatakan secara implisit atau tersirat, misalnya dinyatakan dalam dialog antara tokoh-tokoh cerita, atau dinyatakan dalam keseluruhan peristiwa dalam cerita (dapat diketahui setelah seuruh cerita selesai dibaca).

2) Tokoh

Tokoh adalah yang melahirkan peristiwa. Ditinjau dari segi keterlibatannya dalam keseluruhan cerita, tokoh fiksi dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh sentral (utama) dan tokoh periferal (tambahan/ bawaan). Tokoh utama dapat ditentukan dengan tiga cara. Pertama, tokoh yang paling terlibat dengan makna atau tema. Kedua, tokoh yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain. Ketiga, tokoh yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan.

Selain itu, cara membedakan tokoh dapat pula dibedakan atas watak atau karakternya. Pembedaan ini berdasarkan segi-segi yang mengacu pada perbaruan antara minat, keinginan, emosi, dan moral yang membentuk individu tokoh. Dari itu, kemudian dikenal adanya tokoh sederhana dan tokoh kompleks. Tokoh


(32)

18

sederhana adalah tokoh yang kurang mewakili personalitas manusia yang utuh dan hanya ditonjolkan satu sisinya saja. Tokoh ini sudah familier atau yang stereotip dalam fiksi. Ciri tokoh stereotip adalah watak tokoh yang dirumuskan dalam suatu pernyataan yang sederhana, misalnya “gadis pekerja yang miskin tetapi jujur”.

Adapun tokoh kompleks dapat dilihat semua sisi kehidupannya. Tokoh ini memiliki sifat lifelike karena tokoh ini tidak hanya menunjukkan gabungan sifat-sifat dan obsesi yang tunggal. Para tokoh tersebut merupakan rekaan pengarang. Oleh karena itu, hanya pengaranglah yang mengenali si tokoh tersebut.

3) Alur

Alur adalah rangkaian peristiwa yang tersusun dalam hubungan sebab akibat. Menurut Mochtar Lubis, alur terdiri dari situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan), generation circumstances (peristiwa yang bersangkutan mulai bergerak), rising action (keadaan mulai memuncak), climax (peristiwa-peristiwa mencapai puncaknya), dan denouement (pengarang memberikan pemecahan sosial dari semua peristiwa).

Berdasarkan teknisnya, alur disusun dengan jalan progresif (alur maju) yaitu dari awal, tengah, dan akhir terjadi peristiwa atau dapat pula dengan jalan regresif (alur mundur) yaitu bertolak dari akhri cerita menuju tahap tengah atau puncak dan berakhir pada tahap awal. Jalan progresif ini dapat bersifat linier, sedangkan teknik regresif bersifat nonlinier.

Selain itu, ada juga alur yang disebut sorot balik (flashback) dan teknik balik (backtracking). Dalam teknik sorot balik, pengaluran jelas berubah yakni


(33)

19

dari progresif ke regresif, sedangkan dalam teknik tarik balik pengaturan tetap progresif, hanya saja pada beberapa tahap tertentu peristiwanya ditarik ke belakang (mengenang peristiwa yang lalu).

4) Latar

Latar ialah waktu, tempat, atau lingkungan terjadinya peristiwa. Ada empat unsur yang membentuk latar fiksi, yaitu :

a) Lokasi geografis yang sesungguhnya, termasuk di dalamnya topografi, scenery (pemandangan) tertentu, dan juga detil-detil interior sebuah kamar/ ruangan.

b) Pekerjaan dan cara-cara hidup tokoh sehari-hari.

c) Waktu terjadinya peristiwa (tindakan), termasuk di dalamnya periode historis, musim, tahun, dan sebagainya.

d) Lingkungan religius, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh-tokohnya.

Latar tidak hanya sebagai background saja, tetapi juga dimaksudkan untuk mendukung unsur cerita lainnya, membangun atau menciptakan suasana tertentu yang dapat menggerakan perasaan dan emosi pembaca, serta menciptakan suasana batin pembaca.

5) Sudut Pandang

Sudut pandang atau point of view adalah cara pengarang memandang siapa yang bercerita di dalam cerita itu atau sudut pandang yang diambil pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita. Sudut pandang ini berfungsi melebur atau menggabungkan tema dengan fakta cerita.


(34)

20

Ada empat macam sudut pandang yang dapat dipilih oleh pengarang, sebagai berikut.

a) Sudut pandang first-person-central atau akuan-sertaan, pengarang secara langsung terlibat dalam cerita.

b) Sudut pandang first-person-peripherial atau akuan-taksertaan, tokoh “aku” hanya menjadi pembantu atau pengantar tokoh lain yang lebih penting. Biasanya hanya muncul di awal atau di akhir cerita saja.

c) Sudut pandang third person-omniscient atau diaan-mahatahu, pengarang berada di luar cerita, biasanya pengarang hanya menjadi pengamat yang mahatahu dan mampu berdialog langsung dengan pembaca.

d) Sudut pandang third-person-limited atau diaan-terbatas, pengarang mempergunakan orang ketiga sebagai pencerita yang terbatas hak berceritanya. Pengarang hanya menceritakan apa yang dialami oleh tokoh yang dijadikan tumpuan cerita.

Menurut Suparno dan Yunus (Dalman, 2012: 108), cerita fiksi memiliki unsur-unsur sebagai berikut.

1) Alur (plot), merupakan rangkaian pola tindak-tanduk yang berusaha memecahkan konflik yang terdapat dalam cerita.

2) Penokohan, pengisahan tokoh dalam cerita yang berada dalam rangkaian peristiwa dan kejadian.

3) Latar, adalah tempat dan/ atau waktu terjadinya perbuatan tokoh atau peristiwa yang dialami tokoh.


(35)

21

4) Titik pandang atau sudut pandang, membantu menjawab pertanyaan siapa yang menceritakan cerita.

Selain unsur tersebut, Supadi dan D. Hastuti (2014: 156) serta Jakob Sumardjo (Andri Wicaksono, 2014:97) menambahkan amanat dalam unsur intrinsik cerita fiksi. Dalam penelitian ini difokuskan kepada unsur-unsur cerita fiksi sebagai berikut.

Amanat merupakan pesan atau ajaran moral yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Amanat dapat disampaikan secara tersirat (implisit) yaitu dengan memberikan ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir, maupun tersurat (eksplisit) yaitu dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, larangan, yang berhubungan dengan gagasan utama (tema) cerita.

