Novel Tabularasa karya Ratih Kumala (Tinjauan Feminisme Sastra dan Nilai Pendidikan) esti suryani

(1)

NOVEL TABULARASA KARYA RATIH KUMALA

(

Tinjauan Feminisme Sastra dan Nilai Pendidikan)

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Oleh

Esti Suryani

S 840208205

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2009


(2)

NOVEL TABULARASA KARYA RATIH KUMALA

(

Tinjauan Feminisme Sastra dan Nilai Pendidikan)

oleh Esti Suryani S 840208205

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing

Dewan Pembimbing

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal Pembimbing I Prof. Dr. St. Y. Slamet, M.Pd. ... ...

NIP 19461208 198203 1 001

Pembimbing II Dr. Retno Winarni, M. Pd. ... ... NIP 19560121 198203 2 003

Mengetahui,

Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Prof. Dr. Herman. J. Waluyo, M. Pd. NIP 19440315 197804 1 001


(3)

PENGESAHAN

Tesis ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Tesis Program Pascasarjana Program Studi Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Magister Pendidikan.

Pada hari : Tanggal :

Tim Penguji Tesis:

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M. Pd. ... Sekretaris : Dr. Nugraheni Eko Wardani, M. Hum. ... Anggota I : Prof. Dr. St. Y. Slamet, M. Pd. ... Anggota II : Dr. Retno Winarni, M. Pd. ...

Disahkan oleh, Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana, Pendidikan Bahasa Indonesia

Prof. Drs. Suranto, M. Sc. Ph.D. Prof.Dr.Herman J.Waluyo,M.Pd NIP 19570820 198503 1 004 NIP 19440315 197804 1 001


(4)

PERNYATAAN

Penulis menyatakan bahwa yang tertulis di dalam tesis ini benar-benar hasil karya penulis sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam tesis ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan penulis tidak benar, penulis bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang penulis peroleh dari tesis tersebut.

Surakarta,

Esti Suryani S 840208205


(5)

ABSTRAK

Esti Suryani, S840208205. Novel Tabularasa karya Ratih Kumala (Tinjauan Feminisme Sastra dan Nilai Pendidikan) Tesis, Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Juli 2009.

Tinjauan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) Tokoh dan Karakter tokoh perempuan Novel Tabularasa karya Ratih Kumala, (2) Kepribadian tokoh perempuan Novel Tabularasa karya Ratih Kumala, (3) Hubungan tokoh perempuan dengan tokoh laki-laki Novel Tabularasa karya Ratih Kumala, (4) Citra perempuan novel Tabularasa karya Ratih Kumala, (5) Pokok-pokok pikiran Feminisme novel Tabularasa karya Ratih Kumala, dan (6) Nilai-nilai pendidikan novel Tabularasa karya Ratih Kumala.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan feminisme sastra. Sumber data penelitian berasal dari sumber data primer, yaitu novel Tabularasa karya Ratih Kumala,dan sumber data sekunder yaitu, komentar-komentar pengarang lain tentang novel Tabularasa, biografi penulis, wawancara dengan murid, guru Bahasa Indonesia, kepala sekolah, serta sumber-sumber dari internet.Teknik pengumpulan data yang dipakai adalah dengan teknik pencatatan Content analysis. Teknik validitas yang digunakan adalah triangulasi data/sumber.Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif dengan tiga komponen analisis,yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan.

Penelitian ini menyimpulkan Kepribadian perempuan meliputi kepribadian Superior dan Kepribadian Inferior. Hubungan tokoh perempuan dengan tokoh laki-laki sebagai sepasang kekasih, antara anak dan orang tua yang tidak memiliki kedekatan/harmonis, sahabat, dan hubungan sebagai kekasih di masa lalu yang berakhir dengan kematian. Citra perempuan tradisional, modern, transisi. Pokok-pokok pikiran feminisme terdiri dari Kekerasan fisik, Kekerasan non fisik, Kekerasan Psikis/Psikologis, Kemandirian, Tokoh Profeminisme dan tokoh Kontrafeminisme. Nilai-nilai pendidikan novel Tabularasa karya Ratih Kumala meliputi: 1) nilai pendidikan agama yang menekankan antara manusia dengan Tuhan, 2) nilai pendidikan moral yang berhubungan dengan nilai baik buruknya tingkah laku manusia, 3) Nilai pendidikan budaya/adat yang berhubungan dengan tradisi, kebiasaan, dan 4) nilai pendidikan sosial yang menekankan hubungan manusia dengan sesama.


(6)

ABSTRACT

Esti Suryani. S840208205. Tabularasa Novel by Ratih Kumala (Literary Review of feminism and Value Education) Thesis, Surakarta: Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Juli 2009.

Review of this research is to describe: (1) Figures and Character of women in Tabularasa novel by Ratih Kumala, (2) Personality of women's character in Tabularasa novel by Ratih Kumala, (3) Relationships between women’s with men’ character in Tabularasa novel by Ratih Kumala, (4) Image of woman in Tabularasa novel by Ratih Kumala, (5) Key thought feminism in Tabularasa novel by Ratih Kumala, and (6) Education values of Tabularasa novel by Ratih Kumala.

This is a qualitative descriptive research with a literary feminism approach. Data of the research consisted of primary and secondary data. The primary data were obtained from the novel entitled Tabularasa. The secondary data were obtained from books, the novel writer’s biography, comments by other writers on the novel entitled Tabularasa, interview with the student, Indonesia teacher and head master, and information obtained from internet about the novel entitled Tabularasa. The data of the research were gathered through a content analysis technique. They were validated through data/ source triangulation and were analysis, namely, data reduction, data display, and conclusion drawing.

According to the results of the analysis, some conclusions are drawn as follows: The novel writer’s world views in her novel entitled Tabularasa in general are sophisticated and intellectually high, and contain high socio economy; the socio cultural backgrounds of the novel are custom and tradition, education, occupation, ethnic group, religion, belief, lenguage, and place of residence; the novel writer’s attitudes to female characters in her novel entitled Tabularasa reflect the novel writer’s personal attitudes : a woman who is highly educated and independent, and who has strong principles and consistency in her belief; the character’s traits and their harmonious relations enliven the novel’s story; and the education values that the novel contains include religious value, education related to relation between God and human beings, moral value, education related to good and bad attitudes and behaviors of human beings; custom and tradition value, education to customs and traditions, and social value, education related to interrelation among human beings.


(7)

MOTTO

“Mulai” adalah kata yang penuh kekuatan cara terbaik untuk menyelesaikan sesuatu adalah “mulai”. Tapi juga mengherankan, pekerjaan apa yang dapat

kita selesaikan kalau kita hanya memulainya ( Clifford Warren).


(8)

PERSEMBAHAN

Penulis persembahkan karya penulis ini sebagai tanda rasa cinta penulis, kasih penulis, pengabdian penulis dan terima kasih penulis yang mendalam kepada orang-orang yang penulis penulisngi:

1. Suami(Sularto)yang senantiasa memberikan doa restu serta kasih penulisng yang tulus dan perhatian yang penuh kepada istri dan ketiga putra putrinya. 2. Ketiga anak-anakku tercinta, Raya Ilham syah

Majid, Nisrina Febri Maisun, Zahrani Farah Maisun yang selalu ada di setiap langkah penulis, baik suka maupun duka serta senantiasa memberikan motivasi dan dukungan di saat penulis mengalami kesulitan dalam menjalani hidup.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanallahu Wa Ta’ala yang telah melimpahkan rahmat dan rida-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis penulis ini. Dalam menyelesaikan tesis ini penulis memperoleh bantuan dari berbagai pihak, karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah membantu dengan tulus dan ikhlas berikut ini.

Penulis ucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Much. Syamsulhadi, dr. Sp. K.J.(K), selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menempuh pendidikan pascasarjana, Prof. Drs. Suranto., M. Sc., Ph.D., selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia yang telah banyak memberikan bantuan dan masukan, ide-ide serta gagasan-gagasan demi sempurnanya tesis penulis ini. Penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. St. Y. Slamet, M. Pd dan Dr. Retno Winarni, M.pd selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan penulisan tesis secara intensif dan berkesinambungan berkaitan dengan hal-hal yang berkaitan dengan bahasa, ejaan, maupun konteks isi dalam tesis penulis ini sehingga tesis dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Sahabat-sahabat baik penulis Bu Anin, Bu Ris, Bu Lestari, Mbak Linda, Mbak Retno, Bu Warni, Pak Paryono, Pak Bowo Prasetyo, Pak fajar, dan


(10)

rekan-rekan yang lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah memberikan keceriaan, kebahagiaan, dan saran-saran kepada penulis.

Akhirnya, penulis berharap dan berdoa semoga amal baik mereka mendapatkan imbalan yang sesuai dengan kebaikan mereka dan semoga semua bantuan yang telah mereka berikan itu menjadi amal baik serta mendapat imbalan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amiin Yaa Robbal’alamiiin.

Surakarta, Penulis


(11)

DAFTAR ISI

JUDUL ... i

PERSETUJUAN ... ii

PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI... x

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR BAGAN ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Perumusan Masalah... 9

C. Tujuan Penelitian... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II KAJIAN TEORETIS, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR ... 12

A. Kajian Teori ... 12

1. Kajian Tentang novel a. Pengertian Sastra... 12


(12)

c. Jenis Novel ... 19

d. Struktur Novel... 21

e. Penokohan dalam Novel... 25

2. Kajian tentang Feminisme Sastra ... 33

a. Pengertian Gender dan feminisme... 33

b. Citra Perempuan... 38

c. Pendekatan Feminisme Sastra... 61

d. Pendekatan feminisme dalam Karya Sastra novel... 74

3. Kajian Tentang Nilai Pendidikan... 77

a. Hakikat Nilai... 77

b. Hakikat Pendidikan... 81

c. Nilai Pendidikan dalam Karya Sastra Novel... 82

1) Nilai Pendidikan Agama... 84

2) Nilai Pendidikan Moral... 85

3) Nilai Pendidikan Adat/Budaya... 87

4) Nilai Pendidikan sosial ... 88

B.Penelitian yang Relevan... 90

C.Kerangka Berpikir ... 99

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 100

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 100

1. Tempat penelitian... 100

2. Waktu penelitian... 101

B. Bentuk/ Strategi Penelitian... 101

C. Data dan sumber Data ... 102

1. Data... 102

2. Sumber Data... 102

D. Teknik Pengumpulan data... 102

1. Pencatatan... 102

2. Analisis Data... 103


(13)

