Perumusan Masalah Tinjauan Penelitian Terdahulu

8 penelitian Subramaniam, et al. 2009 menggunakan 200 perusahaan teratas yang terdaftar dalam Australian Stock Exchange dikurangi dengan perusahaan dibidang funds and trust . Sementara itu, sampel yang digunakan oleh Diani 2013 adalah perusahaan high profile yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2009-2011. . Dari beberapa penelitian di atas terjadi perbedaan hasil kesimpulan atau tidak konsisten sehingga penulis tertarik untuk meneliti kembali faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan manajemen risiko. Berdasarkan penjelasan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Faktor- faktor Yang Mempengaruhi Keberadaan Komite Manajemen Risiko Pada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar Di BEI Tahun 2011-2014” .

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah proporsi Komisaris Independen berpengaruh terhadap keberadaan Komite Manajemen Risiko? 2. Apakah ukuran Dewan Komisaris berpengaruh terhadap keberadaan Komite Manajemen Risiko? 3. Apakah Frekuensi Rapat Dewan berpengaruh terhadap keberadaan Komite Manajemen Risiko? 4. Apakah Reputasi Auditor berpengaruh terhadap keberadaan Komite Manajemen Risiko? 9 5. Apakah Proporsi Komisaris Independen, Ukuran Dewan Komisaris, Frekuensi Rapat Dewan dan Reputasi Auditor berpengaruh terhadap keberadaan Komite Manajemen Risiko? 1.3. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan bukti secara empiris terhadap hal-hal berikut: 1. Untuk menganalisis pengaruh proporsi komisaris independen terhadap keberadaan Komite Manajemen Risiko. 2. Untuk menganalisis pengaruh ukuran dewan komisaris terhadap keberadaan Komite Manajemen Risiko. 3. Untuk menganalisis pengaruh frekuensi rapat dewan terhadap keberadaan Komite Manajemen Risiko. 4. Untuk menganalisis pengaruh reputasi auditor terhadap keberadaan Komite Manajemen Risiko. 5. Untuk menganalisis pengaruh proporsi komisaris independen, ukuran dewan komisaris, frekuensi rapat dewan dan reputasi auditor terhadap keberadaan Komite Manajemen Risiko. 10

1.3.2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Bagi pembaca, menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberadaan Komite Manajemen Risiko dan hubungan pengelolaan manajemen risiko yang baik dengan prinsip tata kelola perusahaan. 2. Bagi penilti selanjutnya, memberikan kontribusi tambahan referensi penelitian tentang hubungan dan pengaruh Komite Manajemen Risiko terhadap Corporate Governance 3. Bagi kreditur, sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan analisis kesanggupan perusahaan dalam menghadapi risiko-risiko yang akan terjadi. 