Novel Gadis Kretek Karya Ratih Kumala (Tinjauan Feminisme Dan Nilai Pendidikan) Kasido S841108013
NOVEL
GADIS KRETEKKARYA RATIH KUMALA
(Tinjauan Feminisme dan Nilai Pendidikan)
TESIS
Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Oleh Kasido S841108013
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2013
(2)
(3)
(4)
(5)
MOTTO
Pendidikan merupakan perlengkapan paling baik untuk hari tua.
Jadikanlah ilmu berguna bagi diri sendiri dan orang lain.
Jadikanlah kekecewaan masa lalu menjadi senjata kesuksesan di masa depan.
(6)
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan kepada: 1. Istriku tercinta, Ponijah dan
Anak gadisku satu-satunya Meji Aprianingtyas.
2. Bapak dan Ibuku (Mintorjo dan Kaminah (alm)).
3. Saudara-saudaraku
(7)
KATA PENGANTAR
Penulisan tesis ini adalah salah satu syarat guna mencapai derajat Magister Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia. Penulis bersyukur karena penelitian Perjua ngan Keseta ra an Gender Tokoh Wa nita da n Nila i Pendidikan Novel Ga dis Kretek Kar ya Ra tih Kumala
kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang membantu dalam proses penulisan tesis ini. Penulis mendoakan semoga semua pihak yang telah membantu diberikan kesehatan oleh Allah SWT. Secara khusus, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormati:
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.Pd., Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin penulis untuk melaksanakan penelitian.
2. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS., Direktur PPs UNS yang telah memberikan izin penyusunan tesis ini.
3. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd., Ketua Program Studi S-2 Pendidikan Bahasa Indonesia, sekaligus pembimbing II tesis yang telah memberi pengarahan, masukan, saran dan perbaikan dalam penyusunan tesis ini.
4. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., Pembimbing I tesis ini yang sudah memberi pengarahan, bimbingan dan motivasi tiada henti dengan sangat sabar. Kesabaran itulah yang akhirnya meyakinkan penulis bahwa penulis mampu untuk menyelesaikan penelitian ini.
5. Secara pribadi, terima kasih, penghargaan dan penghormatan tiada henti disampaikan kepada istriku tercinta dan anak gadis kebanggaanku yang telah
(8)
menikmati perjalanan dari Kebumen ke sota Surakarta saban Minggu untuk konsultasi hasil penelitian ini kepada dewan pembimbing.
Akhirnya, penulis hanya dapat mendokan semua yang telah disebutkan di atas, semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan berkat dan rahmat-Nya kepada semua pihak tersebut di atas, dan mudah-mudahan tesis ini bermanfaat bagi pembaca.
Surakarta, Desember 2012 Penulis
(9)
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
PENGESAHAN PEMBIMBING... ii
PENGESAHAN PENGUJI TESIS ... iii
PERNYATAAN ... v
PERSEMBAHAN ... vii
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
ABSTRAK ... xii
ABSTRACT ... xiii
BAB I ... PEN DAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian... 8
1. Manfaat Teoritis ... 8
2. Manfaat Praktis ... 8
BAB II ... TINJ AUAN PUSTAKA ... 10
A. Kajian Pustaka dan Landasan Teori ... 10
(10)
2. Landasan Teori ... 14
a. Hakikat Novel ... 14
1) Pengertian Novel ... 14
2) Unsur yang Membangun Novel ... 17
a) Unsur Intrinsik ... 18
b) Unsur Ekstrinsik ... 31
3) Hakikat Sosiologi Sastra... 32
4) Pengkajian Sosiologi Karya Sastra ... 43
5) Hakikat Feminisme ... 44
6) Pendekatan Feminisme dalam Pengkajian Novel ... 57
7) Feminisme dan Analisis Gender ... 60
8) Hakikat Nilai Pendidikan dalam Novel ... 70
B. Kerangka Berpikir ... 85
BAB III METODE PENELITIAN... 87
A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 87
1. Tempat Penelitian ... 87
2. Waktu Penelitian ... 87
B. Bentuk dan Pendekatan Penelitian ... 88
C. Data dan Sumber Data ... 89
D. Teknik Pengumpulan Data ... 90
E. Validitas Data ... 91
F. Teknik Analisis Data ... 92
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 94
A. Hasil Penelitian ... 94
1. Karakter wanita dalam novel Ga dis Kretek karya Ratih Kumala ... 94
(11)
2. Perjuangan Kesetaraan Gender dalam novel
Gadis Kretek karya Ratih Kumala ... 102
3. Keadaan Sosial Masyarakat dalam Novel Gadis Kretek karya Ratih Kumala ... 109
4. Nilai-nilai Pendidikan dalam novel Gadis Kretek karya Ratih Kumala ... 112
B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 116
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ... 125
A. Kesimpulan ... 125
B. Implikasi ... 126
C. Saran ... 126
DAFTAR PUSTAKA ... 129
(12)
Perjuangan Kesetaraan Gender Tokoh Wanita dan Nilai Pendidikan Novel Gadis Kretek Karya Ratih Kumala (Tinjauan Pendekatan
F eminisme dan . TESIS. Pembimbing I: Prof. Dr. Herman J
Waluyo, M.Pd., II: Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menjelaskan: (1) profil tokoh wanita dalam novel Ga dis Kretek karya Ratih Kumala, (2) perjuangan kesetaraan gender tokoh wanita dalam novel Ga dis Kretek ka rya Ratih Kuma la, (3) keadaan sosial masyarakat dalam novel Ga dis Kretek ka rya Ra tih Kuma la , dan (4) nilai-nilai pendidikan yang ada dalam novel Gadis Kretek ka rya Ratih Kuma la.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata. Data penelitian ini adalah novel Ga dis Kretek. Penelitian ini menggunakan pendekatan feminisme untuk mendeskripsikan profil tokoh wanita, perjuangan kesetaraan gender, dan pendekatan sosiologi sastra untuk mengetahui keadaan sosial masyarakat yang terdapat dalam novel Ga dis Kretek karya Ratih Kumala. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik noninteraktif dengan membaca novel dan analisis dokumen. Validasi data menggunakan trianggulasi data. Teknik analisis data menggunakan konten analisis dengan tiga unsur kegiatan, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.
Hasil penelitian ini sebagai berikut: (1) Profil tokoh wanita yang terdapat dalam novel Ga dis Kretek karya Ratih Kumala digambarkan penulis lewat kepribadian tokoh wanita di dalamnya. Tokoh wanita dalam novel ini tegar, mandiri, berwibawa, dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap diri, keluarga dan masyarakat. (2) Perjuangan kesetaraan gender tokoh wanita dalam novel Ga dis Kretek karya Ratih Kumala melawan bentuk ketidakadilan gender yang berupa streotip, marginalisasi perempuan, subordinasi pekerjaan, dan kekerasan dalam rumah tangga. (3) Kondisi sosial masyarakat yang digambarkan novel Ga dis Kretek karya Ratih Kumala terbagi dalam tiga zaman, yakni (a) kondisi sosial masyarakat tahun 2000-an, (b) kondisi sosial masyarakat tahun 1965-an dan (c) kondisi sosial masyarakat tahun 1945-an. (4) Nilai-nilai pendidikan novel Ga dis Kretek karya Rtih Kumala meliputi: (a) nilai pendidikan agama yang menekankan antara manusia dengan Tuhan, (b) nilai pendidikan moral yang berhubungan dengan baik buruknya tingkah laku manusia, dan (c) nilai pendidikan budaya/ adat yang berhubungan dengan tradisi, kebiasaan masyarakat.
(13)
Gender Equality Fighting of Woman Role and Education Value From the novel Gadis Kretek authored by Ratih Kumala
(Feminism . THESIS. First CounselorI:
Prof. Dr. Herman J Waluyo, M.Pd., Second Counselor: Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. Indonesian Language Education Study Program of Postgraduate Program, Surakarta Sebelas Maret University.
ABSTRACT
The aims of this research to describle and explain: (1) the women role profile in novel Ga dis Kr etek authored by Ratih Kumala, (2) the fight for gender equality of women role in novel Ga dis Kretek authored by Ratih Kumala, (3) social condition in novel Ga dis Kretek authored by Ratih Kumala, and (4) education values in novel Ga dis Kretek authored by Ratih Kumala.
This is a qualitative research. Qualitative research is a research procedure that results in description data in form of words. The data of this research is novel entitled Ga dis Kretek. This research used feminism and literary sociology approach to know about the social life of the society reflected in Ga dis Kretek a novel by Ratih Kumala. Technique to the collecting data which is used by reading novel and analyzing document. The validation data applies trianggulation data. The technique of analyzing data is used interactive analysis.
The result of the analysis are: (1) the women role profile in novel Ga dis Kretek authored by Ratih Kumala described by writer with women role personality on it. Women role personality in this novel described with strong, independent, dignified, and responsible to her self, families, and people around her. (2) gender equality fighting of women role in novel Ga dis Kr etek authored by Ratih Kumala is a fight againts all forms of gender injustice such as streotype, women marginalization, jobs subordination, and houshold violence. (3) social condition that described in novel Ga dis Kretek authored by Ratih Kumala devided on to three period of time, (a) Ga dis Kretek authored by Ratih Kumala, such as: (a) religious education value which focused on god-human relationship, (b) moral education value which related to good and bad human behave, (c) culture value whichrelated to tradition, and social habit.
(14)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perempuan adalah bagian dari masyarakat. Sebagai bagian dari masyarakat, setiap aktivitas kehidupan perempuan akan selalu terkait dengan manusia lain yang ada di sekitarnya. Perempuan dengan segala dinamikanya seakan menjadi sumber inspirasi yang tidak akan pernah habis. Di mana pun keberadaan perempuan ternyata menarik untuk dibicarakan. Begitupun di dalam karya sastra.
Perbincangan tentang kehidupan perempuan di dalam masyarakat sangat menarik untuk dibicarakan. Perempuan sebagai manusia makhluk ciptaan Tuhan merupakan sosok yang mempunyai dua sisi. Di satu sisi, perempuan adalah keindahan. Segala pesona yang dimilikinya dapat membuat laki-laki tergila-gila hingga berkenan melakukan apa pun demi seorang perempuan. Di sisi lain, perempuan merupakan sosok yang lemah. Sebagian laki-laki terkadang memanfaatkan kondisi tersebut. Dengan kelemahan yang dimiliki perempuan, tidak jarang para laki-laki mengeksploitasi keindahannya.
