ANALISIS EFISIENSI USAHA KECIL DAN MENENGAH (UKM) BATIK DI DESA KAUMAN KOTA PEKALONGAN DENGAN METODE DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA)

(1)

ANALISIS EFISIENSI USAHA KECIL DAN MENENGAH (UKM)

BATIK DI DESA KAUMAN KOTA PEKALONGAN

DENGAN METODE

DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA)

Skripsi

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi

Jurusan Ekonomi Pembangunan

Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta

OLEH: QOMARUDIN NIM. F0107011

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011


(2)

commit to user ii

ABSTRAK

ANALISIS EFISIENSI USAHA KECIL DAN MENENGAH (UKM) BATIK DI DESA KAUMAN KOTA PEKALONGAN DENGAN METODE DATA

ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA) Qomarudin

F0107011

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur efisiensi teknis, efisiensi revenue, efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomis usaha kecil dan menengah (UKM) batik di Desa Kauman Kota Pekalongan. Kedua, untuk mengetahui variabel-variabel apakah yang menjadi sumber inefisiensi pada masing-masing pengusaha batik di Desa Kauman Kota Pekalongan dan bagaimana mencari solusi untuk mencapai efisiensi pada pengusaha yang belum efisien. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data Envelopment Analysis (DEA), yaitu metode non parametrik yang berbasis pada programasi linier. DEA mengukur rasio efisiensi relatif Unit Kegiatan Ekonomi (UKE) sebagai rasio output tertimbang dengan input tertimbang. Pada dasarnya prinsip kerja model DEA adalah membandingkan data input dan output dari suatu organisasi data (decision making unit/DMU) dengan data input dan output lainnya pada DMU yang sejenis. Perbandingan ini dilakukan untuk mendapatkan suatu nilai efisiensi.

Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa dari 35 responden menunjukkan sebanyak 12 UKM sudah efisien secara teknis sedangkan 23 UKM lainnya belum efisien . secara efisiensi revenue sebanyak 17 UKM sudah efisen dan 18 UKM belum efisien. Menurut efisiensi alokatif tidak ada yang mencapai efisiensi dan menurut efisiensi ekonomis sebanyak 12 UKM telah mencapai efisiensi dan 23 UKM lainnya belum efisien. Adapun penyebab inefisiensi adalah variabel bahan baku. Untuk menjadikan UKM yang belum efisien menjadi efisien dapat dilakukan dengan menyesuaikan nilai aktual variabel input UKM yang belum efisien sesuai dengan nilai target yang direkomendasikan DEA.

Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa tingkat efisiensi UKM di Desa Kauman masih rendah. Saran yang diajukan untuk UKM yang belum efisien adalah para pengusaha diharapkan dapat memanfaatkan input yang dimiliki sehingga dapat tercapai efisiensi.

Kata kunci: DEA, Efisiensi Efisiensi Teknis, Efisiensi Revenue, Efisiensi Alokatif, Efisiensi Ekonomis, inefisiensi.


(3)

commit to user iii

ABSTRACT

Efficiency Analysis of Small and Medium Enterprises (SMEs) Batik In The Kauman Village Pekalongan City With Method Data Envelopment Analysis (DEA)

QOMARUDIN F0107011

This study aims to measure the technical efficiency, revenue efficiency, allocative efficiency and economic efficiency of small and medium enterprises (SMEs) in the Village Kauman batik Pekalongan. Second, to determine whether these variables are a source of inefficiency in each of batik in Pekalongan Kauman Village and how to find solutions to achieve efficiencies on the employers who have not been efficient. The method of analysis used in this study is Data Envelopment Analysis (DEA), which is non-parametric method based on linear programasi. DEA measures the relative efficiency ratio of Economic Activity Unit (UKE) as the ratio of weighted outputs to weighted inputs. Basically, the working principle of the DEA model is to compare the data input and output of an organization's data (decision making unit / DMU) with other data input and output similar to the DMU. This comparison is performed to obtain an efficiency value.

Based on the analysis results can be concluded that of 35 respondents indicated a total of 12 SMEs are technically efficient, while 23 other SMEs have not been efficient. the efficiency of revenue as much as 17 SMEs have efisen and 18 SMEs have not been efficient. According to the allocative efficiency of nothing to achieve efficiency and economical efficiency by as much as 12 SMEs have achieved an efficiency of SMEs and 23 others have not been efficient. The cause of inefficiency is a variable raw material. To make efficient SMEs that have not become efficient can be done by adjusting the actual value of the input variables of SMEs that have not been efficient in accordance with the

recommended target value of the DEA.

From the results of the study concluded that the level of efficiency of SMEs in the village Kauman still low. Suggestions put forward for SMEs that have not been efficient entrepreneurs are expected to make use of owned inputs so as to achieve efficiency. Key words: DEA, Efficiency Technical Efficiency, Efficiency of Revenue, allocative efficiency, Economic efficiency, inefficiency.


(4)

commit to user iv


(5)

commit to user v


(6)

commit to user vi

MOTTO

Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan(QS. Al-Insyiroh 6)

Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi kemanfaatan untuk orang lain (hadist)

Hakikat ilmu bukan apa yang dihafalkan, akan tetapi yang dipahami dan ditempatkan dalam hati

(Muhammad Syakir dalam “Washoya Al-Abaa’ lil Ibna’)

Man jadda wajada Man shobaro zhafiro

Man saroo ‘ala darbi washola


(7)

commit to user vii

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dengan menyebut nama Allah SWT

kupersembahkan karya ini untuk:

Ø Ibu dan Bapakku tercinta yang tiada

henti memberikan segala yang terbaik untuk

putra-putrinya

Ø Kakak dan adikku tersayang

Ø Almamaterku UNS

Ø Temen-temen seperjuanganku dimana


(8)

commit to user viii

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penuis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan banyak rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ANALISIS EFISIENSI USAHA KECIL DAN MENENGAH (UKM) BATIK DI DESA KAUMAN KOTA PEKALONGAN DENGAN METODE

DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA)” untuk melengkapi tugas-tugas dan

memenuhi syarat-syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa adanaya dorongan, bimbingan, petunjuk serta bantuan dari berbagai pihak skripsi ini tidak dapat terselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Drs. Wisnu Untoro,MS selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Drs. Supriyono selaku Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Sebelas Maret Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Dr. Yunastiti Purwaningsih, MP selaku dosen pembimbing akademik.

4. Drs. Sutomo, MS yang telah banyak memberikan motivasi dan semangat selama untuk terus maju dan pantang menyerah dalam menggapai cita-cita.

5. Dr. AM. Soesilo, MS selaku dosen pembimbing dalam proses penyusunan skripsi sehingga dapat berjalan dengan baik.

6. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta. 7. Ustadz Nur Khotib yang sabar dalam mendidik dan melatih jiwaku menuju

pribadi yang sholeh.

8. Temen-temen mahasiswa STAN dan Universitas Tokyo yang memotivasiku untuk dapat terus berpacu dengan kalian.

9. Temen-temen EP 07. Tetap semangat dan sampai berjumpa kembali di puncak kesuksesan.


(9)

commit to user ix

11. Temen-temen UKM Tae Kwon Do, PD, BPPI, KEI dan BEM FE. Terima kasih atas persahabatan selama ini.

12. Santriwan-santriwati Majelis Ta’lim Raudhatut Thalibin. Semoga ukhuwah ini tetap terjaga tak lekang oleh waktu.

13. Mas Ajie Najmuddin yang menuntunku menemukan jalan islam yang sesungguhnya.

14.My Little Angel, kaulah sumber inspirasi dan penyemangat jiwaku.

15.Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan secara keseluruhan yang telah membantu kelancaran penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Surakarta, Juli 2011

Penulis


(10)

commit to user x

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

ABSTRAK ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep dan Pengertian Usaha Kecil dan Menengah ... 11

1. Definisi UKM ... 11

2. Karakteristik Sosial dan Ekonomi Usaha Kecil Dan Menengah ... 17


(11)

commit to user xi

3. Karakteristik Umum Usaha Kecil dan Menengah ... 20

B. Teori Produksi ... 23

1. Pengertian Teori Produksi ... 23

2. Fungsi Produksi... 26

3. Produksi dengan Satu Input Variabel ... 29

4. Produksi dengan Dua Input Variabel... 34

5. Faktor Produksi... 36

6. Efisiensi... 41

C. Penelitian Terdahulu ... 47

D. Kerangka Pemikiran ... 51

E. Hipotesis Penelitian ... 52

BAB III METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian ... 54

B. Jenis dan Sumber Data ... 54

C. Teknik Pengumpulan Data ... 56

D. Definisi Operasional Variabel ... 57

E. Metode Analisis Data ... 59

1. Konsep Nilai Dalam DEA ... 62

2. Bentuk Formulasi Data Envelopment Analysis (DEA) .... 67

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Wilayah ... 71

1. Letak Geografis Administratif ... 71


(12)

commit to user xii

3. Keadaan Ekonomi... 55

a. Produk Domestik Bruto (PDRB)... 74

b. Inflasi... 79

4. Kondisi Usaha Batik Pekalongan... 80

5. Gambaran Umum Daerah dan Objek Penelitian... 82

B. Analisis Deskriptif ... 83

C. Analisis Data Dengan Metode DEA... 87

D. Sumber inefisiensi dan Pemecahannya... 92

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 95

B. Saran ... 96 DAFTAR PUSTAKA


(13)

commit to user xiii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 2.1 Karakteristik Usaha dan Perbedaan Ukuran Usaha UMKM ... 21 Tabel 4.1 Banyaknya Penduduk Kota Pekalongan Menurut Jenis Kelamin

Tahun 2009... 73 Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Dewasa & Anak-anak Kota Pekalongan Tahun

2009... 74 Tabel 4.3 PDRB Menurut Lapangan Usaha di Kota Pekalongan Atas Dasar

Harga Berlaku (Th 2000=100) Tahun 2007-2009... 76 Tabel 4.4 Indeks Perkembangan PDRB Menurut Lapangan Usaha

di Kota Pekalongan Atas Dasar Harga Berlaku... 78 Tabel 4.5 Persentase Perubahan IHK (Inflasi) di Kota Pekalongan

Tahun 2009... 80 Tabel 4.6 Banyaknya Tenaga Kerja yang Digunakan dalam Proses

Produkdi Selama Satu Bulan (orang)... 85 Tabel 4.7 Banyaknya Malam yang Digunakan dalam Proses Produksi

Selama Satu Bulan (Kg) ... 85 Tabel 4.8 Banyaknya Kain yang Digunakan dalam Proses Produksi

Selama Satu Bulan (Yard) ... 86 Tabel 4.9 Banyaknya Jumlah Produksi yang Digunakan dalam Proses Produksi Selama Satu Bulan (Buah) ... 87 Tabel 4.10 Efisiensi Teknis dan Efisiensi Revenue... 89