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Keagenan Menurut Jensen dan Meckling 1976, teori keagenan merupakan suatu hubungan kontrak dimana salah satu pihak principal menggunakan pihak lain agent untuk mengerjakan suatu hal tertentu untuk kepentingan mereka, dengan melibatkan suatu pendelegasian wewenang pengambilan keputusan untuk agen. Menurut Michael B. Adams 1994, teori keagenan didasarkan pada pikiran bahwa agen memiliki informasi lebih banyak dari principal dan asimetri informasi ini mempengaruhi secara negatif kemampuan principal untuk memantau secara efektif apakah benar kepentingan mereka dijalankan atau tidak oleh agen. Menurut teori keagenan, konflik antara prinsipal dan agen dapat dikurangi dengan mensejajarkan kepentingan antara prinsipal dan agen. Kehadiran kepemilikan saham oleh manajerial insider ownership dapat digunakan untuk mengurangi agency cost yang berpotensi timbul, karena dengan memiliki saham perusahaan diharapkan manajer merasakan langsung manfaat dari setiap keputusan yang diambilnya. Proses ini dinamakan dengan bonding mechanism, yaitu proses untuk menyamakan kepentingan manajemen melalui program mengikat manajemen dalam modal perusahaan. 12 Menurut Eisenhardt 1989, teori keagenan dilandasi oleh 3 buah asumsi yaitu: 1. Asumsi tentang sifat manusia Menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk mementingkan diri sendiri self Interest, memiliki keterbatasan rasionalitas bounded rationality , dan tidak menyukai risiko risk aversion. 2. Asumsi tentang keorganisasian Adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai kriteria produktivitas dan adanya asymmetric information antara principal dan agent. 3. Asumsi informasi Informasi dipandang sebagai barang komoditi yang bisa diperjualbelikan. Masalah keagenan ini dapat menimbulkan biaya keagenan, yaitu biaya pengorbanan agar agen bertindak sesuai kepentingan principal. Menurut Jensen dan Meckling 1976 terdapat tiga komponen biaya keagenan. Yang pertama biaya pengawasan monitoring cost yaitu biaya yang dikeluarkan prinsipal untuk membatasi perilaku agen yang mementingkan kepentingannya. Komponen kedua adalah biaya yang dikeluarkan agen sebagai jaminan bagi prinsipal agar agen tidak melakukan tindakan yang dapat merugikan prinsipal, misalnya insentif kepegawaian. Komponen biaya ketiga adalah kerugian residual residual loss yaitu nilai uang ekuivalen dengan pengurangan kesejahteraan yang dialami prinsipal akibat tindakan agen yang menyimpang dari tujuan perusahaan. Menurut Kajuter et al., 2002 dalam Safitri, 2013, penerapan manajemen risiko dapat menurunkan biaya keagenan dan meningkatkan nilai perusahaan. Manajemen risiko perusahaan juga dapat dijadikan mekanisme pengawasan dalam menurunkan informasi asimetris dan berkontribusi untuk menghindari perilaku oportunis dari manajer. Oleh karena itu, perlulah 13 dibentuk Komite Manajemen Risiko Risk Management Committee. Komite manajemen risiko dapat membantu dewan komisaris dalam pengawasan perusahaan, terutama dalam strategi, kebijakan, dan proses manajemen risiko perusahaan. Pada dasarnya, komite tersebut memberikan kualitas pengendalian internal yang lebih baik, yang terpenting lagi untuk memperkecil perilaku opportunistic agen Subramaniam, et al., 2009.