Kebudayaan yang hidup di negara Indonesia ini, secara umum masih memperlihatkan secara jelas keberpihakannya kepada kaum laki-laki. Kebudayaan Jawa merupakan salah satu kebudayaan yang menempatkan perempuan sebagai yang kedua. Hal tersebut tercermin dalam ungkapan-ungkapan proverbial yang sangat meninggikan derajat laki-laki, misalnya
(15)
suwarga nunut nera ka ka tut yang berarti bahwa kebahagiaan atau penderitaan isteri hanya tergantung pada suami merupakan contoh ketiadaan peran perempuan dalam keluarga. Akibatnya, seorang isteri akan mengikuti pangkat kedudukan suami. Contohnya, Pak Lurah; maka isterinya mendapat panggilan dalam masyarakat Bu Lurah. Nama si isteri yang sesungguhnya pun melesap mengikuti nama dan kedudukan/pangkat suami.
Salah satu gambaran ketertindasan perempuan Indonesia dituturkan se
pribumi bernama Sanikem. Ayah Sanikem yang bernama Sastrotomo adalah seorang juru tulis desa, yang bercita-cita menjadi juru bayar pabrik gula yakni suatu jabatan paling tinggi bagi seorang pribumi di desa pada waktu ini. Akhirnya dengan segala cara dilakukannya untuk mendapatkan jabatan tersebut, termasuk menjua l anaknya, Sanikem, kepada administrator pabrik gula seharga 25 gulden. Sejak saat itu Sanikem menjadi seorang Nya i Ontosoroh, yakni seorang perempuan yang menjadi istri yang tidak sah, bergantung dan tidak berdaya di bawah laki-laki Belanda yang berkuasa secara ekonomi dan politik (Riant Nugroho, 2008: 43). Tokoh perempuan dalam novel tersebut dapat dikatakan sebagai simbol perempuan yang mengalami marginalisasi dalam bentuk tidak dipunyainya hak untuk menentukan nasibnya sendiri.
Berdasarkan ilustrasi tentang keadaan perempuan yang disebutkan dalam paragraf di atas, tidak mengherankan bila pembicaraan mengenai wacana perempuan seolah tidak pernah habis digali. Dalam berbagai wilayah kehidupan
(16)
baik sosial, politik, ekonomi, agama, maupun budaya, posisi perempuan selalu dan masih saja dimarjinalkan dibawah dominasi superioritas kaum laki-laki. Kondisi yang telah mapan inilah yang hendak diubah oleh para aktivis perempuan yang merasa peduli dengan nasib sesamanya yang pada akhirnya memunculkan gerakan feminisme.
Pemikiran tentang gerakan feminisme (pembebasan) perempuan ini turut pula berimbas pada berbagai ranah kehidupan sosial, budaya, dan termasuk karya sastra yang notabene merupakan salah satu wujud kebudayaan. Hal ini dapat dimaklumi karena sebuah karya sastra bisa dikatakan wadah untuk menanggapi berbagai peristiwa yang berkecamuk dalam kehidupan nyata yang sekaligus sebagai kritik sosial dari sang pengarang. Seperti yang dikemukakan oleh Wellek
sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial walaupun karya sastra juga meniru
Karya sastra di Indonesia sejak masa kelahirannya di awal tahun 1920-an atau yang dikenal dengan angkatan Balai Pustaka, para pengarang yang didominasi oleh laki-laki banyak menciptakan karya-karya yang umumnya menceritakan kehidupan tokoh perempuan. Para tokoh perempuan ini selalu mengalami penderitaan yang sebagian besar dikarenakan ketidakberdayaan mereka terhadap aturan-aturan trdisi yang telah melekat erat pada sebagian besar masyarakat di Indonesia. Kelemahan ini bahkan tidak jarang berujung pada kematian. Meskipun ada beberapa karya sastra yng mulai menunjukkan emansipasi perempuan seperti karya Sutan Takdir Alisyahbana pada tahun
(17)
1930-an yaitu pada novel La ya r Terkemba ng yang mulai membangkitkan semangat dengan menyadarkan para perempuan yang selama ini mengalami ketertindasan.
Memasuki dekade 1970-an higga saat ini, pengarang perempuan mulai menjelajahi ranah sastra. Kebanyakan dari mereka mulai menulis novel. Hal ini ditandai dengan lahirnya novel-novel yang menghadirkan tokoh-tokoh perempuan yang tidak lagi digambarkan sebagai makhluk yang lemah dan pasrah pada keadaan. Para tokoh perempuan dituliskan menjadi pribadi yang kuat, memilki pendirian, bahkan berani menyuarakan sikapnya meskipun terdapat juga
penggambaran perempuan yang bersifat lemah menghadapi berbagai
permasalahan. Kemunculan para pengarang perempuan di tahun 1970-an yang mengusung novel-novel populer tentu dipengaruhi oleh budaya populer yang berkembang pada waktu itu. Di antara karya-karya pengarang perempuan yang sangat dikenal pada tahun 1970-an hingga saat ini (2000-an), seperti Kar mila yang diusung Marga T, Pa da Sebua h Ka pal karya Nh. Dini, Kabut Sutr a Ungu yang ditulis Ike Soepomo, Selembut Bunga ciptaan Aryanti, La rung karya Ayu Utami, Perempuan Berka lung Sorba n karya Abidah El Khaliqie, Ga dis Kretek karya Ratih Kumala dan Menyusu Aya h karya Djenar Maesa Ayu.
Dalam kehidupan nyata, emansipasi perempuan Indonesia dipelopori oleh RA Kartini. Emansipasi perempuan yang dipelopori oleh RA Kartini telah membawa perempuan pada kesetaraannya dengan laki-laki untuk memperoleh pendidikan sampai tingkat tertinggi. Dalam diri perempuan itu muncul keinginan untuk berprestasi dalam mewujudkan kemampuan dirinya sesuai dengan
(18)
menginginkan untuk berkiprah di ranah publik dalam rangka meng-aktualisasikan diri. Kartini berkeyakinan bahwa pendidikan merupakan salah satu
pilar utama untuk membebaskan perempuan dari berbagai bentuk
keterbelakangannya. Meskipun Kartini belum berhasil membebaskan dirinya dari kungkungan patriarki karena menerima untuk dinikahkan pada usia yang sangat muda untuk laki-laki bukan pilihannya, tetapi gagasan-gagasannya merupakan pembaharuan untuk kemajuan perempuan.
Secara umum, semua novel yang dihasilkan pengarang-pengarang perempuan yang telah disebutkan di atas adalah sebuah upaya untuk memberi peranan lebih kaum perempuan. Begitu juga cerita yang tergambar dalam novel Ga dis Kretek karya ratih Kumala. Melalui tokoh-tokoh yang ditampilkan, novel Ga dis Kretek mengangkat kehidupan tokoh perempuan dalam kaitannya dengan pilihan hidupnya untuk menentukan takdirnya sendiri, mandiri, serta tidak tergantung kepada siapapun untuk dapat meraih dan mewujudkan mimpinya.
Pemilihan novel Ga dis Kretek sebagai objek penelitian didasarkan pada beberapa hal, di antaranya Ga dis Kretek merupakan novel terbaru Ratih Kumala yang sepanjang pengetahuan penulis belum pernah dikaji dengan pendekatan feminisme yang melihat perjuangan kesetaraan gender tokoh wanita di dalamnya. Persoalan yang dibicarakan adalah jatuh bangunnya usaha pabrik rokok yang dibungkus dengan romantika cinta dan isu tentang perempuan yang masih aktual dan memiliki relevansi dengan kehidupan masa kini, serta dipandang bermanfaat untuk menata kehidupan masa depan yang lebih baik, khususnya bagi perempuan. Selain itu, dalam novel Ga dis Kretek akan dapat dilihat pandangan
(19)
pengarang terhadap kehidupan perempuan karena karya-karyanya yang dihasilkan oleh seorang pengarang tidak lepas dari pengalaman hidup dan keberadaan pengarang sebagai anggota masyarakat, termasuk pandangan pengarang terhadap perempuan dalam hal ini adalah pandangan seorang pengarang perempuan terhadap tokoh perempuan dalam karya-karyanya.
Ga dis Kretek adalah novel terbaru karya Ratih Kumala yang diterbitkan PT Gramedia pada 25 Februari 2012. Ga dis Kretek mengambil setting Indonesia tahun 1965-an, di mana para tokohnya saling terlibat interaksi di tengah kondisi sosial, politik dan budaya Indonesia pada masa itu.
Meninjau novel Ga dis Kr etek berdasarkan sudut pandang feminisme dalam penelitian ini akan mengangkat profil tokoh perempuan, perjuangan kesetaraan gender, dan nilai pendidikan yang terdapat dalam novel tersebut. Sehubungan dengan keinginan perempuan untuk menunjukkan eksistensi dirinya tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran perempuan di tengah lingkungan buudaya patriarki yang ada dalam karya sastra berdasarkan perspektif feminism kesetaraan gender. Gambaran tersebut meliputi pilihan-pilihan perempuan, serta perjuangan perempuan dalam menghadapi berbagai bentuk ketidakadilan gender yang terdapat dalam novel Ga dis Kretek karya Ratih Kumala.
Dari uraian yang disebutkan pada subbab kajian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji bagaimana kehidupan perempuan di dalam novel Ga dis Kretek karya Ratih Kumala sehingga tulisan/penelitian ini diberi
(20)
judul Perjua nga n Kesetar aa n Gender Tokoh Wanita dan Nilai Pendidika n Novel Ga dis Kretek kar ya Ra tih Kuma la .
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah kepribadian tokoh wanita dalam novel Ga dis Kretek karya Ratih Kumala?
2. Bagaimana perjuangan kesetaraan gender tokoh wanita dalam novel Ga dis Kretek karya Ratih Kumala?
3. Bagaimana deskripsi keadaan sosial masyarakat dalam novel novel Gadis Kretek karya Ratih Kumala?
4. Bagaimana nilai-nilai pendidikan yang ada dalam novel Gadis Kretek karya Ratih Kumala?
C. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan dan menjelaskan kepribadian tokoh wanita dalam novel Ga dis Kretek karya Ratih Kumala.
2. Mendeskripsikan dan menjelaskan perjuangan kesetaraan gender tokoh wanita dalam novel Ga dis Kretek ka rya Ra tih Kuma la.
3. Mendeskripsikan keadaan sosial masyarakat dalam novel Ga dis Kr etek ka rya Ra tih Kuma la .
(21)
4. Mendeskripsikan dan menjelaskan nilai-nilai pendidikan yang ada dalam novel Gadis Kretek ka rya Ra tih Kumala.
D. Manfaat Penelitin 1. Manfaat Teoretis
a. Memberi sumbangan bagi ilmu pengetahuan, khususnya dalam penelitian sastra.
b. Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu contoh penerapan pendekatan feminisme dalam penelitian di bidang sastra.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap keilmuan dalam mengapresiasi novel dan memberikan semangat kepada penikmat sastra secara mendalam.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa dan guru bahasa dan sastra Indonesia dalam pembelajaran apresiasi sastra khususnya novel yang beraliran feminisme.
b. Hasil penelitian ini bermanfaat bagi peneliti sastra sebagai bahan bacaan untuk menambah wawasan tentang kajian feminism dalam novel Ga dis Kretek kar ya Ra tih Kuma la.
c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai wahana pembelajaran apresiasi sastra, dalam hal ini siswa dapat menganalisis karya sastra dengan pendekatan feminisme.