(14)

commit to user xiv

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR Halaman

2.1 Kurva Total Product, Marjinal Product, AverageProduct ... 30

2.2 Kurva Isoquant ... 36

2.3 Fungsi Produksi Input Tunggal ... 42

2.4 Efisiensi Teknik dan Alokatif ... 45


(15)

commit to user xv

DAFTAR LAMPIRAN

Hasil Olah Data Efisiensi Teknis ... Lampiran 1 Hasil Olah Data Efisiensi Revenue ... Lampiran 2 Efisiensi Alokatif ... Lampiran 3 Hasil Olah Data Efisiensi Teknis, Revenue, Alokatif dan

Ekonomis ... Lampiran 4 Data Responden ... Lampiran 5 Kuesioner ... Lampiran 6 Gambar Objek Penelitian ... Lampiran 7


(16)

commit to user xvi


(17)

commit to user ii

ABSTRAK

ANALISIS EFISIENSI USAHA KECIL DAN MENENGAH (UKM) BATIK DI DESA KAUMAN KOTA PEKALONGAN

DENGAN METODE DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA)

Qomarudin F0107011

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur efisiensi teknis, efisiensi revenue, efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomis usaha kecil dan menengah (UKM) batik di Desa Kauman Kota Pekalongan. Kedua, untuk mengetahui variabel-variabel apakah yang menjadi sumber inefisiensi pada masing-masing pengusaha batik di Desa Kauman Kota Pekalongan dan bagaimana mencari solusi untuk mencapai efisiensi pada pengusaha yang belum efisien. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data Envelopment Analysis (DEA), yaitu metode non parametrik yang berbasis pada programasi linier. DEA mengukur rasio efisiensi relatif Unit Kegiatan Ekonomi (UKE) sebagai rasio output tertimbang dengan input tertimbang. Pada dasarnya prinsip kerja model DEA adalah membandingkan data input dan output dari suatu organisasi data (decision making unit/DMU) dengan data input dan output lainnya pada DMU yang sejenis. Perbandingan ini dilakukan untuk mendapatkan suatu nilai efisiensi.

Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa dari 35 responden menunjukkan sebanyak 12 UKM sudah efisien secara teknis sedangkan 23 UKM lainnya belum efisien . secara efisiensi revenue sebanyak 17 UKM sudah efisen dan 18 UKM belum efisien. Menurut efisiensi alokatif tidak ada yang mencapai efisiensi dan menurut efisiensi ekonomis sebanyak 12 UKM telah mencapai efisiensi dan 23 UKM lainnya belum efisien. Adapun penyebab inefisiensi adalah variabel bahan baku. Untuk menjadikan UKM yang belum efisien menjadi efisien dapat dilakukan dengan menyesuaikan nilai aktual variabel input UKM yang belum efisien sesuai dengan nilai target yang direkomendasikan DEA.

Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa tingkat efisiensi UKM di Desa Kauman masih rendah. Saran yang diajukan untuk UKM yang belum efisien adalah para pengusaha diharapkan dapat memanfaatkan input yang dimiliki sehingga dapat tercapai efisiensi.

Kata kunci: DEA, Efisiensi Efisiensi Teknis, Efisiensi Revenue, Efisiensi Alokatif, Efisiensi Ekonomis, inefisiensi.


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Adanya krisis moneter yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 menyebabkan perekonomian Indonesia mengalami kegoncangan dan memberikan dampak yang sangat luas serta mempengaruhi hampir seluruh sendi-sendi perekonomian nasional. Hal ini membuktikan bahwa pembangunan ekonomi Indonesia selama ini ternyata tidak ditopang dengan penataan struktur ekonomi yang baik.

Menurut Achwan dalam Efi Eka Wanty (2006:1) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi menunjukkan kontraksi yang dalam sebesar 13,7 % dengan pertumbuhan negatif pada semua sektor ekonomi, sementara laju kenaikan harga-harga melonjak tinggi, mencapai 77,6 %. Pada sisi lain, angka pengangguran dan jumlah penduduk miskin meningkat tajam sebagai akibat dari semakin banyaknya perusahaan yang mengurangi bahkan menghentikan produksinya.

Selain itu, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004 – 2009, menyebutkan bahwa sasaran Pembangunan Nasional adalah “Terlaksananya pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional, terutama pengusaha kecil, menengah dan koperasi dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan (Perpres RI No. 7 tahun 2005).


(19)

Udjijanto dalam Ahmad Purnomo (2002:4) menyebutkan bahwa dalam penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM, pada tahun 2000 share UKM dalam perolehan PDB Indonesia sebesar 63,5%. Hal lain yang menarik perhatian bahwa dalam suasana minimnya lapangan kerja, UKM Indonesia menyerap sekitar 73,6 juta pekerja. Di samping itu, muatan lokal produk UKM cukup tinggi, sehingga keuntungan nasional dari produk-produk UKM juga tinggi.

Menurut Tambunan dalam Agus Setiawan (2010:1) menyebutkan bahwa pengembangan usaha kecil sangat penting dilakukan di Indonesia mengingat usaha kecil memiliki fungsi sosial ekonomi. Proporsi usaha skala kecil sebesar 99% dari seluruh unit usaha dan mempunyai daya serap tenaga kerja sangat besar.

Dengan berbagai upaya dan program pemerintah yang tercantum dalam propenas (program pokok pembangunan nasional) tahun 2000–2004, khususnya dalam pembinaan UKM yang disinergiskan dengan potensi dan peran yang strategis, maka UKM akan menjadi kekuatan untuk menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus dapat menjadi tumpuan dalam meningkatkan kesejahteraannya. Setidaknya selama ini UKM telah mampu memberikan kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja terbesar secara nasional dan meningkatkan ekspor, serta dalam pembentukan PDB nasional. Di sisi lain, struktur ekonomi Indonesia yang dalam kenyataannya didominasi oleh ekonomi rakyat, merupakan kekuatan ekonomi nasional yang sesungguhnya. Di sinilah UKM merupakan faktor penting


(20)

untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing nasional, yang selama ini terabaikan. Peran ini telah dijalankan UKM, setidaknya pada masa krisis ekonomi 2000-2008 menjadi katup pengaman perekonomian nasional, serta sebagai dinamisator pertumbuhan ekonomi pasca krisis.

Gerak sektor UKM sangat penting untuk menciptakan pertumbuhan dan lapangan pekerjaan. UKM cukup fleksibel dan dapat dengan mudah beradaptasi dengan pasang surut dan arah permintaan pasar. UKM dapat menciptakan lapangan pekerjaan lebih cepat dibandingkan sektor usaha yang lainnya, dan juga cukup terdiversifikasi serta memberikan kontribusi penting dalam ekspor dan perdagangan.

Provinsi Jawa Tengah memiliki sumber alam yang beraneka ragam dan jumlah penduduk mencapai 30 juta jiwa, dengan kondisi demikian iklim usaha di wilayah Jawa Tengah khususnya UKM memiliki potensi yang besar untuk dapat berkembang. Usaha UKM di wilayah Jawa Tengah tersebar pada banyak sektor usaha, antara lain pertanian, industri, perdagangan, pertambangan dan sebagainya. Salah satu sektor usaha unggulan Jawa Tengah adalah sektor usaha tekstil dan garment, khususnya batik yang sebagian besar dikelola oleh usaha UKM.

Batik adalah karya seni budaya bangsa Indonesia yang dikagumi dunia dan patut dilestarikan keberadaannya serta dibudidayakan secara maksimal, dan batik merupakan industri kerajinan yang merupakan usaha turun-temurun dari generasi ke generasi, namun belum sepenuhnya ditangani secara profesional sehingga perkembangannya relatif sangat lamban.


(21)

Diantara daerah penghasil batik, Kota Pekalongan adalah salah satunya. Kota Pekalongan adalah sebuah kota di pesisir pantai utara (pantura) pulau jawa yang mempunyai rentang kehidupan sebagaimana masyarakat pesisir yang kental dengan kehidupan niaga. Salah satu mata pencaharian penduduk bukan hanya pada sektor perikanan namun juga kerajinan.

Kota Pekalongan merupakan salah satu kota perdagangan dan bahari yang terletak di daerah pantura ini menjadi ikon kota batik di Jawa Tengah. Adanya label kota batik ini bukan sebatas ikon belaka. Tetapi lebih dari itu. Hal ini dikarenakan kota Pekalongan menjadi kota penghasil batik yang terkenal di Jawa Tengah.

Pasang surut perkembangan batik Pekalongan memperlihatkan Pekalongan layak menjadi ikon bagi perkembangan batik di nusantara. Ikon bagi karya seni yang tak pernah menyerah dengan perkembangan zaman dan selalu dinamis. Kini batik sudah menjadi nafas kehidupan sehari-hari warga Pekalongan dan merupakan salah satu produk unggulan. Hal itu disebabkan banyaknya industri yang menghasilkan produk batik. Karena terkenal dengan produk batiknya, Pekalongan dikenal sebagai Kota Batik. Julukan itu datang dari suatu tradisi yang cukup lama berakar di Pekalongan. Selama periode yang panjang itulah, aneka sifat, ragam kegunaan, jenis rancangan, serta mutu batik ditentukan oleh iklim dan keberadaan serat-serat setempat, faktor sejarah, perdagangan dan kesiapan masyarakatnya dalam menerima paham serta pemikiran baru.


(22)

Gerak roda perekonomian di Kota Pekalongan, sangat dipengaruhi industri batik, sehingga batik mempunyai peranan yang sangat penting di dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan menggiatkan kembali sektor riil usaha kecil menengah masyarakat (UKM) yang mempunyai daya lentur dalam menghadapi berbagai guncangan badai krisis ekonomi. Oleh karenanya, para pelaku usaha terus didorong serta diberi kemudahan untuk meningkatkan produksinya. Dan yang tidak kalah pentingnya Pemkot Pekalongan memfasilitasi mencarikan lokasi pemasaran bagi industri batik di Jakarta dengan menggandeng berbagai jaringan instansi maupun lembaga yang terkait sebagai penunjang. Diantaranya dengan Kementerian Koperasi dan UKM, Kementrian Perdagangan, Pariwisata dan Kadin serta berbagai lembaga lainnya.

Menjadi kota perdagangan batik tentu saja hal ini tak bisa dilepaskan dari adanya peran serta keberadaan para pengusaha batik. Berbagai pengusaha batik turut mewarnai adanya industri batik di kota ini. Desa Kauman merupakan kampung wisata batik di kota Pekalongan. Kauman menjadi kampung batik dikarenakan ditempat ini menjadi sentra pengusaha batik di Kota Pekalongan. Selain letaknya yang strategis, sebagian besar masyarakat di Desa Kauman bermata pencaharian yang berkaitan dengan usaha batik. Baik itu sebagai pengusaha ataupun buruh.

Desa Kauman merupakan sebuah upaya masyarakat lokal dalam merevitalisasi batik baik sebagai produk kesenian dan budaya maupun batik


(23)

sebagai kekuatan ekonomi masyarakat Desa Kauman khususnya dan kota Pekalongan pada umumnya.