F. Teknik Analisis Data ... 104

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 106

A. Hasil Penelitian... 106

1. Tokoh dan Karakter Tokoh dalam Novel Tabularasa .. 106

2. Kepribadian Tokoh Perempuan ... 120

3. Hubungan Tokoh Perempuan Novel Tabularasa ... 129

4. Citra Tokoh Perempuan dalam Novel Tabularasa ... 140

5. Pokok-Pokok Pikiran Feminisme dalam Novel Tabularasa a. Kekerasan Terhadap Perempuan ... 149

b. Kemandirian Tokoh Perempuan ... 160

c. Tokoh Profeminisme dan Tokoh Kontrafeminisme.. 167

6. Nilai Pendidikan dalam Novel ... 178

a. Nilai Pendidikan Agama ... 179

b.Nilai Pendidikan Moral ... 180

c. Nilai Pendidikan Sosial... 182

d.Nilai Pendidikan Adat/Budaya ... 183

B. Pembahasan ... 186

1. Tokoh dan Karakter / Penokohan Tokoh ... 186

2. Kepribadian Tokoh Perempuan ... 188

3. Hubungan Tokoh Perempuan Novel Tabularasa ... 199

4. Citra Tokoh Perempuan dalam Novel Tabularasa ... 204

5. Pokok-Pokok Pikiran Feminisme Novel Tabularasa .. 206

a. Kekerasan Terhadap Perempuan ... 206

b. Kemandirian Tokoh Perempuan ... 213

c. Tokoh Profeminisme dan Tokoh Kontrafeminisme.217 6. Nilai Pendidikan dalam Novel ... 229

a. Nilai Pendidikan Agama... ... 230

b. Nilai Pendidikan Moral... 231


(14)

d. Nilai Pendidikan Adat/Budaya ... ..234

BAB V. SIMPULAN, IMPLIKASI,DAN SARAN... 237

A. Simpulan ... 237

B. Implikasi... 246

C. Saran... 249

DAFTAR PUSTAKA ... 251


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Alur Kerangka Berpikir ... 99

Gambar 2: Komponen-Komponen Analisis Data Model Interaktif... 105

Gambar 3: Struktur Kepribadian... 121


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Rincian Waktu dan Kegiatan Penelitian ... 101

Tabel 2 : Kepribadian Tokoh ... 122

Tabel 3 : Hubungan Tokoh Perempuan dengan Tokoh Laki-laki ... 130


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. a. Sampul depan novel Tabularasa ... 255

b. Sampul belakang novel Tabularasa ... 256

c. Sampul depan dan belakang novel ... 257

Lampiran 2. Profil Ratih Kumala ... 258

Lampiran 3. Sinopsis Novel Tabularasa karya Ratih Kumala ... 260

Lampiran 4. Data struktur naratif novel Tabularasa ... 265

Lampiran 5. Tabel kualifikasi data dan pengkodeannya ... 312

Lampiran 6. Komentar a. Awal bagus mencapai kematangan ... 357

b. Pertanyaan-pertanyaan tentang cinta ... 361

c. Ratih Kumala’s Little Blog ... 364

d. Keyakinan tidak perlu bukti ... 372

e. Krisis identitas tokoh lesbian ... 378


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra merupakan suatu kesatuan yang utuh. Unsur-unsur pembangun dalam karya sastra harus saling melengkapi, berkaitan erat dan berhubungan erat sehingga terbentuk hubungan yang seimbang dan berkarakter. Unsur-unsur yang membangun karya sastra tersebut membentuk suatu kesatuan isi dan bentuk, sehingga terciptalah karya sastra yang mempunyai kohesi dan koherensi.

Sastra adalah karya fiksi yang merupakan kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik baik yang di dasarkan aspek kebahasaan maupun makna (Zainuddin Fahanie, 2000: 6). Hasil kreasi dari ungkapan emosi spontan pengarang berupa pengalaman batin yang dituangkan dalam bahasa dan imaji. Imaji yang dituangkan dapat berupa pengalaman kenyataan hidup, wawasan pengarang terhadap kenyataan kehidupan, imajinasi murni pengarang yang tidak berkaitan sama sekali dengan kenyataan hidup (rekaan), atau dambaan intuisi pengarang dan dapat pula sebagai campuran dari kedua bentuk penuangan imajinasi di atas.

Sastra sebagai salah satu unsur kesenian mengandalkan kreativitas dan imajinasi. Pengarang dengan menggunakan bahasa sebagai media. Bahasa yang tertuang dalam karya sastra menggunakan bahasa yang indah, tidak semata-mata


(19)

merujuk pada bentuknya, tetapi juga keindahan isinya yang berkaitan dengan emosi, imajinasi, kreasi dan ide yang menarik.

Melalui bahasa pengarang menuangkan kreatifitasnya tidak lain untuk menyampaikan intuisi pengarang itu sendiri melalui makna yang disampaikan. Makna karya sastra berhubungan dengan hasil karya sastra itu sendiri dan dengan pembaca sastra. Karya sastra akan dipahami dan bermakna manakala pembaca sudah mengerti apa yang dimaksud dan apa yang tertuang dalam bentuk imajinasi yang berkembang didalam karya sastra. Pemahaman isi karya sastra yang ditulis pengarang bergantung pada kemajuan dan ketajaman interpretasi pembaca itu sendiri. Untuk dapat menginterpretasikan karya sastra dengan baik. Pembaca harus memahami dengan sungguh–sungguh dan bijaksana terhadap maksud pengarang dalam karya yang diciptakannya.

Karya sastra berdasarkan gendernya dibedakan menjadi dua yaitu prosa dan puisi, salah satu dari prosa adalah novel. Karya sastra berbentuk novel mempunyai daya tarik tersendiri karena berisi cerita tentang kehidupan manusia yang diidealkan oleh pengarang dan mengandung unsur estetik. Dikatakan ideal karena memuat cerita tentang kehidupan tokohnya yang beraneka ragam dan perwatakan secara mendalam sekaligus menyampaikan wawasan yang luas tentang pemecahan permasalahan yang disajikan kepada pembaca. Dengan demikian mampu memberikan suatu gambaran kehidupan manusia secara luas dan utuh melalui unsur-unsur yang membangunnya.

Perkembangan hasil kesusastraan Indonesia berbentuk novel dewasa ini, banyak diangkat novel-novel di awal perkembangan tahun 20-an sampai novel


(20)

terbaru dalam ujud penampilan yang berbeda. Bidang media cetak baik berupa harian, tabloid, maupun bulanan banyak memuat cerita rekaan bersambung dari novel. Bidang perfilman banyak mengangkat cerita dari novel, baik berupa sinetron dengan tayangan sekali tayang, tayangan dengan seri pendek maupun dengan tayangan seri yang panjang. Bidang pendidikan sudah pasti masuk dalam standar kompetensi bidang pelajaran bahasa dan sastra indonesia di sekolah. Novel dijadikan salah satu materi pengajaran sastra. Hal tersebut membuktikan bahwa novel bukan sekedar bacaan hiburan para pembaca apalagi sekadar mengisi waktu melainkan merupakan salah satu hasil karya sastra yang dapat dikaji dan dikembangkan.

Struktur formal karya sastra adalah struktur yang terrefleksi dalam kesatuan teks karena meliputi unsur-unsur yang membentuk karya sastra. Unsur-unsur tersebut antara lain meliputi: tema, penokohan, plot, setting, dan sudut pandang yang disebut unsur intrinsik. Sedangkan unsur ektrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra dapat berupa tradisi dan nilai-nilai kehidupan.

Kajian unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra searah dengan pendekatan telaah sastra dengan sasaran kajian feminisme karya sastra yang merupakan dua ilmu yang berbeda. Kedua ilmu tersebut dapat saling melengkapi. Dagun (dalam Nyoman Kutha Ratna, 1992: 187) mengatakan:

”Dalam sastra kontemporer, feminis merupakan gerakan perempuan yang terjadi hampir di seluruh dunia. Gerakan ini dipicu oleh adanya kesadaran bahwa hak-hak kaum perempuan sama dengan kaum laki-laki. Seperti diketahui, sejak berabad-abad, perempuan berada di bawah dominasi laki-laki, perempuan sebagai pelengkap, perempuan sebagai makhluk kelas dua. Secara biologis jelas perempuan berbeda dengan


(21)

kaum laki-laki, perempuan lebih lemah, sebaliknya, lak-laki lebih kuat. Meskipun demikian, perbedaan biologis mestinya tidak dengan sendirinya, tidak secara alamiah membedakan posisi dan kondisinya dalam masyarakat”.

Perbedaan–perbedaan tersebut menyebabkan munculnya gerakan feminisme dalam dunia sastra. Pandangan yang mempermasalahkan ketidakadilan yang dialami perempuan diakibatkan adanya paham patriarkhi di dalam dunia sastra.

Karya sastra terutama novel banyak sekali terdapat bias gender antara penulis laki-laki dan penulis wanita. Seorang penulis laki-laki pada umumnya menjadikan tokoh perempuan sebagai seorang yang tertindas di berbagai bidang, baik di dalam keluarga, masyarakat, agama maupun politik. Kesemuanya itu tidak lepas dari bagaimana seorang penulis melihat fenomena yang ada di sekitarnya. Akhirnya bermunculan penulis perempuan yang ingin mengubah keadaan yang disebabkan oleh persepsi bias genjer dalam masyarakat.

Diskriminasi terhadap perempuan sudah mulai tampak sejak awal perkembangan kesusastraan Indonesia modern. Siti Nurbaya sebagai novel pemula telah mengungkapkan kehidupan perempuan dengan berbagai penindasan dan penderitaan yang diciptakan oleh kondisi sosialnya. Wanita-perempuan dalam novel sebelum perang digambarkan sebagai objek semata, penurut, lemah, kalah, dan tak berdaya melawan kekuatan sistem budaya yang diskriminatif dan feodalis, sehingga perempuan dikalahkan oleh kemapanan budaya. Novel-novel sesudah perang tampaknya sudah berani mengungkapkan eksistensi perempuan sebagai


(22)

mahkluk yang tidak berbeda secara sosial dan psikologis dengan pria. Mereka berpandangan bahwa perempuan seharusnya disejajarkan dengan pria.

Siti Nurbaya adalah novel jenis feminis. Hal ini merupakan kemajuan yang sangat berharga karena sebelumnya tidak pernah ada novel yang sefeminis Siti Nurbaya. Namun, feminisme di dalamnya tidak sama persis dengan femininisme pada masa sekarang. Feminisme Stti Nurbaya dan kawan-kawannya adalah feminisme vernacular, feminisme kedaerahan yang dipengaruhi oleh kondisi setempat pada masa itu.

Siti Nurbaya menamakannya ”feminisme permulaan”, yaitu feminisme yang muncul secara sporadis, bersifat individual, dan menyuarakan emansipasi perempuan, menuntut persamaan antara perempuan-sejak dulu laki-laki sudah otonom-yaitu pemberian kebebasan kepada mereka untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Tuntutan persamaan itu tidak bersifat radikal karena mereka menyadari bahwa persamaan yang betul-betul dalam segala hal tidak mungkin terjadi. Yang jelas bahwa dalam fase ini para tokohnya menjadikan adat sebagai sasaran tembaknya karena adatlah yang menciptakan konstruksi gender dan subordinasi perempuan (Sugihastuti & Suharto, 2005: 337).