(22)
d. Hasil penelitian ini dapat mengefektifkan proses pembelajaran sastra dalam hal ini adalah novel Ga dis Kretek karya Ratih Kumala yang beraliran feminisme.
(23)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka dan Landasan Teori
1. Kajian Pustaka
Dalam bagian ini akan dikemukakan kajian kepustakaan tentang hasil penelitian yang relevan yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini antara lain: a. Yuni Purwanti. 2009. Novel Sama n da n La rung Karya Ayu Utami dalam
Perspektif Gender. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah menunjukkan persamaan dan perbedaan novel Sama n dan La rung ditinjau dari segi struktur. Selain itu juga membahas perspektif gender yang meliputi perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial. Penelitian ini juga membahas nilai-nilai pendidikan yang terdapat di dalam kedua novel tersebut.
Adapun persamaan dan perbedaan antara penelitian Yuni Purwanti dalam Sama n dan La rung: P erspektif Gender adalah sama-sama membahas topik perempuan daalam perspektif gender. Perbedaan terletak pada sumber data penelitian. Dalam penelitian juga akan dibahas kondisi sosial masyarakat yang terdapat dalam novel Ga dis Kretek karya Ratih Kumala.
b. Eti Suryani. 2008. Novel Tabula ra sa Karya Ratih Kumala (Tinjauan Feminisme Sastra dan Nilai Pendidikan). Tesis. Universitas Sebelas Maret: Surakarta.
(24)
Kesimpulan penelitian ini menyebutkan bahwasanya kepribadian perempuan meliputi kepribadian superior dan kepribadian inferior. Hubungan tokoh perempuan dengan tokoh laki-laki sebagai sepasang kekasih, antara anak dan orang tua yang tidak memiliki kedekatan, sahabat, dan hubungan sosial kekasih di masa lalu yang berakhir dengan kematian. Citra perempuan trradisional, modern, transisi. Pokok-pokok feminisme terdiri dari kekerasan fisik, nonfisik, kekerasan psikis, kemandirian, tokoh profeminisme dan tokoh kontra feminisme. Nilai-nilai pendidikan novel Tabularasa karya Ratih Kumala meliputi: 1) Nilai pendidikan agama yang menekankan antara manusia dengan Tuhan, 2) Nilai pendidikan moral yang berhubungan dengan nilai baik buruknya tingkah laku manusia, 3) Nilai pendidikan budaya yang berhubungan dengan tradisi, kebiasaan, dan 4) Nilai pendidikan sosial yang menekankan hubungan antara manusia dengan sesama.
Adapun persamaan dan perbedaan penelitian Eti Suryani dalam Novel Ta bula ra sa (Tinjauan Feminisme Sastra dan Nilai Pendidikan) adalah menganalisis tokoh perempuan dalam novel. Novel Ta bula ra sa dan Ga dis Kretek adalah novel yang ditulis oleh pengarang yang sama. Perbedaannya terletak pada sumber data yang berbeda.
c. Suprapto S.841008032. 2011. Tinjauan Feminisme dan Nilai Pendidikan dalam Novel Romane Pawesteri Tanpa Idhentiti Karya Suparto Broto. Tesis. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini menyimpulkan (1) peran tokoh perempuan: (a) perempuan yang berkarakter tegas, mandiri, dan maju di bidang publik dan (b)
(25)
memperjuangkan pemikiran tentang perlakuan yang sama terhadap semua orang tanpa melihat status atau kedukan; (2) nilai feminisme: (a) perjuangan kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan, (b) peran publik dan produktif, dan (c) pandangan hidup; (3) nilai-nilai pendidikan yang terungkap adalah (a) nilai kemanusiaan yaitu mengajak agar pembaca suka menolong, (b) nilai pendidikan yaitu mengajak pembaca untuk suka belajar, dan (c) nilai moral yaitu mengajak pembaca untuk tidak memiliki sifat balas dendam dan tidak suka menuduh tanpa bukti.
Adapun persamaan penelitian Suprapto dalam Tinjauan Feminisme dan Nilai Pendidikan dalam Novel Romane Pawesteri Tanpa Idhentiti Karya Suparto Broto adalah menganalisis tokoh perempuan dalam novel sedangkan perbedaannya terletak pada sumber data yang berbeda yakni novel yang menjadi sumber bahan dalam pengkajian.
d. Primasari Wahyuni, S840809109. 2010. Novel Menebus Impian Karya Abidah El Khalieqy Kajian Feminisme dan Nilai Pendidikan. Tesis. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini menyimpulkan (1) eksistensi perempuan dalam novel Menebus Impian adalah pilihan-pilihan yang berupa kebebasan memilih pasangan hidup, memilih pekerjaan, menentukan pendidikan, dan menentukan nasibnya sendiri; dan perjuangan perempuan atas ketidakadilan gender yang dilakukan oleh tokoh Sekar dan Nur Kemalajati; (2) pokok-pokok pikiran eminism liberal, meliputi: (a) kekerasan yang dialami perempuan (kekerasan fisik, seksual, dan kekerasan psikis); (b) kemandirian tokoh perempuan; (c) tokoh
(26)
profeminis dan kontra feminis; (d) analisis eminism liberal dalam novel; (3) keadaan emini masyarakat yang terdapat dalam novel; dan (4) nilai-nilai pendidikan dalam novel menebus Impian antara lain: nilai agama, nilai moral, nilai emini, dan nilai budaya/adat. Hasil penelitian ini merupakan model kajian secara femini yang dilanjutkan dengan feminisme yang dapat digunakan sebagai salah satu model pembelajaran apresiasi sastra, khususnya apresiasi prosa fiksi. Selain itu penelitian ini dapat digunakan sebagai langkah awal untuk meneliti lebih lanjut tentang feminisme yang tidak hanya terfokus pada karya sastra tetapi juga digunakan dalam kehidupan bermasyarakat. Para peneliti sastra dapat mengembangkan penelitian sejenis ini dengan sampel yang lebih banyak, analisis yang lebih mendalam, serta dapat menerapkannya dalam realitas kehidupan.
Penelitian Primasari Wahyuni di atas mempunyai persamaan dengan penelitian ini dalam penggunaan pendekatan feminisme dalam pengkajian novel dan mengambil manfaat nilai pendidikan dari novel tersebut. Adapun perbedaannya terdapat pada objek penelitian, yaitu judul novel yang dikaji masing-masing.
e. Ninawaty Syahrul. 2011. Profil Tokoh Wanita dalam Kaba Cindua Mato karya Syamsuddin Sutan Radjo Endah. Kantor Bahasa Provinsi Lampung.
Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa profil tokoh wanita yang digambarkan dalam Kaba Cindua Ma to mempunyai rasa tanggung jawab diri dalam masyarakat. Rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri, pada akhirnya berkembang menjadi rasa tanggung jawab terhadap keluarga, masyarakat, kelompok, daerah atau bangsa sendiri.
(27)
Kesamaan penelitian Ninawaty Syahrul dengan penelitian ini terletak pada temuan penelitiannya yang termasuk jawaban permasalahan nomor satu pada penelitian ini. Perbedaannya pada objek penelitian, yakni novel Kaba Cindua Mato dengan Ga dis Kretek.
2. Landasan Teori
a. Hakikat Novel
1) Pengertian Novel
Sastra pada dasarnya merupakan ciptaan, sebuah kreasi bukan semata - mata sebuah imitasi (Luxemburg, 1986: 5). Karya sastra sebagai bentuk dan hasil sebuah pekerjaan kreatif, pada hakikatnya adalah suatu media yang mendayagunakan bahasa untuk mengungkapkan tentang kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sebuah karya sastra, pada umumnya, berisi tentang permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia.
Karya sastra pada dasarnya terbagi atas tiga jenis yaitu prosa, puisi dan drama. Karya sastra jenis prosa sering diungkapkan dalam bentuk fiksi atau cerita rekaan. Istilah fiksi sering dijumpai hanya untuk menyebut sastra jenis prosa saja. Sebenarnya hal ini kurang tepat., karena pemyataan demikian memberi kesan bahwa sastra jenis puisi maupun drama, bukan fiksi. Padahal ketiganya merupakan fiksi yang hanya memiliki batasan (pengertian) masing-masing yang agak berbeda.
Fiksi merupakan salah satu genre sastra yang kian berkernbang dan banyak digemari masyarakat. Hal ini disebabkan dalam karya fiksi
(28)
disuguhkai) berbagai masalah kehidupan dalam hubungannya dengan sesama dan lingkungan. Fiksi dapat membuat pembaca menghabiskan waktu untuk ikut berinteraksi dengan berbagai persoalan kehidupan.
Abrams (1981: 610) menyebutkan istilah prosa dalam kesusastraan juga dengan istilah fiksi (fiction), teks naratif (na ra tive texs), atau wacana naratif (na ra tive discourse). Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan atau cerita khayalan. Hal irii disebabkan fiksi merapakan karya naratif yang isinya tidak menyaraii pada kebenaran sejarah.
Menurut Herman J. Waluyo (2002: 136-137) "Cerita rekaan/fiksi dibangun oleh dua unsur pokok, yakni: a pa yang dicerita ka n dan teknik (metode) pencerita an. Isi atau materi yang diceritakan tidak dapat dipisahkan dengan cara penceritaan, Bahasa yang digunakan untuk bercerita disesuaikan denganisi, sifat, perasaan, dan tujuan apa cerita itu. Cerita rekaan adalah wacana yang dibangun oleh beberapa unsur. Unsur-unsur itu membangun suatu kesatuan, kebulatan, dan regulasi diri atau membangun sebuah struktur. Unsur-unsur itu bersifat fungsional, artinya dicipta pengarang untuk mendukung maksud secara keseluruhan, dan makrianya ditentukan oleh keseluruhan cerita itu".
Suminto A. Sayuti menyandingkan cerita rekaan/fiksi dan novel pada deretan kata yang memiliki makna yang sama. Dia menjelaskan "Novel (cerita rekaan) dapat dilihat dari beberapa sisi. Ditinjau dari panjangnya, novel pada umumnya terdiri dari 45.000 kata atau lebih. Berdasarkan sifatnya, novel (cerita rekaan) bersifat expa nds, 'meluas' yang
(29)
menitikberatkan pada complexity. Sebuah novel tidak akan selesai dibaca sekali duduk, hal ini berbeda dengan cerita pendek. Dalam novel (cerita rekaan) juga dimungkinkan adanya penyajian panjatig lebar tentang tempat atau ruang (1997: 5-7)".