Sebuah Desa dimana dapat dengan mudah melakukan belanja batik langsung ke pengrajin dan melihat proses produksi. Hal lain yang menarik adalah adanya tempat pembelajaran batik yang disediakan untuk pengunjung atau wisatawan yang ingin belajar batik dan merasakan hidup di lingkungan pengrajin batik sehingga bisa merasakan batik tidak hanya sebagai fashion, tapi batik sebagai proses budaya dan sosial.

Berbagai macam usaha batik di Desa Kauman hampir tersebar rata mulai dari yang berskala kecil hingga yang berskala besar. Berawal dari hal tersebut diatas perlu diadakan penelitian di Desa Kauman Kota Pekalongan mengenai usaha kecil dan menengah (UKM) batik. Dari hal inilah kemudian menjadi daya tarik tersendiri untuk menjadikan sebagai bahan penelitian yang perlu dikaji lebih dalam lagi.

Menindaklanjuti tujuan untuk ikut membantu pengusaha dalam usaha meningkatkan produksi batik, perlu adanya penelitian tentang efisiensi produksi batik dan Desa Kauman sebagai daerah penelitiannya. Sebagian besar pengusaha batik di Desa Kauman masih tergolong industri rumah tangga. Artinya usaha ini proses produksinya berada di rumah pengusaha tersebut. Skala usaha ini pun masih skala kecil dan menengah.

Dalam pengelolaan manajemen pengusaha batik masih bersifat sederhana. Dalam pelakasanaan produksi hanya berdasarkan pengalaman


(24)

yang mereka kuasai disertai mengandalkan ilmu warisan dari para leluhurnya yang merupakan penghasil batik. Dari hal inilah tingkat efisiensi antara pengusaha satu dengan yang lainnya belum dapat diketahui. Adanya pola pikir yang masih sederhana dan usaha yang relatif kecil menjadi salah satu penyebab hal tersebut.

Penelitian yang berhubungan dengan usaha kecil dan menengah sebenarnya telah banyak dilakukan, baik pada tenaga kerja maupun keuntungan. Oleh karena itu penelitian ini berusaha untuk meneliti tentang efisiensi teknis, efisiensi revenue, efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomis usaha kecil dan menengah (UKM) batik, sehingga diketahui keberhasilan sistem produksi yang lebih cocok pada usaha kecil dan menengah (UKM) batik, yang tentunya bermanfaat dan dapat menjadi masukan tersendiri bagi peningkatan produksi batik dan selanjutnya dapat meningkatkan taraf hidup pengusaha batik.

Berdasarkan uraian diatas penelitian ini mengambil judul “analisis efisiensi usaha kecil dan menengah (UKM) batik di Desa Kauman Kota Pekalongan dengan metode Data Envelopment Analysis (DEA).”


(25)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah-masalah:

1. Bagaimana tingkat efisiensi teknis, efisiensi revenue, efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomis pada masing-masing usaha kecil dan menengah (UKM) batik di Desa Kauman ?

2. Variabel apakah yang menjadi sumber-sumber inefisiensi pada masing-masing pengrajin dalam usaha kecil dan menengah (UKM) batik di Desa Kauman ?

3. Bagaimanakah langkah-langkah untuk mencapai efisiensi pada usaha kecil dan menengah (UKM) batik yang belum efisien?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui tingkat efisiensi teknis, revenue, alokatif dan ekonomis pada masing-masing usaha kecil dan menengah (UKM) batik di Desa Kauman Kota Pekalongan.

2. Mengetahui variabel apakah yang menjadi sumber-sumber inefisiensi pada masing-masing pengrajin dalam usaha kecil dan menengah (UKM) batik di Desa Kauman Kota Pekalongan.

3. Mengetahui langkah-langkah untuk mencapai efisiensi pada usaha kecil dan menengah (UKM) batik yang belum efisien.


(26)

D. Manfaat Penelitian

a. Bagi pengusaha

Diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran dalam meningkatkan keberhasilan usaha melalui peningkatan pendapatan yang diperoleh. Selain itu, dapat pula sebagai masukan dalam upaya peningkatan kualitas dan kuantitas hasil produksi serta bahan pertimbangan dalam mendapatkan efisiensi usaha.

b. Bagi pemerintah

Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam upaya peningkatan pendapatan pengusaha batik Desa Kauman Kota Pekalongan. Sehingga nantinya dapat menjadi salah satu pemasukan bagi daerah Kota Pekalongan

c. Bagi akademis

Hasil ini dapat dijadikan referensi bagi penelitian selanjutnya sehingga hasilnya dapat lebih bagus dari penelitian yang ada sekarang.

d. Bagi peneliti

merupakan penerapan dan evaluasi terhadap teori yang diperoleh selama ini dalam bangku kuliah pada kondisi yang nyata, khususnya masalah ekonomi mikro dan sebagai syarat untuk mencapai gelar sarjana ekonomi jurusan Ekonomi Pembangunan pada Universitas Sebelas Maret Surakarta.


(27)

BAB II

TELAAH PUSTAKA

A. Konsep dan Pengertian Usaha Kecil Menengah

1. Definisi UKM

Menurut UU RI No 20 Tahun 2008 Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil.

Adapun kriteria usaha kecil menurut UU RI No 20 Tahun 2008 adalah sebagai berikut:

1. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

2. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).

Sedangkan World Bank tahun 2008 memberikan kriteria untuk usaha kecil sebagai berikut:


(28)

2. Pendapatan setahun tidak melebihi $ 3 juta 3. Jumlah aset tidak melebihi $ 3 juta

Menurut UU RI No 20 Tahun 2008 usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan.

Menurut UU No 20 Tahun 2008 Kriteria usaha menengah adalah sebagai berikut:

1. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau 2. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000,00 (dua

milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).

Sedangkan World Bank tahun 2008 memberikan kriteria untuk usaha menengah sebagai berikut:

1. Jumlah karyawan maksimal 300 orang

2. Pendapatan setahun hingga sejumlah $ 15 juta 3. Jumlah aset hingga sejumlah $ 15 juta


(29)

UKM di negara berkembang, seperti di Indonesia, sering dikaitkan dengan masalah-masalah ekonomi dan sosial dalam negeri seperti tingginya tingkat kemiskinan, besarnya jumlah pengangguran, ketimpangan distribusi pendapatan, proses pembangunan yang tidak merata antara daerah perkotaan dan perdesaan, serta masalah urbanisasi. Perkembangan UKM diharapkan dapat memberikan kontribusi positif yang signifikan terhadap upaya-upaya penanggulangan masalah-masalah tersebut diatas.

Menurut Arif Rahmana (2008) menjelaskan empat hal penyebab bertahannya UKM di Indonesia dapat terus bertahan di tengah krisis ekonomi adalah sebagai berikut:

(1) Sebagian UKM menghasilkan barang-barang konsumsi (consumer goods), khususnya yang tidak tahan lama,

(2) Mayoritas UKM lebih mengandalkan pada non-banking financing dalam aspek pendanaan usaha,

(3) Pada umumnya UKM melakukan spesialisasi produk yang ketat, dalam arti hanya memproduksi barang atau jasa tertentu saja, dan

(4) Terbentuknya UKM baru sebagai akibat dari banyaknya pemutusan hubungan kerja di sektor formal.

Kemudian Arif Rahmana (2008) menjelaskan bahwa UKM di Indonesia mempunyai peranan yang penting dalam menopang pereakonomian. UKM merupakan penggerak utama dalam perekonomian Indonesia. Berkaitan dengan hal ini, ada tiga fungsi utama dalam UKM dalam menggerakkan ekonomi Indonesia yaitu sektor UKM sebagai penyedia


(30)

lapangan kerja bagi jutaan orang yang tidak tertampung di sektor formal, Sektor UKM mempunyai kontribusi terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), dan Sektor UKM sebagai sumber penghasil devisa negara melalui ekspor berbagai jenis produk yang dihasilkan sektor ini.

Kinerja UKM di Indonesia dapat ditinjau dari beberapa asek, yaitu (1) nilai tambah, (2) unit usaha, tenaga kerja dan produktivitas, (3) nilai ekspor. Ketiga aspek tersebut dijelaskan sebagai berikut

1. Nilai Tambah

Nilai PDB UKM atas dasar harga berlaku mencapai Rp 1.778,7 triliun meningkat sebesar Rp 287,7 triliun dari tahun 2005 yang nilainya sebesar 1.491,2 triliun. UKM memberikan kontribusi 53,3 persen dari total PDB Indonesia. Bilai dirinci menurut skala usaha, pada tahun 2006 kontribusi Usaha Kecil sebesar 37,7 persen, Usaha Menengah sebesar 15,6 persen, dan Usaha Besar sebesar 46,7 persen. Kinerja perekonomian Indonesia yang diciptakan oleh UKM tahun 2006 bila dibandingkan tahun sebelumnya digambarkan dalam angka Produk Domestik Bruto (PDB) UKM pertumbuhannya mencapai 5,4 persen.

2. Unit Usaha dan Tenaga Kerja

Pada tahun 2006 jumlah populasi UKM mencapai 48,9 juta unit usaha atau 99,98 persen terhadap total unit usaha di Indonesia. Sementara jumlah tenaga kerjanya mencapai 85,4 juta orang.


(31)

3. Ekspor UKM

Hasil produksi UKM yang diekspor ke luar negeri mengalami peningkatan dari Rp 110,3 triliun pada tahun 2005 menjadi 122,2 triliun pada tahun 2006. Namun demikian peranannya terhadap total ekspor non migas nasional sedikit menurun dari 20,3 persen pada tahun 2005 menjadi 20,1 persen pada tahun 2006.

Menurut Tambunan (2002) UKM di Indonesia menghadapi dua masalah utama dalam aspek finansial yaitu mobilisasi modal awal dan akses modal kerja jangka panjang untuk pertumbuhan output jangka panjang.

Memang dalam kenyataan UKM kesulitan modal dalam kegiatan ekonomi, masalah usaha kecil menengah orang sering mengidentifikasi sebagai usaha yang memiliki modal kecil dan sangat rapuh dalam kegiatan perekonomian, tetapi tidak demikian di Indonesia. Usaha kecil Menengah telah membuktikan dalam mempertahankan kegiatannya meski dalam kondisi krisis ekonomi di tahun 1997.

Tuntutan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi di tingkat rumah tangga menjadi motivasi utama. Keterlibatan seseorang dalam melakukan kegiatan UKM, baik sebagai pekerja atau pengusaha/ pemilik dan biasanya mereka terbentuk karena keterpaksaan atau memang ingin melakukan karena memberikan suatu keuntungan. (Tambunan 2002).


(32)

Pertama kegiatan UKM ditingkat Industri rumah tangga (IRT) terbentuk karena kekuatan untuk mempertahankan hidup yaitu memenuhi kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan atau dalam mengembangkan kegiatan usahanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, hal ini sangat kental dengan jiwa wirausaha.