2.1.2. Risiko dan Manajemen Risiko

Risiko adalah suatu kemungkinan yang tak diharapkan. Munculnya kejadian yang tak diharapkan dapat mengakibatkan kerugian. Semua orang takut untuk menanggung risiko, namun kehidupan ini penuh dengan risiko. Risiko merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia, ada pepatah mengatakan tak ada hidup tanpa risiko. Kata risiko biasanya mempunyai konotasi negatif bagi setiap orang, karena risiko dapat menjadi penyebab terjadinya suatu kerugian investor yang memegang saham mengkhawatirkan harga saham yang turun. Bank khawatir apabila debitornya menyatakan gagal bayar default. Risiko yang dihadapi berasal dari beberapa sumber. Sumber-sumber tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga sumber menjadi: 1. Risiko sosial. Sumber utama risiko ini adalah masyarakat. Artinya, tindakan orang-orang menciptakan kejadian yang menyebabkan penyimpangan merugikan. Misalnya; pencurian, vandalism, huru-hara, peperanagna dan sebagainya. 14 2. Risiko fisik. Ada banyak sumber risiko fisik, sebagian merupakan fenomena alam dan sebagian karena tingkah laku manusia. Kebakaran adalah penyebab utama cidera fisik, kematian maupun kerusakan harta. Kebakaran dapat disebabkan oleh petir, konsluiting kabel, gesekan benda maupun kecerobahan manusia. 3. Risiko ekonomi. Banyak risiko yang dihadapi oleh manusia itu bersifat ekonomi, misalnya inflasi, resesi, fluktuasi harga dan lain-lain. Selama periode daya beli uang merosot. Para pensiunan dan mereka yang berpenghasilan tetap, tidak mungkin lagi dapat mempertahankan tingkat hidup sebagaimana biasanya. Bahkan pada periode ekonomi yang relative stabil, daerah-daerah tertentu mungkin mengalami boom atau resesi. Keadaan ini menempatkan orang-orang pada pengusaha pada risiko yang sama dengan risiko pada fluktuasi umum kegiatan ekonomi. Besarnya ukuran risiko dan frekuensi kemunculan kejadian yang tak diinginkan menuntut manajemen risiko. Perusahaan perlu mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang dihadapi, mengukur besarnya risiko dan manajemen risiko tersebut. Manajemen risiko merupakan desain prosedur serta implementasi prosedur untuk mengelola suatu risiko usaha. Keberadaan manajemen risiko merupakan antisipasi atas semakin kompleknya aktivitas badan usaha atau perusahaan yang dipicu oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi. Manajemen risiko banyak diperbincangkan orang akhir-akhir ini. Manajemen risiko tidak saja diperlukan untuk dipelajari dalam mengelola 15 risiko-risiko yang dihadapi oleh badan usaha atau perusahaan, tetapi juga dipelajari untuk mengelola kehidupan semesta ini Kasidi, 2010. Manajemen risiko didefenisikan sebagai suatu metode logis dan sistematik dalam identifikasi, kuantifikasi, menentukan sikap, menetapkan solusi, serta melakukan monitor dan pelaporan risiko yang berlangsung pada setiap aktivitas atau proses. Hubungan antara risiko dan hasil secara alami berkolerasi secara linier negatif. Semakin tinggi hasil yang diharapkan, dibutuhkan risiko yang semakin besar untuk dihadapi. Untuk itu, diperlukan upaya yang serius agar hubungan tersebut menjadi kebalikannya, yaitu aktivitas yang meningkatkan hasil pada saat risiko menurun. Manajemen risiko diperlukan untuk: 1. Mendukung pencapaian tujuan; 2. Memungkinkan untuk melakukan aktivitas yang memberikan peluang yang jauh lebih tinggi dengan mengambil risiko yang lebih tinggi; risiko yang lebih tinggi diambil dengan dukungan sikap dan solusi yang sesuai terhadap risiko; 3. Mengurangi kemungkinan kesalahan fatal; 4. Menyadari bahwa risiko dapat terjadi pada setiap aktivitas dan tingkatan dalam organisasi sehingga setiap individu harus mengambil dan mengelola risiko masing-masing sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya Idroes, 2008. 16