Menurut Mansour Fakih, (2007: 147) perbedaan gender ternyata telah mengakibatkan lahirnya sifat dan stereotype yang oleh masyarakat dianggap sebagai ketentuan kodrati atau bahkan ketentuan Tuhan. Sifat dan stereotype yang sebetulnya merupakan konstruksi ataupun rekayasa sosial terkukuhkan menjadi kodrat cultural, dalam proses yang panjang telah mengakibatkan terkondisikannya beberapa posisi perempuan antara lain: (1) Perbedaan dan pembagian gender yang


(23)

mengakibatkan, termanifestasi dalam, posisi subordinasi kaum perempuan di hadapan laki-laki. Secara ekonomis, perbedaan dan pembagian gender juga melahirkan proses marginalisasi perempuan; (2) Perbedaan dan pembagian gender juga membentuk penandaan atau stereotype terhadap kaum perempuan yang berakibat penindasan; (3) Perbedaan dan pembagian gender juga membuat kaum perempuan bekerja lebih keras dan memeras keringat lebih panjang; (4) Perbedaan gender juga melahirkan kekerasan dan penyiksaan terhadap kaum perempuan baik secara pisik maupun secara mental, dan (5) Perbedaan dan pembagian gender dengan segenap manifestasinya di atas, mengakibatkan tersosialisasinya citra posisi, kodrat, dan penerimaan nasib perempuan yang ada.

Hal yang menarik dalam novel Tabularasa karya Ratih Kumala ini adalah kebebasan pengarang dalam menempatkan kedudukan penggarang dalam wujud penceritaan (point of view). Pada bagian awal cerita sampai akhir cerita, tokoh aku menempati kedudukan sebagai tokoh utama yang bebas menggunakan nama dan bebas menampilkan karakternya. Pengarang membangun karakter, alur, setting, sudut penceritaan dengan kebenaran. Kebenaran dalam karya sastra mengandung makna kebenaran yang sesuai dengan keyakinan pengarang dan sesuai dengan pandangannya terhadap masalah hidup dan kehidupan sebagai pencipta hasil karya sastra. Kebenaran dalam karya sastra tidak harus sama dengan kebenaran di dalam dunia nyata, sesuatu yang tidak mungkin terjadi dalam kehidupan nyata mungkin akan dapat terjadi dalam kehidupan di dalam karya sastra .


(24)

Dialog yang disampaikan dalam Tabularasa disampaikan penuh dengan kekayaan imajinasi, bahkan ada banyak kalimat-kalimat yang memiliki makna sangat vulgar terkemas dengan berbagai gaya bahasa sehingga terkesan tidak vulgar, tidak terkesan porno, dan tidak terkesan murahan dalam penyajiannya.

Novel Tabularsa karya Ratih Kumala merupakan novel serius yang bertemakan gejolak jiwa perempuan pada jaman neo kapitalis yang berlebel bagus. Di dalamnya mengungkapkan proses kreatif pengarang melalui pengalaman langsung dan tidak langsung dan permasalahan kehidupan manusia modern yang kompleks. Melalui dua tokoh utama dalam novel ini melakukan begitu banyak perjalanan untuk mencapai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka tentang cinta. Galih mencintai Krasnaya, Raras mencintai Violet, namun cinta mereka yang tak pernah dipersatuakan karena dipisahkan oleh maut. Kisah cinta yang sebenarnya diungkapkan melalui tokoh-tokohnya tanpa mengungkapkan pengambaran adegan seks yang artifisial. Dengan demikian yang muncul adalah gagasan tentang makna perkawinan, tentang memilih pasangan hidup apapun jenis kelaminnya sehingga terangkatlah ideologi tentang seksual dalam makna yang sesungguhnya.

Pada umumnya novel-novel berkembang bersamaan dengan munculnya Tabularasa karya Ratih Kumala adalah novel-novel yang semata-mata hiburan hanya dibaca untuk kepentingan santai, meliputi pesona kepada pembaca. Novel yang bersifat hiburan tersebut kurang mengedepankan nilai-nilai pendidikan yang dapat bermanfaat untuk kehidupan. Fakta menyatakan meskipun kebanyakan orang memuji fiksi serius dengan melabelinya ”bagus”, hanya sebagian kecil yang


(25)

membacanya. Pembaca memuji fiksi serius karena telah diajarkan untuk berbuat demikian dan bukan karena mereka lebih menyukainya ketimbang fiksi populer. Cara penjelasan yang dipakai untuk menjelaskan yang ”bagus” dan yang enak dibaca seolah-olah mengisyaratkan bahwa ”bagus” bagi fiksi serius berarti tidak enak dibaca. Secara implisit maupun eksplisit mereka menyebutkan bahwa fiksi serius dimaksudkan untuk mendidik dan mengajarkan sesuatu yang berguna untuk kita dan bukannya memberi kenikmatan (Robert Stanton, 2007: 4).

Adapun alasan memilih novel Tabularasa Karya Ratih Kumala ini adalah sebagai berikut. Pertama, karena selama ini belum ada yang meneliti novel Tabularasa dengan tinjauan mengenai feminisme sastra, meskipun ada tetapi kurang spesifik karena hanya sebuah ulasan karya sastra. Kedua, novel Tabularasa menampilkan hakekat cinta dengan latar belakang perkembangan sejarah peradaban manusia pada masa kapitalis hingga berlanjut ke Neo Kapitalis yang erat hubungannya dengan feminisme, dikatakan demikian karena feminisme dianggap sebagai musuh terbesar komunisme. Ketiga, Ratih Kumala dalam Tabularasa melihat masalah perkelaminan sebagai hak asasi manusia yang berlaku universal. Ia mencoba mengangkat masalahnya dari semangat untuk tidak tergantung kepada salah satu jenis kelamin saja. Yaitu jenis kelamin laki-laki atau perempuan dan siapapun bebas menentukan pilihan ketika seseorang dengan pasangan hidupnya memilih untuk punya anak atau tidak. Keempat, novel Tabularasa sarat dengan nilai-nilai pendidikan, agama, sosial, budaya, moral dan nasionalis. Oleh karena itu, Tabularasa menjadi objek penelitian dengan judul


(26)

”Novel Tabularasa Karya Ratih Kumala” (Tinjauan Feminisme Sastra dan Nilai Pendidikan).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di depan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana tokoh dan karakter tokoh serta hubungan tokoh perempuan dengan tokoh lainnya dalam novel Tabularasa karya Ratih Kumala? 2. Bagaimana kepribadian tokoh perempuan dengan tokoh lainnya dalam

novel Tabularasa karya Ratih Kumala?

3. Bagaimana hubungan tokoh perempuan dengan tokoh laki-laki dalam novel Tabularasa karya Ratih Kumala?

4. Bagaimana citra perempuan yang disampaikan Ratih Kumala dalam novel Tabularasa?

5. Bagaimana pokok-pokok pikiran feminisme dalam novel Tabularasa karya Ratih Kumala?

6. Bagaimana nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Tabularasa karya Ratih Kumala?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dapat diungkapkan sebagai berikut:

1. Untuk menjelaskan bagaimana tokoh serta karakter tokoh perempuan dalam novel Tabularasa karya Ratih Kumala.


(27)

2. Untuk menjelaskan bagaimana kepribadian tokoh perempuan dalam novel Tabularasa karya Ratih Kumala.

3. Untuk menjelaskan bagaimana hubungan tokoh perempuan dengan tokoh laki-laki dalam novel Tabularasa karya Ratih Kumala.

4. Untuk menjelaskan bagaimana citra perempuan yang disampaikan dalam novel Tabularasa karya Ratih Kumala.

5. Untuk menjelaskan bagaimana pokok-pokok pikiran feminisme dalam novel Tabularasa karya Ratih Kumala.

6. Untuk menjelaskan nilai-nilai pendidikan dalam novel Tabularasa karya Ratih Kumala.

D. Manfaat Penelitian

Ada dua manfaat penelitian yang dapat diperoleh dari penelitian ini yaitu:

1. Manfaat Teoretis

a. Memberikan masukan dalam khasanah pengetahuan bidang sastra. b. Memperkaya perkembangan karya sastra apresiasi sastra Indonesia

dan sebagai bahan pijakan penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis

a. Bagi guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam pengajaran sastra.


(28)

b. Bagi siswa, hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang nilai pendidikan sehingga dapat mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

c. Para pembaca diharapkan dapat menjadi salah satu karya yang bermanfaat bagi pembaca umumnya, terutama dalam memahami konsep-konsep yang terdapat dalam novel Tabularasa.


(29)

BAB II

KAJIAN TEORETIS, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Teoretis 1. Kajian tentang Novel a. Pengertian Sastra

A. Teeuw (1988: 23) memberikan pengertian tentang sastra yaitu:

”Kata sastra dalam Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta: akar kata ’sas- dalam kata kerja turunan berarti mengerahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi. Akhiran –tra biasanya menunjukan alat, sarana. Maka dari itu sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intruksi atau pengajaran; misalnya silpasastra buku arsitek, kamasastra buku petunjuk mengenai seni cinta. Awalan su–berarti baik, indah sehingga sastra dapat dibandingkan dengan belles-lettres. Kata susastra nampaknya tidak terdapat dalam bahasa Sansekerta dan Jawa kuno ”.

Pendapat yang disampaikan oleh A.Teeuw menyampaikan pengertian bahwa sastra berbentuk alat atau sarana yang dapat dipakai untuk mengajar dan memberikan petunjuk pengajaran. Sarana tersebut merupakan hasil karya yang berisi tentang seni.

Seni sastra atau kesenian oleh Zuber Usman,B.A.(dalam Rachmat Joko Pradopo, 1997: 33 ) disampaikan sebagai berikut:

”Hasil pekerjaan mengarang dari penyair itu dinamakan kesusuasteraan atau seni sastra. Kesusasteraan adalah cabang dari kesenian dan kesenian seperti itu kita maklum bagian dari kebudayaan.Kesusastraan pokok katanya sastra (sastra, Skt) = Tulisan atau bahasa. Su (Skt) = indah, bagus. Susastra= bahasa yang indah, maksudnya hasil ciptaan bahasa yang indah atau seni bahasa. Kesusasteraan mendapat awalan dan akiran (ke-an). Yang dimaksun dengan kesusasteraan ialah hasil kehidupan jiwa yang terjelma dalam tulisan atau bahasa tulis yang menggambarkan atau mencerminkan peristiwa kehidupan masyarakat atau anggota masyarakat”.


(30)

Nyoman Kutha Ratna (2003: 1) mendefinisikan pengertian sastra lebih mengarah kepada sarana yang dipakai untuk menyampaikan materi, untuk mengajar, atau untuk memberi petunjuk. Sarana yang akan disampaikan berupa hasil karya manusia yang indah berupa hasil karya seni bahasa. sebagai berikut,

”Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya yang baik”.