UKM dalam usahanya selalu diperkuat dengan potensi pasar yang sudah tersedia, keberadaan bahan baku yang mudah didapat serta ketersediaan tenaga kerja yang murah termasuk merekrut pekerja-pekerja yang masih dalam hubungan keluarga.

Dengan demikian, perkembangan usaha ini tidak lepas dari sosialitas lingkungan yang saling melengkapi, termasuk dalam hal ini dapat dimanfaatkan juga keberadaan UKM untuk menampung tenaga kerja tidak terdidik, membentuk paguyuban.

Kepentingan sosial didasari atas ras kebersamaan dalam usaha untuk saling memenuhi kebutuhaan serta keinginan untuk mempertahankan kegiatan usahanya. Dalam hal membentuk paguyuban berfungsi untuk mempermudah mendapatkan modal dengan kredit lunak dan meminimalkan persaingan misalnya kebijakan paguyuban dalam menentukan harga dan menghadapi kondisi ekonomi ke depan.

UKM juga tidak lepas dari keinginan untuk membentuk modal usaha guna menunjang kegiatan usaha jangka panjang, dengan demikian usaha kecil


(33)

menengah tidak lepas dari kepentingan untuk memaksimalkan laba. Kepentingan pribadi adalah kebijakan pengusaha dalam mengelola usahanya, bagaimana memaksimalkan laba, memanfaatkan kondisi ekonomi dengan tidak merusak komitmen paguyuban

2. Karakteristik Sosial dan Ekonomi Usaha Kecil Menengah

Menurut Savio (2003) pandangan bisnis tidak hanya demi keuntungan bagi pemiliknya tetapi juga demi pemenuhan nilai-nilai dalam masyarakat. Meskipun ada pandangan tanggung jawab sosial akan mengurangi pencapaian tujuan bisnis.

Tujuan utama usaha karena keinginan untuk meperoleh laba, tetapi tidak dipungkiri dalam mencapai kegiatan tersebut berdampak pada sektor sosial seperti pembuatan asset jalan, pembukaan lapangan pekerjaan dan lainnya. Meskipun sebenarnya sosial tersebut merupakan akibat adanya suatu usaha, tetapi dampak tersebut bermanfaat bagi kehidupan lingkungan masyarakat.

Perkembangan dunia bisnis yang mengarah pada era pembangunan yang berkelanjutan telah menciptakan tanggung jawab sosial pengusaha terhadap sosial ke masyarakat, salah satu wujud peranan tersebut adalah masuknya unsur masyarakat sebagai pengontrol suatu usaha agar tetap pada jalur sosial masyarakat dan tetap menjaga manfaat bagi lingkungan mayarakat yang disebut dengan stakeholder.


(34)

Savio (2003) stakeholder yaitu pihak-pihak yang memainkan pengaruh atas sebuah bisnis dan pihak-pihak yang terkena pengaruh dari sebuah bisnis. Stakeholder mencerminkan keragaman kelompok kepentingan dalam masyarakat tempat perusahaan beroperasi dengan cara yang secara sosial lingkungan dapat dipertanggungjawabkan.

Seperti yang sudah dijelaskan diatas UKM dalam usahanya tidak lepas dari 2 motif yaitu:

a. Motif sosial yaitu etika kegiatan UKM yang pengembangan nya karena didukung oleh potensi-potensi lingkungan atas rasa kebersamaan, senasib dan sepenanggungan, UKM saling melengkapi satu dengan yang lain.

1) Dalam motif ini penciptaan pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja dan pengentasan kemiskinan menjadi ciri sosial. 2) Termasuk perekrutan tenaga kerja tidak terdidik, tenaga kerja

dengan keterikatan sebagai saudara dan tetangga.

b. Motif ekonomi yaitu usaha ini tidak lepas dari keingginan untuk membentuk modal dan keinginan untuk mengembangkan usaha. Dalam kegiatan inipun tidak lepas dari sosial ekonomi seperti :

1) Kemitraan yang tidak lepas dari pola kemitraan yang didasarkan atas prinsip saling menguntungkan.


(35)

2) Termasuk bantuan pemerintah, yaitu fasilitas yang didapat dari pemerintah seperti pinjaman lunak, penyediaan bahan baku pembentukan koperasi dan penyuluhan.

3) Operasional yang dijalankan oleh paguyuban-paguyuban juga mencerminkan kegiatan perekonomian sosial yang didasarkan atas usaha bersama.

Tanggung jawab sosial dan tanggung jawab ekonomi dalam Usaha Kecil Menengah (UKM) dalam kegiatan usaha nya sangat beda tipis. Hal ini karena adanya karakteristik dasar dari usaha itu sendiri.

3. Karakteristik Umum Usaha Kecil Menengah

Didasarkan atas pengertian usaha secara umum, dapat disimpulkan beberapa karakteristik usaha dan perbedaan ukuran usaha:


(36)

Tabel 2.1

Karakteristik Usaha dan Perbedaan Ukuran Usaha UMKM

No Keterangan Usaha Mikro Kecil Kecil-Menengah Menengah

1 Jumlah Tenaga Kerja

1-4 5-9 10-29 30-49

2 Tempat Usaha Di rumah Disebelah

dekat rumah

Terpisah dari rumah

Lokasi terpisah dengan gedung yang lebih baik 3 Proses

Produksi

Sederhana Sederhana,

sedikit maju, banyak tahapan Lebih maju beberapa tahapan yang berbeda Proses produksi rumit, kemungkinan lebih banyak modak insentif 4 Sistem

Keuangan

Akuntansi perputaran uang tunai Sistem dasar akuntansi Sistem dasar akuntansi Sistem akuntansi, keuangan terjaga terencana, laporan manajemen terbukti 5 Sumber Kredit Sumber informal

dengan tingkat bunga tinggi. Tidak ada saluran kredit formal karena kurang catatan transaksi usaha dan jaminan

Sumber informal, kredit formal tapi sulit didapat

Sumber informal, kredit formal tapi sulit didapat

Memiliki beberapa kesempatan kredit formal

6 Pasar Pasar setempat Pasar setempat

dengan beberapa perluasan

Pasar setempat persaingan jelas, kebutuhan bahan

baku dan

persediaan besar keterkaitan usaha hulu hilir terhadap ekonomi

masyarakat

Pasar wilayah nasional bila perlu ekspor

7 Kekuatan Hukum

Tidak berbadan hukum, beroperasi pada ekonomi informal

Tidak terdaftar Terdaftar Terdaftar memenuhi peraturan pemerintah

Sumber : Tanwilly Sutanto, 2004 (peta Gaya manajemen bisnis usaha kecil dan menengah/UKM Surabaya)


(37)

Dari ciri-ciri tabel 2.1 dapat dijelaskan, untuk jumlah tenaga kerja dengan karakter usaha mikro berjumlah antara 1-4 orang, sedangkan usaha kecil 5 sampai 9 orang, usaha kecil menengah 10 sampai 29 orang, usaha menengah 30 sampai 49 orang.

Demikian juga untuk tempat usaha, untuk usaha mikro bertempat dirumah, sedangkan usaha kecil disebelah dekat rumah, usaha kecil menengah terpisah dari rumah, usaha menengah lokasi usaha terpisah dengan gedung yang lebih baik.

Proses produksi untuk usaha mikro sederhana, untuk usaha kecil proses produksi sedikit maju banyak tahapan, usaha kecil menengah lebih maju dengan beberapa tahapan berbeda, usaha menengah proses produksi rumit kemungkinan lebih banyak modal insentif.

Sistem akuntansi usaha mikro perputaran uang tunai, usaha kecil sudah menggunakan sistem dasar akuntansi, usaha kecil menengah juga menggunakan sistem dasar akuntansi, usaha menengah sistem akuntansi keuangan terjaga,terencana laporan manajemen terbukti.

Sumber kredit untuk usaha mikro memiliki sumber informal dengan tingkat bunga tinggi, tidak ada saluran kredit formal. Sumber kredit untuk usaha kecil merupakan sumber informal dan membutuhkan modal kerja untuk persediaan barang dan pendanaan alat. Sumber kredit usaha kecil menengah


(38)

informal dan formal tapi sulit didapat. Sumber kredit usaha menengah memiliki beberapa kesempatan kredit formal

Karakteristik pasar usaha mikro merupakan pasar setempat, untuk usaha kecil pasar setempat dengan beberapa perluasan, dan usaha kecil menengah pasar setempat dengan persaingan jelas, kebutuhan bahan baku dan persediaan besar, ada keterkaitan hulu hilir terhadap perekonomian masyarakat, untuk usaha menengah pasar wilayah nasional bila perlu diekspor.

Kekuatan hukum usaha mikro tidak berbadan hukum, beroperasi dengan ekonomi informal, usaha kecil tidak terdaftar dalam kekuatan hukum, untuk usaha kecil menengah terdaftar dan memenuhi peraturan pemerintah.

B. Teori Produksi

1. Pengertian Teori Produksi

Pengertian Teori Produksi yaitu suatu teori yang mempelajari cara seorang pengusaha dalam mengkombinasikan berbagai macam input pada tingkat teknologi tertentu untuk menghasilkan sejumlah output tertentu seefisien mungkin. Jadi sasaran teori produksi adalah untuk menentukan tingkat produksi yang efisien dengan sumber daya yang ada (Ari Sudarman, 1986:51).

Produksi adalah perubahan dari dua atau lebih input (sumber daya) menjadi satu atau lebih output (produk). Menurut Tati Suhartati dan Fathurozi


(39)

(2003:77) produksi merupakan hasil akhir dari proses aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan atau input. Dengan pengertian ini dapat dipahami bahwa kegiatan produksi adalah mengombinasikan berbagai input atau masukan untuk menghasilkan output.

Ari Sudarman (1997:119), mendefinisikan produksi sebagai penciptaan guna. Guna berarti kemampuan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Proses perubahan bentuk faktor-faktor produksi disebut dengan proses produksi. Produksi tidak hanya mencakup pembuatan barang-barang yang dapat dilihat tetapi termasuk juga didalamnya produksi jasa.

Seorang produsen dalam teori mikroekonomi merupakan wujud ekonomis dari kombinasi berbagai faktor produksi untuk tujuan mentransformasikannya menjadi output. Diasumsikan bahwa produsen juga merupakan pemasok produk kepada konsumen, tampaknya logis untuk istilah dia sebagai perusahaan. Perusahaan menggabungkan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan satu atau lebih produk dan kemudian menawarkan produk itu untuk dijual ke konsumen. Ada dua teori penting dalam proses ini (Coelli dkk, 2005:278):

a. Teori produksi

Teori produksi merupakan hubungan fisik antara input dan output. b. Teori biaya.


(40)

Teori biaya merupakan hubungan antara tingkat output dan tingkat biaya (pengeluaran yang timbul dari input yang berbeda yang digunakan dalam memproduksi suatu output).