Bila dibandingkan dengan roman, novel memiliki beberapa perbedaan. Pengertian tentang keduanya sering dipertentangkan. Sebutan roman dan novel di Indonesia diartikan berbeda (Jakob Sumardjo, 1984: 65). Roman diartikan sebagai cerita berbentuk prosa yang panjang, banyak tokoh dan banyak penjelajahan tentang kehidupan yang meliputi waktu sepanjang hidup tokohnya.
Kehidupan tokohnya diceritakan sejak kecil ssmpai kematiannya. Novel diartikan sebagai cerita tentang sebagian kehidupan tokohnya saja, seperti masa menjelang perkawinannya setelah mengalami masa percinfcian atau bagian kehidupan seorang tokoh mengalami krisis dalam jiwanya.
Herman J. Waluyo (2002: 37) mengemukakan bahwa novel mempunyai ciri: (1) ada perubahan nasib dari tokoh cerita; (2) ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya; (3) biasanya tokoh utama tidak sampai meninggal. Dan dalam novel tidak dituntut kesatuan gagasan, impresi, emosi, dan setting seperti dalam cerita pendek.
Brooks dalam Henry Guntur Tarigan (1998: 165) menyimpulkan bahwa novel bergantung pada tokohnya, menyajikan lebih dari satu impresi, menyajikan lebih dari satu efek, dan menyajikan lebih dari satu emosi.
(30)
Berpijak dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa novel atau cerita rekaan adalah satu genre sastra yang dibangun oleh unsur-unsur pembangun sebagai sebuah struktur yang secara fungsional memiliki keterjalinan di antaranya; untuk membangun totalitas makna dengan media bahasa sebagai penyampai/gagasan pengarang tentang hidup dan seluk beluk kehidupan manusia. Novel adalah salah satu bentuk dari sebuah karya sastra. Sebuah novel biasanya menceritakan tentang kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sesamanya. Dalam sebuah novel, si pengarang berusaha semaksimal mungkin untuk mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita kehidupan melalui cerita yang terkandung dalam novel tersebut.
2) Unsur yang Membangun Novel
Novel dibangun oleh dua unsur yakni, unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Yang dimaksud unsur - unsur intrinsik dalam sebuah karya sastra adalah unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri. Sedangkan unsur ekstrinsik novel adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra (novel), tetapi secara tidak langsung mempengaruhi sistem organisme karya sastra.
a) Unsur Instrinsik
Herman J. Waluyo (2012: 6) menjelaskan unsur pembangun fiksi/ novel meliputi: tema cerita, plot, atau kerangka cerita, penokohan dan perwatakan, setting atau tempat kejadian cerita atau disebut juga latar, sudut pandangan pengarang atau point of view, latar belakang atau back
(31)
ground, dialog atau percakapan, gaya bahasa/ gaya bercerita, waktu pernceritaan, dan amanat.
(1) Tema
Gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra disebut tema. Atau gampangnya, tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita, sesuatu yang menjiwai cerita, atau sesuatu yang menjadi pokok masalah dalam cerita. Secara etimologis kata tema berasal dari istilah meaning, yang berhubungan arti, yaitu sesuatu yang lugas, khusus, dan objektif. Sedangkan amanat berasal dari kata significance, yang berurusan dengan makna, yaitu sesuatu yang kias, umun dan subjektif, sehingga harus dilakukan penafsiran. Melalui penafsiran itulah yang memungkinkan adanya perbedaan pendapat
gagasan atau ide kepengarangan.
Lebih jauh Sudjiman memberikan pengertian bahwa tema merupakan gagasan, ide atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra (1992:52). Mengenai adanya amanat dalam karya sastra bisa dilihat dari beberapa hal, seperti berikut ini:
sastra adakalanya dapat diangkat suatu ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang, itulah yang disebut amanat. Jika permasalahan yang diajukan juga diberi jalan keluarnya oleh pengarang, makan jalan keluarnya itulah yang disebut amanat.
(32)
Amanat yang terdapat pada sebuah karya sastra, bisa secara inplisit ataupun secara eksplisit. Implisit jika jalan keluar atau ajaran moral diisyaratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir. Eksplisit jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasehat, dan sebagainya. (Sudjiman, 1992: 57-58).
Tema merupakan jiwa dari seluruh bagian cerita. Tema dalam
peristiwa, konflik serta situasi tertentu, termasuk pula berbagai unsur intrinsik yang lain. Herman J Waluyo (2012: 8) mengklasifikasikan tema menjadi lima jenis, yaitu: (1) tema yang bersifat fisik; (2) tema organik; (3) tema sosial; (4) tema egoik (reaksi pribadi); dan (5) tema divine (Ketuhanan)
(2) Tokoh
Tokoh adalah individu ciptaan/rekaan
pengarang yang mengalami peristiwa-peristiwa atau lakuan dalam berbagai peristiwa cerita. Pada umumnya tokoh berwujud manusia, namun dapat pula berwujud binatang atau benda yang diinsankan. Tokoh sentral adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam cerita. Tokoh sentral dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Tokoh sentral protagonis, yaitu tokoh yang membawakan perwatakan positif atau menyampaikan nilai-nilai positif.
(33)
2. Tokoh sentral antagonis, yaitu tokoh yang membawakan
perwatakan yang bertentangan dengan protagonis atau
menyampaikan nilai-nilai negatif. (3) Penokohan atau perwatakan
Penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkana tokoh-tokoh dalam ceritanya dan bagaimana tokoh-tokoh-tokoh-tokoh tersebut, ini berarti ada dua hal penting, yang pertama berhubungan dengan teknik penyampaian sedangkan yang kedua berhubungan dengan watak atau kepribadian tokot-tokoh tersebut (Suroto, 1989: 92-93).
Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas peribadi seorang tokoh (Burhan Nurgiyantoro, 2000: 165).
Penokohan atau karakter atau disebut juga perwatakan merupakan cara penggambaran tentang tokoh melalui perilaku dan pencitraan. Panuti Sudjiman mencerikan definisi penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh (1992: 23). Hal senada diungkapkan oleh Hasim dalam (Fanani, 1997: 5) bahwa penokohan adalah cara pengarang untuk menampilkan watak para tokoh di dalam sebuah cerita karena tanpa adanya tokoh, sebuah cerita tidak akan terbentuk.
Untuk mengenal watak tokoh dan penciptaan citra tokoh terdapat beberapa cara , yaitu:
(34)
a. Melalui apa yang diperbuat oleh tokoh dan tindakan-tinda-kannya, ter-utama sekali bagaimana ia bersikap dalam situasi kritis.
b. Melalui ucapan-ucapan yang dilontarkan tokoh.
c. Melalui penggambaran fisik tokoh. Penggambaran bentuk tubuh, wajah dan cara berpakaian, dari sini dapat ditarik sebuah pendis-kripsian penulis tentang tokoh cerita.
d. Melalui jalan pikirannya, terutama untuk mengetahui alasan-alasan tindakannya.
e. Melalui penerangan langsung dari penulis tentyang watak tokoh ceri-tanya. Hal itu tentu berbeda dengan cara tidak langsung yang mengungkap watak tokoh lewat perbuatan, ucapan, atau menurut jalan pikirannya (Jakob Sumardjo dan Saini K.M, 1997: 65-66).
Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh, tokoh cerita dibedakan menjadi dua yaitu tokoh utama (centra l cha ra cter, ma in cha ra cter)dan tokoh tambahan (Burhan Nurgiyantoro, 2000: 176-178).
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan
penceritaannya. Tokoh ini tergolong penting. Karena ditampilkan terus menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita. Karena tokoh utama paling banyak ditampilkan ada selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan.
(35)
Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita dan itu bersifat gradasi, keutamaannya bertingkat maka perbedaan antara tokoh utama dan tambahan tidak dapat dilakukan secara pasti.
Karena tokoh berkepribadian dan berwatak, maka dia memiliki sifat-sifat karakteristik yang dapat dirumuskan dalam tiga dimensi, yaitu;
1. Dimensi fisiologis, adalah ciri-ciri badan, misalnya usia (tingkat kede-wasaan), jenis kelamin, keadaaan tubuh, ciri-ciri muka, dan lain sebagainya.
2. Dimensi sosiologis, adalah ciri kehidupan masyarakat, missal-nya status sosial, pekerjaan, peranan dalan masyarakat, tingkat pendidikan, dan sebagainya.
3. Dimensi psikologis, adalah latar belakang kejiwaan, misalnya menta-litas, tingkat kecerdasan dan keahliannkhusus dalam bidang tertentu (Satoto, 1993: 44-45).
(4) Alur
Adalah jalinan cerita yang dibuat oleh pengarang dalam menjalin kejadian secara beruntun atau rangkaian/jalinan antar peristiwa/ lakuan dalam cerita. Atar Semi(1993: 43) mengatakan bahwa alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dlam keseluruhan karya fiksi.
(36)
Lebih lanjut Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2000: 113) mengemukakan bahwa alur atau plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain.
Dalam merumuskan jalan cerita, pembaca dapat membuat atau menafsirkan alur cerita melalui rangkaiannya. Luxemburg memberikan kebebasan penuh dalam menafsirkan atau membangun pemahaman dari jalannya cerita. Alur bisa dilihat sebagai konstruksi yang dibuat oleh pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa atau kejadian yang saling berkaitan secara logis dan kronologis, serta deretan peristiwa itu diakibatkan dan dialami oleh para tokoh.
Karena alur berusaha menguraikan jalannya cerita mulai awal sampai akhir cerita, maka secara linier bentuk alur atau struktur cerita seperti dikemukakan Nurgiyantoro yaitu dari tahapan-tahapan sebagai berikut:
1. Tahap penyuntingan, tahap ini pengarang memperkenalkan tokoh-cerita melukiskan situasi latar, sebagai tahap pembukaan cerita, pembagian informasi awal dan teruptama untuk melandasi cerita yang akan dilkisahkan pada tahap berikutnya. 2. Tahap pemunculan konflik yang berkembang atau merupakan
(37)
menjadi komflik pada peningkatan konflik, pada tahap ini konflik berkembang atau dikembangkan tahap berikutnya. 3. Tahap kadar intensitasnya. Konflik-konflik yang terjadi baik itu
internal, eksternal ataupun kedua-duanya.
4. Tahap klimaks, pada tahap ini pertentangan yang terjadi dialami atau ditampilkan pada tokoh mencapai titik intensitas puncak klimaks cerita akan dialami tokoh utama sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik, pada tahap ini merupakan tahap penentuan nasip tokoh.
5. Tahap penyelesaian, pada tahap ini keteganangan diken-dorkan diberi penyelesaian dan jalan keluar untuk kemudian diakhiri (2000: 150).