Zaennudin Fananie (2000: 6) mengatakan sebagai hasil kreasi cipta luapan emosi yang mengungkapkan kehidupan manusia dan memiliki makna dalam kehidupannya yaitu,

”Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik baik yangg didasarkan aspek kebahasaan maupun aspek makna. Estetik bahasa biasanya diungkapkan melalui aspek puitik. Atau poetic funcion (surface strukture) sedang estetika makna dapat terungkap melaui aspek deep structure ”

Pendapat karya sastra sebagai bentuk ungkapan emosi spontan sehingga mewujudkan aspek estetik dan kebahasaan tersebut sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh Nyoman Kutha Ratna. Pendapatnya sebagai berikut:

”Karya sastra merupakan rekonstrusi yang harus dipahami dengan manfaatkan mediasi. Karya sastra membangun dunia melalui energi kata-kata. Melalui kualitas hubungan paradigmatik, sistem tanda dan sistem simbol, kata-kata menunjuk sesuatu yang lain di luar dirinya. Bahasa mengikat keseluruhan aspek kehidupan, untuk kemudian disajikan dengan cara yang khas dan unik agar peristiwa yang sesungguhnya dipahami secara lebih bermakna. Lebih intens, dan dengan sendirinya lebih luas dan lebih mendalam (Ratna, 2005: 16).

http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasidosen/sas tra%20dan%20sastra%20feminis%20dalam%20kebudayan.pdf


(31)

Max Eastman (dalam Wellek &Waren, 1989: 30) menjelaskan bahwa Hakikat sastra adalah imajinasi dan kreativitas, sehingga sastra selalu dikaitkan dengan ciri-ciri tersebut. Sastra sebagai karya imajinatif. Acuan dalam sastra adalah dunia fiksi atau imajinasi. Sastra mentransformasikan kenyataan ke dalam teks. Sastra menyajikan dunia dalam kata, yang bukan dunia sesungguhnya, namun dunia yang mungkin ada. Walaupun berbicara dengan acuan dunia fiksi, namun, menurut Max Eastman, kebenaran dalam karya sastra sama dengan kebenaran di luar karya sastra, yaitu pengetahuan sistematis yang dapat dibuktikan. Fungsi utama sastrawan adalah membuat manusia melihat apa yang sehari-hari ada di dalam kehidupan, dan membayangkan apa yang secara konseptual dan nyata sebenarnya sudah diketahui(Welleck & Warren, 1990: 30-31).http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasidosen/sastra %20 dan%20sastra%20feminis%20 dalam%20kebudayan.pdf

Berdasarkan berbagai pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sastra adalah pengungkapan fakta imajinatif kehidupan manusia melalui bahasa sebagai media yang berdampak positif / bermanfaat bagi kehidupan manusia dan kemanusiaan.

b. Pengertian Novel

Cerita fiksi dibedakan menjadi tiga jenis yaitu: roman, cerpen, dan novel. Dalam tulisan ini yang akan diuraikan hanya pengertian novel karena objek penelitian yang ditulis adalah novel.

Abrams (dalam Burhan Nurgiantoro, 2005: 9) menjelaskan tentang novel sebagai berikut:


(32)

”Novel (Inggris = novel) dan cerita pendek (disingkat cerpen=Inggris= short story) merupakan dua bentukkarya sastra yang sekaligus disebut sebagai fiksi. Bahkan dalam perkembangan kemudian, novel dianggap bersinonim dengan fiksi. Dengan demikian pengertian fiksi seperti dikemukakan di atas, juga berlaku untuk novel, sebutan novel dalam bahasa Inggris. Dan inilah yang kemudian masuk ke indonesia- berasal dari bahasa Itali novella (yang dalam bahasa Jerman = novelle). Secara harfiah novella berarti sebuah bab baru yang kecil dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa”.

Jakob Sumarjo & Saini K. M. (1988: 29) menyampaikan pengertian novel dalam arti yang luas novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas. Ukuran yang luas di sini dapat berarti cerita dengan plot (alur) yang kompleks, karakter yang banyak,tema yang kompleks hanya satu saja, suasana cerita yang beragam, dan setting yang beragam pula. Namun ”ukuran luas”di sini juga tidak mutlak demikian,mungkin yang luas hanya salah satu unsur fiksinya saja, misalnya temanya, sedang karakter, setting, dan lain-lainnya. Pengertian novel juga di definisikan oleh Koesnosoebroto dan Sunaryo Basuki (1998: 10) sebagai berikut:

”Novel is a long work of fiction that contaiss more than 10000 words. It is more complex because it has more incidents, setting, character, and may take place in a long span of time. I may have more than one theme and more conflicts. Novel tends to expands and it is very complex in it’s structure. It does not finish to be read once a seat as a short story because it’s length develops the character’s problem”.

Novel diartikan sebagai cerita fiksi panjang lebih dari 10.000 kata. Novel lebih bersifat kompleks karena mempunyai banyak peristiwa, setting, karakter, dan latar tempat yang memiliki kemungkinan diambil dalam waktu yang lama. Penulis dalam menulis novel memiliki satu tema dengan banyak konflik. Novel memiliki tendensi untuk memperluas dan berkembang sehingga sangat komplek dalam strukturnya. Novel itu tidak dapat diselesaikan untuk dibaca dalam sekali


(33)

duduk seperti cerita pendek yang dapat dibaca dalam waktu yang relatif pendek hanya sekali duduk,karena memiliki perkembangan di berbagai permasalahan karakter yang panjang.

Melani Budiyanto(1982: 282) mengemukakan bahwa Novel adalah gambaran dari kehidupan manusia dan perilaku yang nyata, dan zaman sasta novel itu ditulis. Romansa yang ditulis dalam bahasa yang agung dan dipindah, menggambarkan apa yang pernah ditulis dari apa yang pernah terjadi.

Fiksi merupakan hasil karya sastra melalui penghayatan dan perenungan dalam bentuk kreativitas pengarang. Kreativitas berupa perenungan jiwa pengarang yang menghasilkan kemampuan pengarang menampilkan bentuk-bentuk pola kehidupan, cara pandang, sikap kehidupan tokoh yang ditampilkan berdasarkan pada tujuan, keingginan dan amanat pengarang itu sendiri. Fiksi sebagai hasil perenungan menyajikan berbagai permasalahan-permasalahan kehidupan manusia dimana manusia itu sendiri selalu mengalami intereaksi dengan penciptanya, Intereaksi terjadi apabila terjadi adanya dialog baik secara langsung maupun tidak langsung.

Novel juga dianggap sebagai hasil perenungan dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupanya. Perenungan tersebut bukanlah suatu lamunan melainkan berupa hasil pengalaman jiwa yang telah dipertimbangkan baik-baik dan sungguh-sungguh. Perenungan yang telah dilakukan dengan penuh kesadaran dan bertanggung jawab tersebut menawarkan gambaran kehidupan seperti yang diisyaratkan oleh penulisnya sendiri. Hal ini merupakan pengertian novel yang disampaikan oleh Burhan Nurgiantoro (2005: 3 ) sebagai berikut:


(34)

”Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia intereaksinya dengan lingkungan dan sesama intereaksinya dengan diri sendiri, serta intereaksi dengan tuhan, fiksi merupakan hasil dialog, kontemplasi dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Walau berupa khayalan, tidak benar jika fiksi dianggap sebagi hasil kerja lamunan belaka, melainkan penghayatan dan perenungan secara intens, perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan, perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Fiksi merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya fiksi. Fiksi menawarkan ”model-model” kehidupan sebagaimana yang diidealkan oleh pengarang sekaligus menunjukan sosoknya sebagi karya seni yang berunsur astetik dominan”.

Novel menurut Burhan Nurgiantoro merupakan salah satu dari macam bentuk fiksi seperti yang dikemukakan oleh Aminuddin. Pada dasarnya unsur-unsur yang dibangun dalam karya sastra fiksi berupa roman, novel, atau cerpen memiliki kesamaan, yang berbeda hanya pada panjang pendek isi cerita, kompleksitas isi cerita dan jumlah tokoh-tokohnya. Menelaah hasil salah satu karya sastra berupa roman juga dapat di terapkan pada penelaahan hasil karya sastra berupa novel dan cerpen. Aminuddin (2002: 66) sebagai berikut:

”Karya fiksi lebih lanjut dibedakan dalam berbagai macam bentuk, baik itu roman, novel, novelet, maupun cerpen. Perbedaan berbagai macam bentuk dalam karya fiksi itu pada dasarnya hanya terletak pada kadar panjang – pendeknya isi cerita, kompleksitas isi cerita, serta jumlah pelaku yang mendukung cerita itu sendiri. Akan tetapi, elemen-elemen yang dikandung oleh setiap bentuk karya fiksi maupun cara pengarang memaparkan isi ceritanya memiliki kesamaan meskipun dalam unsur-unsur tertentu mengandung perbedaan. Oleh karena itulah hasil telaah suatu roman, misalnya pemahaman atau ketrampilan lewat telaah tertentu, dapat juga diterapkan baik dalam rangka menelaah novel maupun cerpen. Perkembangan dunia novel semakin berkembang pesat”

Novel pada awalnya hanya sebuah karya imajinasi. Pada perkembangan berikutnya ternyata para pembaca dari golongan orang-orang kaya, menengah, dan kaum terpelajar mulai tidak menyukai novel karena dianggap berisi hal-hal yang bersifat hayalan belaka. Novel yang mendapat pengaruh dari faham filsafat


(35)

John Lock menyukai cabang kesenian sastra yang berdasarkan pada realitas dan masuk akal. Penggambaran kehidupan manusia dalam karya sastra diungkapkan sewajarnya dengan meyampaikan kebaikan, keindahan maupun kemewahan. Keburukan sebagaimana umumnya berupa kekurangan-kekurangan yang menyertai sifat-sifat manusia tergambarkan tanpa meninggalkan kewajaran. Meskipun demikian, realita kehidupan yang digambarkan sebatas realita yang dibuat oleh pengarang itu sendiri, seperti yang disampaikan Herman J. Waluyo (1994: 38) yang menjelaskan bahwa sesuatu yang digambarkan novel adalah sesuatu yang realistik dan masuk akal. Kehidupan yang dilukiskan bukan hanya kehebatan dan kelebihan (untuk tokoh yang dikagumi), tetapi juga cacat dan kekurangan.

Pendapat yang tidak jauh berbeda disampaikan tentang isi novel yang terinspirasi dari kehidupan manusia sesuai realita. Virgina Wolf (dalam Henri Guntur Tarigan, 1993: 164) menyampaikan tentang novel bahwa roman atau novel adalah sebuah aksplorasi atau suatu kronik penghidupan, perenungan dan melukiskan dalam bentuk tertentu, pengaruh, ikatan hasil. Kehancuran atau tercapainya gerak-gerik manusia.

Novel adalah suatu cerita dengan suatu alur, cukup panjang mengisi satu buku atau lebih, yang menggarap kehidupan pria dan perempuan yang bersifat imajinatif, (Henry Guntur Tarigan, 1993: 164).

