Hubungan antara dukungan sosial orangtua dengan penyesuaian diri remaja dengan orangtua bercerai.

(1)

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL ORANGTUA DENGAN PENYESUAIAN DIRI REMAJA DENGAN ORANGTUA BERCERAI

Veronica Lestari ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial orangtua dengan penyesuaian diri remaja dengan orangtua bercerai. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan positif antara dukungan sosial orangtua dengan penyesuaian diri remaja dengan orangtua bercerai. Subjek penelitian ini sebanyak 50 orang dengan rentang usia 12 tahun sampai 22 tahun. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik snowball sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala dukungan sosial orangtua dan skala penyesuaian diri. Berdasarkan uji validitas dan reliabilitas pada skala dukungan sosial orangtua diperoleh 76 aitem valid dengan koefisien reliabilitas cronbach alpha 0,97 . Sedangkan, skala penyesuaian diri diperoleh 70 aitem valid dengan koefisien reliabilitas cronbach alpha 0,959. Metode analisis data yang digunakan adalah metode statistik Product Momen Pearson. Koefisien korelasi yang diperoleh adalah r=0,693 dengan nilai p=0,000 yang berarti nilai p lebih kecil dari 0,05 (p<0,05). Hasil ini menunjukkan adanya hubungan positif antara variabel dukungan sosial orangtua dan penyesuaian diri remaja dengan orangtua bercerai yang berarti hipotesis diterima.


(2)

THE RELATION BETWEEN SOCIAL SUPPORT PARENTS WITH PERSONAL ADJUSTMENT ON ADOLESCENT WITH DIVORCED PARENTS

Veronica Lestari ABSTRACT

The aim of this research was to comprehend the relation between social support parents with personal adjustment on adolescent with divorced parents. The proposed hypothesis was a positive correlation between social support parents with personal adjustment on adolescent with divorced parents. Subject of this research are 50 people with ages ranging from 12 years old up to 22 years old. Sampling technique were snowball sampling. Social support parents scale and personal adjustment scale were used as the parameter. Based on validity and reliability examination on social support parents scale has got 76 valid items with alpha cronbach reliability 0,973. Meanwhile, personal adjustment scale has got 70 valid items with cronbach alpha reliability 0,959. The data was analyzed using Product Moment Pearson. The correlation coefficient r=0,693 with the value of p=0,000 it means that the value of p is lower than 0,05 (p<0,05). There was a positive relation between social support parents with personal adjustment on adolescent with divorced parents it means that the hypothesis was approved.


(3)

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL ORANGTUA DENGAN PENYESUAIAN DIRI REMAJA DENGAN ORANGTUA BERCERAI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Veronica Lestari

119114187

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

iii

Don’t Panic.

I am with you.

There’s no need to fear I will give you strength.

I will help you.

I, your God, have a firm grip on you and I am not

letting go.


(6)

iv

Don’t Panic.

I am with you.

There’s no need to fear I will give you strength.

I will help you.

I, your God, have a firm grip on you and I am not

letting go.


(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Saya persembahkan skripsi ini untuk

Tuhan Yesus Kristus,

Keluargaku tercinta, papa, mama, abang dan adikku,

Seluruh keluarga besarku,


(8)

vi

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL ORANGTUA DENGAN PENYESUAIAN DIRI REMAJA DENGAN ORANGTUA BERCERAI

Veronica Lestari ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial orangtua dengan penyesuaian diri remaja dengan orangtua bercerai. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan positif antara dukungan sosial orangtua dengan penyesuaian diri remaja dengan orangtua bercerai. Subjek penelitian ini sebanyak 50 orang dengan rentang usia 12 tahun sampai 22 tahun. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik snowball

sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala dukungan sosial orangtua

dan skala penyesuaian diri. Berdasarkan uji validitas dan reliabilitas pada skala dukungan sosial orangtua diperoleh 76 aitem valid dengan koefisien reliabilitas cronbach alpha 0,97 . Sedangkan, skala penyesuaian diri diperoleh 70 aitem valid dengan koefisien reliabilitas cronbach alpha

0,959. Metode analisis data yang digunakan adalah metode statistik Product Momen Pearson.

Koefisien korelasi yang diperoleh adalah r=0,693 dengan nilai p=0,000 yang berarti nilai p lebih kecil dari 0,05 (p<0,05). Hasil ini menunjukkan adanya hubungan positif antara variabel dukungan sosial orangtua dan penyesuaian diri remaja dengan orangtua bercerai yang berarti hipotesis diterima.


(9)

vii

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL ORANGTUA DENGAN PENYESUAIAN DIRI REMAJA DENGAN ORANGTUA BERCERAI

Veronica Lestari ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial orangtua dengan penyesuaian diri remaja dengan orangtua bercerai. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan positif antara dukungan sosial orangtua dengan penyesuaian diri remaja dengan orangtua bercerai. Subjek penelitian ini sebanyak 50 orang dengan rentang usia 12 tahun sampai 22 tahun. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik snowball

sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala dukungan sosial orangtua

dan skala penyesuaian diri. Berdasarkan uji validitas dan reliabilitas pada skala dukungan sosial orangtua diperoleh 76 aitem valid dengan koefisien reliabilitas cronbach alpha 0,97 . Sedangkan, skala penyesuaian diri diperoleh 70 aitem valid dengan koefisien reliabilitas cronbach alpha

0,959. Metode analisis data yang digunakan adalah metode statistik Product Momen Pearson.

Koefisien korelasi yang diperoleh adalah r=0,693 dengan nilai p=0,000 yang berarti nilai p lebih kecil dari 0,05 (p<0,05). Hasil ini menunjukkan adanya hubungan positif antara variabel dukungan sosial orangtua dan penyesuaian diri remaja dengan orangtua bercerai yang berarti hipotesis diterima.


(10)

viii

THE RELATION BETWEEN SOCIAL SUPPORT PARENTS WITH PERSONAL ADJUSTMENT ON ADOLESCENT WITH DIVORCED

PARENTS Veronica Lestari

ABSTRACT

The aim of this research was to comprehend the relation between social support parents with personal adjustment on adolescent with divorced parents. The proposed hypothesis was a positive correlation between social support parents with personal adjustment on adolescent with divorced parents. Subject of this research are 50 people with ages ranging from 12 years old up to 22 years old. Sampling technique were snowball sampling. Social support parents scale and personal adjustment scale were used as the parameter. Based on validity and reliability examination on social support parents scale has got 76 valid items with alpha cronbach reliability 0,973. Meanwhile, personal adjustment scale has got 70 valid items with cronbach alpha reliability 0,959. The data was analyzed using Product Moment Pearson. The correlation coefficient r=0,693 with the value of p=0,000 it means that the value of p is lower than 0,05 (p<0,05). There was a positive relation between social support parents with personal adjustment on adolescent with divorced parents it means that the hypothesis was approved.


(11)

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat, dan kasihnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana psikologi di Universitas Sanata Dharma.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini terdapat banyak kesulitan dan kendala yang dihadapi. Namun, dengan bantuan berbagai pihak skripsi ini dapat diselesaikan penulis. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si. selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu Dewi Soerna A., M.Psi. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang siap memberikan saran dalam menghadapi perkuliahan.

4. Ibu Debri Pristinella, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang dengan penuh kesabaran dan pengertian membimbing saya. Terimakasih atas bimbingan, saran, semangat, dan ilmu yang dibagikan kepada saya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.

5. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan banyak ilmu dan pengetahuan kepada saya.


(13)

xi

6. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi, Bu Nanik, Mas Gandung, Mas Muji, Mas Doni, dan Pak Gie. Terima kasih atas pelayanan serta keramahannya.

7. Seluruh responden yang bersedia membantu saya dalam pengisian kuesioner. Terima kasih atas bantuannya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas akhir saya ini.

8. Orangtuaku yang selalu jadi penyemangat dalam hidupku. Terimakasih atas dukungan, cinta kasih, dan doa yang tak henti-hentinya selama ini. 9. Bude dan bulek yang selalu mendoakan saya dan memberikan nasehat

yang berguna.

10.Abangku Paulus yang selalu memberikan semangat, target, dan gambaran tentang masa depan, serta adikku Teresa yang ikut membantu mengambil data. Terimakasih atas segala dukungan yang diberikan.

11.Daniel Rizky, my best partner yang selalu senantiasa mendukung, mendengarkan setiap keluh kesah, serta selalu menjadi penghiburku. Terimakasih karena selalu menemaniku di saat suka dan duka.

12.Ibu Poppy yang dengan keramahan dan kebaikannya membantu saya dalam proses pengambilan data. Terima kasih untuk segala bantuannya sehingga saya bisa menyelesaikan tugas akhir ini.

13.Teman-teman psikologi 2011. Terima kasih atas kebersamaannya selama menjalani kuliah. Senang bisa berdinamika bersama kalian.


(14)

xii

14.Sahabat-sahabat sejak SMA yang selalu menyanyakan kelulusan saya. Terima kasih atas semangat yang diberikan untuk terus berjuang menyelesaikan tugas akhir ini.

15.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan secara langsung maupun tidak langsung. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan berbagai kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini. Saya berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.

