16
BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA
A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Tindak pidana perdagangan orang telah dikriminalisasi
dalam hukum Indonesia. Perdagangan disebut secara eksplisit dalam Kitab Undang – Undang
Hukum Pidana KUHP sebagai berikut : Pasal 297 KUHP menyatakan bahwa :
“ Perdagangan wanita umur tidak disebutkan dan perdagangan anak -anak laki- laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun
“
Pasal 324 KUHP menyatakan bahwa : “ Barangsiapa dengan biaya sendiri atau biaya orang lain menjalankan perniagaan
budak atau melakukan perbuatan perniagaan budak atau dengan sengaja turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam salah satu perbuatan diatas,
diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”
Pasal 297 KUHP menjelaskan bahwa perbuatan yang dilarang adalah melakukan perdagangan perempuan dan laki
– laki di bawah umur, sementara pada perkembangan saat ini yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang tidak hanya terbatas pada
perempuan dan anak laki – laki di bawah umur saja, melainkan sudah meluas, yang tidak
terbatas pada usia dan jenis kelamin. Sehingga Pasal 297 KUHP sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kehidupan masyarakat, begitu juga dengan pengenaan sanksi yang
diatur dalam Pasal 297 KUHP. Sanksi yang diberikan kepada pelaku tindak pidana perdagangan orang hanya diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun. Hal ini
dianggap sudah tidak relevan lagi dengan kondisi kehidupan masyarakat. Karena sanksi yang diberikan terlalu ringan dan tidak sebanding dengan kerugian yang sudah di alami oleh
korban baik kerugian fisik maupun kerugian psikis.
Walaupun perdagangan telah diatur dalam didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP tetapi dalam praktiknya tidak memberikan perlindungan bagi korban.
16
Universitas Sumatera Utara
17
Dengan demikian, pada Tahun 2007 Pemerintah melahirkan Undang – Undang Nomor 21
Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Undang – undang
ini mengatur lebih khusus mengenai tindak pidana perdagangan orang. Pengaturan larangan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang di atur dalam pasal 2 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2007 yang berbunyi :
“Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penyulikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di
wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan paling lama 15 lima belas tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp.120.000.000,00 Seratus Dua Puluh Juta Rupiah dan paling banyak
Rp.600.000.000,00 Enam Ratus Juta Rupiah.”
Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang juga memberikan perlindungan terhadap korban tindak pidana perdagangan orang. Korban tindak pidana perdagangan orang dapat berupa korban langsung
ataupun korban tidak langsung. Korban langsung yaitu orang yang mengalami sendiri tindak pidana tersebut sedangkan korban tidak langsung yaitu anggota ahli waris atau keluarga
korban yang mengalami tindak pidana perdagangan orang.
Salah satu bentuk perlindungan terhadap korban adalah pemberian restitusi. Tindak lanjut pemberian restitusi diatur dalam pasal 48 sampai dengan pasal 50 Undang
– Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
a. Pasal 48
1. Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak
memperoleh restitusi. 2.
Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berupa ganti kerugian atas: a. kehilangan kekayaan atau penghasilan ;
b. penderitaan ; c. biaya untuk tindakan perawatan medis danatau psikologis danatau
d. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat dari perdagangan orang
3. Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan
pengadilan aatentang perkara tindak pidana perdagangan orang.
Universitas Sumatera Utara
18
4. Pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan sejak
dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama 5.
Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat 4 dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus
6. Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 empat belas hari terhitung sejak
diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap 7.
Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding atau kasasi, maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi yang dititipkan
dikembalikan kepada yang bersangkutan.
Dalam Pasal 48 ayat 1, dijelaskan bahwa mekanisme pengajuan restitusi dilaksanakan sejak korban melaporkan kasus yang dialaminya kepada Kepolisian Negara
Republik Indonesia setempat dan ditangani oleh penyidik bersamaan dengan penanganan tindak pidana yang dilakukan. Penuntut umum memberitahukan kepada korban tentang
haknya untuk mengajukan restitusi, selanjutnya penuntut umum menyampaikan jumlah kerugian yang diderita korban akibat tindak pidana perdagangan orang bersamaan dengan
tuntutan. Mekanisme ini tidak menghilangkan hak korban untuk mengajukan sendiri gugatan atas kerugiannya.
Dalam ketentuan Pasal 48 ayat 5, penitipan restitusi dalam bentuk uang di pengadilan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang
– undangan. Ketentuan ini disamakan dengan proses penanganan perkara perdata dalam konsinyasi. Restitusi yang
disebutkan dalam Pasal 48 ayat 6 merupakan pembayaran riil faktual dari jumlah restitusi yang diputus yang sebelumnya dititipkan pada pengadilan tingkat pertama.
b. Pasal 49
1. Pelaksanaan pemberian restitusi dilaporkan kepada ketua pengadilan yang
memutuskan perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi tersebut
2. Setelah ketua pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud pada ayat
1, ketua pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut di papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan.
3. Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 disampaikan oleh pengadilam kepada korban atau ahli warisnya.
Universitas Sumatera Utara
19
c. Pasal 50
1. Dalam hal pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban tidak dipenuhi
sampai melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 ayat 6, korban atau ahli warisnya memberitahukan hal tersebut kepada pengadilan
2. Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memberikan surat peringatan
secara tertulis kepada pemberi restitusi, untuk segera memenuhi kewajiban memberikan restitusi kepada korban atau ahli warisnya.
3. Dalam hal surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak dilaksanakan
dalam waktu 14 empat belas hari, pengadilan memerintahkan penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelang harta tersebut untuk
pembayaran restitusi. 4.
Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 satu tahun.
Pengaturan Pasal 50 Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 menunjukkan adanya