Berdasarkan berbagai pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa novel adalah cerita fiksi yang melukiskan kehidupan manusia. Fiksi dalam pengertian sebagi cerita rekaan atau cerita yang tidak terjadi dengan


(36)

sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenarannya dalam dunia nyata, kebenaran yang dimaksud adalah sesuai dengan keyakinan pengarang.

c. Jenis Novel

Jakob Sumardjo dan Saini, (1986: 29) berpendapat bahwa novel dapat diklasifikasikan menjadi tiga golongan, yakni novel percintaan, novel petualangan, dan novel fantasi.

1) Novel percintaan merupakan novel yang didalamnya terdapat tokoh perempuan dan pria secara seimbang, bahkan peranan perempuan lebih dominan. Sebagai novel yang dibuat oleh pengarang termasuk jenis novel percintaan dan jenis novel ini hampir terdapat semua tema;

2) Novel petualangan melibatkan peranan perempuan lebih sedikit daripada pria. Perempuan dilibatkan dalam novel jenis ini, maka penggambarannya hampir stereotip dan kurang berperan. Jenis novel petualangan merupakan bacaan yang banyak diminati kaum pria karena tokoh pria sangat dominan dan melibatkan banyak masalah dunia lelaki yang tidak ada hubungannya dengan perempuan. Jenis novel ini juga terdapat unsur percintaaan, namun hanya bersifat sampiran belaka; dan

3) Novel fantasi bercerita merupakan novel yang menceritakan peristiwa yang tidak realistis dan tidak mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Unsur karakter, setting, dan plot yang digunakan tidak realistis sehingga tidak dapat digunakan untuk menyampaikan ide penulis. Konsep, ide, dan gagasan sastrawan dapat dengan jelas disampaikan dalam bentuk cerita


(37)

fantastis artinya tidak sesuai dengan kehidupan sehari-hari atau menyalahi hukum empiris.

Adapun Zaiden Hendy, (1993: 225) membagi novel berdasarkan unsur fiksi dan corak isinya. Berdasarkan unsur fiksi novel dapat dibagi menjadi tiga, yaitu novel plot, novel watak, dan novel tematis.

1) Novel plot atau novel kejadian. Novel ini mementingkan struktur cerita atau perkembangan kejadian. Novel ini biasanya banyak melukiskan ketegangan karena banyak mengisahkan kejadian;

2) Novel watak atau novel karakter. Novel ini mementingkan pengisahan watak atau karakter para pelakunya misalnya penakut, pemalas, humor, pemarah, mudah putus asa, mudah kecil hati, dan sebagainya; dan

3) Novel tematis. Novel ini mementingkan tema atau pokok pesoalan yang sangat banyak, maka novel tematispun bermacam-macam pula. Dari sekian banyak itu digolongkan atau beberapa saja yaitu novel politik, novel agama, dan novel sosial.

Berdasarkan corak isinya, novel dibagi atas novel populer dan novel aktual. Novel populer adalah novel kebanyakan yang ditulis dengan pola tiru meniru karena itu, novel jenis ini sangat banyak dihasilkan. Tergolong dalam novel ini yaitu: novel detektif, novel kriminal, novel western, dan novel silat.

d. Struktur Novel

Dunia atau kosmos seorang novelis pola atau struktur atau organisma yang meliputi plot, tokoh, latar, pandangan hidup, dan nada adalah unsur sastra yang


(38)

perlu dipelajari, jika ingin membandingkan novel dengan kehidupan, atau jika ingin menilai-secara etika atau sosial karya seorang novelis. Kenyataan yang disampaikan dalam karya sastra tidak dapat diukur dengan ketepatan sejumlah fakta tertentu atau dinilai berdasarkan ukuran moral. Realita yang ditampilkan adalah kenyataan keseluruhan dalam dunia fiksi itu sendiri. Dunia yang sebenarnya tidak akan sepadu dunia yang diciptakan dan ditampilkan oleh penulis novel.

Wellek dan Warren, (1993: 283) mengatakan bahwa pada umumnya kritikus yang membedakan novel dengan karya sastra lain akan membedakan tiga unsur pembentuk novel yaitu: alur, penokohan, dan latar.

Robert Stanton (Dalam Sugihastuti dan Rossi Abi Ali Irsyad, 2007: 90) menyinggung tenang struktur novel sebagai berikut;

“Oleh karena bentuknya yang panjang, novel tak dapat mewarisi kesatuan padat yang dipunyai cerpen. Novel juga tidak mampu menyanjikan topiknya menonjol seperti prinsip mikrokosmis cerpen. Sebaliknya, novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter dan berbagai peristiwa ruwet yang menjadi beberapa tahun selam secara lebih mendetail”. Dibandingkan dengan cerpen, novel mampu menghadirkan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang dimilikinya dengan lebih mendetail. Karakter tokoh dilukiskan secara mendalam, lengkap, dan berkembang. Latar belakang sosial diciptakan untuk memperjelas situasi sosial yang dilukiskan penulis. Situasi sosial yang digambarkan berjalan secara bertahap dalam rangkaian urutan waktu membentuk peristiwa-peristiwa dalam waktu yang cukup lama dan panjang. Novel memiliki kemampuan untuk menceritakan secara lebih banyak dari sekedar apa yang diceritakan. Kelebihan novel adalah kemampuannya menyampaikan


(39)

permasalahan yang kompleks secara penuh dalam mengkreasikan sebuah dunia yang lengkap.

Stanton (dalam Rachmat Djoko Pradopo, 2001:56) mengatakan bahwa struktur karya sastra terdiri dari 3 unsur yakni tema, fakta cerita, dan sarana sastra. Fakta cerita terdiri atas alur, tokoh, dan latar. Sarana sastra biasanya terdiri atas sudut pandang, gaya bahasa, dan suasana, simbol-simbol, imaji, dan juga cara-cara pemilihan judul. Fungsi karya sastra adalah menggabungkan dua unsur karya sastra yaitu fakta karya sastra dan tema karya sastra sehingga makna karya sastra yang sedang dipelajari dapaat dioahami dengan jelas.

Teeuw (1983: 38) menyebutkan bahwa sistem sastra ada tiga aspek dan sistem sastra oleh A Teeuw disejajarkan dengan pengertian struktur sastra. Tiga aspek sistem sastra itu ialah:

”(1) externe strukturrelation (dalam Plett, 1975: 122), sistem itu tidak otonom tetapi terikat pada sistem bahasa. Si penyair dalam menciptakannya paling tidak sebagian terikat pada sistem bahasa yang dipakainya, tidak hanya pada aspek bentuknya, tetapi pula pada sistem maknanya. Sejauh mana ada kelonggaran dan kebebasannya merupakan masalah yang menarik untuk diteliti, tetapi tidak mudah; (2) interne strukturralation (Plett, 1975: 122), sistem itu merupakan struktur intern, struktur dalam yang bagian dan lapisannya saling menentukan dan saling berkaitan. Sistem itu dapat disebut semacam tata sastra, ”a set of conventions fo reading poetry”...; (3) Sistem sastra juga merupakan model dunia sekunder, yang sangat kompleks dan bersusun-susun”.

Robert Stanton (dalam terjemahan Sugihastuti dan Rossi Abi Ali Irsyad, 2000: 90) mengatakan bahwa dalam novel tidak dibebani oleh tanggung jawab untuk menyampaikan sesuatu dengan cepat atau dalam bentuk padat dan ditulis dalam skala besar sehingga mengandung satuan-satuan organisasi yang lebih luas ketimbang cerpen.


(40)

Abrams berpendapat fiksi mengarah pada prosa naratif. Fiksi yang dalam hal ini adalah novel dan cerpen, bahkan kemudian fiksi sering diangkat bersinonim dengan novel. Fiksi atau novel meupakan hasil tiruan dunia nyata dilihat dari kacamata pengarang itu sendiri. Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia,dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot (alur cerita), tokoh (penokohan), latar (tempat waktu) dan (peristiwa), sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya tentu saja, juga bersifat imajinatif. Kesemuanya itu walau bersifat noneksistensial, karena dengan sengaja dikreasikan oleh pengarang, dibuat mirip, diimitasikan dan atau dianalogikan dengan dunia nyata secara lengkap dengan runtutan peristiwa-peristiwa dan latar aktualnya sehingga tampak seperti sungguh ada dan terjadi/terlihat berjalan dengan sistem koherensinya sendiri. Kebenaran dalam fiksi, dengan demikian ,tidak harus sama dan berarti dan memang tidak perlu disamakan dan diartikan dengan kebenaran yang berlaku di dunia nyata. Hal itu disebabkan dunia fiksi yang imajinatif dengan dunia nyata masing-masing memiliki sistem/hukumnya sendiri (Burhan Nurgiantoro, 2005: 4).

Selanjutnya, Henry Guntur Tarigan membagi beberapa yang dapat di klasifikasikan dalam sat kelompok. Konflik, kesegaran, atmosfer, kesatuan, logika, pengalaman keseluruhan, gerakan dan kelajuan dapat dikelompokkan menjadi satu unsur dari plot atau kerangka cerita. Sedangkan pola dan perencanan, seleksi dan sugesti, jarak, pelukisan tokoh, dan skala dapat dimasukkan dalam unsur gaya atau style. Yaitu bahwa Henry Guntur Tarigan (1984: 124)


(41)

menyebutkan 21 unsur pembentuk struktur cerita rekaan, yaitu: (1) tema; (2) ketegangan dan pengembangan; (3) alur; (4) pelukisan tokoh; (5) konflik; (6) kesegaran dan atmosfer; (7) latar; (8) pusat; (9) kesatuan; (10) logika; (11) interpretasi (12) kepercayaan; (13) pengalaman keseluruhan; (14) gerakan; (15) pola dan perencanaan; (16) tokoh dan laku; (17) seleksi dan sugesti; (18) jarak; (19) skala; (20) gaya; dan (21) imajinasi.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan ,bahwa struktur novel merupakan sebuah totalitas yang terdiri dari kesatuan unsur-unsur pembentuknya. Baik unsur intrinsik maupun ektrinsik. Unsur-unsur tersebut saling berhubungan dan saling menentukan. Tiap-tiap unsur pembangun struktur dapat bermakna jika memiliki keterkaitan dengan keseluruhan. Dengan kata lain dalam keadaan terpisah dari totalitasnya unsur-unsur tersebut tidak bermakna, tidak berfungsi, dan tidak ada artinya

e. Penokohan dalam Novel

Analisis perwatakan pada tokoh tertentu dalam karya sastra dimulai dari bagaimana pengarang novel memperkenalkan tokoh-tokohnya, peran, dan fungsi peran atau penokohannya tersebut. Tokoh yang yang ditampilkan akan dapat dianalisis melalui berbagai hal seperti dialog, perilaku, latar, maupun melalui analisa dari pengarang sendiri melalui tulisannya.

Tokoh cerita menurut Abrams sebagaimana dikutip oleh Burhan Nurgiyantoro, (2005: 165) menjelaskan, tokoh cerita (character), adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu naratif, atau drama, yang oleh pembaca


(42)

ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Penokohan adalah gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.