Sasaran dari teori produksi adalah untuk menentukan tingkat produksi yang optimal dengan sumber daya yang ada. Gunawan dan Lanang A. Iswara (1987:6) mengatakan bahwa produksi mencakup setiap pekerjaan yang menciptakan atau menambah nilai dan guna suatu barang atau jasa. Agar produksi dapat dijalankan untuk menciptakan hasil, maka diperlukan beberapa faktor produksi (input). Faktor-faktor input perlu diproses bersama-sama untuk menghasilkan output dalam suatu proses produksi (metode produksi).

Lebih lanjut Lipsey (1995:426) mengatakan bahwa teori produksi meliputi: 1) Jangka pendek dimana apabila seorang produsen menggunakan faktor produksi maka ada yang bersifat tetap dan variabel, 2) Jangka panjang apabila semua input yang dipergunakan bersifat tetap dan belum ada perubahan teknologi, 3) jangka sangat panjang dimana semua input yang dipergunakan berubah disertai dengan adanya perubahan teknologi. Dalam hal ini periode waktu tersebut tidak dapat diukur dalam bentuk kalender atau penanggalan.


(41)

Teori produksi jangka pendek secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :

Qx = f (L, K0) (2.1)

Q = output suatu barang yang dihasilkan selama suatu periode tertentu . K = kapital (input tetap)

L = tenaga kerja (input variabel)

Persamaan produksi diatas adalah merupakan persamaan produksi dengan satu input variabel dan satu input tetap. Dalam teori produksi dengan satu input variabel terdapat 3 (tiga) anggapan yang harus dipenuhi yaitu dalam proses produksi hanya ada 1 (satu) input variabel dan hanya ada 1 (satu) input tetap serta input-input tersebut dapat dikombinasikan dalam berbagai macam proposi untuk menghasilkan sejumlah output tertentu.

2. Fungsi Produksi

Fungsi produksi menurut Boediono (1992:64), adalah suatu fungsi atau persamaan yang menunjukkan hubungan teknis antara tingkat output dan tingkat kombinasi dari penggunaan input-input. Salvatore (1996:97) menyatakan bahwa fungsi produksi untuk setiap komoditi adalah suatu persamaan, tabel atau grafik yang menunjukkan jumlah (maksimum) komoditi yang dapat diproduksi per unit waktu untuk setiap kombinasi input alternatif bila menggunakan teknik produksi terbaik yang tersedia.


(42)

Menurut Lipsey (1995:129) menyatakan bahwa fungsi produksi adalah hubungan antara input yang dipergunakan dalam proses produksi dengan kuantitas yang dihasilkan. Lebih lanjut Sadono Sukirno (2003; 194) menyatakan bahwa fungsi produksi adalah kaitan di antara faktor-faktor produksi dan tingkat produksi yang diciptakan. Faktor-faktor produksi dikenal dengan istilah input dan hasil produksi disebut output.

Hubungan antara input dan output dari faktor produksi dapat ditunjukkan secara matematis sebagai berikut:

Q = f (X1,X2,X3,...,Xn) (2.2) Q = Tingkat produksi (output)

X1,X2,...Xn = Berbagai input yang digunakan

Jadi jelas besar-kecilnya hasil produksi akan tergantung pada besar kecilnya pemakaian berbagai input yang digunakan. Pada intinya, fungsi produksi menjelaskan hubungan antara input dengan output, hal ini digambarkan pada tingkat mana sumber-sumber produksi ditransformasikan menjadi hasil produksi. Suatu asumsi dasar mengenai sifat dan fungsi produksi yaitu suatu fungsi produksi dimana semua produsen tunduk pada hukum yang disebut “Hukum Hasil Yang Semakin Berkurang” atau disebut dengan the law of diminishing return. Hukum ini mengatakan bahwa apabila faktor produksi yang bersifat variabel ditambah secara terus menerus maka pada mulanya akan menambah output total yang dihasilkan, akan tetapi


(43)

setelah mencapai tingkat produksi output sejumlah tertentu maka produksi tambahan justru akan semakin berkurang dan pada akhirnya justru akan mencapai nilai negatif (Sadono Sukirno, 2003:193).

Faktor produksi dalam suatu proses produksi dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu faktor produksi tetap dan faktor produksi variabel. Faktor produksi tetap adalah jumlah faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi dimana faktor tersebut tidak dapat diubah secara cepat bila keadaan pasar menghendaki perubahan output. Faktor produksi dalam kenyataanya tidak ada yang sifatnya tetap secara mutlak. Pada umumnya untuk menyederhanakan analisis beberapa faktor produksi dianggap tetap misalnya tanah, gedung dan mesin. Faktor produksi tersebut tidak dapat ditambah atau dikurangi jumlahnya dalam waktu yang relatif singkat. Faktor produksi variabel adalah faktor produksi yang jumlahnya dapat diubah-ubah dalam waktu yang relatif singkat sesuai dengan jumlah output yang dihasilkan.(Ari Sudarman, 1989:121)

3. Produksi Dengan Satu Input Variabel

Ari Sudarman (1989:137) menyatakan produksi total menunjukkan tingkat produksi yang dihasilkan pada tingkat penggunaan input variabel dan input lain dianggap tetap. Produksi rata-rata menunjukkan perbandingan output dan faktor produksi (output-input ratio) untuk setiap tingkat output dan faktor produksi yang bersangkutan. Produksi rata-rata ditulis sebagai berikut:


(44)

x Q atau x PT PRx = x

(2.3) Dimana: PRx = produksi rata-rata input x

PTx = produksi total input x

x = jumlah input x yang digunakan

Produksi marginal menunjukkan tambahan atau kenaikan output dari produksi total yaitu dPT yang disebabkan adanya penambahan 1 input variabel sedang input yang lainnya tetap. Bentuk rumusnya sebagai berikut:

(2.4) δx

δQ atau δx δPT PMx =


(45)

Hubungan antara total produksi, produksi rata-rata dan produksi marginal dapat dilihat dalam gambar berikut:

Gambar 2.1 Kurva Total Product, Marginal Product, Average Product

Sumber: Ari Sudarman, 1989: 137

Gambar 2.1 dapat menjelaskan bahwa tingkat permulaan penggunaan faktor produksi total akan bertambah secara berlahan-lahan dengan ditambahnya penggunaan faktor produksi tersebut. Pertambahan ini semakin lama semakin cepat dan mencapai nilai maksimum pada titik 1. Karena kemiringan dari kurva produksi total adalah merupakan nilai marginalnya,


(46)

maka pada saat mencapai titik 1 tersebut, produksi marginalnya juga mencapai maksimum, pada titik 4.

Titik 1 menunjukkan produksi total terus naik, akan tetapi kenaikan produksinya dengan tingkat produksi yang semakin menurun, terlihat pada kemiringan garis singgung terhadap kurva produksi total yang semakin kecil. Nilai kemiringan garis ini mencapai maksimum pada titik 2, yaitu pada waktu garis tersebut menyinggung kurva produksi total, karena nilai kemiringan garis lurus yang ditarik dari titik asal ke suatu titik pada kurva produksi total menunjukkan produksi rata-rata di titik tersebut, ini berarti di titik 2 produksi rata-ratanya mencapai nilai maksimum atau pada gambar bawah berada pada titik 5, dan pada saat produksi rata-rata akan sama dengan produksi marginalnya, pada gambar terlihat dengan berpotongannya kurva produksi rata-rata dengan kurva produksi marginalnya.

Titik 2 menunjukkan bila jumlah faktor produksi yang digunakan ditambah, maka produksinya naik dengan tingkat kenaikan yang semakin menurun sampai di titik 3. Pada titik 3, produksi total mencapai maksimum. Lewat titik 3 produksi total terus berkurang hingga mencapai titik 0 kembali. Dan lewat titik 3 ini pula produksi marginalnya menjadi negatif.

Hubungan antara produksi marginal dengan produksi total, yaitu pada saat produksi total mengalami perubahan peningkatan produksi dari yang menjadi menurun, maka pada saat itu produksi total mencapai titik


(47)

maksimum. Kemudian pada saat kurva produksi total mencapai titik maksimum maka kurva produksi marginalnya memotong sumbu horizontal, artinya produksi marginalnya sama dengan 0.

Suparmoko (1990:61) menjelaskan bahwa hubungan antara produksi rata-rata dengan produksi marginal adalah pada saat produksi rata-rata meningkat, produksi marginalnya lebih tinggi dari pada produksi rata-ratanya, dan pada saat produksi rata-ratanya menurun produksi marginalnya sama dengan produksi marginalnya.

Ari Sudarman (1989:138) menjelaskan hubungan dari ketiga kurva pada gambar 2.1 yaitu:

a. Penggunaan input variabel (X) sampai pada tingkat tertentu dimana produksi total cekung keatas (0 sampai 1), maka produksi marginal naik demikian pula dengan produksi rata-rata.

b. Pada tingkat penggunaan input (X) yang menghasilkan produksi total yang menarik dan cembung keatas (yaitu antara 1 dan 3) produksi marginal menurun.

c. Pada tingkat penggunaan input (X) yang menghasilkan produksi total yang menurun maka produksi marginal negatif.

d. Pada tingkat penggunaan input (X) dimana garis singgung pada produksi total persis melalui titik origin (titik 2), maka PM=PR.


(48)

Gambar 2.1 juga dapat menjelaskan suatu range proses produksi yang dapat dibagi menjadi tiga tahap:

a. Tahap dimana produksi total naik dan produksi rata-ratanya juga naik. Pada tahap ini elastisitas produksi lebih besar (EP>1) yang berarti tambahan penggunaan faktor produksi variabel akan menambah jumlah produksi dengan proporsi yang lebih besar. Disini produsen masih dapat menambah jumlah produksinya untuk mendapatkan keuntungan dengan cara menambahkan sejumlah input.

b. Tahap yang menggambarkan keadaan bahwa tambahan sejumlah input tidak diimbangi secara proporsional oleh output yang diperoleh. Elastisitas produksi antara 0 dan 1 (0<Ep<1). Elastisitas produksi sama dengan 1 pada saat produksi rata-rata sama dengan produksi marginalnya sama dengan 0 maka elastisitas produksinya sama dengan 0.

c. Tahap meliputi daerah dimana produksi marginal dari faktor produksi variabel adalah negatif, yang berarti tambahan faktor produksi variabel akan menghasilkan faktor produksi yang lebih sedikit. Elastisitas pada tahap ini lebih kecil dari 0 (Ep<0). Pada kondisi ini maka setiap upaya untuk menambah sejumlah input akan merugikan bagi produsen.

Menurut tiga tahap, tahap I dan tahap III merupakan tahap yang tidak rasional. Hal ini disebabkan pada tahap I akan lebih menguntungkan bila produsen menambah penggunaan faktor produksi variabel, karena penambahan faktor produksi variabel akan menghasilkan produksi dengan


(49)

proporsi yang lebih besar. Pada tahap III penambahan faktor produksi variabel akan menghasilkan produksi dengan proporsi yang lebih sedikit. Tahap II merupakan tahap yang rasional, karena penambahan faktor produksi akan menghasilkan proporsi yang sama.