Dari berbagai pendapat di atas, dapat diketahui bahwa organisasi isi merupakan keterkaitan unsur-unsur cerita fiksi yang meliputi : tema, tokoh, latar, alur, sudut pandang, dan amanat. Sehingga dalam penelitian ini unsur cerita fiksi difokuskan kepada: organisasi isi (tema, tokoh, latar, alur, sudut pandang, dan amanat), organisasi , struktur kalimat, diksi, dan ejaan yang benar (EYD).

d. Tujuan Menulis Cerita Fiksi

Tujuan adanya pembelajaran menulis di Sekolah Dasar adalah agar siswa memahami cara menulis berbagai hal yang telah dikemukakan, serta mampu mengkomunikasikan ide/pesan melalui tulisan (Supriyadi, dkk. 1992 : 230). Tujuan menulis yang juga perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.


(36)

22

2) Tujuan informatif, yaitu memberikan informasi kepada pembaca

3) Tujuan persuasif, yakni mendorong atau menarik perhatian pembaca agar mau menerima informasi yang disampaikan oleh penulis.

Menurut Peck dan Schulz (Tarigan, 1986: 9) program-program dalam bahasa tulis direncanakan untuk mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut.

1) Membantu para siswa memahami bagaimana caranya ekspresi tulis dapat melayani mereka, dengan jalan menciptakan situasi-situasi di dalam kelas yang jelas memerlukan karya tulis dan kegiatan menulis.

2) Mendorong para siswa mengekspresikan diri mereka secara bebas dalam tulisan.

3) Mengajar para siswa menggunakan bentuk yang tepat dan serasi dalam ekspresi tulis.

4) Mengembangkan pertumbuhan bertahap dalam menulis dengan cara membantu siswa menulis sejumlah maksud dengan sejumlah cara dengan penuh keyakinan pada diri sendiri secara bebas.

Dalam penelitian ini, tujuan kegiatan menulis cerita fiksi adalah untuk membantu siswa agar lebih percaya diri, memiliki keterampilan menulis cerita fiksi yang lebih baik, dan menumbuhkan minat siswa dalam menulis cerita fiksi.

e. Manfaat Menulis Cerita Fiksi

Manfaat menulis menurut Sabarti Akhadiah (Sukino, 2010: 8) sebagai berikut.

1) Mengenali kemampuan dan potensi diri yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang ditulis.


(37)

23

2) Mengembangkan berbagai gagasan atau pemikiran yang akan dikemukakan. 3) Memperluas wawasan kemampuan berpikir, baik dalam bentuk teoritis,

maupun dalam bentuk berpikir terapan melaui menyerap, mencari, dan menguasai informasi.

4) Mengorganisasikan gagasan sistematis serta mengungkapkan secara tersurat. 5) Meninjau serta menilai gagasan secara objektif.

6) Memecahkan masalah secara konkret malalui tulisan. 7) Mendorong untuk belajar dan membaca secara aktif.

8) Membiasakan diri untuk berpikir dan berbahasa secara tertib.

Dalam bukunya “Rahasia Sebuah Cerita”, Veronca (2015 : 7) mengemukakan bahwa ada 4 manfaat dari menulis cerita bagi anak, sebagai berikut.

1) Menuangkan ide. Dengan menulis, siswa dapat menuangkan ide atau imajinasinya ke dalam tulisan.

2) Membiasakan berpikir. Apabila sering menulis, otak terbiasa untuk berpikir sehingga mudah untuk menerima pengetahuan baru.

3) Membantu tugas sekolah. Kebiasaan menulis membuat siswa lebih mudah dalam mengerjakan tugas untuk membuat di sekolah karena sudah terbiasa. 4) Penyegar pikiran. Menulis juga bisa menjadi penyegar pikiran (refreshing)

dari penatnya kegiatan dan pelajaran di sekolah.

Manfaat menulis cerita fiksi pada penelitian ini adalah melatih siswa untuk berpikir sistematis dan meningkatkan minat siswa dalam membaca untuk menambah pengetahuan atau informasi sebagai bahan menulis.


(38)

24

f. Langkah-langkah Menulis Cerita Fiksi

Menurut Sabarti Akhadiah (1993: 105), langkah-langkah menulis cerita sebagai berikut.

1) Pemilihan sumber topik. Topik merupakan masalah yang akan dibicarakan dalam .

2) Membuat judul yang menjadi nama atau label untuk sebuah .

3) Menentukan tujuan penulisan, sehingga dapat disesuaikan dengan bahan yang dibutuhkan.

4) Menentukan bahan penulisan yang merupakan informasi yang digunakan untuk mencapai tujuan penulisan.

5) Membuat kerangka yang merupakan rencana kerja untuk menyusun yang baik.

Menurut Dalman (2012: 86), langkah-langkah dalam menulis adalah sebagai berikut.

1) Menentukan tema, topik, dan judul. Tema adalah pokok persoalan, permasalahan, atau pokok pembicaraan yang mendasari suatu , sedangkan topik adalah pokok persoalan atau hal yang dikembangkan atau dibahas dalam . Selanjutnya, judul adalah kepala atau nama sebuah . Dengan kata lain, tema masih bersifat umum, sedangkan topik bersifat khusus.

2) Mengumpulkan bahan yang akan dijadikan bekal atau modal dalam menulis . 3) Menyeleksi bahan yang sesuai dengan tema pembahasan. Dalam menyeleksi


(39)

25

literatur atau sumber yang mendukung, dan banyak berdiskusi atau mengikuti kegiatan ilmiah.

4) Membuat kerangka dengan menguraikan topik atau masalah menjadi beberapa masalah yang lebih fokus dan terukur. Tahan dalam meyusun kerangka adalah sebagai berikut.

a) Mencatat gagasan;

b) Mengatur urutan gagasan;

c) Memeriksa kembali yang telah diatur dalam bab dan subbab; d) Membuat kerangka .

5) Mengembangkan kerangka dengan materi yang telah dikuasai atau telah diperoleh.

Menurut Zulela (2013 : 74) dalam kegiatan menulis cerita fiksi, ada langkah-langkah yang harus dilakukan oleh siswa.

1) Menentukan tema (pesan yang menjiwai seluruh isi cerita). 2) Menentukan tokoh cerita.

3) Menulis draf plot/ alur cerita; kapan cerita itu berawal, klimaks, dan akan berakhir bagaimana cerita itu, disesuaikan dengan tema yang telah ditentukan. 4) Memilih/ menggunakan gaya bahasa yang tepat.

5) Mengembangkan cerita, mendeskripsikan cerita dengan bahasa yang hidup, sesuai dengan isi cerita dan jenis cerita yang ditulis.