Fungsi dan peran tokoh dalam cerita bukan hanya sekedar memainkan peran tetapi harus mampu menyampaikan ide cerita, tema yang terangkai dalam satu jalinan cerita. Jokop Sumarjo (dalam Zainuddin Fananie, 2000: 86) menjelaskan fungsi dan peran tokoh dalam cerita yaitu:

”Sebagian besar tokoh-tokoh karya fiksi adalah tokoh-tokoh rekaan. Kendati berupa rekaan atau hanya imajinasi pengarang, masalah penokohan merupakan satu bagian penting dalam membangun sebuah cerita. Tokoh-tokoh tersebut tidak saja berfungsi untuk memainkan cerita, tetapi juga berperan untuk menyampaikan ide, motif, plot, dan tema. Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan jiwa, terutama psiko-analisa, merupakan pula salah satu alasan pentingnya peranan tokoh cerita sebagai bagian yang ditonjolkan oleh pengarang”.

Hubungan antara seorang tokoh dengan kualitas pribadinya erat sekali dengan bagaimana penerimaan pembaca. Karena pembacalah yang dapat memberi makna yang sebenarnya. Pemaknaan pembaca dilihat dari bagaimana berdialog dengan kata-kata atau dengan sikap tingkah lakunya dilihat berdasarkan oleh kwalitas pribadi tokoh bukan hanya secara fisik saja.

Burhan Nurgiantoro, (1995: 165) menyampaikan pengertian yang berbeda antara penokohan dan tokoh. Pengertian penokohan lebih luas dibandingkan dengan pengertiannya tokoh. Tokoh berhubungan dengan pemeran sedangkan penokohan berhubugan dengan perwatakan pemeran sebagai berikut:

”Istilah penokohan berbeda pengertiannya dengan tokoh. Penokohan lebih luas dibandingkan dengan tokoh. Tokoh hanyalah sosok pemeran dalam cerita sedangkan penokohan mencakup masalah siapa tokoh cerita,


(43)

bagaimana perwatakan tokoh cerita, bagaimana penempatannya dalam cerita, dan pelukisan dalam cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca”.

Wellek & Warren, (1989: 288) menyampaikan pendapatnya tentang adanya perubahan penokohan. Penokohan yang telah didukung oleh penampilan psikis dan fisik dapat berubah sewaktu-waktu berdasarkan keadaan karakterologi yang dijadikan acuan. Tokoh dalam novel dapat menunjukan adanya perubahan tersebut. Ada penokohan statis dan penokohan dinamis atau penokohan berkembang. Penokohan datar (flat characterization) menampilkan satu kecenderungan, yang dianggap dominan atau kecenderungan yang paling jelas secara sosial. Penokohan bulat (round characterization) seperti penokohan dinamik membutuhkan ruang dan penekanan. Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi memilki peranan yang tidak sama.

Burhan Nurgiantoro, (2005: 176) memberikan kategori ke dalam beberapa jenis yaitu: (1) dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dibedakan menjadi tokoh utama cerita (central charakter, main charakter) dan tokoh tambahan (paripheral charakter); (2) dilihat dari fungsi penampilan tokoh dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis; (3) berdasarkan perwatakannya tokoh cerita dibedakan ke dalam tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh kompleks atau tokoh bulat (complex atau round character); (4) berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh cerita dibedakan ke dalam tokoh statis/tidak berkembang (static charakter) dan tokoh berkembang (developing charakter); (5) berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap(sekelompok) manusia dari kehidupan nyata,tokoh cerita


(44)

dapat dibedakan ke dalam tokoh topikal (typical character) dan tokoh netral (neutral character).

Hal yang sama disampaikan oleh Aminuddin, (2002: 82) bahwa ragam pelaku penokohan sebagai berikut:

”Selain terdapat pelaku utama, pelaku tambahan, pelaku protagonis, dan pelaku antagonis juga terdapat sejumlah ragam pelaku yang lain. Ragam pelaku lain selain ragam pelaku yang telah diungkapkan itu adalah (1) simple character, (2) complex character, (3) pelaku dinamis ,dan (4) pelaku statis”.

Simpel karakter adalah jika pelaku tidak banyak menunjukan adanya kompleksitas masalah. Komplek karakter pelaku yang pemunculannya menunjukan pelaku yang banyak dibebani permasalahan yang komplek. Pelaku dinamis adalah pelaku yang memiliki perubahan dan perkembangan batin dalam keseluruhan penampilan. Pelaku statis dalam hal ini adalah pelaku yang tidak menunjukan adanya perubahan atau perkembangan sejak pelaku itu muncul sampai cerita berakhir.

Sementara itu, Panuti Sudjiman (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2005: 53) menyampaikan kedudukan tokoh protagonis dalam cerita yaitu:

”Penentuan tokoh protagonis didasarkan pada kriteria sebagai berikut.. Pertama tokoh yang paling tinggi intensitas keterlibatannya dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita. Waktu yang digunakan untuk menceritakan pengalaman tokoh protagonis lebih banyak dibandingkan dengan waktu yangdigunakan untuk mengisahkan tokoh-tokoh lain. Kedua tokoh protagonis berhubungan dengan semua tokoh yang ada di dalam cerita, sedangkan tokoh-tokoh lain tidak saling berhubungan. Ketiga, protagonis menjadi pusat sorotan di alam cerita”.

Keberhasilan pengarang dalam menggambarkan atau menampilkan penokohan tergantung pada kemampuan pengarang menggambarkan watak


(45)

tokoh-tokoh yang ada yang mewakili karakter-karakter manusia yang dikehendaki tema dan amanat dalam batas kewajaran realita kehidupan manusia.

Zainuddin Fananie, (2000: 87) mengungkapkan model mengekspresikan karakter tokoh yang dipakai pengarang dapat bermacam-macam yaitu: (1) analitik artinya tokoh-tokoh cerita sudah dideskripsikan sendiri oleh pengarang, dengan kata lain pengaranglah yang menganalisis watak tokoh-tokohnya; dan (2) dramatik artinya pengarang tidak secara langsung mendeskripsikan karakter tokohnya. Karakter dibangun melalui kebiasaan berpikir, cara pengambilan keputusan dalam menghadapi setiap peristiwa,perjalanan karier, dan hubungan dengan tokoh-toko lain, termasuk komentar dari tokoh yang satu ke tokoh yang lain.

Lebih lanjut Boulton, (dalam Aminuddin, 2002: 79) mengungkapkan bahwa cara pengarang menggambarkan atau memunculkan tokohnya itu dapat berbagai macam. Mungkin pengarang menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya hidup di dalam mimpi, pelaku yang memiliki semangat perjuangan dalam mempertahankan hidupnya, pelaku yang memiliki cara sesuai dengan kehidupan manusia yang sebenarnya, maupun pelaku yang egois, kacau dan mementingkan diri sendiri. Dalam cerita fiksi, pelaku itu dapat berupa manusia atau tokoh makhluk lain yang diberi sifat seperti manusia, misalnya kancil, kucing, sepatu, dan lain-lainnya.

Cara penggarang menggambarkan para tokoh dapat di analisis oleh pengarang langsung dan jelas melalui tulisannya.Analisis lain dapat dilakukan dengan melihat melalui komponen-komponen yang mendukung dalam rangkaian


(46)

ceritanya. Secara garis besar ada dua macam cara pendeskripsian karakter tokoh dalam sastra novel seperti yang disampaikan oleh Mursal Esten, (1990: 27) sebagai berikut:

”Pertama secara analitik, yaitu pengarang langsung menceritakan bagaimana watak tokoh-tokohnya. Kedua secara dramatik, yaitu pengarang tidak langsung menceritakan bagaimana watak-watak para tokohnya. Misalnya melalui penggambaran tempat dan lingkungan tokoh, bentuk-bentuk lahir (potongan tubuh dan sebagainya), melalui percakapan (dialog), dan melalui perbuatan tokoh”.

Lebih rinci dan luas lagi Muchtar lubis dalam Henry Guntur Tarigan (1993: 132-133) menyampaikan tentang cara penggambaran penokohan bukan hanya dari unsur-unsur yang mendukung saja tetapi juga tanggapan dan komentar dari lawan main dan bagaimana tokoh dapat bereaksi terhadap suatu kejadian sebagai berikut: (1) physical deskription (melukiskan bentuk lahir tokoh); secara Portryal of thought stream or of concious thought (melukiskan jalan pikiran tokoh atau siapa saja yang melintas dalam pikirannya); (2) reaction to even (bagaimana reaksi tokoh itu terhadap kejadian); (3) direct outhor analysis (pengarang langsung menganalisis watak tokohnya.

Menurut M. Saleh Saad (dalam Tengsoe Tjahjono, 1988: 138) menyampaikan cara pengarang melukiskan keadaan dan watak tokoh-tokohnya dapat melalui dua jalan yaitu: (1) cara analitik; dan (2) cara dramatik. Dalam cara analitik seorang pengarang akan menjelaskan secara langsung keadaan dan watak tokohnya, sedangkan dalam cara dramatik dalam melukiskan tokoh-tokohnya tidak dengan cara menganalisis langsung, tetapi melalui hal-hal yang lain. Cara pelukisan keadaan watak tokoh secara dramatik ini dapat dilakukan melalui berbagai cara, yaitu: (1) dengan cara melukiskan reaksi tokoh lain


(47)

terhadap tokoh utama, (2) dengan cara melukiskan keadaan sekitar tempat tokoh itu tinggal, (3) dengan cara melukiskan jalam pikiran dan perasaan tokoh-tokoh dalam cerita tersebut, dan (4) dengan cara melukiskan perbuatan tokoh-tokoh tersebut.

Pembaca novel yang berpengalaman sebelum memberi simpulan terhadap karakter tokoh, ia akan cenderung menunda pendapatnya tentang satu karakter tertentu, terbuka menerima petunjuk baru untuk memperkuat penilaian terhadap karakter tersebut. Petunjuk tersebut dapat berupa nama tokoh, deskripsi eksplisit, dan komentar pengarang sendiri terhadap karakter tokoh (Robert Stanton, 2007: 34) mengatakan:

”Pada kasus lain, bunyi yang diartikulasikan dari nama karakter tertentu dapat mengarahkan kita pada sifat karakter itu seperti nama (karakter-karakter Dickens) Scrooge yang mensugestikan sifat kikir, pickwick yang humoris, atau Murdstone yang jahat. Bukti lain yang tidak kalah penting adalah deskripsi eksplisit dan komentar pengarang tentang karakter bersangkutan. Deskripsi semacam itu selalu membantu kita dalam menvisualisasikan sekaligus memahami karakter tersebut”.

Pada prinsipnya ada tiga cara yang digunakan pengarang untuk menampilkan tokoh-tokohnya yaitu: (1) metode analisis atau deskriptif atau langsung; (2) metode tidak langsung atau peragaan atau dramatisasi, ditambah dengan (3) metode kontekstual.