Yogyakarta, 14 Juni 2016 Penulis


(15)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING SKRIPSI ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR BAGAN ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II DASARTEORI ... 10

A. Dukungan Sosial ... 10


(16)

xiv

2. Sumber Dukungan Sosial ... 12

3. Aspek-aspek Dukungan Sosial ... 13

4. Dampak Dukungan Sosial ... 15

B. Penyesuaian Diri ... 17

1. Definisi Penyesuaian Diri ... 17

2. Faktor Yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri ... 18

3. Aspek-aspek Penyesuaian Diri ... 21

4. Bentuk-bentuk Penyesuaian Diri ... 24

C. Remaja ... 25

1. Definisi Remaja ... 25

2. Ciri-ciri Masa Remaja ... 26

3. Tugas Perkembangan Masa Remaja ... 29

4. Perkembangan Psikososial Remaja ... 30

D. Perceraian ... 32

1. Definisi Perceraian ... 32

2. Dampak Perceraian ... 33

E. Pengertian Remaja Dengan Orangtua Bercerai ... 34

F. Hubungan Antara Dukungan Sosial Orangtua Dengan Penyesuaian Diri Remaja Dengan Orangtua Bercerai ... 37

G. Bagan Dinamika ... 43

H. Hipotesis ... 44

BAB III METODE PENELITIAN ... 45


(17)

xv

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 45

C. Definisi Operasional ... 46

1. Dukungan Sosial Orangtua ... 46

2. Penyesuaian Diri ... 46

D. Subjek Penelitian ... 49

1. Populasi ... 49

2. Sampel ... 49

E. Metode Pengumpulan Data ... 49

1. Skala Dukungan Sosial Orangtua ... 50

2. Skala Penyesuaian Diri ... 51

F. Validitas dan Reliabilitas ... 52

1. Validitas ... 52

2. Seleksi Aitem ... 53

3. Reliabilitas ... 57

G. Teknik Analisis Data ... 59

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 60

A. Persiapan Penelitian ... 60

B. Pelaksanaan Penelitan ... 61

C. Deskripsi Subjek ... 62

D. Deskripsi Hasil Penelitian ... 64

E. Hasil Penelitian ... 65

1. Uji Asumsi ... 65


(18)

xvi

b. Uji Linearitas ... 66

2. Uji Hipotesis ... 67

3. Uji data tambahan ... 68

F. Pembahasan ... 70

BAB V PENUTUP ... 76

A. Kesimpulan ... 76

B. Keterbatasan Penelitian ... 76

C. Saran ... 77


(19)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Blue Print Dukungan Sosial Orangtua Sebelum Uji Coba ... 51

Tabel 2 Blue Print Penyesuaian Diri Sebelum Uji Coba ... 52

Tabel 3 Blue Print Dukungan Sosial Orangtua Setelah Uji Coba ... 54

Tabel 4 Blue Print Dukungan Sosial Orangtua Setelah Dilakukan Penyusunan Ulang ... 55

Tabel 5 Blue Print Penyesuaian Diri Setelah Uji Coba ... 56

Tabel 6 Blue Print Penyesuian Diri Setelah Dilakukan Penyusunan Ulang ... 57

Tabel 7 Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 62

Tabel 8 Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 63

Tabel 9 Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Subjek Tinggal ... 63

Tabel 10 Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Status Pernikahan Orangtua Setelah Perceraian ... 63

Tabel 11 Deskripsi Data Penelitian ... 64

Tabel 12 Uji Normalitas ... 65

Tabel 13 Uji Linearitas ... 66

Tabel 14 Uji Hipotesis ... 67

Tabel 15 Uji t dukungan sosial orangtua dan penyesuaian diri subjek terhadap status pernikahan orangtua setelah perceraian ... 68


(20)

xviii

DAFTAR BAGAN


(21)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Skala Penelitian Sebelum Uji Coba ... 82

Lampiran 2 Reliabilitas Skala ... 102

Lampiran 3 Skala Penelitian ... 116

Lampiran 4 Uji Asumsi ... 134


(22)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Struktur keluarga di Indonesia saat ini mengalami perubahan karena tingginya tingkat perceraian. Perceraian merupakan perpisahan secara resmi antara pasangan suami istri dan mereka tidak lagi menjalankan tugas dan kewajiban sebagai pasangan suami istri (Dariyo, 2004). Sebelum berpisahnya suatu hubungan, umumnya telah terjadi konflik-konflik yang tidak terselesaikan diantara pasangan. Terkadang perceraian menjadi solusi untuk menyelesaikan konflik di dalam keluarga karena dapat mengurangi peluang bagi permasalahan yang berkelanjutan.

Berdasarkan data statistik, kasus perceraian di Indonesia terus meningkat sepanjang tahun. Selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga 70% yang tercatat di Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA). Dirjen Badilag MA, Wahyu Widiana, mengatakan kasus perceraian sejak 2005 terus meningkat di atas 10 persen setiap tahunnya. Pada tahun 2010 terjadi 285.184 perceraian di seluruh Indonesia. Jika diurutkan tiga besar, faktor pisahnya pasangan paling banyak disebabkan oleh ketidakharmonisan 91.841 perkara, tidak ada tanggung jawab 78.407 perkara, dan masalah ekonomi 67.891 perkara (www.republika.co.id). Peristiwa perceraian akan mengubah struktur keluarga serta membawa


(23)

dampak yang cukup mendalam bagi semua anggota keluarga, tidak terkecuali orangtua sebagai pelaku perceraian dan terlebih lagi anak.

Penelitian yang dilakuan Hannum dan Dvorak (2004) menyatakan bahwa perceraian dapat mengubah gaya kelekatan serta dapat menyebabkan anak merasa marah, dendam, dan kebingungan, yang dapat mengubah kemampuan anak untuk membentuk hubungan yang bermakna. Hal ini menjadi kesulitan bagi anak untuk memahami perceraian yang terjadi di dalam keluarganya. Selain itu, anak dari keluarga bercerai lebih memiliki masalah perilaku dibandingkan anak dari keluarga utuh, karena setiap anak membutuhkan figur seorang ibu dan ayah (Steinberg, 2002).

Dampak perceraian, akan lebih terasa pada anak-anak yang memiliki orangtua yang bercerai di usia remaja. Hal ini dikarenakan masa remaja merupakan suatu periode peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Masa remaja ditandai sebagai masa goncangan yang penuh konflik dan perubahan suasana hati (Santrock, 2003). Remaja yang mengalami kondisi perceraian orangtua lebih merasakan dampak dari perceraian orangtua karena pada masa ini mereka sudah mampu berpikir secara kongkrit. Perkembangan kognitif pada masa remaja membuat mereka lebih mampu menganalisis kejadian tertentu, menghasilkan pendapat yang berbeda, dan mampu memahami sebuah situasi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hetherington (2003), remaja dalam keluarga bercerai sering mengalami stres yang membuat mereka berada pada masalah perkembangan dalam penyesuaian, hal ini muncul karena tingginya konflik antar orangtua,


(24)

terputusnya hubungan dengan salah satu orangtua dan pola asuh orangtua yang otoriter.

Remaja yang orangtuanya bercerai tidak bisa menerima kenyataan terhadap perubahan akibat perceraian orangtuanya (Cole, 2004). Orangtua yang tidak peka dan tidak menyadari perubahan-perubahan yang terjadi pada anak akan membuat mereka semakin jauh hingga anak merasa diabaikan (Hetherington, 2003). Menurut Cole (2004) remaja yang mengalami situasi perceraian orangtua akan menunjukkan kesulitan penyesuaian diri dalam bentuk masalah perilaku, kesulitan belajar, atau penarikan diri dari lingkungan sosial. Sama halnya dengan yang diungkapkan Hetherington (2003) bahwa perceraian orangtua memiliki resiko yang besar dalam masalah penyesuaian bagi remaja khususnya masalah eksternal seperti agresi, masalah perilaku antisosial dan kenakalan. Selain itu, juga menimbulkan masalah internalisasi seperti depresi, kecemasan, harga diri, dan rendahnya tingkat prestasi akademik.

Pada penyesuaian diri, remaja dituntut untuk memiliki kemampuan bersosialisasi dalam lingkungannya sehingga mereka merasa puas terhadap diri sendiri dan lingkungannya (Willis, 2005). Menurut Schneider (dalam Indrawati & Fauziah, 2012) penyesuaian diri merupakan proses dimana individu berusaha untuk memenuhi kebutuhan dalam diri dan mengatasi ketegangan, frustrasi, dan konflik yang bertujuan untuk mendapatkan keharmonisan dan keselarasan antara tuntutan lingkungan dimana ia tinggal dengan tuntutan di dalam diri sendiri. Kegagalan dalam penyesuaian diri


(25)

remaja yang menjadi korban perceraian orangtua menyebabkan remaja kesulitan dalam menyesuaikan dirinya pada suatu kondisi yang baru. Hal ini menimbulkan kegelisahaan, sedih, marah dan konflik batin serta termanifestasi dalam perilakunya, seperti tidak dapat memusatkan perhatian dan kurang semangat (Ningrum, 2013).

Menurut Johnson dan Johnson (1991) salah satu faktor yang dapat membantu seseorang dalam melakukan penyesuaian diri adalah dukungan sosial. Dukungan sosial adalah suatu usaha pemberian bantuan kepada individu dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas kesehatan mental, meningkatkan rasa percaya diri, semangat atau dorongan, nasehat serta sebuah penerimaan. Sarafino & Smith (2011) menyatakan bahwa dukungan sosial tidak hanya mengacu terhadap tindakan yang dilakukan orang lain tetapi juga mengacu pada persepsi seseorang bahwa kenyamanan, kepedulian, dan bantuan yang tersedia dapat dirasakan dukungannya. Dukungan sosial akan dipersepsi positif apabila individu merasakan manfaat dukungan yang diterimanya. Sebaliknya, ketika individu mempersepsi secara negatif, dukungan yang diterimanya akan dirasa tidak bermanfaat dan tidak berarti sehingga individu merasa bahwa dirinya tidak dicintai, tidak dihargai, dan tidak diperhatikan.

Orangtua sebagai bagian dalam keluarga merupakan individu yang paling dekat dengan remaja dan salah satu sumber dukungan sosial bagi remaja dalam keluarga. Dukungan positif dari orangtua sangat membantu pada penyesuaian diri remaja (Ferreiro, Warren, dan Konanc dalam Rice & Dolgin,


(26)

2002). Sehingga remaja dapat berusaha menerima perceraian yang terjadi dan dapat menghadapi masalahnya secara positif. Menurut Smet (1994) dukungan sosial berperan untuk melindungi individu dari dampak negatif yang diakibatkan oleh stres. Individu dengan dukungan sosial yang tinggi merasakan dampak stres yang lebih rendah dikarenakan ada individu yang membantu mereka. Kurangnya dukungan sosial orangtua dapat membuat remaja dengan orangtua bercerai merasa kurang kasih sayang. Oleh sebab itu, tidak adanya dukungan sosial memiliki dampak buruk bagi remaja yang mengalami kasus perceraian.