(40)

26

Dari beberapa pendapat di atas, dapat diketahui bahwa langkah-langkah dalam menulis cerita fiksi meliputi: menentukan tema, membuat kerangka, menyusun , dan meminta masukan dari pembaca.

2. Metode Eksplorasi Membaca

a. Pengertian Eksplorasi Membaca

Menurut Heru Kurniawan (2014: 90), metode eksplorasi membaca atau pengembangan membaca adalah pembelajaran menulis cerita fiksi dari hasil pembacaan cerita fiksi sebelumnya. Metode ini didasarkan pada ciri khas siswa yang suka meniru. Sikap suka meniru siswa ini dikreasikan dalam pembelajaran. Sehingga, siswa memahami dan mengerti cerita anak melalui kegiatan membaca yang komprehensif.

Menurut Mardzuki (Andrias Harefa, 2002: 31) yang diadopsi dari pendapat KH. Dewantara, metode ini dikenal dengan 3N (Niteni, Nirokke, Nambahi). Tiga kata dalam bahasa Jawa ini kurang lebih berarti: mengamati, meniru, dan menambahkan. Dalam mengarang, menjadi pengamat saja tidak cukup. Salah satu yang perlu membaca berbagai cerita fiksi. Apabila terkesan dengan salah satu gaya penulis cerita fiksi yang dibaca, coba untuk menirukannya. Meniru disini bukan menjiplak, tetapi meniru logika dan sistem berpikirnya. Dengan menambahkan keunikan sendiri.

Proses memperkenalkan cerita fiksi dapat dilakukan melalui pembelajaran menulis kreatif dengan mengeksplorasi salah satu cerita fiksi. Di sinilah siswa akan memahami (niteni) dan memperoleh pengetahuan tentang cerita fiksi secara konkret (nirokke), sekaligus mencoba mengembangkan cerita fiksi (nambahi)


(41)

27

yang menjadi bahan pembelajaran untuk ditulis ulang dengan meniru permasalahan yang ada dan unsur-unsur pembangun cerita.

Menurut Yunus Abidin (2012: 203), metode eksplorasi membaca disebut dengan metode scaffolded writing. Metode scaffolded writing adalah metode pembelajaran menulis yang seluruh perencanaan nya ditentukan oleh guru. Dalam pelaksanaannya, guru menjelaskan cara pengarang menulis sebuah tulisan yang digunakan sebagai contoh. Dalam metode ini perencanaan menulis dijelaskan guru sehingga tulisan yang dihasilkan lebih bersifat rekontruksi. Siswa hanya akan meniru apa yang dilakukan penulis cerita yang dijadikan sebagai contoh.

Minat para siswa untuk menceritakan kembali suatu cerita yang telah mereka nikmati dapat diarahkan menjadi motivasi untuk mendorong mereka berlatih menulis dengan menuliskan apa yang telah mereka cerna. Sebelum mengawali aktivitas menceritakan kembali, guru dapat mengawalinya dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan penting terkait dengan cerita. Agar tidak menjemukan, guru hendaknya berusaha untuk menghidupkan cerita, misalnya mengungkapkan perasaan yang dialami si tokoh, menceritakan hubungan antar tokoh, atau mengungkapkan jiwa serta suasana yang meliputi cerita. Dengan demikian berarti siswa tidak hanya menghafal isi cerita, tetapi mengungkapkan ulang apa yang mereka serap serta mengetahui tingkat pemahaman siswa.

b. Kelebihan Eksplorasi Membaca

Pembelajaran eksplorasi membaca ini didasarkan pada ciri khas anak yang suka meniru. Sikap meniru siswa ini dikreasikan oleh guru dalam pembelajaran


(42)

28

sehingga siswa memahami dan mengerti cerita fiksi melalui kegiatan membaca yang komprehensif. Dari kegiatan membaca ini siswa kemudian diarahkan untuk melakukan interpretasi atas aspek-aspek yang membangun cerita, dan hasil interpretasinya digunakan untuk membuat cerita fiksi yang baru, yaitu cerita fiksi yang dijadikan bahan pembelajaran, tetapi siswa telah mengkreasikannya dengan gagasan-pengalaman siswa sendiri.

Tujuan utama dalam metode ini adalah agar siswa mengetahui bagaimana sebuah karanagan cerita fiksi dibuat berdasarkan pengimajinasian, pemikiran, dan pengemasan yang dilakukan oleh pengarang. Selain itu, melalui eksplorari membaca siswa akan menghasilkan pemahaman terhadap tema, struktur, dan pola penceritaan, siswa kemudian mengembangkannya menjadi cerita fiksi yang baru.

c. Tahapan Eksplorasi Membaca

Menurut Heru Kurniawan dalam bukunya “Pembelajaran Menulis Kreatif” (2014: 90-99), tahapan pembelajaran eksplorasi membaca sebagai berikut. 1) Persiapan

Persiapan penting dalam pembelajaran eksplorasi membaca yaitu “cerita fiksi” yang akan dijadikan media pembelajaran dan sumber ide penulisan. Guru harus memilih cerita fiksi dengan mempertimbangkan aspek : 1) kesesuaian isi dengan tema dan materi yang akan dibelajarkan pada siswa; 2) cerita fiksi harus sesuai dengan tingkatan berpikir, kelas, dan pengalaman siswa; 3) memilih tema, struktur, dan pola penceritaan yang mudah untuk dikembangkan menjadi cerita fiksi baru.


(43)

29

Jika cerita fiksi sudah siap, guru menyiapkan lembar kreativitas yang akan digunakan siswa untuk mengidentifikasi tema, struktur, dan pola cerita.

2) Presentasi

Pembelajaran awal dimulai dengan penjelasan guru mengenai cerita fiksi yang akan ditulis siswa. Jika siswa sudah memahami tentang cerita fiksi, pengetahuan siswa dieksplorasi dengan mengidentifikasi pengalaman siswa dalam bercerita melalui berbagai pertanyaan.

Pertanyaan-pertanyaan itu digunakan sebagai umpan untuk mengeksplorasi dan merefleksikan pengetahuan dan pengalaman siswa terhadap cerita fiksi. Hal ini penting agar nanti siswa dapat lebih cepat memahami cerita fiksi yang akan dibaca dan dieksplorasi menjadi bahan penulisan.

Jika guru sudah menganggap cukup kegiatan eksplorasi pengetahuan dan pengalaman cerita fiksi siswa, guru segera bercerita dengan menarik dan mengesankan, dengan melibatkan olah suara, olah gerak, dan olah wajah, dalam bercerita. Ketika siswa terkesan dengan cerita tersebut, siswa merasa menulis cerita itu sederhana. Usai bercerita, guru membagikan lembar cerita dan lembar kreativitas pada siswa.