Masih mengenai alur (plot), secara estern Mursal (1990: 26) merumuskan bahwa alur bisa bermacam-macam, seperti berikut ini:
a. Alur maju (konvensional Progresif ) adalah teknik pengaluran dimana jalan peristriwanta dimulai dari melukiskan keadaan hingga penyelesaian.
b. Alur mundur (Flash back, sorot balik, regresif), adalah teknik
penga-luran dan menetapkan peristiwa dimulai dari
penyelesaian kemudian ke titik puncak sampai melukiskan keeadaan.
(38)
c. Alur tarik balik (back tracking), yaitu teknik pengaluran di mana jalan cerita peristiwanya tetap maju, hanya pada tahap-tahap tertentu peristiwa ditarik ke belakang.
Melalui pengaluran tersebut diharapkan pembaca dapat mengetahui urutan-urutan atau kronologis suatu kejadian dalam cerita, sehingga bisa dimengerti maksud cerita secara tepat.
(5) Konflik
Konflik cerita, yaitu pokok permasalahan yang terjadi dan sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan atau perselisihan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan. Dalam kehidupan nyata konflik merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Namun dalam sebuah cerita
berkaitan erat, dapat saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain, bahkan konflik pun pada hakikatnya merupakan peristiwa.
Ada peristiwa tertentu yang dapat menimbulkan konflik atau bahkan sebaliknya. Bentuk konflik sebagai bentuk kajadian dapat dibedakan ke dalam dua kategori: konflik fisik dan koflik batin.
1. Konflik fisik (eksternal) adalah konflik yang terjadi antara seseorang tokoh dengan sesuatu di luar dirinya, mungkin dengan
(39)
tokoh lain atau dengan alam. Misalnya, konflik (permasalahan) yang dialami seseorang tokoh akibat adanya banjir besar, gunung meletus, kemarau panjang dan sebagainya. Konflik sosial, sebaliknya adalah konflik yang disebabkan oleh adanya kontak sosial antar manusia, atau masalah-masalah yang muncul akibat hubungan antar manusia. Konflik sosial berupa masalah peperangan, perburuhan atau kasus-kasus hubungan sosial lainnya.
2. Konflik batin (internal) adalah konflik yang terjadi di dalam hati, jiwa seseorang tokoh atau tokoh-tokoh cerita. Jadi ia merupakan konflik yang dialami manusia dengan dirinya sendiri, ia merupakan permasalahan intern seorang manusia. Misalnya, hal itu terjadi akibat pertentangan antara dua keinginan, keyakinan pilihan yang berbeda, harapan-harapan, atau maslah-masalah lainnya. Dapat disimpulkan bahwa beberapa konflik di atas saling berkaitan, saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain, dan dapat terjadi secara bersamaan.
(6) Setting/Latar
Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan situasi terjadinya peristiwa dalam cerita. Panuti Sudjiman mengatakan bahawa latar adalah segala keterangan, petunjut, pengacuan yang berkaiatan dengan
(40)
waktu, ruang dan suasana (1992:46). Sumardjo dan Saini K.M. (1997: 76) mendefinisikan latar bukan bukan hanya menunjuk tempat, atau waktu tertentu, tetapi juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada pemikiran rakyatnya, kegiatannya dan lain sebagianya.
Latar atau setting tidak hanya menyaran pada tempat, hubungan waktu maupun juga menyaran pada lingkungan sosial yang berwujud tatacara, adat istiadat dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan.
(a) Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat berupa tempat-tempat yang dapat dijumpai dalam dunia nyata ataupun tempat-tempat tertentu yang tidak disebut dengan jelas tetapi pembaca harus memperkirakan sendiri. Latar tempat tanpa nama biasanya hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu misalnya desa, sungai, jalan dan sebagainya. Dalam karya fiksi latar tempat bisa meliputi berbagai lokasi.
(b) Latar waktu
Latar waktu menyaran pada kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah
(41)
waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap sejarah itu sangat diperlukan agar pembaca dapat masuk dalam suasana cerita.
(c) Latar sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalan karya fiksi. Perilaku itu dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, pandangan hidup, pola pikir dan bersikap. Penandaan latar sosial dapat dilihat dari penggunaan bahasa daerah dan penamaan terhadap diri tokoh. (7) Suasana
Suasana adalah salah satu unsur intrinsik yang berkaitan dengan keadaan psikologis yang timbul dengan sendirinya bersamaan dengan jalan cerita. Suatu cerita menjadi menarik karena berlangsung dalam suasana tertentu. Misalnya, suasana gembira, sedih, tegang, penuh semangat, tenang, damai, dan sebagainya. Suasana dalam cerita biasanya dibangun bersama pelukisan tokoh utama. Pembaca mengikuti kejadian demi kejadian yang dialami tokoh utama dan bersama dia pembaca dibawa larut dalam suasana cerita.
(42)
(8) Sudut Pandang
Adalah posisi pengarang dalam membawakan ceritanya. Bisa jadi ia menjadi tokoh dalam cerita tersebut (pengarang berada di dalam cerita). Namun, bisa juga dia hanya menjadi pencerita saja (pengarang berada di luar cerita). Sudut Pandang dibagi menjadi dua yaitu:
1. Sudut pandang orang pertama
Pada sudut pandang orang pertama, posisi pengarang berada di dalam cerita. Ia terlibat dalam cerita dan menjadi salah satu tokoh dalam cerita (bisa tokoh utama atau tokoh pembantu). Salah satu ciri sudut pandang orang pertama adalah penggunaan erita. Oleh karena itu, sudut pandang orang pertama sering disebut juga sudut pandang akuan. Sudut pandang orang pertama terbagi lagi menjadi dua yaitu :
menjadi to-koh utama dalam cerita). b)
hanya berperan sebagai tokoh pendamping/pembantu saja). c) Sudut pandang orang ketiga. Pada sudut pandang orang ketiga,
pengarang berada di luar cerita. Artinya dia tidak terlibat dalam cerita. Pengarang berposisi tak ubahnya seperti dalang atau pencerita saja.
(43)
Ciri utama sudut pandang orang ketiga adalah
-itu, sudut pandang ini disebut pula sudut pandang diaan. (9) Gaya Bahasa
Adalah cara pengarang mengungkapkan ceritanya melalui bahasa yang digunakan. Setiap pengarang memiliki gaya masing-masing. Ahmad Tohari, misalnya, dia banyak menggunakan kalimat-kalimat yang indah dan kuat untuk mendeskripsikan latar dalam ceritanya,
Gaya bahasa berfungsi sebagai alat utama pengarang untuk melukiskan, menggambarkan, dan menghidupkan cerita secara estetika. Misalnya personifikasi, gaya bahasa ini mendeskripsikan benda benda mati dengan cara memberikan sifat sifat seperti manusia. simile (perumpamaan), gaya bahasa ini mendeskripsikan sesuatu dengan pengibaratan. Hiperbola, gaya bahasa ini mendeskripsikan sesuatu dengan cara berlebihan dengan maksud memberikan efek berlebihan.
(10) Amanat
Adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Amanat dalam cerita bisa berupa nasihat, anjuran, atau larangan untuk melakukan/tidak melakukan sesuatu.
(44)
b) Unsur Ekstrinsik Novel
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung memengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Unsur ekstrinsik berperan sebagai unsur yang memengaruhi bangunan sebuah cerita. Sebagaimana halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik itu pun terdiri atas beberapa unsur. Menurut Wellek & Warren (1956), unsur ekstrinsik adalah:
1) Keadaan subjektivitas individu pengarang misalnya: keyakinan, dan pan-dangan hidup.
2) Keadaan psikologis, pengarang, pembaca, atau penerapan prinsip psi-kologis dalam karya.
3) Keadaan lingkungan pengarang, seperti ekonomi, sosial, dan politik. 4) Pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni, agama, dan
sebagai-nya.
3) Hakikat Sosiologi Sastra
Istilah sosiologi sastra dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudak terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu (Abrams, 1981:178).
(45)
Sapardi Djoko Damono (1979), salah seorang ilmuwan yang mengembangkan pendekatan sosiologi sastra di Indonesia, bahwa karya sastra tidak jatuh begitu saja dari langit, tetapi selalu ada hubungan antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman terhadap karya sastra pun harus selalu menempatkannya dalam bingkai yang tak terpisahkan dengan berbagai variable tersebut: pengarang sebagai anggota masyarakat, kondisi sosial budaya, politik, ekonomi yang ikut berperan dalam melahirkan karya sastra, serta pembaca yang akan membaca, menikmati, serta memanfaatkan karya sastra tersebut.
Soemarjan dan Soemardi (dalam Soekanto, 1987:16) sosiologi sastra atau ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan sosial. Sosiologi memusatkan perhatian pada masyarakat yang merupakan wadah kehidupan bersama yang mencakup berbagai aspek. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara berbagai kehidupan bersama.
Lebih lanjut, Wellek dan Werren 1989:111) juga mengemukakan konsep tentang sosiologi sastra sebagai berikut,
a) Sosiologi pengarang
Sosiologi pengarang mempermasalahkan latar belakang sosial, status sosial, ideologi sosial, dan berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. b) Sosiologi karya sastra
Sosiologi karya sastra mempermasalahkan isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang menjadi pokok perhatiannya, seperti pada hal-hal yang tersirat dalam karya sastra yang berkaitan dengan masalah sosial.
(46)
c) Sosiologi sastra
Sosiologi sastra mempermasalahkan tentang pembaca dan dampak sosial karya sastra, seperti seberapa jauh karya sastra ditentukan oleh latar sosial, perubahan sosial dan perkembangan sosial.
Dari beberapa uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwasanya sosiologi sastra memandang sebuah karya sastra sebagai bagiian dari kenyataan, dan membandingkan unsur-unsur dalam karya sastra tersebut dengan realitas sosial. Karya sastra tidak hanya dilihat secara keseluruhan, tapi lebih tterfokus pada unsur sosial budaya yang terkandung di dalamnya.
Ditinjau dari segi sejarahnya, konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993). Konsep dasar sosiologi sastra sebenarnya sudah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang mengajukan istilah 'mimesis', yang menyinggung hubungan antara sastra dan masyarakat sebagai 'cermin'.
Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau peniruan) pertama kali dipergunakan dalam teori-teori tentang seni seperti dikemukakan Plato
(47)
(428-348) dan Aristoteles (384-322), dan dari abad ke abad sangat memengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa (Van Luxemburg, 1986:15).
Menurut Plato, setiap benda yang berwujud mencerminkan suatu ide asti (semacam gambar induk). Jika seorang tukang membuat sebuah kursi, maka ia hanya menjiplak kursi yang terdapat dalam dunia Ide-ide. Jiplakan atau copy itu selalu tidak memadai seperti aslinya; kenyataan yang kita amati dengan pancaindra selalu kalah dari dunia Ide. Seni pada umumnya hanya menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang 'kenyataan' (yang juga hanya tiruan dari 'Kenyataan Yang Sebenarnya') sehingga tetap jauh dari 'kebenaran'. Oleh karena itu lebih berhargalah seorang tukang daripada seniman karena seniman menjiplak-jiplakan, membuat copy dari copy.