Beberapa peneliti sebelumnya telah melakukan penelitian mengenai perceraian, namun terdapat kesenjangan antara hasil dari beberapa penelitian. Ahrons (2007) menyatakan bahwa mayoritas remaja yang berasal dari keluarga bercerai tidak memiliki masalah penyesuaian diri yang berarti dalam kehidupannya. Menurut Dunn et. al (2001) remaja tidak merasakan perubahan signifikan meskipun mereka mengalami keterpisahan dengan orangtuanya, karena mereka mendapatkan penjelasan atas terjadinya perceraian. Orangtua yang bercerai juga tetap memberikan bimbingan dan harapan kepada anak-anaknya dalam menghadapi masa depan yang lebih baik. Sikap orangtua tersebut akan membuat remaja dapat lebih menerima dan bersikap mandiri terhadap perceraian orangtuanya. Namun, kenyataannya kualitas pola asuh orangtua menurun dari awal hingga setelah perceraian sehingga menyebabkan orangtua kurang memberikan kasih sayang dan lebih otoriter terhadap anaknya (Rice & Dolgin, 2002).


(27)

Banyak remaja yang keluar dari perceraian sebagai individu yang cakap (Santrock, 2003). Sebagai contoh, remaja dalam keluarga yang bercerai tetapi konfliknya rendah, dapat berfungsi lebih baik daripada remaja dalam keluarga yang tidak bercerai tetapi konfliknya tinggi. Artinya, tidak semua remaja yang orangtuanya bercerai akan terpuruk, tetapi ada juga remaja yang tetap mampu menunjukkan prestasi dan lebih mandiri. Namun, Amato (2001) menyatakan bahwa remaja dari keluarga bercerai rata-rata lebih buruk dibandingkan remaja dari keluarga utuh. Mereka memiliki lebih banyak kesulitan di sekolah, lebih memiliki masalah perilaku, konsep diri yang negatif, lebih banyak masalah dengan teman sebaya, dan lebih sulit mendapatkan kebersamaan dengan orang tua.

Rice dan Dolgin (2002) mengungkapkan bahwa perceraian dapat menyelesaikan konflik yang berkepanjangan sehingga dapat membebaskan remaja dari interaksi negatif di antara orangtua. Senada dengan Amato (1994) yang menyatakan bahwa perceraian dapat memberikan kesempatan bagi remaja untuk mendapatkan kebahagiaan dan menyelamatkan mereka dari lingkungan keluarga yang disfungsional. Di sisi lain, Hughes (2009) mengatakan bahwa perceraian sering menyebabkan hilangnya komunikasi antara remaja dengan orangtua. Perceraian juga menuntut remaja untuk mampu melakukan penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi dalam hubungannya dengan teman sebaya dan anggota keluarga besarnya. Maka, remaja korban perceraian orangtua akan merasakan dampak negatif, baik bagi remaja itu sendiri maupun dalam relasi dengan lingkungan sekitarnya.


(28)

Terdapat penelitian terdahulu tentang dukungan sosial dan penyesuaian diri. Ermayanti & Abdullah (2007) yang meneliti tentang individu yang telah pensiun. Hasilnya adalah terdapat hubungan positif antara kedua variabel. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Kumalasari & Ahyani (2012) meneliti pada konteks anak di panti asuhan. Hasilnya juga terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan penyesuaian diri remaja di panti asuhan. Pada penelitian ini, peneliti lebih memfokuskan pada hubungan antara dukungan sosial orangtua dengan penyesuaian diri remaja dengan orangtua bercerai. Hal ini dikarenakan remaja dengan orangtua bercerai memiliki masalah penyesuaian diri dan membutuhkan dukungan sosial orangtua untuk mampu menghadapi masalah dan perceraian yang terjadi dalam keluarga.

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah diungkapkan dan adanya kesenjangan-kesenjangan hasil penelitian, mendorong peneliti untuk mencari tahu tentang hubungan antara dukungan sosial orangtua dengan penyesuaian diri pada remaja dengan orangtua bercerai.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian, yaitu : Apakah terdapat hubungan antara dukungan sosial orangtua dengan penyesuaian diri remaja dengan orangtua bercerai?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial orangtua dengan penyesuaian diri remaja dengan orangtua bercerai.


(29)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran dan memperkaya penelitian yang telah ada bagi ilmu psikologi, khususnya bagi Psikologi Perkembangan dan Psikologi Keluarga mengenai dukungan sosial orangtua dan penyesuaian diri remaja dengan orangtua bercerai. 2. Manfaat Praktis

Manfaat yang diharapkan penulis dalam penelitian ini, yaitu : 1. Bagi Orangtua

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai tingkat dukungan sosial orangtua yang diberikan kepada remaja yang mengalami perceraian orangtua serta memberikan informasi kepada orangtua tentang pentingnya dukungan sosial orangtua terhadap penyesuain diri remaja yang mengalami kasus perceraian.

2. Bagi Remaja

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai dukungan sosial orangtua sehinggga remaja khusunya remaja yang orangtuanya bercerai dapat memahami makna dari dukungan sosial orangtua yang diterima dan dirasakan mereka, agar penyesuaian diri mereka baik sehingga mereka mampu mengembangkan kepribadiannya secara optimal.


(30)

3. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat umum akan pentingnya dukungan sosial orangtua yang merupakan salah satu faktor penting bagi penyesuaian diri remaja yang orangtuanya bercerai.


(31)

10

BAB II DASAR TEORI

A. Dukungan Sosial

1. Definisi Dukungan Sosial Orangtua

Dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan, individu membutuhkan dukungan sosial. Menurut Uchino (dalam Sarafino & Smith, 2011), dukungan sosial adalah kenyamanan, kepedulian, penghargaan, maupun bantuan dalam bentuk lainnya yang diterima individu dari orang lain ataupun kelompok. Lebih lanjut dukungan sosial didefinisikan sebagai dukungan yang terdiri dari informasi atau nasehat verbal dan non-verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang diberikan oleh keakraban atau didapat karena kehadiran orang lain dan hal ini memiliki manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima (Gottlieb dalam Smet, 1994).

Menurut Cobb (dalam Smet, 1994) mengemukakan bahwa dukungan sosial mengacu pada persepsi akan kenyamanan, kepedulian, penghargaan atau bantuan yang diterima individu dari orang lain yang membuat individu merasa dirinya diurus dan disayangi. Hal tersebut senada dengan Sarafino & Smith (2011) yang menyatakan bahwa dukungan sosial tidak hanya mengacu terhadap tindakan yang dilakukan orang lain tetapi juga mengacu pada persepsi seseorang bahwa


(32)

kenyamanan, kepedulian, dan bantuan yang tersedia dapat dirasakan dukungannya.

Sarason (dalam Kumalasari, 2012) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan, menghargai dan menyayangi kita. Sementara, Ritter (dalam Smet, 1994) menyatakan bahwa dukungan sosial merupakan suatu bentuk bantuan yang mengacu pada bantuan emosional, instrumental, dan finansial yang diperoleh dari jaringan sosial seseorang.

Dukungan sosial dapat diperoleh dari siapapun, seperti dari pasangan, keluarga, teman-teman, atau komunitas suatu organisasi. Taylor (dalam Saputri & Indrawati, 2011) menjelaskan, dukungan sosial akan lebih berarti bagi seseorang apabila diberikan oleh orang-orang yang memiliki hubungan signifikan dengan individu yang bersangkutan, seperti halnya dukungan yang diperoleh dari orangtua, pasangan (suami atau istri), anak dan kerabat keluarga lainnya. Hal ini diperkuat oleh Rodin dan Salovey (dalam Smet, 1994) yang menyatakan bahwa dukungan sosial yang paling baik adalah dukungan yang didapatkan dari keluarga. Orangtua sebagai bagian dalam keluarga merupakan individu yang paling dekat dengan remaja dan salah satu sumber dukungan sosial bagi remaja dalam keluarga. Pada umumnya remaja masih tinggal dengan orangtua, maka peran orangtua sangat penting dalam membantu remaja untuk mengenali lingkungan sosialnya, memahami peran-peran yang dibebankan pada mereka, dan mampu menyesuaikan dirinya.


(33)

Dukungan orangtua merupakan sistem dukungan sosial yang terpenting di masa remaja. Remaja perlu dorongan untuk melihat apa yang terjadi di sekelilingnya, dan membutuhkan pertolongan agar mengerti apa yang terjadi di sekitarnya; remaja membutuhkan orang-orang untuk mencintainya, mendapatkan kasih sayang dan menunjukkan sasaran yang aman bagi kemarahan dan agresinya; remaja juga memerlukan bantuan untuk dapat diterima, dihargai, dibutuhkan sebagai anggota keluarga, termasuk orangtua (Goldstein, dkk dalam Maharani & Andayani, 2003). Sementara itu, Youniss dan Smollar (dalam Maharani & Andayani, 2003) mengatakan bahwa orangtua dianggap sebagai orang yang telah memahami kehidupan dan bagaimana menjalani kehidupan; sementara remaja sebagai pelengkap adalah orang yang baru belajar tentang kehidupan.

Berdasarkan beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial orangtua adalah bantuan atau dukungan yang diterima individu dari orangtua yang dapat berupa bantuan emosional, instrumental, dan finansial yang mampu membuat individu merasa nyaman, dihargai, dan dicintai, serta memiliki manfaat emosional atau efek perilaku bagi individu.