3) Practice

Praktik menulis didahului dengan penjelasan guru terhadap tugas dan aktivitas siswa yang harus dilakukan, di sini guru juga menjelaskan tentang lembar kreativitas yang harus diisi dan dikembangkan menjadi cerita. Jika siswa sudah jelas, aktivitas mengisi lembar kreativitas segera dilakukan.


(44)

30 Tabel 1. Contoh Lembar Kreativitas

Tema Struktur Pola Cerita Pesan

Bersyukur Tokoh : Debu, orang-orang, ibu guru, dan siswa Latar : Di jalanan, halaman rumah, langit-udara, dan kelas.

Sudut Pandang : Aku, orang pertama Suasana: Sedih Perkenalan Isi :

Pola 1 :

Debu

menempel do lantai : Disapu

Pola 2 :

Menempel di kaca : Dilap

Pola 3 :

Mengenai pengendara motor : Disalahkan Akhir :

Pola 4 :

Menempel di Dinding Kelas : Buat Tayamum Bersyukur mempunyai manfaat. Kita hidup harus bisa memberikan manfaat pada orang lain.

Dari tabel di atas, siswa membuat cerita yang bertema sama, namun tokoh bisa diubah menjadi hewan, benda, atau manusia; latar, sudut pandang juga bisa diubah; namun harus tetap bersuasana sedih, berpola perilaku yang sama, dan akhir adalah penyelesaian pola yang mengandung nilai moral syukur. Cerita juga mengandung pesan yang sama tentang pentingnya kemanfaatan bagi orang atau makhluk lain sebagai bagian ciptaan Tuhan.

Dalam proses menulis, siswa perlu didampingi dan dibimbing oleh guru. Hal ini untuk membantu siswa menemukan ide atau gagasan dalam menulis


(45)

31

cerita fiksinya. Jika siswa belum selesai menyelesaikan cerita fiksinya, siswa diminta untuk melanjutkannya pertemuan berikutnya.

4) Performence

Setelah siswa selesai menulis cerita, cerita harus diapresiasi melalui performence, yaitu pembacaan yang dilakukan oleh siswa atau guru atas beberapa cerita fiksi. Selanjutnya, guru memberikan penilaian dan kritik yang membangun, yang membuat siswa ingin menulis lebih baik lagi.

Sedangkan menurut Yunus Abidin (2012: 203), metode eksplorasi membaca yang dikenal dengan metode Scaffolded Writing memiliki tahapan sebagai berikut.

1) Tahap Pramenulis

a) Menjelaskan Perencanaan

Pada tahap ini, guru menjelaskan perencaanaan yang harus dibuat. Aktivitas yang dilakukan dalam tahap ini adalah menganalisis model teks yang diberikan guru, menentukan bagian yang akan diganti, dan menentukan pola-pola pengembangan . Sebagai alternatif pelaksanaan perencanaan yang dibuat bisa saja siswa harus mengganti tokoh, setting, ataupun alur cerita dari model yang diterimanya.

2) Tahap Menulis a) Merekontruksi tulisan

Pada tahap ini, siswa mulai menulis sebuah tulisan yang mirip dengan model yang dianalisis. Hal yang direkontruksi harus sesuai dengan perencanaan yang telah ditentukan.


(46)

32 b) Berbagi hasil kontruksi

Pada tahap ini siswa membacakan hasil kerja rekontruksinya pada siswa lain atau guru dan ditanggapi oleh siswa lain atau guru.

c) Merekontruksi berdua/kelompok

Pada tahap ini, siswa yang memiliki kesamaan rekontruksi saling bekerja sama untuk menentukan bagian mana dari yang mereka buat yang harus disempurnakan atau dikembangkan. Hasil kegiatan ini hanya penentuan bagian yang harus diubah.

d) Rekontruksi ulang

Pada tahap ini, siswa memperbaiki tulisannya berdasarkan hasil kegiatan rekontruksi berdua.

3) Tahap Pascamenulis a) Koreksi akhir

Pada tahap ini, siswa membaca tulisannya dan mendapatkan masukan dari guru. Berdasarkan masukan tersebut selanjutnya siswa memperbaiki kembali tulisannya.

b) Publikasi

Pada tahap ini, siswa mempublikasikan tulisannya pada tempat atau wahana yang disediakan guru.

3. Karakteristik Anak Sekolah Dasar

Menurut Muhibin (Abdul Majid, 2014: 8), perkembangan anak sekolah dasar yang berusia 7 – 11 tahun berada pada tahap operasional. Tahapan ini ditandai oleh kemampuan berfikir konkret dan mendalam, mampu


(47)

33

mengklasifikasikan dan mengontrol persepsinya. Pada tahap ini, perkembangan kemampuan berpikir siswa sudah mantap, kemampuan skema asimilasinya sudah lebih tinggi dalam melakukan suatu koordinasi yang konsisten antar skema. Berdasarkan tahap tersebut siswa kelas IV memiliki tingkatan operasional konkret. Menurut Buhler (Alex Sobur, 2009: 132), masa anak sekolah dasar adalah masa menyelidik, mencoba, dan bereksperimen, yang distimulasi oleh dorongan-dorongan menyelidik dan rasa ingin tahu yang besar; masa pemusatan dan penimbunan tenaga untuk berlatih, menjelajah, dan bereksplorasi.

Menurut Piaget (Rita Eka Izzaty, dkk., 2008: 106), masa anak-anak sekolah dasar merupakan masa kanak-kanak akhir yang berada pada tahap operasi konkret dalam berpikir, dimana anak berpikir logis terhadap objek yang konkret. Berkurang rasa egonya dan mulai bersikap sosial. Dalam tahap operasi konkret, anak berpikir induktif, yaitu dimulai dengan observasi seputar gejala atau hal yang khusus dari suatu kelompok masyarakat, binatang, objek, atau kejadian, kemudian menarik kesimpulan.

Dalam perkembangan bahasa, anak pada masa ini mengalami perkembangan yang nampak pada perubahan perbendaharaan kata dan tata bahasa. Tidak hanya menggunakan banyak kata, namun juga memilih kata yang tepat untuk penggunaan tertentu. Area utama dalam pertumbuhan bahasa adalah pragmatis, yaitu penggunaan praktis dari bahasa untuk komunikasi.