4. Produksi Dengan Dua Input Variabel

Analisis berikut ini dimisalkan terdapat dua jenis faktor produksi yang dapat diubah jumlahnya. Kita misalkan yang dapat diubah adalah tenaga kerja dan modal. Fungsi produksi jangka panjang, input-input yang digunakan dapat diubah jumlahnya dan dalam proses produksinya input yang digunakan dapat ditambah seluruh jumlahnya atau tidak. Konsep fungsi produksi jangka panjang yang hanya menggunakan dua macam input biasanya digambarkan dengan menggunakan isoquant atau isoproduct.

Kurva isoquant adalah kurva yang menunjukkan berbagai kemungkinan kombinasi teknis antara dua input (variabel) yang terbuka bagi produsen untuk menghasilkan suatu tingkat output tertentu.(Boediono, 1989:73)

Isoquant mempunyai sifat cembung kearah origin, menurun dari kiri kekanan bawah, output makin tinggi bagi kurva yang terletak lebih ke kanan atas. Kegunaan dari isoquant adalah untuk menentukan least cost combination (LCC) yaitu kombinasi penggunaan input-input untuk menghasilkan suatu tingkat output tertentu dengan ongkos total yang minimal. Untuk menetukan kombinasi ini diperlukan tiga data:


(50)

a. Isoquant untuk tingkat output yang dikehendaki b. Harga input X 1

c. Harga input X 2

Syarat Least Cost Combination secara umum bisa ditulis sebagai berikut:

(2.5)

ΔX1/ΔX sering disebut dengan istilah 2 Marginal Rate of Technical Subtitution (MPRS), yaitu berapa input X harus ditambah agar tingkat output 1 tetap pada tingkat tertentu (Q), bila penggunaan input X dikurangi dengan 1 2 unit. Jika dihubungkan dengan kurva isoquant, MRTS tidak lain adalah slope isoquant. Syarat LCC bisa dinyatakan sebagai berikut:

1 2 P P

= MRTS (2.6)

Nicholson (1991:203) menjelaskan sebuah isoquant menunjukkan kombinasi K dan T yang bisa digunakan untuk memproduksi sejumlah output yang sama besarnya (misalnya sebanyak ). Secara matematis sebuah isoquant mencatat kombinasi K dan T yang memenuhi persyaratan.

f(K,T)=Qo ...(2.7)

Kombinasi faktor produksi K dan T bisa digambarkan banyak kurva isoquant. Setiap isoquant merepresikan tingkat output yang berbeda-beda.

2 1 1 2 2 1 1 2 dX dX P P atau ΔX ΔX P P = =


(51)

Makin tinggi kurva isoquant tersebut, makin banyak output yang dihasilkan. Kurva isoquant dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.2 Kurva Isoquant

Sumber: Nicholson, 1991:204

5. Faktor Produksi

Menurut Sadono Sukirno (2003:192) mengatakan bahwa faktor produksi sering disebut dengan korbanan produksi untuk menghasilkan produksi. Faktor- faktor produksi dikenal dengan istilah input dan jumlah produksi disebut dengan output. Faktor produksi atau input merupakan hal yang mutlak untuk menghasilkan produksi. Dalam proses produksi ini seorang pengusaha dituntut untuk mampu mengkombinasikan beberapa faktor produksi sehingga dapat menghasilkan produksi yang optimal.

Lebih lanjut dikatakan bahwa untuk mempermudah analisis maka faktor produksi dianggap tetap kecuali tenaga kerja, sehingga pengaruh faktor


(52)

produksi terhadap kuantitas produksi dapat diketahui secara jelas. Ini berarti kuantitas produksi dipengaruhi oleh banyaknya tenaga kerja yang dipergunakan. Faktor produksi yang dianggap konstan disebut faktor produksi tetap, dan banyaknya faktor produksi ini tidak dipengaruhi oleh banyaknya hasil produksi. Faktor produksi yang dapat berubah kuantitasnya selama proses produksi atau banyaknya faktor produksi yang digunakantergantung pada hasil produksi yang disebut faktor produksi variabel. Periode produksi jangka pendek apabila di dalam proses produksi yang bersifat variabel dan yang bersifat tetap. Proses produksi dikatakan jangka panjang apabila semua faktor produksi bersifat variabel.

a. Tenaga Kerja

Faktor produksi tenaga kerja merupakan faktor yang penting dan perlu diperhitungkan dalam proses produksi, baik dalam kuantitas dan kualitas. Jumlah tenaga kerja yang diperlukan harus disesuaikan dengan kebutuhan sampai tingkat tertentu hingga dicapai hasil yang optimal. Menurut Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan /atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Tenaga kerja adalah penduduk yang berumur 10 tahun atau lebih yang sudah atau sedang mencari pekerjaan dan melakukan kegiatan lainnya seperti sekolah dan mengurus rumah tangga (Simanjuntak Payaman J, 1985: 81). BPS (1997:52) menyatakan bahwa tenaga kerja terdiri dari angkatan kerja


(53)

dan bukan angkatan kerja. Yang masuk angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (10 tahun atau lebih) yang bekerja atau punya pekerjaan sementara tidak bekerja dan yang mencari pekerjaan. Yang termasuk bukan angkatan kerja adalah penduduk (10 tahun atau lebih) yang kegiatannya tidak bekerja maupun mencari pekerjaan atau penduduk usia kerja dengan kegiatan sekolah, mengurus rumah tangga maupun lainnya (pensiunan, cacat jasmani).

b. Bahan Baku

Menurut Sukanto Rekso Hadiprojo dan Indriyo Gito Sudarmo (1998:199) mengatakan bahwa bahan baku merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting. Kekurangan bahan dasar yang tersedia dapat terhentinya proses produksi karena habisnya bahan baku untuk diproses. Tersedianya bahan dasar yang cukup merupakan faktor penting guna menjamin kelancaran proses produksi. Oleh karena itu perlu diadakan perencanaan dan pengaturan terhadap bahan dasar ini baik mengenai kuantitas maupun kualitasnya. Dalam hal ini, cara penyediaan bahan baku ada 2 alternatif, yaitu

1. Dibeli sekaligus jumlah seluruh kebutuhan tersebut kemudian disimpan di gudang, setiap kali dibutuhkan oleh proses produksi dapat

2. Berusaha memenuhi kebutuhan bahan dasar tersebut dengan membeli berkali-kali dalam jumlah yang kecil dalam setiap kali pembelian.

Menurut Agus Ahyari (1989:150) beberapa kelemahan apabila perusahaan melakukan persediaan bahan baku yang terlalu kecil, antara lain:


(54)

1. Harga beli dari bahan baku tersebut menjadi lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pembelian normal dari perusahaan yang bersangkutan.

2. Apabila kehabisan bahan baku akan mengganggu kelancaran proses produksi.

3. Frekuensi pembelian bahan baku semakin besar mengakibatkan ongkos semakin besar.

Lebih lanjut Agus Ahyari mengatakan bahwa beberapa kerugian yang akan ditanggung oleh perusahaan berkaitan dengan persediaan bahan baku yang terlalu besar, antara lain:

1. Biaya penyimpanan atau pergudangan yang akan menjadi tanggungan perusahaan yang bersangkutan akan menjadi semakin besar.

2. Penyelenggaraan persediaan bahan baku yang terlalu besar akan berarti perusahaan tersebut mempersiapkan dana yang cukup besar.

3. Tingginya biaya persediaan bahan baku, mengakibatkan berkurangnya dana untuk pembiayaan dan investasi pada bidang lain.

4. Penyimpanan yang terlalu lama dapat menimbulkan kerusakan bahan tersebut.

5. Apabila bahan dasar tersebut terjadi penurunan harga, maka perusahaan mengalami kerugian.

c. Lilin Batik

Di samping mori (kain) sebagai bahan baku, pembuatan wastra batik juga menggunakan malam atau “lilin batik” sebagai bahan perintang. Bahan


(55)

perintang dalam proses pembatikan, malam “lilin batik” digunakan untuk menutup hiasan sehingga membebaskannya dari bahan pewarna ketika dilakukan proses pencelupan. Lilin batik merupakan campuran beberapa macam bahan, antara lain paraffin, kote ‘lilin lebah”, gondorukem (getah pohon pinus), damar “mata kucing”, lilin gladhagan “lilin bekas”, Kendal (lemak dari tumbuhan) dan minyak kelapa atau lemak hewan. Semua bahan ramuan tersebut dapat diperoleh di dalam negeri.

Ada tiga jenis lilin batik, yakni lilin klowong untuk nglowong dan ngisen-iseni; lilin tembokan untuk nembok dan lilin biron untuk mbironi. Masing-masing lilin batik digunakan sesuai dengan tahap pembatikan, yakni nglowong dan ngisen-iseni, nembok dan mbironi. Sesuai cara penempelannya, untuk batik tulis digunakan alat yang disebut canthing tulis, sedangkan untuk batik cap digunakan canthing cap. Canting tulis diperkirakan diciptakan di lingkungan kraton Mataram pada abad ke-17. Adapun canting cap logam, kayu mulai dipergunakan kira-kira pada pertengahan abad ke-19.

d. Obat Pewarna

Proses pembuatan batik menggunakan obat pewarna, baik zat warna nabati maupun zat warna buatan. Zat warna nabati berasal dari daun, kulit kayu, pokok kayu, akar pohon atau umbi. Contoh pewarna nabati misalnya daun nila untuk warna biru atau kebiru-hitam, akar pohon mengkudu untuk warna merah, kayu tegeran atau kunyit untuk warna kuning, kulit kayu tingi untuk merah-cokelat, dan kayu soga untuk warna cokelat. Semua obat pewarna nabati dapat diperoleh di dalam negeri, sedangkan zat warna buatan


(56)

sampai saat ini didatangkan dari luar negeri, antara lain Jerman (HOECHST), Inggris (ICI), Swiss (CIBA) Perancis (FRANCOLOR), Amerika (DU PONT) dan Italia (ACNA)

6. Efisiensi

Menurut kamus bahasa Indonesia efisiensi memiliki arti sebagai ketepatan cara (usaha kerja) dalam menjalankan sesuatu (dengan tidak membuang waktu dan biaya) dan kemampuan menjalankan tugas dengan baik dan tepat. Dalam istilah umum efisiensi sering diartikan sebagai: dengan biaya sekecil-kecilnya diharapkan dapat menghasilkan sesuatu yang sebesar-besarnya. Tingkat efisiensi diukur dengan indikator yang dihitung dari rasio antara nilai tambah (value added) dengan nilai output. Ini berarti semakin tinggi nilai ratio tersebut semakin tinggi tingkat efisiensinya, karena semakin rendah biaya output yang diperlukan untuk menghasilkan suatu unit output.

Cooelli (2005:14) menjelaskan fungsi produks input tunggal yang menggambarkan efisiensi dengan satu macam input dalam produksi


(57)

Gambar 2.3 Fungsi Produksi Input Tunggal

.

Tungga;c,;c

Sumber : Coelli (2005:14).