2. Sumber Dukungan Sosial

Dukungan sosial dapat diperoleh individu dari berbagai sumber dalam suatu jaringan sosial yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan. Menurut Sarafino & Smith (2011), dukungan sosial bisa berasal dari


(34)

berbagai sumber, seperti orang tua, teman, pacar, rekan kerja, dan organisasi komunitas. Berbeda dengan Kahn & Antonoucci (dalam Orford, 1992) membagi sumber-sumber dukungan sosial menjadi 3 kategori, yaitu: a. Sumber dukungan sosial yang berasal dari orang-orang yang selalu ada dalam kehidupannya, yang selalu bersama dengannya dan mendukungnya. Misalnya: keluarga dekat, pasangan (suami atau istri), atau teman dekat.

b. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sedikit berperan dalam hidupnya dan cenderung mengalami perubahan sesuai dengan waktu. Sumber dukungan ini meliputi teman kerja, sanak keluarga, dan teman sepergaulan.

c. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sangat jarang memberi dukungan namun memiliki peran bagi perubahan individu. Dukungan ini dapat bersumber dari guru ataupun keluarga jauh.

Berdasarkan beberapa teori di atas dapat disimpulkan bahwa sumber dukungan sosial dapat bersumber dari berbagai sumber, seperti orang tua, teman, pacar, rekan kerja, organisasi komunitas.

3. Aspek-aspek Dukungan Sosial

Menurut House (dalam Smet, 1994), ada empat aspek dukungan sosial yang dapat diberikan oleh individu yaitu:


(35)

a. Dukungan emosional

Dukungan ini melibatkan rasa empati, kepedulian, dan perhatian terhadap individu, sehingga individu tersebut merasa nyaman. Dukungan ini meliputi perilaku seperti memberikan perhatian dan afeksi serta bersedia mendengarkan keluh kesah orang lain. Dukungan emosional dapat memberikan rasa aman dan nyaman, perasaan dimiliki dan dicintai dalam situasi-situasi stres yang dirasakan. Indikator dukungan emosional, antara lain : merasakan empati dari orangtua, merasakan perhatian dari orangtua, merasakan kepedulian dari orangtua.

b. Dukungan penghargaan

Dukungan ini melibatkan ekspresi yang berupa pernyataan setuju dan penilaian positif terhadap ide-ide, perasaan dan performa orang

lain. Dukungan penghargaan terjadi ketika pendukung

mengekspresikan penghargaan positif, dorongan untuk maju, persetujuan atas gagasan atau perasaan individu, dan melakukan perbandingan positif, antara individu dengan orang lain. Indikator dukungan penghargaan, antara lain : penghargaan positif yang dirasakan dari orangtua, mendapatkan persetujuan terhadap ide dan pendapat, mendapatkan dorongan semangat dari orangtua.

c. Dukungan instrumental

Dukungan instrumental disebut juga sebagai dukungan pertolongan, dukungan nyata atau dukungan material. Dukungan ini


(36)

berupa bantuan langsung, misalnya berupa bantuan finansial atau bantuan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya saat berada dalam kondisi stres. Indikator dukungan instrumental, ialah mendapatkan bantuan langsung berupa tindakan dari orangtua dan mendapatkan bantuan langsung berupa material dan fasilitas dari orangtua.

d. Dukungan informasi

Dukungan informasi dapat berupa nasehat, saran, pengarahan, dan umpan balik tentang bagaimana cara memecahkan persoalan. Sehingga individu mampu mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah melalui pemberian saran, nasehat, sugesti ataupun umpan balik mengenai apa yang sebaiknya dilakukan. Indikator dari dukungan informasi, yaitu mendapatkan nasehat atau saran dari orangtua dan mendapatkan pengarahan atau petunjuk dari orangtua

Berdasarkan uraian di atas dukungan sosial dibedakan menjadi empat jenis, yaitu dukungan sosial emosional, penghargaan, instrumental, dan informasi.

4. Dampak Dukungan Sosial

Sarafino (1994) berpendapat bahwa akan ada banyak efek dari dukungan sosial karena dukungan sosial secara positif dapat memulihkan kondisi fisik dan psikis seseorang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Senada dengan Lieberman (dalam Lubis 2006) yang mengemukakan bahwa dukungan sosial dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian yang dapat mengakibatkan stress. Menurut Smet


(37)

(1994) dukungan sosial berperan untuk melindungi individu dari dampak negatif yang diakibatkan oleh stres. Individu dengan dukungan sosial yang tinggi merasakan dampak stres yang lebih rendah dikarenakan ada individu yang membantu mereka. Dalam Sarafino dan Smith (2011) dikatakan bahwa dukungan sosial yang tinggi pada individu dapat membuat individu memiliki pengalaman hidup yang lebih baik, harga diri yang lebih tinggi, serta memiliki pandangan yang lebih positif terhadap kehidupan dibandingkan individu dengan dukungan sosial yang rendah. Sebaliknya, dukungan sosial yang rendah berhubungan dengan locus of

control yang eksternal, ketidakpuasan hidup dan adanya

hambatan-hambatan dalam melakukan tugas-tugas dan pekerjaan sehari-hari.

Tidak hanya memberikan dampak positif dalam mempengaruhi kejadian dan efek stres. Dalam Sarafino dan Smith (2011) disebutkan beberapa contoh dampak negatif yang timbul dari dukungan sosial, antara lain :

a. Dukungan yang tersedia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu. Hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak cukup, individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secara emosional sehingga tidak memperhatikan dukungan yang diberikan. b. Dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan

individu.

c. Sumber dukungan memberikan contoh buruk pada individu, seperti melakukan atau menyarankan perilaku tidak sehat.


(38)

d. Terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu yang diinginkannya. Keadaan tersebut dapat menyebabkan individu menjadi tergantung pada orang lain.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dampak dari adanya dukungan sosial ialah dapat membuat individu memiliki pengalaman hidup yang lebih baik, harga diri yang lebih tinggi, serta memiliki pandangan yang lebih positif terhadap kehidupan.

B. Penyesuaian Diri

1. Definisi Penyesuaian Diri

Schneider (dalam Indrawati & Fauziah, 2012) mengatakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses ketika individu berusaha untuk mengatasi atau menguasai kebutuhan dalam diri, ketegangan, frustrasi, dan konflik, dengan tujuan untuk mendapatkan keharmonisan dan keselarasan antara tuntutan lingkungan dimana ia tinggal dengan tuntutan di dalam diri sendiri. Sedangkan, Calhoun dan Acocella (1995) menyatakan bahwa penyesuaian diri adalah interaksi individu yang terus-menerus dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan dengan lingkungan sekitar tempat individu hidup.

Penyesuaian diri diartikan sebagai penguasaan, yaitu memiliki kemampuan untuk membuat rencana dan mengorganisasi respon-respon sedemikian rupa, sehingga bisa mengatasi segala macam konflik, kesulitan dan frustrasi-frustrasi secara efisien (Sunarto & Hartono dalam Kumalasari dan Ahyani, 2012). Tidak jauh berbeda dengan Kartono (dalam


(39)

Kumalasari dan Ahyani, 2012) yang menyatakan bahwa penyesuaian diri adalah usaha manusia untuk mencapai keharmonisan pada diri sendiri dan pada lingkungan, sehingga rasa permusuhan, dengki, iri hati, prasangka, depresi, kemarahan dan lain-lain emosi negatif sebagai respon pribadi yang tidak sesuai dan kurang efisien bisa dihilangkan.

Runyon dan Haber (dalam Ningrum, 2013) menjelaskan bahwa penyesuaian diri merupakan proses yang terus berlangsung dalam kehidupan individu. Situasi dalam kehidupan selalu berubah, individu mengubah tujuan dalam hidupnya seiring dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya. Sedangkan, menurut Fatimah (2006) penyesuaian diri diartikan sebagai suatu proses alamiah dan dinamis yang bertujuan mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang selaras dengan kondisi lingkungannya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah kemampuan individu dalam menghadapi perubahan yang terjadi dalam hidupnya untuk mendapatkan keharmonisan dan keselarasan antara tuntutan lingkungan dimana ia tinggal dengan tuntutan di dalam diri sendiri.

2. Faktor Yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri

Menurut Schneiders (dalam Ermayanti & Abdullah, 2007) faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah :


(40)

a. Keadaan fisik

Keadaan sistem-sistem tubuh yang baik dan kondisi fisik yang baik merupakan faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri. Kualitas penyesuaian diri yang baik dapat dicapai dalam kondisi jasmani yang juga baik. Seperti halnya individu yang mengalami cacat fisik maupun penyakit kronis akan melatarbelakangi adanya hambatan pada individu dalam melaksanakan penyesuaian diri karena dapat menimbulkan kurangnya kepercayaan diri, perasaan rendah diri, rasa ketergantungan, perasaan ingin dikasihi dan sebagainya.

b. Perkembangan dan kematangan

Bentuk-bentuk penyesuaian diri individu berbeda pada setiap tahap perkembangan. Sejalan dengan perkembangannya, individu akan menjadi lebih matang dalam merespon lingkungan. Kematangan individu dalam segi intelektual, sosial, moral, dan emosi mempengaruhi bagaimana individu melakukan penyesuaian diri. c. Keadaan psikologis

Frustrasi, kecemasan, faktor pengalaman, hasil belajar aktualisasi diri, dan konflik yang dialami individu dapat mempengaruhi penyesuaian diri. Keadaan mental yang baik akan mendorong individu untuk memberikan respon yang selaras dengan dorongan internal maupun tuntutan lingkungannya. Variabel yang termasuk dalam keadaan psikologis di antaranya adalah pengalaman, pendidikan, konsep diri, dan keyakinan diri.