Pada pembelajaran membaca dan menulis, anak-anak merasa bebas dari keterbatasan untuk berkomunikasi langsung. Menulis merupakan tugas yang


(48)

34

dirasa lebih sulit daripada membaca bagi anak. Cara belajar menulis dilakukan setahap demi setahap dengan latihan dan seiring dengan perkembangan membaca. Membaca memiliki peran penting dalam perkembangan bahasa anak (Rita Eka Izzaty, dkk., 2008: 108).

Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam perkembangan bahasanya, anak sekolah dasar masih membutuhkan contoh yang konkret. Dengan metode eksplorasi membaca ini, anak melihat contoh cerita fiksi secara konkret. Anak hanya diminta untuk menceritakan kembali cerita fiksi tersebut dengan bahasa anak sendiri.

B.Kerangka Pikir

Gambar 1. Skema Kerangka Pikir

Menulis pada dasarnya adalah proses yang melibatkan kemampuan berpikir untuk menghasilkan pesan tertulis bagi para pembcanya. Menulis juga dapat dikatakan sebagai kegiatan mereaksi artinya menulis adalah proses mengemukakan pendapat atas dasar masukan yang diperoleh penulis dari berbagai sumber ide yang tersedia. Sumber ide bisa segala objek yang mampu merangsang penulis untuk menulis, termasuk tulisan orang lain yang dikenal dengan istilah tulisan reproduksi. Untuk terampil menulis, siswa harus memiliki

Graphophobia

Minat Membaca Rendah

Metode pembelajaran belum variatif

Metode eksplorasi

membaca

Proses pembelajaran

dan ketarampilan

menulis cerita fiksi meningkat.


(49)

35

bahan yang harus ditulis. Bahan itulah yang diperolehnya dari membaca. Semakin banyak membaca, semakin banyak pula bahan yang dimiliki. Semakin banyak yang dimiliki, semakin mudah baginya untuk mengemukakannya secara tertulis. Membaca dan menulis merupakan aktivitas komunikasi ibarat mata uang yang saling melengkapi.

Berdasarkan uraian di atas, kegiatan menulis tidak dapat dilepaskan dari kegiatan membaca. Seperti pembelajaran menulis di sekolah yang bertujuan untuk membuat siswa mencintai menulis, bisa menulis, dan kreatif menulis. Oleh sebab itu, diperlukan metode menulis yang tepat yaitu eksplorasi membaca. Khususnya pada pembelajaran menulis cerita fiksi.

Mengingat siswa masih pemula, metode eksplorasi membaca (Scaffolded Writting) dapat membantu siswa untuk mengetahui bagaimana sebuah dibuat berdasarkan pengimajinasian, pemikiran, dan pengemasan yang dilakukan penulis cerita fiksi. Dalam eksplorasi membaca, siswa akan memahami dan memperoleh pengetahuan tentang cerita fiksi secara konkret, sekaligus berlatih untuk menulis cerita fiksi dari bacaan tersebut.

C.Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, penulis mengemukakan hipotesis tindakan yaitu jika metode eksplorasi membaca diterapkan dalam pembelajaran, diharapkan proses pembelajaran dan keterampilan menulis cerita fiksi siswa kelas IVB di SD Negeri Gedongkiwo Yogyakarta dapat meningkat.


(50)

36

D.Definisi Operasional

Definisi dari variabel-variabel penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Keterampilan menulis cerita fiksi adalah keterampilan atau kelancaran siswa mengungkapkan gagasan dalam bentuk sebuah yang mendayagunakan imajinasi siswa. Adapun unsur-unsur cerita fiksi dalam penelitian ini mencakup: organisasi isi (tema, tokoh, latar, alur, sudut pandang, dan amanat), organisasi , struktur kalimat, diksi, ejaan yang benar (EYD).

2. Metode eksplorasi membaca adalah metode pembelajaran menulis cerita fiksi yang mengembangkan unsur-unsur cerita yang sudah ada dalam sebuah cerita fiksi menjadi cerita fiksi yang baru.


(51)

37

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Jenis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan dalam penelitian ini, rancangan penelitian yang digunakan adalah jenis Penelitiam Tindakan Kelas (PTK). Menurut Wijaya Kusumah dan Dedi Dwitagama (2009: 9), penelitian tindakan kelas (PTK) adalah penelitian yang dilakukan oleh guru di kelasnya sendiri dengan cara merencanakan, melaksanakan, dan merefleksikan tindakan secara kolaboratif dan partisipatif dengan tujuan memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat.

Menurut Hopskin (Rochiati Wiriaatmadja, 2006: 11), penelitian tindakan kelas adalah penelitian yang mengkombinasikan prosedur penilaian dengan tindakan substansif, suatu tindakan yang dilakukan dalam disiplin inkuiri, atau suatu usaha seseorang untuk memahami apa yang sedang terjadi, sambil terlibat dalam sebuah proses perbaikan dan perubahan. Menurut Mc Niff (Wijaya Kusumah dan Dedi Dwitagama, 2009: 8), pada hakikatnya PTK adalah suatu bentuk penelitian reflektif yang dilakukan oleh guru sendiri yang hasilnya dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk pengembangan keahlian mengajar.

Menurut Zainal Arifin (2011: 100), tujuan PTK adalah upaya untuk (1) memperbaiki dan meningkatkan mutu isi, masukan, proses, dan hasil pendidikan dan pembelajaran di sekolah, (2) membantu guru dan tenaga kependidikan mengatasi masalah pendidikan dan pembelajaran di dalam kelas, (3) meningkatkan kemampuan dan layanan profesional guru dan tenaga


(52)

38

kependidikan, (4) mengembangkan budaya akademik di lingkungan sekolah, sehingga tercipta sikap proaktif untuk melakukan perbaikan mutu pendidikan dan pembelajaran secara berkelanjutan, (5) meningkatkan dan mengembangkan keterampilan guru dan tenaga kependidikan, dan (6) meningkatkan kerjasama profesional diantara guru dan tenaga kependidikan di sekolah.

Menurut Wayan Santyana (Zainal Arifin, 2011: 101), PTK dapat memberikan manfaat sebagai inovasi pendidikan yang tumbuh dari bawah, karena guru adalah ujung tombk pelaksana lapangan. Guru akan lebih memahami hakikat pendidikan dan pembelajaran secaara empirik. PTK juga dapat digunakan sebagai sumber masukan dalam rangka melakukan pengembangan kurikulum dan pembelajaran. Mc Millan (Craig A. Mertler, 2014: 15) berpendapat bahwa penelitian tindakan terfokus pada penyelesaian satu masalah sekolah atau kelas khusus, yang memperbaiki praktik, atau membantu mengambil keputusan. Penelitian tindakan kelas menawarkan satu proses yang dapat mengubah praktik terkini ke arah praktik yang lebih baik.