Dapat diringkas, bahwa fungsi produksi yang dilukiskan dalam Gambar 2.3 menunjukkan pada titik tertentu, apabila unit-unit tambahan input variabel ditambahkan dalam input tetap, maka produk marginal akan menurun.

Secara umum ada dua komponen pengukur efisiensi: 1. Efisiensi teknis / technical efficiency

Efisiensi ini mencoba mengukur tingkat penggunaan dari sarana ekonomi/ sejumlah input untuk menghasilkan sejumlah output tertentu.

D E G 0 q x Marginal product at G = slope of the

function at G (=0)

Average product at E= slope of the ray throught the origin

and E The production function q = f (x) Point of the

optimal scale

Concovity is violated in this

region

The economically-feasible region of

production

Monotpnicity is violated in this


(58)

2. Efisiensi alokatif / allocative efficiency

Efisiensi ini mencoba mengukur sampai sejauh mana kombinasi optimal dari ragam input yang digunakan dalam proses produksi pada tingkat harga relatif.

Ada dua macam efisiensi yang dapat diukur:

1. Efisiensi absolute merupakan efisiensi yang diperoleh DMU (Decision Making Unit) apapun jika hanya dan hanya inputnya dan outputnya dapat diperbaiki tanpa merusak atau membandingkan dengan input dan outputnya.

2. Efisiensi relative merupakan efisiensi suatu DMU (Decision making Unit) yang diharapkan dapat mencapai 100 % dengan dasar fakta-fakta dibandingkan dengan DMU lainnya. Untuk mencapai efisiensi perlu diketahui faktor yang menimbulkan inefisiensi dan langkah yang diambil untuk mengatasinya. Ada 3 macam inefisiensi yang prakteknya saling terkait namun secara konsepsional bisa dibedakan satu sama lainnya:

Ø Inefisiensi pada masyarakat itu sendiri

Ø Inefisiensi yang timbul karena alokasi yang salah dan sumber daya yang tersedia

Ø Inefisiensi yang melekat pada masing-masing pelaku ekonomi Mubyarto (1989) menjelaskan efisiensi produksi yaitu banyaknya hasil produksi fisik yang dapat diperoleh dari satu kesatuan faktor produksi (input).


(59)

Apabila rasio ouput besar maka efisiensi dikatakan semakin tinggi. Efisiensi adalah penggunaan input terbaik dalam memproduksi output (Shone dalam Susantun, 2000). Farel (1957) mengklasifikasikan efisiensi menjadi tiga bagian yaitu: efisiensi teknik, efisiensi alokatif (harga), dan efisiensi ekonomi. Farel (1957) dalam Guntur Riyanto (2009:21) mengajukan bahwa efisiensi sebuah firma terdiri dari dua komponen efisiensi teknis, yang mencerminkan kemampuan sebuah firma untuk memperoleh output maksimal dari rangkaian input tertentu, dan efisiensi alokatif, yang mencerminkan kemampuan sebuah firma untuk menggunakan input dalam proporsi optimal, mengingat adanya harga respektif dan teknologi produksi. Dua ukuran tersebut selanjutnya digabungkan untuk memberikan sebuah ukuran total efisiensi ekonomi.

Harga faktor produksi relatif diperlukan untuk mengetahui efisiensi harga. Garis harga faktor produksi F1 dan F2 ditunjukkan oleh garis AA’ yang menyinggung kurva SS’ pada Q’ dan memotong garis OP pada titik R. Garis AA’ adalah garis harga yang menunjukkan tempat kedudukan kombinasi penggunaan input untuk memperoleh satu unit output dengan biaya yang paling rendah yang ditunjukkan titik singgung Q’ pada kurva SS’. Efisiensi harga bagi perusahaan yang bergerak pada titik OR/OQ. Efisiensi ekonomi sebagai hasil dari efisiensi teknik dan harga OQ/OP. OR/OQ = OR/OP.


(60)

Gambar 2.4 Efisiensi Teknik dan Alokatif.

Sumber : Coelli, 2005:52

Richmont (1974), Aigner et al. (1977), Battese and Corra (1977) dan Collie (1995) dalam Zen et. al. (2002), fungsi produksi frontier mewakili penggunaan teknologi secara luas oleh perusahaan dalam suatu industri. Model fungsi ini dipergunakan untuk mengukur efisiensi teknis perusahaan, yang dapat dinyatakan sebagai berikut:

Y= f (Xi, β) exp εi (2.8)

β adalah parameter yang akan ditaksir, Xi adalah input, dan εi = v i+ ui. Kesalahan dianggap negatif dan naik karena pemotongan distribusi normal dengan rata-rata nol dan varians positif . Hal itu menggambarkan efisiensi teknis produksi sebuah perusahaan. Dengan kata lain error vi diasumsikan memiliki distribusi normal dengan rata-rata nol dan varians yang positif,

S P

A

R Q

Q’

S’

A’ 0

xyq


(61)

yang menggambarkan kesalahan pengukuran yang berkaitan dengan faktor di luar kendali yang berhubungan dengan produksi.

Nicholson (1995) mengatakan bahwa efisiensi harga tercapai apabila perbandingan antara nilai produktivitas marginal masing-masing input (NPMXi) dengan harga inputnya ( ) atau sama dengan 1. Kondisi ini menghendaki NP sama dengan harga faktor produksi X atau dapat ditulis sebagai berikut:

(2.9)

Px = harga faktor produksi X

Soekartawi (1990) berpendapat bahwa dalam kenyataannya NPMx tidak selalu sama dengan Px, yang sering terjadi adalah sebagai berikut: ü (NPMx / Px) > 1 artinya penggunaan input X belum efisien, untuk

mencapai efisiensi maka input X perlu ditambah.

ü (NPMx / Px) < 1 artinya penggunaan input X tidak efisien, untuk menjadi efisien maka penggunaan input X perlu dikurangi.

Susantun (2000) menyatakan efisiensi ekonomi merupakan merupakan produk dari efisiensi teknik dan efisiensi harga. Efisiensi ekonomis dapat dicapai jika kedua efisiensi tersebut tercapai sehingga dapat dituliskan sebagai berikut:


(62)

C. PENELITIAN TERDAHULU

Pengukuran efisiensi telah banyak dilakukan oleh peneliti untuk mengukur kinerja suatu unit kegiatan ekonomi (UKE). Penggunaan Data Envelopment Analysis (DEA) digunakan untuk mengukur efisiensi teknis suatu UKE yang menggunakan banyak variabel input dan menghasilkan banyak variabel output. DEA digunakan pada sampel UKE yang bersifat homogeneosus seperti rumah sakit, pusat kesehatan, lembaga pendidikan, instansi pemerintah, perusahaan asuransi, perbankan, dan UKE lainnya. Metode DEA juga digunakan untuk mengukur efisiensi teknis pada sektor industri manufaktur, sub sektor industri manufaktur dan kinerja wilayah.

1. Sudarti tahun 2005 mengenai Analisis Tingkat Efisiensi Usaha Home Industri Kendang Jimbe Di Kelurahan Tanggung Kecamatan Kepanjen Kidul Kota Blitar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat produksi, rata-rata pendapatan, dan tingkat efisiensi usaha kecil pembuatan Kendang Jimbe di Kelurahan Tanggung Kecamatan Kepanjen Kidul Kota Blitar. Data yang dipergunakan adalah data primer dan sekunder, teknik pengumpulan data menggunakan observasi, quisioner, dan wawancara. Alat analisis yang digunakan yaitu analisis deskriptif kuantitatif dan rumus menghitung pendapatan menggunakan ¶ = TR – TC dan efisiensi usaha (income) menggunakan Rasio R/C. Hasil penelitian disimpulkan bahwa produksi pengusaha kecil selama satu bulan


(63)

berkisar antara 85 – 320 unit kendang Jimbe (Sentul) dengan rata-rata produksi sebanyak 180 unit per bulan. Produk kendang Jimbe (Sentul) yang diproduksi terdiri dari beberapa jenis ukuran, antara lain ukuran diameter 15 cm - 70 cm. Masing-masing produk tersebut tidak selalu diproduksi oleh pengusaha kecil karena tidak selalu dipesan, kecuali pada kendang Jimbe yang berdiameter 50 cm. Pendapatan yang diperoleh pengusaha kecil pembuatan Kendang Jimbe selama satu bulan berkisar antara Rp. 1.400.000 hingga Rp. 5.380.000 dengan rata-rata pendapatan (income) sebesar Rp. 2.960.660. Nilai Return Cost Ratio usaha kecil pembuatan Kendang Jimbe pada masing-masing pengusaha kecil yang diteliti lebih besar dari 1 (efisiensi) yaitu dari 1,17 - 1,31 dengan rata-rata rasio R/C sebesar 1,27. Hal ini menunjukkan bahwa usaha kecil pembuatan Kendang Jimbe yang dilakukan oleh para pengusaha kecil di Kelurahan Tanggung Kecamatan Kepanjen Kidul Kota Blitar tergolong efisien.

2. Erniati Dyah Lusiana Dewi mengenai Analisis Efisiensi Produksi Tekstil di Karanganyar dengan analisis Deskripsi data, prosedur estimasi, interprestasi hasil estimasi secara ekonomi, efisiensi ekonomis, skala produksi terhadap resiko (Return to Scale) dan menggunakan metode Yt = AX1 tb1 X 2 tb2 X 4 t b4 U t Y t = nilai output tiap bulan X1 = pengeluaran untuk seluruh tenaga kerja lainnya tiap bulan X3 = nilai pemakaian bahan baku tiap bulan X4 = nilai mesin tiap bulan, A = konstanta Ut = variabel pengganggu b1 b2 b3 b4


(64)

= koefisien elastisitas masing – masing input. Hasil penelitian adalah variabel tenaga kerja produksi, tenaga kerja lainnya, bahan baku dan mesin mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil produksi industri di kabupaten Karanganyar, bahwa produksi mencapai skala hasil yang menurun atau decreasing of scale. Bahwa tingkat efisiensi teknis pada industri kekabupaten Karanganyar adalah sebesar 1,0133% efisiensi harga belum tercapai karena nilai berbeda dari satu.