(41)

d. Keadaan lingkungan

Keadaan lingkungan yang dimaksud meliputi lingkungan keluarga sekolah, dan rumah. Lingkungan merupakan sumber dukungan sosial yang akan mempengaruhi individu untuk menyesuaikan diri (Johnson dan Johnson, 1991). Keadaan lingkungan yang baik, damai, tentram, aman, penuh penerimaan dan pengertian, serta mampu memberikan perlindungan kepada anggota-anggotanya merupakan lingkungan yang akan memperlancar proses penyesuaian diri. Sebaliknya apabila individu tinggal di lingkungan yang tidak tentram, tidak damai, dan tidak aman, maka individu tersebut akan mengalami gangguan dalam melakukan proses penyesuaian diri. Lingkungan tersebut berpengaruh dalam pembentukan minat, keyakinan, sikap dan nilai-nilai yang menjadi dasar penyesuaian diri yang baik. Dari beberapa keadaan lingkungan, keadaan keluarga memegang peranan penting pada individu dalam melakukan penyesuaian diri. Penerimaan orangtua terhadap remaja dapat memberikan penghargaan, rasa aman, kepercayaan diri, afeksi pada remaja yang mendukung penyesuaian diri dan stabilitas mental. Sebaliknya, penolakan orangtua menimbulkan permusuhan dan kenakalan remaja. Identifikasi anak pada orang tua juga mempengaruhi penyesuaian diri.

e. Tingkat religiusitas dan kebudayaan

Religiusitas memberi nilai dan keyakinan sehingga individu memiliki arti, tujuan, dan stabilitas hidup yang diperlukan untuk menghadapi


(42)

tuntutan dan perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Selain itu, kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan suatu faktor yang membentuk watak dan tingkah laku individu untuk menyesuaikan diri dengan baik atau justru membentuk individu yang sulit menyesuaikan diri.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri, antara lain keadaan fisik, perkembangan dan kematangan, keadaan psikologis, keadaan lingkungan, serta tingkat religiusitas dan kebudayaan. Dalam penelitian ini, peneliti berfokus pada faktor penyesuaian diri yang berupa keadaan lingkungan. Hal ini dikarenakan lingkungan merupakan sumber dukungan sosial bagi individu.

3. Aspek-aspek Penyesuaian Diri

Penyesuaian diri akan tetap berlangsung dalam diri individu dan lingkungan. Menurut Schneiders (dalam Indrawati & Fauziah, 2012) penyesuaian diri memiliki beberapa aspek sebagai berikut:

a. Kontrol emosi

Individu memiliki kontrol dan ketenangan emosi ketika menghadapi situasi dan permasalahan tertentu, serta mampu menentukan berbagai pemecahan masalah ketika muncul hambatan. Indikator dari kontrol emosi, diantaranya adalah : mampu mengontrol emosi, mampu mengekspresikan emosi dengan baik, mampu menenangkan diri, mengatasi dorongan emosi dalam bentuk penyaluran emosi dengan


(43)

melakukan kegiatan positif, serta mampu mempertahankan sikap positif realistis terutama dalam menghadapi masalah.

b. Tidak adanya mekanisme pertahanan diri

Individu melakukan pendekatan terhadap permasalahan lebih mengindikasikan respon yang normal dibandingkan penyelesaian masalah melalui mekanisme pertahanan diri yang disertai tindakan nyata untuk mengubah suatu kondisi. Misalnya, individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik jika mengalami suatu kegagalan, individu akan mengakui kegagalannya dan akan berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Individu dikategorikan normal jika bersedia mengakui kegagalan yang dialami dan berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Individu dikatakan mengalami gangguan penyesuaian jika individu mengalami kegagalan dan menyatakan bahwa tujuan tersebut tidak berharga untuk dicapai. Indikator tidak adanya mekanisme pertahanan diri, yaitu mampu menerima realita tanpa adanya penyangkalan dan mengakui kegagalan yang dialami dan berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.

c. Kemampuan belajar

Individu dengan penyesuaian diri yang baik dapat dilihat dari kemampuannya belajar untuk mengatasi situasi, konflik, dan stres secara berkesinambungan. Indikator dari kemampuan belajar ialah


(44)

mampu mempelajari situasi, konfik, dan stres secara berkesinambungan.

d. Sikap realistik dan objektif

Sikap yang realistik dan objektif bersumber pada pemikiran yang rasional, kemampuan menilai situasi, masalah dan keterbatasan individu sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Individu mampu menerima keadaan dirinya dan keterbatasan yang dimiliki serta mampu mengahadapi kenyataan baik diri sendiri maupun lingkungannya. Indikator sikap realistik dan objektif ialah mengenali dan menerima diri apa adanya, serta bersikap terbuka dan menerima umpan balik. e. Tidak adanya frustrasi personal

Frustrasi dapat menimbulkan kesulitan dalam merespon secara normal terhadap suatu permasalahan atau situasi. Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik akan mampu mengorganisasikan pikiran, perasaan, motivasi, dan tingkah laku untuk menghadapi situasi dan kondisi yang membutuhkan penyelesaian sehingga individu tidak mengalami frustrasi. Indikator tidak adanya frustrasi personal ialah mampu mengorganisasikan pikiran, perasaan, motivasi, dan tingkah laku untuk menghadapi situasi dan kondisi dan perasaan nyaman. f. Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri

Individu dalam kondisi sulit tetap mampu menyesuaiakan diri secara normal dengan menunjukkan kemampuan berpikir, melakukan pertimbangan terhadap masalah atau konflik, dan mengorganisasikan


(45)

pikiran, tingkah laku, serta perasaan untuk pemecahan masalah. Indikator pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri, yaitu memiliki kemampuan berpikir dalam mempertimbangkan masalah.

g. Memanfaatkan pengalaman masa lalu

Individu mampu menggunakan pengalaman masa lalu sebagai usaha dalam menghadapi masalah. Pengalaman masa lalu bisa didapat dari diri sendiri maupun orang lain. Oleh sebab itu, individu mampu belajar dari pengalaman dirinya maupun dari pengalaman orang lain. Individu dapat melakukan analisis mengenai faktor-faktor apa saja yang membantu dan mengganggu penyesuaiannya. Indikator memanfaatkan pengalaman masa lalu adalah mampu belajar dari pengalaman diri sendiri dan pengalaman orang lain.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bawa aspek penyesuaian diri yang baik, antara lain : kontrol emosi, tidak adanya mekanisme pertahanan diri, kemampuan belajar, sikap realistik dan objektif, tidak adanya frustrasi personal, pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri, serta memanfaatkan pengalaman masa lalu.

4. Bentuk-bentuk Penyesuaian Diri

Menurut Fatimah (2006) penyesuaian diri dibedakan menjadi dua, yaitu:


(46)

Individu yang memiliki penyesuaian diri yang positif ialah individu yang mampu mengarahkan dan mengatur dorongan-dorongan dalam pikiran, kebiasaan, emosi, serta sikap dan perilaku dalam menghadapi tuntutan dirinya dan masyarakat, mampu menemukan manfaat dari situasi baru dan memenuhi segala kebutuhan secara sempurna dan wajar.

b. Penyesuaian diri yang negatif

Individu dengan penyesuaian diri yang negatif adalah individu yang tidak mampu mengarahkan dan mengatur dorongan-dorongan dalam pikiran, kebiasaan, emosi, sikap dan perilaku dalam menghadapi tuntutan dirinya dan masyarakat, serta tidak mampu menemukan manfaat dari situasi baru dalam memenuhi segala kebutuhan secara sempurna dan wajar.

C. Remaja

1. Definisi Remaja

Remaja yang dalam bahasa Inggris disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin adolescere yang berarti tumbuh ke arah kematangan (Muss dalam Sarwono, 1989). Menurut Sarwono (1989) kematangan yang dimaksud tidak hanya kematangan fisik, tetapi juga kematangan sosial, dan psikis. Masa remaja juga sering diartikan sebagai masa perkembangan yang merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Senada dengan Gunarsa dan Gunarsa (1989) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa,


(47)

yang meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa.

Santrock (2007) menyatakan bahwa masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Umumnya masa remaja dimulai pada usia 10 tahun sampai 13 tahun dan berakhir pada usia akhir 18 tahun hingga 22 tahun. Selain itu, Steinberg (2002) mendefinisikan remaja sebagai masa pertumbuhan dari ketidakmatangan pada usia anak-anak menuju kematangan pada usia dewasa. Remaja dibagi kedalam tiga rentang usia, yaitu remaja awal (usia 10 tahun sampai usia 13 tahun), remaja pertengahan (usia 14 tahun sampai usia 18 tahun), dan remaja akhir (usia 19 tahun sampai usia 22 tahun). (Arnett, 2000; Kagan & Coles, 1972; Keniston, 1970; Lipsitz, 1977, dalam Steinberg, 2002).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang memiliki rentang usia 12 hingga 22 tahun, serta mengalami perkembangan fisik, psikis, dan sosial.

2. Ciri-ciri Masa Remaja

Menurut Hurlock (1999), masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya yaitu : 1. Masa remaja sebagai periode yang penting


(48)

Remaja mengalami perkembangan fisik dan mental yang cepat dan penting yang semua perkembangannya memerlukan penyesuaian mental, pembentukan sikap, nilai, dan minat baru.

2. Masa remaja sebagai periode peralihan

Peralihan yang dimaksud ialah perpindahan dari satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya. Artinya apa yang telah terjadi akan meninggalkan jejak pada apa yang terjadi saat ini dan yang akan datang, dan hal tersebut akan mempengaruhi pola perilaku dan sikap yang baru pada tahap berikutnya.

3. Masa remaja sebagai periode perubahan

Perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik.

4. Masa remaja sebagai usia bermasalah

Masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Terdapat dua alasan terjadinya kesulitan tersebut, yaitu :

a. Sepanjang masa kanak-kanak, sebagian besar masalah mereka diselesaikan oleh orangtua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah.

b. Remaja merasa mandiri sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri dan menolak bantuan dari orangtua ataupun guru-guru.


(49)

Pencarian identitas dimulai pada akhir masa kanak-kanak, penyesuaian diri dengan standar kelompok lebih penting daripada bersikap individualistis. Penyesuaian diri dengan kelompok remaja awal masih tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan, namun lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri atau ingin menjadi pribadi yang berbeda dari orang lain.