Aristoteles juga mengambil teori mimesis Plato yakni seni menggambarkan kenyataan, tetapi dia berpendapat bahwa mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan melainkan juga menciptakan sesuatu yang haru karena 'kenyataan' itu tergantung pula pada sikap kreatif orang dalam memandang kenyataan. Jadi sastra bukan lagi copy (jiblakan) atas copy (kenyataan) melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan mengenai "universalia" (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang wujudnya kacau, penyair memilih beberapa unsur lalu menyusun suatu gambaran yang dapat kita pahami, karena menampilkan kodrat manusia dan kebenaran universal yang berlaku pada segala jaman.
Levin (1973:56-60) mengungkapkan bahwa konsep 'mimesis' itu mulai dihidupkan kembali pada zaman humanisme Rena issance dan
(48)
nasionalisme Roma ntik. Humanisme Rena issa nce sudah berupaya mengbilangkan perdehatan prinsipial antara sastra modern dan sastra kuno dengan menggariskan paham bahwa masing-masing kesusastraan itu merupakan ciptaan unik yang memiliki pembayangan historis dalam jamannya. Dasar pembayangan historis ini telah dikembangkan pula dalam
zaman nasionalisme Romantik, yang secara khusus meneliti dan
menghidupkan kembali tradisi-tradisi asli berbagai negara dengan suatu perbandingan geografis. Kedua pandangan tersebut kemudian diwariskan kepada zaman berikutnya, yakni positivisme ilmiah.
Pada zaman positivisme ilmiah, muncul tokoh sosiologi sastra terpenting: Hippolyte Taine (1766-1817). Dia adalah seorang sejarawan kritikus naturalis Perancis, yang sering dipandang sebagai peletak dasar bagi sosiologi sastra modern. Taine ingin merumuskan sebuah pendekatan sosiologi sastra yang sepenuhnya ilmiah dengan menggunakan metode-metode seperti yang digunakan dalam ilmu alam dan pasti. Dalam bukunya History of English Literature (1863) dia menyebutkan bahwa sebuah karya sastra dapat dijelaskan menurut tiga faktor, yakni ras, saat (momen), dan lingkungan (milieu). Bila kita mengetahui fakta tentang ras, lingkungan dan momen, maka kita dapat memahami iklim rohani suatu kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang beserta karyanya. Menurut dia faktor-faktor inilah yang menghasilkan struktur mental (pengarang) yang selanjutnya diwujudkan dalam sastra dan seni. Adapun ras itu apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya. Saat (momen) ialah situasi sosial-politik pada suatu
(49)
periode tertentu. Lingkungan meliputi keadaan alam, iklim, dan sosial. Konsep Taine mengenai milieu inilah yang kemudian menjadi mata rantai yang menghubungkan kritik sastra dengan ilmu-ilmu sosial.
Pandangan Taine, terutama yang dituangkannya dalam buku Sejarah Kesusastraan Inggris, oleh pembaca kontemporer asal Swiss, Amiel, dianggap membuka cakrawala pemahaman baru yang berbeda dan cakrawala anatomis kaku (strukrura lisme) yang berkembang waktu itu. Bagi Amiel, buku Taine ini membawa aroma baru yang segar bagi model kesusastraan Amerika di masa depan. Sambutan yang hangat terutama datang dari Flaubert (1864). Dia mencatat, bahwa Taine secara khusus telah menyerang anggapan yang berlaku pada masa itu bahwa karya sastra seolah-olah merupakan meteor yang jatuh dari langit. Menurut Flaubert, sekalipun segi-segi sosial tidak diperlukan dalam pencerapan estetik, sukar bagi kita untuk mengingkari keberadaannya. Faktor lingkungan historis ini sering kali mendapat kritik dari golongan yang percaya pada 'misteri' (ilham). Menurut Taine, hal-hal yang dianggap misteri itu sebenarnya dapat dijelaskan dari lingkungan sosial asal misteri itu. Sekalipun penjelasan Taine ini memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, khususnya dalam penjelasannya yang sangat positivistik, namun telah menjadi pemicu perkembangan pemikiran intelektual di kemudian hari dalam merumuskan disiplin sosiologi sastra.
a) Teori Sastra Marxis
Pendekatan sosiologi sastra yang paling terkemuka dalam ilmu sastra adalah Marxisme. Kritikus-kritikus Marxis biasanya mendasarkan teorinya
(50)
pada doktrin Manifesto Komunis (1848) yang diberikan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, khusunya terhadap pernyataan bahwa perkembangan evolusi historis manusia dan institusi-institusinya ditentukan oleh perubahan mendasar dalam produksi ekonomi. Peruhanan itu mengakibatkan perombakan dalam struktur kelas-kelas ekonomi, yang dalam setiap jaman selalu bersaing demi kedudukan sosial ekonomi dan status politik. Kehidupan agama, intelektual, dan kebudayaan setiap jaman -termasuk seni dan kesusastraan - merupakan 'ideologi-ideologi' dan 'suprastruktur-suprastruktur' yang berkaitan secara dialektikal, dan dibentuk atau merupakan akibat dari struktur dan perjuangan kelas dalam jamannya (Abrams, 1981:178).
Sejarah dipandang sebagai suatu perkembangan yang terus-menerus. Daya-daya kekuatan di dalam kenyataan secara progresif selalu tumbuh untuk menuju kepada suatu masyarakat yang ideal tanpa kelas. Evolusi ini tidakberjalan dengan mulus melainkan penuh hambatan-hambatan. Hubungan ekonomi menimbulkan berbagai kelas sosial yang saling bermusuhan. Pertentangan kelas yang terjadi pada akhirnya dimenangkan oleh suatu kelas tertentu. Hubungan produksi yang baru perlu melawan kelas yang berkuasa agar tercapailah suatu tahap masyarakat ideal tanpa kelas, yang dikuasai oleh kaum proletar.
Bagi Marx, sastra dan semua gejala kebudayaan lainnya mencerminkan pola hubungan ekonomi karena sastra terikat akan kelas-kelas yang ada di dalam masyarakatnya. Oleh karena itu, karya sastra
(51)
hanya dapat dimengerti jika dikaitkan dengan hubungan-hubungan tersebut (Van Luxemburg, 1986:24-25). Menurut Lenin, seorang tokoh yang dipandang sebagai peletak dasar bagi kritik sastra Marxis, sastra (dan seni pada umumnya) merupakan suatu sarana penting dan strategis dalam perjuangan proletariat melawan kapitalisme.
b. Aliran Frankfurt
Aliran Frankfurut adalah sebuah aliran filsafat sosial yang dirintis oleh Horkheimer dan Th. W. Adorno yang berusaha menggabungkan teori ekonomi sosial Marx dengan psikoanalisis Freud dalam mengkritik teori sosial kapitalis (Hartoko, 1986:29-30). Dalam bidang sastra, estetika Marxis Aliran Frankfurt mengembangkan apa yang disebut "Teori Kritik" (dimulai tahun 1933). Teori Kritik merupakan sebuah bentuk analisis kemasyarakatan yang juga meliputi unsur-unsur aliran Marx dan aliran Freud. Tokoh-tokoh utama dalam filsafat dan estetika adalah: Max Horkheimer, Theodor Adorno, Berhert Marcuse dan J. Habermas (Selden, 1993:32-37).
Seni dan kesusastraan mendapat perhatian istimewa dalam teori sosiologi Frankfurt, karena inilah satu-satunya wilayah di mana dominasi totaliter dapat ditentang. Adorno mengkritik pandangan Lukacs bahwa sastra berbeda dari pemikiran, tidak mempunyai hubungan yang langsung dengan realitas. Keterpisahan itu, menurut Adorno, justru memberi kekuatan kepada seni untuk mengkritik dan menegasi realitas, seperti yang ditunjukkan oleh seni-seni Ava nt Garde. Seni-seni populer sudah
(52)
bersekongkol dengan sistem ekonomi yang membentuknya, sehingga tidak mampu mengambil jarak dengan realitas yang sudah dimanipulasi oleh sistem sosial yang ada. Mereka memandang sistem sosial sebagai sebuah totalitas yang di dalamnya semua aspek mencerminkan esensi yang sama (masyarakat satu dimensi).
Adorno menolak teori-teori tradisional tentang kesatuan dan pentingnya individualitas (paham ekspresionisme) atau mengenai bahasa yang penuh arti (strukturalisme) karena hanya membenarkan sistem sosial yang ada. Menurutnya, drama menghadirkan pelaku-pelaku tanpa individualitas dan klise-klise bahasa yang terpecah-pecah, diskontinuitas wacana yang absurd, penokohan yang memhosankan, dan ketiadaan alur. Semuanya itu menimbulkan efek estetik yang menjauhkan realitas yang dihadirkan dalam drama itu, dan inilah sebuah pengetahuan tentang eksistensi dunia modern sekaligus pemberontakan terhadap tipe masyarakat satu dimensi.
c. Teori-Teori Neomarxisme
Kaum Neomarxis merupakan pemikir sastra yang meneliti ajaran Marx (khusus pada masa mudanya), dan dengan bantuan sosiologi, ingin menjadikannya relevan dengan masyarakat modern. Mereka tidak mendasarkan argumennya pada Marx, Lenin, dan Engels sebagai dogma politik, ataupun menerima supremasi Partai Komunis terhadap budaya dan ilmu. Kaum Neomarxis hanya mengambil ajaran Marx sebagai sumber inspirasi, khususnya dalam hal studi kritik sastra Marxis (Fokkema & Kunne-Ibsch, 1977:115). Aliran Frankfurt, oleh beberapa pengamat
(53)
dipandang sebagai salah satu bentuk teori Neomarxis. Tokoh-tokoh pentingnya antara lain Fredric Jameson, Walter Benjamin, Lucien Goldman, dan Th. Adorno.
Neomarxisme lebih bersifat epistemologis daripada politis. Mereka menganut paham "metode dialektik". Sekalipun lingkup diskusi mereka sangat luas, lagi pula pandangan mereka tidak secara khusus diterapkan pada Teori Sastra saja, Th. Adorno meagemukakan bahwa ada empat gagasan pokok dalam pembicaraan aliran ini (Fokkema & Kunne-Ibsch, 1977:134-135).
1) Metode dialektika dapat memberikan suatu pemahaman mengenai totalitas masyarakat'. Penggunaan metode ini mencegah kekerdilan pandangan terhadap seni hanya sebagai fakta atau masalah. Metode ini merupakan suatu bagian kajian ilmiah yang mampu mempelajari konteks sosial suatu fakta estetik. Di samping mendalami objek (seni) tertentu, mereka juga harus menguji objek itu yang ditempatkan sebagai subjek dalam masyarakat. Studi mereka dapat terfokus pada konteks historis, dengan melakukan observasi terhadap fenomena-fenomena serta harapan tertentu mengenai implikasinya di masa depan. Objek kajian metode dialektika tidak terbatas, karena masyarakat yang satu merupakan totalitas dalam dialektika kata.
