18
kenyataan sikap konsumen yang pada umumnya belum selektif terhadap mutukualitas daging yang dibelinya. Selera konsumen daging terhadap marbling
perlemakan, warna dan keempukan, belum begitu tinggi Azis dalam Bidiarti, 2000.
Menurut Wiliamson dan Payne dalam Rivai,2009 , setidaknya ada tiga tipe dalam peternakan sapi di daerah tropis yaitu peternakan rakyat atau
subsistem, peternakan spesialis, produsen skala besar. Purawirokusumo 1990 menyatakan bahwa berdasarkan tingkat produksi, macam teknologi yang
digunakan, dan banyaknya hasil yang dipasarkan, maka usaha peternakan di Indonesia dapat digolongkan ke dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Usaha yang bersifat tradisional, yang diwakili oleh petani dangan lahan sempit, yang mempunyai 1-2 ekor ternak.
2. Usaha backyard yang diwakili oleh peternak sapi perah yang menggunakan teknologi seperti kandang, manajemen, pakan komersial,
bibit unggul,dan lain-lain. 3. Usaha komersial adalah usaha yang benar-benar menerapkan prinsip-
prinsip ekonomi antara lain untuk keuntungan maksimum.
2.4. Sistem Gaduh Sapi Dengan Bagi Hasil
Sistem gaduh sapi secara umum mirip dengan sistem paruhan atau bagi hasil. Menurut Scheltema 1985 menyatakan:
“Bagi hasil semata-mata hanya merupakan bagi usaha pada kegiatan pertanian, yang dalam pelaksanaan priode usaha seluruh pekerjaan di
laksanakan oleh penggarap atau di bawah pimpinanya. Bagi usaha yang di maksud dalam hal ini adalah suatu perjanjian kerja dengan upah khusus”.
19
, Pada prinsipnya sistem bagi hasil dalam peternakan sapi tidak lepas dari modal
komunitas yang berada di lingkungan tersebut. Hasbullah 2006 menyatakan: “Bahwa konsep pembangunan harus memiliki modal komunitas
didalamnya yang terdiri dari : a Modal Manusia human capital berupa kemampuan personal seperti pendidikan, pengetahuan,kesehatan, keahlian
dan keadaan terkait lainnya; b modal sumberdaya alam natural capital seperti perairan laut; c Modal Ekonomi Produktif produced economic
capital berupa aset ekonomi dan finansial serta aset lainnya, dan Modal Sosial sosial capital berupa normanilai, kepercayaan trust dan
partisipasi dalam jaringan”.
Sedangkan Mosher dalam Tarigan 1996, Menyatkan: “Bahwa bagi hasil adalah kerjasama yang diikat dengan perjanjian bagi
hasil 50-50. Sistem ini banyak di lakukan karena kemiskinan dan kesukaran mendapatkan modal usaha yang memaksa seseorang untuk
menerima nasibnya mengerjakan tanah atau memelihara ternak yang bukan miliknya sendiri”.
Penggaduhan ternak adalah keadaan dimana seseorang dapat memlihara ternak sapi yang diperolehnya dari orang lain dengan disertai suatu aturan tertentu
tentang pembiayaan dengan pembagian hasilnya. Mereka yang memelihar ternak orang lain atau pihak lainnya dengan sistem menggaduh ini, selanjutnya disebut
penggaduh peternak penggaduh, sedangkan di lain pihak adalah pemilik ternak Muhzi 1984.
Menurut Sajogyo dalam Siswijono,1992, pada sensus pertanian 1983 menunjukakan bahwa penerapan persyaratan bagi hasil sangat bervariasi. Bahkan
Sinaga dan Kasryno dalam Siswijono,1992 menyatakan bahwa dalam satu komunitas pun sering dijumpai penerapan persyaratan aturan sistem bagi hasil
yang berbeda. Variasi yang dimaksud mencakup pembagian hasil serta pembagian sarana produksi. Besarnya bagian untuk menggaduh sapi sangatlah beragam,
misalnya besarnya berkisar antara
1
,
1
,
1 2
dari nilai pertambahan bobot badan
4 3 2 3
20
selama pemeliharaannya. Dari hasil penelitian Simatupang dalam Lole,1995, ditemukan bahwa bagian untuk penggaduhan sebesar
2
dari pertumbuhan bobot
3
badan sapi, sedangkan pada pola tradisional bahagi penggaduh sapi sebesar
1
dari
2
pertambahan nilai modal usaha. Dalam bagi hasil usaha ternak, Scheltema 1985 menyatakan:
“Bahwa perjanjian-perjanjian dengan pembagian keuntungan dapat dibagi seperti berikut : perjanjian-perjanjian dengan penyerahan ternak kepada
seseorang selama waktu tertentu untuk dipelihara dengan maksud untuk kemudian dijual dan dibagi keuntungannya, atau nilainya diperkirakan
pada awal dan akhir perjanjian dan nilai tambah atau nilai kurangnya dibagi, dan perjanjian-perjanjian di mana anak-anak ternak yang dilahirkan
dijual dan keuntungannya dibagi. Lebih lanjut menurut Scheltema 1985 kecuali syarat pembagian, dalam bagi usaha ternak yang penting ialah arti
ekonominya, bagaimana pengaturannya, siapa yang menaggung risiko bila terjadi kematian, pencurian, dan kehilangan karena hal lari, dalam hal ini
juga terdapat banyak variasi”.
Muhzi 1985 menyatakan bahwa pada pokoknya pemilik ternak di bedakan dalam dua macam yaitu pemerintah dan non pemerintah dengan
demikian terdapat suatu perbedaan yang sangat pokok dalam pembagian hasilnya sehingga memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap pendapatan yang
diperoleh petani dalam satu-satuan tertentu. Bentuk kerja sama dalam sistem bagi hasil atau sistem gaduh secara
umum melibatkan peternak yang kekurangan modal atau peternak miskin. Mereka umumnya tidak memiliki ternak sendiri atau kalaupun ada hanya dalam jumlah
yang kecil saja. Dalam keadaan demikian, petani merasa kesulitan karena dihadapkan pada berbagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan. Oleh karena
itu, upaya alternatif yang relevan adalah pengembangan intensifikasi penggunaan lahan usaha tani, misalnya usaha penggemukan ternak sapi. Hal ini dapat diterima
sebab usaha ekstensifikasi pada daerah tertentu sudah tidak memungkinkan.
21
Tetapi salah satu kendala utama untuk pengembangan usaha ternak tersebut adalah keterbatasan modal usaha, khususnya untuk pengadaan ternak bakalan baik
untuk bibitan maupun untuk digemukkan Simatupang 1993. Selain itu, yang perlu mendapat perhatian khusus adalah tentang faktor-
faktor sosial ekonomi fisik dan non-fisik yang mempengaruhi besar kecilnya bagian bagi hasil yang diterima oleh para peternak penggaduh sapi. Hal ini
penting diketahui sebab ketentuan bagi hasil yang formal belum ada, sehingga dapat menjadi bahan rekomendasi dalam rangka menghindari terjadinya
eksploitasi tenaga kerja peternak oleh para pemilik modal Lole,1995.
22
BAB III METODE PENELITIAN