Berikut ini adalah penjelasan dari ketiga metode tersebut di atas:

(1) metode analisis atau deskriptif atau langsung yaitu metode yang digunakan pengarang dalam mendeskripsikan tokoh-tokohnya secara langsung dengan terinci (analitis). Pendeskripsiannya dapat dilakukan secara fisik (keadaan


(48)

fisiknya), psikis (wataknya), dapat juga keadaan sosialnya (kedudukan dan pangkat) akan tetapi lazimnya adalah ketiga-tiganya.

(2) metode tidak langsung atau metode dramatik. Pengarang tidak memaparkan kehidupan tokoh cerita tetapi pembaca yang menafsirkan karena pengarang ingin memberikan fakta. Pengarang dalam mengambarkan tokohnya ini biasanya berkenaan dengan penampilan fisik,hubungan dengan orang lain,cara hidup sehari-hari, dan sebagainya.

(3) metode kontekstual adalah metode yang digunakan pengarang untuk melukiskan watak tokoh melalui konteks bahasa atau bacaan (Herman J. Waluyo, 2002: 167).

Wellek dan Warren, (1989: 287) menjelaskan cara-cara yang paling sederhana dalam pendeskripsian perwatakan adalah dengan pemberian nama. Setiap sebutan adalah sejenis cara memberi kepribadian dan penghidupan. Character atau tokoh adalah bahan yang paling aktif yang menjadi penggerak jalan cerita. Karakter ini berpribadi, berwatak, dia memiliki sifat-sifat karakteristik yang tiga dimensional. Tiga dimensi yang di maksud adalah:

(1) Dimensi fisiologis ialah ciri-ciri badani, seperti: (a) usia, tingkat kedewasaan, (b) jenis kelamin , (c) keadaan tubuhnya, (d) ciri-ciri muka.

(2) Dimensi sosiologis ialah latar belakang kemasyarakatan, misalnya: (a) status sosial, (b) pekerjaan, jabatan, peranan di dalam masyarakat, (c) pendidikan (d) kehidupan pribadi (e) pandangan hidup (f) aktifitas sosial, organisasi, hobbi, (g) bangsa, suku, keturunan.


(49)

(3) Dimensi psikologis ialah latar belakang kejiwaan, meliputi: (a) mentalitas, ukuran moral/membedakan antara yang baik dan tidak baik, (b) temperamen, keinginan dan perasaan pribadi, sikap dan kelakuan, (c) I.Q. (Intelegen Quotient) tingkat kecerdasan, kecakapan, keahlian khusus dalam bidang-bidang tertentu (Harymawan, 1988: 25).

Tokoh dalam cerita novel seperti halnya manusia dalam kehidupan sehari-hari disekitar kita, selalu memiliki berbagai watak-watak tertentu tentang macam apa tokoh yang ditampilkannya itu. Seorang pengarang seringkali memberikan penjelasan kepada pembaca secara langsung. Seorang pelaku yang digambarkan melalui gambaran lingkungan. Seringkali lewat tingkah laku seseorang juga dapat ditentukan bagaimana perwatakannya. Pemahaman watak seseorang juga dapat diketahui lewat apa yang dibicarakan oleh orang lain terhadapnya. Dalam upaya memahami watak-watak tokoh pelaku dalam cerita, pembaca dapat penjelasan kepada pembaca secara langsung. seorang pelaku yang digambarkan melalui gambaran lingkungan. Seringkali lewat tingkah laku seseorang juga dapat ditentukan bagaimana perwatakannya. Pemahaman watak seseorang juga dapat diketahui lewat apa yang dibicarakan oleh orang lain terhadapnya. Dalam upaya memahami watak-watak tokoh pelaku dalam cerita, pembaca dapat menelusurinya lewat: (1) tuturan pengarang terhadp karakteristik pelakunya; (2) gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun caranya berpakaian; (3) menunjukan bagaimana perilakunya; (4) melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri; (5) memahami bagaimana jalan pikirannya; (6) melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya; (7)


(50)

melihat bagaimana tokoh lain berbincang dengannya; (8) melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain itu memberikan reaksi terhadapnya; (9) melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya. (Aminuddin, 2002: 80).

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah cara atau proses pengarang melukiskan atau menggambarkan watak dari tokoh yang ditampilkan melalui kemampuan jiwanya dan sesuai dengan perwatakan pemeran tokoh dalam cerita.

2. Kajian Tentang Feminisme Sastra

a. Pengertian Gender dan Feminisme

Feminisme terbentuk dari munculnya ketidakadilan gender, gender sendiri ada akibat adanya konstruksi sosial dan kultur sehingga munculah beberapa ciri-ciri biologis yang melekat yang selama ini dianggapnya sebagai ciri-ciri alamiah dan kodrat padahal ciri itu ada setelah mengalami perkembangan waktu dan budaya. Hal itu disampaikan oleh Achmad Muthali’in, (2001: 22) yaitu:

“Ciri biologis khusus yang dimiliki perempuan, yang pada umumnya untuk reproduksi, secara sosial maupun kultural direpresentasikan sebagai makhluk yang lemah lembut, emosional sekaligus keibuan, sementara laki-laki dengan ciri fisik yang dimiliki, dipandang kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Sifat dikonstruksi secara sosial dan kultural ini dapat dipertarukan. Maksudnya laki-laki dapat memiliki sifat lemah lembut, keibuan, dan emosional. Sebaliknya, perempuan bisa bersifat kuat, rasional, dan perkasa. Pertukaran sifat atau ciri tersebut tergantung zaman, latar budaya, maupun stratifikasi sosial yang mengintarinya. Pada latar budaya dan kelas sosial tertentu, perempuan dikonstruksi untuk mengurus anak dan suami di rumah, sedang laki-laki bekerja diluar rumah. Sebaliknya dalam latar budaya dan kelas budaya yang lain, perempuanlah yang bekerja diluar rumah, sedang laki-laki mengasuh anaknya dirumah. Semua hal yang bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan perkembangan waktu dan budaya tersebut yang disebut dengan konsep gender. Jadi, bukan ciri biologis yang melekat secara alamiah dan kodrati.


(51)

Feminisme lahir dari adanya ketidakadilan gender yang ditimbulkan oleh perbedaan gender. Nugraheni Eko Wardani, dalam Jurnal Bahasa Sastra, dan Pengajarannya, April 2007 menyampaikan bahwa:

“Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kurtural. Perbedaan ini tidak bersifat biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan ini diciptakan oleh manusia sendiri melalui sistem kebudayaan dan sosial yang panjang. Gender akan tampak melalui perbedaan yang dilekatkan kepada laki-laki dan perempuan. Laki-laki memiliki stereotype kuat, perkasa, dan rasional, sehingga laki-laki tidak boleh melakukan kegiatan yang indektik dengan kehalusan dan kelembutan. Laki-laki yang ambil bagian dalam kegiatan yang secara budaya dan sosial indektik dengan kelembuatan dan kehalusan akan dianggap sebagai laki-laki yang keperempuan-perempuanan. Suatu stigma yang sebetulnya memandang rendah kepada perempuan.”

Perbedaan gender akhirnya dapat melahirkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender memunculkan gerakan feminisme. Gerakan feminisme sebagai gerakan perempuan yang menutut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki.

Perbedaan gender telah melahirkan ketidakadilan gender yang berimbas pada posisi yang disandang oleh kaum perempuan. Menurut Fakih, (1997: 147), membagi ketidakadilan terhadap perempuan menjadi enam bagian. Pertama, perbedaan dan pembagian gender termanifestasikan ke dalam bentuk sub-ordinasi kaun perempuan di hadapan laki-laki, terutama menyangkut soal proses pengambilan keputusan dan pengendalian kekuasaan. Kedua, perbedaan dan pembagian gender melahirkan proses marginalisasi perempuan secara ekonomis dan kultur, birokrasi, maupun program-program pembangunan. Ketiga, perbedaan dan pembagian gender membentuk stereotype (bentuk penindasan ideologi dan kultural, dengan lebel memojokkan kaum perempuan sehingga


(52)

berimbas pada posisi dan kondisi kaum perempuan) terhadap kaum perempuan yang berakibat pada penindasan terhadap mereka. Keempat, perempuan menjadi bekerja lebih keras dalam lingkup domestik. Perempuan yang bekerja di luar rumah beban kerja semakin ganda dan berat (mengurus rumah tangga dan bekerja). Kelima, perbedaan gender juga menyebabkan timbulnya kekerasan dan penyiksan terhadap perempuan, baik secara fisik maupun secara mental.Keenam, perbedaan dan pembagian gender mengakibatkan tersosialisasinya citra posisi, kodrat,dan penerimaan nasib perempuan yang ada.

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural bukan kodrat Tuhan.

Selden (dalam Herman J.Waluyo, 2006: 100) menyampaikan pengertian feminisme sebagai berikut:

”Secara etimologis, feminis berasal dari kata femme (women), berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak) sebagai kelas sosial. Dalam hubungan ini perlu dibedakan antara male dan female (sebagai aspek perbadaan biologis, sebagai hakikat alamiah), masculine feminism (sebagai aspek perbedaan psikolog dan cultural). Dengan kalimat lain, male dan female mengacu pada seks, sedangkan masculine mengacu pada jenis kelamin dan gender, sebagai he dan she”.

Selden, menyampaikan pandanganya tentang gerakan kaum perempuan yang menolak segala sesuatu yang dimarginalkan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan yang dominan baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun kehidupan sosial pada umumnya. Lebih lanjut disampaikan oleh Goefe (dalam Sugihastuti Suharto, 2005: 18) menyatakan bahwa Feminisme adalah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di segala bidang baik politik,


(53)

ekonomi, pendidikan, sosial dan kegiatan terorganisasi yang mempertahankan hak-hak serta kepentingan perempuan.

Sugihastuti dan Suharto menyampaikan pemahamannya tentang feminisme yang memandang perempuan memiliki aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam berbagai kegiatan. Menurut Rosalind Delmar, (dalam Irwan Abdullah, 2006: 282) feminismme merupakan suatu paham yang muncul lewat proses kesejarahannya sendiri, yaitu berawal dari fakta-fakta adanya eksploitasi antara kelompok jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Kelompok berjenis kelamin laki-laki merasa lebih superior dari pada kelompok perempuan. Pemahaman seperti ini haruslah diperbaiki, hal ini disampaikan sebagai berikut,

”Feminisme merupakan faham yang memperhatikan isu-isu yang mempengaruhi perempuan dan memajukan kepentingan perempuan. Maka setiap orang yang mau berbagai perhatian terhadap nasib perempuan adalah feminist. Feminisme bisa juga didefinisikan sebagai active desire to change woman’s position in society atau merupakan paham yang mengatakan perempuan mengalami deskriminasi karena jenis kelaminnya, sehingga mereka memiliki kebutuhan spesifik, di mana untuk memperolehnya harus dengan perjuangan perubahan secara radikal (berakar), maka femisme merupakan par excelence. Seseorang yang memperhatikan isu perempuan tapi tidak mengaku sejarah munculnya pemikiran feminisme, belum dapat disebut feminist“.