2.1.3. Good Coorporate Governance

Istilah “corporate governance” pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury Committee, Inggris di tahun 1922 yang menggunakan istilah tersebut dalam laporannya yang kemudian dikenal dengan Cadbury Report Agoes dan Ardana, 2011. Istilah ini sekarang menjadi sangat popular dan telah diberi banyak definisi oleh berbagai pihak. Soekrisno Agoes 2006 dalam Agoes dan Ardana, 2011 mendefinisikan tata kelola perusahaan yang baik sebagai suatu system yang mengatur hubungan peran Dewan Komisaris, peran Direksi, pemegang saham, dan pemangku kepentingan lainnya. Tata kelola perusahaan baik juga disebut sebagai suatu proses yang transparan atas penetuan tujuan perusahaa, pencapaiannya, dan penilaian kinerjanya. Dalam hubungannya dengan tata kelola Badan Usaha Milik Negara BUMN, Menteri Negara BUMN juga mengeluarkan Keputusan Nomor Kep-117M-MBU2002 tentang Penerapan GCG Tjager dkk., 2003 dalam Agoes dan Ardana, 2011. Ada lima prinsip menurut keputusan ini, yaitu: 1. Kewajaran fairness, merupakan prinsip agar pengelola memperlakukan semua pemangku kepentingan secara adil dan setara, baik pemangku kepentingan primer pemasok, pelanggan, karyawan, pemodal maupun pemangku kepentingan sekunder pemerintah, masyarakat, dan yang lainnya. Hal ini yang memunculkan konsep stakeholders seluruh kepentingan pemangku kepentingan, bukan hanya kepentingan stockholders pemegang saham saja. 17 2. Transparansi, artinya kewajiban bagi para pengelola untuk menjalankan prinsip keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan dan penyampaian informasi. Keterbukaan dalam menyampaikan informasi juga mengandung arti bahwa informasi yang disampaikan harus lengkap, benar, dan tepat waktu kepada semua pemangku kepentingan. Tidak boleh ada hal-hal yang dirahasiakan, disembunyikan, ditutup-tutupi, atau ditunda-tunda pengungkapannya. 3. Akuntabilitas, adalah prinsip di mana para pengelola berkewajiban untuk membina sistem akuntansi yang efektif untuk menghasilkan laporan keuangan financial statements yang dapat dipercaya. Untuk itu, diperlukan kejelasan fungsi, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban setiap organ sehingga penelolaan berjalan efektif. 4. Pertanggungjawaban, adalah prinisp di mana para pengelola wajib memberikan pertanggungjawaban atas semua tindakan dalam mengelola perusahaan kepada para pemangku kepentingan sebagai wujud kepercayaan yang diberikan kepadanya. Prinsip tanggung jawab ada sebagai konsekuensi logis dari kepercayaan dan wewenang yang diberikan oleh para pemangku kepentingan kepada para pengelola perusahaan. Tanggung jawab ini mempunyai lima dimensi, yaitu: ekonomi, hokum, moral, social, dan spiritual yang dijelaskan sebagai berikut: 18 • Dimensi ekonomi, artinya tanggung jawab pengelolaan diwujudkan dalam bentuk pemberian keuntungan ekonomis bagi para pemangku kepentingan. • Dimensi hukum, artinya tanggung jawab penelolaan diwujudkan dalam bentuk ketaatan terhadap hokum dan peraturan yang berlaku; sejauh mana tindakan manajemen telah sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku. • Dimensi moral, artinya sejauh mana wujud tanggung jawab tindakan manajemen tersebut telah dirasakan keadilannya bagi semua pemangku kepentingan. • Dimensi sosial, artinya sejauh mana manajemen telah menjalankan corporate social responsibility CSR sebagai wujud kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat dan kelestarian alam di lingkungan perusahaan. • Dimensi spiritual, artinya sejauh mana tindakan manajemen telah mampu mewujudkan aktualisasi diri atau telah dirasakan sebagai bagian dari ibadah sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya. Keempat prinsip ini sebenarnya merupakan jawaban langsung atas permasalahanskandal yang dihadapi oleh dunia usaha, bukan saja di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Prinsip-prinsip GCG tersebut dapat terwujud dengan melakukan salah satu mekanisme GCG terutama dalam manajemen risiko yaitu dengan membentuk komite manajemen risiko KMR. Tugas komite manajemen 19 risiko yaitu mengidentifikasi, evaluasi risiko dan manajemen risiko dengan tujuan meningkatkan nilai perseroan. Namun demikian, keberadaan komite manajemen risiko di Indonesia terkecuali perbankan masih bersifat sukarela voluntary belum bersifat wajib mandatory. Padahal fungsi komite manajemen risiko sangat penting dalam penerapan GCG. Salah satu akar krisis ekonomi di Indonesia dan krisis pasar modal AS adalah buruknya kinerja perusahaan-perusahaan besar yang sebagian besar merupakan perusahaan publik yang telah terdaftar di bursa. Konsep GCG merupakan upaya perbaikan terhadap sistem, proses, dan seperangkat peraturan dalam pengelolaan suatu organisasi yang pada esensinya mengatur dan memperjelas hubungan, wewenang, hak, dan kewajiban semua pemangku kepentingan dalam arti luas dan khususnya organ RUPS, Dewan Komisaris, dan Dewan Direksi dalam arti sempit. Namun harus disadari, bahwa betapa pun baiknya suatu sistem dan perangkat hukum yang ada, pada akhirnya yang menjadi penentu utama adalah kualitas dan tingkat kesadaran moral dan spiritual dari para aktorpelaku bisnis itu sendiri Agoes Ardana, 2011.