2) Metode dialektik berorientasi pada hubungan antara konkretisasi sejarah umum dan sejarah individual. Konteks kajiannya bukan hanya sekedar masa lampau tetapi juga masa depan. Masa depan memang
(54)
terbuka untuk berbagai kemungkinan, namun dia ditentukan oleh intensi-intensi yang telah ditetapkan manusia, masyarakat, sejarah. Setiap bidang (ilmu, politik, sejarah) selalu mengandung aspek teleologis (tujuan, sasaran) berkenaan dengan masa depan yang masih jauh.
3) Aspek teleologikal itu tergantung kepada perbedaan antara hukum kebenaran yang tampak dan kebenaran esensial. Hanya fenomena-fenomena yang tampak secara nyatalah yang dapat dikaji secara empiris, tetapi tetap harus dipandang dalam kerangka kebenaran esensial. Jadi aspek teleologis memiliki identitas ganda terhadap suatu subjek: dapat mencapai kesadaran yang benar (yang lebih tinggi), tetapi dapat pula mencapai kesadaran yang salah (yang lebih rendah) tergantung pada konteks yang berbeda-beda.
4) Perlu diperhatikan perbedaan antara teori dan praktik, antara objek bahasa dan metabahasa, dan antara fakta-fakta hasil observasi dengan nilai-nilai yang dilekatkan pada fakta itu. Subjek harus selalu menyadari posisinya dalam masyarakat. Identitas tidak lagi terletak di antara dua konsep, melainkan tergantung pada relasi subjek dan objeknya, antara proses berpikir dan realitasnya.
Berdasarkan metode berpikir dialektis tersebut, Fredric Jameson mengungkapkan bahwa hakikat suatu karya sastra dapat diketahui dari penelitian tentang latar belakang historisnya. Jadi hasil kritik dialektikal itu bukan hanya sekedar suatu interpretasi sastra, melainkan juga sejarah
(55)
model interpretasi dan kebutuhan akan suatu model interpretasi yang khusus.
Dari beberpa penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa studi-studi sosiologis terhadap sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra dalam taraf tertentu merupakan ekspresi masyarakat dan bagian dari suatu masyarakat. Kenyataan inilah yang menarik perhatian para teoretisi sosiologi sastra untuk mencoba menjelaskan pola dan model hubungan resiprokal itu. Penjelasan Taine dengan menggunakan metode-metode ilmu pasti menarik perhatian, namun ciri positivistis dalam teorinya menimbulkan permasalahan yang rumit mengenai hakikat karya sastra sebagai 'karya fiksi'. Teori-teori Marxisme, yang memandang seni (sastra) sebagai 'alat perjuangan politik' terlalu menekankan aspek pragmatis sastra dan dalam banyak hal mengabaikan struktur karya sastra.
4) Pengkajian Sosiologi Karya Sastra
Swingewood (dalam Umar Junus, 1986:2) menjelaskan dua corak penyelidikan sosiologis yang menggunakan sastra sebagai data, yaitu:
(a) Sosiologi sastra. Pembicaraan dimulai dengan lingkungan sosial untuk masuk kepada hubungan sastra. Penyelidikan pada suatu masa tertentu dan pada masyarakat tertentu
(b) Sosiologi sastra yang menghubungkan struktur karya kepada genre dan masyarakat.
Selanjutnya, Ian Watt (dalam Retno Winarni, 2009:167) menjelaskan praktik kajian sastra dimulai dari; a) konteks sosial pengarang, yang mencakup
(56)
posisi sosial sastrwan dalam masyarakat dan kaitannya dengan pembaca. Hal ini bisa mempengaruhi penciptaan isi dan karya. Di dalam pendekatan ini ditekankan 1) bagaimana pengarang mendapatkan mata pencahariannya, 2) sejauh mana pengarang memandang pekerjaannya sebagai profesi, dan 3) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang sebagai pembaca. (b) sastra sebagai cermin masyarakat, yang dipperhatikan adalah 1) sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada waktu karya sastra ditulis, 2) sejauh mana sifat pribadi pengarang mempengaruhi gambaran masyarakat yang ingin disampaikannya, 3) sejauh mana genre sastra yang digunakan pengarang dapat mewakili seluruh masyarakat. (c) fungsi sosial sastra. Ada tiga hal yang menjadi perhatian; 1) sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai perombak masyarakatnya, 2) sejauh mana hanya berfungsi sebagai penghibur saja, 3) sejauh mana terjadi intensitas antara kemungkinan sastra sebagai perombak dan sastra sebagai penghibur.
Bertolak dari beberapa pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra dapat meneliti tiga perspektif, pertama, perspektif teks sastra, artinya menganalisisnya sebagai sebuah reflekksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua, perspektif biologis yaitu peneliti menganalisis dari sisi pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan kehidupan pengarang dan latar sosial budayanya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.
(57)
5) Hakikat Feminisme
Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (women), berarti perempuan (tunggal), yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial (Nyoman Kutha Ratna, 2004:184).
Feminisme muncul sebagai upaya perlawanan dan pemberontakan atas berbagai kontrol dan dominasi kaum laki-laki terhadap kaum perempuan yang di-lakukan selama berabad-abad lamanya. Gerakan feminisme ini pada awalnya be-rasal dari asumsi yang selama ini dipahami bahwa perempuan bisa ditindas dan dieksploitasi dan dianggap makhluk kelas dua. Feminisme diyakini merupakan langkah untuk mengakhiri penindasan tersebut (Mansur Fakih, 2007:99).
Menurut Rothenberg feminisme muncul akibat dominasi pria atas kaum wanita dalam beberapa dekade di setiap bidang.
Domina nce theory posits that men a nd women a re different beca use of the historic societa l fa ct that men hold a domina nt position, while women occupy a subordina te one. (Rothenberg dalam Brown 2005: 90)
Asal pemikiran feminisme ini sebenarnya berasal dari Perancis, yaitu ketika terjadi revolusi Perancis dan masa pencerahan di Eropa barat. Berbagai perubahan sosial besar-besaran tersebut turut pula memunculkan argumen-argumen politik maupun moral. Hal ini berdampak pada pemusatan ikatan-ikatan dan norma-norma tradisional (Ollenburgger dan Helen, 2002:21). Mesikpun pemikiran feminisme ini bersumber dari negara menara Eiffel tersebut, namun gerakannya sangat gencar dilakukan di Amerika. Feminisme
(58)
sebenarnya diakibatkan ketidakpuasan kaum perempuan terhadap sistem patriarki yang dirasakan telah lama menindas hak-hak perempuan.
Pada tahun 1776 ketika Amerika memproklamasikan kemerdekaannya, . Padahal masyarakat dunia telah menjadikan Amerika sebagai barometer keadilan dan kebebasan hak asasi manusia. Mereka selalu mendengung-dengungkan persamaan derajat di antara manusia, namun sayangnyya hal tersebut tidak dialami oleh kaum perempuan.
Deklarasi yang telah diprmosikan tersebut mengakibatkan kekecewaan dan kemarahan dari kaum perempuan yang merasa tidak dihargai Sikana, 2007:321). Untuk menandingi deklarasi kemerdekaan Amerika sebelumnya, a ll men a nd women a re . Kalimat tersebut dapat dikatakan versi lain dari deklarasi kemerdekaan Amerika sebelumnya yang dirasakan tidak adil oleh kaum perempuan.
Secara historis, studi perempuan sebagai sebuah disiplin ilmu muncul dari konflik dan telah menduduki ruang oposisi dalam pertanyaan masa depan tentang penindasan, hak istimewa, perbedaan, dan kekuasaan kaum perempuan. Hal ini secara tegas disampaikan Chowdhury dalam kutipan berikut:
a ca demy foregr ounding questions of oppression, privilege, difference, inequality a nd power. Chowdhury (2006: 10)
(59)
2000:4). Aspek politik, yakni ketika pemerintah merasa tidak dianggap oleh pemerintah. Begitu pula tatkala kepentingan-kepentinga kaum perempuan berkaitan dengan politik diabaikan. Dari aspek agama disebutkan bahwa kaum feminis menuding pihak gereja bertanggung jawab atas doktrin-doktrin yang menyebabkan posisi perempuan di abawah hegemoni kaum laki-laki. Ajaran gereja juga berpendapat bahwa kaum perempuan mewarisi Original Sin atau dikenal dengan Dosa Turunan yang menyebabkan manusia terusir dari surga hingga terlempar ke bumi. Bahkan kaum Yahudi kuno secara lugas selalu mengucapkan terima kasih kepada Tuhan karena tidak dilahirkan sebagai seorang perempuan (Sikana, 2007:321).
Berdasarkan aspek ideologi, konsep dikalangan sosialisme menunjukkan adanya stratifikasi jender yang juga menjadi ciri khas masyarakat patriarkis. Perempuan mewakili kaum proletar atau kaum tertindas, sedangkan laki-laki disamakan dengan kaum borjuis atau kelas penindas. Selain itu dalam konsep sosialisme ini, prempuan dianggap tidak memiliki nilai ekonomis karena pekerjaan mereka hanya mengurus urusan domestik rumah tangga.
Sugihastuti (2002:18) berpendapat bahwa feminisme adalah gerakan persamaan antara laki-laki dan perempuan di segala bidang baik politik,
ekonomi, pendidikan, sosial, maupun kegiatan terorganisasi yang
mempertahankan hak-hak serta kepentingan perempuan. Feminisme merupakan kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, baik di tempat kerja dan rumah tangga.
(60)
Menurut Redyanto Noor (2005:99) memberikan pengertian feminisme adalah suatu gerakan yang memusatkan perhatian pada perjuangan perempuan dalam menempatkan eksistensinya. Sejalan dengan pendapat ini, Awuy (dalam Sugihastuti, 2002:62) menegaskan bahwa feminisme bukan monopoli kaum perempuan dan sasarannya bukan hanya masalah gender, melainkan masalah dalam memperjuangkan hak-hak kemanusiaan.
Senada dengan kedua pendapat tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa pada hakikatnya gerakan feminisme adalah gerakan tranformasi dan bukanlah gerakan untuk membalas dendam kepada kaum laki-laki. Dengan demikian gerakan tranformasi perempuan adalah suatu proses gerakan untuk menciptakan hubungan antara sesama manusia (laki-laki dan perempuan) agar lebih baik dan baru. (Riant Nugroho, 2008:61)
Lebih lanjut Retno Winarni (2009:182) menjelaskan bahwasanya yang dikaji dalam pendekatan feminisme yakni dalam hubungannya dengan tokoh wanita adalah (a) peranan tokoh wanita dalam karya sastra, (b) hubungan tokoh wanita dengan tokoh-tokoh lain, (c) sikap penulis terhadap tokoh wanita.