B.Desain Penelitian

Menurut Wijaya Kusumah dan Dedi Dwitagama (2009: 19), sebagai penelitian yang mengatasi permasalahan yang terdapat di dalam kelas, menyebabkan terdapat beberapa model atau desain yang dapat diterapkan antara lain : (1) desain Kurt Lewin, (2) desain Kemmis dan Mc Taggart, (3) desain Dave Ebbuit, (4) desain John Elliot, (5) desain Hopkins, (6) desain Mc Kernan, dan sebagainya.


(53)

39

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain Spiral dari Kemmis dan Mc Taggart. Menurut Wijaya Kusumah dan Dedi Dwitagama (2009: 21), pada hakikatnya, model Spiral ini berupa perangkat-perangkat atau untaian-untaian dengan satu perangkat terdiri dari empat komponen, meliputi: perencanaan (plan), tindakan (act), pengamatan (observe), dan refleksi (reflect). Keempat komponen yang berupa untaian tersebut dipandang sebagai satu siklus seperti gambar berikut.

Gambar 2. Siklus PTK Model Spiral menurut Kemmis & Mc Taggart Komponen-komponen di atas, dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Perencanaan (plan)

Pada tahap perencanaan meliputi: mengidentifikasi dan membatasi topik, mengumpulkan informasi, meninjau literatur terkait, dan mengembangkan rencana penelitian.

2. Tindakan (act)

Tahap ini merupakan tahap pelaksanaan rencana yang telah disusun dalam tahapan sebelumnya.

Keterangan:

S1 Perencanaan Tindakan Pengamatan Refleksi

S2 Perencanaan ke-2 Tindakan ke-2 Pengamatan ke-2 Refleksi ke-2, dst.


(54)

40 3. Pengamatan (observe)

Pengamatan, observasi, atau monitoring dilakukan pada tahap tindakan. Dengan tujuan untuk mengumpulkan data terkait aktivitas penelitian.

4. Refleksi (reflect)

Tahap ini berarti merenungkan atau memikirkan suatu upaya evaluasi yang dilakukaknselanjutnya.

Komponen-komponen di atas dalam siklus pertama hanya mengembangkan siklus dasar, yang terdiri dari identifikasi gagasan umum, melakukan pengamatan (reconnaissance), menyusun rencana umum, mengembangkan langkah tindakan yang pertama, mengimplementasikan langkah tindakan pertama, mengevaluaasi, dan memperbaiki rancangan umum.

Menurut Zainal Arifin (2011: 109), jika dalam siklus pertama ini, peneliti menilai adanya kekurangan atau kesalahan, maka dapat diperbaiki atau di modifikasi dengan mengembangkan spiral ke perencanaan langkah tindakan kedua. Jika dalam implementasinya, hasil evaluasi masih menunjukkan adanya kesalahan atau kekurangan, maka dapat diperbaiki atau dimodifikasi dengan mengembangkan spiral lanjutan, yaitu perencanaan tindakan ketiga, begitu seterusnya. Siklus spiral baru dapat berhenti jika tindakan substansif yang dilakukan penyaji sudah dievaluasi dengan baik. Bagi peniliti sebagai pengamat, siklus dihentikan jika data yang dikumpulkan untuk penelitian sudah jenuh atau kondisi kelas sudah stabil.

Menurut Hodgkinson (Zainal Arifin, 2011: 109), PTK dikatakan berhasil berhasil apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1) adanya kesediaan


(55)

41

untuk mengakui kekurangan diri, (2) PTK harus dijadikan kesempatan yang baik untuk menemukan sesuatu yang baru, (3) adanya motivasi dari peneliti dan kolaboratornya untuk mengemukakan gagasan baru, (4) adanya waktu yang cukup untuk melakukan percobaan tindakan, (5) adanya kepercayaan timbal-balik antar orang-orang yang terlibat, dan (6) peneliti dan kolaboratornya harus memiliki pengetahuan tentang dasar-dasar proses kerja kelompok.

C.Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IVB di SD Negeri Gedongkiwo, Yogyakarta yang berjumlah 23 siswa. Terdapat 10 siswa laki-laki dan 13 siswa perempuan. SD Negeri Gedongkiwo merupakan sekolah berakreditasi A dan merupakan sekolah adiwiyata yang terletak di Jalan Bantul, Gang Tawangsari, Yogyakarta.

Penelitian dilaksanakan dengan cara berkolaborasi dengan guru kelas IVB yakni Siti Hindariyati. Guru kelas sebagai pelaksana tindakan dan penganalisis data penelitian dan peneliti memposisikan diri sebagai observer.

Objek dalam penelitian ini adalah keterampilan menulis cerita fiksi siswa kelas IVB di SD Negeri Gedongkiwo, Yogyakarta. Peneliti memilih subjek dan objek penelitian tersebut karena berdasarkan hasil observasi diketahui bahwa keterampilan menulis cerita fiksi siswa di kelas tersebut masih rendah.

D.Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri Gedongkiwo, Yogyakarta. Pelaksanaan penelitian pada semester II tahun ajaran 2015/ 2016 yang dimulai pada tanggal 11 Januari sampai 14 Mei 2016.


(56)

42

E.Prosedur Penelitian

Dalam membuat prosedur penelitian, peneliti mengacu pada desain penelitian yang sudah dipilih yaitu desain Spiral dari Kemmis dan Mc Taggart. Langkah-langkah penelitian seperti berikut.

1. Perencanaan (Plan)

a. Mengidentifikasi dan membatasi topik. Pada tahap ini, peneliti melakukan observasi di dalam kelas. Observasi dilakukan untuk mengetahui gambaran awal keterampilan menulis cerita fiksi siswa kelas IV B. Setelah mengidentifikasi beberapa permasalahan, peneliti membatasi topik permasalahan yang akan menjadi fokus penelitian.

b. Mengumpulkan informasi. Pada tahap ini, peneliti melakukan wawancara dengan wali kelas. Hal ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi dari guru tentang keterampilan menulis cerita fiksi siswa kelad IV B dan metode yang sudah diterapkan dalam pembelajaran.

c. Meninjau literatur terkait. Peneliti mencari literatur yang dapat dijadikan panduan untuk menetapkan atau membatasi masalah, mengembangkan suatu rancangan penelitian yang memadai. Literatur dapat berupa buku-buku profesional, jurnal penelitian, dan diskusi dengan pembimbing.

d. Mengembangkan rencana penelitian. Peneliti menyusun rancangan tindakan yang berupa siklus tindakan. Perencanaan ini bersifat terbuka terhadap perubahan dalam pelaksanaan.