2.1.4. Komite Manajemen Risiko

Berdasarkan PMK Nomor 191PMK.092008 menyebutkan bahwa Komite Manajemen Risiko merupakan suatu komite yang bertugas untuk melakukan pengawasan, menetapkan kebijakan, strategi, dan metodologi manajemen risiko. Komite Manajemen Risiko menjadi mekanisme yang efektif dalam mendukung tanggung jawab Dewan Komisaris dalam pengawasan risiko, 20 manajemen risiko dan pengendalian internal Subramaniam, et al., 2009. Anggota Komite Manajemen Risiko terdiri dari dewan komisaris, namun bilamana perlu dapat juga menunjuk pelaku profesi dari luar perusahaan KNKG, 2006 dalam Wahyuni, 2012. Dalam pelaksanaan kinerjanya, Komite Manajemen Risiko bertanggung jawab penuh terhadap dewan komisaris untuk melakukan pengawasan terhadap proses mekanisme manajemen risiko perusahaan. Proses mekanisme tersebut dimulai dari tahap identifikasi, pengambilan keputusan mengenai program manajemen risiko, sampai pengadministrasian program secara melembaga. Komite Manajemen Risiko secara umum memiliki area tugas dan wewenang, antara lain Subramaniam, 2009 : 1. Mempertimbangkan strategi manajemen risiko organisasi. 2. Mengevaluasi operasi manajemen risiko organisasi. 3. Menaksir pelaporan keuangan organisasi. 4. Memastikan bahwa organisasi dalam prakteknya memenuhi hukum dan peraturan yang berlaku. Di Indonesia, Komite Manajemen Risiko belum diwajibkan pada sektor non-finansial, tetapi dalam sektor perbankan telah diatur dalam peraturan Bank Indonesia. Keberadaan Komite Manajemen Risiko pada sektor perbankan merupakan suatu keharusan. Hal ini disebabkan karena, sektor perbankan memiliki risiko yang lebih banyak dan lebih kompleks dibandingkan sektor non-perbankan. Terdapat sembilan risiko yang dihadapi 21 sektor perbankan, antara lain risiko operasional, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko hukum, risiko reputasi, risiko strategik, dan risiko kepatuhan. Alasan inilah yang membuat Bank Indonesia mewajibkan bank umum untuk membentuk komite manajemen risiko. Pembentukan Komite manajemen risiko tersebut, harus benar-benar efektif dan berjalan dengan baik, dengan memperhatikan tingkat kegunaannya bagi perusahaan. Seiring dengan tren beralihnya beberapa bank ke tangan bank asing, maka akan terjadi perubahan susunan pengurus bank, baik dewan direksi maupun dewan komisaris menjadi alasan keberadaan Komite Manajemen Risiko sangat dibutuhkan oleh bank dimasa mendatang Fajri, 2007, dalam Diani, 2013. Adanya perubahan tersebut akan mempengaruhi jalannya pengawasan didalam perusahaan yang akan teganggu. Oleh sebab itu, dengan adanya Komite Manajemen Risiko, pengawasan terhadap manajemen risiko akan lebih terawasi. Keberadaan Komite Manajemen Risiko menjadi sangat penting dalam penerapan good corporate governance. Bates dan Leclerc 2009 menyebutkan bahwa KMR memberikan manfaat besar bagi perusahaan. Manfaat yang dimaksud adalah KMR dapat meringankan tugas dari komite audit dalam hal pengawasan risiko dan pengawasan manajemen risiko secara lebih fokus dan lebih luas. Apabila risiko dipantau dan dikelola secara lebih fokus, maka kerugian yang dialami dari dampak risiko tersebut akan dapat dikurangi. Selain itu, Yatim 2009 menambahkan bahwa keberadaan KMR dapat membantu komite audit untuk memastikan kehandalan laporan 22 keuangan. Kehandalan laporan keuangan tersebut dilakukan dengan tinjauan periodik manajemen risiko perusahaan, sistem mitigasi, dan tindakan manajerial yang dilakukan dalam pengelolaan risiko merupakan aspek penting dalam pemenuhan tugas komite audit.

2.1.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberadaan Komite Manajemen Risiko

2.1.5.1. Proporsi Komisaris Independen

Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham danatau hubungan keluarga dengan anggota Dewan Komisaris lainnya danatau dengan pemegang saham mayoritas atau hubungan lainnya dengan Perseroan, yang dapat mempengaruhi kemampuan dalam bertindak independen. Menurut KNKG, 2006 dalam Wahyuni, 2012 dewan komisaris sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggung jawab untuk mengawasi dan memberikan nasihat kepada dewan direksi serta memastikan perusahaan melaksanakan GCG. Karena tugas utama komisaris adalah mengawasi dewan direksi maka diperlukan independensi agar dalam mengontrol perusahaan dewan komisaris tidak mudah terintervensi oleh pihak-pihak tertentu. Menurut PBI No. 84PBI2006 sebagaimana diubah dengan PBI No. 814PBI2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum mengatur bahwa Bank harus memiliki 23 Komisaris Independen dengan komposisi paling kurang 50 dari jumlah anggota Dewan Komisaris. PT Bursa Efek Jakarta Kep- 305BEJ07-2004 tanggal 19 Juli 2004 Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas Di Bursa yang mengatur bahwa sekurang- kurangnya 30 tigapuluh persen dari jumlah seluruh anggota Dewan Komisaris adalah Komisaris Independen. Tujuan adanya komisaris independen ini adalah agar dewan komisaris dapat mengambil keputusan secara efektif, fair dan mengutamakan kepentingan Stakeholder.