6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Adanya keyakinan bahwa remaja adalah individu yang tidak rapi, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja yang takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal. Adanya keyakinan bahwa orang dewasa mempunyai pandangan yang buruk tentang remaja, membuat peralihan kedewasa menjadi sulit.

7. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Semakin mendekatnya usia kematangan, remaja mulai meberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Remaja mulai memutuskan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perbuatan seks. Remaja menganggap bahwa perilaku tersebut akan memberi citra yang mereka inginkan.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulakan ciri-ciri remaja adalah : sebagai periode yang penting, periode peralihan, periode


(50)

perubahan, usia bermasalah, mencari identitas, usia yang menimbulkan ketakutan, dan ambang dewasa.

3. Tugas Perkembangan Remaja

Tugas perkembangan remaja menurut Havighurst (dalam Gunarsa & Gunarsa, 1989) adalah sebagai berikut :

a. Menjalin hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya, baik laki-laki maupun perempuan

b. Mampu berperan secara sosial sesuai dengan peran jenisnya

c. Menerima kondisi fisiknya dan dapat menggunakannya secara efektif d. Mampu mandiri secara emosional

e. Memilih dan mempersiapkan suatu pekerjaan f. Mempersiapkan diri dalam pembentukan keluarga

g. Melakukan tanggung jawab sosial terhadap komunitasnya

h. Memiliki serangkaian nilai dan etika sebagai pembentuk perilaku Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan tugas perkembangan remaja, antara lain : menjalin hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya, baik laki-laki maupun perempuan, mampu berperan secara sosial sesuai dengan peran jenisnya, menerima kondisi fisiknya dan dapat menggunakannya secara efektif, mampu mandiri secara emosional, memilih dan mempersiapkan suatu pekerjaan, mempersiapkan diri dalam pembentukan keluarga, melakukan tanggung jawab sosial terhadap komunitasnya, dan memiliki serangkaian nilai dan etika sebagai pembentuk perilaku.


(51)

4. Perkembangan Psikososial Remaja

Menurut Erikson (dalam King, 2010) individu saat mencapai masa remaja berada dalam masa pencarian identitas diri. Pada masa remaja, remaja akan menghadapi identity versus identity confusion yang merupakan tahap perkembangan psikososial. Dalam mencari identitas, remaja menghadapi tantangan untuk menemukan menemukan siapa dirinya, apa perannya dalam masyarakat, apakah nantinya ia akan berhasil atau gagal yang pada akhirnya menuntut seorang remaja untuk melakukan penyesuaian mental, dan menentukan peran, sikap, nilai, serta minat yang dimilikinya. Namun, apabila mereka tidak mencari identitas mereka dengan baik pada tahapan ini, maka mereka akan mengalami kebingungan mengenai siapa mereka.

Sedangkan, Steinberg (2002) menjelaskan bahwa ada lima perkembangan psikososial terpenting selama masa remaja, yaitu

a. Identity

Ketika remaja, terjadi berbagai macam perubahan penting pada identitas dirinya. Remaja mulai mempertanyakan siapa sebenarnya dirinya dan apa tujuan hidupnya. Pencarian remaja mengenai identitas dirinya tidak hanya untuk dirinya secara personal, namun juga untuk diakui oleh orang lain, terutama diakui komunitas remaja tersebut. b. Autonomy

Remaja berusaha untuk membangun kemandirian pada dirinya sendiri sesuai dengan sudut pandang mereka dan apa yang orang lain pikirkan


(52)

terhadap dirinya. Proses ini membutuhkan waktu yang lama, tidak hanya bagi remaja, namun juga bagi orang-orang disekitarnya. Remaja mulai lebih mandiri dari orang tua mereka secara emosional, mulai dapat menentukan keputusannya sendiri, dan mulai membangun nilai-nilai dan moral personal.

c. Intimacy

Selama individu pada tahap remaja, perubahan penting terjadi pada kemampuan individu dalam menjalin hubungan dekat dengan orang lain, terutama pada kelompoknya. Selain hubungan pertemanan yang melibatkan keterbukaan, kepercayaan, dan kesetiaan remaja juga akan mengalami peningkatan dalam hubungan dengan lawan jenis yang melibatkan rasa kasih sayang dan kepercayaan. Pada masa ini remaja memperluas lingkaran kepercayaan mereka. Secara umum, jenis baru dari hubungan ditambahkan ke dunia sosial remaja tanpa mengganti yang sebelumnya. Pada masa remaja, jaringan keintiman melebar untuk menyertakan teman sebaya sebagai anggota keluarga.

d. Sexuality

Umumnya aktivitas seksual dimulai pada hubungan remaja dengan kelompoknya dan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul pada diri seorang remaja.

e. Achievement

Banyak keputusan penting yang dibuat semasa remaja memiliki


(53)

bergantung pada pencapaian remaja di sekolah, evaluasi terhadap kemampuan diri sendiri, dan harapan mereka mengenai masa depan yang didukung oleh saran dan arahan dari keluarga dan teman-temannya.

Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan psikososial remaja, antara lain ialah remaja berada dalam masa pencarian identitas diri, remaja mulai lebih mandiri, membangun keintiman yang lebih luas, adanya aktivitas seksual, serta mulai berpikir mengenai masa depan.

D. Perceraian

1. Definisi Perceraian

Perceraian merupakan perpisahan hidup antara sepasang suami istri sebagai akibat dari kegagalan mereka dalam menhjalankan peran masing-masing. Menurut Dariyo (2003), perceraian merupakan titik puncak dari pengumpulan berbagai permasalahan yang menumpuk beberapa waktu sebelumnya dan jalan terakhir yang harus ditempuh ketika hubungan perkawinan itu sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu kestabilan perkawinan ketika pasangan suami istri kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku (Erna dalam Karina, 2014). Di sisi lain, Goode (1991) mendefinisikan perceraian sebagai terputusnya pertalian keluarga yang disebabkan karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan


(54)

untuk saling meninggalkan dan dengan demikian berhenti melaksanakan kewajiban perannya.

Hurlock (1999) menyatakan bahwa perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk dan terjadi bila antara suami istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Menurut UU perkawinan (dalam Karina, 2014), perceraian adalah perpisahan antara suami istri yang terjadi terjadi apabila kedua belah pihak baik suami maupun istri sudah sama-sama merasakan ketidakcocokan dalam menjalani rumah tangga.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa perceraian merupakan puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk dan terjadi bila antara suami istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku.

2. Dampak Perceraian

Menurut Dariyo (2003), perceraian baik disadari maupun tidak disadari akan membawa dampak negatif. Dampak yang dirasakan akibat perceraian tersebut diantaranya :

a. Traumatis pada salah satu pasangan hidup individu

Perceraian akan menimbulkan kesedihan, kekecewaan, frustrasi, tidak nyaman, tidak tentram, dan khawatir dalam diri sebab sebelumnya telah berupaya dalam menjalankan kehidupan pernikahan namun harus berakhir dalam perceraian.


(55)

b. Traumatis pada anak

Anak-anak yang ditinggalkan orang tua yang bercerai juga memiliki pandangan negatif terhadap pernikahan, mereka akan merasa takut mencari pasangan hidupnya, sebab merasa khawatir jika perceraian juga terjadi pada dirinya.

c. Ketidakstabilan kehidupan dalam pekerjaan

Setelah bercerai, individu merasakan dampak psikologis yang tidak stabil. Ketidakstabilan psikologis ditandai oleh perasaan tidak nyaman, gelisah, takut, khawatir, dan marah. Beberapa kondisi psikologis dapat berakibat pada fisiologis individu mereka tidak dapat tidur dan tidak dapat berkosentrasi dalam bekerja sehingga menggagu kehidupan kerjanya.

Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perceraian memiliki dampak tidak hanya bagi pasangan suami istri saja melainkan juga memiliki dampak terhadap anak.

E. Pengertian Remaja Dengan Orangtua Bercerai

Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi remaja sebagai tempat untuk membimbing remaja serta memenuhi kebutuhan hidup baik kebutuhan fisik maupuk psikis. Oleh sebab itu, orangtua harus dapat memberikan suasana keluarga yang harmonis sehingga anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Namun, banyak kasus keluarga yang tidak dapat memberikan suasana harmonis kepada anaknya, salah satu contohnya ialah peristiwa perceraian.


(56)

Peristiwa perceraian akan mengubah struktur keluarga serta membawa dampak yang cukup mendalam bagi semua anggota keluarga, tidak terkecuali orangtua sebagai pelaku perceraian dan anak terutama remaja. Remaja merupakan masa transisi atau masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang disebut juga sebagai masa krisis karena terjadi proses pembentukan jati diri. Pada masa peralihan ini status individu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Masa remaja juga merupakan periode yang penting sebab terjadi perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai cepatnya perkembangan mental terutama di awal masa remaja dan semua perkembangan tersebut memerlukan penyesuaian mental dan perlunya pembentukan sikap, nilai dan minat baru (Hurlock, 1999). Kebanyakan perpisahan atau perceraian orangtua merupakan masalah perasaan yang berat, yang menyebabkan konflik pada remaja.

Konflik yang terjadi saat perceraian orangtua pada remaja menunjukkan masalah penyesuaian dibandingkan pada remaja dengan keluarga utuh (Santrock, 2003). Remaja yang berada dalam satu keluarga yang orangtuanya bercerai umumnya identik dengan masalah perilaku karena mereka kurang mendapat dukungan seperti kurangnya perhatian orangtua terhadap aktivitas remaja, kurangnya penerapan disiplin yang efektif, serta kurangnya kasih sayang orangtua. Hal tersebut senada dengan Santrock (2003), kebanyakan remaja mengalami stres yang cukup besar ketika orangtua mereka bercerai dan menghadapi risiko masalah perilaku.