(57)

43 2. Pelaksanaan Tindakan (Act)

Pada tahap ini, proses pembelajaran berdasarkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang disusun oleh peneliti. Langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan sebagai berikut.

a. Kegiatan Awal 1) Salam

2) Berdoa

3) Siswa mendengarkan apersepsi terkait cerita fiksi yang siswa ketahui. 4) Siswa mendengarkan tujuan pembelajaran.

b. Kegiatan Inti

1) Siswa bersama guru berdiskusi tentang cerita fiksi.

2) Siswa membentuk kelompok dan berdiskusi terkait cerita fiksi yang siswa dapatkan.

3) Siswa bersama kelompok menuliskan cerita fiksi tersebut dalam sebuah . 4) Salah satu siswa dalam kelompok menyampaikan cerita yang telah ditulis. c. Kegiatan Akhir

1) Siswa bersama guru bertanya jawab terkait cerita fiksi yang telah didiskusikan.

2) Siswa mencoba membuat sebuah cerita fiksi secara pribadi.

3) Siswa bersama guru melakukan refleksi tentang pembelajaran yang dilakukan.


(58)

44 3. Pengamatan (Observe)

Dalam observasi, peneliti melakukan pengamatan pada aktivitas siswa dan guru, minat siswa, dan pemahaman siswa saat pembelajaran berlangsung. Dalam tahap ini, peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan lembar observasi. Hasil observasi ini akan memberikan gambaran berhasil atau tidaknya pelaksanaan tindakan.

4. Refleksi (Reflect)

Proses refleksi dilakukan berdasarkan data yang telah diperoleh dalam tahap observasi. Hasil analisis dan interpretasi data tersebut apakah sudah mencapai tujuan yang diharapkan atau belum. Apabila belum tercapai, peneliti dan observer melakukan langkah-langkah perbaikan untuk diterapkan pada siklus selanjutnya. Akan tetapi, apabila hasil sudah sesuai dengan yang diharapkan, penelitian dapat dianggap berhasil dan penelitian dapat dihentikan.

F. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data yang digunakan untuk menilai keberhasilan atau ketidakberhasilan tindakan perbaikan pembelajaran yang diuji coba. Data dalam penelitian tindakan berfungsi sebagai landasan refleksi bagi peneliti untuk merekontruksi tindakan terkait (Didik Komaidi dan Wahyu Wijayati, 2011: 86).

Data yang diperoleh dapat bersifat kualitatif, kuantitatif, atau kombinasi keduanya. Data kualitatif yang dihasilkan selalu berupa laporan naratif yang deskriptif, artinya data yang diperoleh berupa kata-kata. Bisa berupa transkrip wawancara, catatan observasi, transkrip audio/ video, catatan, atau laporan. Data kuantitatif yang dihasilkan berupa angka (dihitung, dikalkulasi, atau dinilai).


(59)

45

Teknik pengumpulan kuantitatif mencakup survei, kuesioner, daftar-periksa, skala penilaian, dan tes atau instrumen pengukuran yang lebih formal lainnya (Yunus Abidin, 2012).

Menurut Didik Komaidi dan Wahyu Wijayati (2011: 91), teknik yang dapat digunakan dalam penelitian antara lain: catatan anekdot, catatan lapangan, deskripsi perilaku ekologis, analisis dokumen, catatan harian, portofolio, angket, wawancara, metode sosiometrik, checklist, rekaman pita/ video, atau foto/ slide. Menurut Wijaya Kusumah dan Dedi Dwitagama (2009: 62), teknik pengumpulan data digolongkan menjadi tiga jenis, sebagai berikut.

1. Metode Kertas dan Pensil: Catatan lapangan pribadi, buku harian siswa, dan kuesioner.

2. Metode “Hidup”: Interview dan diskusi, serta metode sosiometri.

3. Metode Ostensif: presentasi slide-tape, Interview dengan audio-tape dan video-tape.

Dari beberapa teknik pengumpulan data, dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut.

1. Observasi atau Pengamatan

Menurut Wijaya Kusumah dan Dedi Dwitagama (2009: 67), observasi/ pengamatan adalah proses pengambilan data dalam penelitian, di mana peneliti atau pengamat melihat situasi penelitian. Observasi sangat sesuai digunakan dalam penelitian yang berhubungan dengan kondisi/ interaksi belajar/ mengajar, tingkah laku, dan interaksi kelompok. Tipe-tipe pengamatan yaitu pengamatan berstruktur (dengan pedoman) dan pengamatan tidak berstruktur (tidak


(60)

46

menggunakan pedoman). Dalam penelitian ini, pengamatan difokuskan kepada langkah-langkah pembelajaran menulis cerita fiksi dan sikap atau respon siswa selama pembelajaran berlangsung.

2. Tes

Tes merupakan seperangkat rangsangan (stimuli) yang diberikan kepada seseorang dengan maksud untuk mendapatkan jawaban-jawaban yang dijadikan penetapan skor angka (Wijaya Kusumah dan Dedi Dwitagama, 2009: 79). Ada beberapa pendekatan tes yang dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat keterampilan siswa dalam menulis, salah satunya adalah pendekatan integratif. Menurut Ahmad Rofi’uddin dan Darmiyati Zuchdi (1999: 264), pengetesan keterampilan menulis yng dilakukan dengan menggunakan pendekatam integratif dimaksudkan untuk mengukur beberapa aspek yang mendukung kemampuan menulis sebagai satu kesatuan. Dalam penelitian ini, tes digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa, baik sebelum maupun sesudah tindakan. 3. Dokumentasi

Dokumentasi berguna untuk membantu penelliti mengumpulkan data penelitian yang relevansi dengan permasalahan dalam penelitian. Menurut Goetz dan LeCompte (Kunandar, 2011: 185), dokumen yang menyangkut para partisipan penelitian akan menyediakan kerangka bagi data yang mendasar. Dokumen dapat berupa silabus, hasil karya siswa, lembar kerja, dan hal-hal lain yang relevan.