Hal yang hampir sama disampaikan oleh Mansour Fakih, (2000: 202) yang memberikan pandangannya tentang feminisme sebagai alat analisis maupun gerakan yang selalu bersifat historis dan kontekstual sesuai dengan kesadaran baru yang berkembang dalam menjawab masalah-masalah perempuan yang aktual menyangkut ketidakadilan dan ketidaksederajatan.


(54)

Selanjutnya, Mansour Fakih (2007: 100) memberikan ilustrasi tentang hakikat Perjuangan feminisme untuk kesamaan derajat perempuan dengan laki-laki. Kesamaan derajat pada martabat dan kebebasan mengontrol raga dan kehidupan baik di dalam maupun luar rumah.

‘‘Feminisme bukanlah perjuangan emansipasi perempuan di hadapan kaum laki-laki(terutama kelas proletar) juga mengalami penderitaan yang diakibatkan oleh dominasi, eksploitasi serta represi dari sistem yang tidak adil. Gerakan feminisme merupakan perjuangan dalam rangka mentranformasikan system dan struktur yang tidak adil, menuju system yang adil bagi perempuan maupun laki-laki. Dengan kata lain, hakikat feminisme adalah gerakan transformasi sosial dalam arti tidak melulu memperjuangkan soal perempuan atau hanya dalaam rangka mengakhiri dominasi gender dan manifestasinya seperti: eksploitasi, marginalisasi, subordinasi, pelekatan stereotype, kekerasan, dan penjinakan belaka, melainkan perjuangan transformasi sosial arah penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik”.

Murtada Mutahhari, (dalam Alef Theria Wassim http://icas-indonesia.org –ICAS) menyampaikan pemikiran tentang feminisme yang merupakan bentuk kesadaran laki-laki dan perempuan untuk menggubah keadaran akan ketidak asilan gender yang menimpa pada perempuan. Sejarah telah beranggapan bahwa konsep gender merupakan sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan dari hasil konstruksi social dan budaya dan melekat sejak lahir sehingga bersifat alami yaitu,

”Umumnya, feminisme mempunyai artian sebagai "suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, baik itu di tempat kerja ataupun dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan dan laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut". Artinya feminisme sedemikian ini biasanya tidak pilah dari artian gender; yaitu "kesadaran akan ketidakadilan gender yang menimpa para perempuan baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat, dan tindakan sadar oleh perempuan ataupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut". Dalam perspektif feminisme, kata seks dan gender sering kali dari sisi bahasa dikenal sebagai "jenis kelamin", dan sisi konseptual sering dikenal sebagai bersifat alami, kodrati, dan tidak dapat diubah karena terbawa sejak lahir.


(1)

(2)

DAFTAR PUSTAKA

Alef Theria Wasim. Memahami Pemikiran Murtada Mutahhari Tentang

Feminisme. 2006 http://icas-Indonesia.org-ICAS. Diunduh 3 Januari 2009.08.00 wib.

Achmad Muthali’in. 2001.Bias Gender dalam Pendidikan. Muhammadiyah University Press: Surakarta.

Baron, Renee dan Elizabeth Wagele Eneagram.Psikologi Kepribadian Populer. 2005.

http://popsy.wordpress.com/2007/06/16/mengenal-9-tipe-kepribadian-manusia-dengan-lebih-asyik/ Diunduh 30 Maret 2009. 14.00 Wib.

Burhan Nurgiantoro. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Cameron, Deborah. 1993. Feminisme dan linguistic theory. London: Macmillan. Dick Hartoko dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:

Liberty.

Mursal Esten.1990. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa.

F.G.Robin.Kepribadian.2009.http://tugassekolahonline.blogspot.com/2009/02/ kepribadian.html. Di unduh 2 Maret 2009.08.00 Wib.

Friedman, Howard S.dan Miriam W. Schustack. Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern.2006. Jakarta: Erlangga.

Gerarda Sunarsih.”Gender dan Hak Reproduksi Perempuan” Jurnal Wanodya No. 11 Tahun 2000, Halaman 9-12.

Gering Supriyadi dan Tri Guno, LLM. Arti Definisi Pengertian Budaya Kerja-dan Tujuan Manfaat Penerapannya Pada Lingkungan Sekitar. 2005. http:// organisasi.org/arti-definisi-pengertian-budaya-kerja-dan-tujuan-manfaat-penerapannya-pada-lingkungan-sekitar.Diunduh.5September 2009.09.00 Wib.

Henry Guntur Tarigan. 1985. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Herman J. Waluyo. 1998. ”Feminisme dalam Pengkajian Sastra”. Jurnal Dwijawarta . No.1/1998, Halaman 1-4.


(3)

Tahun IX 2000, Halaman 1-8.

Herman J. Waluyo. 2002. Apresiasi dan Pengkajian Cerita Fiksi. Salatiga: Widyasari.

Herman J. Waluyo. 2002. Apresiasi Sastra Rekaan. Salatiga: Widya Sari Prees. Howard S.FriedmN Dn Miriam W Schustack.Kepribadian.2006 http://

tugassekolahonline.blogspot.com/2009/02/kepribadian.html. diunduh 27 Pebruari 2009. 10.00 wib.

Irwan Abdullah ed. 2006. Sangkan Paraninng Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jabrohim Widayati ed. 2002.Bahasa dan Sastra Indonesia.Yogyakarta:Gama Media.

Jaleswari Pramodhawardani.”Kekerasan Terhadap Lesbian; Bukan Sekedar Angka”.Jurnal Perempuan 26 Tahun 2000, Halaman 70.

Joko Widagdo. 2001. Sosiologi Sastra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Julia Kriteva. Kritik Terhadap Feminisme Indonesia.2008. http://leeanarea. blogspot.com/2008/07/kritik-terhadap- feminisme-

indonesia.html.Diunduh 25 Maret 2009,08,30 Wib.

Kattsoff. Aksiologi Hakikat Nilai. 2004. http://ahfadh.wordpress.com/2009/01 /03/ aksiologi-hakikat-nilai/. Diunduh 25 Maret 2009.08.00 Wib. Koentjaraningrat.Kepribadian.1999.http://tugassekolahonline.blogspot.com/2009

/02/kepr ibadian.html. Diunduh 29 Maret 2009. 07.00 Wib.

Koentjaraningrat.1985. Kebudayaan, Mentaalitet, dan Pembaangunan. Jakarta: Gramedia.

Korrie Layun Rampan. 1984. Suara Pancaran Sastra. Jakarta: Yayasan Arus. Lee.Feminisme di Indonesia. 2008.http://images.google.co.id/imgres?imgurl =http: //1.bp.blogspot.com. Diunduh 20 November 2009.09.00.wib Maman S. Mahaan. 2005. Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik.

Jakarta: Bening Publising.

Mansour Fakih.2000. Membincangkan Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam.Surabaya:Risalah Gusti.


(4)

Mansour Fakih. 2007. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Marchand, Marianne H and Jane L.Parpar. 1995. Feminism/ Postmodernism/ Development. London.Routledge.

Melani Budianto. 1982. Membaca Sastra: Pengantar Mahasiswa Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi. Magelang: Indonesiantera.

Murtini. 1997. Pengantar Pengkajian Cerita Rekaan. Surakarta: UNS Press. Nugraheni Eko Wardani. 2007. Fiksi Karya ”Pengarang Perempuan Muda

Indonesia 2000 dalam Perspektif Gender”. Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. Vol. 5 No. 1 April 2007.

Nugraheni Eko Wardani. 2006. “Kritik Sastra Feminis Sebagai Alternatif Pengajaran Sastra”. Laporan Penelitian FKIP UNS.

Nyoman Kutha Ratna. 2007. Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rahmad Djoko Pradopo. 1997. Prinsip-prinsip Kritik Sastra.Yogyakarta:Gajah

Mada University Press.

Rahmad Djoko Pradopo. Persepsi Tentang Citra Diri.1990.http://mwalidin. blogspot.com/2007/12/html.Diunduh 12 Pebruari 2009.08.00 wib.

Renee Baron dan Elizabeth Wgele.Mengenal 9 Tipe Kepribadian Manusia. 2007. http://popsy.wordpress.com/2007/06/16/mengenal-9-tipe-kepribadian-manusia-dengan-lebih-asyik.Diunduh 12 Pebruari 2009.08.00 wib. Ratih Kumala. 2004. Tabularasa Karya. Jakarta:Gramedia Widiasarana.

Sapardi Djoko Damono. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Gajah Mada University Press: Yogyakarta.

Scheler, Max. 2001. Filsafat Nilai. Jakarta: Angkasa.

Selden, Raman. 1993. A Reader’s Guide to Contemporery Literary. New York: Harvester Wheatsheaf.

Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan.2007.Gender dan Inferioritas Perempuan. Yogyakarta:Pustaka Pelajar Offset.

Sugihastuti dan Suharto.2005.Kritik Sastra Feminisme.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.


(5)

Sunaryo Basuki Koesnosoebroto. 1998. The Anatomy of Prose Fiction. Jakarta : Depdikbud.

Soedomo Hadi. 2003. Pendidikan Suatu Penghantar.Surakarta: UNS Press.

Suyitno.1986. Sastra, Tata Nilai dan Aksesoris Baru Indonesia. Yogyakarta: Hanindita.

Tengsoe Tjaahjono.1988.Sastra Indonesia pengantar Teori dan Apresiasi.Ende-Flores:Nusa Indah.

Teeuw, A. 1988. Pengantar Teori Sastra. Bandung: PT. Karya Nusantara. Walidin, Muhammad Walidin. Persepsi Tentang Citra Diri. 2007.

http://mwalidin.blogspot.com/2007/12/persepsi-tentang-citra-diri.html. Diunduh 23 Januari.09.00 2009. wib.Press.

Wellek, Rene dan Austin Warren.1993. Teori Kesusasteraan Sastra ( Terjemaan Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.

Wina Sanjaya. 2006. Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Fajar InterPratamaOffset.

Witakania S. Som. Sastra, Sastra Feminisme dan Studi Kultural. 2007.http:// resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasdosen/sastra%20da n%20sastra%20feminis%20dalam%20kebudayaan.pdf.Diunduh

1 November 2009. 10.00 wib .

Yulian Firdaus Hendriyana.Kontemplasi Emosi dan Pikiran Dalam Tulisan. 2003.http://www.uny.ac.id. Diunduh 12 September 2009.09.00.wib Zaiden Hendy. 1993. Kesusasteraan Indonesia: Warisan Yang Perlu Diwariskan.

Bandung: Angkasa.

Zainuddin Fananie.2000.Telaah Sastra.Surakarta:Muhammadiyah University Press.

Bappenas.Peranan wanita, anak dan remaja, dan

pemuda.1998.

http://www.

bappenas.go.id/index.php?module=Filemanager&fnc=

download&pathext=ContentExpress/&view=lampid98

/Bab-20%201998%20cek.doc. Diunduh 20 Januari

2009.13.30wib


(6)