3. Hastarani Dwi Atmanti (2002) mengukur efisiensi teknis sektor industri manufaktur di Jawa Tengah sebelum krisis (1995-1996) dan selama krisis (1997-2000), dalam penelitian ini yang menjadi UKE adalah kelompok industri besar dan sedang yang dikelopokkan dalam KLUI 2 digit. Pengukuran efisiensi teknis menggunakan metode DEA dengan asumsi CRS dan input oriented. Variabel yang digunakan terdiri dari variabel input (bahan baku, tenaga kerja, bahan bakar listrik,barang lain diluar bahan baku, jasa industri untuk input, sewa gedung, dan jasa non industri), dan variabel output (keuntungan, penjualan barang, selisih nilai stok barang setengah jadi, penerimaan lain dari jasa non industri, value added, dan jasa industri untuk output). Perhitungan DEA dari tahun 1995-2000 dengan asumsi CRS menunjukkan bahwa hampir semua kelompok industri efisien secara teknis, hanya terdapat 2 kelompok industri tidak efisien secara teknis. Kelompok industri yang tidak efisien adalah industri kayu, bambu, rotan termasuk perabot rumah tangga (KLUI 33) pada tahun 1995


(65)

karena masalah kelangkaan bahan baku dan kelompok industri kimia, minyak bumi, batu bara, karet dan plastic (KLUI 33) pada tahun 1999 terjadi karena deregulasi tentang tariff impor yang relative tinggi. 4. Penelitian Agus setiawan (2010) yang mengukur tingkat efisiensi

usaha kerajinan sangkar burung di Krajan, Mojosongo, Surakarta. Variabel yang digunakan terdiri dari variabel input (bambu, kayu, lem, tiang, dan tenaga kerja), dan variabel output (produksi sangkar burung). Hasil penghitungan dengan menggunakan DEA dari 32 responden menunjukkan sebanyak 4 pengrajin sangkar burung sudah efisien secara teknis, sedangkan 28 pengrajin sangkar burung lainnya belum efisien. Secara revenue sebanyak 7 pengrajin sangkar burung sudah efisien, sedangkan 25 pengrajin sangkar burung lainnya belum efisien. 1 pengrajin sangkar burung sudah efisien secara alokatif sedangkan 31 pengrajin sangkar burung yang lainnya belum efisien. Sebanyak 5 pengrajin sangkar burung sudah efisien secara ekonomis sedangkan 27 pengrajin sangkar burung yang lain belum efisien. Sumber-sumber yang menyebabkan inefisiensi pada usaha kerajinan sangkar burung yang inefisien berasal dari variabel input dan output.

D. KERANGKA PEMIKIRAN

Peningkatan produksi yang berhubungan dengan peningkatan pendapatan dipengaruhi oleh efisiensi faktor produksi (efisiensi teknis),


(66)

efisiensi pada harga produk (efisiensi alokatif) dan pemasarannya (efisiensi ekonomis) serta efisiensi revenue. Dari faktor-faktor tersebut dapat disusun sebuah kerangka pemikiran. Kerangka tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.5 Kerangka Pemikiran

Produksi Batik Faktor Produksi · Tenaga Kerja · Kain

· Malam (Lilin batik) · Obat Pewarna

Efisiensi Ekonomis Efisiensi

Alokatif Efisiensi

Revenue Efisiensi


(67)

E. HIPOTESIS

Penelitian ini merupakan studi kasus pada usaha kecil menengah batik desa Kauman Kota Pekalongan. Berdasarkan latar belakang, diskripsi teoritis serta hasil penelitian terdahulu tersebut diatas, maka hipotesis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Diduga penggunaan faktor-faktor produksi usaha kecil menengah batik belum memenuhi efisiensi secara teknis, efisiensi revenue, efisiensi ekonomi dan efisiensi alokatif.

2. Diduga sumber inefisiensi masing-masing pengusaha batik berasal dari variabel bahan baku yang digunakan.


(1)

pemakaian input sehingga output yang dihasilkan belum optimal. Adapun

ke-23 pengusaha yang belum mencapai efisien tersebut adalah 3, 7, 8, 9, 10, 11,

15, 16, 20, 22, 23, 24, 25 ,26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35. Bila

dipersentase pengusaha yang telah mencapai efisien sebanyak 35 % dan yang

belum mencapai efisien sebanyak 65 %. Berarti jumlah pengusaha yang

belum mencapai efisien lebih banyak bila dibandingkan jumlah pengusaha

yang telah mencapai efisien.

Berdasarkan data diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat 17

pengusaha batik/ pelaku UKM yang sudah dinyatakan efisien secara revenue.

Hal ini dapat dilihat dari skor efisiensi sebesar 100 %. Artinya penggunaan

input dan balas jasa (harga) input yang dikeluarkan oleh pengusaha batik

untuk menghasilkan output sudah optimal. Selain itu dalam proses produksi

tidak terdapat pemborosan pemakaian input dan balas jasa (harga) yang

dikeluarkan sehingga dapat menghasilkan output yang optimal. Adapun ke-17

pengusaha yang telah mencapai efisien tersebut adalah 1, 2, 3, 4, 5, 6, 10, 12,

13, 14, 17, 18,19, 21, 24, 25, 34. Sedangkan pengusaha yang belum

dinyatakan efisien sebanyak 18 responden. Hal ini dapat dilihat dari skor

efisiensi kurang dari 100 %.artinya penggunaan input balas jasa (harga) input

yang dikeluarkan oleh pengusaha batik dalam menghasilkan output berupa

produk batik belum optimal. Selain itu dalam proses produksi terdapat

pemborosan pemakaian input dan kelebihan balas jasa (harga) yang

dikeluarkan sehingga output yang dihasilkan belum optimal. Adapun ke-18

pengusaha yang belum mencapai efisien tersebut adalah 7, 8, 9, 11, 15, 16, 20


(2)

, 22, 23, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 35. Bila dipersentase pengusaha yang

telah mencapai efisien sebanyak 48 % dan yang belum mencapai efisien

sebanyak 64 %. Berarti jumlah pengusaha yang belum mencapai efisien lebih

banyak bila dibandingkan jumlah pengusaha yang telah mencapai efisien. Bila

dipersentase pengusaha yang telah mencapai efisien sebanyak 48 % dan yang

belum mencapai efisien sebanyak 52 %. Berarti jumlah pengusaha yang

belum mencapai efisien lebih banyak bila dibandingkan jumlah pengusaha

yang telah mencapai efisien.

D.

Sumber Inefisiensi dan Pemecahannya

Secara umum usaha kecil dan menengah (UKM) batik di Desa

Kauman Kota Pekalongan belum sepenuhnya efisien baik secara teknis

maupun revenue. Bila dilihat dari efisiensi teknis pengusaha yang telah

mencapai efisien sebanyak 12 responden (35 %) dan yang belum mencapai

efisien sebanyak 23 responden (65 %). Bila dilihat dari efisiensi revenue

pengusaha yang telah mencapai efisien sebanyak 17 responden (48%) dan

pengusaha yang belum mencapai efisien sebanyak 18 responden (52 %). Bila

dilihat dari efisensi alokatif tidak ada yang mencapai efisiensi dan menurut

efisiensi ekonomis sebanyak 12 responden (35%) telah mencapai efisiensi dan

23 lainnya (65%) belum efisien.

Sumber-sumber inefisiensi pada usaha kecil dan menengah (UKM)

batik Desa Kauman Kota Pekalongan dapat dilihat pada nilai efisiensi variabel


(3)

input dan output. Nilai efisiensi variabel pada usaha kecil dan menengah

(UKM) batik Desa Kauman Kota Pekalongan dapat dicari dengan metode

DEA.

Berdasarkan perhitungan DEA, nilai

achieved

per variabel pada 35

responden belum semuanya mencapai nilai 100%. Tidak tercapainya nilai

tersebut mengindikasikan bahwa penggunaan variabel input maupun output

belum efisien. Tidak efisiennya variabel tersebut mengakibatkan produktivitas

usaha kecil dan menengah (UKM) batik juga tidak efisien. Pada variabel

yang mempunyai nilai achieved sama dengan 100% berarti variabel tersebut

telah digunakan dengan efisien.

Berdasarkan dari hasil perhitungan dengan menggunakan metode DEA

dapat terlihat sumber inefisiensi dimana antara UKM yang satu dengan yang

lainnya berbeda. Langkah berikutnya setelah diketahui sumber inefisiensi

pada suatu UKM adalah bagaimana menjadikan pengusaha batik yang belum

efisien menjadi efisien. Dengan metode DEA ini juga dapat dicari bagaimana

menjadikan UKM yang belum efisien dapat menjadi efisien. Cara yang dapat

digunakan adalah dengan menyesuaikan nilai aktual dengan nilai target.

Misalnya pada pengusaha 22, variabel yang menyebabkan inefisiensi adalah

malam (Mlm) dan kain dimana nilai aktual penggunaan malam pengusaha 22

untuk produksi batik adalah 53 sementara nilai targetnya adalah 52,8 sehingga

tingkat efisiensi dalam penggunaan variabel malam hanya sebesar 99,6 % dan

untuk menjadikan variabel ini efisien maka penggunaan variabel malam harus

dikurangi sebesar 0,4 %.


(4)

Sedangkan nilai aktual penggunaan kain adalah 521 dimana nilai

targetnya adalah 505 sehingga tingkat efisiensi penggunaan variabel kain oleh

pengusaha 22 hanya sebesar 96,9 %, untuk menjadikan variabel ini efisien

maka penggunaan variabel kain harus dikurangi sebesar 3,1 %. Begitu pula

untuk variabel-variabel yang belum efisien dapat dicari dengan cara yang

sama.


(5)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A.

Kesimpulan

1.

Berdasarkan hasil penghitungan dengan menggunakan DEA dari 35

responden dilihat dari efisiensi teknis menunjukkan sebanyak 12 pengusaha

telah mencapai efisien dan sebanyak 23 pengusaha belum mencapai efisien.

Sedangkan dari efisiensi revenue menunjukkan bahwa sebanyak 17 pengusaha

telah mencapai efisien dan sebanyak 18 pengusaha belum mencapai efisien.

Bila ditinjau secara umum baik dari efisiensi teknis maupun revenue masih

banyak pengusaha yang belum sepenuhnya efisien. Walaupun demikian ada

beberapa pengusaha yang hampir mencapai efisien. Sehingga perlu

ditingkatkan agar mencapai efisien.

2.

Sumber-sumber yang menyebabkan inefisiensi pada usaha kecil dan

menengah (UKM) batik berasal dari variabel input atau bahan baku yang

digunakan. Sehingga terjadi pemborosan dan inefisiensi dalam proses

produksi. Hal ini dikerenakan dalam proses produksi batik para pengusaha

hanya berdasarkan pengalaman dan ilmu turun temurun dari lintas generasi.


(6)

Saran

1.

Bagi pengusaha batik yang sudah efisien disarankan agar tetap

mempertahankan tingkat efisiensinya dengan cara memanfaatkan input yang

sudah dimiliki. Sedangkan bagi pengusaha batik yang belum efisien

disarankan agar menggunakan input secara efisien, dengan cara menambah

dan mengurangi faktor produksi yang dianggap belum efisien.

2.

Berdasarkan analisis dengan menggunakan DEA bagi UKM yang belum

efisien adalah dengan pengurangan input yang digunakan dalam proses

produksi. Hal ini dapat dilakukan dengan menyesuaikan nilai aktual dari

variabel input dan output usaha produksi batik yang belum efisien sesuai

dengan nilai target yang direkomendasikan DEA.

3.

Bagi pengusaha batik yang belum efisien dapat mengacu dan belajar pada

pengusaha batik yang sudah mencapai efisien. Untuk pengusaha yang telah

mencapai efisiensi bersedia membagi ilmuya kepada pengusaha yang belum

efisien sehingga diantara kedua belah pihak terjadi komunikasi dan transfer

ilmu.