(61)

47

G.Instrumen Penelitian

Berdasarkan teknik pengumpulan data di atas, instrumen penelitian dibutuhkan sebagai sarana pengumpulan data dari hasil pelaksanaan tindakan. Selaras dengan teknik pengumpulan data yang dilakukan maka instrumen dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Lembar pengamatan (observation sheet)

Lembar observasi menjadi pedoman dalam melakukan observasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Menurut Wina Sanjaya (2009: 93), instrumen dalam observasi dapat berupa check list, anecdotal record, dan rating scale. a. Check list atau daftar cek merupakan pedoman observasi yang berisikan

daftar dari semua aspek yang akan diobservasi, sehingga observer tinggal memberi tanda ada atau tidaknya dengan memberi tanda cek () tentang aspek yang diobservasi.

b. Anecdotal record atau catatan anekdot adalah alat observasi untuk mencatat kejadian yang sifatnya luar biasa sehingga dianggap penting.

c. Rating scale atau skala penilaian pedoman observasi yang berisi daftar dari semua aspek yang akan diobservasi dengan aspek yang dijabarkan ke dalam bentuk-bentuk skala atau kriteria tertentu.

Lembar observasi yang digunakan dalam penelitian ini berupa check list atau daftar cek. Hal-hal yang diobservasi adalah aktivitas guru dan siswa selama pembelajaran. Observasi dilakukan untuk menemukan beberapa permasalahan yang dialami siswa maupun guru dalam pembelajaran menulis cerita fiksi.


(62)

48

Tabel 2. Lembar Observasi Kegiatan Guru dan Siswa saat Menulis Cerita Fiksi Kelas IV SD

2. Pedoman Penilaian Keterampilan Menulis Cerita Fiksi

Berdasarkan teknik pengumpulan tes, maka dibutuhkan lembar penyekoran tes tersebut. Pedoman penilaian ini akan menjadi instrumen dan pedoman guru dalam menilai produk keterampilan menulis cerita fiksi siswa yang dilakukan melalui metode eksplorasi membaca.

Penilaian menulis dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Ahmad Rofi’uddin dan Darmiyati Zuchdi (1999: 272) yang menggunakan penilaian per aspek. Aspek-aspek yang akan dinilai berdasarkan indikator yang ingin dicapai dalam pembelajaran menulis di kelas IV. Dalam membuat pedoman penilaian tersebut, kisi-kisi dibutuhkan sebagai acuan menentukan pedoman penilaian

1 2 3 4 5

1. Menghubungkan pengalaman membaca siswa dengan materi.

2. Memberikan pengalaman baru untuk siswa dengan memberikan teks karangan cerita fiksi yang berbeda.

3. Menyampaikan materi pembelajaran dengan baik dan mudah dipahami siswa.

4. Memberikan kesempatan siswa untuk bertanya.

5. Melakukan refleksi pada akhir pembelajaran.

1. Siswa siap mengikuti pembelajaran 2. Siswa aktif mengikuti pembelajaran 3. Siswa memperhatikan penjelasan guru.

4. Siswa mengerjakan tugas yang diberikan.

5. Siswa melakukan diskusi kelompok. 6. Siswa menyusun kerangka karangan. 7. Siswa membuat karangan cerita fiksi.

No. Aspek yang diamati Skor

A.

Aktivitas Guru

B.


(63)

49

yang akan digunakan. Kisi-kisi penilaian keterampilan menulis cerita fiksi sebagai berikut.

Tabel 3. Kisi-kisi Pedoman Penilaian Keterampilan Menulis Cerita Fiksi

No. Aspek yang dinilai Skor

1. Organisasi Isi 40

2. Organisasi 20

3. Struktur Kalimat 10

4. Diksi (Pemilihan Kosa Kata) 15

5. EYD 15

Skor total 100

Sumber: Modifikasi penulis dari Ahmad Rofi’uddiin dan Darmayanti Zuchdi (1999: 273)


(1)

144

Lampiaran 16.4. Rekapitulasi Hasil Tes Keterampilan Menulis Cerita Fiksi

Siklus II

1

TSW

77

82

83

80,667

Belum Tuntas

2

TBS

74

83

79

78,667

Tuntas

3

AM

91

91

90

90,667

Tuntas

4

SMW

78

84

83

81,667

Tuntas

5

RYR

78

87

87

84

Tuntas

6

ABP

72

76

76

74,667

Belum Tuntas

7

MH

80

80

80

80

Tuntas

8

MAS

81

91

91

87,667

Tuntas

9

SDP

89

83

83

85

Tuntas

10

SNS

90

91

91

90,667

Tuntas

11

AZP

69

68

74

70,333

Belum Tuntas

12

SHR

96

87

87

90

Tuntas

13

KI

71

77

77

75

Belum Tuntas

14

IAS

86

88

88

87,333

Tuntas

15

DNZ

95

95

95

95

Tuntas

16

SNU

92

91

91

91,333

Tuntas

17

RS

71

76

72

73

Belum Tuntas

18

KF

82

81

81

81,333

Tuntas

19

ANC

80

86

86

84

Tuntas

20

CAA

95

86

91

90,667

Tuntas

21

NEF

96

87

91

91,333

Tuntas

22

MDYP

76

75

80

77

Tuntas

23

GAS

80

74

73

75,667

Belum Tuntas

1899

1919

1929

1915,7

82,565 83,435

83,87

83,29

Tuntas

P1

P2

P3

∑P1-P3

Keterangan

No.

Nama

Jumlah

Rata-rata


(2)

145

Lampiran 17. Peningkatan Hasil Tes Siklus I ke Siklus II

1

TSW

72,5

80,667

8,167

2

TBS

61

78,667

17,667

3

AM

86,5

90,667

4,167

4

SMW

72

81,667

9,667

5

RYR

77

84

7

6

ABP

67

74,667

7,667

7

MH

69

80

11

8

MAS

65

87,667

22,667

9

SDP

75

85

10

10

SNS

73,5

90,667

17,167

11

AZP

57

70,333

13,333

12

SHR

81,5

90

8,5

13

KI

74,5

75

0,5

14

IAS

68

87,333

19,333

15

DNZ

74,5

95

20,5

16

SNU

79,5

91,333

11,833

17

RS

51

73

22

18

KF

72,5

81,333

8,833

19

ANC

72,5

84

11,5

20

CAA

83

90,667

7,667

21

NEF

78,5

91,333

12,833

22

MDYP

67

77

10

23

GAS

61,5

75,667

14,167

1639,5

1915,7

276,2

71,28261

83,29

12,0073913

No.

Nama

Siklus I

Siklus II

Peningkatan

Jumlah

Rata-rata


(3)

146


(4)

(5)

148

Lampiran 19. Gambar Pelaksanaan Tindakan Siklus II

Guru membuka pembelajaran


(6)

149

Siswa berdiskusi sat mengerjakan tugas kelompok.