(57)

Perceraian merupakan kejadian negatif yang menstimulasi ketidakamanan, kebingungan, dan emosi yang menyakitkan. Perceraian memiliki dampak jangka pendek maupan jangka panjang terhadap remaja (Rice & Dolgin, 2002). Reaksi emosional jangka pendek pada remaja akibat perceraian orangtua antara lain :

a. Remaja merasa terkejut dan tidak percaya karena tidak menyadari permasalahan dalam keluarganya

b. Remaja merasa takut, cemas, dan tidak aman terhadap masa depannya akibat perpisahan orangtuanya

c. Remaja merasa marah dan benci terhadap orangtuanya karena menyalahkan perceraian yang terjadi

d. Remaja akan menyalahkan dirinya sendiri karena mereka merasa ikut bertanggungjawab atas perceraian yang terjadi pada orangtuanya

e. Remaja akan merasa bingung akan perceraian yang terjadi pada orangtuanya dan mereka mencoba untuk menyembunyikan fakta dari teman-temannya

f. Remaja akan merasa cemburu dan marah apabila orangtuanya memulai menjalin hubungan kembali dengan orang lain. Hal ini karena mereka merasa harus berbagi orangtuanya dengan orang lain.

Selain efek jangka pendek, perceraian juga memiliki efek jangka panjang terhadap remaja. Anak remaja yang orangtuanya bercerai telah menyaksikan perkelahian orangtuanya akan memiliki trauma dan sikap pesimis mengenai kehidupan pernikahannya pada masa dewasa nantinya sebab mereka merasa


(58)

khawatir jika perceraian juga terjadi pada dirinya. Oleh sebab itu, remaja yang orangtuanya bercerai tak jarang kurang mempercayai pasangan mereka bila dibandingkan mereka yang berasal dari keluarga utuh. Menurut Hetherington (2003) perceraian orangtua memiliki resiko yang besar dalam masalah penyesuaian bagi remaja khususnya masalah eksternal seperti agresi, masalah perilaku antisosial dan kenakalan. Selain itu, juga menimbulkan masalah internalisasi seperti depresi, kecemasan, harga diri, dan rendahnya tingkat prestasi akademik.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja dengan orangtua bercerai adalah remaja yang memiliki struktur keluarga yang tidak lengkap dikarenakan perceraian orangtuanya. Hal ini menyebabkan masalah dan konflik pada remaja terutama pada penyesuaian.

F. Hubungan Antara Dukungan Sosial Orangtua Dengan Penyesuaian Diri Remaja Dengan Orangtua Bercerai

Peristiwa perceraian merupakan suatu peristiwa dalam keluarga yang akan membawa dampak yang cukup mendalam bagi semua anggota keluarga, tidak terkecuali orangtua sebagai pelaku perceraian dan anak terutama remaja. Remaja dengan orangtua bercerai akan rentan terhadap masalah dan konflik karena hal tersebut merupakan masalah berat bagi remaja. Hal tersebut juga menyebabkan remaja harus beradaptasi dan berinteraksi terhadap lingkungan yang baru karena remaja dengan orangtua bercerai harus berhadapan dengan kenyataan dan perubahan yang terjadi dalam keluarganya. Sehingga remaja


(59)

dengan orangtua bercerai harus melakukan penyesuaian diri dengan dirinya dan dengan lingkungan sosialnya.

Penyesuaian diri merupakan proses yang melibatkan respon mental dan perubahan perilaku dalam menghadapi konflik yang bertujuan untuk mengatasi tekanan, frustrasi, dan konflik hingga mencapai keseimbangan antara kebutuhan diri sendiri dan tuntutan lingkungan (Schneiders, dalam Indrawati & Fauziah, 2012). Dalam hal ini terjadi proses belajar, memahami, dan menentukan tindakan dalam mencari jalan keluar dalam mengatasi suatu permasalahan.

Penyesuaian diri antara lain dipengaruhi oleh keadaan fisik, perkembangan dan kematangan, keadaan psikologis, keadaan lingkungan, tingkat religiusitas dan kebudayaan. Munculnya stres dan masalah perilaku pada remaja dengan orangtua bercerai disebabkan keadaan lingkungan keluarga yang tidak baik. Keadaan lingkungan yang baik, damai, tentram, aman, penuh penerimaan dan pengertian, serta mampu memberikan perlindungan kepada anggota-anggotanya, akan memperlancar proses penyesuaian diri. Oleh karena itu, adanya hubungan dengan orang lain yang mengandung rasa saling percaya, mengasihi, dan menghargai membuat individu merasa aman, tenang, dan bisa melakukan penyesuaian diri yang baik. Hubungan antar pribadi yang saling membantu dan menolong terdapat dalam dukungan sosial.

Dukungan sosial adalah kenyamanan, kepedulian, penghargaan, ataupun bantuan yang diterima individu dari orang lain ataupun kelompok (Uchino dalam Sarafino & Smith, 2011). Dukungan sosial dapat bersumber dari orang


(60)

tua, teman, pacar, rekan kerja, dan komunitas. Rodin dan Salovey (dalam Smet, 1994) menyatakan bahwa dukungan sosial yang paling baik adalah dukungan yang didapatkan dari keluarga. Orangtua sebagai bagian dalam keluarga merupakan individu yang paling dekat dengan remaja dan salah satu sumber dukungan sosial bagi remaja dalam keluarga. Dukungan sosial orangtua akan dapat melindungi remaja dari stres akibat tekanan-tekanan permasalahan yang terjadi.

Di sisi lain, ketidakhadiran dukungan sosial dapat menimbulkan perasaan cemas, depresi, ketidakpuasan hidup, dan dapat mengganggu proses penyesuaian diri. Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik ditandai dengan kemampuan mengontrol emosi. Hal ini dipengaruhi oleh kehadiran dukungan sosial yang melibatkan rasa empati, kepedulian, dan perhatian terhadap individu, sehingga individu tersebut merasa nyaman dan dapat merespon masalah dengan ketenangan dan kontrol emosi yang baik. Dalam hal ini dukungan sosial yang diberikan adalah dukungan emosional.

Aspek lainnya ialah tidak adanya mekanisme pertahanan diri dalam diri individu yang mempengaruhi keberhasilan individu dalam menyesuaikan diri. Hal ini dapat dipengaruhi apabila individu memperoleh dukungan informasi berupa nasehat dan pengarahan sehingga individu mampu mengatasi masalah yang dihadapi. Hal tersebut juga membuat individu bersedia mengakui kegagalan yang dialami tanpa ada penyangkalan dan berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.


(61)

Selain itu, penyesuaian diri yang baik ditandai oleh kemampuan individu untuk belajar. Kemampuan belajar yang dimaksud ialah kemampuan individu belajar dalam memecahkan masalah yang penuh konflik. Hal tersebut dapat terjadi apabila individu mendapatkan dukungan informasi berupa nasehat, saran, pengarahan, dan umpan balik tentang bagaimana cara memecahkan masalah. Sehingga individu mampu memliki kemampuan belajar untuk mengatasi situasi, konflik, dan stres secara berkesinambungan.

Aspek lainnya yang menandakan bahwa individu memiliki penyesuaian diri yang baik ialah memiliki sikap realistik dan objektif. Sikap yang realistik dan objektif bersumber pada pemikiran yang rasional, kemampuan menilai situasi, masalah dan keterbatasan individu sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Hal tersebut dapat lebih mudah terjadi jika individu memperoleh dukungan sosial yang diperoleh dari orang yang terdekat dengan individu. Dalam hal ini dukungan yang diberikan dapat berupa dukungan penghargaan yang melibatkan ekspresi berupa penghargaan positif, dorongan untuk maju, persetujuan atas gagasan atau perasaan individu, dan melakukan perbandingan positif, antara individu dengan orang lain. Hal tersebut membantu individu

dalam menilai dan mempertegas keyakinan-keyakinan dengan

membandingkan pendapat, sifat, dan keyakinan orang lain sehingga dapat lebih memahami dirinya.

Selain itu, aspek ketiadaan frustrasi personal juga menandai penyesuaian diri yang baik. Frustrasi dapat menimbulkan kesulitan dalam merespon secara normal terhadap suatu permasalahan atau situasi. Individu yang memiliki


(62)

penyesuaian diri yang baik akan mampu mengorganisasikan pikiran, perasaan, motivasi, dan tingkah laku untuk menghadapi situasi dan kondisi yang membutuhkan penyelesaian sehingga individu tidak mengalami frustrasi. Hal ini dapat dengan mudah terjadi karena individu memperoleh dukungan sosial dari orang-orang terdekatnya. Dukungan sosial yang diberikan dapat berupa dukungan emosional yang melibatkan rasa empati, kepedulian, dan perhatian terhadap individu, sehingga individu tersebut merasa nyaman. Selain itu, dukungan penghargaan yang berupa penghargaan positif dan dorongan untuk maju. Dukungan informasipun juga mempengaruhi ketiadaan frustrasi personal. Dukungan ini dapat berupa nasehat, saran, pengarahan, dan umpan balik tentang bagaimana cara memecahkan persoalan. Kehadiran dukungan sosial tersebut, membuat individu mampu meredam perasaan frustrasi dan menjadikan individu dapat bereaksi secara normal terhadap situasi atau masalah sehingga mampu melakukan penyesuaian diri dengan baik.

Aspek yang juga menandai penyesuaian diri yang baik ialah pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri. Dalam hal ini individu dalam kondisi sulit tetap mampu menyesuaikan diri secara normal dengan menunjukkan kemampuan berpikir dan melakukan pertimbangan terhadap masalah atau konflik. Pada posisi ini individu membutuhkan dukungan informasi berupa nasehat, saran, pengarahan, dan umpan balik tentang bagaimana cara memecahkan persoalan yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menyelesaikan masalah.