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan tersebut di atas, secara umum feminisme diidentikkan dengan sebuah gerakan kaum perempuan yang memperjuangkan persamaan hak antara kaum laki-laki dan kaum perempuan dalam berbagai sisi kehidupan dan didalam karya sastra pendekatan ini mencoba melihat hubungan tokoh wanita dalam karya, hubungannya dengan tokoh lain dan sikap pengarang terhadap tokoh wanita di dalam karya yang dihasilkannya.
(61)
Feminisme, menurut Martin Griffiths didefinisikan sebagai sebuah studi atau pergerakan wanita yang tidak hanya menempatkan sebagai objek, namun kali ini sebagai subjek pengetahuan. Gelombang feminisme pertama pada tahun 1980, yang dikenal sebagai feminism empiricism mengklaim kembali suara perempuan serta menunjukkan peranan wanita dalam kekuatan ekonomi global dan interaksi negara. (Griffiths. 2002: 34).
Berkenaan dengan masalah pluralitas, sebenarnya sudah dapat kita lihat ketika feminisme sendiri juga membagi dirinya menjadi beberapa golongan, yaitu feminisme liberal, Marxis, radikal, standpoint, kritis serta feminisme posmodernis. (Steans & Pettiford. 2009: 24).
Barak, Flavin, & Leighton (dalam Burges, 2006: 4) membagi teori feminis tradisional kedalam lima perspektif utama. Yaitu: libera l feminism, ra dical feminism, Ma rxist feminism, socia list feminism, postmodern feminism. (feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme marxist, feminisme sosial dan feminisme posmodern)
Senada dengan pendapat dua pendapat di atas Sylvester (1996: 45) memakai pembagian dari Allison Jaggar karena dinilai sebagai pembagian yang paling tepat. Pertama adalah feminisme liberal. Dasar dari pemikiran ini adalah bahwa lelaki dan perempuan diciptakan setara, sehingga sudah menjadi keharusan adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan serta adanya kesempatan yang sama dalam mengembangkan diri. Kedua afalah feminisme marxist. Menurut pemikiran ini, penindasan terhadap perempuan bukanlah hasil dari bias, tetapi lebih dikarenakan oleh adanya struktur politik, sosial, dan
(62)
bahkan ekonomi yang tidak seimbang akibat berlakunya sistem kapitalis. Selanjutnya adalah feminisme radikal. Pemikiran ini menyatakan bahwa penindasan terhadap kaum perempuan lebih karena adanya konsep patriarki yang menjadikan seorang lelaki sebagai subyek dan perempuan hanya sebagai obyek. Untuk menghapuskan setiap penindasan terhadap perempuan, menurut pemikiran ini harus ada pergantian atau perombakan sistem patriarki sehingga perempuan tidak lagi dijadikan objek. Dan terakhir adalah feminisme sosialis yang seringkali dikatakan sebagai gabungan dari pemikiran feminis marxis dan feminis radikal. Pemikiran ini menekankan pada aspek ekonomi dan gender yang dengan asumsi bahwa penindasan pada kaum perempuan adalah dampak dari sistem kapitalis dan kelas sosial.
Menurut Mansour Fakih (2007:100), gerakan feminism merupakan perjuangan dalam rangka menstransformasikan system dan struktur sosial yang tidak adil menuju keadilan bagi kaum laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa feminism bukan upaya pemberontakan terhadap laki-laki, upaya melawan pranata sosial seperti institusi rumah tangga dan perkawinan, maupun upaya perempuan untuk menghindari kondratnya, melainkan upaya untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi perempuan.
Kemajuan teori feminism dalam bermacam-macam bidang dan menjelaskan pengaruh dalam beberapa factor. Sebagai contoh dalam kelompok seksual dari ketenagakerjaan berlangsung pada bebera social yang diketahui, dimana dibedakan antara beberapa tugas perempuan dan tugas laki-laki. Tugas laki-laki dalam bidang ekonomi dan bernilai sosial. Perempuan selalu tidak
(1)
Moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima mengenai perbuatan, sikap, berkewajiban dan sebagainya. Moral dapat pula disebut dengan ahklak budi pekerti dan susila. Bagian dari nilai pendidikan moral adalah kepedulian dan empati kepada sesama. Kepedulian dan empati didasarkan pada pemahaman perasaan diri sendiri dan memahami orang lain. Kepedulian dan empati adalah cara kita menanggapi perasaan dan pengalaman orang lain. Kepedulian itu tergambar lewat tokoh Ibas dan Jeng Yah lewat kutipan berikut ini.
t jelas. Dia masih mengenakan helm. Dibukanya helm itu, dan langsung mendekatiku. Tangannya mengacung menunjuk-nunjuk mukaku
Cuma karena situ punya pabrek bisa seenaknya ngerebut tu menuding-nuding aku dengan dialek Jawa yang kental....
Maksdunya apa sampai bilang kalau utangnya banyak segala? ....
Berapa utang Mira?
Tiga juta setengah, katanya.
Kuambil cek yang ada di dalam laci meja direktur, siapa lagi kalau buka Mas Tegar. Mas Tegar yang sedang menenagkan diri heran melihatku. (Ratih Kumala, 2012: 170)
(2)
Tokoh Lebas pada awal cerita adalah tokoh yang cuek kepada keluarga. Namun dibalik kecuekannya itu ia memiliki rasa empati yang tinggi. Mira adalah pekerja di pabrik kretek keluarga Jagad di Kudus. Lebas pada awalnya hanya menebar senyum dan berbincang-bincang mengenai pabrik kepada Mira. Namun kekasih Mira menanggapi berbeda perbincangan mereka. Kekesalan kekasihnya itu dinyatakan lewat lemparan batu pada pabrik mereka. Konflik kecil pun tak terhindarkan, dan akhirnya mereka mengetahui bahwa Mira terpaksa mencintai kekasihnya itu karena terlilit hutang padanya.
Moral adalah aturan yang bersumber dari hati nurani untuk membimbing perilaku dan cara berpikir. Meningkatkan kualitas moral dimulai dari kesadaran untuk menanamkan nilai-nilai positif ke dalam diri. Ketika dalam hati nurani terisi nilai-nilai negatif yang tidak mampu membedakan antara benar dan salah, maka diri akan menjadi pencipta bencana, yang setiap saat dapat memutarbalikkan benar menjadi salah atau salah menjadi benar. Nilai-nilai positif akan menciptakan keunggulan moral baik. Dan hasilnya, diri dengan moral baik akan menjalankan etika dan integritas pribadi dengan sepenuh hati.
(3)
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Simpulan
1. Kepribadian/ profil tokoh perempuan yang digambarkan penulis lewat tokoh Roemaisa dan Jeng Yah sebagai tokoh yang tegar mandiri yang berwibawa. Dengan demikian, teori nature yang memberi peran terbatas kepada kaum wanita, bukanlah sesuatu yang mutlak. Citra perempuan dalam novel ini adalah perempuan tradisional, transisi, dan modern.
2. Perjuangan kesetaraan gender tokoh wanita dalam novel ini ditunjukkan oleh penulis melalui tokoh Roemaisa dan Jeng Iyah. Kedua tokoh ini adalah tokoh perempuan yang sangat berperan dalam usaha kretek. Bentuk ketidakadilan gender ada empat macam yaitu bentuk ketidakadilan gender yang berupa streotip, marginalisasi perempuan, subordinasi pekerjaan, dan kekerasan dalam rumah tangga.
3. Keadaan sosial masyarakat yang digambarkan dalam novel Ga dis Kretek karya Ratih Kumala dibagi dalam tiga zaman. Yakni sosial masyarakat tahun 1945, sosial masyarakat tahun 1965, dan sosial masyarakat tahun 2000an.
(4)
manusia, dan 3) Nilai pendidikan budaya/adat yang berhubungan dengan tradisi, kebiasaan masyarakat.
B. Implikasi
Implikasi yang bisa diperoleh dalam hasil penelitian pengkajian novel dengan pendekatan feminisme dan sosiaologi sastra ini adalah sebagai berikut:
Novel Ga dis Kretek karya Ratih Kumala dapat digunakan untuk menambah bahan ajar apresiasi sastra Indonesia khususnya dalam mengapresiasi karya sastra Indonesia mutakhir. Pendekatan feminisme yang digunakan dalam penelitian ini bisa digunakan sebagai materi ajar dalam melaksanakan pendidikan berbasis gender di sekolah.
Pendidikan berwawasan gender dilandasi Instruksi Presiden (Inpres No 9) Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional, yang diharapkan sekolah-sekolah mulai dari tingkat dasar, menengah, dan lanjutan baik di pedesaan maupun perkotaan, bisa mengadopsi model sekolah berwawasan gender secara berkelanjutan. Jadi, hasil penelitian dapat digunakan sebagai upaya untuk melaksanakan pendidikan berbasis gender di sekolah.
Selain itu, dengan kehadiran pengkajian novel Ga dis Kr etek ini dapat memberikan pemahaman yang mendalam tentang perkembangan perusahaan kretek di Indonesia, dan dapat memberikan pemahaman tentang bahaya merokok bagi siswa.
(5)
C. Saran
Dari hasil simpulan yang telah dipaparkan di atas, maka ada beberapa saran yang bisa diberikan. Saran-saran tersebut ditujukan untuk:
1. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMP
Hasil penelitian ini merupakan hasil studi dengan pendektan feminisme dan sosiologi sastra. Dengan membaca hasil penelitian ini diharapkan guru dapat memasukkan nilai pendidikan berbasis gender dalam kelas, khususnya di dalam mengajarkan materi-materi kesusastraan.
2. Pimpinan Sekolah
Sastra adalah cerminan kehidupan masyarakat. Lewat karya sastra, kita dapat memetik nilai-nilai kehidupan dan diterapkan di masyarakat. Banyak pengarang telah menuliskan karya sastranya lewat buku, novel, puisi dan lainnya. Jika pimpinan sekolah bersedia untuk memfasilitasi pengadaan sarana dan prasarana sekolah, maka disarankan agar:
a. Membantu guru dalam menyediakan sarana, novel dan majalah sastra hasil pengkajian novel.
b. Menyediakan materi bacaan sarana dan prasarana pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia selengkap mungkin.
3. Peneliti Lain
Karena keterbatasan yang dimiliki, penelitian dan pengkajian tentang novel Ga dis Kr etek karya Ratih Kumala hanya menggunakan pendekatan feminisme dan sosiologi sastra. Adapun bagi peneliti lain dapat memperdalam
(6)
penelitian tentang feminisme dan sosiologi sastra dengan mengambil objek penelitian yang lebih banyak dan beragam.