2.1.5.2. Ukuran Dewan Komisaris

Ukuran dewan komisaris dalam hal ini adalah jumlah atau banyaknya anggota dewan komisaris dalam suatu perusahaan. Dalam Undang-undang Nomor 40 tahun 2007, menyebutkan bahwa Dewan komisaris merupakan organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum danatau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. Pembuat kebijakan GCG berpendapat bahwa perusahaan dengan Dewan Komisaris yang kecil memiliki kinerja yang lebih baik Lipton dan Lorsch, 1992. Sebaliknya, Subramaniam 2009 berpendapat bahwa semakin besar jumlah anggota dewan tersebut, semakin besar peluang adanya direksi dengan keterampilan yang diperlukan untuk mengkoordinir dan terlibat dalam sub - komite yang ditujukan untuk manajemen risiko. 24 Lipton dan Lorsch 1992 merekomendasikan bahwa ukuran dewan yang ideal tidak boleh melebihi delapan atau sembilan Dewan Komisaris.

2.1.5.3. Frekuensi Rapat Dewan

Salah satu tanggung jawab dewan komisaris adalah menghadiri pertemuan dan dengan demikian mereka akan memiliki hak istimewa untuk mengambil keputusan Ronen Yaari, 2008 dalam Safitri, 2013. Rapat yang diselenggarakan oleh Dewan Komisaris dilakukan untuk mengawasi kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh Dewan Direksi dan implementasinya. Cotter, et al. 1998 dalam Safitri, 2013, frekuensi rapat yang tinggi akan menghasilkan monitoring yang baik dari dewan, maka anggota secara tidak langsung akan meminta rapat dewan untuk diadakan lebih sering untuk menambah kemampuan mereka dalam memonitor manajemen. Dalam Peraturan Menteri BUMN No. 20 PER-01-MBU-2011, rapat Dewan KomisarisDewan Pengawas harus diadakan secara berkala, sekurang kurangnya sekali dalam setiap bulan, dan dalam rapat tersebut Dewan KomisarisDewan Pengawas dapat mengundang Direksi.

2.1.5.4. Reputasi Auditor

Tanggung jawab utama bagi auditor eksternal adalah dalam memberikan opini kewajaran pelaporan keuangan perusahaan. Oleh sebab itu, auditor eksternal sangat bertindak dengan hati-hati dalam 25 memberikan opininya, untuk mempertahankan reputasi yang dimilikinya. Apabila auditor eksternal memberikan opini yang kurang tepat atas hasil auditnya, maka reputasinya akan menurun di mata pengguna jasa auditnya. Auditor merupakan kunci mekanisme pengawasan eksternal dari sebuah organisasi, dan dalam beberapa tahun ini menjadi pusat perhatian bagi manajemen risiko Subramaniam, et al., 2009. Reputasi auditor eksternal merupakan auditor eksternal yang mempunyai nama baik dan mempertahankan reputasinya dengan memberikan kualitas audit yang tinggi dan digunakan sebagai tanda petunjuk terhadap kualitas perusahaan emiten. Di dunia terdapat 4 kelompok besar auditor yang memiliki reputasi baik dan auditor tersebut berafiliasi dengan perusahaan akuntan publik di Indonesia. Empat kelompok besar auditor tersebut adalah : Tabel 2.1 Auditor Big Four No Big Four Afiliasi 1. Ernst Young KAP Purwantono, Suherman Surja 2. Deloitte Touche Tohmatsu KAP Osman Bing Satrio Eny 3. KPMG Klynveld, Peat, Marwick, Goerdeler KAP Sidharta dan Widjaja 4. PricewaterhouseCoopers KAP Tanudiredja, Wibisana Rekan Sumber: Wikipedia 26 Auditor dengan reputasi baik seperti Big Four cenderung untuk lebih memilih berhubungan dengan klien yang memiliki nilai yang baik dalam komunitas bisnis, oleh karena itu auditor Big Four akan mempengaruhi klien untuk bertindak sesuai dengan praktik terbaik Carson, 2002. Praktik penerapan corporate governance, yang berupa pengawasan dapat diaplikasikan dengan pembentukan komite pengawas manajemen.