(63)

Mampu memanfaatkan pengalaman masa lalu juga merupakan aspek penyesuaian diri yang baik. individu dikatakan mampu menyesuaikan diri dengan baik apabila individu mampu menggunakan pengalaman masa lalu sebagai usaha dalam menghadapi masalah. Pengalaman masa lalu bisa didapat dari diri sendiri maupun orang lain. Hal ini dapat terjadi jika individu mendapatkan dukungan informasi berupa nasehat, saran, pengarahan, dan umpan balik tentang bagaimana cara memecahkan masalah. Sehingga individu dapat melakukan analisis mengenai faktor-faktor apa saja yang membantu dan mengganggu penyesuaiannya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa remaja dengan orangtua bercerai jika mendapatkan dukungan sosial akan lebih mudah untuk melakukan penyesuaian diri. Hal tersebut karena dukungan sosial terutama dukungan sosial orangtua dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian yang dapat mengakibatkan stress, mampu memberikan motivasi, dan dapat membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi sehingga membantu individu dalam penyesuaian diri.


(64)

G. Bagan Dinamika

Remaja dengan orangtua bercerai rentan terhadap masalah dan konflik

Dukungan sosial orangtua tinggi Dukungan sosial orangtua rendah

- Tidak mampu mengontrol emosi - Merespon masalah secara buruk dan

adanya penyangkalan

- Tidak memiliki kemampuan untuk belajar

- Memiliki sikap tidak realistik dan subjektif

- Mengalami frustrasi

- Tidak mampu mengarahkan diri dengan baik

- Tidak mampu memanfaatkan pengalaman masa lalu

Penyesuaian diri positif Penyesuaian diri negatif

- Mampu mengontrol emosi

- Tidak adanya mekanisme pertahanan dalam menyelesaikan masalah - Memiliki kemampuan untuk belajar - Memiliki sikap realistik dan objektif - Tidak mengalami frustasi

- Memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri

- Mampu memanfaatkan pengalaman masa lalu

- Dukungan emosional - Dukungan penghargaan - Dukungan instrumental - Dukungan informasi


(65)

H. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara dukungan sosial orangtua dengan penyesuaian diri remaja dengan orangtua bercerai. Artinya semakin tinggi dukungan sosial orangtua, semakin baik atau positif penyesuaian diri yang dilakukan. Sebaliknya, semakin rendah dukungan sosial orangtua, maka semakin negatif atau buruk penyesuaian diri yang dilakukan.


(66)

45

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian korelasional dengan pendekatan kuantitatif yang menekankan analisisnya pada data-data numerikal yang diolah dengan metode statistika. Penelitian korelasional bertujuan untuk mengetahui hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya berdasarkan koefisien korelasi (Azwar, 2013). Dalam penelitian ini adalah hubungan antara dukungan sosial orangtua dengan penyesuaian diri remaja dengan orangtua bercerai.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Ada dua variabel dalam penelitian ini, yaitu variabel bebas (independent) dan variabel tergantung (dependent). Variabel tersebut adalah sebagai berikut : a. Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi variabel tergantung. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah dukungan sosial orangtua.

b. Variabel tergantung ialah variabel yang dipengaruhi karena adanya variabel bebas. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah penyesuaian diri.


(67)

C. Definisi Operasional

1. Dukungan Sosial Orangtua

Dukungan sosial orangtua adalah bantuan atau dukungan yang diterima individu dari orangtua yang dapat berupa bantuan emosional, instrumental, dan finansial yang mampu membuat individu merasa nyaman, dihargai, dan dicintai, serta memiliki manfaat emosional atau efek perilaku bagi individu. Dukungan sosial orangtua dapat diukur berdasarkan aspek-aspek yang diungkapkan oleh House (dalam Smet, 1994) yaitu :

a. Dukungan emosional, mencakup empati, kepedulian, dan perhatian. b. Dukungan penghargaan, mencakup penilaian positif, persetujuan, dan

dorongan untuk maju.

c. Dukungan instrumental, berupa bantuan langsung berupa tindakan maupun bantuan langsung berupa material.

d. Dukungan informasi, berupa pemberian nasehat, saran, dan petunjuk. Dalam penelitian ini dukungan sosial orangtua diwakili oleh skor dukungan sosial orangtua. Semakin tinggi skor yang diperoleh dari skala dukungan sosial orangtua maka semakin tinggi dukungan sosial orangtuanya. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin rendah dukungan sosial orangtuanya.

2. Penyesuaian Diri

Penyesuaian diri adalah kemampuan individu dalam menghadapi perubahan yang terjadi dalam hidupnya untuk mendapatkan keharmonisan


(68)

dan keselarasan antara tuntutan lingkungan dimana ia tinggal dengan tuntutan di dalam diri sendiri. Penyesuaian diri yang diungkap dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan skala penyesuaian diri yang disusun berdasarkan aspek-aspek penyesuaian diri dari Schneiders (dalam Indrawati & Fauziah, 2012), antara lain :

a. Kontrol emosi

Individu mampu mengontrol emosi ketika menghadapi situasi dan permasalahan tertentu, serta mampu menentukan berbagai pemecahan masalah.

b. Tidak adanya mekanisme pertahanan diri

Individu melakukan pendekatan terhadap permasalahan lebih mengindikasikan respon yang normal dibandingkan penyelesaian masalah melalui mekanisme pertahanan diri yang disertai tindakan nyata untuk mengubah suatu kondisi. Individu dengan penyesuaian diri yang baik, bersedia mengakui kegagalan yang dialami dan berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.

c. Kemampuan belajar

Individu dengan penyesuaian diri yang baik dapat dilihat dari kemampuannya belajar untuk mengatasi situasi, konflik, dan stres secara berkesinambungan.


(69)

Individu mampu menerima keadaan dirinya dan keterbatasan yang dimiliki serta mampu mengahadapi kenyataan baik diri sendiri maupun lingkungannya.

e. Tidak adanya frustrasi personal

Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik akan mampu mengorganisasikan pikiran, perasaan, motivasi, dan tingkah laku untuk menghadapi situasi dan kondisi yang membutuhkan penyelesaian sehingga individu tidak mengalami frustrasi.

f. Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri

Individu dalam kondisi sulit tetap mampu menyesuaiakan diri secara normal dengan menunjukkan kemampuan berpikir, melakukan pertimbangan terhadap masalah atau konflik, dan mengorganisasikan pikiran, tingkah laku, serta perasaan untuk pemecahan masalah.

g. Memanfaatkan pengalaman masa lalu

Individu mampu menggunakan pengalaman masa lalu sebagai usaha dalam menghadapi masalah. Oleh sebab itu, individu mampu belajar dari pengalaman dirinya maupun dari pengalaman orang lain.

Dalam penelitian ini penyesuaian diri diwakili oleh skor penyesuaian diri. Skor tinggi yang diperoleh dari skala penyesuaian diri mengindikasikan penyesuaian diri yang positif atau baik. Sebaliknya, skor rendah yang diperoleh mengindikasikan penyesuaian diri yang cenderung negatif atau buruk.


(70)

D. Subjek Penelitian

1. Populasi

Populasi didefinisikan sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2010). Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah remaja dengan orangtua bercerai. Kriteria populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja laki-laki dan perempuan yang berada di rentang usia 12 sampai 22 tahun dan memiliki orangtua bercerai. Hal ini dikarenakan menurut Santrock (2007) usia antara 12 sampai 22 tahun tergolong dalam kategori remaja.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karaktertistik dari populasi yang diteliti. Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah snowball sampling. Snowball sampling dilakukan dengan mencari satu atau dua orang yang sesuai dengan populasi dan sampel berikutnya ditentukan oleh sampel sebelumnya (Sugiyono, 2010).

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah skala. Skala adalah alat pengumpulan data yang berisi pertanyaan yang disusun untuk mengungkap atribut tertentu melalui respon terhadap pertanyaan tersebut (Azwar, 2013). Skala psikologi yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah dua skala, yaitu skala dukungan sosial orangtua dan skala


(1)

A. Uji Normalitas

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. Dukungan_sosial_orangtua .127 50 .042 .964 50 .130 Penyesuaian_diri .118 50 .081 .956 50 .063 a. Lilliefors Significance Correction


(2)

B. Uji Linearitas

Means

Case Processing Summary Cases

Included Excluded Total

N Percent N Percent N Percent

Penyesuaian_diri * Dukungan_sosial_oran gtua

50 100.0% 0 .0% 50 100.0%

Report Penyesuaian_diri

Dukungan_sosial_orangtua Mean N Std. Deviation

140 129.00 1 .

147 212.00 1 .

148 168.00 1 .

154 200.00 2 36.770

156 169.00 1 .

160 218.00 1 .

169 172.00 1 .

174 167.00 1 .

178 190.00 1 .

181 167.50 2 3.536

185 169.00 1 .

187 183.00 1 .

188 177.50 2 16.263

190 172.00 2 2.828

192 199.00 1 .

194 181.00 1 .


(3)

198 204.00 1 .

200 194.00 1 .

204 178.00 1 .

205 176.00 1 .

206 183.00 1 .

208 187.00 1 .

218 249.00 1 .

219 217.00 2 2.828

226 168.00 1 .

227 204.50 2 4.950

239 213.67 3 5.686

241 234.00 1 .

244 198.00 1 .

245 218.00 1 .

249 213.00 1 .

250 221.50 2 6.364

251 217.00 1 .

252 223.00 2 5.657

253 223.00 1 .

255 213.00 1 .

263 241.00 1 .

269 244.00 1 .

283 239.00 1 .


(4)

ANOVA Table

Sum of Squares df

Mean

Square F Sig. Penyesuaian_Diri *

Dukungan_sosial_orangt ua

Between Groups

(Combined) 32196.853 39 825.560 4.570 .007 Linearity 16353.009 1 16353.009 90.515 .000 Deviation from

Linearity 15843.844 38 416.943 2.308 .079 Within Groups 1806.667 10 180.667

Total 34003.520 49

Measures of Association

R R Squared Eta Eta Squared Penyesuaian_diri *


(5)

LAMPIRAN 5

UJI HIPOTESIS


(6)

Correlations

Dukungan_sosial_orangtua Penyesuaian_diri Dukungan_sosial_orangtua Pearson

Correlation 1 .693

**

Sig. (1-tailed) .000

N 50 50

Penyesuaian_diri Pearson

Correlation .693

**

1 Sig. (1-tailed) .000

N 50 50