2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang membahas tentang keberadaan Komite Manajemen Risiko di perbankan masih belum banyak dilakukan. Walaupun keberadaan Komite Manajemen Risiko di perbankan Indonesia sudah diharuskan agar Good Cooperate Governance di bank bisa berjalan lebih baik. Namun dari beberapa penelitian yang sudah dilakukan, terdapat beberapa hal penting yang akan menjadi dasar penelitian ini. Berikut akan diuraikan beberapa penelitian tersebut. Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu No Nama Peneliti Variable Independen Variabel Dependen Hasil Penelitian 1. Puan Yatim 2010 Proporsi dewan non eksekutif, pemisahan kepala dewan dan posisi CEO, keahlian dewan dan ketekunan dewan Pembentukan Komite Manajemen Risiko Proporsi Komisaris independen, CEO independen berhubungan positif dengan KMR yang berdiri sendiri. Perusahaan 27 yang memiliki dewan yang lebih ahli dan rajin berpengaruh positif terhadap pembentukan KMR 2. Puan Yatim 2009 Proporsi komisaris independen, CEO independen, keahlian dewan dan kerajinan dewan. Pembentukan KMR dan Struktur Dewan Proporsi komisaris independen dan CEO independen berhubungan positif dengan pembentukan KMR yang berdiri sendiri 3. Nava Subramaniam, Lisa McManus, dan Jiani Zhang 2009 Karakteristik dewan yang meliputi CEO duality, komisaris independen dan ukuran dewan. Karakteristik perusahaan meliputi reputasi auditor, kompleksitas, tipe industri, leverage dan risiko pelaporan keuangan Pembentukan KMR dan tipe KMR yang dibentuk KMR lebih banyak dibentuk pada perusahaan dengan CEO independen dan ukuran dewan yang besar. KMR yang terpisah dari komite audit berhubungan positif dan signifikan dengan ukuran dewan dan risiko pelaporan keuangan 28 4. Yosephine Endah Nur Diani 2013 Komisaris Independen, Ukuran Dewan Komisaris, Kompleksitas Bisnis, Risiko Pelaporan Keuangan, Reputasi Auditor Keberadaan Komite Manajemen Risiko Variabel reputasi auditor berpengaruh terhadap keberadaan KMR 5. Tri Wahyuni 2012 Komisaris Independen, Frekuensi Rapat Dewan, Jenis kepemilikan, Reputasi auditor, Ukuran anak perusahaan, Risiko pasar, Leverage , Usia Perusahaan, dan Ukuran Perusahaan Komite Manajemen Risiko yang tergabung dan yang terpisah dengan Komite Audit Ukuran anak perusahaan, dan ukuran perusahaan. berpengaruh positif terhadap keberadaan frekuensi pertemuan KMR. Variabel independen yang berpengaruh positif terhadap keberadaan dari KMR terpisah adalah pertemuan frekuensi dan ukuran perusahaan 6. Briana Dita Pratika 2011 Komisaris Independen, Ukuran Dewan, Reputasi Auditor, Segmen Bisnis, Proporsi Komite Manajemen Risiko yang tergabung dan yang terpisah dengan Komite Audit Keberadaan KMR berhubungan positif dengan reputasi auditor 29 Piutang dan Persediaan, Proporsi Utang Jangka Panjang dan Ukuran Perusahaan

2.3. Kerangka Konseptual

Dokumen yang terkait

Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pengungkapan Manajemen Risiko Dengan Coso Erm Framework Pada Perusahaan Properti Yang Terdaftar Di Bei Tahun 2011-2013

7 96 121

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi Pengungkapan Manajemen Risiko pada Perusahaan Perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

7 113 81

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA KEUANGAN PERUSAHAAN PERBANKAN YANG TERDAFTAR DI BEI TAHUN 2011-2013.

0 2 11

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi Audit delay pada perusahaan manufaktur yang Terdaftar di bei periode 2011-2014.

0 5 17

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi Audit delay pada perusahaan manufaktur yang Terdaftar di bei periode 2011-2014.

0 4 16

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA KEUANGAN PADA PERUSAHAAN PERBANKAN YANG TERDAFTAR DI Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Keuangan Pada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar Di BEI Tahun 2013.

1 7 15

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA KEUANGAN PADA PERUSAHAAN PERBANKAN YANG TERDAFTAR DI Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Keuangan Pada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar Di BEI Tahun 2013.

0 4 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Keagenan - Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Keberadaan Komite Manajemen Risiko Pada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar Di BEI Tahun 2011-2014

0 0 25

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Keberadaan Komite Manajemen Risiko Pada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar Di BEI Tahun 2011-2014

0 0 10

Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Keberadaan Komite Manajemen Risiko Pada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar Di BEI Tahun 2011-2014

0 0 14